PENEGASAN KEMBALI BUKTI-BUKTI AUTENTIK KEPEMILIKAN PULAU PASIR
(ASHMORE REEF) OLEH INDONESIA
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Pengantar
Pada bagian ini kami sajikan berbagai tulisan, pendapat, sejarah, maupun Peta,
tentang Posisi Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef), Celah Timor – Laut Timor yang bertalian dengan Australia maupun dengan Timor Leste yang sangat merugikan Indonesia dan berbagai perjuangan dari berbagai kalangan dapat diikuti sbb :
Perjuangan Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB)
Lembaga ini merupakan lembaga Non Pemerintah di Indonesia (NOG) yang
menyuarakan tentang : Berbagai “Hak dan Kepentingan” masyarakat Indonesia yang diabaikan, baik secara Nasional maupun Internasional di Laut Timor, termasuk memperjuangkan Pulau Pasir (Ashmoro Reef) kembali ke wilayah Indonesia dari pihak Australia.
Yayasan ini didirikan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur No.54 / SKEP / HK / 200l tertanggal 18 Mei 200l.
Berdasarkan Rekomendasi DPR Propinsi Nusa Tenggara Timur, maka Gubernur
Nusa Tenggara Timur membentuk Tim Kerja Pengkajian dan Perumusan Berbagai Aspek Strategis di Celah Timor Propinsi Nusa Tenggara Timur yang dikenal dengan sebutan “Pokja Celah Timor” (Yayasan Peduli Timor Barat) disingkat (YPTB) yang di-ketuai oleh Ferdi Tanoni yang berkantor di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Kegiatan-kegiatannya yang diketahui antara lain :
Berbagai pertemuan dengan Masyarakat Adat Suku Rote,
Pemerintah Daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur,
Pemerintah Kabupaten,
Instansi Pemerintah lainnya,
Pemerintah Timor Leste, DPRD Prov Nusa Tenggara Timur,
Pemerintah Tingkat Pusat maupun dengan Lembaga-lembaga
Internasional lainnya.
Khusus Perjuangannya dalam merebut kembali Pulau Pasir (Ashmoro Reef), “YPTB”
telah melakukan berbagai penelitian dan pengkajian serta menyampaikan aspirasi tertulis ke ,
Pemerintah Daerah,
Presiden Megawati Soekarnoputri,
Wakil Presiden RI,
Kalangan Legeslatif di Tingkat Kabupaten / Kota NTT,
Hingga DPR / MPR RI,
PM.Australia,
Ketua Oposisi Australia,
Pemerintah Transisi TIM-TIM UNTAET,
Hingga Presiden Timor Leste, Xanana Gusmao.
Perjuangan YPTB ini, adalah juga perjuangan seluruh Bangsa dan Rakyat Indonesia; mari kita dukung baik, jiwa maupun raga jika memang kondisi dan situasi
menghendaki demikian. Perjuangan Ketua YPTB hingga saat ini terus berjuang baik di NTT, di tingkat nasional maupun di tingkat internasional dengan gigih tentang hak Masyarakat Timur Barat atas Pulau Pasir mapun aset minyak dan gas bumi di Celah Timor. Tentang perjuangannya, dapat diketahui dari berbagai media massa yang banyak kami kutip di BAGIAN SETERUSNYA.
Pulau Pasir (Ashmore Reef) Masuk Wilayah Hindia Belanda
Berdasarkan Peta Asli Hindia Belanda Dan Peta Asli Amerika Serikat
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Menurut sejarah dan Peta Asli Hindia Belanda dan Peta Lama buatan Amerika Serikat menunjukkan bahwa dalam peta-peta tersebut, Gugusan Pulau Pasir (Ashmoro Reef) terletak di Utara Garis Merah Pembatas Indonesia – Australia. Uraian dan Peta-peta
Hindia Belnda dan Amerika Serikat itu akan ditunjukkan dalam halaman-halaman berikutnya, dan merupakan dasar yuridis, untuk menuntut pengembalian Pulau Pasir ke Indonesia.
Dalam Peta Rekayasa Australia terbaru yang diterbitkan setelah MOU 1974, itu,
sebenarnya Gugusan Pulau Pulau Pasir masih terletak di Urara Garis Pembatas Perairan Indonesia – Australia, namun ketika Garis Pembatas itu tiba di Gugusan Pulau Pasir, Garis tersebut tidak di Tarik Lurus, melainkan dibuat setengah lingkaran kearah Utara untuk memblok Gugusan Pulau Pasir menjadi miliknya. Garis batas tersebut sangat bertentangan dengan Garis Batas yang ditentukan dalam UNCLOS 1982, yaitu Garis Tengah Lurus, bukan Melengkung sehingga Tidak Syah.
Dengan demikian berdasarkan data-data yang kami kemukakan tersebut dapat
dipakai sebagai dasar Hukum memperjuangkan kembalinya Pulau Pasir ke Indonesia. Untuk kepentingan itu, Presiden SBY dan Menlu RI, dan penggantinya Presiden Jokowi dan wakil Presiden Jusuf Kalla, dan Menlu RI serta Instansi terkait lainnya segera mengambil langkah untuk membuka kembali Perundingan Indonesia dan Australia guna menyelesaikan Perbatasan kedua Negara secara damai.
Bila dalam perundingan tidak terdapat penyelesaian yang baik maka, Persoalan
Pulau Pasir perlu dilanjutkan ke Mahkamah Internasional. Banyak kalangan termasuk Deplu RI, Staf AL, dan beberapa pakar lainnya malahan berbicara sebagai terompet membela Australia mati-matian bahwa Pulau Pasir adalah milik Australia. Dan lebih konyol lagi pihak Deplu RI menyatakan bahwa Indonesia tidak pernah mengklaim Pulau Pasir. Kalau kenyataannya Pulau Pasir milik Indonesia, apakah perlu diklaim lagi? Oleh karena itu ikuti data-data Peta asli Hindia Belanda dan Amerika Serikat yang kami utarakan dihalaman-halaman berikutnya sebagai bukti autentik yang tidak dapat dibantah lagi oleh Australia. Seperti dijelaskan di atas, bahwa Luas Wilayah Perairan Indonesia, termasuk Pulau Pasir sudah bersifat FINAL yaitu berdasarkan Sejarah Perolehan (Ex. Wilayah Hindia Belanda), dan tidak terpengaruh oleh pasal UNCLOS 1982, yang mengatur kembali Garis Batas Perairan berdasarkan “Dasar Kontinen” yang baru diberlakukan kemudian setelah UNCLOS 1982.
Di bawah ini satu tulisan oleh I Made Andi Arsana yang membela Australia dikutib
sbb.
AP/AFP/OKI, --Kompas, 8-4-2006
Tension builds over Ashmore Reef: Is it Indonesia's or Australia's?
Opinion and Editorial - December 19, 2005
I Made Andi Arsana, Sydney
Ashmore reef (a.k.a. Pulau Pasir) is currently being disputed by Indonesia and
Australia.
If we talk about an island/reef/islet, we are talking about sovereignty. In dealing with
sovereignty we do not consider distance.
If we talk about a state authority in the sea territory, we are dealing with sovereign
rights, not sovereignty. Distance becomes the key issue as it depends on the distance measured from the baseline, commonly the coastline depicting the low water line. With regards to this, it is true that we need to consider maritime zones and boundary issues.
Whose reef is Pulau Pasir (Ashmore anyway)?
The sovereignty over a reef should be carefully decided. It does not depend on its
distance to a state's mainland. It is a legal issue.
A website in the Netherlands reveals that Pulau Pasir (Ashmore Reef) was annexed
by Britain in 1878. Together with Cartier Island, Pulau Pasir (Ashmore) was transferred to Australia on July 23, 1931 and is then part of the Northern Territory of Australia (1938-1978). A CIA website, one of the resources people may trust, reveals similar facts. CIA's World Fact Book confirms that Ashmore reef is under Australian sovereignty. Further support also comes from GEsource, an academic website in the UK.
By plotting the coordinates of Pulau Pasir (Ashmore Reef) (120 13.98' S, 1230 4.98' E) in the Indonesia-Australia EEZ boundary map, it is clear that Pulau Pasir (Ashmore
Reef) lies within the Australian EEZ. This, implicitly, implies that Indonesia has acknowledged Australian sovereignty over the reef.
From a historic point of view, it is true that the ancestors of the Timorese people had been coming to Pulau Pasir (Ashmore Reef) since the 1630s. However, Rais and
Tamtomo (Kompas, April 11, 2005) assert that the Netherlands never secured the reef in its colonial territory and the government administering the reef was Britain. Indonesia cannot claim Ashmore Reef (Pulau Pasir) just because its ancestors came there, conducted economic activities and died on the reef provided that the government administering the reef was not the colonial administration in Indonesia (the Netherlands)?
It is indeed ironic that Indonesians (Timorese and others) who have been visiting and carrying out activities on Pulau Pasir (Ashmore Reef) for hundreds of years are not
entitled to own the reef, while Britain (Australia), who "discovered" Pulau Pasir (Ashmore) in the nineteenth century, secures stronger rights.
It is worth noting that modern law emphasizes a legal claim rather than visits and
activities. If it is true that Britain legally claimed and administered Pulau Pasir (Ashmore Reef) and the Netherlands did not protest, its sovereignty would obviously be Australia's.
By contrast, Tanoni states that there is strong evidence that Pulau Pasir (Ashmore
Reef) was part of the Netherlands during the colonial era, (see Nederlands Map—resources - Insklopedi Indonesia Edisi Khusus, yang diterbitkan oleh Ichtiar Baru – Van Hoeve dan Elsevier Publishing Projects 2 Uitrgeverij W.van Hoeve B.V. Buku 4 halaman 2402)—Peta Hindia Belanda dibawah ini.
He asserts that the implementation of a regulation regarding sea cucumber and other marine biota collection around Pulau Pasir (Ashmore Reef) is convincing evidence
for its claim over the reef. Unfortunately he did not specify the document he referred to. However, if this is true, it could possibly invalidate Britain's claim over the reef in the eighteenth century.
Agreements between Indonesia and Australia
In 1971/1972, Indonesia and Australia agreed on a seabed boundary. Some experts
opined that it was not an equitable boundary, as the line lies closer to Indonesia. The Australian argument emphasizes the principle of natural prolongation (seabed geomorphology). It suggested that the natural break of the Australian Indonesian continents exists close to Timor Island, so that the seabed boundary lies far from the median line favoring Australia.
This practice was supported by legal developments at that time. The International
Court of Justice's decision on Feb. 20, 1969 regarding The North Sea seabed case between Germany and Denmark, for instance, gave the principle of natural prolongation considerable significance. In other words, Australia's argument was supported by jurisprudence. However, the post-UNCLOS (1982) development tends to give less consideration to seabed geomorphology. In the case of Libya and Malta (1985), for example, the ICJ decided that within 200 nautical miles, seabed geomorphology is irrelevant and the court's judgment was based on the distance principle.
It might be true that the seabed boundary between Indonesia and Australia is
inequitable. However, it is worth noting that the decision was with regards to the positive law applicable at that time. If necessary, Indonesia may renegotiate the boundary, provided that Australia agrees to do so. However, it is unlikely that Australia would want renegotiation. Another agreement requiring attention is the 1997 EEZ boundary. Unlike the seabed boundary, this is much more equitable as the border lies in the median line between the two states. Unfortunately, Indonesia has not ratified the agreement in its internal law. Regarding Pulau Pasir (Ashmore Reef), there is an MOU in 1974/75 allowing Indonesian traditional fishermen to fish around (Pulau Pasir (Ashmore Reef). Surprisingly, there were reports that Australia restricted Indonesian fishermen from fishing in the area due to environmental reasons. This must have caught the attention of the Indonesian government and it should clarify this as it deals with the lives of Indonesian fishermen.
Undoubtedly, it is Indonesia's obligation to keep the archipelago intact and united.
However, clear understanding regarding the legal, technical and scientific aspects are essential. Everybody should carefully analyze and be more critical of every single issue regarding border conflict.
A wrong decision may lead Indonesia to huge material losses as well as a decline in
its reputation as it might be considered as an emotional and irrational society.
The available legal evidence, so far, suggests that Pulau Pasir (Ashmore Reef) is under Australian sovereignty. However opinions and arguments suggesting the opposite are seriously worth considering. Let's do our part and let the governments do their best to achieve an equitable solution.
The writer is a lecturer in the Department of Geodetic Engineering, University of
Gadjah Mada and is currently studying the technical aspects of maritime boundaries at the University of New South Wales, Australia The (Jakarta Post)
Komentar Penulis
I Made Andi Arsana, Bahwa pendapat anda, mati-matian membela Australia soal
Pulau Pasir, yang mengatakan :
A website in the Netherlands reveals that Pulau Pasir (Ashmore Reef) was annexed
by Britain in 1878. Together with Cartier Island, Pulau Pasir (Ashmore) was transferred to Australia on July 23, 1931 and is then part of the Northern Territory of Australia (1938-1978). A CIA website, one of the resources people may trust, reveals similar facts. CIA's World Fact Book confirms that Ashmore reef is under Australian sovereignty. Further support also comes from GEsource, an academic website in the UK
Sdr. I Made Andi Arsana, untuk di ketahui, bahwa Pulau Pasir (Ashmore Reef telah dikuasai oleh Inggris sejak tahun 1878, adalah tidak benar. Karena apa?
Bahwa dalam Sejarah para Pengeliling Dunia bangsa Eropa yang dimulai pada tahun 1400-san dalam pelayarannya banyak menemukan dan meliwati pulau-pulau dan
benua diseluruh dunia, tetapi status mereka bukan sebagi mewakili Administrasi Pemerintahan Negara asalnya, melainkan statusnya sebagai pelaut biasa, sehingga jika dalam pelayarannya menemukan pulau-pulau atau benua maka tidak otomatis pulau-pulau atau benua yang mereka lewati tersebut langsung menjadikannya sebagai wilayah kekuasaan negara asal mereka.
Sebagai contoh para pelaut Portugis dan Spanjol, menemukan Benua Amerika,
Filipina, termasuk Indonesia dan wilayah lainnya sepnjang pelayarannya, tidak pernah secara otomatis diklaim sebagai wilayah jajahan negara asalnya.
Para pelaut pengeliling dunia ini statusnya tidak beda sebagai pelayaran pariwisata
dan mencari sumber-sumber ekonomi seperti rempah-rempah dan lain-lainnya yang bisa diperoleh sebagai barang dagangan di negeri asal mereka, dan bukan bertujuan mencari daerah-daerah, pulau-pulau atrau benua sebagai koloni negeri asal mereka.
Demikian pula contoh lainnya seperti Kapten Cook dan Kapten Ashmore, yang
menemukan pantai Timur Australia pada tahun 1787 dan Kapten Ashmore meliwati gugusan Pulau Pasir tahun 1811 dalam pelayaran mereka, status ,mereka juga adalah sebagai pelaut biasa, bukan sebagai seorang administrator Pemerintahan yang mewakili negara Inggris, sehingga jika menemukan suatu pulau atau benua, maka akan secara otomatis menjadi wilayah jajahan Inggris atau negara lain di Eropa.
Oleh karena itu pendapat dari sdr. I Made Andi Arsana yang mengatakan bahwa
kepemilikan Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) oleh Inggris sejak tahun 1887 adalah tidak benar. Pada waktu penemuan Benua Australi oleh Kapten Cook tahun 1787 masih milik orang Aborigen dan belum syah menjadi koloni Inggris secara otomatis.
Selain itu dikatakan bahwa Hindia Belanda tidak pernah mengklaim Pulau Pasir
(Ashmore Reef) senagai wilayah jajahannya. Keterangan tersebut juga tidak benar, dan
keterangan tersebut tidak didasarkan data autentik seperti peta.
Agar supaya sdr.I Made Andi Arsana tahu, bahwa saya menemukan bukti autentik
berupa 3 (tiga ) peta asli buatan Hindia Belnada dan Peta asli Amerika Serikat, yang dalam peta-peta tersebut, menunjukkan bahwa Gugusan Pulau Pasir adalah wilayah jajahan Hindia Belanda dan batas-batasnya jelas.
Jadi jika Pulau Pasir (Ashmore Reef) adalah wilayah Hindia Belanda, ada urusan apa Pemerintah Hindia Belanda harus mengklaim Pulau Pasir ke pada Australia? Jangan hanya terlalu percaya pada cerita dongeng dari Inggris apal lagi dari Australia tentang kepemilikan mereka atas Pulau Pasir. Jika mau tahu fakta kepemilikan Pulau Pasir, maka anda perlu membuka paling tidak 3 (tiga) buah peta yaitu masing-masing bersumber dari :
1. Peta Hindia Belanda bersumber pada Buku Insklopedi Indonesia Edisi Khusus Buku 4 yang diterbitkan oleh Ichtiar Baru – Van Hoeve dan Elsevier Publishing Projects 2 Uitrgeverij W.van Hoeve B.V. halaman 2402. Dalam Peta Hindia
Belanda ini menunjukkan tapal Batas warna Merah antara wilayah jajahan Hindia Belanda dan wilayah Australia, dimana lokasi letak gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) adalah jauh disebelah Utara Garis Merah Pembatas. Sedang wilayah perairan Australia letaknya jauh di Selatan Garis Batas Berwarna Merah. Jadi dari Peta Asli Hindia Belanda ini, secara autentik adalah wilayah Hindia Belanda, dan setelah Indonesia Merdeka, adalah wilayan Indonesia paling Selatan yang berbatasan langsung dengan Australia.
Yang paling penting dari Peta Asli Hindia Belanda ini adalah bahwa, sejak
Hindia Belanda menjajah Indonesia sampai Indonesia Merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Australia tidak pernah berkeberatan atau mengklaim keberadaan Peta Hindia Belanda ini, oleh karena sejak dahulu Australia mengakui secara de fakto dan de yure, bahwa Pulau Pasir (Ashmore Reef) adalah wilayah jajahan Hindia Belanda sesuai Peta tersebut. Oleh karena itu saat ini Australia jangan hanya bicara secara lisan tanpa bukti peta lain yang menunjukkan Pulau Pasir adalah milik Australia.
Memang ada peta Rekayasa terbaru Autralia era perjanjian MOU RI - Australia 1974 yang dibuat secara sepihak dimana Garis Batas Perairan Indonesia – Australia ketika Garis Batas itu mencapai Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef)
maka Gsris Batas itu dibuat setengah lingkaran ke Utara memblok Gugusan Pulau Pasir untuk menjadi milik Australia secara tidak syah dan sepihak dan sangat bertentangan dengan peraturan Hukum Laut Internasional 1982 dimana Garis Pembatas anatara 2 (dua) negara harus Ditarik LURUS dan (GARIS LURUS) bukan Garis Melengkung. Dengan demikian Peta Rekayasa Australia secara sepihak ini BATAL dan TIDAK SYAH. (Lihat Gambar Peta ini di MOU BOX).
2. Kemudian Peta ke 2 Peta Asli Australia dizaman Hindia
Belanda,
(Sumber Peta Dunia ini, yang dibuat oleh Belanda pada zaman Hindia Belanda yaitu oleh: NV.Cartografisch Instituut Bootsma—Falkplan di ‘s-Gravenhage---
N.V.Boek–En Kunstdrukkerij V/H Mouton & Co di
‘sGravenhage—Belanda, yang di kutip oleh (Atlas Semesta Dunia
“Jambatan-Jakarta, 1952 :150).
Dalam “Atlas Jembatan Jakarta 1952” Tentang Peta Dunia, terdapat Peta
Australia dalam penyelasan tentang Pulau-pulau Karang paling Utara milik Australia disebutkan atau terlihat di peta tersebut adalah hanya beberapa pulau kecil yang letaknyaa disekitar “Tanjung Londonderry, dan Pulau Melville dan tidak terdapat nama Pulau Pasir (Ashmore Reef). Dalam Peta Australia itu tidak nampak Pulau Pasir (Ashmore Reef), karena letaknya masih jauh di Utara dari pulau-pulau karang milik Australia di sekitar Pulau Bougainville dan Tanjung Londinderry dan Melvele.
Dengan demikian benar Pulau Pasir (Asmore Reef) adalah masuk wilayah
Hindia Belannda, dan bukan milik Australia.
3. Peta Dunia buatan Amerika Serikat
(Peta Lama) Pulau Pasir (Ashmore Reef) Masuk Wilayah Hindia Belanda dan Berdasarkan Peta Dunia Asli Amerika Serikat terbitan “HAMMOND Standard
World Attalas, Copyright MCMLXXIX By Hammond Incoporated Maplewood, New Jersey, Printed In USA”, Tentang Pulau-pulau kaang paling Utara yang masuk wilayah Australia terdapat judul :Coral Sea Islands Territory
Pulau Pasir (Ashmore Reef) Dalam Peta Dunia (Amerika Serikat),
Terletak Diluar Teritorial Australia.
Kalau kita memperhatikan Peta Australia, dalam Peta Dunia, khususnya
Australia Barat (Western Australia, Luasnya = 975.920 sq.ml) dan, Australia Utara (Northen Terittory, Luasnya = 520.280 sq ml), Pulau-pulau karang (Reef) paling Utara yang masuk wilayah Australia, disebutkan dengan sangat jelas pada peta tersebut dihalaman 88 secara terperinci, dibawah judul :
“Coral Sea Islands Territory :
Bougainvile (reef),…H3
Cato (isl.)……………K4
Coral (sea)…………..H2
Coringa (islets)… H3
Great Barrier (reef) H3
Holmes (reef)…… ..H3
Lihou (reef andcay ).J3
Magdelaine (cays) J3
Saumares (reef)… . J4
Willis (islets)…… ... H3
Dari nama-nama pulau karang milik Auetralia paling Utara, ternyata tidak
tercatat nama Pulau Pasir (Ashmore Reef) karena memang Pulau Pasir (Ashmore Reef) adalah wilayah Hindia Belandsa. Demikian pula pada peta Australia Barat (Westen Australia, hal.92 ) maupun Northen Territory, hal.93), ternyata Pulau Pasir (Ashmore Reef) tidak termasuk dalam daftar peta (atau terletak diluar batas teritorial Australia).
Ini berarti, memang benar Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) dan Cartier
Island (Reef),Scot Reef, termasuk Ex wilayah Jajahan Hindia Belanda, yaitu bagian dari wilayah Pulau Rote, Provinsi NTT ( Indonesia).
Inilah bukti Autentik berupa Peta Asli Hindia Belanda dan Amerika Serikat
tentang kebenaran status Pulau Pasir (Ashmore Reef).
Jadi semua argumentasi, pernyataan baik dari pihak Australia, ataupun para
pakar, pejabat termasuk pihak Departemen Luar Negeri Indonesia, hanya berbicara besar yang menyatakan Pulau Pasir adalah milik Australia yang diserahkan oleh Inggris, malahan dari pihak Menlu RI sendiri menyatakan masalah Pulau Pasir sudah Finis dan sudah Tutup Buku adalah milik Australia dan banyak yang berbicara membela mati-matian untuk kepentingan Australia, tanpa data dan fakta. Silahkan Buka Peta-Peta yang tersebut di atas sesuai Sumber masing-masing.
Bahwa Pulau Pasir (Ashmore Reef) milik Hindia Belanda dan sekarang milik
Indonesia, hanya dibuktikan secara Autentik kebenarannya oleh
“BLOG ROTE PINTAR” Klik : sajjacob.blogspot.com
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Inilah data dan fakta, sebagai dasar hukum bagi Pemerintah Pusat (Presiden
Jokowi, Wapres, Juduf Kalla, Menlu RI dan 17 Instansi terkait lainnya yang menangani masalah Perbatasan dan Kelautan Indonesia, agar secepatnya menyelesaikan Perbatasan Indonesia, masalah Migas di Celah dan Laut Timor, dan Perjuangan mengembalikan Pulau Pasir (Ashmore Reef) ke Indonesia. Namun Perjuangan tersebut membutuihkan NYALI dari para Pejabat dan perlu juga keberanian, ketegasan dalam
memperjuangan kepentingan Indonesia dengan pihak Australia.
Pada akhirnya jika Australia tetap bersikeras, maka perjuangan terakhir adalah menyatakan Pulau Pasir (Ashmore Reef) dinyatakan sebagai Wilayah
SENGKETA dan dilanjutkan dengan membawa persoalan ini ke Mahkamah Interternasiolal.
Namun kemampuan para Pejabat yang kami sebutkan di atas masih kami
ragukan keberaniannya dan keseriusannya, oleh karena Masalah Perbatasan dengan 10 negara tetangga saja belum tuntas, terutama masalah kawasan Blok Ambalat saja hingga saat ini masih terbengkalai dan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla dan Menlu RI, masih santai-santai saja.
Masalah Blok Ambalat
Masalah Blok Ambalat, milik syah Indonesia karena sudah termasuk dalam
Peta Indonesia. Kalau milik Indonesia mengapa dikatagotikan sebagai wilayah Sengketa sebab Blok Ambalat bukan wilayah yang sebelumnya berstatus sebagai wilayah tak bertuan yang diperebutkan oleh Malaysia dan Indonesia. Oleh karena itu Sebutan sebagai wilayah Sengketa adalah tidak benar. Disinilah letak kesalahnnya karena seolah-olah Indonesia terpancing oleh Malaysia dengan penyebutan kara Sengketa supaya jadi dasar untuk dilakukan Perundingan kedua belah pihak supaya dengan jalan ini Malaysia dapat menjalankan strategisnya jika gagal dalam perundingan bisa dilanjutkan ke Mahkamah Internasional, sehingga diharapkan seperti masalah Pulau Sipadan dan Linggitan. Ini adalah salah satu spekulasi Malaysia.
Pelanggara Tertitorial oleh Malaysia
Yang sebenarnya yang dipersoalkan pada waktu itu adalah masalah
pelanggaran teritorial ketika Kapal-kapal Malaysia memasuki wilayah Blok Ambalat Wilayah Kedaulatan Indonesia, tanpa izin dan tanpa damai, dan telah melanggar pasal-pasal dalam Hukum Laut Internasionmal 1982, tentang Pelayaran Tidak Damai memasuki Negara Lain dan sanksinya adalah segera diperintahkan untuk meninggalkan lokasi tersebut. Jka telah diperingatkan tetapi tidak dilaksanakan maka negara tersebut dapat mengambil tidakan keras dengan menenggelamkan kapal-kapal Malaysia tersebut.
Jadi persoalan kapal-kapal perang Malaysia memasuki perairan Indonesia
adalah masalah utama yang sebenarnya ketika itu Indonesia seharusnya mengambil tindakan keras, dan bukan masalah sengketa, oleh karena wilayah Ambalat resmi milik Indonesia. Tindakan Malaysia tersebut termasuk suatu tindakan provokasi yang tidak henti-hentinya mau merebut wilayah Indonesia.
Secara kasarnya kita namakan tindakan Malaysia tersebut, mau merampas
Blok Ambalat milik Indonesia. Jadi pemakaian istilah Sengketa adalah sangat keliru, dan sebagai akibatnya hingga saat ini, masalah Ambalat masih terkatung-katung.
Dan oleh karena bukan Sengketa wilayah, maka jalan yang terbaik adalah
Indonesia segera menyatakan mengundurkan diri dari Meja Perundingan (Indonesia-Malaysia), dan dengan menyatakan dengan tegas Blok Ambalat adalah wilayah Kedaulatan Indonesia. Dan setelah itu kita menunggu reaksi Malaysia, dan jalan terakhir adalah Perang dalam mempertahankan Kedaulatan dan Harga Diri Bangsa Indonesia.
Indonesia akan mempertahankan Blok Ambalat hingga Titik Darah
Penghabisan. Indonesia tidak sabar lagi terhadap berbagai provokasi Malaysia yang terus -menerus mengincar pulau-pulau atau wilayah daratan Indonesia. Bahwa TNI kita telah siap tempur, kapan saja, dan dimana saja dan dengan negara tetangga mana saja, yang mau mengganggu kedaulatan wilayah Indonesia. Inilah Harga Mati dan Tidak Bisa Ditawar-tawar lagi. “SEMOGA”
CATATAN PENULIS : Maaf, Peta-peta yang disebutkan di atas, Penulis tidak dapat munculkan karena kesulitan teknis.
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.