Pokok-pokok Pikiran Prof. Yusuf L. Henuk kepada Presiden/Wakil Presiden RI Terkait Permasalahan Pokok Laut Timor Yang Menguntungkan Australia, Tapi Merugikan Masyarakat Nusa Tenggara Timur
Oleh: Yusuf Leonard Henuk
Ketika
Presiden RI melakukan pertemuan dengan PM Australia di Istana Negara
pada tanggal 20 Oktober 2014, penulis telah mengirim tweet sebagai
berikut:
@ProfYLH: DEAR @jokowi_do2+@TonyAbbottMHR, PLEASE DISCUSS AGAIN TIMOR GAP WITH TIMOR LESTE BASED ON UNCLOS 1982 BECAUSE UNFAIR" http://pic.twitter.com/0yrqy5e8aa.
Lalu disusul ketika penulis membaca berita pada tanggal 21 Oktober
2014: “@hariankompas: Keinginan Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla
Menjadikan Indonesia Sebagai Negara Maritim Sudah Tepat @Irmangusman_IG
@jokowi_do2 @Pak_JK“ @ProfYLH: “Yth. @@jokowi_do2 & @Pak_JK, WARGA
NTT PRO-NEGARA MARITIM“, TAPI DISKUSI ULANG CELAH TIMOR BERDASARKAN
KONVENSI HUKUM LAUT PBB TAHUN 1982, KARENA AUSTRALIA CAPLOK LAUT TIMOR“.
Kini disampaikan “Pokok-Pokok Pikiran Prof. Yusuf L. Henuk Kepada
Presiden/Wakil Presiden RI Terkait Permasalahan Pokok Laut Timor Yang
Menguntungkan Australia, Tapi Merugikan Masyarakat Nusa Tenggara Timur“
berdasarkan pustaka yang telah penulis presentasikan di konferensi
nasional dan internasional maupun telah penulis terbitkan di media massa
lokal di Nusa Tenggara Timur (NTT).
PENGANTAR
Konferensi Warisan Otoritarianisme Demokrasi & Tirani Modal, Kampus FISIP UI Depok, 5 – 7 Agustus 2008:
ABSTRAK
MOU 1974 (INDONESIA-AUSTRALIA): WARISAN OTORITARIANISME INDONESIA DI LAUT TIMOR YANG MERUGIKAN ORANG TIMOR DAN ORANG ROTE DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Y.L. Henuk, M.A.Noach, F. Tanoni, S.H. Ardani, Alemina, dan A.N.P. Lango
(Kelompok Pencari Keadilan bagi Orang Timor dan Orang Rote di Laut Timor)
Laut
Timor yang berbatasan langsung dengan Australia memiliki dua masalah
pokok yang sangat merugikan Orang Timor dan Orang Rote di Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT), yaitu: (1) Celah Timor (Timor Gap) dan (2) Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) dengan “MoU Box”. Kedua masalah ini timbul sebagai akibat adanya Nota Kepahaman (Memorandum of Understanding/MoU)
yang dibuat oleh Pemerintah Otoritarianisme Indonesia (Orde Baru)
dengan Pemerintah Australia pada tanggal 7 November 1974. Lahirnya MoU
ini memperkuat Australia mengklaim batasnya dengan Laut Timor terlalu
jauh memasuki bibir pantai Pulau timor sehingga menyebabkan 70%
kandungan isi Laut Timor menjadi milik Australia. Akibatnya, merugikan
semua Orang Timor, yaitu: (1) Kupang, (2) Kota Kupang, (3) Timor Tengah
Selatan, (4) Timor Tengah Utara, (5) Belu, dan (6) Rote Ndao.
Kini
masalah Celah Timor sudah menjadi milik Timor Leste setelah lepas dari
Indonesia tahun 1999 dan Pemerintah Indonesia telah mengakui batas laut
antara Indonesia dan Australia sudah selesai sejak ditandatanganinya
Perjanjian Timor Gap yang dibuat oleh Indonesia dan Australia pada
tanggal 11 Desember 1989. Namun perjanjian ini belum sah karena belum
diratifikasi sehingga tidak menutup kemungkinan dilakukan perundingan
ulang batas negara di Laut Timor mengingat kini sudah ada tiga negara di
kawasan ini. Akibatnya, garis batas Laut Timor tidak adil yang lebih
menguntungkan Australia masih bisa diperjuangkan oleh Indonesia
menggunakan Garis Tengah (Median Line) sesuai ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut PBB (TheUnited Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) tahun 1982 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 200 mil mengingat Timor Leste yang baru ‘merdeka kemarin’telah menggunakannya dengan Australia, sedang Indonesia telah merdeka lama tidak menggunakannya dengan Australia.
Terkait
masalah Gugusan Pulau Pasir (lihat Peta 1), nelayan Indonesia Timur
terutama dari Pulau Rote lebih banyak diberitakan [hingga kini]
menderita dan dirugikan sebagai akibat adanya MoU ini. Kebun (garden)
tempat mereka mencari nafkah di halaman belakang rumah (backyard)
mereka di Pulau Pasir yang sudah lama mereka lakukan turun-temurun sejak
ratusan tahun silam telah hilang. Bahkan mereka dicap telah melakukan “illegal fishing”
di Laut Timor setelah MoU 1974 ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia
dan Pemerintah Australia dan “MoU Box” berlaku efektif tanggap 1
Pebruari 1975. Banyak nelayan asal Pulau Rote gugur di Laut Timor
sebagai akibat adanya MoU 1974 melarang mereka menggunakan alat
penangkapan ikan modern, tetapi harus tetap menggunakan alat penangkapan
ikan tradisional di era serba modern ini. Konsekwensinya ada desa di
Rote timur yang dijuluki “Desa Janda” karena kebanyakan laki-lakinya
gugur di Laut Timor. Sejak tahun 1974 sampai sekarang, banyak nelayan
miskin dari Indonesia Timur asal “Kabupaten Busung Lapar” (Rote Ndao)
selalu ditangkap, dipukul, perahu mereka diseret ke dalam wilayah
perairan Australia lalu ditangkap. Kemudian kapal mereka dimusnahkan,
lalu mereka diadili dan dihukum di Australia.
Namun
para nelayan ini tidak akan pernah berhenti ke sana karena Pulau Pasir
sudah merupakan kebun tempat mereka mencari nafkah turun-temurun yang
terletak persis di halaman belakang rumah mereka yang merupakan warisan
dari nenek moyang mereka dengan jarak Pulau Pasir dari Pulau Rote hanya
sekitar 140 km (± 60 mil), sedangkan jarak Pulau Pasir dari daratan
Australia cukup jauh sekitar 300 km (± 300 mil) (lihat Peta 1). Selain
itu, tidak ada tembok pembatas di Laut Timor yang berdiri kokoh seperti
tembok pembatas antar Jerman Timur dan Jerman Barat yang sudah runtuh
pada tanggal 10 November 1989 sehingga banyak nelayan Rote seringkali
ditangkap karena perahu mereka tidak dibolehkan menggunakan alat
pelayaran modern yang memudahkan mereka mengetahui posisi mereka mencari
nafkah di Laut Timor. Oleh karena itu, “MoU Box” (lihat Peta 1) yang
dibuat untuk nelayan Indonesia dengan hanya membolehkan mereka
menggunakan alat pelayaran tradisional selama melaut di Laut Timor harus
ditinjau kembali karena sudah tidak sesuai lagi dengan ketentuan umum
yang berlaku dalam dunia pelayaran sekarang yang sudah serba modern.
Deklarasi PBB tentang Hak Penduduk Asli (The United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People)
yang telah berlaku sejak 13 September 2007 yang telah berlaku pada
penduduk asli Australia (Aborigin) seharusnya diberlakukan juga bagi
nelayan tradisional Rote yang telah lama mencari nafkah tidak untuk
tujuan komersial tetapi semata-mata untuk menghidupi keluarga mereka
(subsisten) di Laut Timor dan Gugusan Pulau Pasir. Tulisan ini membahas
(1) Celah Timor (Timor Gap) dan (2) Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef)
dengan “MoU Box” dari MoU 1974 yang telah banyak merugikan semua warga
negara Indonesia yang mendiami enam kabupaten di daratan Timor dan Rote
Ndao dalam wilayah Provinsi NTT yangberbatasan langsung dengan Laut Timor.
POKOK-POKOK PIKIRAN PROF. YUSUF L. HENUK SOAL LAUT TIMOR
[1]. Prof. YLH:..“Kembalikan Laut Timor: 70 Persen Isi Laut Timor
Milik Australia“(Timorense, 21–27 November 2011: 17)
KITA
boleh berbangga dengan kekayaan alam dan laut yang ada di NTT, khusus
Laut Timor. Walaupun demikian, ternyata Laut Timor masih menyimpan
sejumlah persoalan krusial. Ironisnya, 70 persen isi Laut Timor dikuasai
Australia. Padahal, berdasarkan UNCLOS 1982 yang menerapkan garis
tengah (Median Line), memberikan keuntungan bagi Indonesia dan NTT.
Mengapa perjanjian UNCLOS 1982 tidak diterapkan dalam perundingan
mengenai batas laut Indonesia dan Australia?
Adalah
Profesor Yusuf Leonard Henuk, dalam percakapan dengan Timorense
mengemukakan, Laut Timor yang berbatasan langsung dengan Australia
memiliki dua masalah pokok yang sangat merugikan orang Timor dan orang
Rote di NTT. Pertama, Celah Timor (Timor Gap) dan dua, gugusan Pulau
Pasir (Ashmore Reef) dengan “MoU Box”. Kedua, masalah ini timbul sebagai
akibat adanya Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/ MoU) yang
dibuat oleh Pemerintah Otoritarianisme Indonesia (Orde Baru) dengan
Pemerintah Australia pada tanggal 7 November 1974.
"Lahirnya MoU ini memperkuat Australia. Bahkan Australia mengklaim
batasnya dengan Laut Timor terlalu jauh memasuki bibir pantai Pulau
Timor. Sehingga menyebabkan 70% kandungan isi Laut Timor menjadi milik
Australia," tandas Prof. YLH, demikian sapaan akrabnya seraya
menambahkan akibatnya,merugikan
semua orang Timor dan orang Rote. Kerugian itu menimpa warga negara
Indonesia di Kabupaten Kupang, Kota Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor
Tengah Utara dan Belu serta Rote Ndao.
Menurut
Profesor YLH, MoU 1974 yang telah dibuat oleh Indonesia dan Australia
pada tanggal 7 November 1974 bukanlah sebuah perjanjian tentang batas
kedaulatan Indonesia dan Australia, melainkan hanya sebuah Nota
Kesepahaman biasa yang mencoba mengatur tentang hak-hak nelayan
tradisional Indonesia yang beraktivitas di Laut Timor sejak 450 tahun
silam jauh sebelum Australia terbentuk menjadi negara Federal.
Bahkan
sejarah mencatat, perundingan bilateral antara Indonesia dan Australia
terkait Laut Timor, terdiri dari lima tahap. Tahap pertama, isi nota
kesepahaman atau MoU antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Australia
pada tahun 1974 mengenai Memorandum of Understanding between the
Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia
Regarding the Operations of Indonesian Traditional Fishermen in Areas of
the Australia Exclusive Fishing Zone and Continental Shelf”, atau yang
dikenal MoU Box 1974 – mengatur tentang hak dan kewajiban nelayan
tradisional, ketentuan penangkapan ikan, dan ketentuan lainnya di
Gugusan Pulau Pasir pada tahun 1974.
Kedua, pada tahun 1981 Australia dan Indonesia menghasilkan:
“Memorandum of Understanding between the Republic of Indonesia and the
Government of Australia Concerning the Implementation of Provisional
Fisherries Surveillance and Enforcement Arrangement” atau yang disebut
kesepahaman sementara antara kedua negara dalam implementasi pengawasan
daerah perikanan dan tindak lanjut dari perjanjian 1974. Dan ketiga,
pada tanggal 2 Maret 1989 para pejabat yaitu Menteri Luar Negeri
Indonesia Ali Alatas dan Senator Luar Negeri Australia Gareth Evans
mendiskusikan dan membahas tentang aktivitas kapal dan nelayan Indonesia
di daerah perikanan Australia (Australian Fishing Zone) mulai dari
Pantai Barat Australia sampai pada Laut Arafura serta kawasan perairan
antara Pulau Jawa dan Pulau Christmas.
Tahapan
keempat, pada tahun 1989 Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia
menghasilkan lagi kesepakatan “Agreed Minutes of Meeting Between
Officials of Australia and Indonesia on Fisheries” atau yang disebut
kesepakatan pertemuan yang disetujui antara pejabat Australia dan
Indonesia pada daerah perikanan pada tanggal 28 April 1989. Dan tahapan
terakhir, pada tanggal 14 Maret 1997 di Perth, Australia dilaksanakan
perjajian kesepakatan tentang penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) dan batas-batas laut tertentu serta tidak mengurangi hak
tradisional nelayan Pulau Rote untuk menangkap ikan di Gugusan Pulau
Pasir.
Masih
menurut Prof YLH, Perjanjian Perth 1997 ini yang dikenal dengan
Perjanjian Kerjasama RI dan Australia tentang ZEE dan batas-batas dasar
laut tertentu di Laut Timor dan Laut Arafura, tercakup pula didalamnya
Gugusan Pulau Pasir hingga saat ini belum diratifikasi. Perjanjian yang
hanya berisi 11 pasal tersebut dengan jelas menyatakan (Pasal 11) bahwa:
“Perjanjian ini harus diratifikasi dan akan mulai berlaku pada tanggal
pertukaran piagam-piagam ratifikasi”, akan tetapi Indonesia sendiri
belum meratifikasi perjanjian ini dalam hukum internalnya, sehingga
perjanjian ini secara praktis belum berlaku.
"Bahwa
Indonesia dan Australia telah menantangani beberapa kesepakatan
perjanjian dari tahun 1971–1997, meliputi penentuan batas kedaulatan
kedua negara, hak-hak nelayan tradisional Indonesia hingga ZEE, termasuk
juga kerjasama dalam bidang perikanan yang semuanya terkesan sangat
menguntungkan Australia. Akibatnya, Australia berhasil menguasai
sebagian besar Laut Timor (sekitar 85%)," tandas Prof. YLH dan
menambahkan bisa dibayangkan ZEE Australia ditentukan sampai titik
pertengahan antara Pulau Rote dan Gugusan Pulau Pasir yang hanya
berjarak sekitar 80 km dari Pulau Rote.
Dalam
perpektif demikian, tandas Prof. YLH, pihaknya telah mengangkat empat
poin penting yang dapat menjadi dasar utama perjuangan yang sangat kuat
bagi seluruh rakyat NTT (Indonesia) dalam upaya memdapatkan kembali hak
seluruh rakyat Indonesia di Laut Timor dan Gugusan Pulau Pasir, dalam
Rapat Dengar Pendapat dengan Ketua DPRD NTT dan jajarannya dengan
Komandan Lantamal VIII Kupangpada tanggal 25 Juni 2008 di ruang Rapat Komisi B Gedung DPRD NTT.
Adapun
ke-4 poin penting dimaksud adalah: (1) Buku Putih Departemen Pertahanan
Republik Indonesia– “Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad ke-21“ Bab
III Konteks Strategis: “perjanjian Perbatasan RI-Australia yang meliputi
perjanjian batas landas kontinen dan batas ZEE mengacu pada Perjanjian
RI-Australia yang ditanda-tangani pada tanggal 14 Maret 1997, yakni
penentuan batas baru kedua negara perlu dibicarakan secara trilateral
dengan Timor Leste; (2) Perjanjian terakhir antara RI-Australia pada
tanggal 14 Maret 1997, belum sah karena belum diratifikasi oleh kedua
negara sesuai Pasal 11 perjanjian ini yang menyatakan bahwa: “perjanjian
ini harus diratifikasi dan akan mulai berlaku pada tanggal pertukaran
piagam-piagam ratifikasi“; (3) Indonesia perlu perjuangkan Garis Tengah
(Median Line) sesuai ketentuan yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut PBB
(The United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS)
tahun 1982 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 200 mil mengingat Timor
Leste yang baru ‘merdeka kemarin‘ (1999–2011) telah menggunakannya
dengan Australia, sedang Indonesia yang telah mendeka lama (1945–2011)
tidak menggunakannya dengan Australia–bahkan Australia telah
menggunakannya dengan tetangganya, Selandia Baru; dan (4) Deklarasi
Perserikatan Bangsa-bangsa terbaru tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (The United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples)
yang telah berlaku sejak 13 September 2007 telah menjamin hampir semua
masyarakat adat di dunia untuk dapat mengklaim daratan dan wilayah
kelautan mereka yang telah lama mereka diami jauh sebelum para penjajah
datang menjajah dan mencaplok wilayah-wilayah mereka.
Padahal,
dalam kaitan dengan ZEE, ZEE diartikan, sebagai “bagian laut selebar
200 mil laut diukur dari garis dasar laut teritorial. Zona ini
dititipkan kepada semua negara pantai, negara kepulauan dan
negara-negara pulau, sebagai warisan umat manusia”. Bahkan Pasal 74
UNCLOS 1982 menyatakan bahwa ZEE antara negara-negara dengan
pantai-pantai yang berhadapan atau yang bersebelahan letaknya haruslah
dilakukan dengan kesepakatan atas dasar hukum internasional sebagaimana
ditunjukkan dalam Pasal 38 Undang-undang Mahkamah Internasional
(International Court of Justice) dalam usaha mencapai suatu pemecahan
yang wajar.
Oleh
karena itu, Indonesia dan Australia seharusnya menerapkan Garis Tengah
(Median Line) di perbatasan perairan di Laut Timor sesuai ketentuan yang
telah diatur dalam Pasal 308 UNCLOS 1982 yang telah ditandatangani oleh
119 negara di Teluk Montego, Jamaika pada 10 Desember 1982 telah
berlaku dan mengikat semua negara yang menandatanganinya terhitung sejak
16 November 1994. (*)
[2]. ZEE RI-Australia Harus Gunakan
Garis Tengah (Timor Express, 8 Maret 2012: 4)
SENANGmembaca berita di media ini berjudul: “Landas Kontinen RI-Australia Belum Disepakati”
yang merupakan rangkuman`berita dari Seminar Nasional Perbatasan Negara
di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta (Kamis, 1/3) bertajuk: “Mewujudkan
Wilayah Perbatasan Menjadi Halaman Depan RI” (Timor Express,
Senin, 5 Maret 2012: 7). Dalam seminar nasional ini terungkap untuk
batas laut, khususnya, terdapat tiga segmen batas laut teritorial, batas
landas kontinen maupun batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang belum
selesai adalah RI-India, RI-Filipina, RI-Thailand, RI-Palau, RI-Timor
Leste dan RI-Australia. Tulisan ini fokus pada perbatasan ZEERI-Australia di Laut Timor.
Pokok Permasalahan di Laut Timor
Laut Timor yang berbatasanantara RI-Australia memiliki dua masalah pokok yang sangat merugikan orang Timor dan orang Rote di NTT. Pertama, Celah Timor (Timor Gap) dan kedua, Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) dengan “MoU Box”. Kedua masalah ini timbul sebagai akibat adanya Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU)
yang dibuat oleh Pemerintah Otoritarianisme RI (Orde Baru) dan
Pemerintah Australia pada tanggal 7 November 1974. Lahirnya MoU ini
memperkuat Australia untuk mengklaim batasnya dengan Laut Timor terlalu
jauh memasuki bibir pantai Pulau Timor. Sehingga menyebabkan 70%
kandungan isi Laut Timor menjadi milik Australia. Kerugian besar ini
menimpa semua warga negara Indonesia yang mendiami Kabupaten Kupang,
Kota Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Belu serta
Rote Ndao. Namun, MoU 1974 antara RI-Australia yang telah dibuat pada
tanggal 7 November 1974 bukanlah sebuah perjanjian tentang batas
kedaulatan RI-Australia, melainkan hanya sebuah MoU biasa yang mencoba
mengatur tentang hak-hak nelayan tradisional Indonesia yang beraktivitas
di Laut Timor sejak 450 tahun silam jauh sebelum Australia terbentuk
menjadi negara Federal.
Tahap-tahap Perundingan RI-Australia
Sejarah
mencatat, perundingan bilateral RI-Australia terkait Laut Timor,
terdiri dari lima tahap. Tahap pertama, isi nota kesepahaman atau MoU
antara RI-Australia pada tahun 1974 mengenai Memorandum of
Understanding between the Government of Australia and the Government of
the Republic of Indonesia Regarding the Operations of Indonesian
Traditional Fishermen in Areas of the Australia Exclusive Fishing Zone
and ContinentalShelf”, atau yang dikenal MoU Box
1974–mengatur tentang hak dan kewajiban nelayan tradisional, ketentuan
penangkapan ikan, dan ketentuan lainnya di Gugusan Pulau Pasir pada
tahun 1974.
Kedua, pada tahun 1981 RI-Australia menghasilkan: “Memorandum
of Understanding between the Republic of Indonesia and the Government
of Australia Concerning the Implementation of Provisional Fisherries
Surveillance and Enforcement Arrangement” atau yang disebut
kesepahaman sementara antara kedua negara dalam implementasi pengawasan
daerah perikanan dan tindak lanjut dari perjanjian 1974. Dan ketiga,
pada tanggal 2 Maret 1989 para pejabat yaitu Menteri Luar Negeri RI Ali
Alatas dan Senator Luar Negeri Australia Gareth Evans mendiskusikan dan
membahas tentang aktivitas kapal dan nelayan RI di daerah perikanan
Australia (Australian Fishing Zone: AFZ) mulai dari Pantai Barat Australia sampai pada Laut Arafura serta kawasan perairan antara Pulau Jawa dan Pulau Christmas.
Tahapan keempat, pada tahun 1989 Pemerintah RI-Australiamenghasilkan lagi kesepakatan “Agreed Minutes of Meeting Between Officials of Australia and Indonesia on Fisheries”
atau yang disebut kesepakatan pertemuan yang disetujui antara pejabat
Australia dan Indonesia pada daerah perikanan pada tanggal 28 April
1989. Dan tahapan terakhir, pada tanggal 14 Maret 1997 di Perth,
Australia dilaksanakan perjajian kesepakatan tentang penetapan batas ZEE
dan batas-batas laut tertentu serta tidak mengurangi hak tradisional
nelayan Pulau Rote untuk menangkap ikan di Gugusan Pulau Pasir.
Perjanjian Perth 1997 ini yang dikenal dengan Perjanjian Kerjasama
RI-Australia tentang ZEE dan batas-batas dasar laut tertentu di Laut
Timor dan Laut Arafura, tercakup pula didalamnya Gugusan Pulau Pasir
hingga saat ini belum diratifikasi. Perjanjian yang hanya berisi 11
pasal tersebut dengan jelas menyatakan (Pasal 11) bahwa: “Perjanjian ini
harus diratifikasi dan akan mulai berlaku pada tanggal pertukaran
piagam-piagam ratifikasi”, akan tetapi Indonesia sendiri belum
meratifikasi perjanjian ini dalam hukum internalnya, sehingga perjanjian
ini secara praktis belum berlaku.
RI Perlu Perjuangkan Garis Tengah
Australia
telah mengumumkan pada tanggal 1 November 1979 diberlakukannya Zona
Perikanan Australia (AFZ) yang batas terluarnya 200 mil dari garis dasar
Laut Teritorial Australia yang diukur berdasarkan garis air surut (normal baselines) di sepanjang pantainya yang luas seluruh AFZ sekitar 7 juta km2.
Garis Batas Terluar AFZ ini menghubungkan sebanyak 750 titik pangkal
yang berada di sekeliling benua Australia, 58 buah dari titik pangkal
tersebut (Titik No. 91–148), terdapat beberapa bagian yang tumpang
tindih dengan ZEE RI. Misalnya, Titik No. 138–148 tumpang tindih dengan
Titik A. 12 sampai ke A.3.Dan
mulai dari Titik 138 (A.12) mulai membelok ke Barat Daya (sebelah
Selatan Pulau Rote milik Indonesia) dimana terdapat Pulau Pasir (Ashmore
dan Cartier) milik Australia serta beberapa pulau karang lainnya di
sebelah Selatannya sampai ke Titik No. 91 yang berada di di sebelah
Selatan Pulau Jawa, dekat Christmas Island. Untuk mengatasi
tumpang tindih ZEE kedua negara, maka RI perlu merundingkan kembali
kerja sama bilateral tentang perbatasan perairan di wilayah yang tumpang
tindih tersebut di atas.
Dalam
UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Pasal 3
dapat juga dijadikan dasar perjuangan RI seperti terkutip: (1) Apabila
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan zona eksklusif
negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan
Indonesia, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara
tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dan
negara yang bersangkutan; (2) Selama persetujuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) belum ada dan tidak terdapat keadaan-keadaan khusus yang
perlu dipertimbangkan, maka batas zona ekonomi eksklusif antara
Indonesia dengan negara tersebut adalah garis tengah atau garis sama
jarak antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titik-titik
terluar negara tersebut, kecuali jika dengan negara tersebut telah
tercapai persetujuan tentang pengaturan sementara yang berkaitan dengan
batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia termaksud. Dalam Penjelasan untuk
ayat 2, terbaca: Pasal ini memberikan ketentuan bahwa prinsip sama
jarak digunakan untuk menetapkan batas zona ekonomi eksklusif antara
Indonesia dengan negara tetangga, kecuali jika terdapat keadan-keadaan
khusus yang perlu dipertimbangkan sehingga tidak merugikan kepentingan
nasional“.
Singkatnya, RI perlu perjuangkan Garis Tengah (Median Line) di Laut Timor sesuai ketentuan yang diatur juga dalam Pasal 308 dari Konvensi Hukum Laut PBB (The United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS)
tahun 1982 yang telah ditandatangani oleh 119 negara di Teluk Montego,
Jamaika pada 10 Desember 1982, telah berlaku dan mengikat semua negara
yang menandatanganinya terhitung sejak 16 November 1994.***
[3]. Urgensi Perjuangan ‘Median Line’
di Laut Timor“(Victory News, Selasa, 3 Juli 2012: 4)
BERITA di media ini berjudul: “RI Harus Tuntaskan Batas Laut dengan Australia dan Timor Leste”, berisi pandangan dari pengamat hukum internasional dari Universitas Cendana (Undana) Kupang,Wilhelmus
Wetan Songa bahwa Indonesia harus proaktif menuntaskan persoalan batas
wilayah laut dengan Australia dan Timor Leste. Khusus batas laut antara
RI-Timor Leste, menurut Komandan Pangkalan Utama TNI AL (Danlantamal)
VII/Kupang, Laksma (TNI) Karma Suta, penentuan batas wilayah laut antara
Indonesia dengan Timor Leste masih menunggu finalisasi batas wilayah
darat yang sedang dalam tahap perundingan dan yang menjadi rujukan
penetapan batas wilayah laut adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) (Victory News,
Selasa, 26 Juni 2012: 3). Akibatnya, tulisan ini lebih menitik-beratkan
pada solusi untuk batas wilayah laut antara RI-Australia (RI-OZ) di
Laut Timor yang telah memakan banyak korban dari nelayan Indonesia yang
ditangkap oleh patroli keamanan Australia dan bahkan banyak diantara
mereka yang kini masih mendekam di penjara-penjara di Australia dengan
tuduhan memasuki perairan laut Australia secara ilegal.
Laut Timor
Laut Timor yang berbatasanantara RI-OZ memiliki dua masalah pokok yang sangat merugikan orang Timor dan orang Rote di NTT. Pertama, Celah Timor (Timor Gap).Kedua, Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) dengan “MoU Box”. Kedua masalah ini timbul sebagai akibat adanya Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU)
yang dibuat oleh Pemerintah Otoritarianisme RI (Orde Baru) dan
Pemerintah Australia pada tanggal 7 November 1974. Lahirnya MoU ini
memperkuat Australia untuk mengklaim batasnya dengan Laut Timor terlalu
jauh memasuki bibir pantai Pulau Timor. Sehingga menyebabkan 70%
kandungan isi Laut Timor menjadi milik Australia. Kerugian besar ini
menimpa semua warga negara Indonesia yang mendiami daratan Timor di
Kabupaten Kupang, Kota Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara
dan Belu serta Rote Ndao. Namun, MoU 1974 antara RI-OZ yang telah dibuat
pada tanggal 7 November 1974 bukanlah sebuah perjanjian tentang batas
kedaulatan RI-OZ, melainkan hanya sebuah MoU biasa yang mencoba mengatur
tentang hak-hak nelayan tradisional Indonesia yang beraktivitas di Laut
Timor sejak 450 tahun silam jauh sebelum Australia terbentuk menjadi
negara Federal.
Tahap-tahap Perundingan RI-OZ
Sejarah
mencatat, perundingan bilateral RI-OZ terkait Laut Timor, terdiri dari
lima tahap. Tahap pertama, isi nota kesepahaman atau MoU antara RI-OZ
pada tahun 1974 mengenai Memorandum of Understanding between the
Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia
Regarding the Operations of Indonesian Traditional Fishermen in Areas of
the Australia Exclusive Fishing Zone and ContinentalShelf”,
atau yang dikenal MoU Box 1974 – mengatur tentang hak dan kewajiban
nelayan tradisional, ketentuan penangkapan ikan, dan ketentuan lainnya
di Gugusan Pulau Pasir pada tahun 1974.
Kedua, pada tahun 1981 RI-OZ menghasilkan: “Memorandum
of Understanding between the Republic of Indonesia and the Government
of Australia Concerning the Implementation of Provisional Fisherries
Surveillance and Enforcement Arrangement” atau yang disebut
kesepahaman sementara antara kedua negara dalam implementasi pengawasan
daerah perikanan dan tindak lanjut dari perjanjian 1974. Dan ketiga,
pada tanggal 2 Maret 1989 para pejabat yaitu Menteri Luar Negeri RI Ali
Alatas dan Senator Luar Negeri Australia Gareth Evans mendiskusikan dan
membahas tentang aktivitas kapal dan nelayan RI di daerah perikanan
Australia (Australian Fishing Zone: AFZ) mulai dari Pantai Barat Australia sampai pada Laut Arafura serta kawasan perairan antara Pulau Jawa dan Pulau Christmas.
Tahapan keempat, pada tahun 1989 Pemerintah RI-OZ menghasilkan lagi kesepakatan “Agreed Minutes of Meeting Between Officials of Australia and Indonesia on Fisheries”
atau yang disebut kesepakatan pertemuan yang disetujui antara pejabat
Australia dan Indonesia pada daerah perikanan pada tanggal 28 April
1989. Dan tahapan terakhir, pada tanggal 14 Maret 1997 di Perth,
Australia dilaksanakan perjajian kesepakatan tentang penetapan batas ZEE
dan batas-batas laut tertentu serta tidak mengurangi hak tradisional
nelayan Pulau Rote untuk menangkap ikan di Gugusan Pulau Pasir.
Perjanjian Perth 1997 ini yang dikenal dengan Perjanjian Kerjasama RI-OZ
tentang ZEE dan batas-batas dasar laut tertentu di Laut Timor dan Laut
Arafura, tercakup pula didalamnya Gugusan Pulau Pasir hingga saat ini
belum diratifikasi. Perjanjian yang hanya berisi 11 pasal tersebut
dengan jelas menyatakan (Pasal 11) bahwa: “Perjanjian ini harus
diratifikasi dan akan mulai berlaku pada tanggal pertukaran
piagam-piagam ratifikasi”, akan tetapi Indonesia sendiri belum
meratifikasi perjanjian ini dalam hukum internalnya, sehingga perjanjian
ini secara praktis belum berlaku.
RI Perlu Perjuangkan Garis Tengah di Laut Timor
Australia
telah mengumumkan pada tanggal 1 November 1979 diberlakukannya Zona
Perikanan Australia (AFZ) yang batas terluarnya 200 mil dari garis dasar
Laut Teritorial Australia yang diukur berdasarkan garis air surut (normal baselines) di sepanjang pantainya yang luas seluruh AFZ sekitar 7 juta km2.
Garis Batas Terluar AFZ ini menghubungkan sebanyak 750 titik pangkal
yang berada di sekeliling benua Australia, 58 buah dari titik pangkal
tersebut (Titik No. 91 – 148), terdapat beberapa bagian yang tumpang
tindih dengan ZEE RI. Misalnya, Titik No. 138 – 148 tumpang tindih
dengan Titik A. 12 sampai ke A.3.Dan
mulai dari Titik 138 (A.12) mulai membelok ke Barat Daya (sebelah
Selatan Pulau Rote milik Indonesia) dimana terdapat Pulau Pasir (Ashmore dan Cartier)
milik Australia serta beberapa pulau karang lainnya di sebelah
Selatannya sampai ke Titik No. 91 yang berada di di sebelah Selatan
Pulau Jawa, dekat Christmas Island. Untuk mengatasi tumpang
tindih ZEE kedua negara, maka RI perlu merundingkan kembali kerja sama
bilateral tentang perbatasan perairan di wilayah laut yang tumpang
tindih tersebut di atas.
Dalam
UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI),
Pasal 3 dapat juga dijadikan dasar perjuangan RI seperti terkutip: (1)
Apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan zona
eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau
berdampingan dengan Indonesia, maka batas zona ekonomi eksklusif antara
Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara
Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan; (2) Selama persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ada dan tidak terdapat
keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan, maka batas zona
ekonomi eksklusif antara Indonesia dengan negara tersebut adalah garis
tengah atau garis sama jarak antara garis-garis pangkal laut wilayah
Indonesia atau titik-titik terluar negara tersebut, kecuali jika dengan
negara tersebut telah tercapai persetujuan tentang pengaturan sementara
yang berkaitan dengan batas ZEEI termaksud. Dalam Penjelasan untuk ayat
2, terbaca: Pasal ini memberikan ketentuan bahwa prinsip sama jarak
digunakan untuk menetapkan batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia
dengan negara tetangga, kecuali jika terdapat keadan-keadaan khusus
yang perlu dipertimbangkan sehingga tidak merugikan kepentingan
nasional“.
Singkatnya, RI perlu perjuangkan Garis Tengah (Median Line) di Laut Timor antara RI-OZ sesuai Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEEI dan Pasal 308 dari Konvensi Hukum Laut PBB (The United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS)
tahun 1982 yang telah ditandatangani oleh 119 negara di Teluk Montego,
Jamaika pada 10 Desember 1982 serta telah berlaku dan mengikat semua
negara yang menandatanganinya terhitung sejak 16 November 1994.***
KESIMPULAN
RI perlu perjuangkan Garis Tengah (Median Line) di Laut Timor antara RI-OZ sesuai Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEEI dan Pasal 308 dari Konvensi Hukum Laut PBB (The United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS)
tahun 1982 yang telah ditandatangani oleh 119 negara di Teluk Montego,
Jamaika pada 10 Desember 1982 serta telah berlaku dan mengikat semua
negara yang menandatanganinya terhitung sejak 16 November 1994.Dalam
UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI),
Pasal 3 dapat juga dijadikan dasar perjuangan RI seperti terkutip: (1)
Apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan zona
eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau
berdampingan dengan Indonesia, maka batas zona ekonomi eksklusif antara
Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara
Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan; (2) Selama persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ada dan tidak terdapat
keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan, maka batas zona
ekonomi eksklusif antara Indonesia dengan negara tersebut adalah garis
tengah atau garis sama jarak antara garis-garis pangkal laut wilayah
Indonesia atau titik-titik terluar negara tersebut, kecuali jika dengan
negara tersebut telah tercapai persetujuan tentang pengaturan sementara
yang berkaitan dengan batas ZEEI termaksud. Dalam Penjelasan untuk ayat
2, terbaca: Pasal ini memberikan ketentuan bahwa prinsip sama jarak
digunakan untuk menetapkan batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia
dengan negara tetangga, kecuali jika terdapat keadan-keadaan khusus
yang perlu dipertimbangkan sehingga tidak merugikan kepentingan
nasional“.
DAFTAR PUSTAKA
*) Guru Besar di Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
http://m.kompasiana.com/post/read/681641/3/pokok-pokok-pikiran-prof-yusuf-l-henuk-kepada-presidenwakil-presiden-ri-terkait-permasalahan-pokok-laut-timor-yang-menguntungkan-australia-tapi-merugikan-masyarakat-nusa-tenggara-timur.html
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.