Sengketa Soal Celah Timor dan Pulau Pasir,
Australia jangan Kekanak-kanakan
Kupang-RoL--Ketua Pokja Celah Timor dan Pulau Pasir (Ashmore Reef), Ferdi Tanoni mengharapkan Australia tidak bertindak "kekanak-kanakan" dengan mengeluarkan
kebijaksanaan sepihak untuk melindungi kepentingannya di Celah Timor. Sebab, awal tahun 2003 ini, Australia seperti "dikejar setan" dalam mengeluarkan kebijaksanaan, baik persetujuan bagi hasil di Celah Timor dengan Negara Timor-Timur maupun kebijaksanaan menutup kawasan Pulau Pasir (Ashmore Reef) dari semua kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Indonesia.
Hal itu dikemukakan Ferdi Tanoni, di Kupang, Minggu, menanggapi berbagai
kebijaksanaan Australia terhadap kawasan Celah Timor hingga ke Pulau Pasir yang dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan negara yang berbatasan, terutama Indonesia. Pemerintah Australia, kata Tanoni telah mengumumkan kebijaksanaannya bahwa mulai 3 Juli 2003 menutup kawasan gugusan Pulau Pasir dari semua kegiatan penangkapan ikan nelayan tradisional Indonesia dengan alasan pelestarian lingkungan. Kebijaksanaan itu sepihak sehingga menimbulkan reaksi protes dari Indonesia sebab negara tetangga yang sangat berkepentingan dengan nasib para nelayan tradisional yakni Indonesia tidak diajak berunding. Gugusan Pulau Pasir terletak di Samudera India dengan jarak hanya 60 mil laut dari Pulau Rote, Kabupaten Rote-Ndao, Nusa Tenggara Timur.
Sedangkan jarak terdekat dengan Australia yakni Darwin mencapai 500 mil laut. Dan
Australia yang mengklaim bahwa Pulau Pasir itu adalah miliknya. Mengacu pada ketentuan internasional tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 200 mil laut, Pulau Pasir masuk dalam wilayah Indonesia. Namun, bila Australia tetap ngotot mengklaim pulau tersebut sebagai miliknya, maka Pulau Pasir masuk dalam wilayah tumpang tindih dua negara Australia dan Indonesia.
Bila itu yang terjadi, maka Australia tidak boleh secara sepihak menerapkan
kebijaksanaan di kawasan gugusan Pulau Pasir, melainkan seluruh kebijaksanaannya harus melalui pembicaraan dua negara Australia-Indonesia, karena wilayah itu harus dikelola secara bersama. Sebab, selama ini kawasan gugusan Pulau Pasir merupakan tempat nelayan tradisional Indonesia menangkap ikan, teripang dan biota laut bernilai ekonomi tinggi lainnya.
Menurut Tanoni, Australia sangat melindungi Pulau Pasir dengan
menetapkannya sebagai Taman Nasional kemudian Juli mendatang menutup
kawasan tersebut, bukan karena kawasan itu adalah wilayah konservasi dan harus melindungi biota laut dan darat dari kepunahan. Itu hanya alasan yang dicari-cari untuk pembenaran dari kebijaksanaan mereka, namun yang utama sebenarnya adalah berusaha mempertahankan Pulau Pasir sebagai miliknya untuk melindungi "keserakahan" mereka memiliki dan menguasai potensi minyak bumi di kawasan Celah Timor, termasuk kawasan perairan di gugusan Pulau Pasir. Jadi merupakan kebohongan besar mengatasnamakan konservasi atau pelestarian lingkungan lalu menutup kawasan Pulau Pasir, sebab dibalik itu semua sebenarnya adalah keserakahan menguasai minyak bumi, kata Tanoni.
Agar Celah Timor dan Pulau Pasir tidak berkembang menjadi
permasalahan internasional yang rumit, maka sangat layak bila Australia membuka
diri untuk meninjau kembali perjanjian Celah Timor dan menentukan batas melalui cara yang paling adil yakni pola garis tengah (middle line). Setelah itu, perjanjian bagi hasil atas kekayaan di Celah Timor dibicarakan kembali dengan negara berbatasan Australia-Indonesia-Timtim, sebab di Celah Timor ada hak dan kepentingan masyarakat Timor bagain barat NTT yang juga secara adat adalah pemilik Laut Timor, sebab menyentuh langsung kawasan Pulau Timor secara umum. Ferdi Tanoni mengingatkan Australia, bahwa Pulau Pasir bila nanti berkembang menjadi pulau yang diperebutkan antara Australia dan Indonesia, maka hal itu tidak akan sama kasusnya dengan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia-Malaysia. Sebab, bukti apapun yang dimajukan ke Mahkamah Internasional nanti, Indonesia memiliki peluang besar memenangkan, sebab bila menggunkan ketentuan ZEE atau garis tengah maka Pulau tersebut masuk dalam wilayah Indonesia, serta didukung fakta sejarah dan bukti-bukti yang ada di Pulau Pasir serta peta Hindia Belanda.
(9.36A). PULAU PASIR BELUM SAH MENJADI MILIK AUSTRALIA
Tanggal: Senin, 18 Desember 2006
Topik: Berita Umum
Kupang, 18/12 (ANTARA) - Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup dan Sumber
Daya Alam Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Ir Yusuf Leonard Henuk, M.Rur.Sc.Ph.D mengatakan, Indonesia masih bisa memperdebatkan status Pulau Pasir di tingkat Mahkamah Internasional, karena gugusan pulau tersebut belum sah menjadi milik Australia. Dari segi hukum internasional, kata Henuk di Kupang, Senin, kepemilikan Australia atas pulau seluas 583 km2 itu diwariskan oleh Inggris yang melakukan "klaim sepihak oleh Kapten Semuel Ashmore pada 1878" dan menetapkan wilayah itu sebagai koloninya. "Namun, perlu dicatat bahwa nelayan tradisional Indonesia asal Pulau Rote dan wilayah lainnya di negeri ini telah mengolah dan melakukan aktivitas secara terus-menerus di Pulau Pasir hingga saat ini sejak 500 tahun yang lampau sebelum kedatangan para penjajah di Bumi Nusantara," katanya menegaskan.
Ia mengemukakan hal ini berkaitan dengan "surat protes" dari Direktur Jenderal
Hukum dan Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri, Eddy Pratomo atas pernyataannya di media massa beberapa waktu lalu yang menyebut Pulau Pasir adalah milik sah orang Rote. Pulau Pasir yang terletak sekitar 320 km di sebelah utara pantai barat Australia dan 140 km di sebelah selatan Pulau Rote, kerap memunculkan anggapan di sebagian kecil kalangan masyarakat bahwa Indonesia lebih berhak atas pulau tersebut jika dilihat dari kedekatan geografis (geographical proximity) maupun klaim historis. Henuk menjelaskan, dari segi hukum internasional, kepemilikan Australia atas Pulau Pasir itu masih bisa diperdebatkan Indonesia di tingkat Mahkamah Internasional, karena Inggris memasukan pulau itu ke dalam wilayah otorita "Commonwelath of Australia" melalui "Ashmore and Charter Acceptance Act 1933".
Pada 1942, jelasnya, wilayah tersebut berada di bawah administrasi Negara Bagian
Australia Barat yang kemudian menjadi Northern Territory hingga 1978. Setelah 1978, wilayah tersebut dinyatakan sebagai bagian dari yuridiksi langsung Negara Federal Australia. Ia menambahkan, nelayan tradisional Indonesia sendiri baru mulai mengenai Pulau Pasir pada pertengahan abad ke-18, sekitar 1742 dan 1750, yang menurut arsip pemerintah Belanda, penduduk lokal Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT) secara tidak sengaja menemukan Pulau Pasir pada 1729 yang digunakan sebagai tempat bersandar untuk mengambil air tawar atau pada saat keadaan darurat.
Nelayan tradisional Indonesia sendiri, kata Henuk, diperkirakan telah mengenal Pulau Pasir itu pada zaman "Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC)" ketika tiba di
Pulau Timor pada 1602. Menurut catatan arsip Belanda, pada akhir 1750-an pengumpulan teripang dan biota laut lainnya dari gugusan Pulau Pasir telah diatur oleh VOC yang terlibat secara aktif. Banyak perahu dari Makassar yang tiba di wilayah Pulau Timor dengan membawa serta kelengkapan surat-surat izin resmi dari Belanda yang memperbolehkan mereka mengumpulkan teripang dan biota laut lainnya tanpa rintangan di gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) . "Kenyataan ini juga membuktikan bahwa gugusan Pulau Pasir merupakan wilayah jajahan Belanda yang seharusnya diwariskan kepada Indonesia," katanya dan menambahkan, Belanda sendiri tidak pernah mempermasalahkan kegiatan Inggris di Pulau Pasir sejak abad ke-18 atau mempersengketakan status kepemilikan Pulau Pasir.
Oleh karena itu, Indonesia yang mewarisi wilayah yang dulu dikuasai Belanda,
dan Australia yang mewarisi wilayah yang dulu dikuasai Inggris juga tidak pernah
mempunyai sengketa kedaulatan atas Pulau Pasir (Ashmote Reef) .
"Di sinilah titik temu kita bahwa sudah seharusnya kita Bangsa Indonesia berhak
untuk mempertanyakan kepada Belanda, Inggris dan Australia tentang fakta-fakta
sejarah tersebut, jika perlu di bawa ke Mahkamah Internasional untuk diselesaikan," katanya. Ia menambahkan, sudah sangat jelas bahwa gugusa Pulau Pasir pernah diregulasi oleh penjajah Belanda sehingga sama artinya bahwa wilayah tersebut harus diwariskan kepada Indonesia, bukan kepada Inggris apalagi Australia.
Sumber : Antara
Penulis : Drs.Simon Aenold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.