Para Sesepu Asal Pulau Rote
Di Tingkat Nasional
Selain
nama-nama Tokoh tersebut diatas terdapat beberapa penjuang dan nama-nama
Tokoh bertingkat nasional maupun
internasiaonal yang berasal dari pulau
Rote anatara lain seperti :
Prof.Dr.Ir. H.Johannes Rektor
Universitas Gajah Mada Yogyakarta), Prof.Dr.W.Z.Johannes (Presiden Universitas Indonesia di Jakarta), Laks.Madya
Laut, Samuel Moeda (Peristiwa
Macan Tutul, Irian Barat dimana tewasnya Yos Sudarso), Drs.Alex Sereh (ex.Direktur BI), Prof.DR.Adrianus Mooy (ex.Gubernur
BI), Let.Jen.Julius Henuhili
(ex.Gubernur Akabri), Drs.E.C.W.Neloe
(Presiden Direktur Dan CEO PT.Bank Mandiri) Gerson Poyk
(Budayawan/Sastrawan/ Wartawan Sinar Harapan, kini ganti nama Suara
Pembaruan) Ries Therik (Penulis
Sastra) dan dibidang tarik suara dan pencipta lagu yang cukup populer dengan lagu-lagunya seperti “Hati Yang
Luka”,”Rote-Ndao” dll ialah OBI Mesakh dan lain-lain, yang
tidak dapat disebutkan satu persatu disini.
Gerson Poyk sebagai sastrawan ia
menulis sebanyak lebih dari 20 puisi
di tahun l950-an yang dimuat
diberbagai majalah sastra waktu itu.
Menurut para pakar Luar
Negeri, Gerson Poyk
adalah penyair
besar di Indonesia bagian timur, dan Pasifik Selatan. Ia berasal dari
E’ahun di Kerajaan Ringgou, Kecamatan Rote Timur, Pulau Rote, NTT, dan pernah
menjadi guru SMP di Bima, pulau Sumbawa NTB. Cerpen-cerpennya diakui oleh luar
negeri dan di terjemahkan dalam bahasa Jerman.
Cerpennya yang sangat manusiawi
itu biasa ditemukan dalam liku-liku
kehidupan. Cerpen Gerson Poyk adalah
surealistik, namun menyentuh. Dalam hal
menulis cerpen (cerita pendek), nampak Gerson pintar meramu seakan-akan suatu
peristiwa yang realistis. Ia banyak menulis tentang pengalamannya dalam
penggembaraannya dari satu tempat ke tempat lain; dan terkadang cerpennya hanya
imajinasi.
Pada tahun l989 Gerson menerima penghargaan tingkat
Asean. Dari pengalaman sebagai penulis
lebih dari 40 tahun itu, nama
Gerson termasuk karyanya, cukup dikenal
diberbagai mancanegara. Ini dibuktikan dengan dari hasil terjemahan
cerpen-cerpennya yang sudah beredar dalam bahasa Jepang, Jerman, Belanda, dan
Inggris.
Disamping itu cerpen Gerson
dijadikan bahan studi oleh peneliti muda dari Jerman, Thomas Zschocke, dan sebagai
tesis bagi mahasiswa untuk menempuh ujian S-3.
Agaknya “ilmu” yang
dimiliki Gerson ini ingin diwariskan kepada generasi muda melalui sebuah
sekolah mengarang dan seni drama di sanggarnya di bilangan Depok, Bogor. Ia
menjelaskan, salah satu persyaratan siswanya, adalah mereka yang nantinya mau
bermukim di daerah transmigrasi untuk jadi pengarang di sana. (Suara Karya/Susiana, Jakarta,
l9-l0-l981).
Residen A. S.
Pello, Putra asal Pulau Rote
Residen
Sunda Kecil berkedudukan di Singaraja –
Bali tahun 1950-1960-an
Wakil Gubernur Koordinator
Pemerintahan Propinsi Nusa Tenggara
Atas nama Menteri Dalam Negeri
Meresmikan Propinsi Nusa Tenggara Timur pada tanggal 20 Desember 1958 (Sumber :
Internet) 558
Direktur Utama Bank Mandiri (2000)
Lihat Curriculum Vitae (CV) ECW Neloe
RUPS juga
menerima laporan keuangan Bank Mandiri.dan memberikan "Acquit et de
Charge" (pembebasan tanggung jawab sepenuhnya) kepada direksi atau
komisaris atas tindakan pengurusan dan pengawasan yang telah dijalankan selama
tahun buku yang berakhir pada 31 Desember 2004.
Dia, Eduardus Cornelis William (ECW) Neloe,
adalah bankir senior yang merintis karir betul-betul dari bawah. Berawal sebagai
tenaga pembukuan tahun 1966 sampai
menjabat direksi (1991-1998) di Bank
Dagang Negara (BDN). Kemudian dia dilantik (tahun 2000) jadi Direktur Utama Bank Mandiri, bank terbesar di Indonesia.
Selama memimpin Bank Mandiri, dia telah meraih beberapa penghargaan. Dia
berobsesi menjadikan Bank Mandiri sebagai bank universal (universal banking).
Karir
lulusan sarjana administrasi niaga dari Universitas Krisnadwipayana, Jakarta
tahun 1966, ini menemukan arah yang tepat dimulai dari pertemuan manisnya
dengan Moeljoto Djojomartono, yang ketika itu sedang memimpin BDN. Tak
disangka, Moeljoto pria pekerja keras yang akomodatif, ini mengarahkannya
sampai menjadi direksi BDN berselang 25
tahun kemudian.
Sejak
tahun 2000 Neloe menggantikan Robby Johan memimpin Bank Mandiri, hasil mega
merger empat bank pelat merah yaitu BDN, Bank Exim, Bapindo dan BTN. Dengan
merger Bank Mandiri tercacat memiliki total aset Rp 262 trilyun (26,5 miliar
dolar AS), berpendapatan bersih Rp 1,17 trilyun (119 juta dolar AS), dan dengan
ROE (return on equity) 38,09 persen. Angka-angka itu menempatkan Bank Mandiri
sebagai bank terbesar di tanah air. Meraih berbagai penghargaan bergengsi lokal
maupun internasional selama dipimpin oleh ECW Neloe, terjadi karena Bank
Mandiri memiliki kinerja yang menggembirakan. Padahal usia bank baru empat
tahun dan masih dalam suasana krisis multidimensi yang belum pulih.
Sebelum
diplot menjadi Direktur utama, Neloe sempat terlebih
dahulu diminta membenahi krisis keuangan PT Chandra Asri Petrochemical Center (CAPC).
Padahal, karir Neloe sebelumnya didominasi sebagai eksekutif handal bank di
BDN. Selama delapan tahun antara 1991 hingga 1998 dia adalah
Direktur
BDN. Lalu, antara tahun 1987 hingga 1990 ditugaskan sebagai chief
representative
BDN di Hong Kong dan Managing Director Staco International Finance Limited,
juga di Hongkong. Di sela-sela tugas eksekutif tersebut Neloe masih
menyempatkan diri mengikuti berbagai kursus perbankan dan manajemen. Seperti,
mengikuti East Asian Leadership, di Harvard University, Boston, AS tahun 1995,
dan the Pasific Rim Bankers Program, di University of Washington, Seatle, AS
tahun 1990.
Kini, pria ramah dengan empat orang anak ini
berniat menjadikan Bank Mandiri sebagai bank universal atau universal banking.
Dia sedang aktif melakukan transformasi secara bertahap menuju universal
banking. Caranya, mempertahankan sekaligus memperkuat segmen perbankan
korporasi, demikian pula melakukan penguatan dan pengokohan terhadap segmen
perbankan komersil dan ritel. Disebutkan oleh Neloe, Bank Mandiri terus
mengembangkan produk dan pelayanan, serta memperkuat fondasi teknologi
informasi dan jaringan distribusi sebagai bagian dari strategi perusahaan untuk
meningkatkan posisi sebagai bank universal di Indonesia.
Modal
dasar untuk mencapai posisi yang diinginkan itu tidaklah terlampau sulit.
Sebagai misal, kini Bank Mandiri didukung tak kurang oleh 17.572 karyawan, serta memiliki 682 kantor cabang berikut empat
kantor cabang dan anak perusahaan di luar negeri. Untuk melayani 6,7 juta
nasabah, jaringan distribusi semakin diperluas dengan kehadiran 1.235 mesin
ATMandiri, itupun masih diperkuat oleh dari 4.000 lebih mesin ATM Link yang
dapat dipergunakan secara bersama oleh bank-bank berpelat merah.
Pondasi teknologi informasi yang dikembangkan Neloe salah satu hasilnya adalah
kemudahan melayani nasabah melalui SMS Banking Mandiri. Terobosan yang
mengagumkan ini antara lain menawarkan fitur cek saldo, transfer antar rekening
di Bank Mandiri yang terdaftar, serta notifikasi otomatis melalui pesan singkat
telepon selular (ponsel) SMS. Kelebihan SMS Banking Mandiri ini, kata Neloe,
nasabah tidak perlu mengganti kartu SIM ponsel, bisa menggunakan merek dan
jenis ponsel apa saja, dan berlaku untuk keempat operator yaitu Telkomsel,
Satelindo, Exelcom, dan IM-3.
Sukses memoles Bank Mandiri dengan tangan dingin
tidaklah membuat pria penggemar olahraga ini berpuas diri. Kinerja bank terus
ditingkatkan supaya hasilnya semakin menggembirakan. Menurut catatan Neloe,
sebagai contoh hingga September 2002 bank yang dipimpinnya berhasil meraih laba
bersih Rp 2,79 triliun (310,4 juta dolar AS), naik 32,7 persen dibanding
periode sama September 2001. Peningkatan ini terutama bersumber dari biaya
penyisihan yang lebih rendah dan keuntungan dari penyesuaian nilai pasar portofolio
obligasi pemerintah seiring dengan penurunan suku bunga. Mengakhiri tahun 2002
Neloe memperkirakan laba bersih Bank Mandiri mencapai Rp 4,4 triliun, sebagian
besar masih diperoleh dari pendapatan bunga obligasi rekapitalisasi.
Per September 2002 total aset Bank Mandiri Rp
251,6 triliun, menguasai 23 persen pangsa pasar perbankan, rasio kecukupan
modal (CAR) 29,6 persen, return on asset (ROA) 2,1 persen, dan return on equity
(ROE) 27,5 persen. Sementara non performing loan (NPL) dibandingkan periode
sama September 2001 yang 12,5 persen turun menjadi hanya 9,0 pada September
2002. Masih pada periode sama, kredit yang diberikan mencapai Rp 57,0 triliun
naik 34,1 persen, demikian juga dengan loan to deposit ratio (LDR) meningkat
dari 25,1 persen menjadi 30,9 persen. Tingkat penyisihan penghapusan kredit
yang naik menjadi 142,5 persen merefleksikan kebijakan pencadangan yang
konservatif dan melebihi nilai minimum yang ditetapkan.
Dengan tangan dinginnya ECW Neloe telah berhasil membawa Bank Mandiri terus bertumbuh dan sukses melewati masa-masa sulit
bahkan kini bersiap-siap pula menjadi bank universal. Kisah-kisah sukses itu
membuat Neloe maupun Bank Mandiri kebanjiran penghargaan dari berbagai pihak.
Antara lain, dalam skala internasional Best Bank Awards 2002 dan Best Trade
Finance Bank 2002 keduanya dari majalah Global Finance, New York, penghargaan
Country Awards for Achievement 2002 dari majalah Finance Asia, Hong Kong, Bank
of The Year 2002 dari majalah The Banker, London, serta penghargaan Indonesian
Customer Satisfaction Award (ICSA 2002) sebagai bank yang memperoleh penilaian
tertinggi dibanding dengan bank-bank lain dalam hal penanganan produk deposito.
Finance
Asia mencatat Bank Mandiri adalah bank terbesar Indonesia dengan kinerja yang
kokoh. Penilaian itu didasarkan pada angka total aset yang Rp 262 triliun (26,5
miliar dolar AS), pendapatan bersih Rp 1,17 triliun (119 juta dolar AS), dan
keberhasilan meraih return on equity (ROE) yang mencapai 38,09 persen.
Yang juga
spektakuler adalah keberhasilan Bank Mandiri menerbitkan Eurobond sebesar 125
juta dolar AS, sebuah transaksi pasar modal internasional pertama yang berhasil
oleh badan usaha milik negara Indonesia semenjak krisis ekonomi 1997.
Keberhasilan penerbitan Eurobond itu adalah salah stau bukti kinerja Bank
Mandiri yang diakui oleh pasar internasional. Atas dasar itu Finance Asia
menobatkan Bank Mandiri sebagai Bank Lokal Terbaik 2002 untuk Indonesia. Hal
itu senada dengan komentar Neloe, "Penghargaan ini merupakan bukti dari
hasil kerja keras dan komitmen kami di dalam memperkokoh landasan operasional
yang memberikan hasil yang konsisten."
Sumbangan Bank Mandiri kepada negara juga tidak
kecil. Pada tahun 2001, misalnya, Bank Mandiri memberikan deviden Rp 1,37
trilyun kepada pemerintah, serta menyetor Rp 3 trilyun pajak yang berhasil
dikumpulkan dari bunga simpanan dana masyarakat yang ada di Bank Mandiri.
Sesuai
arah bank universal Neloe mulai pula melirik potensi usaha kecil menengah
(UKM). Bersama Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo),
Neloe sepakat bekerjasama dalam hal penyediaan credit line, pemberian fasilitas
perkreditan, maupun penyediaan jasa-jasa perbankan lainnya. Neloe berharap Bank
Mandiri dapat bekerjasama dengan 1.000 BPR anggota Perbarindo di seluruh Indonesia.
Sebelum kesepakatan itu ditandatangani, Bank Mandiri telah lebih dahulu
memberikan pembiayaan secara langsung kepada 210 BPR dengan plafon Rp 100
miliar.
Kata Neloe, UKM dipilih target perkreditan karena
segmen bisnis ini secara historis mempunyai
kemampuan survival yang lebih kuat menghadapi tekanan krisis. "Hingga saat
ini, dampak krisis ekonomi yang menyebar ke segala aspek masih kita rasakan
sehingga tidak berlebihan bila saat ini merupakan saat yang tepat bagi Bank
Mandiri untuk lebih menggalakkan kegiatannya mendukung UKM tanpa meninggalkan
bisnis lain dalam mewujudkan Bank Mandiri menjadi
universal banking," jelas ECW Neloe yang selalu menaruh perhatian besar
terhadap perkembangan olahraga di tanah air. Dia antara lain pernah menjabat
pengurus KONI Pusat, dan Ketua Umum PB Ikatan Anggar Seluruh Indonesia (IKASI).
Bahkan, dia merelakan kocek Bank Mandiri menjadi sponsor utama Liga Bank
Mandiri yaitu kompetisi liga sepakbola utama Indonesia. ht
***TokohIndonesia DotCom (Ensklopedi Tokoh Indonesia)
Copyright © tokohindonesia.com
Nama
Lengkap : Eduardus Cornelis William Neloe
Tempat
Lahir : Makassar, Sulawesi Selatan
Tanggal
Lahir : Selasa, 7 November 1944
Eduardus Cornelis William Neloe adalah
seorang bankir Indonesia. Pria yang lahir di Makassar, Sulawesi Selatan pada
tanggal 7 November 1944 pada tahun 1968 berhasil menyelesaikan studinya di
Jurusan Manajemen Bisnis Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana. Neloe
mengawali karirnya di dunia perbankan dengan bekerja sebagai tenaga pembukuan
di Bank Dagang Negara. Berkat kerja kerasnya, dia kemudian ditunjuk untuk
menjadi direktur dari tahun 1991 hingga tahun 1998.
Sejak
Bulan Mei 2000, Neloe diminta untuk menggantikan Robby Johan memimpin Bank
Mandiri yang merupakan hasil mega merger empat bank pelat merah yaitu BDN, Bank
Exim, Bapindo dan BTN. Dengan merger Bank Mandiri tercatat memiliki total aset
Rp 262 trilyun (26,5 miliar dolar AS), berpendapatan bersih Rp 1,17 trilyun
(119 juta dolar AS), dan dengan ROE (return on equity) 38,09 persen.
Angka-angka
itu menempatkan Bank Mandiri sebagai bank terbesar di tanah air. Bank Mandiri
sendiri telah meraih berbagai penghargaan bergengsi lokal maupun internasional
selama dipimpin oleh ECW Neloe padahal usia bank baru empat tahun dan masih
dalam suasana krisis multidimensi yang belum pulih. Sebagai pemimpin,
bapak empat orang anak ini ingin menjadikan Bank Mandiri sebagai bank universal
atau universal banking.
Sebelum
ditunjuk untuk menjadi direktur utama, Neloe terlebih dahulu diminta membenahi
krisis keuangan PT Chandra Asri Petrochemical Center (CAPC). Padahal, karir
Neloe sebelumnya didominasi sebagai eksekutif handal bank di BDN. Selama
delapan tahun antara 1991 hingga 1998 dia adalah direktur BDN. Lalu, antara
tahun 1987 hingga 1990 ditugaskan sebagai chief representative BDN di Hong Kong
dan Managing Director Staco International Finance Limited, juga di Hongkong.
Di
sela-sela tugas eksekutif tersebut Neloe masih menyempatkan diri mengikuti
berbagai kursus perbankan dan manajemen. Seperti, mengikuti East Asian
Leadership, di Harvard University, Boston, AS tahun 1995, dan the Pasific Rim
Bankers Program, di University of Washington, Seatle, AS tahun 1990. Pada tahun
2005, Neloe sempat ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi Bank Mandiri yang
merugikan negara Rp 160 miliar. Neloe dihukum 10 tahun penjara oleh Mahkamah
Agung pada 2007 lantaran dianggap bertanggung jawab atas pengucuran kredit
senilai Rp 160 miliar ke PT Cipta Graha Nusantara.
Riset dan
Analisa: Fathimatuz Zahroh
·
Sarjana Administrasi Niaga, Universitas
Krisnadwipayana, tahun 1966
·
Direktur Utama Bank Mandiri 2000
·
PT Chandra Asri Petrochemical Center (2000)
·
Direktur Bank Dagang Negara (1991-1998)
·
Chief representatif BDN dan Managing Director
Staco International Limited, Hong Kong (1987-1990)
·
Staf administrasi pembukuan, BDN (1966)
·
Best Bank Awards 2002, dari majalah Global
Finance, New York
·
Best Trade Finance Bank 2002, dari majalah
Global Finance, New York
·
Country Awards for Achievement 2002, dari
majalah Finance Asia, Hongkong
·
Bank of The Year 2002, dari majalah The
Banker London
·
Indonesian Customer Satisfaction Award (ICSA
2002)
·
Tokoh Pasar Modal 2003 versi majalah Investor
Prof.DR.Ir. Herman Johannes
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Herman
Johannes
|
|
|
|
Presiden
|
|
Didahului oleh
|
|
Digantikan oleh
|
|
|
|
Didahului oleh
|
|
Digantikan oleh
|
|
Informasi pribadi
|
Lahir
|
|
Meninggal
|
|
Kebangsaan
|
|
Prof. Dr.
Ir. Herman Johannes, sering juga ditulis sebagai Herman
Karier
Setelah
lulus dari AMS Salemba di Jakarta tahun 1934, Herman
Johannes melanjutkan pendidikannya ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) pada tahun akademik
1934-1935. Pada bulan Juni 1939, ia sudah lulus tahap candidaat-ingenieur (lulus tingkat III)[1] dan tinggal menyelesaikan tingkat IV -
tahap keinsinyurannya, yang jika lancar dapat ditempuh dalam satu tahun untuk
mencapai gelar civiel-ingenieur - insinyur sipil, namun dengan
jatuhnya Hindia Belanda pada tanggal 8 Maret 1942 THS Bandung ditutup, sehingga
studinya terpaksa terhenti. Tahun 1944 Jepang membuka kembali sekolah ini
dengan nama Bandung Kogyo Daigaku (BKD), setelah proklamasi kemerdekaan
tahun 1945 BKD diubah menjadi Sekolah Tinggi Teknik (STT) Bandung yang kemudian
hijrah ke Yogyakarta menjadi Sekolah Tinggi Teknik Bandung di Yogyakarta di awal tahun 1946.
Sekitar bulan Oktober 1946 Herman Johannes menyelesaikan studinya di STT
Bandung di Yogya yang kemudian menjadi cikal bakal Fakultas Teknik Universitas
Gadjah Mada di mana dia termasuk salah satu perintisnya. Herman Johannes banyak
mengabdikan dirinya kepada kepentingan negara dan bangsanya, terutama rakyat
kecil. Hingga menjelang akhir hayatnya, ia masih melakukan penelitian yang
menghasilkan kompor hemat energi dengan briket arang biomassa.
Keprihatinannya akan tingginya harga minyak bumi, selalu mendorongnya untuk
mencari bahan bakar alternatif yang bisa dipakai secara luas oleh masyarakat.
Herman Johannes pernah meneliti kemungkinan penggunaan lamtoro
gung, nipah, widuri, limbah pertanian,
dan gambut sebagai bahan bakar.
Meski
lebih banyak dikenal sebagai pendidik dan ilmuwan, Herman Johannes tercatat
pernah berkarier di bidangmiliter.[2].
Tanggal 4 November 1946 Herman Johannes menerima Surat Perintah yang
ditadatangani Kapten (Kavaleri) Soerjosoemarno (kemudian menjadi ayah dari Yapto Soerjosoemarno)
yang mengatasnamakan Kepala Staf Umum Kementerian Keamanan Rakyat Letjen Urip
Sumohardjo, yang isinya agar segera hadir dan melapor ke Markas Tertinggi
Tentara di Yogyakarta.
Ternyata Herman Johannes diminta membangun sebuah laboratorium persenjataan
bagi TNI, karena pemerintah Indonesia saat itu sedang mengalami krisis persenjataan.
Permintaan ini diterimanya dengan satu syarat, yakni jika laboratorium itu
sudah bisa berdiri dan berproduksi, maka penanganannya harus dilanjutkan orang
lain sebab Herman Johannes ingin melanjutkan kariernya di bidang pendidikan. Di
bawah pimpinan Herman Johannes, Laboratorium Persenjataan yang terletak di
bangunan Sekolah Menengah Tinggi (SMT) Kotabaru ini selama perang kemerdekaan berhasil
memproduksi bemacam bahan peledak, seperti bom asap dan granat tangan.
Keahlian
Herman Johannes sebagai fisikawan dan kimiawan ternyata berguna untuk memblokade
gerak pasukan Belanda selama clash I dan II. Bulan Desember 1948, Letkol Soeharto sebagai Komandan Resimen XXII TNI yang
membawahi daerah Yogyakarta meminta Herman Johannes memasang bom di jembatan
kereta api Sungai
Progo. Karena ia menguasai teori jembatan saat bersekolah di THS Bandung,
Johannes bisa membantu pasukan Resimen XXII membom jembatan tersebut. Januari
1949, Kolonel GPH Djatikoesoemo meminta Herman Johannes bergabung
dengan pasukanAkademi Militer di
sektor Sub-Wehrkreise 104 Yogyakarta. Dengan markas komando
di Desa Kringinan dekat Candi
Kalasan, lagi-lagi Herman Johannes diminta meledakkan Jembatan Bogem yang membentang di atas Sungai Opak.
Jembatan akhirnya hancur dan satu persatu jembatan antara Yogya-Solo dan Yogya-Kaliurang berhasil dihancurkan Johannes bersama
para taruna Akademi Militer. Aksi gerilya ini melumpuhkan aktivitas pasukan
Belanda sebab mereka harus memutar jauh mengelilingi Gunung
Merapi dan Gunung
Dalam
sebuah makalahnya Herman Johannes pernah mengemukakan bahwa Sri Sultan dan Paku
Alam bersama Komisi PBB
menjemput para gerilyawan masuk kota Yogyakarta pada 29 Juni 1949. Pasukan Akademi
Militer masuk kota dari arah Pengok dan
dijemput langsung Paku Alam VIII, dan Herman Johannes kemudian harus berpisah
dengan teman-teman seperjuangannya utuk kembali ke dunia pendidikan. Jasanya di
dalam perang kemerdekaan membuat Herman Johannes dianugerahi Bintang
Gerilya pada tahun 1958 oleh
Pemerintah RI. Almarhum Herman Johannes mendapat anugerah gelar Pahlawan
Nasional dari Presiden
Yudhoyono dalam rangka peringatan Hari Pahlawan 2009.[3] [4]
Riwayat Hidup
Umum
Herman
Johannes menikah tahun 1955 dengan Annie Marie Gilbertine Amalo (lahir 18 Juni 1927), seorang putri
raja dari wilayah Leli[butuh rujukan] di Pulau Rote. Mereka dikaruniai
empat anak: Christine yang menikah dengan Dr. Wisnu Susetyo, seorang Wakil
Presiden Freeport Indonesia; Henriette yang menikah dengan
Robby Mekka, seorang musikus dan dosen musik di Institut Seni Indonesia; Daniel Johannes
yang bekerja di Schlumberger
Information Solutions; dan Helmi
Johannes, seorang presenter
berita televisi di VOA. Herman Johannes
adalah sepupu Pahlawan Nasional Dr.Wilhelmus Zakaria Johannes. Herman
Johannes meninggal dunia pada 17 Oktober 1992 karena kanker prostat. Meski sebagai
pemegang Bintang Gerilya dan Bintang Mahaputra almarhum berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, namun sesuai amanat
beliau sebelum meninggal, maka keluarganya memakamkannya di Pemakaman Keluarga UGM di Sawitsari, Yogyakarta, bersama
dengan para koleganya sesama pendidik bangsa. Pada tahun 2003, nama Herman
Johannes diabadikan oleh Keluarga Alumni Teknik
Universitas Gadjah Mada (KATGAMA),
atas prakarsa Ketua Katgama saat itu, Airlangga Hartarto, menjadi sebuah penghargaan
bagi karya utama penelitian bidang ilmu dan teknologi: Herman Johannes Award.
Sesuai Keputusan Presiden RI (Keppres) No. 80 Tahun 1996, nama
Herman Johannes diabadikan sebagai nama Taman Hutan Raya bagi kelompok hutan
Sisinemi-Sanam seluas 1.900 hektare di Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Nama Prof Herman Johannes juga diabadikan menjadi nama jalan
yang menghubungkan Kampus UGM dengan Jalan Solo dan Jalan Jenderal Sudirman di
kota Yogyakarta.
Pendidikan[
·
Sekolah Melayu, Baa, Rote, NTT, 1921
·
Europesche Lagere School (ELS), Kupang, NTT, 1922
·
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Makassar,
Sulawesi Selatan, 1928
·
Algemene Middelbare School (AMS), Batavia, 1931
·
Technische Hogeschool (THS), Bandung, 1934
Pekerjaan
·
Guru, Cursus
tot Opleiding van Middelbare Bouwkundingen (COMB), Bandung, 1940
·
Guru, Sekolah Menengah Tinggi (SMT), Jakarta,
1942
·
Dosen Fisika, Sekolah Tinggi Kedokteran,
Salemba, Jakarta, 1943
·
Lektor, Sekolah Tinggi Teknik (STT) Bandung
di Yogyakarta, 1946–1948
·
Mahaguru, STT Bandung di Yogyakarta, Juni
1948
·
Dekan Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta,
1951–1956
·
Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam (FIPA)
UGM, Yogyakarta , 1955–1962
·
Koordinator Perguruan Tinggi (Koperti),
DIJ-Jateng, 1966–1979
·
Ketua, Regional Science and Development
Center (RSDC), Yogyakarta, 1969
Karier (lain-lain)
·
Anggota, Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP), 1945–1946
·
Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga RI,
1950–1951
·
Anggota Executive Board UNESCO, Paris,
1954-1957
·
Anggota Dewan Nasional, 1957–1958
·
Anggota Dewan Perancang Nasional (Deppernas),
1958–1962
·
Anggota Komisi Empat (Tim Pemberantasan
Korupsi), 1970
·
Anggota, Panitia Istilah Teknik, Departemen
Pekerjaan Umum RI, 1969–1975
·
Anggota Pepunas Ristek, Jakarta, 1980–1985
Karier Militer
·
Kepala Laboratorium Persenjataan, Markas
Tertinggi Tentara, Yogyakarta, 1946
·
Anggota Pasukan Akademi Militer Yogyakarta,
Sektor Sub-Wehrkreise 104, Desember 1948–Juni 1949
·
Dosen, Akademi Militer Yogyakarta, 1946–1948
·
Pangkat terakhir: Mayor TNI, 1949
·
Komandan Resimen Mahakarta, 1962–1965
Organisasi
·
Christen Studenten Vereniging (CSV), Bandung, 1934
·
Indonesische Studenten Vereniging (ISV), Bandung, 1934
·
Timorese Jongeren/Ketua Perkumpulan
Kebangsaan Timor (PKT), Bandung, 1934
·
Anggota, Angkatan Muda Pegawai Republik
Indonesia (AMPRI), Jakarta, 1945
·
Ketua, Gerakan Rakyat Indonesia Sunda Kecil
(GRISK), 1947
·
Partai Indonesia Raya (PIR) 1948
·
Ketua, Yayasan Hatta, 1950–1992
·
Pernah menjadi Ketua Legiun Veteran
Yogyakarta
Penghargaan
·
Satya Lencana Perjuangan Kemerdekaan, 1961
·
Satya Lencana Wirakarya, 1971
·
Doktor Honoris
Causa, UGM, 1975
·
Bintang Legiun Veteran RI, 1981
·
Anugerah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, 1991
·
Pahlawan Nasional, 2009
Karya tulis (sebagian)
·
Zarrah-zarrah Fisika Modern, (Jajasan
Fonds Universitit Negeri Gadjah Mada, 1953)
·
Pantjasila Seichtisar dalam Kata-Kata Bung
Karno,
(Universitas Gadjah Mada, 1963)
·
Teknik Squeeze dalam Bridge, (PT
Indira, Jakarta, 1970)
·
Pengantar Matematika untuk Ekonomi, (bersama
Budiono Sri Handoko; Pustaka LP3ES, Jakarta 1974)
·
Gaya Bahasa Keilmuan,
(Universitas Gadjah Mada, 1979)
·
Membina Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa yang
Ilmiah, Indah dan Lincah, (Universitas Gadjah Mada, 1980)
·
Kamus Istilah Ilmu dan Teknologi, (PT Indira,
Jakarta, 1981)
·
Aneka Teknik Sepit,
(Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1989)
Catatan kaki
Pranala luar
Prof.DR Wilhelmus Zakaria Johannes
Dari Wikipedia bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas
Prof WZ Johannes dan Prof H Johannes, Dua
Bersaudara yang Menjadi Pahlawan Nasional
REP | 10
November 2013 | 12:08 Dibaca: 737
Mungkin
banyak di antara kita yang asing dengan nama Pahlawan yang satu ini, Prof Dr.
Wilhelmus Zakaria Johannes, [Lahir di Talae, Pulau Rote, 1895 – Den Haag,
Belanda, 4 September 1952); ia adalah orang Indonesia pertama yang menjadi ahli
radiologi. Sebagai dokter Indonesia pertama yang mempelajari ilmu radiologi di
Belanda WZ Johannes juga menjadi ahli rontgen pertama yang sangat berjasa dalam
pengembangan ilmu kedokteran Indonesia sehingga mendapat gelar Pahlawan
Nasional, [wikipedia].
Nama
Profesor WZ Johannes diabadikan sebagai nama RSUD Kupang,
Nusa Tenggara Timur; nama Kapal Perang RI, KRI
Wilhelmus Zakaria Johannes; dan juga Paviliun Johannes di RS Kariadi -
Semarang Jateng.
Di samping Prof WZ.
Johannes, ada saudara se opa/kakek (ayah mereka kakak-adik) yaitu Prof. Dr. Ir.
Herman Johannes; ia juga seorang Pahlawan Nasional. Banyak orang mengenal,
mengingatnya hanya sebagai Ahli MIPA dari UGM, Dosen, Gurubesar, dan Rektor
UGM, dan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik. Padahal, Prof. Dr. Ir.
Herman Johannes, tentu saja pada waktu itu belum sebagai Profesor, cukup
beperan pada waktu perang dan perjuangan kemerdekaan dan juga juga Serangan
Umum Satu Maret.
Ini ada sepenggal
kisah dari para laskar dan tentara dari Sunda Kecil (Bali, NTB, NTT); menurut
tuturan para veteran Serangan Umum 1 Maret, IR Lobo (Alm), J N Johannes (Alm),
H Johannes (Alm); Peter Rohi (tinggal di Jakarta). Dalam pertempuran Jogja
(sebelum 1 Maret 1949, SU 1 Maret, dan setelah 1 Maret 1949) ada Batalyon
Paradja yang didirikan IR Lobo (beliau juga adalah pendiri Kantor Doane atau
sekarang Ditjen Bea Cukai, Dep/Kem Kuangan RI). Batalyon ini masuk dalam
resimen Sunda Kecil yang dipimpin Ngurah Rai. Para perwiranya adalah Prof. Dr
Ir. Herman Johannes, Frans Seda, Amos Pah, El Tari, Is Tibuludji
Batalion ini memiliki
tiga kompi, masing-masing dipimpin Kapten Hendrik Rade, Kapten J. Moi Hia, dan
Letnan Benyamin Lihoe. Dua kompi yang pertama disebut kompi berani mati. Hal
itu dapat dibuktikan dalam pertempuran di Wates walau kompi ini sudah terjepit,
mereka tidak mau menyerah. Maka gugurlah Kapten Hendrik Rade dan wakilnya
Letnan Jermias Henuhili, dan seorang perwira dari Larantuka, Floress,
Letnan Fernandes. Mereka dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Jogjakarta.
El Tari (yang kemudin
menjadi Gubernur NTT sejak 1968 - 1978) tertembak pangkal paha dan hanya bisa
selamat karena Prajurit Hawoe Dima nekad masuk di antara desingan peluru untuk
menggotong tubuh El Tari keluar dari medan pertempuran yang sekejap berubah
menjadi naraka bagi para pejuang, [Jappy Pellokila/Opa Jappy,
jappypellokila.8m.net/artikel sejarah].
Itulah
mereka, dua pahlawan yang datang desa kecil dan terpencil bernama Talae di
Pulau Rote, sekarang Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten terselatan di Nusantara.
Selain itu, mereka berdua juga kakak-adik se-opa/kakek, dan dari klan/marga
yang sama yaitu Johannes, [diriku juga adalah bagian dari Keluarga Besar ini
dari pihak ibu].
Sampai
saat ini, pada banyak hati, keluarga, sanak, masih mempunyai ingatan dan
kenangan terhadap kedua orang tua ini, terutama tentang Prof Dr Herman
Johannes, yang sering disapa dengan sebutan Oom Man.
Jejak Prof
WZ Johannes dan Prof H Johannes dalam bidang kedokteran dan MIPA, agak tertular
kepada anak-anak mereka, sehingga ada yang menjadi dokter, ahli bilogi, dan
lainnya, walau belum ada yang mencapai jenjang Gurubesar.
Tapi, di
balik itu, sedikit generasi muda kelahiran Talae - Pulau Rote, NTT yang ikuti
jejak dua tokoh terkemuka dari desa mereka. Pada kunjungan terakhir ke Talae
(Desa/Kelurahan di Selatan Pulau Rote, yang langsung berhadapan dengan Lautan
Hindia, dengan pantai yang bersih serta gelombang samudera yang sangat indah),
beberapa tahun lalu, belum terasa perubahan yang berarti, bahkan sejarah duo Johannes dari Talaepun, hanya
sedikit yang tahu atau masih ingat. Padahal, nama Talae Rote, selalu ada dan
disebut (secara Nasional dan Internasional) ketika orang bicara tentang Prof Dr
WZ Johannes dan Prof H Johannes.
Prof. Dr. W.Z.
Johannes
Seorang
Putera Indonesia kelahiran Termanu, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, telah
menjadi ahli rontgen pertama Indonesia. Dalam tahun 1941 berhasil mempertahankan desertasinya yang
berjudul “Rontegen diagnostiek der maliga langtumoren”. dan untuk itu berhak memakai gelar doktor. Prestasi itu dicapainya berkat ketekunan
bekerja dan dibantu oleh kecerdasan otaknya.Ia adalah Wilhelmus
Zakarias Yohannes, lahir tahun 1895, putera dari seorang guru bantu Sekolah Dasar yang
sekaligus merangkap menjadi pengurus gereja. Sebagai anak seorang guru bantu
Yohannes tidak berhak menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Tetapi
kecerdasan otaknya telah menolongnya. Kepala Sekolah Dasar di desa kelahirannya
bersama dengan adik iparnya, C. Frans, menulis surat kepada Gubernur Jenderal
Hindia Belanda memohon agar Yohannes diizinkan memasuki Europese Lagere School
(ELS).
Permohonan itu dikabulkan.Yohannes menamatkan
ELS di Kupang dalam waktu yang lebih singkat dari yang
seharusnya. Sesudah itu berangkat ke Jakarta dan memasuki STOVIA (School Tot Opleiding voor Inlandsche Arsten
= Sekolah Dokter Bumiputera). Masa pendidikan yang seharusnya sembilan tahun
dapat diselesaikannya dalam waktu delapan tahun. Pada tahun 1920 sudah menggondol gelar dokter.Mula-mula
bekerja sebagai dosen pada NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School = Sekolah
Dokter Hindia Belanda) di Surabaya. Tidak lama kemudian, dalam tahun 1921, diangkat sebagai dokter di rumah sakit
Bengkulu. Sesudah itu berturut-turut sampai tahun 1930 bertugas di rumah-rumah sakit di Muara Aman,
Mana, Kayu Agung dan Palembang.Dalam tahun 1930, ketika bertugas di Palembang, Yohannes
mengalami musibah, diserang penyakit lumpuh. Ia segera dibawa ke Jakarta dan
diberikan perawatan khusus di CBZ (sekarang Rumah Sakit Umum Pusat dr. Cipto
Mangunkusumo). Satu tahun lamanya Ia dirawat dan setelah sembuh, kaki kanannya
pincang untuk selama-lamanya.Masa perawatan di CBZ tidak disia-siakannya.
Semangat belajarnya tidak pernah padam. Sambil berbaring di tempat tidur, asyik
membaca buku dan mendalami masalah rontgen (sinar tembus). Pada waktu itu pengobatan
dengan rontgen belum maju seperti sekarang. Yohannes yakin, bahwa penyakit
lumpuh seperti yang dideritanya dapat disembuhkan dengan pengobatan
ront gen.
Hal itu menyebabkan keahliannya bertambah, sehingga kemudian berhasil meraih
gelar doktor.Setelah kesehatannya pulih, walaupun dengan
kaki kanan tetap pincang, ia diangkat sebagai Asisten Ahli dalam bidang rontgen
dan radiologi di CBZ Jakarta. Bulan Juni 1935 ia dipindahkan ke Rumah Sakit Umum Pusat di
Semarang (sekarang Rumah Sakit Dr. Karyadi). Di tempat yang baru ini ia
mengembangkan ilmu rontgen. Untuk memperingati jasanya di bidang pengembangan
ilmu rontgen itu, namanya diabadikan pada ruangan Rontgen
Rumah Sakit dr. Karyadi. Setahun kemudian ia dipindahkan kembali ke Jakarta
dan diangkat sebagai Kepala Bagian Rontgen CBZ.Kegiatan Yohannes tidak hanya
terbatas pada bidang kedokteran.
Ia juga mengikuti perkembangan yang terjadi
di tanah airnya. Seperti kebanyakan lulusan STOVIA. Ia pun terjun kedalam
kegiatan pergerakan nasional. Sebagai seorang penganut agama Kristen
Protestan,
maka melalui organisasi agama inilah berjuang.Dalam tahun 1929 golongan Kristen. Protestan mendirikan
organisasi yang disebut ”Perserikatan Kaum
Kristen” (PKK),
walaupun organisasi ini mengutamakan dasar kekristenan, tetapi Ia juga
bekerjasama dengan organisasi-organisasi lain.Keanggotaan Yohannes dalam PKK
menyebabkan kegiatannya bertambah. Serentak dengan itu namanya semakin dikenal
oleh masyarakat. Cacat tubuh tidak menjadi halangan baginya untuk mengabdi
kepada kepentingan masyarakat dan kemanusiaan. Dalam tahun 1939 masyarakat Karesidenan
Timor
(Timor, Flores, Sumba dan Sumbawa) mencalonkan Yohannes sebagai wakil mereka dalam Volksraad (Dewan Rakyat), namun pencalonannya itu
ditolak oleh pemerintah. Tiga tahun kemudian Ia terpilih sebagai anggota Badan
Pengurus ”Organisasi Penolong Ambon-Timur” bersama dr. Kayadu dan Mr.
Latuharhary.Sementara
itu karirnya dalam bidang kedokteran terus meningkat.
Dalam tahun 1939 Ia diangkat menjadi pimpinan bagian
radiologi di CBZ, Jakarta, karena dialah satu-satunya dokter Indonesia yang
memiliki keahlian di bidang ini.Di zaman Jepang meneruskan kegiatannya dalam organisasi di
samping tugasnya sebagai dokter. Bersama dengan dr.
Sitanala, Dr. Sam Ratulangi, Mr. Amir Syarifuddin, Mr. Rufinus Tobing, Ds. B.
Probowinoto, Asa,
dan lain-lain Ia turut mendirikan ”Badan Persiapan Persatuan Kristen” (BPPK).
Badan inilah yang kelak menjelma menjadi ”Partai
Kristen Indonesia” (Parkindo). Parkindo lahir pada tanggal 6 November
1945
setelah diadakan rapat umat Kristen di Balai Pertemuan /Kristen di Jakarta.
Rapat itu membicarakan kemungkinan didirikannya sebuah partai, dan dua belas
hari kemudian berdirilah ”Partai Kristen
Nasional” (PKN). Yohannes diangkat menjadi ketuanya. Dalam kongresnya yang
pertama pada tanggal 6-7 Desember 1945 di Surabaya, nama partai itu diubah
menjadi Partai Kristen Indonesia. Ketuanya yang baru ialah Ds. B.
Probowinoto
sedangkan Yohannes menduduki jabatan wakil ketua.Pengaruh
Yohannes dalam Parkindo cukup besar.
Ia seringkali bertindak mengadakan pergantian
pengurus cabang. Selain Parkindo, dibentuk pula sebuah organisasi perjuangan,
yakni ”Gerakan Rakyat Indonesia Sunda Kecil”
(GRISK).
Tujuan GRISK ialah menggalang persatuan penduduk Sunda Kecil dalam perjuangan
mempertahankan kemerdekaan. Rumah Dr. Yohannes di Jalan Kramat Raya 51 Jakarta
menjadi kantor pusat GRISK dan sekaligus menjadi markas persembunyian para
pemuda pejuang daerah Kramat Pulo. Tindakan itu mengandung resiko. Rumah itu
dan Dr. Yohannes pribadi tidak luput dari incaran musuh. Beberapa kali terpaksa
berhadapan dengan serdadu Belanda dan Gurkha.Hari Natal 1945 sepasukan serdadu
Gurkha datang ke rumahnya dalam keadaan siap tempur. Mereka mencari
pemuda-pemuda yang sering mengganggu patroli Gurkha. Yohannes diperintah keluar
dari rumah, tetapi perintah itu tidak diindahkannya. Komandan pasukan Gurkha
mengambil tindakan kekerasan. Dr. Yohannes digiring ke pos Gurkha. Selama empat
jam dihukum jongkok. Hukuman itu cukup berat bagi seorang yang kakinya
pincang. Tetapi Yohannes tidak mengeluh dan setelah hukuman itu berakhir,
langsung berangkat ke rumah sakit melaksanakan tugasnya.Pada waktu yang lain
harus pula berhadapan dengan pasukan Belanda. Waktu itu seluruh daerah Kramat
sudah dikuasai NICA (Belanda), kecuali rumah Yohannes. Rumah itu tetap
mengibarkan bendera Merah Putih. Beberapa kali serdadu Belanda datang dan
memerintahkan agar bendera itu diturunkan, tetapi Dr. Yohannes berhasil
mempertahankannya. Suatu kali sepasukan KNIL datang dan seorang anggotanya
langsung merobek bendera Merah Putih sehingga koyak dua. Bagian merahnya
diambil oleh serdadu yang merobeknya dijadikan ikat kepala, sedangkan bagian
putihnya dibuang di tanah. Sesudah pasukan itu pergi, Yohannes berkata seorang
diri,
”Karena
bukan saya yang menurunkan, nanti saya naikkan kembali”. Beberapa saat kemudian bendera Merah Putih
berkibar kembali di halaman rumahnya.Sebagai seorang republikan tetap setia
kepada perjuangan. Pemerintah mengangkatnya menjadi anggota BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia
Pusat) sebagai wakil gabungan Kristen. Rumah Sakit CBZ dijadikan tempat
penampungan orang-orang Republik ketika seluruh Jakarta sudah dikuasai Belanda.
Usahanya itu berhasil sampai terjadinya Agresi Militer II Belanda 19 Desember
1948. Ketika CBZ diambil alih oleh Belanda dan diserahkan kepada pimpinan dr. J.E.
Karamoy,
kurang lebih 50 orang pegawai rumah sakit yang tetap setia kepada RI ditampung
dirumah Yohannes. Dokter Karamoy adalah teman baik Yohannes. Ia tidak
menyetujui tindakan Karamoy yang memihak Belanda. Kepada Karamoy dikatakannya,
”Kami sebagai dokter-dokter bangsa Indonesia menganggap hal ini sebagai tikaman
dari belakang terhadap kawan-kawan sendiri. Kami tidak akan
melupakannya”.Belanda cukup memahami kamampuan Yohannes sebagai dokter yang
pengaruhnya amat besar terhadap karyawan-karyawan di CBZ. Karena itu Belanda
berusaha menarik Yohannes ke pihak mereka. Untuk itu Belanda mendatangkan Prof, van
der Plaats,
bekas guru besar Yohannes. Ia mengatakan, bahwa Pemerintah Belanda akan memberi
pangkat yang tinggi dan gaji yang besar jika Yohannes bersedia bekerjasama
dengan Belanda.
Yohannes menolak, malahan secara
terang-terangan mengajak rekan-rekannya agar mereka berjuang untuk kepentingan
RI.Bersama-sama rekan-rekannya membentuk ”Yayasan
Bhakti Mulia”
yang melayani dan merawat rakyat. Yayasan ini sekaligus mengumpulkan dana untuk
perjuangan.Sejak tahun 1936 membina karir dibidang pendidikan, khususnya
pendidikan kedokteran. Ia ikut memberi kuliah pada Fakultas Kedokteran. Karir
itu dipeliharanya sampai Indonesia merdeka. Dalam tahun 1946 diangkat menjadi Guru Besar pada Fakultas
Kedokteran Balai Perguruan Tinggi Indo nesia (sekarang Universitas Indonesia).
Sesudah itu diangkat menjadi Dekan Fakultas tersebut. Ketika Jakarta sudah sepenuhnya dikuasai oleh
Belanda, Balai Perguruan Tinggi diungsikan ke Yogyakarta dan Sala. Tetapi beberapa orang Guru Besar tetap
bertahan dan tetap memberikan kuliah di Jakarta. Salah seorang diantaranya
ialah Prof. Dr. W.Z.Yohannes. Kuliah tidak dapat diberikan diruangan
kuliah, tetapi dirumah dosen. Mahasiswanya juga tidak banyak, sebab sebagian
ikut mengungsi dan sebagian lagi berjuang mempertahankan Kemerdekaan
Indonesia.Sesudah pengakuan kedaulatan, Universitas Indonesia diaktifkan
kembali. Selangkah demi selangkah diadakan perbaikan. Tenaga pengajar dicari
yang berpengalaman. Pada bulan Maret 1952 Prof. Dr.
Yohannes diangkat menjadi pejabat Presiden (sekarang Rektor) Universitas
Indonesia menggantikan Ir. Surakhman. Beberapa orang dosen dikirim ke luar negeri untuk
menambah pengalaman dan pengetahuan mereka.
Yohannes sendiri berangkat pula ke luar
negeri dalam bulan April 1952. la mendapat tugas selama lima bulan, untuk
mempelajari perkembangan rontgen dan organisasi Rumah Sakit di Negeri Belanda,
Swiss, Perancis, Jerman Barat, Inggris dan negara-negara Skandinavia serta
Timur Tengah dan Asia Tenggara. Sebetulnya pada saat itu kurang sehat. Selain
pincang, juga menderita penyakit jantung.Di Negeri
Belanda
bertugas di Rumah Sakit Bronovo di Den Haag. Belum lama melaksanakan tugas, mendapat
serangan jantung dengan mendadak. Dalam perjalanan dari rumah menuju ke Rumah
Sakit, beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir. Musibah itu terjadi pada
tanggal 4 September 1952. Jenazahnya di istirahatkan selama satu bulan
di Den Haag dan kemudian diangkut dengan kapal Mojokerto dari Rotterdam ke
Jakarta. Jenazahnya lalu dikebumikan di
pekuburan Jati Petamburan, Jakarta.
Hingga
wafatnya Prof. Dr. W.Z.Yohannes tidak pernah menikah. Ia pernah menjalin cinta dengan Roos van
Tjaarden, seorang wanita Belanda, namun ibunya tidak menyetujui perkawinan
anaknya dengan wanita asing. Demi kasih dan bakti kepada ibunya, Dr. Yohannes
memutuskan hubungan dengan kekasihnya tersebut. Dalam suratnya terakhir kepada
Nona Roos van Tjaarden, beliau menyatakan tidak mungkin menjadi warga Negara
Belanda.Pemerintah RI menghargai jasa-jasa yang telah disumbangkan Prof. Dr.
W.Z. Yohannes kepada bangsa dan negaranya. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden
RI No.06/TK/1968, tanggal 27 Maret 1968 Pemerintah RI menganugerahi
Prof. Dr. W.Z. Yohannes gelar Pahlawan Kemerdekaan. Penghargaan lain yang diterimanya dari Menteri
Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (sekarang P dan K) pada tahun 1969 adalah penetapan Prof. Dr.
W.Z. Yohannes sebagai “Karyawan Anumerta dibidang Pendidikan dan Pengetahuan”.
Namanya diabadikan pula pada nama Rumah Sakit Umum di Kupang.
Biografi Prof.
Dr. W.Z. Johannes.
Main Author:
|
|
Language(s):
|
Indonesian
|
Published:
|
Jakarta : Bhratara
Karya Aksara, 1979.
|
Subjects:
|
|
Prof. Dr. Ir. Herman Johannes –
Pejuang Yang Terlupakan di Daerah Asalnya Sendiri
Posting
tamu berikut diambil dari tulisan bapak Paul Doko di
harian Timor Express Kupang, tgl. 8 Oktober 2007. Terima
kasih pak Paul yang bersedia berbagi info ini sehingga bisa diabadikan di
Internet. Seperti yang terbaca di akhir posting, tulisan ini dan LPM I.H.Doko
punya andil dalam mengusulkan kepada Pemerintah Republik Indonesia agar
Prof.DR.Ir.Herman Johannes dianugerahi gelar Pahlawan Nasional yang sudah
terkabul bulan ini. Biodata singkat pak Paul Doko bisa dibaca di akhir posting
ini. Foto-foto keluarga Johannes adalah foto keluarga yang saya terima dari
berbagai sumber. Terima kasih buat para kontributor, terutama Henny
Meka-Johannes, Danny Johannes dan Helmi Johannes, serta bapak Paul Doko. (drt)
Warga NTT mengenal baik nama Prof.DR.W.Z.Johannes, seorang tokoh
kedokteran asal NTT yang oleh Pemerintah RI telah dianugerahi penghargaan
berupa gelar Pahlawan Nasional, dan namanyapun telah diabadikan sebagai nama
RSU Kupang serta sebuah jalan dikota Kupang. Tapi tidak banyak yang mengenal
nama Prof. DR. Ir. Herman Johannes, seorang tokoh pejuang paripurna asal NTT
yang hidupnya diabdikan bagi Bangsa dan Negara Indonesia melalui bidang ilmu,
tekhnologi, politik bahkan perjuangan bersenjata.
Lahir didesa Keka pulau Rote pada tanggal 12 Mei 1912 sebagai
anak ke 4 dari 6 putra-putri pasangan Daniel Abia Johannes dengan Aranci Dirk,
Herman Johannes muda harus meninggalkan desa dan Sekolah Melayu yang hanya
diikutinya selama setahun, agar dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang
lebih tinggi yaitu pada Europesche Lagere School (ELS) di Kupang.
Kepindahan ini adalah berkat dorongan Daniel Abia Johanness,
sang ayah yang memiliki pandangan luas serta mengutamakan pendidikan anak-anaknya.
Dengan gaji yang sangat terbatas sebagai seorang guru desa merangkap guru
agama, beliau berusaha keras agar semua anaknya memperoleh pendidikan yang
pantas walaupun itu berarti mereka harus merantau meninggalkan kampung halaman
dan sanak keluarganya. Herman Johannes dalam usia masih belia berangkat ke
Makassar untuk melanjutkan pendidikannya di MULO (Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs) dan kemudian dilanjutkan ke AMS (Algemeene Middelbare School) di
Batavia dan selanjutnya pada Technische Hooge School di Bandung tahun 1934 yang
baru dapat diselesaikannya pada tahun 1946 di Sekolah Tinggi Tehnik Bandung
yang karena faktor keamanan, untuk sementara waktu diungsikan ke Yogyakarta.
AMS dapat diselesaikannya tepat waktu dengan memperoleh nilai tertinggi, sehingga
ia berhasil memdapat bea siswa ke THS.
Waktu senggangnya dimasa kuliah digunakannya untuk kegiatan
organisasi dan menulis karangan ilmiah. Tulisan-tulisannya mendapat perhatian
besar dan pujian dari pimpinan fakultas dan kalangan akademisi sehingga lolos
seleksi untuk dimuat dalam majalah De Ingenieur in Nederlandsch Indie dan
akhirnya mendapat penghargaan dari Koningklijk Instituut van Ingenieurs di
Belanda. Masih dalam status sebagai mahasiswa, Herman Johannes telah dipercaya
untuk menjadi dosen pada Sekolah Menengah Tinggi Jakarta , Sekolah Tinggi
Kedokteran di Jakarta, Solo dan Klaten, Sekolah Tinggi Tehnik Bandung (dalam
pengungsian) diYogyakarta serta pada Akademi Militer di Yogya.
Dimasa kuliah pada THS di Bandung inilah, Herman Johannes
yang sangat aktip dalam berorganisasi bertemu dengan pemuda-pemuda pelajar asal
Timor yang bersekolah di Bandung. Bersama-sama dengan Simon K.Tibuludji, Izaak
Huru Doko, Josef Toelle dan Chris Ndaumanu, Herman mendirikan perkumpulan
Timorsche Jongeren yang kemudian dirubah menjadi Perkumpulan Kebangsaan Timor
(PKT). Ini merupakan awal keterlibatan Herman dalam bidang politik yang
kemudian akan mengantarnya menjadi salah seorang pendiri Partai Indonesia Raya
dan menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Cita-cita Herman sejak
kecil adalah menggali ilmu sedalam-dalamnya melalui pendidikan tinggi,
karenanya ia menolak tawaran bea siswa dari Pemerintah Hindia Belanda yang
mengharuskannya masuk ke sekolah calon pegawai negeri / Opleiding School Voor
Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) setamat ELS. Tidak pernah pula terlintas dalam
pikirannya untuk menjadi tentara, namun ternyata takdir berkata lain.
Berbekal pengetahuannya dibidang fisika dan kimia, bantuannya
sering diminta oleh para pemuda pejuang untuk merakit senjata api dan membuat
detonator serta alat peledak Tugas ini dapat dikerjakannya dengan baik berkat
fasilitas laboratorium Sekolah Tinggi Kedokteran yang bebas digunakannya.
Peran penting yang dijalankannya ini ternyata mendapat
perhatian dari Markas Teringgi Tentara di Yogyakarta, yang kemudian
memerintahkannya untuk segera datang ke Yogya guna membuka dan sekaligus
memimpun sebuah laboratorium persenjataan. Untuk tugas tersebut Herman diangkat
sebagai anggota militer dengan pangkat Mayor, jabatan dan karier yang tidak
pernah diimpikannya tapi ia terima dengan penuh tanggung jawab demi perjuangan
kemerdekaan Indonesia.
Sebagai anggota tentara, Herman tidak hanya berjuang digaris
belakang dengan mengelola dan memimpin laboratorium persenjataan yang merakit
senjata dan membuat bom serta granat, tapi ia ikut aktip digaris depan bersama
pasukan Taruna Akademi Militer dibawah komando Kolonel Djatikusumo serta
memimpin Gerakan Rakyat Indonesia Sunda Kecil (GRISK). Jabatan dan pangkat
kemiliterannya ini ia lepaskan setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda
tahun 1950 untuk dapat kembali mengabdi dibidang pendidikan
Kembali kekehidupan sipil, Herman diangkat oleh Presiden
Sukarno menjadi Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga dalam kabinet Moh.Natsir.
Setelah melepaskan pangkat Mayor dan jabatan sebagai Menteri,
ia kembali meneruskan cita-citanya menjadi dosen dengan pangkat Mahaguru yang
disandangnya sejak tahun 1948 dan kemudian berturut-turut dipercaya sebagai
Dekan Fakultas Tehnik UGM, Dekan Fakultas Ilmu Pasti & Alam UGM dan
akhirnya sebagai Rektor UGM.
Pensiun baginya bukanlah masa istirahat, beliau tetap giat berkarya menekuni
berbagai jabatan a.l sebagai Koordinator Perguruan Tinggi DIY-Jawa Tengah,
Ketua Regional Science and Development Center Yogyakarta, Anggota Dewan
Pertimbangan Agung, Anggota Komisi Empat (Tim Pemberantasan Korupsi), anggota
Majelis Bahasa Indonesia-Malaysia, anggota Deewan Riset Nasional, Pengurus
Legiun Veteran Pusat dll.
Karya-karya tulisnya, baik yang dibukukan maupun dalam bentuk
makalah serta pandangan-pandangannya yang dimuat dalam surat kabar, merupakan
sumbangan yang sangat berharga bagi perkembangan ilmu dan teknologi antara lain
mengenai fisika modern, matematika untuk ekonomi, gaya bahasa keilmuan, kamus
istilah Ilmu dan Teknologi, sumber energi alternatip, listrik tenaga panas
laut, manfaat lamtoro gung, teknologi yang dibutuhkan Indonesia, anglo hemat
energi dan pandangan kritisnya mengenai Timor Gap. Salah satu karya tulisnya
“Fusi Dingin dalam Tabung Lucutan” dikerjakan pada saat-saat akhir hidupnya dan
diselesaikan diruang perawatannya.
Tokoh Herman Johannes adalah contoh pribadi yang serius,
tekun dan penuh tanggung jawab, pribadi yang mengutamakan kerja serta
pengabdian. Hari-hari hidupnya diisi dengan berkarya, sedangkan rekreasi dan
hiburan untuk kesenangan pribadi hampir-hampir terabaikan, begitu pula
masa-masa indah saat remajanya yang seolah terlupakan demi kerja serta
tugas-tugas yang diembannya.
Baru pada usia 43 tahun yaitu dalam bulan Mei 1955 beliau
menikah dengan putri seorang raja Rote, Attie M.G. Amalo. Dari perkawinan ini
beliau memperoleh 4 orang anak, masing-masing Christine, Henriette, Daniel dan
Helmi.
Sampai akhir hayatnya Herman Johannes tetap rendah hati dan
sederhana. Penghargaan-penghargaan serta tanda-tanda kehormatan yang diterima
dari berbagai kalangan atas karya dan jasa-jasanya tidak membuatnya menjadi
tinggi hati dan angkuh. Gelar Doktor Honoris Causa dipersembahkan Universitas
Gajah Mada kepadanya, Sultan Hamengku Buwono IX menganugerahi penghargaan,
Keluarga Alumni Tehnik Gajah Mada (KATGAMA) mengabadikan nama Prof. DR. Ir.
Herman Johannes pada sebuah jalan di kota Yogyakarta dan sebuah penghargaan
untuk karya utama penelitian dibidang ilmu dan teknologi diberi nama Herman
Johannes Award.
Pemerintah Republik Indonesia telah menganugerahinya Bintang
Gerilya, Satya lencana Pejuang Kemerdekaan, Satya Lencana Wirakarya, Bintang
Mahaputera, Bintang Legiun Veteran dan melalui Keputusan Presiden RI no. 80
tahun 1996 nama Herman Johannes diabadikan sebagai nama Taman Hutan Raya
kawasan hutan Sisinemi-Sanam di Kabupaten Kupang.
Lalu apa yang sudah diberikan oleh kita, masyarakat dan
Pemerintah Daerah NTT sebagai penghargaan atas jasa-jasa Herman Johannes? Tidak
pernahkah terpikirkan oleh kita untuk memberi nama tokoh ini pada salah satu
jalan di ibu kota Propinsi NTT? Tak salah bila Herman Johannes disebut pejuang
yang terlupakan didaerah asalnya sendiri, padahal begitu banyak petinggi di
propinsi ini yang pernah kuliah di Yogyakarta, bahkan pernah merasakan bantuan
dan kebaikan hati tokoh ini.
Menjelang peringatan 15 tahun meninggalnya Herman Johannes
tanggal 17 Oktober nanti, marilah kita bersama-sama merenungkan perjuangannya
dan memikirkan apa yang patut diperbuat untuk menghargai jasa-jasanya.
Diantara jajaran Pahlawan Nasional saat ini, hanya ada 2
tokoh asal NTT yang telah memperoleh penghargaan tersebut , yaitu
Prof.DR.W.Z.Johannes dan Izaak Huru Doko. Sangatlah tepat bila momentum ini
kita gunakan untuk mendukung upaya dari LPM I.H.Doko yang mengajukan usul
kepada Pemerintah Republik Indonesia agar Prof.DR.Ir.Herman Johannes
dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.**
Paul J. A. Doko lahir
di Kupang, tahun 1942 dan kini tinggal di Jakarta setelah menempuh jenjang
karir yang cukup panjang. Setelah menyelesaikan Sarjana Hukumnya di Universitas
Airlangga Surabaya, Paul sempat bertugas di First National Bank di St. Louis,
Missouri, USA dan Citibank, di Anthena, Yunani. Setelah itu sempat menjabat
dalam berbagai kapsitas mulai dari Ass.Dosen IKIP Malang Cabang Kupang, Bank
Bumi Daya, Jakarta, Bills Marketing Manager Chase Manhattan Bank, Sekjen Perhimpunan
Hotel & Rest.Indonesia, Bendahara Badan Promosi Pariwisata Indonesia, GM
Pulau Seribu Paradise, GM o/c Bali Hilton, Direktur Bank Media sampai Komisaris
Bank Media. Paul merasa terpanggil untuk menulis dan mengangkat nama beliau
karena beliau bersama ayah Paul (I.H. Doko) dan beberapa kawan semasa di
Bandung membentuk Timorsche Jongeren dan kemudian Partai Perserikatan
Kebangsaan Timor yang nantinya menjadi alat perjuangan I.H.Doko selanjutnya.
Ide penulisan ini untuk memancing perhatian masyarakat akan keberadaan seorang
tokoh pejuang asal NTT yang seolah terlupakan. Semoga lenih banyak tokoh
pejuang NTT yang sejarah perjuangannya diangkat untuk memperoleh perhatian
Pemerintah.
- See more at:
http://28oktober.net/prof-dr-ir-herman-johannes-pejuang-yang-terlupakan-di-daerah-asalnya-sendiri/#sthash.VfgjioGL.dpuf
Maks
Fioh,
Penulis Anggota Komunitas Anak Muda untuk Rote Ndao
Sekilas
Tentang Prof.DR Adrianus Mooy, Putra asal Pulau Rote,
mantan
Gubernur Bank Indonesia
Bicara mengenai SDM,
orang Rote memiliki sejumlah tokoh Rote yang berkiprah dan berhasil dalam level
provinsi dan bahkan nasional. Sebut saja Prof. DR. W.Z. Johannes ahli rontgen pertama
di Indonesia, dan Presiden Universitas Indonesia di Jakarta, Prof. DR.
Herman Johannes rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta dan siapakah
yang tidak mengenal Prof. DR. Adrianus Mooy yang pernah menjabat sebagai
Gubernur Bank Indonesia, E.C.W. Nelloe mantan Direktur utama Bank Mandiri dan
banyak lagi putra Rote yang punya pencapaian luar biasa dalam karya mereka.
Mereka semua adalah putra daerah Rote yang berhasil dan telah menjadi tokoh
kebanggaan orang Rote, namun itu semua hanyalah romantisme masa.
Nama : Prof.DR.Adrianus Mooy
Tempat
Lahir : Pulau Rote – Nusa Tenggara Timur
Tanggal Lahir : 10
April 1936
Riwayat Hidup:
BIOGRAFI :
Adrianus
Moy (lahir di Pulau Rote, 10 April 1936) adalah seorang ahli ekonomi dari
Indonesia dan mantan Gubernur Bank Indonesia periode 1998 -1993, ia
kuliah di Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas of Wisconsin. Pada saat
ini ia menjabat “Senior Advistor” untuk United Nations Suppoort Facillity for Indonesian Recovery
(UNSFIR).
Adrianus mengawali
karirnya sebagai asisten dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gajag Mada (UGM)
Yogyakarta pada tahun 1958.
Sebelum melanjutkan
pendidikannya di University ofWisconsin,
AS tahun 1959 – 1965.
Pada tahun 1967, ia
diangkat sebagai Kepala Biro Pusat Statistik.
Kemudian tahun 1968 – 1969 ia menjabat Kepala Badan Perencanaan dan
Pembangunan Nasional (Bappenas).
Adrianus Mooy juga
pernah menjadi salah seorang Sekretaris Eksekutif dari Dewan Ekonomi dan social Asia Pasifik (ESCAP)
pada 1 April 1995.
Adrianus Mooy dipercaya
untuk menjadi wakil Indonesia dalam konferensi Negara Eropa Brussel pada tahun 1993.
Ia diangkat menjadi
Gubernur Bank Indonesia dalam Kabinet Pembangunan V masa kerja 23 Maret 1988 –
17 Maret 1993.
Kemudian tahun 1969 –
1973, ia menjabat sebagai anggota Dewan Ekonomi pada United Nations - ECAFE, Bangkok.
Setelah kembali ke
Indonesia Adrianus menjadi Asisten Bidang Moneter Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri periode (1978-1983),
Sekretaris Eksekutif
Dewan (1983-1983), dan Asisten Keuangan Menteri Negara Perencanaan dan
Pembangunan (1985-1988).
Adrianus Mooy menjadi
anggota DPR periode (1982 – 1987) dan 1987 – 1992. Kemudian pada tahun 1987
-1993, ia diangkat menjadi guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
Jakrta dan banyak jabatan lainnya yang tidak dapat disebut satu persatu disini. (Sumber : Internet)
Sejak
Prof.DR.Adrianus Mooy menjabat Gubernur
Bank Indonesia, ia juga menerbitkan mata uang pecahan 5000 yang bergambar “SASANDO ROTE” yaitu alat musik tradisional asal Pulau Rote (Roti),
Nusa Tenggara Timur, seperti judul di
bawah ini :
“Sasando
Rote” pada lembaran uang kertas RI
Rp.5000
Dari
Sumber : Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
“Sasando Rote”
pada uang kertas Rp. 5.000,- emisi tahun 1992.
“Sasando Rote”adalah
sebuah alat instrumen petik musik. Instumen musik ini berasal dari pulau Rote, Nusa
Tenggara Timur-Indonesia.
Bentuk “Sasando Rote” ada miripnya dengan instrumen petik lainnya seperti gitar, biola dan kecapi. Bagian utama “Sasando Rote” berbentuk tabung panjang yang
biasa terbuat dari bambu. Lalu pada bagian tengah, melingkar dari atas ke bawah
diberi ganjalan-ganjalan (semat) di mana
senar-senar (dawai-dawai) yang direntangkan di tabung, dari atas ke bawah
bertumpu. Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap
petikan senar. Lalu tabung “Sasando Rote” ini ditaruh dalam sebuah wadah yang
terbuat dari anyaman daun lontar yang dibuat seperti kipas. Wadah ini merupakan tempat resonansi “Sasando Rote”.
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Alamat :
Jln.Jambon I/414J – Kricak – Jatimulyo – Yogyakarta (55242)
Telp.0274.588160 –
HP.082135680644
Email :
saj_jacob1940&yahoo.co.id
Prof.DR Adrianus Mooy
Dari Wikipedia bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas
Adrianus Mooy
|
|
Adrianus Mooy
|
|
|
Presiden
|
|
Didahului oleh
|
|
Digantikan oleh
|
|
Informasi pribadi
|
Lahir
|
|
Kebangsaan
|
|
Prof. Adrianus Mooy,
M. Sc., Ph.D. - Rector
Prof.
Adrianus Mooy, M.Sc., Ph.D., joined UPH Karawaci in April 2007 as
Senior Advisor. In June 2010 he served briefly as Dean of the Business School
and since September 2010 he has been serving as Rector of UPH Surabaya. He
earned his Bachelor’s degree in Economics from the University of Gajah Mada and
then obtained his Master’s of Science degree in Economics/Finance and Ph.D. in
Economics/Econometrics from the University of Wisconsin, USA. He had been teaching
economics at University of Indonesia since 1966 for about 20 years and obtained
his professorship in economics in 1987. He also served, among others, as Deputy
Chairman for the National Development Planning Agency/Bappenas (1973-1988),
Governor of Bank Indonesia (1988-1993), Ambassador to the European Union
(1993-1995) and Under-Secretary-General of the United Nations/ Executive
Secretary of United Nations Economic and Social Commission for Asia and the
Pacific/ UN-ESCAP 1995-2000)
Prof.
Dr. Adrianus Mooy - Pentingnya Pendidikan
By: Dian | Inspirasi
| 02 Feb 2010, 13:05:41 | Dibaca: 7553 kali
Ayah Adrianus seorang kepala sekolah SD di
pulau Sumba. Ia tidak memiliki harta berlimpah. Karena itu, ayahnya
selalu berpesan dan berusaha agar anak-anaknya mengenyam pendidikan
setinggi-tingginya. “Saya tidak punya apa-apa untuk warisan, kejarlah
pendidikan, jadi orang. Karena duit tidak ada, harta tidak ada,” tutur Adrianus
mengulang kata-kata ayahnya. Karena itu, pendidikan hal yang penting untuknya.
Ia prihatin
dengan dunia pendidikan Indonesia yang cenderung dipolitisasi. Ganti menteri,
ganti kebijakan. “Kalau begitu kita bereksperimentasi dengan anak-anak kita,”
katanya. Di negara maju, lanjutnya, mereka memikirkan pendidikan secara serius
dan matang, karena itu kebijakannya tidak mudah berubah. Keprihatinan ini yang
menjadi alasan Adrianus menerima tawaran terlibat di Universitas Pelita
Harapan.
Selain
politisasi, kebutuhan hidup juga menghambat anak-anak untuk mengakses
pendidikan. Banyak dari mereka lebih memilih sekolah kejuruan agar dapat
langsung bekerja. “Itu baik, tapi maksud saya itu tidak cukup. Sekolah
kejuruan, itu karena tuntutan hidup. Tapi barangkali perlu dilengkapi juga
dengan pendidikan lain yang sifatnya lebih umum,” katanya. Karena jika hanya
menguasai pekerjaan teknis, dengan kemajuan teknologi, pekerjaan semacam itu
bisa diambil alih oleh mesin atau robot.
Menurut
Adrianus, dunia pendidikan Indonesia membutuhkan perubahan ke arah yang pasti
dan lebih baik. Perubahan ini harus dimulai dari pendidikan paling dasar. Ia
juga memandang perlunya menumbuhkan keberanian berpikir dalam diri anak-anak.
Selain itu, yang penting diperhatikan adalah pendidikan karakter. Untuk
membangun karakter, semua pihak harus terlibat, tidak hanya sekolah, tetapi
juga orangtua dan lingkungan.
Karakter
yang ingin dibangun antara lain kejujuran, kesetiaan, tekun, rajin,
memperhatikan orang lain. “Kita tidak bisa mengharapkan manusia untuk sempurna.
Rasul Paulus pun mengatakan dia tidak sempurna, tapi dia terus-menerus berusaha
menuju ke sana. Jadi, kalau kita mengatakan mempunyai karakter seperti Yesus,
meski tidak persis sama, paling tidak ada sedikit kerinduan untuk memperbaiki
diri ke arah itu,” demikian Adrianus.
Sumber: Majalah Bahana,
Februari 2010
Mantan Gubernur Bank Indonesia yang kini
menjabat Senior Adviser pada United Nations Support Facility for Indonesian
Recovery, ini memulai karir di Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada. Pria
kelahiran Pulau Rote 10 April 1936 ini meraih gelar Master of Science dan Ph.D.
bidang ekonomi dari Universitas Wisconsin, Amerika Serikat.
Adrianus Mooy
Mantan
Gubernur Bank Indonesia
Lihat Curriculum Vitae (CV) Adrianus Mooy
Mr. Mooy began his professional career in
1958 in the Faculty of Economics, Gajah Mada University, Yogyakarta,
Indonesia, as a Teaching Assistant before continuing his graduate studies at
the University of Wisconsin, USA from 1959 to 1965. In 1967, he was appointed
Head of the Bureau of Statistics, State Ministry for Economic, Financial and
Developmental Affairs, Indonesia. From 1968 to 1969, he served as Head of the
Bureau of Domestic Finance, National Development Planning Agency (BAPPENAS).
Mr. Adrianus Mooy assumed the post of Executive
Secretary of the Economic and Social Commission for Asia and the Pacific
(ESCAP) on 1 April 1995. Prior to his appointment, Mr. Mooy was
Ambassador of Indonesia to the European Communities in Brussels since 1993. He
was Governor of Indonesia's Central Bank, as well as the Governor for Indonesia
of the International Monetary Fund, since 1988. In addition, he was the Asian
Development Bank's Alternate Governor for Indonesia, as well as for the Multilateral
Investment Guarantee Agency in Washington, D.C., during the same five year
period.
From 1969 to 1973, Mr. Mooy worked as Economic
Affairs Officer at the UN-ECAFE, Bangkok before going back to Indonesia and
served as Deputy Chairman for Fiscal and Monetary Affairs, National Development
Planning Agency until 1988. Concurrently, Mr. Mooy served as Assistant for
Monetary Affairs to the Minister Coordinator for Economic, Financial and
Industrial Affairs (EKUIN) from 1978 to 1983; as Executive Secretary of the
Monetary Council from 1983 to 1988; and as Assistant for Development Finance to
the State Minister for National Development Planning, Indonesia from 1985-1988.
Mr. Mooy served as a member of the Indonesian
People's Consultative Assembly from 1982 to 1987 and from 1987 to 1992. From
1987 to 1993, Mr. Mooy was a Professor of Economics at the University of
Indonesia in Jakarta.
He has been a member of the Indonesian
delegation to many international conferences, among them, those within the
framework of the Association of South-East Asian Nations (ASEAN) Economic
Cooperation, the United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD),
the Non-Aligned Movement, and the Intergovernmental Group for Indonesia.
Mr. Mooy holds a Master of Science and a
Ph.D. in Economics from the University of Wisconsin, United States. He received
his Bachelor of Science in Economics from Gajah Mada University, Yogyakarta, Indonesia.
Mr. Mooy, born on 10 April 1936 in Rote
Island, Indonesia, is married with three daughters. Sumber: worldbank.org
© ENSIKONESIA - ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA
Ditayangkan oleh redaksi - Dibuat
26 Feb 2005 - Pembaharuan terakhir 28 Feb 2012
Copyright © tokohindonesia.com
Profile*
Age
|
Total
Calculated Compensation
|
This
person is connected to 3 board members in 1 different organizations across 3 different industries.
See
Board Relationships
|
76
|
--
|
Background*
Dr.
Adrianus Mooy is a Partner of Strategic Asia and Senior Associate Professor at
STIE Perbanas. Mr. Mooy has many years of extensive experience in government as
a former Ambassador to the European communities, Governor of Indonesia’s
Central Bank, Alternate Governor for Indonesia at Asian Development Bank, and
served as Deputy Head of BAPPENAS. Mr. Mooy has been holding various advisory
role as the Senior Advisor of Asian Development Bank, Indonesia’s Central Bank, UNSFIR, SEACEN Center, United Nations
ESCAP and the Government of Indonesia and being a Lecturer on the Faculty of
Economics at Universitas Indonesia. He serves as President Commissioner at PT
Bank Nationalnobu until 2013. He served as an Independent Commissioner of PT
Matahari Putra Prima Tbk. He served as Independent Commissioner of PT Lippo
Karawaci Tbk. Mr. Mooy holds a Bachelor of Science in Economics from
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, a Master of Science degree and a Ph.D
degree in Economics from the University of Wisconsin, USA
Dr. Adrianus Mooy receives
honorary doctorate
During
Corban's May 3 Commencement ceremonies, Dr. Adrianus Mooy received an honorary
doctorate from the university. This is in recognition of his long and
illustrious career, first at the Institute of Sciences of Indonesia and then as
part of the National Development Planning Agency where he helped draft the
First Five-Year Development Plan for Indonesia.
Mooy was
born in a small village on the island of Rote, the southernmost inhabited
island of Indonesia. In a largely Muslim nation Mooy was raised in a Christian
family. His father, the headmaster of the local elementary school, was also the
pastor of a Christian congregation.
In 1969
Mooy accepted an invitation to join the United Nations Regional Commission in
Bangkok. For 15 years he served in many capacities including Deputy Chairman
for Fiscal and Monetary Affairs at the Planning Agency, member of the People’s
Consultative Assembly and member of the Government Special Committee
responsible for drafting the Guidelines of State Policy. He also helped draft
the 2nd, 3rd and 4th Five-Year Development Plans. Concurrently, Mooy taught for
more than 20 years, mostly at the University of Indonesia where he obtained his
full professorship in 1987.
In 1988,
Indonesian President Haji Muhammad Suharto appointed Mooy governor of the Bank
of Indonesia. Later posts included ambassador to the European Union and
under-secretary-general of the United Nations Economic and Social Commission
for Asia and the Pacific.
Seven
years ago Mooy accepted an invitation by Dr. James Riady to be senior advisor
at Universitas Pelita Harapan, where he is also rector of UPH’s Surabaya
campus. For the past three years he has also served as chairman of the Nobu
National Bank, part of the Lippo
Dr. Adrianus Mooy delivers a message to
Corban graduates on May 3, 2014
Profile
Adrianus
Mooy (lahir di Pulau Rote, 10 April 1936) adalah seorang ahli ekonomi dari
Indonesia dan mantan Gubernur Bank Indonesia periode 1998-1993. Ia kuliah di
Universitas Gajah Mada (UGM) dan University of Wisconsin. Pada saat ini ia
menjabat sebagai "Senior Advisor" untuk United Nations Support
Facility for Indonesian Recovery (UNSFIR).
Adrianus mengawali karirnya sebagai asisten dosen Fakultas Ekonomi Universitas
Gajah Mada (UGM), Yogyakarta pada tahun 1958. Sebelum melanjutkan pendidikannya
di University of Wisconsin, AS, tahun 1959-1965. Pada
tahun 1967, ia diangkat sebagai Kepala Biro Pusat Statistik. Kemudian tahun
1968-1969 ia menjabat Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
(Bappenas). Adrianus Mooy juga pernah menjadi salah seorang Sekretaris
Eksekutif dari Dewan Ekonomi dan Sosial Asia Pasifik (ESCAP) pada 1 April 1995.
Adrianus
Mooy dipercaya untuk menjadi wakil Indonesia dalam Konferensi Negara Eropa di
Brussel pada tahun 1993. Ia diangkat menjadi Gubernur Bank Indonesia pada tahun
1988. Kemudian tahun 1969-1973, ia menjabat sebagai Anggota Dewan Ekonomi pada
United Nations-ECAFE, Bangkok.
Setelah
kembali ke Indonesia, Adrianus menjadi Asisten Bidang Moneter Menteri
Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri periode (1978-1983), Sekretaris
Eksekutif Dewan Moneter (1983-1988), dan Asisten Keuangan Menteri Negara
Perencanaan dan Pembangunan (1985-1988).
Adrianus
Mooy menjadi anggota DPR periode (1982-1987 dan 1987-1992). Kemudian pada tahun
1987-1993, ia diangkat menjadi guru besar Fakultas Economi Universitas
Indonesia, Jakarta.
1.
Senior Adviser pada United Nations
Support Facility for Indonesian Recovery
2.
Gubernur Bank Indonesia
Pendidikan :
Fakultas Ekonomi UGM
1.
Master of Science dan Doktor bidang ekonomi
University of Wisconsin, United States
Biografi Pdt. DR.Petrus Octavianus
Pdt.
Petrus Octavianus dilahirkan pada 29 Desember 1928 di Dusun Laes, Desa Oelasin,
Kecamatan Rote Barat daya, Rote-Ndao, Nusa Tenggara Timur. Beliau berasal
dari keluarga miskin di Pulau Rote dan merupakan anak ketujuh dari pasangan
Jeremias Octavianus dan Paulina Pandie. Pada Maret 1930, ayahnya
meninggal dunia. Beliau belum sempat mengenal ayahnya, karena tidak ada
selembar fotopun yang memuat wajah ayahnya. Beliau hanya dapat berjumpa
dengan ayahnya dalam cermin, sebab menurut ibunya, wajah pak Octav mirip dengan
wajah ayahnya.
Sejak
kecil, pak Octav menggembalakan domba milik keluarganya. Hanya oleh
kemurahan Tuhan, pak Octav dapat menikmati bangku sekolah. Tantenya,
Elizabeth Octavianus (yang menikah dengan Joseph Mooy, dan yang menjadi orang
tua Prof. Dr. Adrianus Mooy, mantan Gubernur Bank Indonesia) merupakan orang
yang dipakai Tuhan untuk menyekolahkan beliau. Pada usia 9 tahun, beliau
masuk ke kelas I di sebuah sekolah desa, dan tinggal bersama keluarga Mooy
(paman dan tantenya). Karena disiplin yang keras dari keluarga Mooy, pak
Octav termotivasi untuk giat belajar, sehingga sering loncat kelas.
Setelah
tamat dari sekolah desa tersebut, beliau melanjutkan sekolah lanjutan sambil
bekerja. Beliau pernah berjualan kayu bakar, air minum dan kue.
Pada suatu waktu, saat menimba ilmu di Surabaya, beliau pernah bekerja
sebagai pemulung dengan mengais kaleng susu bekas, sambil mengenakan seragam
sekolah. Hal ini menyebabkan seorang wanita Sunda bernama ibu Kadar-istri
Kapten Kadar (seorang Kepala Kantor Departemen Sosial Surabaya) menaruh
simpati, dan menampungnya di sebuah panti asuhan di jalan Embong Malang,
Surabaya. Pak Octav berada di panti asuhan tersebut selama 10 bulan (Juli
1940-Mei 1941). Karena itu, terdorong rasa syukur kepada TUhan, dan dalam
rangka turut memenuhi amanat UUD 1945 pasal 34 (Fakir miskin dan anak yang
terlantar dipelihara negara), maka dari tahun 1960-2007, beliau mendirikan
pelayanan sosial yang mencakup Panti Asuhan dan Anak Asuh di bawah naungan
Yayasan Pelayanan Pekabaran Injil Indonesia Batu.
Pelayanan
sosial tersebut menampung total 37.000 anak, mulai dari Aceh sampai Papua, dari
Sangir Talaud sampai Pulau Rote, NTT. Pada tahun 2001, panti asuhan yang
didirikannya juga menampung korban kerusuhan Ambon dan Poso. Ada sekitar
654 anak asuh dan 83 anak Panti Asuhan yang dilayani YPPII BATU.
Pak
Octav pernah menjabat sebagai Direktur Guru Sekolah Atas (SGA) Kristen dan
Sekolah Menengah Atas (SMA) Kristen, juga Akademi Pendidikan Guru Nasional di
Malang. Pak Octav belajar filsafat klasik dari Romo Klavert di Seminari
Agung Katolik Batu, beliau juga belajar tentang filsafat eksistensialisme dari
Prof. Beerling di Universitas Indonesia, dan belajar antropologi filsafat dari
Prof. Obolensky.
Selain
belajar filsafat, beliau juga mempelajari kehidupan politik. Latar
belakang kehidupan politik pak Octav
dimulai saat pertemuan beliau dengan Presiden RI yang pertama, Ir. Soekarno
(Bung Karno), pada 01 Juni 1950 di Surabaya dan 26 September 1954 di Malang.
Sejak itu, bung Karno menjadi idola dan pemberi inspirasi serta motivasi
bagi pak Octav dalam mempelajari perkembangan politik di Indonesia.
Minatnya dalam bidang politik, membuat pak Octav mengamati perpolitikan
di 80 negara yang dikunjunginya.
Dalam
bidang kerohanian, pak Octav belajar dari Joseph Mooy, seorang Guru Injil
keliling di daerah Baa dan Kupang. Selanjutnya, beliau belajar melayani
di Ambon dan Surabaya. Sejak 1951, beliau secara part-time melayani
undangan khotbah oleh gereja-gereja di Bandung, Jakarta, dan Malang. Pada 01
Agustus 1957, pak Octav untuk pertama kali aktif pelayanan keluar secara luas
bersama tim pelayanan Rev. Heini Germann Edey (misionaris WEC). Mereka
melayani di pasar-pasar, lapangan-lapangan, jalan-jalan, dan stasiun-stasiun.
Dari
situlah cikal bakal lahirnya YPPII. Pelayanan-pelayanan tersebut juga
membuat beliau meninggalkan semua jabatan dan kenyamanan, dan memutuskan untuk
melayani secara full-time pada 25 Juni 1959.
Tahun
1957-1968, pak Octav melayani Tuhan di Indonesia (Sabang sampai Jayapura,
Manado sampai Rote, NTT), dengan dukungan dari keluarga Joseph Mooy dan
keluarga Esther Merukh-Bessie (ibunda DR. Jusuf Merukh-raja tambang Indonesia).
Tahun 1968-2002, beliau melayani di 80 negara di lima benua. Karena cintanya
pada Indonesia, maka beliau selalu membawa peta Indonesia dan bendera Merah
Putih, dengan tujuan memperkenalkan Indonesia kepada bangsa dan Negara lain.
Karena kiprah dan pemikirannya tersebut, maka pada tahun 1983-1985 dan
tahun 1985-1986, beliau terpilih sebagai salah satu tokoh di Indonesia, dalam
buku berjudul APA DAN SIAPA SEJUMLAH ORANG INDONESIA.
Oleh
kemurahan Allah dan tekun belajar, maka sejak tahun 1968 hingga sekarang,
beliau telah menghasilkan buku sebanyak 56 judul, 34 buku dalam bahasa Indonesia,
21 buku dalam bahasa Inggris, dan 1 buku dalam bahasa Jerman (diterjemahkan
dari bahasa Indonesia). Melalui pemikiran, kiprah, dan pelayanannya,
beliau telah mendirikan dan memimpin 17 lembaga (12 lembaga Nasional dan 5
lembaga Internasional). Beliau mendirikan rumah karyawan, rumah sakit,
pendidikan tinggi Theologia, dan sekolah-sekolah TK, SD, SMA, dan Universitas
“Cipta Wacana”. Karena kesetiaan dan ketekunan dalam melayani, belajar,
dan menulis buku, pak Octav memperoleh penghargaan baik di bidang akademis
maupun dari berbagai LSM dan pemerintah berbagai Negara, antara lain:
penghargaan “ASEAN BEST
ENTREPRENEUR
GOLDEN AWARD 2006” pada Jumat, 15 Desember 2006.
Sebagian
dari riwayat hidup pak Octav telah difilmkan oleh Billy Graham Association.
Film ini telah disaksikan oleh 10.385 tokoh agama dari berbagai negara di
Konferensi “Amsterdam 2000”, 29 Juli 2000 di Amsterdam. Pada saat
menyaksikan film tersebut, beliau menitikkan air mata, karena terharu. Betapa
tidak, karena nyata ANUGERAH TUHAN LEBIH BESAR DARI KEMISKINAN.
Semoga
Tuhan dipermuliakan, bangsa dan negara Indonesia diberkati, menjadi negara jaya
dan adidaya. Itulah doa dan perjuangannya melalui tulisan-tulisannya.
Gambar
Keluarga: Nostalgia Flobamora III oleh Gerson Pyok
begini
kuda tunggang dan dadaku diterik tangis padang/lewat jalan liku menuju rumah
lalang berpagar batu bila dulu aku datang aku tak tahu ciumanmu tengik
tersaar/bibirmu yang hambar memperdengarkan tambur gembala/pandanganmu mengharu
usia dewasa sejak itu mengobar/dalam mataku bundar segar seorang anak yang
belum sadar kau tinggalkan aku bermain di tepi kolam kemarau kuning/tak sampai
sesiang yang indah berenang riang/dengan hidup telanjang memandang kuda
tunggang yang tegap airnya makin kering mengabur ke bibir nasib kemarau/aku
pulang ke rumah lalang berpagar bagu, lingkar kasih yang buntu/nyenyak malam
membenam dalam lapar dalam lupa masa kanak kelakar, dan sindiran yang menyembur senja
kemarau kuning/sebagai tuntutan atas budi yang tumbuh menjadi hutan/belum
terbayar oleh anak yang lapar mengejar belalang/hingga sekali kelak aku berdiri
di atas nyanyian hidup yang manis kau datang kembali dengan bawaan
beserba/untung aku belum lesu terpenggal oleh dosa dan hilang sesal
Sajak
ini kutulis ketika pengalaman masa kecil sudah mengendap jauh dalam jiwaku.
Masa kecilku telah berubah menjadi puisi. Masa kecilku adalah kuda tunggang,
tambur gembala, jalan setapak yang berliku, rumah lalang (dan daun lontar)
berpagar batu.
Akan
tetapi terasa oleh si kecil itu (si aku puitis itu) bahwa pandangan yang
mengharukan dia di masa dewasa nanti telah bertumbuh, telah mengobar dalam mata
seorang anak kecil yang belum sadar akan segi-segi hambar dalam kehidupannya.
Ayahku (kau) telah meninggalkan aku bermain di tepi kolam kemarau kuning, hanya
sebentar berenang riang dengan hidup telanjang memandang kuda tunggang yang
tegap. Air di kolam tempat aku bermain makin kering, mengabur ke bibir nasib
kemarau lalu aku pun pulang ke rumah lalang berpagar batu, lingkar kasih yang
buntu, lalu tidur dalam lapar dalam lupa masa kanak. Bagaimana pun, kehidupan
ini penuh dengan kelakar dan sindiran dan ini merupakan hutang budi yang belum
bisa dibayar oleh seorang anak kecil yang lapar mengejar belalang. Kelak
semuanya akan terbayar bila telah sampai pada nyanyian hidup yang manis.Ayahku
datang dengan bawaan beserba. Beruntunglah, aku belum terkapar…
Begitulah
tafsiran atar sajak yang ditulis sekitar tiga puluhlima tahun yang lalu. Di
tahun 1997, aku pernah ke Rote dan mencari kolam kemarau kuning itu. Rumah
lalang berpagar batu pun kudatangi. Hanya pagar batunya yang masih tersisa.
Batu datar di pintu itu membari bayangan adikku perempuan yang bermain mengupas
biji kesambi untuk dijadikan pelita. Adikku sangat berbakat matematika. Otak
kirinya bagus. Ia pintar berhitung. Aku masih ingat ia mengatur biji-biji
kesambi itu menurut kelompok-kelompok yang belum dikupas, isi yang telah
dikupas dan kulit biji. Semuanya ditumpuk rapi. Ia sudah bisa berpikir
kategoris.
Memang
dalam keluarga ibuku ada bakat-bakat matematika dan musik. Saudara misanku
Jusuf Manu seorang guru yang cerdas. Dialah yang sering mengirimwesel kepada
Adrianus Mooy karena ibu Jusuf adalah mama kecil Adri (adik perempuan ayah
Adri). Seperti sudah aku katakan, Eduard Pah, mendapat Anugrah Seni dari Pemerintah
RepublikIndonesia untuk musik. Ayahnya seorang guru, mungkin lebih hebat lagi
bila bermain sesandu (Dulu ejaannya sesandu tetapi di perantauan aku mendengar
lidah Jawa menyebutnya Sasando).
Daniel
Pah, di masa kecilnya loncat kelas melulu. Sayang ia tak sempat kuliah untuk
menjadi professor padahal matematikanya bagus, bahasa Inggrisnya dan ilmu-ilmu
lainnya juga bagus. Setiap ujian ia pasti nomor satu. Aku bangga sekali
padanya. Karena tak mampu kuliah maka ia hanya bisa menjadi guru dan kepala Sekolah
Guru Atas Negeri sampai pensiunannya. Ketika di tahun 1997 aku mengunjungi
Rote, banyak dari keluarga Manu yang putus sekolah. Oekahendak pun telah
menjadi hutan. Kuburan keluarga pada hilang ditelan pohon gewang dan
sebagainya. Saudara perempuan ayah Adrianus Mooy yang kawin dengan pamanku
misalnya, kuburannya telah tercampur dengan kuburan yang lain yang tidak
dikenal oleh generasi berikut. Yang masih utuh hanya kuburan nenekku, Maria
Messakh karena berada dalam lingkaran pagar batu yang belum lenyap semuanya.
Akan
tetapi kenangan masa kecil tentang rumah itu masih segar dalam diriku. Kenangan
fotografis masih jelas. Daun yang mengatapi rumah itu, balai-balai kayu, tangga
kayu dan tiang-tiangnya masih jelas. Bahkan pohon kom yang dalam bahasa Rote disebut
kole masih tergambar dalam kenangan fotografisku itu. Rumah paman (Papa To’o)
itu disebut Kole Dale karena pohon kole (kom) yang berduri dan berbuah kecil
seperti kelereng yang asam-asam manis itu menjadi petunjuk rumah keluarga ibu
dalam cerpen-cerpenku, dalam novel-novelku, terutama novel Meredam Dendam.
Ayah
membawa aku kembali ke rumah itu. Aku ingat, Papa To’o membuat pesta menyambut
ayahku. Ia mengambil senapan tumbuk (sundut) dan menembak seekor babi besar.
Yang menarik adalah bola yang terbuat dari kantong air seni binatang ternak
itu. Sambil memegang bongkah daging dan mengunyahnya, aku bermain bola.
Tiba-tiba
kami bersiap untuk pindah ke Ba’a. Aku ingat kami berjalan kaki telanjang
sepanjang 25 km dengan beberapa wanita yang aku sudah lupa nama mereka. Tiba di
Ba’a kami menumpang di sebuah rumah dekat jembatan Lelete Langgak, di pinggir
jalan, di kaki bukit yang gundul. Di rumah itu, kakekku datang dari E’ahun,
ibukota Kerajaan Ringgou. Kakakku Dina (Susi Di’a) adalah anak kesayangan kakekku
Laurens Poyk. Di waktu aku masih bayi, terjadi zaman meleset (malaise) sehingga
ayah diberhentikan sebagai mantri. Ia memboyong kami (ibu, Susi Di’a dan aku)
ke Ringgou. Kakakku, Susi Di’a (Kak Dina) masih ingat, kalau ada pesta kakek
selalu membawanya ke pesta itu dan disana daging berlimpah. Kakakku kenyang
oleh pesta yang penuh dengan gading itu. Bertemu lagi dengan kakek di Ba’a
Kakak Dina menggosok bintangnya dengan asam jawa sehingga mengkilat lalu
digantungkan ke dadanya (jas tutupnya). Sebelum keluar menuju kantor kontrolir
(bupati Belanda), adikku Mathilda (Nona) melompat lalu menusuk pipinya yang
cekung karena ompong, sebelum kakek melangkah keluar.
Menurut
cerita Susi Di’a (Kak Dina) ia diminta oleh kemenakan ibu, Jusuf Manu, seorang
guru, untuk tinggal dengan mereka. Kak Dina punya pengalaman pahit di rumah
sepupunya itu hanya karena ia kurang awas menjaga seorang adik (putra Bang
Jusuf) sehingga jatuh ke dalam sumur. Ia dimarahi habis-habisan. Sampai hari
tuanya ia masih ingat akan nasib ketakutan melihat seorang anak jatuh ke sumur
menerima amarah besar abang misannya Jusuf Manu.
Ayah
tidak punya pekerjaan tetapi ibu masih bisa masak kemudian memanggil aku
keras-keras untuk makan nasi dan dendeng. Pada suatu hari kami pindah ke sebuah
rumah di punggung bukit dan ayah meninggalkan kami. Ia berangkat ke Ringgou
tanpa meninggalkan uang sepeser pun. Lalu Ibu mengajak kami berjalan, mendaki
pundak bukit dan turun ke panatai pasir putih yang melengkung indah. Ketika itu
air sedasng surut jauh sekali. Agak ke tengah, kelihatan beberapa orang sedang
sibuk makan meting., berarti turun ke kawasan yang airnya surut itu untuk
memungut makanan laut seperti kerang, gurita, ikan, kepiting dan sayur laut
yang disebut latu dan sebagainya. Persis di pantai, pasirnya memang putih
bersih tetapi lebih ke tengah banyak sekali batu kerangnya yang
berselang-seling dengan pasir putih tetapi orang harus berhati-hati melangkah
karena ada juga duri laut.
Ketika
aku berjalan di pasir pantai aku bertemu bersitan kerang-kerang kecil. Tinggal
mengoreknya dari pasir lalu mengupasnya dan mengunyahnya mentah-mentah.
Tampaknya sebidang pasir pantai itu lumbung kerang. Aku makan
sekenyang-kenyangnya seperti manusia purba yang masih dalam peradaban pungut
biji-bijian dan kerang-kerangan dan yang masih tinggal di gua-gua.
Hari
itu kami membawa beberapa keranjang kerang, sayur laut (agar-agar) dan
sebagainya. Kerangnya cukup besar.Ada agar-agar yang harus direbus dulu dan
ada yang enak dimakan mentah-mentah. Setelah kerang direbus bersama agar-agar,
kami makan sekenyang-kenyangnya sambil minum air gula. Itulah cara makan orang
Rote. Malam itu aku tidur. Bangun pagi-pagi leherku kaku, agak pegal kalau
dimiringkan. Orang mengatakan aku salah tidur, padahal itulah rematik,
kebanyakan asam urat yang datang dari makanan laut. Ibuku memang punya bakat
rematik.
Tiba-tiba
ayah pulang dari Ringgou membawa seekor kerbau besar.Ada yang menemaninya
tetapi aku lupa namanya. Kerbau itu segera dibawa ke rumah potong dan dengan
demikian daging berkelimpahan. Uang pun banyak setelah daging terjual. Kami
makan enak tiap hari. Beras baru, lauk daging yang dimasak dengan bumbu
beserba. Ibuku memang pintar memasak karena ia pernah tinggal di rumah Pendeta
Belanda, Pendeta (domine) de Vries di masa gadisnya.
Seusai
menjual daging kerbau itu ayah membangun sebuah gubuk di pinggir jalan dekat
dengan gereja di Menggelama. Gubuk itu demikian kecilnya, demikian daruratnya.
Yang penting tidak numpang-numpang. Atap dan dindingnya dari daun kelapa.
Tempat duduk dari batu ceper. Sudah itu, pada suatu hari ayah membawa cangkul
ke sebidang tanah di pinggir kali lalu membuat bedeng-bedeng untuk ditanami
sayur sawi. Dia mengajak kami memungut tinja sapi dan kerbau yang sudah kering
dan ditaruh di atas bedeng yang dibuatnya kemudian dibakarnya. Setelah disiram,
ayah menebarkan bibit sawi lalu setiap sore ayah menyiramnya. Setelah selesai
ayah mengajak kami mandi di sungai. Setiap hari aku berkeliling semak belukar
danpadang rumput yang telah mengering di bukit untuk mencari tinja sapi dan
kerbau yang sudah kering dan membawanya ke bedeng-bedeng sayur itu. Sambil
mencari tinja sapi dan kerbau itu, aku mengambil pelepah kelapa dan lontar,
lalu bermain meluncur (berselancar) dari pundak bukit ke bawah. Alangkah
bahagianya.
Di
samping menanam sawi, ayah sibuk menulissurat lamaran kerja. Nanah putih pohon
kekak dijadikan lemsurat .
Aku
jadi murid kelas satu dengan gurunya yang bernama Tuan Sereh, seorang lelaki
berkaca mata. Dia perintahkan murid-murid untuk membuat lidi yang diikat gabung.Adasepuluh lidi satu gabungan, adalima lidi.
Ikatannya harus rapi dan ukurannya pun harus sama. Karena baru pindah dari
Tudameda, aku tak mendengar perintah Tuan Sereh itu. Dengan kepanikan aku
meminta-minta dari beberapa teman sehingga ukurannya berbeda. Dia mengomando.
”Anak-anak, atur semua lidi di atas meja!” Lalu ia memeriksa semua meja apakah
lidinya rata, rapi atau tidak. Aku melihat lidiku panjang pendek, tinggi
rendah. Kemduian aku mera takan yang paling atas dan di bawahnya aku tutup
dengan mistar lalu kutekan. Ujung atasnya rata sekali. Beres, pikirku. Memang
waktu ia memeriksa lidiku, ia memujiku. Bagus. Rata. Lalu dia memerintah.
Angkah sepuluh lidi. Sepuluh lidi ditambahlima lidi, berapa? Aku menjawab.
Bagus. Taruh kembali lidinya. Wah, lidinya panjang pendek. Ia mencubit pipiku
tetapi tak bisa karena daging pipiku kumasukkan ke dalam. Tiba-tiba ia
menempeleng aku. Plak. Itulah yang aku ingat ketika duduk di kelas satu. Sekali
aku ditunjuk untuk berdiri di kelas lalu disuruh bercerita. Aku maju, berdiri
lalu berceloteh entah tentang apa…
Tiba-tiba
ayah berlayar ke Kupang untuk mencari pekerjaan. Kami ditinggalkan, mungkin
dengan uang hasil jualan daging kerbau yang diberikan kakek (Papa Be’a) di
Ringgou. Waktu itu bulan Desember. Aku ingat betul karena pernah merayakanNatal
ketika ayah tiada. Hadiah Natalku hanya sebuah buku tulis tipis karena
setoranku juga kecil. Aku
rindu pada ayah. Rasanya setengah tahun atau lebih kami bersama ayah di Ba’a.
Bulan Agustus lalu ayah membawaku ke pasar malam. Ia melemparkan beberapa sen
ke tikar dadu dan tiba-tiba dia menang. Setelah diraupnya uang kemenangannya ia
meninggalkan tempat itu. Setan judi tentu jengkel, gondok, ketika aku mengunyah
roti segar yang dibeli ayah. Cara ayah mempermainkan setan judi selalu kutiru.
Oh,
aku hampir lupa. Sebelum bersekolah ayah mengajak aku berjalan kaki ke kampung
kelahiran ayah, Ringgou. Jaraknya 40 km. Jadi pulang balik 80 km. Jalan kaki
dari Ti berjarak 25 km itu sudah bisa kulakukan. Bahkan adikku juga sudah
begitu kuat berjalan kaki dari dusun ibu, Oekahendak ke Ba’a. Kami start dari
Ba’a pagi hari. Mula-mula ayah membeli kue cucur di pasar Ba’a. Aku
mengunyah-ngunyah kue itu sambil berjalan mengikuti ayah. Sudah banyak yang tak
kuingat mengenai yang kulihat sepanjang perjalanan. Aku Cuma ingat bahwa sampai
di Korbafo, aku lihat ada kolam dan mata air tempat orang mengambil air dan
mandi. Kemudian berjalan terus, berjalan dan berjalan dan akhirnya sampailah
kami di E’ahun. Menyeberang sebuah sungai kecil di depan rumah raja, sampailah
kami ke rumah kakek yang berada di sebuah tempat bernama Roki.
Kesan
pertama dari rumah panggung itu adalah bau ikan kering. Di mana-mana tergantung
ikan kering yang lebar-lebar. Aku segera membayangkan bahwa kakek beserta
saudara-saudara ayahku makan ikan setiap hari. Rumah kakekku hampir sama dengan
rumah keluarga ibuku di Oekahendak. Di Roki ada abang ayahku yang kami panggil
Papa Ogus. Nama lengkapnya August Poyk. Istrinya dari keluarga (fam) Tokoh.
Berikut adik ayahku, Papa Ose (Hosea Poyk) dan ada satu yang baru gede bernama
Abraham (Papa Bang).
Semua
mereka pada waktu itu petani yang hidup dari mamar (kebun kelapa, nangka,
mangga, pisang, pinang dan sebagainya), bersawah, berkebun dan beternak. Papa
Ogus, yang tertua yang mengelola semua pusaka keluarga Poyk. Setelah perang
dunia usai Papa Ose menjadi guru di Oekabiti (Timor). Bersama istrinya dari
marga (fam) Funai, Papa Ose memiliki dua hektar lebih sawah irigasi. Ketika
keduanya pindah ke tempat kerja baru sawah dua hektar lebih itu dititipkan
kepada seorang kerabat dari Ringgou. Setelah Papa Ose meninggal, kerabat dari
Ringgou itu, bersama dengan kepala desa membuat sertifikat atas nama kerabat
dasri Ringgou itu.
Ahli
waris Papa Ose (anak-anaknya) gigit jari, walaupun orang tua-tua pemimpin
informal di desa itu mengetahui betul bahwa sawah itu milik guru Hosea.
Anak-anaknya adalah saksi hidup yang ikut bekerja menyiang dan memanen. Aku
hanya berkata, ikhlaskan (lupakan) saja tetai kalau orang (kerabat) Ringgou itu
ingin menjual sawah itu kita beli saja.
Kembali
ke masa kecil. Aku ingat, waktu kembali ke Ba’a aku digendong di bahu Papa
Bang. Tanganku memegang dahinya. Namun aku tidak ingat apakah ia mengantar
sampai ke Ba’a ataukah ia hanya mengantar kami sampai di sebuah dataran yang
berumput pimping yang tinggi. Aku tak ingat lagi mengenai perjalanan dengan
ayahku pulang ke Ba’a yang jaraknya menurut kata orang ketika itu, 40 km.
Aku
dilahirkan di sekitar masa krisis ekonomi dunia, seperti sudah kukatakan, zaman
malaise (orang-orang menyebutnya zaman meleset). Ayahku diberhentikan dari
pekerjaannya sebagai mantri di Ba’a sehingga ia dan ibuku, aku dan kakak
perempuanku Dina pulang ke Ringgou dan disana ayah bertani, menanam tembakau
untuk dijual. Kakak perempuanku Dina seperti sudah kuceritakan, masih ingat
kebaikan kakek membawanya ke pesta-pesta untuk makan daging dan makanan yang
enak-enak lainnya.
Setelah
keadaan membaik, ayah dipekerjakan lagi sebagai mantri di Pulau Bilba (Rote),
Pulau Sewau dan Langgaliru (Sumba) kemudian dipindahkan ke Bajawa. Jadi ibuku
dan kakak perempuanku pernah tinggal di Ringgou sedangkan abangku Min Kecil
tetap tinggal di Ti. Ketika ayah dipindahkan ke Bajawa, hanya aku dan adikku
yang dibawa kesana . Untunglah ayahku berhenti dari pekerjaannya sehingga kami
bisa pulang ke Rote menemui saudara-saudaraku, walaupun di satu pihak, ayah
tidak punya pekerjaan. Akan tetapi ayah sedang berusaha.
Ketika
ayahku berada di Kupang untuk mencari pekerjaan baru, aku ingat, seorang nenek
dari Sabu yang tinggal di Ba’a datang ke gubuk kami di pinggir sajlan itu dan
meramal dengan daun sirih. Ia menggenggam-genggam daun sirih di tangannya
kemudian melemparkannya ke atas tikar. Daun sirih yang terlepas dari
gengamannya terbuka, bergerak pelan-pelan dan diam. Lalu ia berkata, ”Bapak
kalian sudah mendapat pekerjaan di Kupang,” katanya. Aku dan adikku bahagia
sekali. Sudah tentu ibuku juga. Aku sudah lupa nama nenek asal Pulau Sabu itu.
Menurut cerita nenek itu, ia pernah meninggal (berapa lama, aku tak ingat lagi)
dan di surga ia melihat banyak sekali makanan yang dibuang sia-sia oleh
manusia.
Konon
Amalodo, seorang lelaki Sabu, bisa masuk dalam botol. Bila dia dimasukkan ke
penjara di Ba’a, dia bisa menghilang. Konon ia naik kelapa kering ke Kupang, muncul
di penjara Kupang.
Benar,
ayahku mendapat pekerjaan di perusahaan Singer Sewing Machine, buatan Amerika.
Aku berbahagia sekali, seperti juga ibu dan saudara-saudaraku karena segera
meninggalkan pondok daun kelapa di pinggir Jalan Sirtu itu. Soalnya, pada suatu
hari, ketika kapal KPM (yang berubah menjadi Pelni sekarang) berlabuh di
Pelabuhan Ba’a, saudara sepupuku (anak pamanku) Nadus Manu, siswa Sekolah
Teologia (STOVIL) di So’e, pulang berlibur ke Rote. Ketika bertemu dengan
famili ibuku yang pernah memukul aku sampai menangis terkaing-kaing karena aku
mengejeknya di saat ia cerewet melihat gubuk kami, saudara sepupuku Nadus Manu,
bertanya tentang kami kepadanya. Aku lihat ia mencibir, berkata,”Hi, pondoknya
kecil,” katanya. ”Tempat duduknya dari batu,” tambahnya.
Nah,
sekarang ayahku sudah mendapat kerja dan akan membangun rumah yang lebih baik,
di suatu tempat entah di mana.
SPIRIT GEREKAN SERIBU BUKU UNTUK ROTE NDAO..
(KOMUNITAS ANAK MUDA UNTUK ROTE NDAO)
Berbicara tentang Rote Ndao dan segala kebesaranya, maka
sebenarnya kita sedang berbicara tentang sejarah masa lalu. Banyak pendahulu
kita walaupun berangkat dari keterbatasan namun menapaki – langkah demi langkah
karya mereka, hingga mampu memuncaki berbagai pertarungan di berbagai level.
Figthing spirit yang luar biasa terekSternalisasi dari petarung – petarung
tangguh yang tumbuh dan besar dengan minum gula air dan makan sayur marungga
tersebut.
Pernahkah Bapa, mama, to'o, te'o berpikir bahwa, masih
mampukah dari bumi Rote Ndao ini melahirkan orang – orang sekelas Prof. Dr.
W.z. Johanis, Dr. Herman Johanis, Adrianus Mooy, Pdt. Petrus oktovianus dll ??
Ataukah mereka hanya merupakan bagian dari romantisme masa lalu dan hanya
tinggal nostalgia sejarah yang selalu kita kenang ketika berbicara tentang
pulau kecil ini dan semua kenangan tentang kebesarannya.
Pernahkah Bapa, mama, to'o, te'o berpikir bahwa, dari pulau
tandus ini akan meletupkan kreatifitas yang melahirkan masterpiece budaya
seanggun sarisandu ataupun seindah ti’I langga?? Ataukah itu hanya bagian dari
maha karya sejarah , peninggalan budaya yang terus menjadi symbol keanggunan
budaya masa lalu kita.
Tapi bukankah kita tidak hidup untuk masa lalu, kita hidup
untuk masa depan, begitu pula dengan segala kebesaran yang harus terus kita
ukir tuk menemani perjalanan peradaban kita ?
Berangkat dari fakta sejarah dan diinspirasi oleh romantisme
masa lalu, maka mari kita bermimpi agar disuatu kelak nanti, dari pulau yang
terselatan di Negeri ini, dari tempat kering dan tandus ini, dari nusa yang
dipenuhi dengan cadas ini terlahir W Z johanis2 baru, Herman Johanis2 Adrianus
Mooy2 baru, yang mampu memenangkan pertarungan di berbagai level bangsa ini
demi memberi kejayaan bagi tanah ini, dan dari mereka mampu untuk melepaskan
berbagai stigma – stigma yang melekat di daerah ini, demi kebaikan Nusa Lote
Nusa Ndalu Sita.
Membagun SDM adalah jawabannya. Pembangunan manusia merupakan
sebuah investasi jangka panjang yang pabila ditanam hari ini tak bisa dipetik
esok. Dibutuhkan upaya yang sustainble dan komprehensif yang tidak hanya
bergantung pada pemerintah saja tapi melibatkan semua stake holder. Semua
elemen masyarakat harus memainkan peran strtegisnya. Invenstasi SDM akan
memberikan dampak yang fundamental karena SDM merupakan pilar pembangunan di
sebuah Daerah dan Bangsa. Era yang kompetitif mendorong kita untuk
memperlengkapi generasi penerus daerah ini dengan berbgai bekal yang ampuh
untuk menjadi petarung – petarung yang mumpuni. Dibutuhkan lingkungan yang
kondusif untuk tumbuh dan berkembannya generasi – generasi yang berkualitas.
Dibutuhkan berbagai suplemen untuk mengkonstruksi generansi yang memiliki
karakter dengan fighting spirit yang tangguh.
Mimpi ini mungkin berada seribu langkah di depan kita, tapi
bukankah untuk menggapai langkah ke seribu harus diawali oleh sebuah langkah
kecil yang disebut langkah pertama??
Maka mari kita memulai langkah yang disebut langkah pertama
itu, sebuah langkah yang sederhana yaitu membiasakan budaya membaca. Dengan
membaca generasi muda dapat membentangkan cakrawala pemikiran yang luas. Dengan
membaca generasi muda dapat menjangkau jendela dunia didalam pikiran mereka.
Dari membaca pewaris – pewaris daerah ini dapat menguak tabir misteri kosmos
ini. Dan dari membaca mereka dapat melakukan pengembaraan kognitif sampai pada
batasnya, hingga dapat menemukan eksistensi keberadaan mereka yaitu menjadi
pribadi yang berkualitas dan berhasil sehingga berguna bagi diri mereka
sendiri, bagi keluarga mereka, bagi daerah mereka dan bagi bangsa dan Negara
tercinta
Mari kita sebut langkah pertama ini dengan nama : “SERIBU
BUKU UNTUK ROTE NDAO”
Kami menggugah kepedulian dari semua elemen masyarakat daerah
ini untuk mau terlibat secara aktif dalam gerakan ini dengan menyumbangkan
buku, majalah dll sebagai bahan bacaan
Setelah buku terkumpul, maka kami akan mendistribusikan ke
beberapa taman bacaan yang telah dibentuk dengan bekerja sama dengan Pemuda
Gereja
Apa yang melatar belakangi Gerekan ini?
Dari pengamatan kami, keinginan membaca dari anak – anak ada
tapi terkendala pada ketersediaan bahan bacaan yang berkualitas. Mengetahui
betapa pentingnya buku dan melihat kebutuhan yang ada maka Komunitas Anaka Muda
Untuk Rote Ndao tergerak untuk mengadakan gerakan seribu buku. Dan sebagai
langkah awalnya dilaksanakan di 4 taman bacaan sebagai pilot project dan
harapan kami kedepan dapat mengekstraksinya ke seluruh wilayah di Kabupaten
Rote Ndao
Kenapa Bekerja Sama dengan Gereja ( Tempat Ibadah)?
Kami menyadari bahwa dari berbagai pengalaman taman bacaan di
tempat lain banyak yang hanya berdiri sesaat namun kemudian macet karena
kendala operasional (dana, tenaga dll) atau tidak ada pengunjungnya. Oleh
karena itu gerakan ini merupakan gerakan social yang membutuhkan kerelawanan
dan bekerja atas dasar kepedulian untuk melayani dan memberi apa yang kita
miliki tanpa mengharapkan imbalan. Maka itu eksistensi organisasi kepemudaan
Gereja merupakan jawaban atas kebutuhan tersebut, sehingga kami percaya bahwa
pengelolaan akan berjalan dengan baik. Selain itu Gereja merupakan tempat
aktivitas anak – anak dan pemuda untuk melakukan berbagai kegiatan ibadah,
vocal grup dan kegiatan pelayanan yang lain sehingga mereka dapat mengisi waktu
luang dengan membaca..
Dimana saja Taman Bacaan yang Sudah ada?
Taman bacaan yang sudah ada dan bekerja sama dengan Komunitas
Anak Muda untuk Rote Ndao :
Taman Bacaan Menggelama
Taman Bacaan Mokdale
Taman Bacaan Ba’a
Taman Bacaan Sarisandu Letelanggak
Kemana kalau mau menyumbangkan buku??
Kalau Bapa, Mama, To’o, Te’o dan kawan tergerak untuk
mengambil bagian dari gerekan ini maka silahkan menghubungi kontak person di
bawah ini :
Jodian Suki (085253387995) Jusuf Sanu
(081339419578) Adi patola ( 085239317201) Maks Fioh (085239236382) Rossy Manafe
(081314922476) Roby Ufi ( 085339035444) Ince Patola (085253641358) Erly Kueain
(085238464998)
Denny Mooy (082146201583) Jonard Kale (081328689813)
Jakarta Defren 081289278485
“Satu buku sangat berarti karena dapat memberi seribu
inspirasi bagi anak – anak dan pemuda kita untuk membentangkan cakrawala
pemikiran mereka demi menggapai masa depan yang penuh harapan….”
Last edited 27 September 2013
Sebenarnya masih banyak
Cendikiawan asal Pulau Rote – Ndau yang sukses di tingkat Nasional, namun tidak
dapat dimuat semuanya di dalam Buku ini, hanya beberapa Tokoh saja sebagai
mewakili yang lainnya. (Penulis).
Selain itu dibawah ini dibuat Daftar para Tokoh Nusa
Tenggara Timur
berdasarkan Profesi masing sbb :
Daftar tokoh-tokoh
Nusa Tenggara Timur
Ø P. Dr.
Markus Solo kwuta, SVD, Pastor,Biarawan, Penasihat Paus dalam bidang Dialog
Antar Agama, Roma, Vatikan
Ø P. Dr. Paulus Budi Kleden, SVD]], Pastor
Biarawan,Teolog, Dosen Filsafat dan Teologi STFK Ledalero, Anggota Dewan
Jenderalat SVD, Roma, Vatikan
Ø P. Simeon
Bera Muda, SVD, Pastor Biarawan, Dosen STFK Ledalero, Ahli Kitab Suci,,
Ø Mgr.
Hubert Leteng, Pr, Uskup Ruteng
Ø Mgr. Anton
Pain Ratu, SVD Uskup Emiritus
Atambua
Ø Mgr. G.
Kherubim Parera, SVD.. Uskup Maumere
Ø Mgr. Dr.
Dominikus Saku, Pr, Uskup Atambua, Dosen Fakultas Filsafat Agama, UNWIRA Kupang
Ø Prof.Dr.
Ch. Abineno (Theolog - STT Jakarta)
Ø Dr. Petrus Octavianus (Penginjil)
Ø DR,Victor
Imanuel Tanya (1936-1998) Theolog Kristen ahli di bidang Islamulogi, Mantan
Dekan Fakultas Theologia Univ.Satya Wacana, Mantan dosen STT Jakarta , mantan
dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (dulunya IAIN
Jakarta) ,Penulis buku Cikal Bakal HMI,mantan anggota MPR_RI
Ø E.R.
Herwila Perintis Kemerdekaan RI
Ø Elizabeth Sjioen dan Francisca Fanggidae
serta Tony Sjioen adalah 3 srikandi dari Rote yang memimpin
Laskar wanita surabaya utara dalam perang 10 Nov 1945 yang terkenal itu
Ø Sebastian Salang, koordinator Formappi
Ø Sobe Sonbai III
Ø Tom Pello
Ø W.C.H. Oematan
Ø Elias Sumardi Dabur, (sekjen PP PMKRI),
Sekjen PAN Muda Indonesia
Ø P. Robert Mirsel, SVD koordinator LSM, Candraadytiya,
Maumere
Ø P. Dr. Otto Gusti, SVD, Dosen filsafat
Politik, STFK Ledalero
Ø P. Alex Jebadu, SVD, Pejuang Ekologi Flores
Ø Umbu Daipraing, Pejuang hak Adat, Mantan
kepala Penerangan Sumba-Sumbawa
Ø Cak Lobo ( I.R.Lobo ). pejuang kemerdekaan di
Jawa Tengah (perang 5 hari di semarang),dirjen Bea Cukai pertama, mantan
anggota KNIP, pendiri Kota Semarang
Ø Marthen Paraja, Perintis Kemerdekaan,
Pemimpin Pemberontakan dan Perebutan Kapal Perang Belanda De Zeven Provincien
pada 4 Februari 1933
Ø Riwu Ga, mantan Ajudan dan Pengawal Presiden
Soekarno sejak Dari Ende s/d Proklamasi Kemerdekaan, Saksi Pembacaan Text
Proklamasi 17 Agustus 1945
Ø Lukas Haudima, TNI AL, Perintis Kemerdekaan,
sempat menyelamatkan Bpk.El Tari (Gub.NTT ke-2) dalam pertempuran di
Purwakarta/Jawa Barat, Dibuang dan ditahan Belanda ke Australi
Ø Laksamana Pertama TNI AL Samuel
Moeda, Pejuang 45 (mantan komandan KRI
Harimau yang bersama sama dgn KRI Macan Tutul bertempur dilaut Aru di Bulan
Januari 1962 dalam operasi Trikora, kemudian KRI Macan Tutul tenggelam bersama
Laksamana Yos Sudarso)
Artis dan Musisi
Ø
Ingrid Fernandez, Penyanyi
Ø
Obbie
Messakh,
Penyanyi
Ø
Ivan Nestroman, Musisi Jazz Etnik, Nera Band
Ø
P.Pietro Wani, SVD, Musisi/ pengarang Lagu
Ø
Djitron
Pah,
Musisi Sasando
Ø
Acoustic ALL Ledalero, Grup Musik Akustik
Ø
Edon
family,
Musisi Sasando
Ø
Gaspar Raja, Musisi, Pengarang Lagu
Ø
Sandro Dandara, Penyanyi Etnik, Pengarang
Lagu asal Sumba
Ø
Edwin Lerrick Aktor Film Nasional dan
Pemerhati Pariwisata NTT
Ø
Vonny Sumlang artis Penyanyi nasional
Ø
Jeremias Pah, Maestro Sasando
Ø
Berto Pah Pemain Sasando
Ø
Jeck Pah Pemain Sasando
Ø Kid Belel
Petinju Profesional Pertama di Indonesia
Ø Eduardus
Nabunome, Pelari Maraton
Ø Hermansen Ballo, Petinju
Ø Bernabas
Ndujurumana, Atlet/pelatih Kempo/ Pemegang DAN 5 Kempo/ Mantan Sekretaris
Kabupaten Kupang
Ø Olivia
Sandi, Pelari/ Atletik
Ø Kombes
(Pol) Drs. Johny Asadoma mantan petinju nasional (peraih medali emas di
President Cup dan petinju mewakili Indonesia di Olimpiade Los Angeles AS)
Ø George
Hajo Pemegang DAN 4 Kempo yang bertaraf Internasional (pernah meraih medali
emas dalam kejuaraan Dunia Kempo)
Ø Ferdy
Amatae wasit internasional Pencak Silat
Ø Pieter
Lobo,Militer TNI AD, Mantan WABUP TTS, Pemegang medali Emas Dasa Lomba di PON
dan SEa Games
Ø Marta Kase
pelari marathon
Ilmuwan, Penulis, Budayawan
Ø Aris
Tanone, ilmuan Fiber Optic yang
bekerja di rekanan NASA
Ø Gorys Keraf, akademisi, ahli bahasa kenamaan Indonesia
Ø Gregor
Neonbasu, akademisi, antropolog, pastor
Ø John Haba,
ilmuwan LIPI
Ø Jonatan
Lassa, ilmuwan disaster management, penggagas Forum Academia NTT
Ø Inyo Soro,
Guru, Novelis
Ø Piet Petu/
Sareng Orinbao, Antropolog, kurator, Pastor Biarawan
Ø Dr.Ignas
Kleden, Sosiolog UI,
Ø P. Dr. Leo
Kleden, SVD, Filsuf, Sastrawan, Dosen STFK Ledalero
Ø Dr.
Gabriel Faimau, akademisi, sosiolog
Ø Gerson Poyk (Sastrawan)
Ø Julius
Syaranamual (Sastrawan)
Ø Prof.Dr.
Willy Toisuta (Rektor UKSW)
Ø Prof.Frans
Likaja Mantan Rektor Undana
Ø Prof.Toelihere
Mantan Rektor Undana
Ø Prof Agus
Benu Mantan Rektor Undana
Ø Prof Niko
l.Kana.... UKSW
Ø Prof
Yosias Kana dari ITB
Ø Prof Wayan
Matius ....IPB Bogor
Ø Prof.
Frans Umbu Datta, mantan Rektor Undana
Ø Prof. Fred
Benu, Rektor Undana saat ini
Menteri dan Pejabat Tinggi Negara
Ø Ny. dr.
Nafsiah Mboy Menteri Kesehatan RI (saat ini)
Ø Ir.Alfred
Rohimone mantan Direktur Keuangan Pertamina
Militer dan Kepolisian
Ø El Tari,
mantan Gubernur NTT, Mayor Jenderal (Anumerta) TNI AD ,Pejuang Kemerdekaan dan
sempat terluka dalam pertempuran di Purwakarta
Ø Ben Mboi, Brigjen TNI AD (Kopasus), mantan Gubernur NTT
Ø LetJen TNI AD Julius Henuhili mantan
Danjen Akabri
Ø Komjen
(pol) Drs Gories Mere, mantan Kepala BNN, pernah menjabat Presiden Anti Narkotika se dunia
Ø May Jend
TNI-AD Herman Musakabe, Mantan Gubernur NTT
Ø Aleksander
Abineno, Termasuk Pendiri TNI AL (beliau NRP: 6, RE Martadinata
NRP:10), Aleksander Abineno yang merebut kapal perang Jepang Sugi Maru berbobot
1.000 ton mengubah namanya menjadi MERDEKA. Kemudian hari kapal perang itu
memakai code RI-1, sebagai kapal perang RI yang pertama
Ø Mayjend (marinir) Benny Balukh, mantan
Wadan Korps Marinir TNI AL
Ø Mayjen TNI
AD Wiliam Dacosta, Mantan Pangdam Udayana
Ø Kombes
(Pol) Drs.Titus Uly (1920-1989),
Kepala Kepolisian NTT yang pertama (1950-1952),mantan Anggota MPR-GR dan MPR_RI
Ø Irjen
(pol) Drs. Y.Jacki Uly, SH,MH mantan Kapolda NTT,Mantan Kapolda Sulawesi Utara,
Mantan Komandan Resimen Gegana Korps Brimob , Anggota Legiun Veteran RI, Ketua
Partai Nasdem NTT
Ø Brigjen
Pol Drs P.W.Daeng mantan Kapolda Riau
Ø Brigjen
(Pol) Drs Zwingli Manu mantan Dir Identikasi Mabes Polri
Ø Brigjen (pol) Dra Harnoldi Ratta-Messakh mantan
Ka. Seswan (Sekolah Polwan)
Ø Brigjen (Pol) Drs Yesaya Salean
Ø Brigjen
(pol) Drs Anthon Tifaona mantan Kapolda Sulutteng
Ø Brigjen
(pol) Drs J.C.Huwagunas
Ø Brigjen TNI AD Eduard Frans, mantan
Komandan BIN di Papua
Ø Brigjen
TNI AD Nehemia Tode
Pahlawan Nasional
Politisi
Ø Melchias Markus Mekeng, Politisi,
Parlemen Indonesia
Ø Raymundus
Sau Fernandes, Bupati TTU
Ø Dr. Benny
K. Harman (anggota DPR_RI)
Ø Ny.L.V.
Uly-Tanya > legislator wanita pertama di DPRD Prop NTT (1971-1982)
Ø Victor
Laiskodat SH, mantan anggota DPR RI, salah satu pendiri Partai Nasdem (salah
satu ketua DPP partai Nasional Demokrat)
Wartawan
Ø WILIBRODUS
MARIANUS dikenal juga dengan nama Willy Maribata, Jurnalis TV (Lentera
Indonesia - NET.), Alumni Pengajar Muda Indonesia Mengajar
Ø Sandro
Dandara, Jurnalis Radio dan Televisi, Anggota KPID Prop. NTT 2013-2016
Ø [{Alex
Japalatu}], jurnalis koran/majalah (Majalah INSPIRASI-Indonesia, Jakarta)
Ø Agustinus
Gusti Tetiro, Jurnalis/ Wartawan Ekonomi (Investor Daily)
Ø Kornelis
Kewa Ama, Wartawan KOMPAS
Ø Pieter
Gero, Dewan Redaksi KOMPAS Gramedia
Ø Mea
Sonbay, Jurnalis Suara Pembaharuan
Ø Peter
Aplonius Rohi (Wartawan Senior tiga jaman serta Wartawan Perang)
Ø Aco Manafe (Wartawan Senior
tiga jaman serta Wartawan Perang)
Ø Tony
Kleden, jurnalis koran dan tv
Ø Ir.Petrus Christian Mbuik, mantan
waPemred Suara Pembaharuan, Pemred Victory News
Jumat, 08 Oktober 2010
Dr. Yusuf Merukh, MPA.,
Pengusaha Tambang nan Sederhana, Berani & Tegas
Jusuf Merukh, pria
kelahiran 10 Juni 1936 di Pulau Rote, NTT. Dia dibesarkan di Ujungpandang. Jusuf adalah anak dari pasangan Yunus
Merukh (pegawai pemerintah Belanda di Maros yang kemudian bekerja di perusahaan
swasta milik Belanda), dan Esther Merukh. Seluruh pendidikan dari SD sampai
tingkat menengah dilalui Jusuf di Ujungpandang (Makassar). S-1 di Texas
Agricultural and Mechanical University, AS. Menjadi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat pada1981, berdasarkan Pemilu 1973. Pada 1992,
Jusuf dicopot dari Komisi VI DPR.
Jika diurut ke belakang, ia termasuk orang yang dekat
dengan kekuasaan Orde
sekaligus Orde Baru. Di masa Bung Karno, misalnya. Jusuf termasuk salah seorang yang
sering dipanggil ke istana. Mas Jusuf, demikian Bung Karno dan
keluarganya memanggil, tak cuma terlibat dalam soal urusan negara. Tapi juga
kepentingan keluarga Presiden. Sebagai Ketua PNI Jakarta Selatan, dialah
yang mencarikan lahan untuk tempat tinggal Guntur dan Megawati, di
kawasan Kebayoran. Begitu pula ketika Dewi Soekarno ingin membuat
sertifikat tanahnya. Ibu negara ini tak segan-segan meminta
bantuan Jusuf. Bukan cuma untuk mengurus sertifikat, karena Jusuf
menjabat sebagai Pembantu Utama Kementerian Agraria. Lebih dari itu, Ibu Dewi juga meminta agar
mobilnya dijualkan untuk biaya pembuatan sertifikat tersebut. Saking seringnya
dipanggil Presiden, sampai-sampai banyak orang menduga saya ini mau
dijadikan menteri ke-101, katanya mengenang.
Yusuf Kemudian menjadi pengusaha, sejak 1969 setelah berhenti
memangku jabatan sebagai Deputi Menteri Agraria, dengan pangkat golongan F-6.
Pada waktu itu Pak Amir
Machmoed (Mendagri waktu itu) mengeluarkan Permendagri, bahwa pegawai negeri, pegawai
tinggi, harus memilih, apakah melanjutkan menjadi anggota partai, atau
menjadi pegawai negeri. "Lho, saya sudah F-6 tunggu-tunggu di sini mau jadi apa?
Padahal, umur saya waktu itu baru 28 tahun," katanya.
Diceritakannya, sejak kembali dari Amerika, dia langsung menjadi pegawai negeri dengan golongan
F-2, pada l960. Setelah dua tahun, naik pangkat, terus, sehingga
pada 1963 sudah F-6. Jadi, dia mengatakan kepada Amir Machmoed untuk
berhenti sebagai pegawai negeri. Waktu itu dia telah menjadi ketua PNI Jakarta. Lalu partai mencalonkannya pada Pemilu 1973.
Di era 70-an, Jusuf mengaku, sebagai kader PDI, saat itu ia kesusahan mencari uang. Ia
berpikir, alangkah bagusnya kalau bekerja dengan kerja keras, berkeringat,
dan dengan sistematis. "Dan kalau saya menemukan tambang, akan
dihargai orang luar, sehingga mudah membawa orang luar ke dalam untuk kerja
sama," katanya.
Dia mencontohkan di Sumbawa, yang sekarang menjadi lokasi
penambangan emas
yang besar. Waktu itu, tuturnya, ketika melakukan survei dia memakai
sepeda motor. Di suatu tebing, dia terjatuh. Tiba-tiba, seperti ada suara yang menyuruhnya untuk
menengok ke suatu arah. Dia menuju ke arah tersebut, dan tepat di tempat
yang ditunjuk oleh "suara" tersebut, dia mulai menggali. Akhirnya, dia
menemukan, di balik permukaan tanah tersebut ternyata mengandung emas.
Pada 1983, ketika Menteri Prof. Soebroto menjadi Menteri
Pertambangan dan Energi, ia menyampaikan "Pak, ini 'kan suatu waktu kita harus bisa
mengurus tambang-tambang ini. Masa' terus-menerus ditangani asing. Kalau kita
tidak belajar, kapan lagi kita bisa?" Walaupun waktu itu, banyak pejabat pertambangan
menentang. Mereka berdalih bahwa usaha pertambangan itu tidak bisa ditangani
orang Indonesia, hanya bisa oleh orang asing. Tetapi akhirnya Pak Broto
memutuskan, dan usul Jusuf di DPR itu disetujui, yaitu, usaha pertambangan harus
bermitra antara pihak asing dan Indonesia. Ia mengusulkan
demikian, karena sebelumnya, Jusuf melakukan studi di Filipina. Di kawasan ASEAN, Filipina adalah satu-satunya negara yang memiliki sejarah
pertambangan yang lama, di mana orang Filipina ikut serta. "Kita punya
sejarah pertambangan yang lama, tetapi lamanya itu karena Belanda, yang
mengusahakan. Pribumi tidak ada," jelasnya. Jadi, ketika
mengusulkan hal itu kepada Soebroto, ia membandingkan, dengan Filipina. Tahun 1983
di Filipina, sudah ada ketentuan bahwa orang asing, pengusaha asing,
setinggi-tingginya (memiliki) saham 40 persen saham. Dia
bisa menjadi 60 persen, dengan memperoleh 20 persen
tambahan management fee,
tapi share holding 40 persen. Singkatnya, Soebroto
setuju. Ketika kran PMA dibuka, maka masuklah 103 perusahaan asing,
yang harus mencari mitra orang Indonesia. "Nyarinya susah, karena pada waktu
itu belum ada pengusaha pertambangan. Wong saya dapat 34 kontrak karya.
Karena mereka nyerbu masuk, kita tidak siap. Sekarang,
tinggal sedikit, tetapi sama seperti dulu, lisensi istimewa toh?"
katanya. (Antara tahun 1952-1953, di masa kabinet Wilopo, ketika diputuskan
hendak melaksanakan pembangunan ekonomi, dikeluarkan 2.000 lisensi istimewa
kepada pengusaha pribumi.
Impor apa saja boleh, supaya mereka menjadi pengusaha. Tetapi, dari jumlah
itu, yang mampu bertahan dan berkembang, bisa dihitung dengan jari. Di
antaranya: Hasjim Ning, TD Pardede, Sudarpo, Bakrie. Yang lainnya,
berguguran, --Red.). Demikian halnya dalam bidang pertambangan emas. Jusuf, yang pengusaha dan juga Wakil Ketua
Komisi VI saat itu (membidangi pertambangan, --Red.) di DPR, turut terlibat dalam
pembuatan draft kontrak karya.
Ia mengusulkan dua hal penting. Pertama, pemilikan Indonesia itu, tidak perlu dimulai
dengan besar, karena kita baru belajar. Bisa mulai 10, 20, 30 persen, tergantung
negosiasi, sehingga waktu itu, pada umumnya pengusaha Indonesia yang
bermitra dengan pihak asing, rata-rata memiliki saham 10 persen. Hanya
sedikit yang memiliki saham lebih dari 10 persen. Tetapi, ada ketentuan: setelah
lima tahun berproduksi, perusahaan asing itu berangsur-angsur
harus menjual sahamnya kepada mitranya, Indonesia, sampai Indonesia memiliki 51
persen, dan asing 49 persen. "Itu usul saya di Dewan," ujar Jusuf.
Kedua, kalau mitra asing itu mau menjual sahamnya kepada siapa pun, harus minta persetujuan
kepada mitra Indonesianya, dan mendapatkan pengesahan persetujuan dari
pemerintah Indonesia. Mengapa? Waktu itu, Jusuf mendapat inspirasi ketika
perusahaan Mercedez Jerman, dibeli oleh perusahaan Arab. Dan ternyata
pengusaha Arab sekarang itu menjadi mayoritas pemegang saham perusahaan Mercedez
Jerman.
Tahun 70-an, ketika ia mulai terjun di pertambangan emas, harga
emas 100 dolar per ounce, sedang ongkos produksinya 110 dolar. Maka, tidak
ada orang yang mau menambang emas. "Saya pikir-pikir, apa betul begitu? Suatu
ketika harga emas mesti naik dong?" ujar Jusuf. Maka, Jusuf bersama
perusahaan Amerika AMEX (American Metal Exploration), mencari chrome (waktu itu
terjadi perang di Rhodesia, sedangkan konsumsi chrome dunia 80 persen
berasal dari sana) hampir di seluruh wilayah
Mereka mencari chrome mulai dari Aceh, Kalimantan, Irian, bahkan juga di Halmahera dan Jawa,
namun yang ditemukan malah emas. Teman dari Amex pun pulang ke AS. Tapi,
Jusuf berpikir, suatu ketika harga emas pasti naik. Maka, ia pun mulai
terjun ke dunia pertambangan emas. Ia mulai mencari, dan, antara lain, ia
menemukan Busang.
Pada 1985, sudah bisa diketahui prospek Busang. Setelah membuat KK
dengan Pemerintah pada 1987, maka pada 7 Oktober 1988, RD Chuck,
geologist dari Australia, melakukan penelitian secara mendalam, yang menunjukkan bahwa Busang mempunyai potensi besar sebagai tambang emas. Waktu itu penggalian (yang dilakukan
bersamaan dengan penelitian) sudah masuk ke studi kelayakan (feasibility
study). Penemuan pada 1988 itu, sudah diumumkan di Australia. "Jadi,bukannya
Bre-X yang menemukan," kata Jusuf.
Cikal Bakal Kekayaan
Merukh
Dengan bermodal gelar insinyur, kalau mau, Jusuf sebenarnya bisa menjadi pejabat setingkat
menteri. Itu terlihat dari lonjakan kariernya ketika di Kementerian
Agraria. Ketika itu, hanya dalam waktu dua tahun, ia mengalami kenaikan golongan
sampai empat kali, sehingga di awal tahun 1965 ia sudah mengantungi surat
pengangkatan untuk golongan F6. Itu bisa dimaklumi, karena pada waktu
itu (zaman Orla) yang namanya insinyur pertanian baru ada tiga orang. Kalau sekarang, golongan itu sama dengan pangkat Jaksa Agung. Sebab
gubernur saja golongannya cuma F5, kata bekas Ketua Pemuda
Demokrat Sulawesi itu. Tapi, rupanya, dorongan untuk menjadi pekerja politik lebih besar
ketimbang naluri jadi pegawai negeri. Maka, ketika Menteri Dalam
Negeri Amir Machmud menyuruhnya memilih, jadi pegawai negeri atau anggota partai
politik, Jusuf lebih suka tetap menjadi anggota PNI. Ia rela
mengorbankan masa depannya tanpa mendapatkan uang pensiun seperser pun. Maklum, masa
kerjanya belum sampai 10 tahun. Perhitungan Jusuf ketika itu, kendati
ke luar dari pegawai negeri ia tetap akan hidup
berkecukupan. Soalnya, ketika menjadi pejabat, ada seorang pengusaha yang berjanji akan
memberi jatah usaha. Begini ceritanya. Suatu hari, ia dipanggil Ali
Sastroamidjojo. Tokoh PNI ini meminta agar Jusuf membantu perizinan usaha
perkebunan yang akan dibuka oleh seorang pengusaha Arab bernama Jusuf
Bahrun, di Aceh. Ia membantu bukan cuma karena si Bahrun ini getol membantu
keuangan partai, tapi juga menjanjikan saham sebanyak 30%. Pokoknya kalau
Bapak pensiun, saham ini boleh diambil, kata Bahrun kepada Merukh. Makanya,
selepas dari pegawai negeri, Merukh bersama istrinya menemui Bahrun
di Medan. Tapi entah kenapa, selama dua pekan tinggal di sana, pengurusan
saham yang dijanjikan di notaris tak kunjung tuntas.
Akhirnya, Merukh disarankan pulang ke Jakarta denga n janji akan
dipanggil lagi jika urusan pembagian saham di notaris selesai. Tapi apa yang terjadi? Saham
belum dibagi, pengusaha keturunan Arab itu keburu tewas lantaran pesawat
helikopter yang ditumpanginya jatuh. Akibatnya, Ya, saya jadi tidak dapat
apa-apa, ujar Jusuf.
Tak habis akal, Jusuf pun menghadap Menteri Kehutanan, yang ketika itu dijabat Sudjarwo.
Dari departemen inilah ia mem-peroleh ratusan ribu hektare HPH di
Kalimantan, Halmahera, dan Sulawesi. Ia bisa dengan mudah memperoleh konsesi.
Sebab, dulunya, sebag i kepala kabinet menteri, Jusuf terhitung bos
Sudjarwo. di
sinilah ia menjadi kaya raya. HPH-nya dikontrakkan pada
pengusaha Jepang, sementara Jusuf sendiri ongkang-ongkang
kaki mengantungi royalti. Kalau you ketemu saya waktu itu, you bisa lihat
betapa kayanya saya, katanya mengenang. Pendapatan dari HPH itu sebagian
ditabung Jusuf di sebuah Bank Hongkong.
Karir Di Dunia
Tambang Terus Meroket
Dalam satu kesempatan, Yusuf Merukh pernah masuk dalam ranking
no 76 orang terkaya di Indonesia versi Majalah Globe Asia. Perjalanan Jusuf
Merukh dalam meraih sukses tergolong mulus. Sepulang dari Texas, ia disambut
bukan cuma oleh PNI, tapi juga pemerintah. Dalam konteks ini, Yusuf menjadi
salah satu orang terkaya dengan usia yang relative muda. Dengan 500 kuasa
tambangnya, Jusuf menguasai sejumlah tambang emas. Menurut
Merukh, suatu hari, tahun 1970, datang ajakan dari Tony Branco (temannya dari Amerika) untuk terjun ke bisnis
pertambangan. Dengan modal tabungan sebanyak US$ 5 juta, Jusuf membeli tak kurang dari 500
hak kuasa pertambangan (KP). Tujuannya hanya satu , mencari chrom. Tapi sial, yang
ketemu selalu emas. Padahal, waktu itu harga emas sedang
jatuh-jatuhnya: US$ 100 per ounces alias US$ 10 di bawah biaya produksi. Kendati ditinggal mitra
asingnya, di beberapa lokasi Jusuf terus melakukan penambangan.
Hasilnya, selain emas, ia juga menemukan mangaan dari Pulau Halmahera. Ekspor
mangaan itu merupakan hasil pertama saya dari pertambangan,
katanya. Saking tertariknya pada pertambangan, ia tak bosan-bosan
mendesak pemerintah agar segera membuka bidang usaha ini bagi
investor asing. Usulan itu makin gencar diajukan ketika Menteri Pertambangan
dijabat Soebroto. Tidak sia-sia, pemerintah akhirnya menyetujui usulan Merukh.
Bahkan, bekas Ketua DPRD DKI ini ikut menyusun aturan main yang
harus dipenuhi kontrak karya (KK) yang melibatkan investasi asing.
Salah satu dari aturan main itu: pengalihan saham asing harus dilakukan
sepengetahuan Pemerintah Indonesia dan mitra lokal. Nah, itulah sebabnya,
kenapa Merukh tidak mengakui kepemilikan Bre-X di Busang.
Dan ia tetap menganggap Westralian Atan Minerals sebagai mitranya.
Kini Yusuf
Merukh terus berekspansi. Kerajaan bisnisnya terus menjelma di bawah payung
holding company yakni Merukh Enterprises.
Dalam beberapa catatan, Merukh Enterprises kini membawahi beberapa perusahaan
seperti PT. Pukuafu Indah (menguasai
20 persen saham di PT Newmont Nusa Tenggara yang
beroperasi di Sumbawa Barat), PT Lebong Tandai (mengusai 100 persen saham Avocet Mining Plc-Malaysia), Sabang Merauke Raya
Air Charter (SMAC) dan Dirgantara Air Services (DAS) – dengan kepemilikan 100
persen, PT Sumba Prima Iron, dan lainnya. Selain itu, Merukh Enterprises Corp
kini membangun komunikasi dan mitra bisnis dengan berbagai perusahaan kelas
dunia seperti; Newmont Mining Corporation (USA), Sumitomo Corporation (Japan),
Avocet Mining (UK), ThyssenKrupp (Germany), International Mining Corporation
Pty Ltd (Australia), Kopex SA (Poland), KGHM Polska Miedz (Poland), MAN Takraf
(Germany), Thiess Contractor (Australia), Roberts Schaefer Soros
(USA), SIG Manzini (Italy), China Metallugical Corp (China), Sino Steel
(China), Sinnaker Capital Group.
Lainnnya
Meruk Enterprises juga pernah membangun mitra dan hubungan bisnis dengan Lehman
Brothers dan Merrill Lynch International Bank Limited.
Dalam suatu kesempatan, Yusuf berkomentar singkat, “hidup ini harus
dilakoni dengan kerja keras. Keberanian untuk bertindak dan mengambil keputusan
adalah salah satu hal penting untuk dilakukan. Lebih dari itu, kesederhanaan
dalam meladeni hidup adalah motivasi untuk berjuang lebih keras. Saya ini
puluhan tahun hanya menggunakan kijang sebagai kendaraan pribadi, baru-baru ini
saja diganti, tak enak dengan kawan-kawan”, ungkap Yusuf menyudahi cerita
hidupnya. Inilah salah satu bukti kesederhanaan Yusuf Merukh, di tengah
assetnya yang bajibun.
http://www.roabaca.com/profil/dr-yusuf-merukh-mpa-pengusaha-tambang-nan-sederhana-berani-tegas.html
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Saya org Rote bangga karea banyak putra putri Rote berhasl sebagai pemimpin ini luar biasa
BalasHapus