Kue ramah lingkungan.
21
12
2007
Pernahkah
anda mendengar kue ramah lingkungan? Saya rasa jarang. Sebab istilah
itu hanya karangan saya. Jika sebelumnya sudah ada yang menggunakan itu,
berarti kebetulan sama.
Saya beberapa kali merasakan nikmatnya kue ramah lingkungan (green cake). Ceritanya begini.
Semester lalu saya mengambil mata kuliah Renewable Energy and Sustainable Development.
Bagi saya, kuliah ini agak membosankan. Bagaimana tidak? Di mata kuliah
ini dipelajari pola konsumsi energi dunia, dengan penekanan pada
negara-negara berkembang. Pada minggu-minggu awal, kami belajar tentang
lampu teplok, lampu petromax, lampu badai, tungku masak, kompor minyak
tanah, kompor sekam. Juga belajar animal power seperti kerbau pembajak sawah dan human power misalnya sepeda dayung, pompa air manual, dll.
Yang
membuat saya bosan adalah karena bagi saya semua itu sudah sangat
biasa. Saya melihat dan menggunakan semua itu setiap hari di kampung
halaman saya. Saya berpikir bahwa semua itu adalah teknologi masa lalu
yang mesti ditinggalkan, beralih ke teknologi modern.
Yang
membuat saya agak terhibur adalah cara dosen membawakannya secara
menarik. Kami juga mendekatinya dari sisi fisika, misalnya berapa energi
yang dikeluarkan saat mendayung sepeda dan berapa serta jenis makanan
yang perlu dimakan untuk menghasilkan energi tersebut. Atau berapa
energi yang diperlukan kerbau untuk membajak sawah dan berapa jumlah
rumput yang mesti dimakan kerbau untuk memenuhi energi itu, dsb. Pada
bagian akhir, juga dipelajari metode yang mesti dilalui pelaksana proyek
penerapan energi baru di negara berkembang. Dipelajari bagaimana
penduduk bisa menerima perubahan itu, bagaimana proyek supaya sukses,
dsb.
Namun tetap saja 60% membosankan.
Tapi
saya sungguh tercengang. Setiap kuliah, kelas selalu heboh, karena
mahasiswa/i bule ternyata sebaliknya. Mereka amat tertarik. Tercengang.
Tidak percaya bahwa di dunia ini lebih 2 Miliar manusia menggunakan
peralatan-peralatan ‘primitif’ itu. Jumlah ini sangat signifikan,
sehingga masih relevan dipelajari. Mereka sangat antusias, mengajukan
pertanyaan dan aktif dalam diskusi. Semua mereka tidak pernah melihat
kompor minyak tanah. Juga tidak satu pun pernah melihat orang memasak
menggunakan kayu api. Di negeri mereka, semua serba listrik, serba gas.
Baru kemudian saya sadari bahwa bukan mata kuliahnya yang salah, tapi paradigma mahasiswa yang berbeda.
Wah ceritanya jadi kemana-mana. Kembali ke kue ramah lingkungan.
Pada mata kuliah ini kami melakukan tiga praktikum berkelompok, yaitu biogas (memasak menggunakan gas yang dihasilkan dari kotoran hewan), solar cooker, dan solar dryer (mengeringkan buah-buahan menggunakan tenaga matahari).
Yang akan saya ceritakan di sini adalah solar cooker, karena dua praktikum lain lebih scientific, rada garing.
Kelompok saya memilih memasak kue bolu. Untuk keperlua itu kami menggunakan dua jenis kompor matahari (solar cooker),
yaitu Sun Co (buatan Portugal) dan Sun Oven (buatan Australia).
Eksperimen dibagi menjadi dua bagian, yaitu memasak air dan memasak kue.
Pada percobaan memasak air, kami membandingkan kompor mana yang lebih
cepat membuat air mendidih dengan volume air dan intensitas cahaya
matahari sama. Melalui berbagai pengukuran, di bagian akhir kami bisa
menentukan jenis kompor matahari yang lebih efisien dan
parameter-parameter yang mempengaruhi.
Pada
percobaan memasak kue, kami menggunakan prinsip yang sama. Tapi kali
ini yang dimasak adalah kue. Adonan kue dimasukkan ke dalam sebuah
mangkok berwarna hitam. Alasannya karena warna hitam paling bagus
menyerap panas. Lalu mangkok dimasukkan ke dalam kompor matahari, dan
ditutup rapat supaya panas tidak keluar. Kompor ini bagian dalamnya juga
berwarna hitam, dengan alasan yang sama. Terdapat beberapa cermin pada
kompor matahari. Sun Co memiliki 8 cermin (4 di luar dan 4 di dalam),
dan Sun Oven memiliki 5 cermin (1 di luar dan 4 di dalam). Semua cermin
ini memantulkan cahaya matahari ke dalam ruangan kompor di mana kue
dimasak. Sebagai hasilnya, pada ruangan tersebut, terjadi peningkatan
energi panas berlipat-lipat.
Kemudian
kami hadapkan kedua kompor ke sinar matahari. Setiap lima menit kami
mengukur suhu di dalam kompor dan membandingkannya dengan suhu luar.
Terlihat bahwa semakin lama suhu di dalam kompor semakin panas. Dalam
waktu hanya belasan menit, suhunya mencapai 90 derajat. Saat itu kami
mulai mencium aroma kue menyeruak keluar, singgah di hidung kami,
memancing rasa lapar. Warna kue pun perlahan-lahan menjadi semakin
gelap. Kami juga mengukur kelembaban, kecepatan angin, dll.
Ahkirnya
kue kami matang sempurna. Hal pertama yang kami lakukan adalah
bersama-sama mencium baunya yang sedap. hmmmmmm. Ketika sang dosen
datang. Kami bersama-sama menikmati kue buatan kami. Mereka mengatakan
bahwa rasanya lebih sedap dibandingkan dimasak dengan api atau oven.
Tapi saya tidak bisa membedakannya, karena lidah saya tidak sensitif
terhadap makanan. Yang saya tahu, kue itu enak sekali. Apalagi karena
itu adalah kue bolu rasa pisang kesukaan saya. Teman saya mengatakan, “This is a honeymoon in the Pacific.”
Terlepas
dari rasa kue yang enak sehingga ludes dalam sekejab, yang membuat saya
takjub adalah proses memasaknya. Kompor kami tidak menggunakan minyak.
Juga tidak menggunakan gas. Tidak ada kabel yang terhubung ke colokan
listrik. Tidak ada api. Bahan bakarnya hanya cahaya matahari. Tidak ada
batubara dan minyak yang dibakar saat itu. Tidak ada karbon yang
dilepaskan ke udara. Kue yang bersih. Inilah kue ramah lingkungan
pertama saya. Terasa makin nikmat bukan karena rasanya, tapi karena
‘rasa puas’ mengkonsumsi sesuatu tanpa merusak lingkungan.
Setelah
semester berakhir, kami beramai-ramai meminjam kompor matahari lagi ke
laboratorium, kembali menikmai bulan madu di Pasifik.
Saat
mebuat laporan, saya menemukan bahwa cahaya matahari sesungguhnya
membawa energi yang amat besar. Kita tidak merasakannya sebab ia
tersebar. Tapi saat disatukan dengan beberapa cermin, energinya berlipat
ganda, menghasilkan panas sampai melebihi 100 derajat, dalam waktu
hanya sekitar setengah jam. “Energi cahaya matahari yang mencapai bumi
dalam satu jam, lebih besar daripada seluruh energi fosil yang digunakan
seluruh dunia selama setahun” (California Institute of Technology).
Bagaimana
kalau saat itu cahaya matahari tidak cukup karena hujan dan mendung?
Jawabannya, ya tidak bisa memasak. Dan memang teknologi energi
terbarukan kini bukan berambisi menggantikan energi fosil secara total.
Hingga kini, energi terbarukan ditujukan struktur energy mix,
yaitu mencampurkan penggunakan energi terbarukan dengan energi lain,
seperti fosil. Logikanya, jika selama ini kita menggunakan energi fosil
100% dan menghaburkan karbon ke udara, dengan adanya energi terbarukan,
kita menurunkannya menjadi 50% misalnya, yang berarti mengurangi emisi
karbon menjadi separuhnya.
https://kunaifi.wordpress.com/category/209-tenaga-matahari/page/2/
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.