LAW COMMUNITY
meskipun dunia ini akan runtuh hukum harus ditegakan
I. PENDAHULUAN
Hukum Humaniter Internasional memiliki sejarah yang singkat namun penuh peristiwa. Untuk menghindari penderitaan akibat perang maka baru pada pertengahan abad ke-19 negara-negara melakukan kesepakatan tentang peraturan-peraturan internasional dalam suatu konvensi yang mereka setujui sendiri (Lembar Fakta HAM, 1998: 172).
Sejak saat itu, perubahan sifat pertikaian bersenjata dan daya merusak persenjataan modern menyadarkan perlunya banyak perbaiakan dan perluasan hukum humaniter melalui negosiasi–negosiasi panjang yang membutuhkan kesabaran.
Perkembangan Hukum Humaniter Internasional yang berhubungan dengan perlindungan bagi korban perang dan hukum perang sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum perlindungan Hak Asasi Manusia setelah Perang Dunia Kedua. Penetapan instrumen internasional yang penting dalam bidang Hak Asasi Manusia seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (1950) dan Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966) memberikan sumbangan untuk memperkuat pandfangan bahwa semua orang berhak menikmati Hak Asasi Manusia, baik dalam pada masa perang maupun damai.
Selama keadaan perang atau keadaan darurat berlangsung, pemenuhan hak asasi tertentu mungkin dibatasi berdasarkan kondisi-kondisi tertentu. Pasal 4 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik mengizinkan negara melakukan upaya-upaya yang bersifat sementara megabaikan beberapa kewajiban negara berdasarkan konvenan “ketika terjadi keadaan darurat yang mengancam keselamatan bangsa,” tapi hanya “sejauh yang sangat dibutuhkan oleh keadaan yang bersifat darurat( Komnas HAM, 1998, 72).
Hukum Humaniter Internasional memiliki sejarah yang singkat namun penuh peristiwa. Untuk menghindari penderitaan akibat perang maka baru pada pertengahan abad ke-19 negara-negara melakukan kesepakatan tentang peraturan-peraturan internasional dalam suatu konvensi yang mereka setujui sendiri (Lembar Fakta HAM, 1998: 172).
Sejak saat itu, perubahan sifat pertikaian bersenjata dan daya merusak persenjataan modern menyadarkan perlunya banyak perbaiakan dan perluasan hukum humaniter melalui negosiasi–negosiasi panjang yang membutuhkan kesabaran.
Perkembangan Hukum Humaniter Internasional yang berhubungan dengan perlindungan bagi korban perang dan hukum perang sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum perlindungan Hak Asasi Manusia setelah Perang Dunia Kedua. Penetapan instrumen internasional yang penting dalam bidang Hak Asasi Manusia seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (1950) dan Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966) memberikan sumbangan untuk memperkuat pandfangan bahwa semua orang berhak menikmati Hak Asasi Manusia, baik dalam pada masa perang maupun damai.
Selama keadaan perang atau keadaan darurat berlangsung, pemenuhan hak asasi tertentu mungkin dibatasi berdasarkan kondisi-kondisi tertentu. Pasal 4 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik mengizinkan negara melakukan upaya-upaya yang bersifat sementara megabaikan beberapa kewajiban negara berdasarkan konvenan “ketika terjadi keadaan darurat yang mengancam keselamatan bangsa,” tapi hanya “sejauh yang sangat dibutuhkan oleh keadaan yang bersifat darurat( Komnas HAM, 1998, 72).
Dalam konteks lokal (Aceh), barangkali materi ini terasa semakin penting, sebab terdapat berbagai kasus yang bisa menjurus kepada konflik bersenjata, dan dengan latar belakang mana, menimbulkan pertanyaan : bagaimana penerapan Hukum Humaniter di dalam konflik-konflik di daerah ini? Bagaimana pula aspek Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam penerapan tersebut? dan perlukan Hukum Humaniter dan HAM disosialisasikan kepada berbagai kalangan seperti angkatan bersenjata, pejabat pemerintahan, para akademisi, praktisi dan bahkan kepada masyarakat umum.
Kita coba dekati dulu pembahasan kita pada istilah, yaitu HAM dan Hukum Humaniter Internasional (HHI). Kedua istilah ini sering disinggung oleh media massa atau masyarakat, namun keduanya sering pula disalahgunakan, bahkan sering dianggap sebagai ciptaan baru dari kebijaksanaan internasional. Istilah HAM dan HHI sebenarnya berasal dari dua sistem hukum yang berbeda. Namun, keduanya sangat erat hubungannya, saling berkaitan, saling pengaruh mempengaruhi sehingga sering terjadi tumpang tindih. HHI dan HAM mempunyai tujuan yang sama yaitu perlindungan manusia( Arlina Permanasari, 1999:36), tetapi HHI dan HAM merupakan dua bagian dari hukum yang berbeda jika dilihat dari segi lingkup penerapannya dan sasarannya.
HHI adalah hukum darurat yang hanya diterapkan apabila terjadi pertikaian bersenjata, baik internasional maupun dalam negeri. HHI terdiri dari peraturan dan ketentuan yang mengatur cara/pelaksanaan yang mencakup antara lain ketentuan yang mengatur cara dan alat berperang, baik secara aktif turut serta dalam permusuhan (kombatan) maupun mereka yang tidak turut aktif dalam permusuhan (penduduk sipil). Mungkin di sini dapat kita katakan Hukum Humaniter adalah “peraturan permainan” yang harus ditaati oleh para pemain, dalam hal ini para pihak dalam perang.
Sementara itu, HAM berlaku dalam situasi apapun baik pada waktu perang
maupun di masa damai. Ketentuan-ketentuan HAM menjadi hak dan kebebasan
baik sipil, politik, ekonomi sosial maupun budaya setiap orang demi
tercapainya perkembangan harmonis setiap individu dalam masyarakat. HAM
memberikan perlindungan terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh
pemerintah. Hak-hak tersebut terdapat dalam Hukum Internasional dan
hak-hak yang bersifat paling penting dimuat pula dalam undang-undang
berbagai negara. Adapun yang dimaksu dengan HAM disini adalah
perlindungan Internasional HAM atau Hukum Internasional HAM yaitu segala
peraturan tentang kemanusian yang harus dipenuhi oleh semua negara.
Ada baiknya sebelum dijelaskan Hukum Humaniter dan hubungannya dengan HAM, perlu kita mempertibangkan suatu pertanyaan; “Apakah Hukum Humaniter itu berguna?”. Kalau kita melihat/mendengar informasi dari berbagai negara yang terlibat dalam pertikaian bersenjata, setiap hari ada berita mengenai peperangan, pemboman desa-desa, serangan yang diarahkan kepada sasaran sipil, perlakuan yang tidak baik terhadap tawanan perang, penyiksaan, pemerkosaan, hukuman mati yang dijatuhkan tanpa proses pengadilan, masyarakat sipil yang menderita kelaparan selama di bawah pendudukan musuh, dan sebagainya.
Adanya perang tersebut tentu adanya pelanggaran terhadap penerapan Hukum Humaniter. Karena itu, kita boleh bertanya apakah Hukum Humaniter ini hanya merupakan sebuah hasrat yang mencerminkan semacam dunia ideal, tetapi jauh dan berbeda dengan dunia nyata. pemikiran seperti ini tidak salah, tetapi terlalu pesimis. Kita harus mengakui bahwa Hukum Humaniter sering tidak dipatuhi, tetapi kita harus melihat seluruh situasi dimana peraturan-peraturan Hukum Humaniter ini benar-benar dihormati. Dengan pertimbangkan semua kasus dimana jiwa manusia dapat diselamatkan, Karena para peserta tempur masih mempunyai rasa perikemanusiaan sesuai dengan Hukum Humaniter.
Kemudian timbul pertanyaan ber
ikutnya? apakah pelanggaran terhadap Hukum
Humaniter, semakin meningkat, atau merupakan perasaan kita saja ? Dalam
hal ini kita perlu mempertimbangkan beberapa faktor:
1. Kita mempunyai kecenderungan dan lebih tertarik pada pelanggaran Hukum Humaniter, karena adanya korban. Sementara, kita jarang mendengar tentang pertukaran tawanan perang antar dua negara, pemberian makanan bagi masyarakat sipil yang menderita kelaparan, dan penghukuman orang yang bersalah karena melanggar Hukum Humaniter. Dari situ timbul kesimpulan bahwa lebih sering Hukum Humaniter tidak dihormati. Tetapi kalau kita membaca laporan tahunan ICRC, kita mendapat gambaran yang lebih lengkap, yakni banyak sekali situai dimana korban jiwa dapat dihindari atau masalah humaniter dapat diatasi dengan menerapkan peraturan-peraturan Hukum Humaniter dan hadiranya ICRC melaksanakan tugasnya di seluruh dunia.
2. Adanya teknologi mengakibatkan media massa dapat melaporkan peristiwa yang terjadi di seluruh dunia, lebih akurat, cepat dan bergambar. Perkembangan ini ada baiknya, karena dengan meyaksikan kejadian dramatis timbul opini publik dan adanya akibat politik yang mahal sekali harus dibayar oleh setiap pelanggaran Hukum Humaniter. Oleh karena itu, ada negara yang membatasi kebebasan pers untuk merahasiakan informasi. Tetapi pada suatu saat, infomrasi tersebut pasti akan diketahui pula.
3. Kita juga tidak boleh melupakan usaha ICRC untuk membatasi jumlah pelanggaran terhadap Hukum Humaniter. Secara pasif, ICRC menugaskan delegasi di lapangan sudah bersifat efektif untuk mencegah adanya pelanggaran. Secara aktif, ICRC dapat bertindak langsung pada instansi pemerintah yang bersangkutan supaya pelanggaran dihentikan. Dengan demikian, masalah perikemanusiaan dapat dihindari dan diatasi dengan menerapkan Hukum Humaniter.
4. Melihat kita mempertimbangkan jumlah pelanggaran, kita juga harus sadar bahwa kadang-kadang pelanggaran itu disebabkan karena kurang pengetahuan saja. Bagaimana mungkin orang dapat mematuhi hukum, sedangkan peraturannya belum diketahui? Kekurangan pengetahuan mengenai Hukum Humaniter baik dipihak yang melanggar maupun korbannya. Hukum Humaniter terdiri dari hak dan kewajiban yang perlu disebarluaskan, sehingga pihak yang mempunyai kewajiban dapat bersikap sesuai dengan aturan-aturan dan pihak yang mempunyai hak dapat meminta agar aturan-aturan itu dihormati.
Setelah mempertimbangkan faktor-faktor tersebut di atas, dapat disimpulkan bawa Hukum Humaniter tetap berguna, meskipun lebih sering terdengar tentang pelanggaran daripada penerapannya. Yang pasti, kita perlu terus meningkatkan usaha untuk mendukung pelaksanaan Hukum Humaniter untuk mencegah semaksimal mungkin adanya pelanggaran.
Pada tanggal 24 Juni 1859 di kota Solferino Itali Utara, pasukan
Perancis dan Itali sedang sedang bertempur melawan pasukan Austria dalam
suatu pertempuran yang sangat mengerikan. Pada hari yang sama, seorang
pemuda dari Swiss bernama Henri Dunant tiba di sana dengan harapan dapat
bertemu dengan Kaisar Perancis, Napoleon. Henry Dunant secara kebetulan
menyaksikan langsung pertempuran Solferino. Waktu itu, dinas medis
militer yang sedang bertugas di medan pertempuran sangat kurang untuk
dapat merawat korban pertempuran tersebut. Dalam pertempuran tersebut
yang mati atau luka ada 3 marsekal, 9 jenderal, 1.566 opsir dari segala
tindakan dan kurang lebih 40.000 bintara dan prajurit yang mati dalam
jangka waktu 5 jam
1
sebanyak 38.000 orang kebanyakan karena tidak
mendapat pertolongan/pengobatan pada waktu atau kurang perawatan
(G.I.A.D Draper, 1958:2). Tergetar oleh penderitaan tentara yang
terluka, Henry Dunant bekerjasama dengan penduduk setempat, segera
bertindak mengkoordinasikan bantuan untuk mereka.
Setelah kembali ke Swiss, dia menggambarkan pengalaman itu dalam sebuah
buku berjudul “Kenangan dari Solferino”, yang menggemparkan seluruh
Eropa. Dalam bukunya, Henry Dunant mengajukan dua gagasan.
1. Pertama, membentuk organisasi sukarelawan, yang akan disiapkan dimasa
damai untuk menolong para prajurit yang cedera di medan perang.
2. Kedua mengadakan perjanjian internasional guna melindungi prajurit
yang cedera di medan perang, serta sukarelawan dari organisasi tersebut
pada waktu memberikan perawatan.
Pada tahun 1863, empat orang warga kota Jenewa bergabung dengan Henry
Dunant untuk mengembangkan kedua gagasan tersebut. Mereka bersama sama
membentuk “Komite internasional untuk bantuan para tentara yang cedera”.
yang sekarang disebut Komite Internasional Palang Merah/Internasional
Committee of the Red Cross (ICRC).
Berdasarkan gagasan kedua, pada tahun 1864 diadakan Konfrensi
Internasional yang menyetujui “Konfensi untuk perbaikan kondisi prajurit
yang cedera di medan perang”( Muchtar Kusumatmadja, 1986,4). Ini
merupakan tahapan pertama dalam pengembangan Hukum Humaniter
Internasional (HHI). Kemudian konvensi ini disempurnakan dan
dikembangkan menjadi empat Konvensi Jenewa tahun 1949, yang disebut juga
dengan Hukum Perikemanusiaan Internasional yang pada dasarnya bertujuan
untuk mengurangi kejatan korban yang cedera ataupun mati, serta
kerusakan harta benda yang disebabkan oleh pertikaian bersenjata.
Perlu ditanamkan keyakinan bahwa hubungan antara perang dan hukum juga
seperti bentuk hubungan antara manusia lainnya, yaitu diatur oleh
ketentuan-ketentuan atau dengan kata lain ada aturannya.
Sama sekali tidak benar anggapan kebanyakan orang yang mengatakan perang
dan hukum merupakan dua kata yang tiada sangkut-pautnya atau dalam
perang lenyaplah segala hukum sebagaimana dikatakan oleh Cicero yang
dalam bahasa Romawi disebutkan dengan “inter arma silent leges”( Muchtar
Kusumaatmadja, 1986:9).
Dahulu kala perang memang merupakan suatu pembunuhan besar-besaran
antara kedua belah pihak yang berperang. Pembunuhan besar-besaran ini
hanya merupakan salah satu bentuk perwujudan dari naluri mempertahankan
diri baik dalam pergaulan antara manusia maupun dalam pergaulan antar
bangsa. Karena itu sejarah perang sama tuanya dengan sejarah manusia.
Suatu kenyataan yang menyedihkan sebagaimana yang ditulis oleh Jean
Pictet pada tahun 1962 bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis,
umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian dan bagaimana setelah
tahun 1962 ada tahun yang tidak terjadi perang?.
Naluri mempertahankan diri dengan cara berperang yang tidak mengenal
batas merugikan umat manusia, perlu diadakan pembatasan-pembatasan
dengan menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara
bangsa-bangsa.
Di samping pertimbangan-pertimbangan perang di atas yang bersumber pada
kecemasan akan pembalasan dan didasarkan atas penyelamatan diri sendiri,
maka dengan bertambah majunya peradaban orang mulai pula menginsafi
bahwa kekejaman itu bertentangan dengan martabat manusia dan penghargaan
atas diri, jiwa dan kehormatan.
Dalam bentuk yang modern perang sebenarnya didasarkan pada rasa
kemanusiaan. Di India sejak dahulu kala telah ada peraturan hukum perang
yang bertujuan menlindungi orang-orang yang tidak berdaya, luka dan
sakit. Dalam cerita Mahabrata mengandung larangan untuk menyerang orang
yang telah meletakkan senjata, luka berat, pelarian, tidak dapat turut
lagi dalam pertempuran, minta ampun, sedang tidur, makan, dan minum
sangat lelah atau gila, mengikuti tentara musuh sebagai pembantu atau
yang melakukan pekerjaan kasar( M.W. Mouton, 1947.
Dalam Hukum Internatioanal India Kuno terdapat ketentuan-ketentuan
mengenai hak-hak tentara pendudukan, senjata terlarang, dan perlakuan
tawanan perang, yang hampir sama dengan peraturan Den Haag mengenai
peperangan di darat padat tahun 1907. Yunani Kuno dan Roma mengenal
ketentuan-ketentuan yang melarang pemakaian racun, pembunuhan tawanan
perang dan penyerangan atas tempat-tempat ibadah. Sumbangan yang
berharga dari orang Romawi kepada hukum perang modern adalah definisi
dari pengertian kombatan dalam suatu peperangan harus dimulai dari suatu
pernyatan perang.
Agama Kristen yang mengajarkan umatnya untuk mencintai sesamanya, juga
telah meluaskan semangat perikemanusiaan dalam perang. Akan tetapi
perikemanusiaan atas lawan ini sering hanya terbatas pada musuh yang
seagama saja, sedangkan lawan yang berlainan agamanya masih terjadi
kebuasan-kebuasan. Misaknya dalam perang salib, orang Islam lebih
berperikemanusiaan dari pada lawan mereka.
Dalam hukum Islam, khususnya hukum perang Islam jelas menggambarkan
pengaruh perkemanusiaan. Selain ajaran tentang jihad (perang suci)
sebagai perang adil (bellum justum) yang merupakan bagian penting dari
pada hukum perang Islam, ada pula ketentuan-ketentuan yang jelas
mengenai cara memulai perang, larangan untuk menyerang anak-anak,
wanita, orang-oarang sakit dan lanjut usia, pembagian harta rampasan
perang, perlakuan tawanan perang, cara mengakhiri perang dan sebagainya.
Larangan untuk menimbulkan kerusakan dan penderitaan yang tidak perlu
didasarkan atas ajaran perikemanusiaan sebagaimana tercantum dalam
al-Quran.
Apabila kita tinjau hukum perang pada masa sekarang dapat kita
membedakan dalam jus ad bellum atau hukum tentang perang yang mengatur
bagimanakah suatu negara dibenarkan untuk menggunakan kekerasan senjata
(Hukum Den Haag) dan jus bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang
(Hukum Jenewa). Karena eratnya hubungan Konvensi Jenewa mengenai
perlindungan korban perang dengan asas perikemanusiaan maka konvensi ini
juga disebut hukum humaniter.
Istilah Hukum Humaniter mencakup seluruh peraturan Internasional yang
bermaksud melindungi baik orang menderita akibat pertikaian senjata,
maupun objek yang tidak langsung mendukung usaha militer. Untuk HHI ini
ada beberapa istilah yang digunakan, pada masa lalu digunakan hukum
perang. Perubahan situasi dan kondisi istilah Hukum perang diganti
dengan hukum konflik bersenjata dan istilah ini digunakan oleh ABRI,
kemudian berubah menjadi Hukum Humaniter Internasional dan istilah ini
digunakan oleh kalangan akademisi.
Sebelum Konvensi Jenewa pertama disepakati pada tahun 1864, sudah
terdapat beberapa peraturan dalam Hukum Perang. Tetapi peraturan
tersebut tidak bersifat formal dan biasanya hanya dipatuhi berdasarkan
persetujuan khusus antara pemimpin militer, dan berlaku untuk jangka
waktu tertentu. HHI baru diakui secara internasional dan permanen,
setelah adanya konvensi Jenewa tersebut.
HHI seperti yang dikenal masa ini terdiri dari Hukum Jenewa
(Perlindungan terhadap Korban Perang) dan Hukum Den Haag(Sarana dan
(cara berperang). Pada makalah ini akan difokuskan pada Hukum Jenewa.
Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai Perlindungan Korban Perang yang
disebut juga Konvensi Palang Merah, mencakup empat buah konvensi yang
masing-masing bernama:
1. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Cedera dan Sakit di Medang Perang.
2. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Cedera, Sakit, dan Korban Kapal Karam dalam Peperangan di Laut.
3. Konvensi Jenewa tentang Perlakuan Tawanan Perang.
4. Konvensi Jenewa tentang Perlindungan kepada para Penduduk Sipil dalam Peperangan.
ad.1 Konvensi Jenewa I untuk Perbaikan kondisi Tentara yang Cedera dan Sakit di Medan Perang.
Konvensi Jenewa pertama ditandatangani pada tahun 1864 oleh 12 Negara
yang pada waktu itu, mempunyai posisi penting di bidang politik
internasional. Pada tahun 1864, Konvensi Jenewa terdiri dari 10 pasal
yang mengatur tentang perbaikan kondisi Prajurit yang cedera dan sakit
dimedan perang. Konvensi ini menetapkan bahwa:
a. Prajurit yang cedera dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat, tampa mempedulikan kebangsaannya;
b. Petugas kesehatan dan sarana serta prasarana yang digunakan untuk
merawat prajurit yang cedera dan sakit di medan perang harus diberikan
status netral;
c. Lambang Palang merah di atas dasar putih disetujui sebagai tanda pelindung;
Setelah itu, Konvensi Jenewa tersebut direvisi dan dikembangkan pada tahun 1906 dan 1929, menjadi Konvensi Jenewa I tahun 1949.
ad.2 Konvensi Jenewa II untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Cedera, Sakit, Korban Kapal Karam dalam Peperangan di Laut.
Pada Konvensi Den Haag yang diadakan tahun 1899, perlindungan yang
diberikan oleh Konvensi Jenewa pertama diperluas mencakup korban kapal
karam pada waktu terjadi peperangan dilaut. Ketentuan-ketentuan ini
dikembangkan kembali pada Konvensi Den Haag tahun 1907. Berdasarkan
kedua Konvensi Den Haag, disusun pada tahun 1949 Konvensi Jenewa II
tentang perbaikan kondisi tentara yang cedera, sakit dan korban kapal
karam dalam peperangan dilaut. Isi dan konvensi tersebut adalah
penyesuaian ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa I untuk situasi perang
di laut.
ad.3 Konvensi Jenewa III tentang perlakuan Tawanan Perang
Konvensi Den Haag yang diselenggaran pada tahun 1899 dan 1907,
menyinggung pula soal tawanan perang. Namun demikian, pada waktu Perang
Dunia I, ketentuan-ketentuan yang mengatur persyaratan penahanan dan
perlakuan tawanan perang masih kurang oleh karena itu, pada tahun 1929,
disusun Konvensi Jenewa tentang perlakuan tawanan perang yang terdiri
dari 97 pasal.
Konvensi ini menegaskan bahwa:
a. Tawanan perang bukanlah seorang Kriminal, tetapi pihak musuh yang tidak dapat lagi turut serta dalam pertempuran;
b. Oleh karena itu, tawanan perang harus diperlakukan secara manusiawi selama ditahan;
c. Tawanan perang harus dibebaskan pada waktu permusuhan sudah berakhir.
Konvensi Jenewa ini dikembangkan kembali pada tahun 1949, menjadi Konvensi Jenewa III.
ad.4 Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Penduduk Sipil dalam Peperangan
Sebelum tahun 1949, HHI belum dapat diterapkan untuk melindungi
masyarakat sipil. Pada waktu Perang Dunia II, ribuan orang sipil menjadi
korban. Hal ini sangat menggemparkan opini masyarakat internasional,
sehingga pada tahun 1949 disetujui Konvensi Jenewa IV tentang
Perlindungan Penduduk Sipil dalam Peperangan.
Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 sudah ditandatangani oleh 188 Negara
(31 Maret 1997). Indonesia sendiri meratifikasi Konvensi-Konvensi
Jenewa pada tahun 1958. Dengan menandatangani Konvensi-konvensi Jenewa,
setiap negara diwajibkan pada waktu pertikaian bersenjata untuk:
a. Merawat orang yang cedera dan sakit, tanpa mempedulikan kebangsaannya.
b. Menghormati manusia dalam integritas fisik, martabat, hak keluarga, keyakinan moral dan agamanya.
c. Melarang penyiksaan, perlakuan kejam, hukuman mati tanpa didahului
proses pengadilan yang sah, pembasmian, deportasi, penyanderaan,
perampokan dan perusakan harta benda sipil.
d. Mengizinkan delegasi ICRC (Palang Merah Internasional) untuk
mengunjungi para tawanan perang dan interniran sipil (orang yang
ditempatkan di suatu lokasi dan kebebasannya dibatasi) dan untuk
berbicara dengan mereka tanpa saksi.
Ada dua prinsip yang penting dalam HHI:
• Selalu harus dibedakan antara penduduk sipil dan peserta tempur,
antara sarana sipil dan sarana militer, sehingga serangan hendaknya
hanya diarahkan ke sasaran militer.
• Selalu harus dipertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan
perikemanusiaan dan kepentingan militer, sehingga korban kerusakan
akibat operasi militer tidak bersifat berlebihan dibandingkan dengan
keuntungan militer yang terdapat dari operasi tersebut.
Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 diterapkan pada waktu pertikaian
bersenjata internasional. Pasal 3 yang sama dalam 4 Konvensi Jenewa
sering disebut merupakan sebuah konvensi dalam bentuk kecil, karena
mengungkapkan dengan baik semangat HHI.
Pasal ini menegaskan peraturan minimal yang harus dihormati dalam
pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional. Untuk maksud
ini, tindakan-tindakan berikut dilarang dilakukan setiap saat dan di
semua tempat:
“Pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, hukuman badan, pengudungan
(pemotongan anggota badan), penghinaan atas kehormatan pribadi,
penyanderaan, hukuman kolektif, hukuman mati tanpa melalui proses
pengadilan yang sah,serta setiap perlakukan yang kejam dan penganiayaan”
Meskipun lingkup penerapan dari empat Konvensi Jenewa tersebut sudah
diperluas namun pertikaian bersenjata yang pecah setelah tahun 1949
masih menunjukkan kekurangan dari sistem perlindungan HHI, oleh karena
itu, Konvensi-konvensi Jenewa dilengkapi dengan dua buah Protokol
Tambahan pada tahun 1977. Protokol-protokol tanbahan ini melengkapi
empat Konvensi Jenewa, tanpa bermaksud menggantikannya.
Protokol Tambahan I
Protokol I diterapkan dalam pertikaian bersenjata yang bersifat
internasional dan perang kemerdekaan nasional suatu bangsa
memperjuangkan haknya untuk menentukan nasib sendiri. Semua hak dan
kewajiban yang ditegaskan dalam HHI dengan demikian dapat diterapkan
pada konflik semacam itu.
Meskipun Konvensi Jenewa IV berkaitan dengan perlakuan terhadap
masyarakat sipil dalam masa peperangan, namun perlindungan yang
diberikan kepada penduduk sipil masih dirasakan kurang.
Jadi Protokol I
menegaskan kembali prinsip-prinsip itu dan menjadikannya bersifat
operasional. Diantara prinsip-prinsip itu adalah larangan penyerangan
terhadap masyarakat sipil dan semua penyerangan yang membabi-buta,
perlindungan sarana yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup masyarakat
sipil (seperti bahan makanan, instalasi air minum atau sarana irigasi),
larangan masyarakat sipil menderita kelaparan sebagai metode perangan,
perlindungan instalasi yang berisi kekuatan yang berbahaya (seperti
bendungan atau statiun tenaga nuklir untuk produksi listrik dan
sebagainya), perlindungan obyek budaya dan tempat-tempat pemujaan.
Kesemuanya itu merupakan suatu bagian aturan yang cukup besar, guna
melindungi masyarakat sipil.
Di antara lain ditegaskan bahwa melakukan aksi balas dendam terhadap
masyarakat sipil adalah dilarang. Oleh karena itu sangat tidak mungkin
untuk membenarkan pelanggaran terhadap larangan penyerangan terhadap
rakyat sipil dengan alasan bahwa pihak lain telah melakukan hal serupa.
Dalam Protokol I, ketentuan-ketentuan mengenai bantuan Humaniter untuk
masyarakat sipil diperkuat dalam artian apabila masyarakat sipil
mengalami kekurangan makanan, obat-obatan dan kebutuhan dasr lainnya,
pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian bersenjata diwajibkan untuk
mengizinkan dan mendukung operasi bantuan Humaniter yang ditujukan untuk
masyarakat sipil tersebut.
Protokol Tambahan II
Ada negara yang selalu menunjukkan keenganan untuk menyetujui Hukum
Internasional dimaksud untuk mengatur situasi yang dianggap sebagai
masalah internal. Negara-negara itu baru merubah sikap tersebut pada
tahun 1949 dengan menyepakati Pasal 3 yang sama dalam empat Konvensi
Jenewa yang mengatur tentang Pertikaian Bersenjata dalam negeri.
Protokol II dengan melengkapi Pasal 3 itu, memperluas perlindungan
pertikain bersenjata yang berlangsung dalam negeri. Protokol II
memberikan rincian, namun tidak mengubah Pasal 3 Konvensi Jenewa.
Penting diperhatikan di sini, Protokol II seperti Pasal 3 Konvensi
Jenewa, tidak menghambat pemerintah untuk memelihara ketertiban umum dan
untuk mempertahankan persatuan nasional serta integritas teritorial
dengan semua cara yang sah.
Protokol II ini tidak mempengaruhi status hukum anggota gerakan pemberontak yang tetap berada di bawah hukum nasional.
Bagian utama dari Protokol II memuat aturan-aturan yang memperkuat
perlindungan korban pertikaian bersenjata dalam negeri dan sekaligus
memperkuat landasan hukum untuk kegiatan Palang Merah. khususnya bagi
mereka yang telah meletakkan senjata setelah ikut serta dalam
permusuhan, mereka berhak atas perlakuan yang manusiawi. Setiap orang
yang ditahan mempunyai beberapa hak dasar yang mutlak dihormati, guna
melindungi kehidupan, kesehatan, dan martabat, serta menjamin hubungan
mereka dengan keluarga masing-masing tetap terjalin. Pihak instansi
pemerintah tetap berwenang untuk menuntut orang-orang yang dituduh
melawan hukum.Di sini terdapat
pula beberapa jaminan peradilan yang harus dihormati, guna menjamin
setiap orang yang dituntut sehubungan dengan pertikaian bersenjata,
berhak mendapat pengadilan yang adil dan wajar. Hak dan jaminan tersebut
mendekatkan Hukum Humaniter Internasional dengan perlindungan yang
diberikan oleh Hak Asasi Manusia.
Protokol Tambahan II ini sampai dengan tanggal 3 Maret 1997, telah
diratifikasi oleh 147 negara, sedangkan Protokol Tambahan II oleh 139
negara. Protokol-protokol Tambahan Konvensi Jenewa, sampai saat ini
belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.
III. Hubungan antara Hukum Humaniter Internasional dengan Hak Asasi Manusia
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa tujuan HHI dan HAM adalah sama untuk
perlindungan manusia. HHI akan diterapkan jika terjadinya pertikaian
bersenjata sedangkan HAM diterapkan setiap saat.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa HHI diciptakan khusus untuk
melindungi dan memelihara hak asasi (kehidupan, kesehatan dan
sebagainya) korban dan non-kombatan dalam pertikaian bersenjata. HHI
merupakan hukum darurat yang diterapkan dalam situasi tertentu.
Sedangkan HAM, dengan melindungi hak-hak manusia, menuju pada
perkembangan harmonis setiap orang yang hanya dapat tercapai di masa
damai.
Dalam perjanjian-perjanjian internasional mengenai HAM, perlindungan hak
dan jaminan dapat dibatasi ataupun dihapus, apabila berlangsung perang
atau karena alasan lainnya yang mengancam stabilitas nasional.
Namun perlu diketahui dalam hukum internasional ada beberapa HAM yang
penerapannya tidak dapat diperkecualikan, meskipun dalam keadaan yang
sangat luar biasa, sepeti pada waktu berlangsung pertikaian bersenjata.
Jadi berdasarkan hukum yang berlaku, hak-hak yang dianggap sebagai
intisari dari HAM ini, tetap terjamin.
Dengan demikian, setiap negara
yang telah menandatangani perjanjian internasional mengenai HAM, apapun
alasannya, tidak dapat membenarkan tindakan yang mengurangi perlindungan
minimal yang diberikan kepada setiap individu.
Intisari atau “hard-core” HAM yang dimaksud meliputi:
a. Hak untuk hidu (Pasal 6 Covenant, 2 Konvensi Roma, 4 Pakta San Jose).
b. Larangan penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi (Pasal 7 Covenat, 3
Konvensi Roma, 5 Pakta San Jose)
c. Larangan perbudakan(Pasal 8 Covenant, 4 Konvensi Roma, 6 Pakta San Jose)
d. Jaminan pengadilan(Pasal 15 Covenant, 7 Konvensi Roma, 9 Pakta san Jose).
Ad.a. Hak untuk hidup
Pasa 6 Covenant Hak Sipil dan Politik mengatur tentang Hak untuk hidup.
Pada umumnya, dapat dikatakan bahwa kehidupan dilinungi oleh HHI dengan
adanya Konvensi Jenewa yang menetapkan kewajiban untuk mengumpulkan dan
merawat orang yang sakit dan cedera, dan yang mengatur tentang perlakuan
tawanan perang, interniran sipil dan masyarakat sipil di bawah
pendudukan musuh, serta tentang hukuman mati seperti; ketentuan yang
melarang pelaksanaan hukuman mati dalm 6 bulan berikut keputusan
pengadilan atau yang melarang hukuman mati dijatuhkan pada orang berumur
di bawah 18 tahun, pada wanita hamil, maupun ibu yang mempunyai anak
masih kecil (Konvensi Jenewa IV, Pasal 68 dan 75)
Dalam HHI, korban perang yaitu orang yang jatuh dalam tangan pihak
musuh, tidak boleh dibunuh. Tetapi, selama terlibat dalam pertikaian
bersenjata, peserta tempur tidak mungkin mendapat perlindungan atas
kehidupan mereka. Namun dalam HHI terdapat beberapa ketetntuan yang
melarang penggunaan senjata yang dapat mengakibatkan penderitaan yang
berlebihan atau tidak peril. Khususnya untuk melindungi masyarakat
sipil, Protokol Tambahan I mengharuskan adanya keseimbangan antara
kepentingan militer dan keperluan perikemanusiaan (principle of
proportionality).Dengan demikian, serangan hanya boleh diarahkan pada
sasaran militer, meskipun masih dapat terjadi korban sipil secara
insidentil. Protokl Tambahan I juga melindungi kehidupan dengan melarang
tindakan untuk membuat orang sipil menderita kelaparan sebagai suatu
metode peperangan, serta merusak sarana yang dibutuhkan untuk
kelangsungan hidupnya, Di samping itu, untuk keselamatan orang sipil,
dapat ditentukan lokasi bebas yang tidak boleh dijadikan sasaran
militer.
Ad. b. Larangan Penyiksaan
Dalam HAM, pelanggaran ini ditetapkan dalam Covenant mengenai Hak Sipil
dan Politik Pasal 7. Dalam HHI sebagian besar dari Konvensi-konvenai
Jenewa dapat dilihat dalam Prakteknya merupakan rincian mengenai cara
meperlakukan korban pertikaian bersenjata.
Ad.c. Larangan Perbudakan.
Dalam HAM, pelanggaran perbudakan diatur dalam Pasal 8 Konvensi Hak
Sipil dan Politik. Dalam HHI, diatur dalam Protokol II Tahun 1977 pada
Pasal 4 ayat 2 huruf f. Di samping itu, ketentuan-ketentuan Konvensi
Jenewa mengenai perlakuan tawanan perang serta perlakuan orang sipil di
bawah pendudukan musuh mempunyai pulam efek perlindungan bagi para
korban pertikaian bersenjata terhadap segala bentuk perbudakan.
Ad. d. Jaminan pengadilan.
Dalam HAM, jaminan pengadilan walaupun tidak dinyatakan sebagai hak-hak
yang termasuk hard-core, telah diakui sebagai hak-hak yang amat penting,
supaya HAM lainnya dapat diterapkan secara efektif. Dalam HHI, jaminan
pengadilan sudah dimasukkan dalam Konvensi Jenewa sejak penyusunannya,
karena pengalaman menunjukkan bahwa perlu pemeriksaan pengadilan untuk
mencegah adanya hukuman mati yang dijalankan di luar proses pengadilan,
maupun yang tidak manusia.
Hak dan jaminan dasar tersebut di atas tidak dapat dikecualikan dan
tetap berlaku, baik di masa damai maupun pada waktu pertikaian
bersenjata. Hak dan Jaminan dasar ini mutlak dihormati pula dalam
situasi kekacauan dalam negeri, di mana pemerintah yang bersangkutan
terpaksa mengambil tindakan yang luar biasa untuk memelihara ketertiban
dan keamanan umum.
HHI dengan tujuan membatasi kekerasan, memuat pula
peraturan-peraturan yang menjamin hak-hak manusia yang sama, karena
hak-hak tersebut di atas dianggap merupakan hak minimal. Jadi intisari
hak-hak manusia ini menjamin perlindungan minimal yang mutlak dihormati
terhadap siapapun, baik di masa damai maupun pada waktu perang. Hak-hak
manusia ini merupakan bagian dari kedua sistem hukum yaitu HHI dan HAM.
Hak dan jaminan dasar tersebut di atas tidak dapat diperkecualikan dan
tetap berlaku, baik di masa damai maupun pada waktu pertikaian
bersenjata. Hak dan jaminan dasar ini mutlak dihormati pula, dalam
situasi kekacauan dalam negeri, di mana pemerintah yang bersangkutan
terpaksa mengambil tindakan yang luar biasa untuk memelihara ketertiban
dan keamanan umum.
Dapat dikatakan pula bahwa meskipun lingkup perlindungan HHI tidak
seluas lingkup perlindungan yang diberikan oleh HAM, ketentuan-ketentuan
HHI tidak dapat diperkecualikan, justru karena kepentingan militer
telah dipertimbangkan dalam penyusunan ketentuan-ketentuan tersebut.
Jika terjadi sengketa bersenjata, setiap negara penandatangann harus
menerapkan HHI sepenuhnya, dan tidak dapat membenarkan pelanggaran
terhadap HHI dengan alasan pematuhan ketentuan-ketentuan HHI itu
mengurangi kemampuannya untuk berperang. HHI disusun dengan
mempertimbangkan kepentingan militer maupun kepentingan humaniter,
sehingga penerapan HHI tidak mungkin menghambat kemenangan perang.
IV HHI dan HAM juga mempunyai beberapa perbedaan dan persamaan.
Perbedaan antara HHI dan HAM
Jika membandingkan antara HHI dan HAM, terdapat beberapa perbedaan sebagai berikut:
• HHI yang dikenal pada awal dengan istilah hukum perang, dianggap
sebagai hukum yang paling lama dalam sistem hukum publik internasional,
dan peraturan-peraturan yang termuat dalam sistem hukum tersebut
mewarnai hubungan tingkat internasional yang pertama di jalin. Sedangkan
HAM merupakan suatu bagian yang masih muda dalam sistem hukum publik
internasional.
• HAM disusun pertamanya untuk masa damai. Sedangkan HHI diciptakan khususnya untuk waktu berlangsungnya pertikaian bersenjata.
• Ketentuan-ketentuan HAM dimaksudkan untuk menjamin penghormatan hak
dan kebebasan setiap orang supaya terlindungi dari penyalahgunaan oleh
istansi pemerintah, sehingga setiap orang dapat mengembangkan diri
sepenuhnya dalam masyarakat. Sedangkan HHI sebagai suatu sistem hukum
darurat bertujuan memberikan perlindungan terhadap ancaman dan bahaya
akibat pertikaian bersenjata atau situasi kekerasan lainnya yang
disebabkan oleh manusia.
• HAM dijamin dalam dua sistem hukum, yaitu ditingkat universal dan
regional. Sedangkan ketentuan-ketentuan HHI termuat dalam
perjanjian-perjanjian yang berlaku dirtingkat intenasional tanpa adanya
instrumen hukum regional.
• Ditingkat internasional, tujuan utama HAM adalah menghukum setiap
pelanggaran. Sedangkan HHI lebih mengarah pada peningkatan perlindungan
dan solidaritas terhadap para korban.
• Dalam HHI, setiap individu yang menjadi korban, meskipun memperoleh
manfaat dari perlindungan hukum ini tidak dimungkinkan untuk menuntut
langsung suatu negara apabila terjadi pelanggaran. Sedangkan HAM
memberikan HAK dan Jaminan langsung kepada setiap orang untuk dapat
membuka proses pengadilan jika terjadi pelanggaran.
• Mekanisme pelaksanaan HHI melibatkan negara penandatangan, negara
pelindung dan ICRC. Sedangkan mekanisme pelaksanaan HAM melibatkan
negara-negara nasional, seperti badan promosi dan penyelidikan, serta
instansi pengadilan dari setiap negara maupun para individu sendiri.
• Hak yang diberikan oleh HHI bersifat “inalienable”, berarti hak
tersebut tidak dapat ditolak oleh orang yang ditujukan sebagai penerima.
Sedangkan setiap orang boleh menggunakan hak dan jaminan yang diberikan
oleh HAM sesuai dengan pendapat dan kepentingannya sendiri.
• Oleh karena itu individu menjadi subyek hukum yang aktif, sedangkan di
bawah HHI individu lebih dianggap sebagai obyek pelindungan hukum.
Persamaan antara HHI dan HAM
Setelah melihat perbedaan seperti tercatat di atas, perlu pula dilihat kesamaan yang ada antara HAM dan HHI:
• Dahulu, HHI dianggap sebagai hukum yang hanya dapat diterapkan
ditingkat negara, sedangkan HAM langsung berlaku ditingkat perorangan.
Sebenarnya, Konvensi-konvensi Jenewa serta Ptotokol-protokol Tambahannya
memuat pula ketentuan-ketentuan yang memberikan kewajiban kepada negara
penandatangan, sekaligus menjamin hak pribadi orang yang dilindungi.
• HHI menentukan kelompok-kelompok orang yang dilindungi, seperti orang
yang cedera dan tawanan perang, sedangkan HAM berlaku untuk semua orang
tanpa memberikan status khusus. Tetapi meskipun lingkup penerapan HHI
bersifat lebih terbatas, perkembangan terakhir hukum tersebut mengikuti
pendekatan yang sama dengan sistem HAM dengan upaya memperluas
perlindungan HHI bagi semua orang sipil.
• Dari satu sisi, landasan pengaturan HAM adalah hak-hak yang berkaiatan
dengan manusia, yaitu kehidupan, kebebasan, keamanan, status sebagai
subyek hukum, dsb. Berdasarkan hak-hak asasi ini, peraturan-peraturan
dirumuskan untuk menjamin perkembangan manusia dalam segala aspek, yang
merupakan tujuan peraturan tersebut. Dari sisi lain, HHI dimaksudkan
untuk membatasi kekerasan, oleh karena itu HHI memuat
peraturan-peraturan yang menjamin hak-hak manusia yang sama sebab
hak-hak tersebut di atas dianggap merupakan hak-hak minimal.
VI. Kesimpulan
Meskipun terdapat beberapa kesamaan, kedua sistem ini yaitu HHI dan HAM
tetap terpisah. Kemungkinan untuk menerapkan ketentuan HHI dan HAM
bersama tidak berarti bahwa kedua sistem hukum ini dapat disatukan.Ruang
lingkup perlindungan HHI tidak seluas lingkup perlindungan yang
diberikan oleh HAM, ketentuan-ketentuan HHI tidak dapat diperkecualikan,
karena kepentingan, militer telah dipertimbangkan dalam penyusunan
hukum tersebut. Apabila terjadi sengketa bersenjata, setiap negara
penandatanganan harus menerapkan HHI sepenuhnya, dan tidak dapat
membenarkan pelanggaran HHI dengan alasan pematuhan ketentuan-ketentuan
HHI mengurangi kemampuan untuk berperang. HHI disusun dengan dengan
mempertimbangan baik kepentingan militer maupun kepentingan humaniter,
sehingga penerapan HHI tidak mungkin menghambat kemenangan.
Dalam perjanjina internasional mengenai HAM, perlindungan hak dan
jaminan (yang tidak termasuk intisari HAM) dapat dibatasi ataupun
dihapus, apabila berlangsung perang atau karena alasan lain yang
mengancam stabilitas nasional. Tetapi pengalaman telah membuktikan
secara nyata, bahwa pelanggaran berat dan yang berlebihan terhadap HAM
dapat mengakibatkan ketegangan, kerusuhan, maupun pertikaian bersenjata.
Jika terjadi situasi demikian, penghormatan HAM akan semakin kecil dan
kebutuhan untuk menerapkan HHI menjadi semakin besar.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kedua sistem hukum HHI dan HAM
tidak saling bersaing, melainkan saling melengkapi. Semoga dalam
perkembangan masing-masing, kedua sistem ini dapat saling mempengaruhi,
agar perlindungan yang diberikan oleh HHI dan HAM akan semakin kuat,
sehingga hak dan kebebasan setiap manusia semakin terjamin dalam hukum
internasional
DAFTAR PUSTAKA
Anne-Sophie Gindroz, “Hukum Humaniter Internasional Sejarah Sumber
& Prinsip”, Makalah Penataran Hukum Humaniter dan HAM, FH- Unsyiah,
Banda Aceh, 1998.
Fadilah Agus (editor), Hukum Humaniter Suatu Perseptif, Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum Usakti, Jakarta, 1997.
Haryomataram GPH, Hukum Humaniter, Rajawali, Jakarta, l984.
——-, “Hukum Humaniter Hubungan dengan Keterkaitannya dengan Hukum Hak
Asasi Manusia Internasional dan Hukum Pelucutan Senjata (Pidato
Pengukuhan)”, Fakultas Hukum Usakti, jakarta, 1997.
——-, “Uraian Singkat tentang Armed Conflict (Konflik Bersenjata”,
Makalah Penataran Hukum Humaniter Internasional dan HAM, FH-USU, Medan,
Pebruari 1998.
Marion-Harroff-Tavel, Kegiatan Komite Internasional Palang Merah
(International Committee of The red Cross/ICRS), Pada Waktu Kekerasan
Dalam Negeri, ICRC Regional Jakarta.
Mochtar Kusumaatmadja,Konevensi-konvensi Palang Merah th. 1949, Binacipta, Bandung l986.
——-, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung, 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.