Indonesia Hadapi Dua Hal Soal Ligitan-Sipadan
Oleh Muryono
Di tengah kebimbangan antara "menang" dan 'kalah" soal Sipadan dan Ligitan, masih ada harapan buat Indonesia.
Berkaitan dengan keputusan Mahkamah Internasional di Den Haag dalam konflik kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, di Kalimantan, masih ada optimisme dari kalangan pemerintah Indonesia.
Setidaknya itu ditunjukkan oleh Dubes RI untuk Kerajaan Belanda, Mohammad Jusuf. Optimisme Muhammad Yusuf didasarkan pada klaim kepemilikan oleh Indonesia atas Sipadan-Ligitan dimana argumentasi Indonesia lebih kuat dibanding argumentasi dan data yang disodorkan Malaysia.
"Kita harapkan Indonesia mendapatkan hasil terbaik setelah berjuang keras selama bertahun-tahun di Mahkamah Internasional serta menghabiskan banyak biaya, sekitar Rp16 miliar untuk membayar para pengacara internasional," kata Mohammad Jusuf di Den Haag, pekan lalu.
Kendati demikian, kata Dubes RI yang baru menyerahkan surat-surat kepercayaannya kepada Ratu Belanda Beatrix tanggal 4 Desember lalu, proses pengkajian hukum yang dilakukan oleh sekitar 17 hakim di Mahkamah Internasional berlangsung tertutup.
"Karena itu, walaupun bersikap optimistis, saya juga mengharapkan masyarakat siap untuk menerima kenyataan pahit jika ternyata pihak Indonesia dinyatakan kalah. Tetapi, kalaupun kalah, rakyat Indonesia juga tahu bahwa Pemerintah telah berjuang semaksimal mungkin," katanya.
Biaya yang dikeluarkan sebesar Rp16 miliar untuk membayar para pengacara internasional itu merupakan bukti keseriusan Pemerintah untuk memperoleh kembali haknya atas Sipadan-Ligitan.
Bagaimana bila Indonesia kalah atau, misalnya, pengelolaan kedua pulau dilakukan secara bersama? Bagaimana pula bila keputusan itu nantinya membagi masing-masing satu pulau kepada kedua belah pihak?
Dubes RI menyatakan hal itu secara teoritis mungkin saja terjadi. "Secara pribadi, saya pikir justru keputusan ini yang terbaik, terutama atas pertimbangan untuk menjaga hubungan baik antarkedua bangsa bertetangga," kata Jusuf.
Sejak kasus tersebut digulirkan di Mahkamah Internasional oleh RI-Malaysia pada 2 November 1998, pihak Indonesia dalam argumentasinya selalu mendasarkan diri pada kepemilikan Sipadan-Ligitan berdasarkan transfer kedaulatan dari Belanda, yang sebelumnya kedua pulau itu berada di bawah kedaulatan Kesultanan Bulungan.
Peta yang dibuat penjajah Belanda juga menyebut wilayah itu berada di bawah kekuasaan Belanda, bukan Inggris. Karena di bawah kekuasaan Belanda, maka keduanya masuk wilayah Indonesia. Lain halnya bila masuk kekuasaan Inggris yang berarti milik Malaysia.
Selain itu, konvensi tahun 1891 yang ditandatangani Belanda dan Inggris juga menetapkan batas wilayah Belanda dan Inggris terletak pada garis paralel 4 derajat 10' lintang utara (LU).
Wilayah yang terletak di bagian selatan garis tersebut adalah
milik Belanda, sedangkan di sebelah utara adalah wilayah Inggris. Baik Sipadan maupun Ligitan, terletak di sebelah selatan garis tersebut sehingga berada dalam wilayah kekuasaan Belanda.
Berdasarkan data dan fakta itu, Indonesia yakin Sipadan-Ligitan merupakan wilayah NKRI berdasarkan dokumen dan cakupan wilayah penjajahan Belanda. Karena itu, ketika diberitakan bahwa kedua pulau itu milik Malaysia, Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan RI bereaksi keras.
"Perlu diketahui, Pulau Sipadan masih berstatus sebagai wilayah sengketa antara Indonesia dan Malaysia sejak 1969," demikian antara lain pernyataan pers Deplu, Minggu (30/4/2000).
Berdasarkan Konvensi 1891 dan sesuai hukum dan perundang-undangan di Indonesia, Pulau Sipadan merupakan bagian dari wilayah Indonesia.
Sengketa mengenai kedua pulau itu telah diajukan ke Mahkamah Internasional berdasarkan "Special Agreement" antara pemerintah Indonesia dan Malaysia tahun 1997. Indonesia telah berulang kali meminta Malaysia agar menarik kehadirannya dari Sipadan-Ligitan sampai sengketa diselesaikan.
Status quo
Isu Sipadan dan Ligitan dibahas tahun 1969, pada pertemuan teknis hukum laut kedua negara dan landas kontinen. Pertemuan mengalami kemacetan karena Malaysia tiba-tiba memasukkan kedua pulau itu ke dalam peta wilayahnya.
Bagi Indonesia, penyelesaian masalah itu tidak lepas dari prinsip dasar bahwa wilayah RI merupakan bekas daerah jajahan Hindia Belanda. Sejak 1891, Sipadan-Ligitan yang terletak di lepas pantai Kaltim itu masuk wilayah Hindia Belanda berdasarkan Konvensi Inggris-Belanda.
Jauh sebelum Malaysia memasukkan kedua pulau itu ke peta wilayahnya tahun 1969, Indonesia sudah melakukannya terlebih dahulu berdasarkan peta wilayah Hindia Belanda.
Malaysia menolak argumen dan dokumen yang dimiliki Indonesia. Malaysia dan Indonesia sepakat dua pulau di-"status quo"-kan mengingat saat itu kedua negara baru saja menyelesaikan konfrontasi "Ganyang Malaysia" yang dilancarkan Presiden Soekarno.
Pada 1991, keduanya sepakat untuk membuka kembali pembicaraan yang sempat diredam selama 20-an tahun, setelah Malaysia terbukti melanggar kesepakatan dengan menyelenggarakan kegiatan turisme di lokasi itu.
Pembicaraan pertama dilangsungkan Oktober 1991, pada forum Pertemuan Pertama Komisi Bersama RI-Malaysia di Kuala Lumpur.
Pembentukan komisi itu pada 20 Juli 1991 dimaksudkan sebagai satu mekanisme bagi pembicaraan masalah-masalah bilateral yang dikhawatirkan bisa mengganggu hubungan baik kedua negara.
Setelah Oktober 1991, hingga 1995 telah tiga kali komisi itu bertemu. Pertemuan kedua di Jakarta, Februari 1993, dan pertemuan ketiga di Kuala Lumpur, Mei 1994.
Kedua negara makin meneguhkan klaim kepemilikannya. Kedua negara kemudian membentuk Kelompok Kerja Bersama (JWG) yang diberi wewenang oleh Komisi Bersama untuk mencoba menyelesaikan masalah tersebut.
JWG telah menyelesaikan tiga kali pertemuan terpisah, yakni Juli 1992 di Jakarta, Januari 1994 di Kuala Lumpur, dan September 1994 di Jakarta. Pada 1994 seusai pembicaraan ketiga JWG, delegasi Malaysia sempat melontarkan ide kontroversial untuk mengajukan masalah ini ke Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag, Belanda, tetapi agaknya akhir-akhir ini Malaysia menarik kembali ide tersebut dan memusatkan diri pada upaya penyelesaian bilateral.
Pertemuan keempat di Jakarta diawali 6 Juni 1995 untuk membahas perbedaan-perbedaan mendasar. Pertemuan ini mulai melirik kemungkinan melibatkan pihak ketiga, termasuk kemungkinan menyerahkan ke Mahkamah Internasional di Den Haag (Belanda).
Dalam pertemuan khusus antara PM Mahathir Mohammad dan Presiden Soeharto di Langkawi (Malaysia) pada 1996, Indonesia menyepakati usul menyelesaikan konflik ini melalui Mahkamah Internasional.
Mahkamah Internasional menjadi tumpuan penyelesaian karena jika hanya melibatkan pihak ketiga dari negara ASEAN, dikhawatirkan dapat mengganggu perasaan persaudaraan kedua negara dalam semangat ASEAN.
Semangat ASEAN juga dikhawatirkan pudar kalau pihak ketiga dari negara di kawasan ini ternyata dianggap berat sebelah dan tidak memuaskan kedua pihak yang berkonflik.
Dengan Mahkamah Internasional, konflik akan menemukan titik final. Artinya kedua pemimpin tidak lagi mewariskan konflik yang sudah dilalui sejak 1969 ini.
Atas dasar pemikiran itu, pada Maret 1997 Menlu RI (waktu itu) Ali Alatas dan Menlu Malaysia (waktu itu) Dato Abdullah Ahmad Badawi menandatangani kesepakatan dan melakukan pertukaran nota untuk pengajuan konflik itu ke Mahkamah Internasional.
Setelah lima tahun persoalan ini diselesaikan Mahkamah Internasional, Indonesia dan Malaysia dihadapkan pada keputusan "menang" atau "kalah" pada 17 Desember 2002. Ini adalah babak akhir dari konflik 30 tahun di sebuah wilayah yang berpindah penguasaan dari Spanyol, AS, Inggris dan Belanda. (ant)
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=5018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.