Hukum kemanusiaan internasional
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Hukum kemanusiaan internasional, hukum humaniter internasional (HHI), yang sering kali juga disebut sebagai hukum konflik bersenjata (bahasa Inggris: international humanitarian law), adalah batang tubuh hukum yang mencakup Konvensi Jenewa dan Konvensi Den Haag beserta perjanjian-perjanjian, yurisprudensi, dan hukum kebiasaan internasional yang mengikutinya.[1]
HHI menetapkan perilaku dan tanggung jawab negara-negara yang
berperang, negara-negara netral, dan individu-individu yang terlibat
peperangan, yaitu terhadap satu sama lain dan terhadap orang-orang yang
dilindungi, biasanya berarti orang sipil.
HHI adalah wajib bagi negara yang terikat oleh perjanjian-perjanjian
yang relevan dalam hukum tersebut. Ada juga sejumlah aturan perang tak
tertulis yang merupakan kebiasaan, yang banyak di antaranya dieksplorasi
dalam Pengadilan Perang Nuremberg.
Dalam pengertian yang diperluas, aturan-aturan tak tertulis ini juga
menetapkan sejumlah hak permisif serta sejumlah larangan perilaku bagi
negara-negara yang berperang bila mereka berurusan dengan pasukan yang
tidak reguler atau dengan pihak non-penandatangan. Pelanggaran hukum
kemanusiaan internasional disebut kejahatan perang.
Dalam hukum kemanusaan internasional, terdapat pemisahan antara
konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata
non-internasional. Pemisahan ini telah banyak dikritik.[2]
Daftar isi
Dua aliran sejarah: Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag
Hukum Humaniter Internasional moderen terdiri dari dua aliran sejarah: Hukum Den Haag, yang pada masa lalu disebut sebagai Hukum Perang yang utama (the law of war proper), dan Hukum Jenewa atau Hukum Humaniter.[3]
Kedua aliran ini dinamai berdasarkan tempat diadakannya konferensi
internasional yang merancang perjanjian-perjanjian mengenai perang dan
konflik, terutama Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907 dan Konvensi Jenewa, yang untuk pertama kalinya dirancang pada tahun 1863. Baik Hukum Den Haag maupun Hukum Jenewa adalah cabang dari jus in bello, yaitu hukum internasional mengenai praktik-praktik yang dapat diterima dalam pelaksanaan perang dan konflik bersenjata.[4]
Hukum Den Haag, atau Hukum Perang yang utama, “menetapkan hak dan
kewajiban pihak yang berperang menyangkut pelaksanaan operasi serta
membatasi pilihan sarana mencelakai yang boleh dipakai.”[5]
Pada khususnya, Hukum Den Haag berkenaan dengan definisi kombatan,
menetapkan aturan mengenai sarana dan cara berperang, dan menelaah
perihal sasaran militer.[6]
Upaya sistematis untuk membatasi kebiadaban perang baru mulai
berkembang pada abad ke-19. Keprihatinan atas keganasan perang berhasil
mengembangkan perubahan pandangan tentang perang di kalangan
negara-negara yang dipengaruhi oleh Abad Pencerahan. Tujuan perang ialah
untuk mengatasi musuh, dan tujuan tersebut dapat dicapai dengan
melumpuhkan kombatan musuh. Dengan demikian, “pembedaan antara kombatan
dan orang sipil, ketentuan bahwa kombatan musuh yang terluka dan
tertangkap harus diperlakukan secara manusiawi, dan pengampunan harus
diberikan –yang merupakan sebagian dari pilar-pilar Hukum Humaniter
moderen– mengikuti prinsip tersebut.”[7]
Hukum Jenewa
Pembantaian penduduk sipil di tengah berlangsungnya konflik
bersenjata merupakan hal yang mempunyai sejarah yang panjang dan gelap.
Sejumlah contoh dapat dikemukakan, antara lain: pembantaian kaum Kalinga oleh Ashoka di India; pembantaian sekitar 100.000 orang Hindu oleh pasukan Muslim Tamerlane; atau pembantaian kaum Yahudi dan Muslim oleh Tentara Salib dalam Pengepungan Yerusalem (1099).
Ini hanyalah beberapa contoh yang dapat diambil dari daftar panjang
dalam sejarah. Fritz Munch merangkum praktik militer dalam sejarah
hingga tahun 1800 dengan kalimat singkat sebagai berikut: “Hal-hal yang
esensial tampaknya adalah sebagai berikut: dalam pertempuran dan di
kota-kota yang berhasil direbut dengan kekuatan, maka kombatan dan
non-kombatan dibunuh dan harta benda dihancurkan atau dijarah.[8] Pada abad ke-17, Hugo Grotius,
seorang ahli hukum Belanda, menulis, “Tak dapat disangkal bahwa perang,
demi mencapai tujuannya, pasti menggunakan kekuatan dan teror sebagai
cara paling utama.”[9]
Norma-norma Humaniter dalam sejarah
Namun, pun di tengah berlangsungnya kekejaman perang dalam sejarah,
ada sejumlah ungkapan berupa norma kemanusiaan untuk melindungi korban
konflik bersenjata –yaitu korban luka, korban sakit, dan korban karam–
yang berasal dari zaman kuno.[10]
Dalam Perjanjian Lama, Raja Israel melarang pembantaian tawanan setelah dinasihati oleh nabi Elisa
agar tawanan musuh diselamatkan. Dalam jawabannya atas pertanyaan Raja,
Elisa berkata, “Engkau tidak boleh membunuh mereka. Apakah orang-orang
yang telah engkau tangkap dengan pedang dan panahmu itu harus engkau
bunuh? Beri mereka roti dan air, supaya mereka bisa makan dan minum dan
pergi menemui tuan mereka.”[11]
Di India zaman kuno, terdapat sejumlah catatan, misalnya Hukum Manu,
yang menguraikan jenis-jenis senjata yang tidak boleh dipakai. “Bila
orang berperang dengan musuh dalam pertempuran, dia tidak boleh
menyerang dengan senjata yang tersembunyi (dalam pepohonan), ataupun
dengan senjata yang berduri atau beracun atau yang ujung-ujungnya
menyala dengan api.[12]
Ada juga perintah agar tidak menyerang orang kasim ataupun musuh “yang
kedua tangannya berada dalam posisi memohon ... atau orang yang sedang
tidur, atau orang yang sudah kehilangan pakaian pelindungnya, atau orang
yang telanjang, atau orang yang tidak bersenjata, atau orang yang
menonton tanpa ambil bagian dalam peperangan ...”[13]
Hukum Islam menyatakan bahwa “non-kombatan yang tidak ambil bagian
dalam pertempuran seperti perempuan, anak-anak, rahib dan pertapa, orang
lanjut usia, orang buta, dan orang gila” tidak boleh dilecehkan.[14] Khalifah yang pertama, Abu Bakar,
menyatakan, “Jangan memutilasi (mengudungi; memotong anggota badan).
Jangan membunuh anak kecil atau laki-laki tua atau perempuan. Jangan
memotong kepala pohon palma atau membakarnya. Jangan menebang pohon
buah-buahan. Jangan membantai ternak kecuali untuk makanan.”[15]
Ahli hukum Islam berpendapat bahwa tawanan tidak boleh dibunuh karena
dia “tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan perang
belaka.”[16]
Hukum Islam tidak menyelamatkan semua non-kombatan. Dalam kasus tawanan
yang menolak untuk memeluk Islam atau membayar pajak alternatif, “pada
prinsipnya diperbolehkan membunuh siapapun dari mereka, baik kombatan
ataupun non-kombatan, asalkan mereka tidak dibunuh melalui cara-cara
khianat atau melalui mutilasi (pengudungan).” [17]
Kodifikasi Norma Humaniter
Namun, baru pada paruh kedua abad ke-19 sebuah pendekatan yang lebih
sistematis mulai dilakukan. Di Amerika Serikat, seorang imigran Jerman
bernama Francis Lieber pada tahun 1863 menyusun sebuah kode perilaku
bagi pasukan Utara, yang di kemudian hari dinamai Kode Lieber (''Lieber Code'')
untuk menghormatinya,. Kode Lieber antara lain mengharuskan perlakuan
manusiawi bagi penduduk sipil di daerah konflik dan juga melarang
eksekusi tawanan perang. Pada saat yang bersamaan, keterlibatan sejumlah
individu seperti Florence Nightingale selama berlangsungya Perang Krimea dan Henry Dunant, seorang pengusaha Jenewa yang menolong prajurit terluka dalam Pertempuran Solferino, membuat usaha-usaha mencegah penderitaan korban perang menjadi semakin sistematis.
Dunant menulis buku yang dia beri judul Kenangan Solferino,
yang melukiskan berbagai kengerian perang yang telah dia saksikan itu.
Tulisan Dunant dalam buku ini menimbulkan keguncangan banyak pihak
sehingga akhirnya dibentuklah Komite Internasional Palang Merah
(ICRC) pada tahun 1863 dan, pada tahun berikutnya, 1864,
diselenggarakanlah konferensi di Jenewa yang menyusun Konvensi Jenewa
mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka di
Darat.[18]
Hukum Jenewa terinspirasi langsung oleh prinsip kemanusiaan. Hukum
ini berkenaan dengan orang-orang yang tidak ikut serta dalam konflik
maupun personel militer yang hors de combat. Hukum tersebut menjadi
landasan hukum bagi kegiatan perlindungan dan bantuan kemanusiaan yang
dilaksanakan oleh organisasi kemanusiaan yang tidak memihak seperti
ICRC.[19] Fokus pada perlindungan dan bantuan kemanusiaan ini dapat diketemukan dalam Konvensi-konvensi Jenewa.
Konvensi-konvensi Jenewa
Konvensi-konvensi Jenewa merupakan hasil dari sebuah proses yang
berkembang melalui sejumlah tahap dalam kurun waktu 1864-1949, yaitu
proses yang berfokus melindungi orang sipil dan orang-orang yang tidak
dapat bertempur lagi dalam konflik bersenjata. Sebagai akibat Perang
Dunia II, keempat konvensi tersebut semuanya direvisi berdasarkan revisi
yang pernah dilakukan sebelumnya dan juga berdasarkan sejumlah
ketentuan dari Konvensi-konvensi Den Haag 1907, dan kemudian diadopsi
ulang oleh masyarakat internasional pada tahun 1949.
Konferensi-konferensi berikutnya menambahkan sejumlah ketentuan yang
melarang metode berperang tertentu dan ketentuan yang berkenaan dengan
masalah perang saudara.
Keempat Konvensi Jenewa adalah:
- Konvensi Jenewa Pertama, “mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat” (diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1864 dan direvisi terakhir kali pada tahun 1949)
- Konvensi Jenewa Kedua, “mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut” (diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1949, sebagai pengganti Konvensi Den Haag X 1907)
- Konvensi Jenewa Ketiga, “mengenai Perlakuan Tawanan Perang” [diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1929 dan direvisi terakhir kali pada tahun 1949]
- Konvensi Jenewa Keempat, “mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang” (diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1949, berdasarkan bagian-bagian tertentu dari Konvensi Den Haag IV 1907)
Selain itu, ada tiga protokol amandemen tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa:
- Protokol Tambahan I (1977): Protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional. Hingga 12 Januari 2007, Protokol ini telah diratifikasi oleh 167 negara.
- Protokol Tamabahan II (1977): Protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non-internasional. Hingga 12 Januari 2007, Protokol ini telah diratifikasi oleh 163 negara.
- Protokol Tambahan III (2005): Protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, mengenai Adopsi Lambang Pembeda Tambahan. Hingga Juni 2007, Protokol ini telah diratifikasi oleh 17 negara dan telah ditandatangani tetapi masih belum diratifikasi oleh 68 negara lagi.
Meskipun Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dapat dilihat sebagai hasil
dari proses yang dimulai pada tahun 1864, dewasa ini konvensi-konvensi
tersebut telah “mencapai partisipasi universal dari 194 negara peserta.”
Ini berarti bahwa konvensi-konvensi tersebut berlaku pada hampir setiap
konflik bersenjata internasional.[20]
Konvergensi Sejarah antara HHI dan Hukum Perang
Dengan diadopsinya Protokol-protokol Tambahan 1977 untuk
Konvensi-konvensi Jenewa (1977 Additional Protocols to the Geneva
Conventions), kedua aliran hukum tersebut mulai bertemu, meskipun
ketentuan-ketentuan yang berfokus pada kemanusiaan sudah terdapat dalam
Hukum Den Haag (yaitu perlindungan tawanan perang dan orang sipil
tertentu di wilayah pendudukan). Namun, Protokol-protokol Tambahan 1977
mengenai perlindungan korban dalam konflik bersenjata internasional
maupun internal bukan hanya memasukkan ke dalamnya aspek-aspek dari
Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa, tetapi juga memasukkan
ketentuan-ketentuan HAM yang penting.[21]
Aturan-aturan dasar HHI
- Orang yang hors de combat dan orang yang tidak ambil bagian dalam permusuhan dilindungi dan diperlakukan secara manusiawi.
- Membunuh atau mencederai musuh yang menyerah atau yang hors de combat adalah dilarang.
- Korban luka dan korban sakit dirawat dan dilindungi oleh peserta konflik yang menguasai mereka. Lambang “Palang Merah” atau “Bulan Sabit Merah” harus dihormati sebagai tanda perlindungan.
- Kombatan dan orang sipil yang tertangkap harus dilindungi terhadap tindakan kekerasan dan pembalasan. Mereka berhak untuk berkorespondensi dengan keluarga dan menerima bantuan kemanusiaan.
- Tak seorang pun boleh dikenai penyiksaan, hukuman badan, ataupun perlakuan yang kejam atau merendahkan martabat.
- Pihak peserta konflik dan anggota angkatan bersenjatanya tidak mempunyai pilihan yang tidak terbatas menyangkut cara dan sarana berperang.
- Pihak peserta konflik membedakan setiap saat antara penduduk sipil dan kombatan. Penyerangan diarahkan hanya terhadap sasaran militer.[22]
Contoh
Contoh yang terkenal tentang aturan semacam itu antara lain adalah
larangan menyerang dokter atau ambulans yang mengenakan lambang Palang
Merah. Merupakan larangan pula menembak orang atau kendaraan yang
mengenakan bendera putih karena bendera tersebut, yang dianggap sebagai
bendera gencatan senjata, menyatakan niat untuk menyerah atau keinginan
untuk berkomunikasi. Dalam kasus yang pertama ataupun yang kedua, orang
yang dilindungi oleh Palang Merah atau bendera putih diharapkan menjaga
netralitas, dan mereka sendiri tidak boleh melakukan tindakan-tindakan
mirip perang (warlike acts). Justru, melakukan kegiatan perang
dengan bendera putih atau lambang palang merah itu sendiri merupakan
pelanggaran atas Hukum Perang.
Contoh-contoh lain dari Hukum Perang berkenaan dengan: deklarasi
perang (Pasal 2 Piagam PBB 1945 dan sejumlah pasal lain dalam piagam
tersebut membatasi hak negara anggota untuk mendeklarasikan perang,
seperti halnya Pakta Kellogg-Briand
1928 yang lebih tua dan tidak punya gigi itu membatasi hak tersebut
bagi negara-negara yang meratifikasinya, yang kemudian menggunakan pakta
tersebut terhadap Jerman dalam Persidangan Mahkamah Perang Nuremberg;
penerimaan atas menyerah (surrender) dan perlakuan atas tawanan perang (prisoners of war);
penghindaran kekejaman; larangan menyerang orang sipil dengan sengaja;
dan larangan atas senjata-senjata tertentu yang tidak manusiawi.
Merupakan pelanggaran atas Hukum Perang jika melakukan pertempuran tanpa
memenuhi persyaratan tertentu, antara lain mengenakan seragam pembeda
atau lencana lain yang mudah dikenali dan membawa senjata secara
terang-terangan. Menyamar sebagai prajurit pihak musuh dengan cara
mengenakan seragam musuh, dan bertempur memakai seragam tersebut, adalah
dilarang, dan demikian pula penyanderaan.
Komite Internasional Palang Merah (ICRC)
ICRC adalah satu-satunya institusi yang secara eksplisit disebut
dalam Hukum Humaniter Internasional sebagai otoritas kontrol
(controlling authority). Mandat hukum ICRC berasal dari keempat Konvensi
Jenewa 1949 dan dari Anggaran Dasarnya sendiri.
Misi ICRC
“Komite Internasional Palang Merah (ICRC) adalah organisasi yang
tidak memihak, netral, dan mandiri dan yang misinya ialah misi
kemanusiaan semata-mata, yaitu untuk melindungi kehidupan dan martabat
para korban perang dan korban kekerasan internal dan memberi mereka
bantuan. ”
Pelanggaran dan hukuman
Selama berlangsungnya konflik, hukuman atas pelanggaran Hukum Perang
bisa berupa dilakukannya pelanggaran tertentu atas Hukum Perang dengan
sengaja dan secara terbatas sebagai pembalasan (reprisal).
Prajurit yang melanggar ketentuan tertentu dari Hukum Perang kehilangan
perlindungan dan status sebagai tawanan perang tetapi hanya setelah
menghadapi “mahkamah yang berkompeten” (Konvensi Jenewa III Pasal 5).
Pada saat itu, prajurit yang bersangkutan menjadi kombatan yang tidak
sah tetapi dia tetap harus “diperlakukan secara manusiawi dan, bilamana
kasusnya adalah kasus pengadilan, haknya atas pengadilan yang adil dan
reguler tidak boleh dicabut”, karena prajurit yang bersangkutan masih
dicakup oleh Konvensi Jenewa III Pasal 5.
Spion (mata-mata) dan teroris dilindungi oleh Hukum Perang hanya jika
negara yang menahan mereka berada dalam keadaan konflik bersenjata atau
perang dan sampai mereka didapati sebagai kombatan yang tidak sah.
Tergantung pada keadaan yang ada, mereka bisa dihadapkan pada pengadilan
sipil atau mahkamah militer atas perbuatan mereka dan, pada praktiknya,
mereka telah dikenai penyiksaan dan/atau eksekusi. Hukum Perang tidak
menyetujui dan tidak pula mengutuk perbuatan spion atau teroris karena
perbuatan semacam itu berada di luar lingkup Hukum Perang. Negara yang
telah menandatangani Konvensi PBB Menentang Penyiksaan (UN Convention Against Torture) mempunyai komitmen untuk tidak menggunakan penyiksaan terhadap siapapun dengan alasan apapun.
Setelah konflik berakhir, orang yang telah melakukan pelanggaran
apapun atas Hukum Perang, terutama kekejaman, boleh dimintai
pertanggungjawaban individual atas kejahatan perang melalui proses hukum.
Catatan kaki
- ^ ICRC What is international humanitarian law?
- ^ Stewart, James (30). "Towards a Single Definition of Armed Conflict in International Humanitarian Law". International Review of the Red Cross 850: 313–350.
- ^ Pictet, Jean (1975). Humanitarian law and the protection of war victims. Leyden: Sijthoff. ISBN 90-286-0305-0. hal. 16-17
- ^ The Program for Humanitarian Policy and Conflict Research at Harvard University, "Brief Primer on IHL," Diakses di IHL.ihlresearch.or
- ^ Pictet, Jean (1985). Development and Principles of International Law. Dordrecht: Martinus Nijhoff. ISBN 90-247-3199-2. hal.2
- ^ Kalshoven, Frits and Liesbeth Zegveld (March 2001). Constraints on the waging of war: An introduction to international humanitarian law. Geneva: ICRC. bantuan) hal.40
- ^ Christopher Greenwood in: Fleck, Dieter, ed. (2008). The Handbook of Humanitarian Law in Armed Conflicts. Oxford University Press, USA. ISBN 0-19-923250-4.hal. 20.
- ^ "Fritz Munch , History of the Laws of War, in: R. Bernhardt (ed.), Encyclopedia of Public International Law Volume IV (2000), hal. 1386-8.
- ^ Grotius, Book 3, Chapter 1:VI.
- ^ Bernhardt, Rudolf (1992). Encyclopedia of public international law. Amsterdam: North-Holland. ISBN 0-444-86245-5., Volume 2, pp. 933-936
- ^ II Kings 6:21-23
- ^ The Laws of Manu VII.90
- ^ The Laws of Manu VII.91-92 See also, Singh, Nagendra: "Armed conflicts and humanitarian laws of ancient India," in C. Swinarski (1985). Studies and Essays on International Humanitarian Law and Red Cross Principles. The Hague: Kluwer Law International. pp. 531–536. ISBN 90-247-3079-1.
- ^ Khadduri, Majid (2006). War And Peace in the Law of Islam. New York, NY: Lawbook Exchange. ISBN 1-58477-695-1.hal. 103-4.
- ^ Hashmi, Sohail H. (2002). Islamic political ethics: civil society, pluralism, and conflict. Princeton, N.J: Princeton University Press. ISBN 0-691-11310-6. hal. 211
- ^ McCoubrey, Hilaire (1999). International Humanitarian Law. Aldershot, UK: Ashgate Publishing. ISBN 1-84014-012-7. hal. 8-13
- ^ Khadduri, Majid (2006). War And Peace in the Law of Islam. New York, NY: Lawbook Exchange. ISBN 1-58477-695-1.pp. 105-106.
- ^ Christopher Greenwood in: Fleck, Dieter, ed. (2008). The Handbook of Humanitarian Law in Armed Conflicts. Oxford University Press, USA. ISBN 0-19-923250-4.hal. 22.
- ^ Pictet (1985) hal.2.
- ^ Christopher Greenwood in: Fleck, Dieter, ed. (2008). The Handbook of Humanitarian Law in Armed Conflicts. Oxford University Press, USA. ISBN 0-19-923250-4. hal. 27-28.
- ^ Kalshoven+Zegveld (2001) p. 34.
- ^ de Preux (1988). Basic rules of the Geneva Conventions and their Additional Protocols, 2nd edition. Geneva: ICRC. p. 1.
Pranala luar
- [1] - First website on IHL news.
- International humanitarian law- International Committee of the Red Cross website
- Customary international humanitarian law International Committee of the Red Cross
Kategori:
https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_kemanusiaan_internasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.