alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Sabtu, 03 Oktober 2015

HUKUM LAUT INTERNASIONAL DAN PENERAPAN HUKUM LAUT INDONESIA

Hukum Laut Internasional dan Penerapan Hukum Laut di Indonesia


diposting oleh rinthania-kristi-fisip12 pada 19 October 2014
di PrinsipPrinsip Hukum Internasional - 0 komentar
Bagian terbesar dari wilayah dunia terdiri dari perairan, terutama perairan laut.  Dari aspek geografi, permukaan  bumi yang luas  200 juta mil persegi, 70 % atau 140 juta mil persegi terdiri dari air. Dalam wilayah yang luas ini terkandung berbagai sumber daya. Salah satu unsur negara adalah wilayah negara pantai maupun negara buntu, mempunyai beberapa hak yang dijamin dalam hukum laut internasional. Secara umum, Hukum laut internasional adalah asas-asas atau kaedah-kaedah yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara-negara yang berkenaan dengan laut, baik laut yang berada di dalam wilayah maupun laut di luar wilayah atau laut lepas, baik dalam aktivitas pemanfaatannya maupun akibat negatif dari pemanfaatannya. 

Oleh karena itu, penting sekali untuk mengetahui periode-periode perkembangan hukum laut internasional yang dijelaskan penulis dalam jurnal ini. Hukum Laut Internasional merupakan salah satu cabang dalam Hukum Internasional yang sangat menarik untuk dipelajari. Perkembangan hukum laut terbagi menjadi 3 periode, yakni abad ke 14-15, abad ke 15-19 dan abad ke 19 hingga sekarang. Pada periode pertama yakni abad ke 14-15, Romawi menguasai hampir seluruh wilayah Eropa (mediterania).  Terdapat 2 pemikiran atau konsepsi yang cukup terkenal pada masa itu, yakni Res Nullius dan Res Communis Omnium. Dalam Res Nullius dijelaskan bahwa pada awalnya laut tidak ada yang memiliki, sehingga siapapun dapat menggunakan laut dan berlaku istilah “first come first serve”, yang berarti siapa yang datang lebih dulu berhak untuk menguasai wilayah tertentu. Yang kedua adalah Res Communis Omnium yang menjelaskan hak manusia untuk berlayar atau menggunakan laut dan bebas dari gangguan pembajakan, karena laut adalah milik bersama. 

Yang menjadi pembeda disini adalah dalam konsepsi Res Nullius dinyatakan bahwa laut dapat diambil dan dimiliki oleh negara. Sedangkan dalam konsepsi Res Communis Omnium dikatakan bahwa laut adalah milik masyarakat dunia sehingga tidak dapat diambil, dimiliki atau dikuasai oleh negara. Dalam buku Kusumaatmadja (1986) menjelaskan mengenai azas Res Communis Omnium yaitu dalam arti hak bersama (seluruh) manusia untuk menggunakan laut yang mula-mula berarti hak semua orang untuk melayari laut bebas dari gangguan perampok (bajak laut) dengan bertambahnya penggunaan-penggunaan laut atau uses of the sea lain disamping pelayaran, seperti perikanan, menjadi dasar pula dari kebebasan menangkap ikan (Kusumaatmadja, 1986 : 3).

            Sedangkan periode selanjutnya ialah bermula ketika pelayaran di laut bebas serta penangkapan-penangkapan ikan. Setelah kekuasaan Romawi runtuh, muncul negara-negara baru yang turut mewarnai perkembangan hukum laut internasional. Pada tahun 1493, ketika Portugis dan Spanyol mendominasi berbagai wilayah samudra, muncul aturan baru yakni Garis Demarkasi Papal Bull - inter caetera oleh Paus Alexander VI. Garis tersebut menentukan wilayah baru bagi Spanyol dan Portugis, dimana laut atlantik berada dibawah kekuasaan Spanyol, dan laut pasifik berada dibawah kekuasaan portugis. Namun setelah jatuhnya Consantinopel pada kekuasaan Turki dan karena ketidakpuasan Portugis terhadap Papal Bull, sibuatlah Treaty of Tordesillas ditahun 1494 (Kusumaatmadja, 1986 : 10). 

Pada tahun 1609, mulai dikenal konsep Mare Liberum yang dikemukakan oleh Hugo Grotius, yang menyatakan bahwa tidak ada laut yang dapat dimiliki oleh suatu negara karena hal tersebut tidak mungkin dijadikan sebagai sebuah kepemilikan berdasar dari okupasi, juga karena pada dasarnya hal tersebut bertentangan dengan hukum alam. Konsep Mare Liberum pada dasarnya muncul untuk menyangkal kewenangan Portugis ataupun Spanyol, yang mana berisi laut bersifat terbuka, laut tidak dapat dimiliki dan filsafah alam yang menyatakan bahwa siapapun bebas menggunakan atau melayari laut. Pada tahun 1635, muncul konsep yang disebut sebagai Mare Clausum, dan dikemukakan oleh John Selden untuk menentang konsep yang dikemukakan oleh Grotius. 

Selden mengatakan bahwa selama laut dikuasai oleh suatu negara tertentu, maka negara tersebut memiliki kekuasaan atas laut tersebut. Yang menjadi pembeda atas keduanya adalah Mare Liberum menyatakan bahwa laut tidak dapat dimiliki oleh negara manapun karena semua orang memiliki akses bebas atas kekayaan dan pemanfaatan sumber daya laut, sedangkan pada Mare Clausum dikatakan bahwa laut dapat dimiliki oleh negara tertentu, seperti yang terjadi pada Rusia, Jerman dan Swedia (Kusumaatmadja, 1986 : 11-12). Setelah Perang Dunia II lahirlah negara merdeka, khususnya di Asia dan Afrika yang berbatasan dengan laut. Bertambahnya penduduk dan meningkatnya kesejahteraan rakyat serta diiringi pula dengan pesatnya kemajuan teknologi, menimbulkan kesadaran dari negara-negara merdeka untuk mengatur suatu tatanan baru masalah laut.

Perwujudan keinginan negara-negara ini, kemudian pada Tanggal 24 Februari sampai tanggal 27 April 1958, dilaksanakan Konperensi Hukum Laut di Jenewa yang dihadiri wakil-wakil 86 negara. Dalam konperensi ini dihasilkan empat konvensi, yaitu a)Konvensi I tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan (Convention on the Teritorial Sea and Contigous Zone), mulai berlaku 10 September 1964, b) Konvensi II tentang Laut Lepas (Convention on the High Seas), mulai berlaku 30 September 1962, c) Konvensi III tentang Perikanan dan Perlindungan Kekayaan Hayati Laut Lepas (Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas), mulai berlaku 20 Maret 1966, d) Konvensi IV tentang Landas Kontinen (Convention on the Continental Shelf), mulai berlaku 10 Juli 1964. Dalam konferensi ini, walaupun telah berhasil merumuskan 4 konvensi, tetapi juga tidak disepakati tentang penetapan lebar laut teritorial, Akibatnya masing-masing negara menetapkan lebar laut teritorialnya menurut caranya sendiri. Tahun 1960 diadakan Konperensi Hukum Laut II, yang membahas lebar laut wilayah, namun konperensi ini gagal menghasilkan konvensi. 

Beberapa konsepsi hukum laut modern yang diatur dalam hukum laut yang berlaku saat ini merupakan penyempurnaan dari apa yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1958. Jalur maritim telah dikenal secara umum selama 30 tahun sebagai laut atau wilayah teritorial. Istilah laut atau wilayah teritorial tersebut, disebutkan dalam Konvensi Jenewa 1958 yang membahsa mengenai Laut Teritorial dan Zona Tambahan atau Territorial Sea ang Contigous Zone. Dalam Konvensi Jenewa 1958 tersebut, laut atau wilayah teritorial dijelaskan sebagai wilayah yang berada dalam kedaulatan negara pantai yang tunduk pada hak lintas damai atau Innocent passage oleh kapal-kapal negara lain (Starke, 2003: 325).

Dasar hukum laut Indonesia menggunakan ’Asas Archipelago’, yang berarti Indonesia menjadi negara kepulauan atau ’Archipelagic State’. Dalam sidangnya tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah mengumumkan Perairan Negara Republik Indonesia’ yang menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia. Lalu-lintas di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekadar tidak bertentangan dengan dan/atau mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Batas laut teritorial Indonesia yang sebelumnya 3 mil diperlebar menjadi 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau dari wilayah negara Indonesia pada saat air laut surut. Bahkan dalam perkembangannya, Indonesia sebagai negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan sampai sejauh 100 mil laut, yang menghubungkan titik-titik paling luar dari pulau paling luar dan batu-batu karang. Adapun definisi yang diberikan terhadap negara kepulauan ialah sebagai negara-negara yang terdiri seluruhnya dari satu atau lebih kepulauan. Selanjutnya ditentukan bahwa yang dimaksud kepulauan ialah sekumpulan pulau-pulau, perairan yang saling berhubungan (interconnecting waters) dan karakteristik alamiah lainnya dalam pertalian yang demikian erat, sehingga membentuk satu kesatuan intrinsik geografis, ekonomis dan politis atau secara historis memang dipandang sebagai demikian ( Anwar,1989 : 77). 

Suatu perkembangan baru yang penting dalam konvensi Hukum Laut 1982 adalah diakuinya rezim hukum zona ekonomi eksklusif (ZEE) sebagai suatu rezim hukum laut internasional yang baru. Sebagai suatu rezim hukum laut internasional yang baru, zona ekonomi eksklusif merupakan rezim hukum sui generis, dalam arti suatu rezim hukum yang dibentuk dan ditumbuhkan sebagai konsep tata pengaturan hukum yang asli (original)( Lazarus, 2005:49). Kemudian yang tertulis dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) juga melahirkan delapan zonasi pegaturan (regime) hukum laut yaitu, 1)Perairan Pedalaman (Internal waters), 2)Perairan kepulauan (Archiplegic waters) termasuk ke dalamnya selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, 3)Laut Teritorial (Teritorial waters), 4) Zona tambahan ( Contingous waters), 5) Zona ekonomi eksklusif (Exclusif economic zone), 6)Landas Kontinen (Continental shelf), 7) Laut lepas (High seas), 8)Kawasan dasar laut internasional (International sea-bed area).

Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur juga pemanfaatan lautsesuai dengan status hukum dari kedelapan zonasi pengaturantersebut. Negara-negara yang berbatasan dengan laut, termasukIndonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah perairanpedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial; sedangkan untukzona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen,negara memiliki hak-hak eksklusif, misalnya hak memanfaatkansumberdaya alam yang ada di zona tersebut. Sebaliknya, laut lepas merupakan zona yang tidak dapat dimiliki oleh negara manapun,sedangkan kawasandasar laut Internasioal dijadikan sebagai bagianwarisan umat manusia. Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS 1982) melahirkan beberapa pokok pengaturan (rezim) hukum laut, yaitu perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif (ZEE), landas kontinen, laut lepas, dan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional. Wilayah laut pedalaman adalah wilayah laut di sisi daratan dari garis pangkal. Garis pangkal ini ialah garis yang digunakan sebagai pangkal pengukuran lebar wilayah laut teritorial (Sefriani, 2011; Istanto, 2010). 

Kemudian alur laut Indonesia Alur Laut Kepulauan Indonesia yang telah ditetapkan melalui PP No. 37 tersebut, terdiri dari tiga alur yaitu ALKI I, ALKI II, dan ALKI III. ALKI I yaitu alur kepulauan yang dapat dipergunakann untuk melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan untuk pelayaran dari Laut Cina Selatan ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat Sunda. ALKI II, yaitu alur laut kepulauan yang dipergunakan untuk melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan untuk pelayaran dari Laut Sulawesi ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Selat makassar, Laut Flores, dan Selat Lombok. (Manuputy, 2008: 96-97).

Sehingga menurut pendapat penulis, terciptanya sebuah hukum laut internasional bukan sesuatu hal yang singkat namun melalui beberapa periode, yaitu abad ke 14-15, abad ke 15-19 dan abad ke 19 hingga sekarang telah terbentuk Pokok-pokok Hukum Laut Internasional yang terkandung dalam Konvensi PBB tahun 1982. Menurut Starke (2014: 322), UNCLOS 1982 merupakan perkembangan paling penting dalam keseluruhan sejarah ketentuan hukum internasional berkenaan dengan lautan bebas. Indonesia adalah negara kepulauan dengan kekayaan sumber daya kelautan yang besar. Laut teritorial atau perairan teritorial (bahasa Inggris: Territorial sea) adalah wilayah kedaulatan suatu negara pantai selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya; sedangkan bagi suatu negara kepulauan seperti Indonesia, Jepang, dan Filipina, laut teritorial meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya perairan kepulauannya dinamakan perairan internal termasuk dalam laut teritorial pengertian kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya dan, kedaulatan atas laut teritorial dilaksanakan dengan menurut ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea) lebar sabuk perairan pesisir ini dapat diperpanjang paling banyak dua belas mil laut (22,224 km) dari garis dasar (baseline-sea). Wilayah laut dengan batas 12 mil dari titik ujung terluar pulau-pulau di Indonesia pada saat pasang surut ke arah laut. Pulau yang ada di wilayah Indonesia berjumlah lebih dari 17.500 pulau baik yang besar maupun yang kecil. 

 Dengan banyaknya jumlah pulau menyebabkan Indonesia memiliki garis pantai yang panjang. Panjang garis pantai di Indonesia sejauh 81.000 km dan merupakan salah satu garis pantai yang terpanjang di dunia.Adanya garis pantai yang panjang akan menguntungkan bagi negara itu, sebab kekayaan yang terkandung di dalamnya menjadi hak milik negara. Oleh karena itu, batas-batas wilayah laut di Indonesia harus diakui oleh dunia internasional

Referensi :
Chairul Anwar, 1989, Horizon Baru Hukum Laut Internasional. Jakarta: Djambatan.
Kusumaatmadja, Mochtar, Hukum Laut Internasional, Binacipta, 1986.
Manuputy, et al., 2008. Hukum Internasional. Depok: Rech-ta
Lazarus, 2005. Pokok-pokok Hukum Laut Internasional. Semarang: Pusat Studi Hukum Laut
Sefriani. 2011. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Starke, J. G. 2006. Introduction to International Law, 10th Ed. Translated by Bambang Iriana
          Djajaatmadja. Jakarta: Sinar Grafika
http://rinthania-kristi-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-114269-PrinsipPrinsip%20Hukum%20Internasional-Hukum%20Laut%20Internasional%20dan%20Penerapan%20Hukum%20Laut%20di%20Indonesia.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.