Hukum Laut Internasional dan Penerapan Hukum Laut di Indonesia
diposting oleh rinthania-kristi-fisip12 pada 19 October 2014
di PrinsipPrinsip Hukum Internasional - 0 komentar
di PrinsipPrinsip Hukum Internasional - 0 komentar
Bagian
terbesar dari wilayah dunia terdiri dari perairan, terutama perairan
laut. Dari aspek geografi, permukaan bumi yang luas 200 juta mil
persegi, 70 % atau 140 juta mil persegi terdiri dari air. Dalam wilayah
yang luas ini terkandung berbagai sumber daya. Salah satu unsur negara
adalah wilayah negara pantai maupun negara buntu, mempunyai beberapa hak
yang dijamin dalam hukum laut internasional. Secara umum, Hukum laut
internasional adalah asas-asas atau kaedah-kaedah yang mengatur hubungan
atau persoalan yang melintasi batas-batas negara-negara yang berkenaan
dengan laut, baik laut yang berada di dalam wilayah maupun laut di luar
wilayah atau laut lepas, baik dalam aktivitas pemanfaatannya maupun
akibat negatif dari pemanfaatannya.
Oleh karena itu, penting sekali
untuk mengetahui periode-periode perkembangan hukum laut internasional
yang dijelaskan penulis dalam jurnal ini. Hukum Laut Internasional
merupakan salah satu cabang dalam Hukum Internasional yang sangat
menarik untuk dipelajari. Perkembangan hukum laut terbagi menjadi 3
periode, yakni abad ke 14-15, abad ke 15-19 dan abad ke 19 hingga
sekarang. Pada periode pertama yakni abad ke 14-15, Romawi menguasai
hampir seluruh wilayah Eropa (mediterania). Terdapat 2 pemikiran atau
konsepsi yang cukup terkenal pada masa itu, yakni Res Nullius dan Res
Communis Omnium. Dalam Res Nullius dijelaskan bahwa pada awalnya laut
tidak ada yang memiliki, sehingga siapapun dapat menggunakan laut dan
berlaku istilah “first come first serve”, yang berarti siapa
yang datang lebih dulu berhak untuk menguasai wilayah tertentu. Yang
kedua adalah Res Communis Omnium yang menjelaskan hak manusia untuk
berlayar atau menggunakan laut dan bebas dari gangguan pembajakan,
karena laut adalah milik bersama.
Yang menjadi pembeda disini adalah
dalam konsepsi Res Nullius dinyatakan bahwa laut dapat diambil dan
dimiliki oleh negara. Sedangkan dalam konsepsi Res Communis Omnium
dikatakan bahwa laut adalah milik masyarakat dunia sehingga tidak dapat
diambil, dimiliki atau dikuasai oleh negara. Dalam buku Kusumaatmadja
(1986) menjelaskan mengenai azas Res Communis Omnium yaitu dalam arti
hak bersama (seluruh) manusia untuk menggunakan laut yang mula-mula
berarti hak semua orang untuk melayari laut bebas dari gangguan perampok
(bajak laut) dengan bertambahnya penggunaan-penggunaan laut atau uses of the sea lain disamping pelayaran, seperti perikanan, menjadi dasar pula dari kebebasan menangkap ikan (Kusumaatmadja, 1986 : 3).
Sedangkan periode
selanjutnya ialah bermula ketika pelayaran di laut bebas serta
penangkapan-penangkapan ikan. Setelah kekuasaan Romawi runtuh, muncul
negara-negara baru yang turut mewarnai perkembangan hukum laut
internasional. Pada tahun 1493, ketika Portugis dan Spanyol mendominasi
berbagai wilayah samudra, muncul aturan baru yakni Garis Demarkasi Papal
Bull - inter caetera oleh Paus Alexander VI. Garis tersebut menentukan
wilayah baru bagi Spanyol dan Portugis, dimana laut atlantik berada
dibawah kekuasaan Spanyol, dan laut pasifik berada dibawah kekuasaan
portugis. Namun setelah jatuhnya Consantinopel pada kekuasaan Turki dan
karena ketidakpuasan Portugis terhadap Papal Bull, sibuatlah Treaty of
Tordesillas ditahun 1494 (Kusumaatmadja, 1986 : 10).
Pada tahun 1609,
mulai dikenal konsep Mare Liberum yang dikemukakan oleh Hugo Grotius,
yang menyatakan bahwa tidak ada laut yang dapat dimiliki oleh suatu
negara karena hal tersebut tidak mungkin dijadikan sebagai sebuah
kepemilikan berdasar dari okupasi, juga karena pada dasarnya hal
tersebut bertentangan dengan hukum alam. Konsep Mare Liberum pada
dasarnya muncul untuk menyangkal kewenangan Portugis ataupun Spanyol,
yang mana berisi laut bersifat terbuka, laut tidak dapat dimiliki dan
filsafah alam yang menyatakan bahwa siapapun bebas menggunakan atau
melayari laut. Pada tahun 1635, muncul konsep yang disebut sebagai Mare
Clausum, dan dikemukakan oleh John Selden untuk menentang konsep yang
dikemukakan oleh Grotius.
Selden mengatakan bahwa selama laut dikuasai
oleh suatu negara tertentu, maka negara tersebut memiliki kekuasaan atas
laut tersebut. Yang menjadi pembeda atas keduanya adalah Mare Liberum
menyatakan bahwa laut tidak dapat dimiliki oleh negara manapun karena
semua orang memiliki akses bebas atas kekayaan dan pemanfaatan sumber
daya laut, sedangkan pada Mare Clausum dikatakan bahwa laut dapat
dimiliki oleh negara tertentu, seperti yang terjadi pada Rusia, Jerman
dan Swedia (Kusumaatmadja, 1986 : 11-12). Setelah Perang Dunia II
lahirlah negara merdeka, khususnya di Asia dan Afrika yang berbatasan
dengan laut. Bertambahnya penduduk dan meningkatnya kesejahteraan rakyat
serta diiringi pula dengan pesatnya kemajuan teknologi, menimbulkan
kesadaran dari negara-negara merdeka untuk mengatur suatu tatanan baru
masalah laut.
Perwujudan keinginan negara-negara ini,
kemudian pada Tanggal 24 Februari sampai tanggal 27 April 1958,
dilaksanakan Konperensi Hukum Laut di Jenewa yang dihadiri wakil-wakil
86 negara. Dalam konperensi ini dihasilkan empat konvensi, yaitu
a)Konvensi I tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan (Convention on the Teritorial Sea and Contigous Zone), mulai berlaku 10 September 1964, b) Konvensi II tentang Laut Lepas (Convention on the High Seas), mulai berlaku 30 September 1962, c) Konvensi III tentang Perikanan dan Perlindungan Kekayaan Hayati Laut Lepas (Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas), mulai berlaku 20 Maret 1966, d) Konvensi IV tentang Landas Kontinen (Convention on the Continental Shelf),
mulai berlaku 10 Juli 1964. Dalam konferensi ini, walaupun telah
berhasil merumuskan 4 konvensi, tetapi juga tidak disepakati tentang
penetapan lebar laut teritorial, Akibatnya masing-masing negara
menetapkan lebar laut teritorialnya menurut caranya sendiri. Tahun 1960
diadakan Konperensi Hukum Laut II, yang membahas lebar laut wilayah,
namun konperensi ini gagal menghasilkan konvensi.
Beberapa konsepsi
hukum laut modern yang diatur dalam hukum laut yang berlaku saat ini
merupakan penyempurnaan dari apa yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1958.
Jalur maritim telah dikenal secara umum selama 30 tahun sebagai laut
atau wilayah teritorial. Istilah laut atau wilayah teritorial tersebut,
disebutkan dalam Konvensi Jenewa 1958 yang membahsa mengenai Laut
Teritorial dan Zona Tambahan atau Territorial Sea ang Contigous Zone.
Dalam Konvensi Jenewa 1958 tersebut, laut atau wilayah teritorial
dijelaskan sebagai wilayah yang berada dalam kedaulatan negara pantai
yang tunduk pada hak lintas damai atau Innocent passage oleh kapal-kapal negara lain (Starke, 2003: 325).
Dasar hukum laut Indonesia menggunakan
’Asas Archipelago’, yang berarti Indonesia menjadi negara kepulauan atau
’Archipelagic State’. Dalam sidangnya tanggal 13 Desember 1957
Pemerintah mengumumkan Perairan Negara Republik Indonesia’ yang
menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, di antara, dan yang
menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan
Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya
merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan
Negara Republik Indonesia. Lalu-lintas di perairan pedalaman ini bagi
kapal-kapal asing dijamin selama dan sekadar tidak bertentangan dengan
dan/atau mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Batas
laut teritorial Indonesia yang sebelumnya 3 mil diperlebar menjadi 12
mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada
pulau-pulau dari wilayah negara Indonesia pada saat air laut surut.
Bahkan dalam perkembangannya, Indonesia sebagai negara kepulauan dapat
menarik garis pangkal lurus kepulauan sampai sejauh 100 mil laut, yang
menghubungkan titik-titik paling luar dari pulau paling luar dan
batu-batu karang. Adapun definisi yang diberikan terhadap negara
kepulauan ialah sebagai negara-negara yang terdiri seluruhnya dari satu
atau lebih kepulauan. Selanjutnya ditentukan bahwa yang dimaksud
kepulauan ialah sekumpulan pulau-pulau, perairan yang saling berhubungan
(interconnecting waters) dan karakteristik alamiah lainnya dalam
pertalian yang demikian erat, sehingga membentuk satu kesatuan intrinsik
geografis, ekonomis dan politis atau secara historis memang dipandang
sebagai demikian ( Anwar,1989 : 77).
Suatu perkembangan baru yang
penting dalam konvensi Hukum Laut 1982 adalah diakuinya rezim hukum zona
ekonomi eksklusif (ZEE) sebagai suatu rezim hukum laut internasional
yang baru. Sebagai suatu rezim hukum laut internasional yang baru, zona
ekonomi eksklusif merupakan rezim hukum sui generis, dalam arti
suatu rezim hukum yang dibentuk dan ditumbuhkan sebagai konsep tata
pengaturan hukum yang asli (original)( Lazarus, 2005:49). Kemudian yang
tertulis dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) juga
melahirkan delapan zonasi pegaturan (regime) hukum laut yaitu,
1)Perairan Pedalaman (Internal waters), 2)Perairan kepulauan
(Archiplegic waters) termasuk ke dalamnya selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional, 3)Laut Teritorial (Teritorial waters), 4) Zona
tambahan ( Contingous waters), 5) Zona ekonomi eksklusif (Exclusif
economic zone), 6)Landas Kontinen (Continental shelf), 7) Laut lepas
(High seas), 8)Kawasan dasar laut internasional (International sea-bed
area).
Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur juga
pemanfaatan lautsesuai dengan status hukum dari kedelapan zonasi
pengaturantersebut. Negara-negara yang berbatasan dengan laut,
termasukIndonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah
perairanpedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial; sedangkan
untukzona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen,negara
memiliki hak-hak eksklusif, misalnya hak memanfaatkansumberdaya alam
yang ada di zona tersebut. Sebaliknya, laut lepas merupakan zona yang
tidak dapat dimiliki oleh negara manapun,sedangkan kawasandasar laut
Internasioal dijadikan sebagai bagianwarisan umat manusia. Konvensi PBB
tentang hukum laut (UNCLOS 1982) melahirkan beberapa pokok pengaturan
(rezim) hukum laut, yaitu perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut
teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif (ZEE), landas
kontinen, laut lepas, dan selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional. Wilayah laut pedalaman adalah wilayah laut di sisi
daratan dari garis pangkal. Garis pangkal ini ialah garis yang digunakan
sebagai pangkal pengukuran lebar wilayah laut teritorial (Sefriani,
2011; Istanto, 2010).
Kemudian alur laut Indonesia Alur Laut Kepulauan
Indonesia yang telah ditetapkan melalui PP No. 37 tersebut, terdiri dari
tiga alur yaitu ALKI I, ALKI II, dan ALKI III. ALKI I yaitu alur
kepulauan yang dapat dipergunakann untuk melaksanakan Hak Lintas Alur
Laut Kepulauan untuk pelayaran dari Laut Cina Selatan ke Samudera Hindia
atau sebaliknya, melintasi Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, dan
Selat Sunda. ALKI II, yaitu alur laut kepulauan yang dipergunakan untuk
melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan untuk pelayaran dari Laut
Sulawesi ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Selat makassar,
Laut Flores, dan Selat Lombok. (Manuputy, 2008: 96-97).
Sehingga menurut pendapat penulis,
terciptanya sebuah hukum laut internasional bukan sesuatu hal yang
singkat namun melalui beberapa periode, yaitu abad ke 14-15, abad ke
15-19 dan abad ke 19 hingga sekarang telah terbentuk Pokok-pokok Hukum
Laut Internasional yang terkandung dalam Konvensi PBB tahun 1982.
Menurut Starke (2014: 322), UNCLOS 1982 merupakan perkembangan paling
penting dalam keseluruhan sejarah ketentuan hukum internasional
berkenaan dengan lautan bebas. Indonesia adalah negara kepulauan dengan
kekayaan sumber daya kelautan yang besar. Laut teritorial atau perairan
teritorial (bahasa Inggris: Territorial sea) adalah wilayah kedaulatan suatu negara pantai selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya; sedangkan bagi suatu negara kepulauan seperti Indonesia, Jepang, dan Filipina,
laut teritorial meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan
dengannya perairan kepulauannya dinamakan perairan internal termasuk
dalam laut teritorial pengertian kedaulatan ini meliputi ruang
udara di atas laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya
dan, kedaulatan atas laut teritorial dilaksanakan dengan menurut
ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea)
lebar sabuk perairan pesisir ini dapat diperpanjang paling banyak dua
belas mil laut (22,224 km) dari garis dasar (baseline-sea). Wilayah laut
dengan batas 12 mil dari titik ujung terluar pulau-pulau di Indonesia
pada saat pasang surut ke arah laut. Pulau yang ada di wilayah Indonesia
berjumlah lebih dari 17.500 pulau baik yang besar maupun yang kecil.
Dengan banyaknya jumlah pulau menyebabkan Indonesia memiliki garis
pantai yang panjang. Panjang garis pantai di Indonesia sejauh 81.000 km
dan merupakan salah satu garis pantai yang terpanjang di dunia.Adanya
garis pantai yang panjang akan menguntungkan bagi negara itu, sebab
kekayaan yang terkandung di dalamnya menjadi hak milik negara. Oleh
karena itu, batas-batas wilayah laut di Indonesia harus diakui oleh
dunia internasional
Referensi :
Chairul Anwar, 1989, Horizon Baru Hukum Laut Internasional. Jakarta: Djambatan.
Kusumaatmadja, Mochtar, Hukum Laut Internasional, Binacipta, 1986.
Manuputy, et al., 2008. Hukum Internasional. Depok: Rech-ta
Lazarus, 2005. Pokok-pokok Hukum Laut Internasional. Semarang: Pusat Studi Hukum Laut
Sefriani. 2011. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Starke, J. G. 2006. Introduction to International Law, 10th Ed. Translated by Bambang Iriana
Djajaatmadja. Jakarta: Sinar Grafika
http://rinthania-kristi-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-114269-PrinsipPrinsip%20Hukum%20Internasional-Hukum%20Laut%20Internasional%20dan%20Penerapan%20Hukum%20Laut%20di%20Indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.