HUKUM UDARA INTERNASIONAL DAN HUKUM ANTARIKSA
03 November 2014 - dalam HUKUM INTERNASIONAL Oleh devi-anggraini-fisip12
Pengaturan
ruang udara dan antariksa merupakan aturan yang relatif baru
dibandingkan pengaturan internasional lainnya seperti hukum laut yang
sudah ada sejak berabad-abad sebelumnya. Sehingga hukum udara dan
antariksa didasarkan pada ketentuan Konvensional dan hukum kebiasaan
yang mempunyai peran tambahan dalam pembentukan hukum udara dan
antariksa. Perkembangan hukum udara diawali pada Konferensi
Internasional Hukum Udara yang pertama diselenggarakan pada tahun 1910
setelah sejumlah balon udara milik Jerman melintasi wilayah udara di
atas negara Perancis, yang mana hal ini dianggap oleh pihak Perancis
sebagai suatu ancaman terhadap keamanannya.
Sembilan tahun setelah
Konferensi pertama tersebut dibentuklah Konvensi Paris 1919 yang
berlandaskan adagium Romawi (cujus est solum, ejus usque ad coelum at ad inferos)
yang berarti bahwa negara melaksanakan hak-haknya sampai pada suatu
ketinggian dimana ia masih memiliki kontrol efektif terhadap ruang
udaranya. Tujuan utama perjanjian itu adalah untuk menegakkan kedaulatan
negara terhadap ruang udara di atas wilayahnya dan untuk membentuk
ketentuan-ketentuan bagi pengguna ruang udara. Hukum udara itu sendiri
dapat dipahami sebagai serangkaian ketentua nasional dan internasional
mengenai pesawat, navigasi udara, pengangkutan udara komersial dan semua
hubungan hukum, publik ataupun perdata, yang timbul dari navigasi udara
domestik dan internasional (Syahmin et al., 2012: 4-5).
Konvensi paris 1919 ditandatangani pada
tanggal 13 Oktober 1919 dan baru berlaku pada tanggal 11 Juli 1922.
Dapat dikatakan bahwa konvensi Paris 1919 tersebut merupakan upaya
pertama pengaturan internasional secara umum mengenai penerbangan udara.
Pengaturan Hukum Udara dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 menjelaskan
mengenai kedaulatan penuh dan eksklusif negara peserta terhadap ruang
angkasa di atas wilayah darat dan lautnya. Kendati demikian pada
perkembangannya, konvensi tersebut mengalami beberapa perubahan materi
terutama mengenai keanggotaan dalam konvensi yang mana menjelaskan bahwa
setiap negara memiliki kedaulatan penuh terhadap ruang udara yang
berada di atasnya (T. May, 2002: 31).
Pelaksanaan masalah kebebasan
navigasi udara Konvensi Paris dirasa hanya sebagai konvensi yang
diberikan atas dasar resiprositas semata kepada para pihak, bukan
penilaian objektif. Oleh sebab itu, perkembangan pesat dalam lalu lintas
udara juga membuat Konvensi Paris harus direvisi kembali. Amerika
Serikat berinisiatif untuk merevisi Konvensi Paris yang dilaksanakan
pada 1 November-7 Desember 1944 di Chicago, yang mengatur tentang dua
kebebasan dasar yaitu hak lintas damai dan hak mendarat teknik untuk
keperluan pengambilan bahan-bahan dan reparasi dan tiga kebebasan
komersial yang berkaitan dengan lalu lintas komersial (Mauna, 2011:
427-428).
Perkembangan yang hampir serupa telah terjadi dalam bidang Hukum Antariksa (Outer Space Law).
Diawali pada 4 Oktober 1957 ketika Sputnik Rusia diluncurkan ke ruang
angakasa yang kemudian diikuti oleh pesawat ruang angkasa Amerika
Serikat, yang mengakibatkan negara lain menganggap hal tersebut sebagai
suatu ancaman terhadap keamanan mereka. Prinsip-prinsip yang berlaku
untuk ruang angkasa terjabarkan dalam Space Treaty 1967, dengan prinsip utama yang mengatur ruang angkasa antara lain Non appropriation principle dan Freedom exploitation principle.
Prinsip pertama atau non kepemilikan adalah prinsip yang menyatakan
bahwa ruang angkasa beserta benda-benda langit merupakan milik bersama
umat manusia, tidak dapat diklaim atau diletakkan di bawah kedaulatan
suatu negara.
Adapun prinsip kedua adalah prinsip yang menyatakan bahwa
ruang angkasa adalah zona yang bebas untuk dieksploitasi oleh semua
negara sepanjang untuk tujuan damai (equity) (Sefriani, 2011:
228-229). Tujuan utama dari perjanjian ini adalah untuk mencegah
tuntutan-tuntutan kedaulatan di ruang angkasa oleh negara-negara secara
individu dan untuk membuat ketentuan-ketentuan bagi penggunaan damai
ruang angkasa. Sejalan dengan meningkat pesatnya lalu lintas
pengangkutan ruang angkasa, muncul pula kebutuhan akan prinsip dan
pengaturan hukum yang lebih tegas. Sejumlah studi dan perjanjian
mengenai registrasi, pertolongan para astronaut, dan tanggung jawab bagi
kerugian yang telah diatur dalam Space Treaty 1967, telah
dikodifikasi dalam perarturan-perarturan hukum internasional publik dan
perdata yang mengikat (Syahmin, 2012: 6).
Beberapa pakar hukum
internasional memberikan definisi yang berbeda tentang antariksa, antara
lain Priyatna Abdurrasyid yang mengatakan hukum antariksa adalah hukum
yang mengatur ruang angkasa dengan segala isinya atau hukum yang
mengatur ruang yang hampa udara. Ruang lingkupnya meliputi tiga hal,
yaitu luas wilayah ruang di antariksa dimana hukum antariksa diteapkan
dan berlaku, bentuk kegiatan manusia yang diatur di ruang tersebut, dan
bentuk kegiatan peralatan penerbangan dan alat-alat penunjungnya
(Abdurrasyid, 2007: 183).
Paul Fauchile berusaha menerapkan
doktrin Grotius ke dalam masalah kedaulatan suatu negara di ruang udara
dengan mengatakan bahwa udara itu bebas. Akan tetapi tindakan menyamakan
lautan dengan ruang udara tidaklah benar. Hal tersebut diasumsikan
bahwa udara dengan lautan itu dua hal yang berbeda. Mengenai masalah
pemilikan ruang udara ini melahirkan dua kelompok besar, yaitu mereka
yang berpendapat bahwa udara sifatnya itu bebas yang dikelompokkan
sebagai penganut teori ruang udara bebas dan mereka yang berpendapat
bahwa negara itu berdaulat terhadap ruang udara di atas wilayah
negaranya. Berkaitan dengan ruang udara di atas wilayah yang dikuasai
dan di atas perairan yang tunduk pada kedaulatan negara, seperti yang
telah dikemukakan di atas, terdapat sejumlah teori yang beragam.
Akan
tetapi ketika pecahnya Perang Dunia I pada tahun 1914, karena alasan
darurat dan praktis dianggap bahwa satu-satunya teori yang diterima oleh
semua negara adalah teori kedaulatan negara atas ruang udara adalah
tidak terbatas (Abdulrrasyid, 1972: 55). Teori ini dipakai dan
dikukuhkan tidak hanya oleh negara yang sedang berperang, akan tetapi
juga oleh negara-negara netral. Teori tersebut dinyatakan dalam Pasal 1
Konvensi Paris 1919, untuk pengaturan navigasi udara, dimana peserta
perjanjian mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap
dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayahnya dan perairan
terirtorialnya. Tetapi bagaimanapun juga konsep kedaulatan tersebut
masih bisa dibatasi dengan adanta hak lintas damai bagi pesawat-pesawat
asing.
Hukum Udara Indonesia ditandai dengan
keberpihakan Indonesia pada Konvensi Chicago sejak tahun 1950.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, Konvensi ini sangat menjunjung
tinggi kedaula.tan negara atas wilayah ruang udaranya. Akan tetapi
menyadari resiko yang besar dari transportasi udara dan untuk
kepentingan masyarakat internasional, dalam beberapa hal konvensi
membatasi kebebasan negara dalam mengatur lalu lintas transportasi
udara. Negara harus patuh pada jalur-jalur penerbangan yang diatur dalam
enroute charts ICAO serta siapa yang diberi kewenangan untuk
mengawasi dan mengatur lalu lintas penerbangan di suatu kawasan melalui
penetapan flight information region (FIR). Penetapan FIR oleh
ICAO berdasarkan pertimbangan bebrapa faktor antara lain ketersediaan
berbagai fasilitas pendukung transportasi udara di masing-masing
wilayah. Oleh karena itu, pengaturan lalu lintas udara tidaklah sangat
berpatokan pada wilayah kedaulatan suatu negara semata.
Sebagai contoh
dapat dikemukakan bahwa tidak semua wilayah kedaulatan RI, FIR-nya
diatur oleh Jakarta. Sebagian lainnya seperti sekitar Kepulauan Riau,
FIR-nya diatur oleh Singapura yang mana penerbangan dari Batam ke Matak
harus memutar lewat Toman terlebih dahulu karena adanya wilayah
larangan yang sebagian besar ditetapkan oleh Malaysia walaupun wilayah
tersebut bagian dari Indonesia. Wilayah-wilayah tersebut sejak lama
masuk dalam FIR Singapura sehingga memang Singapura yang harus
memperingatkan jika ada pesawat yang keluar dari jalur penerbangan yang
sudah dibuat dan disepakati secara internasional. Sebaliknya Indonesia
memegang FIR untuk Pulau Christmas milik Australia, wilayah Papua Nugini
dan Timor Leste. Artinya pesawat Australia yang akan terbang dari
Sydney ke Pulau Christmas harus melapor ke Indonesia lebih dahulu
(Sefriani, 2011: 226-227).
Setiap cabang hukum internasional
memiliki ketentuan-ketentuan dan prinsipnya sendiri, juga tidak
terkecuali hukum udara dan ruang angkasa.
Kedua cabang hukum itu
masing-masing merupakan suatu sistem hukum yang independen. Perkembangan
hukum udara internasional maupun hukum antariksa diawali dengan potret
sejarah hubungan antar negara yang melahirkan inisiatif negara untuk
membentuk hukum udara dan antariksa demi menjaga stabilitas keamanan
terirtori setempat. Konsep kedaulatan negara di ruang udara sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 1 konvensi Paris 1919, telah secara rinci
dicantumkan pula pada Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 bahwa negara
mempunyai kedaulatan yang peuh dan eksklusif atas ruang udaranya. Selain
itu, pengaturan tentang ruang antariksa diatur dalam perjanjian Outer Space 1967, perjanjian tersebut mengadopsi prinsip non-kepemilikan dan prinsip kebebasan atas penggunaan ruang angkasa.
REFERENSI
Abdurrasyid, Priyatna. 2007. Hukum Ruang Angkasa Nasional, Penempatan dan Urgensinya. Jakarta: Rajawali Press
Abdulrrasyid, Priyatna. 1972. Kedaulatan Negara di Ruang Udara. Jakarta: Pusat Penelitian Hukum Angkasa
Mauna, Boer. 2011. Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: Alumni
Sefriani. 2011. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Syahmin, et al., 2012. Hukum Udara dan Luar Angkasa, [online] file:///D:/UNAIR/SEMESTER%205/Hukum%20Internasional/Buku_Hukum_Udara_dan_Luar_Angkasa.pdf [diakses 2 November 2014]
T. May Rudy. Hukum Internasional II. Bandung: Refika Aditama
http://devi-anggraini-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-114999-HUKUM%20INTERNASIONAL-HUKUM%20UDARA%20INTERNASIONAL%20DAN%20HUKUM%20ANTARIKSA.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.