alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Minggu, 04 Oktober 2015

HUKUM UDARA INTERNASIONAL DAN HUKUM ANTARIKSA

HUKUM UDARA INTERNASIONAL DAN HUKUM ANTARIKSA

03 November 2014 - dalam HUKUM INTERNASIONAL Oleh devi-anggraini-fisip12

Pengaturan ruang udara dan antariksa merupakan aturan yang relatif baru dibandingkan pengaturan internasional lainnya seperti hukum laut yang sudah ada sejak berabad-abad sebelumnya. Sehingga hukum udara dan antariksa didasarkan pada ketentuan Konvensional dan hukum kebiasaan yang mempunyai peran tambahan dalam pembentukan hukum udara dan antariksa. Perkembangan hukum udara diawali pada Konferensi Internasional Hukum Udara yang pertama diselenggarakan pada tahun 1910 setelah sejumlah balon udara milik Jerman melintasi wilayah udara di atas negara Perancis, yang mana hal ini dianggap oleh pihak Perancis sebagai suatu ancaman terhadap keamanannya. 

Sembilan tahun setelah Konferensi pertama tersebut dibentuklah Konvensi Paris 1919 yang berlandaskan adagium Romawi (cujus est solum, ejus usque ad coelum at ad inferos) yang berarti bahwa negara melaksanakan hak-haknya sampai pada suatu ketinggian dimana ia masih memiliki kontrol efektif terhadap ruang udaranya. Tujuan utama perjanjian itu adalah untuk menegakkan kedaulatan negara terhadap ruang udara di atas wilayahnya dan untuk membentuk ketentuan-ketentuan bagi pengguna ruang udara. Hukum udara itu sendiri dapat dipahami sebagai serangkaian ketentua nasional dan internasional mengenai pesawat, navigasi udara, pengangkutan udara komersial dan semua hubungan hukum, publik ataupun perdata, yang timbul dari navigasi udara domestik dan internasional (Syahmin et al., 2012: 4-5).

Konvensi paris 1919 ditandatangani pada tanggal 13 Oktober 1919 dan baru berlaku pada tanggal 11 Juli 1922. Dapat dikatakan bahwa konvensi Paris 1919 tersebut merupakan upaya pertama pengaturan internasional secara umum mengenai penerbangan udara. Pengaturan Hukum Udara dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 menjelaskan mengenai kedaulatan penuh dan eksklusif negara peserta terhadap ruang angkasa di atas wilayah darat dan lautnya. Kendati demikian pada perkembangannya, konvensi tersebut mengalami beberapa perubahan materi terutama mengenai keanggotaan dalam konvensi yang mana menjelaskan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh terhadap ruang udara yang berada di atasnya (T. May, 2002: 31). 

Pelaksanaan masalah kebebasan navigasi udara Konvensi Paris dirasa hanya sebagai konvensi yang diberikan atas dasar resiprositas semata kepada para pihak, bukan penilaian objektif. Oleh sebab itu, perkembangan pesat dalam lalu lintas udara juga membuat Konvensi Paris harus direvisi kembali. Amerika Serikat berinisiatif untuk merevisi Konvensi Paris yang dilaksanakan pada 1 November-7 Desember 1944 di Chicago, yang mengatur tentang dua kebebasan dasar yaitu hak lintas damai dan hak mendarat teknik untuk keperluan pengambilan bahan-bahan dan reparasi dan tiga kebebasan komersial yang berkaitan dengan lalu lintas komersial (Mauna, 2011: 427-428).

Perkembangan yang hampir serupa telah terjadi dalam bidang Hukum Antariksa (Outer Space Law). Diawali pada 4 Oktober 1957 ketika Sputnik Rusia diluncurkan ke ruang angakasa yang kemudian diikuti oleh pesawat ruang angkasa Amerika Serikat, yang mengakibatkan negara lain menganggap hal tersebut sebagai suatu ancaman terhadap keamanan mereka. Prinsip-prinsip yang berlaku untuk ruang angkasa terjabarkan dalam Space Treaty 1967, dengan prinsip utama yang mengatur ruang angkasa antara lain Non appropriation principle dan Freedom exploitation principle. Prinsip pertama atau non kepemilikan adalah prinsip yang menyatakan bahwa ruang angkasa beserta benda-benda langit merupakan milik bersama umat manusia, tidak dapat diklaim atau diletakkan di bawah kedaulatan suatu negara. 

Adapun prinsip kedua adalah prinsip yang menyatakan bahwa ruang angkasa adalah zona yang bebas untuk dieksploitasi oleh semua negara sepanjang untuk tujuan damai (equity) (Sefriani, 2011: 228-229). Tujuan utama dari perjanjian ini adalah untuk mencegah tuntutan-tuntutan kedaulatan di ruang angkasa oleh negara-negara secara individu dan untuk membuat ketentuan-ketentuan bagi penggunaan damai ruang angkasa. Sejalan dengan meningkat pesatnya lalu lintas pengangkutan ruang angkasa, muncul pula kebutuhan akan prinsip dan pengaturan hukum yang lebih tegas. Sejumlah studi dan perjanjian mengenai registrasi, pertolongan para astronaut, dan tanggung jawab bagi kerugian yang telah diatur dalam Space Treaty 1967, telah dikodifikasi dalam perarturan-perarturan hukum internasional publik dan perdata yang mengikat (Syahmin, 2012: 6). 

Beberapa pakar hukum internasional memberikan definisi yang berbeda tentang antariksa, antara lain Priyatna Abdurrasyid yang mengatakan hukum antariksa adalah hukum yang mengatur ruang angkasa dengan segala isinya atau hukum yang mengatur ruang yang hampa udara. Ruang lingkupnya meliputi tiga hal, yaitu luas wilayah ruang di antariksa dimana hukum antariksa diteapkan dan berlaku, bentuk kegiatan manusia yang diatur di ruang tersebut, dan bentuk kegiatan peralatan penerbangan dan alat-alat penunjungnya (Abdurrasyid, 2007: 183).

Paul Fauchile berusaha menerapkan doktrin Grotius ke dalam masalah kedaulatan suatu negara di ruang udara dengan mengatakan bahwa udara itu bebas. Akan tetapi tindakan menyamakan lautan dengan ruang udara tidaklah benar. Hal tersebut diasumsikan bahwa udara dengan lautan itu dua hal yang berbeda. Mengenai masalah pemilikan ruang udara ini melahirkan dua kelompok besar, yaitu mereka yang berpendapat bahwa udara sifatnya itu bebas yang dikelompokkan sebagai penganut teori ruang udara bebas dan mereka yang berpendapat bahwa negara itu berdaulat terhadap ruang udara di atas wilayah negaranya. Berkaitan dengan ruang udara di atas wilayah yang dikuasai dan di atas perairan yang tunduk pada kedaulatan negara, seperti yang telah dikemukakan di atas, terdapat sejumlah teori yang beragam. 

Akan tetapi ketika pecahnya Perang Dunia I pada tahun 1914, karena alasan darurat dan praktis dianggap bahwa satu-satunya teori yang diterima oleh semua negara adalah teori kedaulatan negara atas ruang udara adalah tidak terbatas (Abdulrrasyid, 1972: 55). Teori ini dipakai dan dikukuhkan tidak hanya oleh negara yang sedang berperang, akan tetapi juga oleh negara-negara netral. Teori tersebut dinyatakan dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919, untuk pengaturan navigasi udara, dimana peserta perjanjian mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayahnya dan perairan terirtorialnya. Tetapi bagaimanapun juga konsep kedaulatan tersebut masih bisa dibatasi dengan adanta hak lintas damai bagi pesawat-pesawat asing.

Hukum Udara Indonesia ditandai dengan keberpihakan Indonesia pada Konvensi Chicago sejak tahun 1950. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, Konvensi ini sangat menjunjung tinggi kedaula.tan negara atas wilayah ruang udaranya. Akan tetapi menyadari resiko yang besar dari transportasi udara dan untuk kepentingan masyarakat internasional, dalam beberapa hal konvensi membatasi kebebasan negara dalam mengatur lalu lintas transportasi udara. Negara harus patuh pada jalur-jalur penerbangan yang diatur dalam enroute charts ICAO serta siapa yang diberi kewenangan untuk mengawasi dan mengatur lalu lintas penerbangan di suatu kawasan melalui penetapan flight information region (FIR). Penetapan FIR oleh ICAO berdasarkan pertimbangan bebrapa faktor antara lain ketersediaan berbagai fasilitas pendukung transportasi udara di masing-masing wilayah. Oleh karena itu, pengaturan lalu lintas udara tidaklah sangat berpatokan pada wilayah kedaulatan suatu negara semata. 

Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa tidak semua wilayah kedaulatan RI, FIR-nya diatur oleh Jakarta. Sebagian lainnya seperti sekitar Kepulauan Riau, FIR-nya diatur oleh Singapura yang  mana penerbangan dari Batam ke Matak harus memutar lewat Toman terlebih dahulu karena adanya wilayah larangan yang sebagian besar ditetapkan oleh Malaysia walaupun wilayah tersebut bagian dari Indonesia. Wilayah-wilayah tersebut sejak lama masuk dalam FIR Singapura sehingga memang Singapura yang harus memperingatkan jika ada pesawat yang keluar dari jalur penerbangan yang sudah dibuat dan disepakati secara internasional. Sebaliknya Indonesia memegang FIR untuk Pulau Christmas milik Australia, wilayah Papua Nugini dan Timor Leste. Artinya pesawat Australia yang akan terbang dari Sydney ke Pulau Christmas harus melapor ke Indonesia lebih dahulu (Sefriani, 2011: 226-227).
Setiap cabang hukum internasional memiliki ketentuan-ketentuan dan prinsipnya sendiri, juga tidak terkecuali hukum udara dan ruang angkasa. 

Kedua cabang hukum itu masing-masing merupakan suatu sistem hukum yang independen. Perkembangan hukum udara internasional maupun hukum antariksa diawali dengan potret sejarah hubungan antar negara yang melahirkan inisiatif negara untuk membentuk hukum udara dan antariksa demi menjaga stabilitas keamanan terirtori setempat. Konsep kedaulatan negara di ruang udara sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 konvensi Paris 1919, telah secara rinci dicantumkan pula pada Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 bahwa negara mempunyai kedaulatan yang peuh dan eksklusif atas ruang udaranya. Selain itu, pengaturan tentang ruang antariksa diatur dalam perjanjian Outer Space 1967, perjanjian tersebut mengadopsi prinsip non-kepemilikan dan prinsip kebebasan atas penggunaan ruang angkasa.

REFERENSI
Abdurrasyid, Priyatna. 2007. Hukum Ruang Angkasa Nasional, Penempatan dan Urgensinya. Jakarta: Rajawali Press
Abdulrrasyid, Priyatna. 1972. Kedaulatan Negara di Ruang Udara. Jakarta: Pusat Penelitian Hukum Angkasa
Mauna, Boer. 2011. Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: Alumni
Sefriani. 2011. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Syahmin, et al., 2012. Hukum Udara dan Luar Angkasa, [online] file:///D:/UNAIR/SEMESTER%205/Hukum%20Internasional/Buku_Hukum_Udara_dan_Luar_Angkasa.pdf [diakses 2 November 2014]
T. May Rudy. Hukum Internasional II. Bandung: Refika Aditama
http://devi-anggraini-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-114999-HUKUM%20INTERNASIONAL-HUKUM%20UDARA%20INTERNASIONAL%20DAN%20HUKUM%20ANTARIKSA.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.