Let's kill the boredom and share ideas!!! -FJM-
KAJIAN HUKUM ANTARIKSA MODERN: KISAH KLASIK UNTUK MASA DEPAN 2
Negara adalah leviathan. Negara sebagai leviathan
menurut Thomas Hobbes adalah negara sebagai bentuk realisasi dari
sesosok makhluk yang amat sangat mengerikan dengan kekuatan dan
kekuasaan yang sangat besar yang memiliki kemampuan untuk bertahan hidup
dan mempertahankan kepentingannya. Interaksi antar negara di dalam
konsepsi leviathan diibaratkan sebagai suatu interaksi
‘pergumulan’ kekuasaan tiada akhir yang pada akhirnya menciptakan suatu
konflik kepentingan yang panjang dan tidak menentu yang kita kenal
dengan nama “security dilemma”.
Pada tanggal 4 Oktober 1957, Uni Soviet meluncurkan Sputnik I,
satelit buatan manusia pertama dan merupakan tonggak pemicu sejarah
kompetisi antariksa antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Perkembangan
kepentingan hegemoni antariksa yang begitu besar oleh kedua negara dan
situasi perang dingin yang tidak menentu menciptakan kondisi security dilemma yang mendesak Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk membentuk The United Nations Office for Outer Space Affairs (UNOOSA) pada tanggal 13 Desember 1958 melalui Resolusi 1348 (XIII) dan United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUOS) pada
tahun 1959 melalui Resolusi 1472 (XIV).
Perbedaan di antara kedua badan
ini adalah UNOOSA berlaku sebagai sekretariat bagi masalah eksplorasi
dan eksploitasi antariksa, sedangkan UNCOPUOS berfungsi sebagai: (i)
focal point bagi pemerintah negara – negara dan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) di dalam hal eksplorasi dan eksploitasi antariksa, (ii)
sarana untuk bertukar pendapat dan pengalaman serta berbagi informasi
di dalam hal eksplorasi dan eksploitasi antariksa, dan (iii) sarana
untuk penelitian lebih lanjut bagi eksplorasi dan eksploitasi antariksa
untuk maksud dan tujuan damai. Sehingga pembahasan lebih lanjut di dalam
artikel ini akan difokuskan pada UNCOPUOS saja.
Suatu terobosan pun diperkenalkan pada tahun 1963 dengan diadopsinya resolusi 1962 tentang Legal Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space oleh Majelis Umum PBB. Legal principles inilah yang memicu lahirnya lima instrumen hukum internasional di bidang antariksa satu dekade setelahnya, yaitu: The
Treaty on Principles Governing the Activities of States in the
Exploration and Use of Outer Space including the Moon and Other
Celestial Bodies 1967 (Space Treaty), Agreement on the Rescue of
Astrounauts, the Return of Astronouts and the Return of Object Launched
into Outer Space 1968 (Astronouts Agreement), Convention on
International Liability for Damage Caused by Space Objects 1972
(Liability Convention), Convention on Registration of Objects Launched
into Outer Space 1976 (Registration Convention), dan Agreement Governing the Activities of States on the Moon and Other Celestial Bodies 1984 (Moon Agreement).
Space Treaty dapat dikatakan sebagai landasan hukum yang
mengatur prinsip – prinsip dasar dalam upaya ekplorasi dan eksploitasi
antariksa untuk maksud dan tujuan damai, sedangkan empat perjanjian
lainnya merupakan penjabaran dari mandat yang terdapat di dalam Space Treaty itu sendiri. Pada awal pembentukannya, lima instrumen hukum antariksa ini (Lebih
lanjut dalam artikel ini, ke-5 instrumen hukum antariksa ini beserta
resolusi, protokol, guidelines maupun aturan hukum antariksa lainnya
yang lahir masih dengan ‘semangat perang dingin’ antara Amerika Serikat
dan Uni Soviet (Rusia)’ tanpa memperhatingan kaidah dan kepentingan
negara lain, secara bersama – sama akan disebut rezim hukum antariksa klasik)
dianggap “sekedar cukup saja” untuk menjembatani kekosongan hukum di
dalam kompetisi hegemoni antariksa antara Amerika Serikat dan Uni
Soviet.
Di dalam perkembangannya, “sekedar cukup saja” tidaklah cukup.
Instrumen hukum antariksa yang komprehensif, detail, dan melindungi
kepentingan negara maju dan negara berkembang serta memperhatikan aspek
lingkungan haruslah dianggap sebagai suatu persyaratan dasar
terbentuknya suatu rezim hukum antariksa modern.
Kita harus berkaca dari ‘tragedi Kopenhagen’. Ketika aturan yang
mengatur mengenai eksplorasi di dalam suatu bidang tertentu tidak ada.
Maka negara sebagai leviathan akan menggunakan segala kekuatan dan kekuasaannya untuk eksploitasi bidang tersebut pada titik maksimal, negara leviathan lainpun akan menyusul dan tanpa disadari chain of action and reaction akan terjadi dan kerusakan yang berdampak di dalam sendi kehidupan manusiapun timbul, sebagai contoh: global warming.
Hal demikian akan menjadi suatu keterlambatan untuk semua negara –
negara dalam membuat suatu aturan yang jelas dan tegas yang dapat
mengakomodasi kepentingan semua pihak. Ini adalah cermin untuk kita
semua. Cermin untuk mengupayakan suatu aturan hukum yang lebih jelas
lagi di dalam upaya eksplorasi dan eksploitasi antariksa untuk maksud
dan tujuan damai sebelum semuanya terlambat.
So What??
Progresivitas eksplorasi dan eksploitasi antariksa masa kini tidaklah
sama dengan masa pada tahun 1970an dimana rezim hukum antariksa klasik
baru lahir. Eksplorasi dan eksploitasi antariksa dengan segala aspek
sosial, politis, keamanan, dan ekonomi telah berkembang dengan sangat
pesat dan merupakan suatu isu yang secara dormant diperlukan
pengaturan rezim hukum antariksa modern oleh seluruh negara di dunia.
Artikel inipun dibuat sebagai renungan sederhana atas dua pemasalahan
yang ber-kohesi erat di balik jubah diskusi hukum antariksa modern antar negara – negara dewasa ini:
- Rezim hukum antariksa klasik dari perspektif negara maju dan celah hukumnya.
- Rezim hukum antariksa klasik dari perspektif Indonesia dan celah hukumnya.
REZIM HUKUM ANTARIKSA KLASIK DARI PERSPEKTIF NEGARA MAJUDAN CELAH HUKUMNYA
Negara maju yang selangkah lebih unggul di dalam penguasaan antariksa memiliki common syndrome
yaitu ‘kecanduan antariksa’ atau dengan bahasa lain yang lebih formil:
sangat tergantung dengan teknologi antariksa dan memiliki motivasi untuk
penguasaan antariksa secara dominan dan berlebihan. Dari berbagai
kajian hukum antariksa di antara negara – negara maju, terdapat tiga
inti masalah yang menjadi concerns mereka, yaitu: denuklirisasi dan pelarangan senjata antariksa, wisata antariksa, dan mitigasi sampah antariksa (space debris).
I. Denuklirisasi dan Pelarangan Senjata Antariksa
A. Denuklirisasi dan Pelarangan Senjata Antariksa sebagai Suatu Masalah Internasional
Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan antariksa menjadi sesuatu
yang sangat transparan bagi banyak negara dalam artian eksploitasi
potensi yang terkandung di dalamnya, seperti misalnya remote sensing
dengan teknologi optik, radar, infra merah, maupun elektronik yang kini
hampir dikuasai oleh seluruh negara baik negara maju maupun negara
berkembang. Namun demikian, semakin besarnya kemampuan negara – negara
untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi antariksa, maka semakin besar
pula ancaman yang di rasakan oleh Amerika Serikat terhadap aset
antariksanya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Amerika Serikat secara diam – diam
terus mengembangkan teknologi antariksanya dan secara bertahap melakukan
perakitan senjata antariksa yang mampu menyerang aset antariksa negara
lain baik di darat dan di antariksa, dan juga melakukan pengembangan
teknologi senjata anti misil balistik demi keamanan nasionalnya.
Kemajuan teknologi atau advanced technology sudah diasosiasikan
menjadi domain militer yang utama. Maksudnya adalah, terobosan baru
dalam bidang ilmu dan pengetahuan, apapun itu, akan diterapkan terlebih
dahulu bagi kepentingan militer suatu negara. Hal inilah yang di
prakarsai oleh pemerintahan Bush yang ingin memperkuat profil militer
antariksanya dengan United States Space of Command Vision for 2020 dan United States Air Force 2025 Study yang
sama – sama menyebutkan rekomendasi untuk menguasai antariksa oleh
Amerika Serikat dari aspek apapun untuk kepentingan nasionalnya, dan
juga sebagai rencana strategis untuk perang melawan terorisme global
yang dicanangkan Bush pada akhir tahun 2001.
Laura Grego, seorang peneliti dari Union of Concerned Scientist pada tanggal 23 Mei 2007 membuat testimoni di depan Subcommittee on National Security and Foreign Affairs of the Committee on Oversight and Government Reform
tentang program antariksa Amerika Serikat yang bertujuan pada
penguasaan dan hegemoni antariksa termasuk di dalamnya penciptaan
senjata antariksa untuk melindungi aset antariksa mereka. Pihak dari
pemerintah Amerika Serikat pada saat itu membantah testimoni dari Laura
Grego tersebut, namun demikian terdapat dua bukti konkrit yang mendukung
testimoni dari Laura Grego:
a) Amerika Serikat pada bulan Desember 2001 menarik diri dari Anti Ballistic Missiles Treaty
(ABM) yang di tanda tangani oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet pada
tanggal 26 Mei 1972à ABM dipandang sebagai suatu instrumen hukum yang
berhasil menghentikan dan mencegah perlombaan senjata lebih jauh antara
kedua negara. Dimana kedua negara bersepakat untuk tidak memproduksi
senjata balistik yang mempunyai daya jangkau jauh antar benua dan bahkan
daya jangkau jauh orbit bumi tempat dimana satelit berposisi. Sehingga,
dengan mundurnya Amerika Serikat dari ABM, dapat dikatakan bahwa,
Amerika Serikat sekarang mempunyai “fleksibilitas” dalam memproduksi senjata balistik di kemudian hari.
b) 2001 Rumsfeld Commission Report yang memberikan rekomendasi bahwa, untuk mencegah terjadinya “Space Pearl Harbor” maka kepentingan nasional Amerika Serikat adalah untuk menciptakan senjata antariksa yang berfungsi defensif dan ofensif.
Upaya pengembangan senjata antariksa oleh Amerika Serikat ini tercium
oleh Rusia, Uni Eropa, dan negara lain yang langsung mengkampanyekan
denuklirisasi antariksa dan pelarangan senjata antariksa. Hal ini
terlihat dengan banyaknya rekomendasi untuk meng-amandemen Space Treaty karena masih banyaknya kekosongan hukum yang belum mengatur masalah ini.
Nuklirisasi dan penggunanan senjata antariksa apabila dikembangkan
oleh suatu negara tertentu (dalam hal ini Amerika Serikat) maka akan
memicu negara lain yang memiliki kemampuan yang sama untuk menciptakan
senjata antariksa serupa. Hal mana akan menciptakan perlombaan senjata
babak baru yaitu senjata antariksa yang akan mengancam perdamaian dan
ketenangan umat manusia apabila terjadi. Sebagai respon terhadap masalah
ini, Rusia pada tahun 2004 telah melakukan deklarasi bahwa negaranya
tidak akan menjadi negara pertama yang akan menempatkan
senjata di antariksa. Hal ini adalah bentuk upaya politis pertama yang
patut di teladani seluruh negara sebagai langkah awal pencegahan
nuklirisasi dan penempatan senjata di antariksa.
B. Celah Hukum Rezim Antariksa Klasik
Ada dua pasal di dalam Space Treaty yang sekiranya bersinggungan dengan isu ini, yaitu pasal 4 dan pasal 9 Space Treaty.
i. Pasal 4 Space Treaty
“States Parties to the Treaty undertake not to place in orbit around the earth any objects carrying nuclear weapons or any other kind of weapons of mass destruction,
install such weapons in outer space in any other manner. The moon and
other celestial bodies shall be used by all States Parties to the Treaty
exclusively for peaceful purposes. The establishment of military bases,
installations and fortifications, the testing of any type of weapons
and the conduct of military manoouvres on celestial bodies shall be
forbidden. The use of military personnel for scientific research
or for any other peaceful purposes shall not be prohibited. The use of
any equipment or facility necessary for peaceful exploration of the moon
and other celestial bodies shall also not be prohibited”
Dari isi pasal 4 Space Treaty yang penulis sadur sepenuhnya di dalam artikel ini, kata – kata yang tertulis tebal (bold) menjadi perhatian penulis sebagai berikut:
a) place in orbit around the earth: hanya mengatur
senjata yang diletakkan di orbit bumi, sedangkan senjata yang diletakkan
di bumi atau pangkalan militer suatu negara yang berlokasi di bumi dan
mempunyai kemampuan laser atau radiasi dan bisa menembak ke wahana
antariksa di orbit bumi tidak tercakup di dalam definisi ini.
b) Nuclear weapons dan weapons of mass distruction:
– misil balistik seperti yang dikembangkan oleh Iran dan di
demonstrasikan oleh China pada tahun 2007 yang ditembakkan keluar
angkasa dan mampu menghancurkan satelit China tidak termasuk di dalam
definisi ini. (karena bukan senjata nuklir atau senjata pemusnah masal)
– senjata yang mampu mengacaukan frekwensi gelombang radio satelit dan menyebabkan jamming
pada satelit seperti yang dilakukan Iraq pada awal tahun 2000-an juga
tidak termasuk di dalam definisi ini. (karena juga bukan senjata nuklir
atau senjata pemusnah masal).
c) Scientific research: apa yang dimaksud dengan
aktivitas militer untuk penelitian ilmiah disini? Kalimat ini sangat
multitafsir bagi kepentingan negara maju dan negara berkembang.
ii. Pasal 9 Space Treaty
“…State Parties to the Treaty shall pursue studies of them so as to avoid their harmful contamination and also adverse changes in the environment of the Earth resulting from the introduction of extraterrestrial matter, and when necessary, shall adopt appropriate measures for this purpose…”
Dari isi pasal 9 Space Treaty yang penulis sadur sebagian di dalam artikel ini, kata – kata yang tertulis tebal (bold) menjadi perhatian penulis sebagai berikut:
a) Harmful contamination and adverse changes in the environment of the earth:
– apa sebenarnya definisi dari kontaminasi berbahaya dan
perubahan fatal dari lingkungan bumi? Apakah penggunaan bahan kimia,
atau limbah antariksa, atau limbah beracun di antariksa juga diatur
dalam pasal ini? Di dalam pasal ini, definisi kontaminasi berbahaya dan
perubahan fatal belum diatur secara jelas.
– Perubahan fatal terhadap titik jenuh Geo Stationary Orbit akibat penempatan satelit yang berlebihan tidak diatur dalam pasal ini. (karena hanya mengatur environment of the earth)
– Kerusakan lingkungan antariksa akibat pengawasan dan manajemen
sampah antariksa yang baik juga tidak diatur di dalam pasal ini. (karena
hanya mengatur environment of the earth)
b) Approriate measures: kalimat ini ambigu dan
multitafsir. Bentuk tanggung jawab yang jelas oleh negara pemilik wahana
antariksa harusnya diatur lebih detail.
Dari kajian singkat dua pasal tersebut diatas, sangatlah nyata bahwa Space Treaty di dalam isu ini memiliki celah hukum sebagai berikut:
a) Space Treaty hanya mengatur prinsip – prinsip eksplorasi dan eksploitasi antariksa.
b) Space Treaty mengesampingkan kemungkinan digunakannya senjata dari bumi ke antarika
c) Space Treaty tidak mengisi kekosongan hukum yang ada dengan keluarnya Amerika Serikat dari Anti Ballistic Missile Treaty pada tahun 2001.
C. Conference on Disarmanment
Conference on Disarmanment (CD) adalah suatu forum
multilateral yang bertugas untuk membahas mengenai upaya – upaya
pelarangan dan perlucutan senjata seperti senjata nuklir, senjata
biologi, senjata kimia, senjata antariksa dan sebagainya yang didirikan
pada tahun 1979 oleh komunitas internasional. CD bukanlah suatu badan
resmi PBB tetapi memiliki perwakilan – perwakilan resmi PBB yang hadir
di dalam setiap aktivitas dan sidang CD. Saat ini CD terdiri dari 65
negara anggota termasuk di dalamnya Indonesia dan lima negara pemilik
senjata nuklir. CD juga merupakan suatu forum yang berhasil melakukan
perumusan draft Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty pada tahun 1996 yang pada saat ini sudah diratifikasi oleh 151 negara.
Penulis memandang perlunya suatu political will yang tinggi dari negara – negara untuk menjadikan CD sebagai institusi resmi PBB
yang memiliki wewenang di bidang pengawasan, pelarangan, pemberian
sanksi bagi penggunaan senjata – senjata berbahaya termasuk didalamnya
mengenai isu denuklirisasi dan pelarangan senjata antariksa, dan juga
mekanisme kontrol terhadap kondisi lingkungan yang mungkin timbul
terhadap aktivitas – aktivitas tersebut. Kedepan, di harapkan CD yang
lebih ter-institusi dapat bersinergi penuh dengan UNCOPUOS demi
terciptanya sistem hubungan kerja watchdog dan think thank yang ideal dalam upaya eksplorasi dan eksplorasi antariksa untuk maksud dan tujuan damai.
II. Wisata Antarika
A. Wisata Antariksa: Industri Baru dalam Komersialisasi Antariksa
Pada tanggal 28 April 2001, milyarder asal California, Amerika
Serikat, Dennis Tito, membuat sejarah dengan menjadi turis antariksa
pertama di dunia dengan menggunakan wahana antariksa Rusia, Soyuz yang
melakukan wisata antariksa selama sebelas hari menginap di International Space Station
(ISS) dan kembali ke bumi dengan selamat. Ekspedisi fenomenal Tito ini
mendapat liputan yang luas oleh berbagai media pada tahun 2001 dan
membuktikan bahwa kini antariksa merupakan tujuan wisata baru yang dapat
dikembangkan di kemudian hari.
Wisata antariksa pada awalnya merupakan proyek pemerintah yang mulai
ditawarkan pada masyarakat sipil pada tahun 2001 dengan biaya yang
relatif mahal, sebagai perbandingan harga yang ditawarkan badan
antariksa Rusia pada tahun tersebut adalah US$ 45 juta. Kini wacana
tersebut mendapat tantangan dari operator swasta yang menawarkan harga
yang jauh lebih menarik yaitu berkisar pada US$ 200.000 dengan deposito
minimal sebesar US$ 20.000. (ini adalah harga yang di tawarkan Virgin Galactic).
Sehingga kini, bisnis antariksa mendapat pesaing kelas ekonomi yang
lebih terjangkau. Individu dengan kemampuan finansial yang cukup kini
dapat melakukan wisata antariksa dan menikmati panorama bumi dari
ketinggian 60.000 kaki sambil merasakan sensasi grafitasi nol.
Sejauh ini, tercatat sudah terdapat lima orang yang melakukan hal
tersebut dan berkesempatan menjadi turis antariksa dengan merogoh
koceknya sendiri. Pengusaha asal AS, Dennis Tito, menjadi turis pertama
yang berkunjung ke ISS pada tahun 2001. Disusul pengusaha dari Afrika
Selatan Mark Shuttleworth, pada tahun 2002. Kemudian, ilmuwan Greg Olsen
dari AS pada tahun 2005, pengusaha AS keturunan Iran, Anousheh Ansari
pada tahun 2006, dan terakhir adalah Charles Simonyi, ahli piranti lunak
kelahiran Hungaria yang menjadi turis kelima yang berkunjung pada April
2007.
Melihat perkembangan yang ada, beberapa perusahaan pun berlomba –
lomba untuk terlibat aktif di dalam peluang bisnis baru ini, seperti Virgin Galactic yang melakukan tandem usaha dengan European Auronautic Defence and Space Company
untuk eksplorasi kemungkinan bisnis lebih jauh. Hal ini merupakan suatu
hal yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya ketika rezim antariksa
klasik lahir.
B. Aspek Kemanan dalam Wisata Antariksa
Wisata antariksa adalah fenomena baru yang layak mendapat perhatian
lebih dalam dan serius. Pada tahun 2003, pesawat antariksa Colombia
mengalami kecelakaan yang menyebabkan beberapa kerusakan di muka bumi.
Pada tahun 2007 juga tercatat beberapa kegagalan penerbangan antariksa
yang menunjukkan bahwa peluang bisnis wisata antariksa bukanlah sesuatu
yang risk-free melainkan penuh resiko bagi crew dan turis di pesawat antariksa itu sendiri, crew
di space port tempat peluncuran wahana antariksa, maupun terhadap
publik lainnya baik di daratan, udara, ataupun lautan. Lebih jauh lagi,
kemungkinan polusi udara dan antariksa juga akan semakin meningkat.
Upaya pengawasan juga musti dilakukaan mengingat banyaknya sampah antariksa yang bertebaran dan kemungkinan collision yang
akan terjadi, masalah sertifikasi kelayakan penerbangan antariksa juga
menjadi perhatian dimana cuaca di orbit antariksa akan “sedikit berbeda”
dengan cuaca di bumi. Masih banyak lagi aspek – aspek dan kemungkinan
lain yang mungkin timbul dari wacana wisata antariksa yang tidak dapat
diurai satu persatu disini. Namun demikian, timbul suatu pertanyaan,
apabila wisata antariksa di kemudian hari menjadi sesuatu yang lazim
untuk dilakukan maka: (i) instrumen hukum apa yang akan mengaturnya, dan
(ii) apakah akan ada organisasi internasional yang akan mengawasinya?
C. Celah Hukum Rezim Antariksa Klasik
Di dalam rezim hukum antariksa klasik, pembahasan mengenai isu ini sama sekali belum tersentuh.
Sehingga implikasinya adalah, akan sangat beresiko apabila wisata
antariksa hanya dilakukan berdasarkan multi kontrak antara: (i) investor
– negara, (ii) negara – operator wisata antariksa, (iii). operator
wisata antariksa – turis antariksa , (iv) operator antariksa –
perusahaan asuransi, dan sebagainya. Sehingga, diperlukan suatu rezim
hukum antariksa modern yang juga membahas dan mengatur masalah ini.
D. ICAO untuk Wisata Antariksa?
International Civil Aviation Organization (ICAO) di bentuk
pada bulan Oktober 1947 dan diberi mandat untuk menjadi organisasi
internasional yang berwenang mengenai segala sesuatu yang berurusan
dengan penerbangan udara sipil, seperti: pengaturan
frekwensi radio, pengaturan sistem komunikasi pilot dengan stasiun
udara, penetapan prosedur dan mekanisme untuk kontrol penerbangan, dan
sebagainya.
Seiring dengan fenomena wisata antariksa ini, berkembang juga wacana
untuk menjadikan ICAO sebagai organisasi yang juga akan melakukan
kontrol dan berwenang terhadap penerbangan antariksa. Alasan yang
dikemukakan tentang perluasan mandat dan kewenangan ICAO adalah: baik
penerbangan udara dan penerbangan antariksa memiliki rutinitas,
aktivitas dan mekanisme kontrol yang sama. Dimana kesemuanya itu
menggunakan teknologi komunikasi dan remote sensing satelit.
Sehingga, sistem , prosedur, dan mekanisme penerbangan udara yang sudah
ada di dalam ICAO sekarang bisa diperluas mencakup penerbangan antariksa
dengan sistem, prosedur, dan mekanisme yang kurang lebih sama, sehingga
sinergi dan integrasi terhadap pengendalian penerbangan udara dan
antariksa akan berjalan dengan baik.
Berkaitan dengan wacana ini, penulis setuju dan memandang perlunya
suatu organisasi internasional baru yang akan mengatur hal – hal
sebagaimana telah disebutkan di dalam sub bab ini, namun, apakah
organisasi baru tersebut merupakan organisasi internasional yang benar –
benar baru didirikan atau hanya “perluasan” tugas dan mandat ICAO,
sebagaimana telah diuraikan di dalam sub bab ini, merupakan sesuatu yang
memerlukan penelitian lebih lanjut.
III. Mitigasi Sampah Antariksa
Sampah antariksa pada umumnya mencakup seluruh benda langit buatan
yang tidak memiliki manfaat lagi, termasuk di dalamnya: satelit yang
tidak lagi berfungsi, pecahan satelit dan roket, benda – benda yang
terlepas dari satelit dan roket baik yang disengaja maupun tidak, dan
sebagainya. Sampah antarika merupakan suatu ancaman terhadap keamanan
antariksa karena benturan sampah antariksa sekecil apapun sampah
antariksa tersebut, akan dapat menyebabkan kerusakan atau bahkan
hancurnya suatu aset antariksa, seperti contoh: sampah antariksa dengan
diameter sebesar 1 cm apabila bersinggungan dengan satelit pada
kecepatan 80 mil per jam dapat menyebabkan kerusakan fatal pada satelit
tersebut
Pada tahun 2007, subkomite ilmiah dan teknis dari UNCOPUOS telah mengadaopsi UN Guideline on Space Debris Mitigation (Debris Guideline)
yang mengatur prosedur – prosedur yang dipandang dapat mengurangi
jumlah sampah antariksa, beberapa di antaranya adalah: desain wahana
antariksa yang kokoh, perhitungan akurat di dalam ekspedisi antariksa
yang menghindari benturan dengan benda antariksa lainnya, pelarangan
wahana antariksa dalam aktivitas operasionalnya untuk membuang sampah
apapun, dan sebagainya.
Pada tanggal 31 Maret 2009, subkomite hukum UNCOPUOS telah mengadakan
sesi dengan salah satu pembahasannya adalah tukar menukar pandangan dan
pengalaman negara – negara anggota berkenaan dengan mitigasi sampah
antariksa yang dilaksanakan berdasarkan Debris Guideline
tersebut. Namun sesi sub komite hukum UNCOPUOS tersebut belum
menghasilkan komitmen baru di dalam mitigasi sampah antariksa. Penulis
berpandangan bahwa sesi pada level subkomite hukum UNCOPUOS yang
membahas mengenai Debris Guideline harus terus ditingkatkan,
hingga terciptanya suatu komitmen negara – negara untuk membentuk
intrumen hukum antariksa baru yang mengatur menganai space debris.
Penulis juga mencatat, bahwa Amerika Serikat adalah negara yang
sangat berkepentingan terhadap penguasaan antariksa. Hal ini dikarenakan
aset – aset antariksa mereka tersebar banyak di antariksa. Sehingga,
upaya membawa isu mitigasi sampah antariksa ke dalam pembahasan
subkomite hukum UNCOPUOS merupakan suatu isu yang akan menarik perhatian Amerika Serikat. Oleh karena itu, hal ini sebaiknya dipandang sebagai pintu masuk
untuk ‘mendekati’ Amerika Serikat di dalam pembahasan rezim hukum
antariksa modern yang akan mengatur kepentingan negara maju, negara
berkembang, dan juga kepentingan lingkungan bumi.
REZIM HUKUM ANTARIKSA KLASIK DARI PERSPEKTIF INDONESIADAN CELAH HUKUMNYA
Berbanding terbalik dengan kajian hukum antariksa dari perspektif
negara maju yang telah memasuki masalah – masalah teknis di dalam
eksplorasi dan eksploitasi antariksa, Indonesia memandang hukum
antariksa sebagai suatu kajian konseptual. Dimana menurut pandangan
penulis terdapat tiga kajian konseptual yang belum diatur di dalam rezim
hukum antariksa klasik. Tiga hal tersebut adalah: definisi dan
delimitasi antariksa, hak berdaulat dan kedaulatan pada Geo Stationary Orbit, dan pemisahan tanggung jawab dari definisi Launching State.
I. Definisi dan Delimitasi Antariksa
Pasal 1 dari Convention on Civil International Aviaton 1944 (Chicago Convention) menyatakan bahwa “negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif atas ruang udara diatas wilayahnya”, hal mana telah dikukuhkan Indonesia di dalam Pasal 4 UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Chicago Convention
pada dasarnya merupakan intrumen hukum yang mengatur mengenai
penerbangan sipil dan hak berdaulat serta kedaulatan di atas ruang udara
suatu negara, sementara Space Treaty pada dasarnya mengatur
mengenai prinsip – prinsip baik di dalam eksplorasi dan eksploitasi
antariksa. Namun demikian, meskipun ruang udara dan ruang antariksa
diatur oleh dua instrumen hukum yang berbeda, bukan berarti bahwa
pemberian definisi dan delimitasi yang tegas antara ruang udara dan
ruang antariksa telah terakomodasi.
Hal ini lah yang selalu menjadi perhatian Indonesia, di karenakan
kepentingan Indonesia adalah untuk mengetahui kedaulatan dan hak
berdaulatnya diatas suatu ruang tertentu, baik ruang laut, udara, maupun
antariksa. Masalah definisi dan delimitasi antariksa juga menjadi isu
strategis yang menjadi prioritas di dalam rencana Pembangunan Dirgantara
Indonesia 2005 – 2009 sebagaimana di laporkan dalam Kongres
Kedirgantaraan Nasional Kedua yang telah diselenggarakan pada tanggal 22
– 24 Desember 2003.
Masalah definisi dan delimitasi antariksa sudah menjadi pembahasan
subkomite hukum UNCOPUOS sejak tahun 1966 berdasarkan proposal dari
Perancis. Di dalam proposal tersebut ditekankan pentingnya mengatur
definisi dan batas terendah yang jelas dari antariksa sehingga perbedaan
antara ruang antariksa dengan ruang udara dapat terukur. Namun
demikian, Amerika Serikat memandang masalah ini sebagai suatu hal yang
tidak perlu dan bahkan tidak layak untuk menjadi bahan perbincangan. Hal
inilah yang menjadi kendala mengapa tarik ulur kepentingan di dalam isu
ini sangatlah panjang dan tidak menentu. Semenjak disepakatinya Space Treaty hingga tahun artikel ini dibuat, masalah
ini belum terselesaikan hingga sekarang. Sehingga definisi dan
delimitasi antariksa merupakan suatu isu klasik yang telah larut selama
hampir separuh abad lamanya.
Di dalam isu definisi dan delimitasi antariksa, Indonesia menggunakan
pendekatan spasial (kewilayahan) dengan beberapa referensi teori
spasial yang ada sebagai berikut:
a) Batas kedaulatan negara berada pada lapisan atmosfir dimana komposisi gasnya membentuk lapisan – lapisan (layers) yaitu pada ketinggian 80 km diatas permukaan air laut
b) Batas kemampuan terbang pesawat udara yaitu 60 – 80 km diatas permukaan air laut
c) Perigee terendah dari orbit satelit yaitu ketinggian antara 80 – 120 km diatas permukaan air laut
d) Garis von Karman yang mengajukan batas terendah antariksa berada pada ketinggian 100 km diatas permukaan air laut
e) Teori penguasaan efektif yang menekankan kemampuan negara untuk
melakukan pengawasan di dalam zona tersebut, yaitu 100 km diatas
permukaan air laut
Berdasarkan kajian dan penelitian para ahli sebagaimana tertuang di
dalam laporan Kongres Kedirgantaraan Nasional Kedua, pendekatan teori
spasial dalam menentukan definisi dan delimitasi antariksa bagi
kepentingan nasional Indonesia adalah pada ketinggian 100 km diatas permukaan air laut. Sehingga ruang dengan ketinggian di bawah 100 km permukaan air laut disebut dengan ruang udara dan tunduk kepada Chicago Convention, sedangkan ruang diatas 100 km permukaan air laut disebut ruang antariksa dan tunduk kepada rezim hukum antariksa.
Penulis berpandangan bahwa upaya definisi dan delimitasi antariksa
haruslah terus diperjuangkan di dalam pembahasan subkomite hukum
UNCOPUOS. Karena dengan terselesaikannya pembahasan mengenai isu ini
maka kepastian hukum di dalam ruang antariksa dapat tercipta, yang
tentunya akan membuka kepastian hukum – kepastian hukum lannya bagi
seluruh negara terutama negara berkembang seperti Indonesia di dalam
melakukan eksplorasi dan eksploitasi antariksa.
II. Hak Berdaulat dan Kedaulatan pada Geo Stationary Orbit (GSO)
A. Pengertian GSO
GSO adalah merupakan suatu orbit lingkaran yang terletak sejajar
dengan bidang khatulistiwa bumi dengan ketinggian ± 35.786 km dari
permukaan wilayah khatulistiwa bumi. Keistimewaan dari GSO adalah bahwa
satelit yang ditempatkan pada orbit ini akan bergerak mengelilingi bumi
sesuai dengan rotasi bumi itu sendiri. GSO sebagai kenyataan alamiah
diketengahkan pertama kali oleh ahli terkemuka kelahiran Inggris : Arthur Clark
pada tahun 1945, yang menyatakan bahwa GSO merupakan cincin dengan
diameter ± 150 km dan mempunyai ketebalan ± 70 km. Kelebihan lain dari
jalur GSO ini adalah, jika kita menempatkan sebuah satelit di jalur
tersebut maka satelit akan dalam keadaan tidak bergerak dan hanya dengan
lebar 17° saja akan dapat meliput sepertiga dari bagian bumi.
GSO dapat menampung 3800 buah satelit termasuk didalamnya satelit
komunikasi, namun secara teknis GSO hanya dapat menampung sekitar 180
buah satelit komunikasi saja. Dalam kenyataannya, satelit komunikasi
yang ditempatkan di jalur tersebut telah melebihi 180 buah satelit
komunikasi yang merupakan satelit negara space power.
B. Arti Penting GSO Bagi Indonesia
Indonesia adalah negara kepulauan yang membentang sepanjang garis
khatulistiwa, serta kedudukannya sebagai wilayah penghubung yang
terletak pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera. Indonesia
sebagai negara khatulistiwa yang terpanjang, secara geografis adalah
merupakan negara yang mempunyai kolong yang sama panjangnya dengan
segment GSO yang berada diatas wilayah Indonesia.
Dengan memperhatikan kondisi geografis yang sedemikian dan juga
memperhatikan kemanfaatan GSO sebagai suatu fenomena alam yang dapat
dijadikan sebagai tempat bersemayamnya satelit – satelit untuk berbagai
kepentingan bangsa Indonesia saat ini dan masa yang akan datang, maka
kelangsungan dan kelanggengan serta keamanan dalam pemanfaatan segmen
GSO yang berada di wilayah kepentingan Indonesia harus selalu dapat
terjamin.
Jalur GSO yang merupakan jalur potensial bagi penempatan satelit itu
hanya terdapat diatas negara – negara khatulistiwa saja seperti
Columbia, Congo, Equador, Kenya, Uganda, Zaire, Brazil, dan Indonesia.
Dari negara – negara khatulistiwa tersebut, Indonesia adalah satu –
satunya negara yang memiliki jalur GSO terpanjang diatas wilayah
teritorialnya, yakni 13% dari panjang GSO seluruhnya atau sepanjang
34.000 km.
C. Status Hukum GSO
Dengan melihat kondisi objektif dari GSO yang hanya dimiliki oleh
negara -negara khatulistiwa saja maka jelaslah bahwa GSO ini merupakan
salah satu sumber daya alam yang terbatas. Secara yuridis, status GSO
sebagai sumber daya alam yang terbatas dapat dijumpai pada pasal 33 (2)
dari International Telecommunication Union (ITU) Convention tahun 1973 sebagai berikut:
“A using frequency bands for space radio services members shall
bear in mind that radio frequencies and the Geostationary satellites
orbit are limited natural resources, that they must be used efficiently
and economically”.
Dari uraian diatas, jelas menunjukkan bahwa GSO merupakan sumber daya
alam yang amat terbatas baik dari panjang jalur tersebut ataupun dari
keterbatasan satelit yang dapat ditempatkan pada jalur GSO itu. Namun
dalam kenyataannya, jalur tersebut didominasi oleh negara – negara yang
telah mempunyai kemampuan teknologi tinggi dan negara – negara sedang
berkembang khususnya negara – negara khatulistiwa yang berada dibawah
jalur tersebut tidak mampu mengikutinya.
D. Masalah Hak Berdaulat di Dalam GSO
Dengan dikembangkannya prinsip first come first served oleh negara maju di dalam penguasaan GSO, telah membawa suasana competition serta mengakibatkan lahirnya technological appropriation yang kemudian dikenal dengan istilah de facto appropriation. Hal
ini menambah keadaan kelompok negara – negara khatulistiwa dan negara
berkembang lainnya semakin dirugikan. Inilah yang menjadi pertentangan
negara – negara maju khususnya Amerika Serikat dan Rusia dengan negara –
negara equator dan negara – negara berkembang lainnya disisi lain.
Kelompok negara – negara khatulistiwa menginginkan adanya suatu
pengaturan hukum international yang tidak merugikan posisi mereka dalam
rangka pemanfaatan sumber daya GSO tersebut. Mula – mula negara
khatulistiwa tersebut mencoba untuk melakukan suatu klaim terhadap GSO
yakni dengan dicetuskannya Deklarasi Bogota tahun 1976. Akan tetapi
kelompok negara – negara maju terutama Amerika Serikat dengan kemampuan
teknologinya selalu menekankan efisiensi penggunaan GSO sebagai hal
utama yang harus dicapai dalam pemecahan masalah (pendekatan teknis),
dan menghindari tercapainya suatu pemecahan hukum (hukum internasional).
Seperti halnya masalah remote sensing, Amerika Serikat
berpendapat bahwa suatu pengaturan hukum justru akan menghambat inovasi
teknologi. Hal ini dapat dimengerti mengingat Amerika Serikat sebagai
negara space power yang paling mampu mengorbitkan satelit –
satelit GSO tentu tidak ingin kebebasannya dihalangi oleh ketentuan –
ketentuan hukum yang mengakibatkan berkurangnya dominasi keunggulan
teknologi, militer, dan ekonomi mereka. Oleh karena itu dalam pembahasan
subkomite ilmiah dan teknik UNCOPUOS selalu diberikan argumentasi
teknis yang ditujukan untuk mendukung posisinya dalam subkomite hukum.
Secara objektif, argumentasi teknik tersebut memang benar serta sulit
untuk disangkal.
Sebaliknya kelompok negara – negara khatulistiwa yang pada umumnya
belum memiliki satelit bumi, tidak mempunyai jalan lain kecuali menempuh
jalan hukum serta menghindari perdebatan teknis. Kelompok negara –
negara ini pada prinsipnya memperjuangkan hak berdaulat penuh atas ruang
antariksa di atas wilayahnya, dalam hal ini GSO.
E. Masalah Kedaulatan di dalam GSO
Merupakan suatu keniscayaan bahwa praktek first come first served yang
dilakukan oleh negara maju atas segmen GSO adalah sama sekali tidak
wajar, mengingat negara – negara khatulistiwa sebagai negara kolong GSO
memiliki kepentingan sosial-politik-keamanan yang sangat besar atas
wilayah mereka.
Bentuk lain dari perjuangan Indonesia terhadap GSO adalah dengan dikeluarkannya national statement Indonesia pada sidang UNCOPUOS tahun 1979 yang menuntut kedaulatan atas GSO. National Statement ini
kemudian diterjemahkan menjadi Posisi Dasar RI 1979 atas GSO, dimana
didalamnya berisikan tentang tuntutan kedaulatan Indonesia atas GSO
tetapi disertai pula dengan kompromi sebagai berikut :
i) Pengakuan bahwa GSO adalah sumber alam terbatas (limited natural resources) yang mempunyai ciri-ciri khusus;
ii) Negara – negara khatulistiwa mempunyai hak berdaulat (souvereign right) atas GSO diatas wilayahnya;
iii) Hak-hak berdaulat tersebut hanya untuk tujuan – tujuan yang ditentukan (specified), antara lain:
a) Hanya untuk kepentingan rakyat negara – negara khatulistiwa dan masyarakat Indonesia;
b) Ditujukan untuk mencegah terjadinya titik jenuh (saturated) pada orbit GSO;
c) Untuk mencegah akibat – akibat yang merugikan negara-negara khatulistiwa dikemudian hari.
iv) Pada prinsipnya memberikan kebebasan atas satelit – satelit yang digunakan untuk kemanusiaan dan perdamaian.
F. Fondasi Hukum Nasional atas GSO
Perjuangan diplomasi Indonesia atas GSO berlanjut dengan penguatan
fondasi hukum yang memuat materi mengenai GSO sebagaimana tertuang di
dalam kebijakan nasional sebagai berikut:
i) Pasal 30 Ayat 3, Undang – Undang Nomor 20 Tahun 1982 Tentang Pertahanan Keamanan Negara sebagai berikut :
“Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara” bertugas :
a) Selaku penegak kedaulatan negara di udara bertugas
mempertahankan keutuhan wilayah dirgantara nasional bersama – sama
segenap komponen kekuatan pertahanan keamanan negara lainnya;
Penjelasan resmi pasal ini adalah:
“Yang dimaksud dengan tugas penegakan kedaulatan negara diartikan
sama dengan penjelasan ayat (2) huruf a pasal ini bagi wilayah udara.
Adapun pengertian dirgantara mencakup ruang udara dan antariksa termasuk
“Orbit Geostasioner“ yang merupakan sumber daya alam terbatas“.
ii. Pasal 7, Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1989 Tentang Telekomunikasi sebagai berikut :
“Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit geostasioner yang
merupakan sumber daya alam yang terbatas dalam penyelenggaraan
telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah”
Penjelasan resmi pasal ini adalah:
“Ketentuan ini dimaksudkan sebagai sarana untuk mengawasi
penggunaan dan pemanfaatan frekuensi radio “dan orbit geo stasioner”
bagi penyelenggaraan telekomunikasi dalam negeri sesuai dengan alokasi
yang telah ditentukan oleh organisasi telekomunikasi internasional yang
mengikat pihak Indonesia”.
G. Kekosongan Hukum dalam Rezim Hukum Antariksa Klasik Berkenaan Mengenai GSO
Rezim hukum antariksa klasik, adalah suatu produk yang dibuat hanya
untuk menjelaskan prinsip – prinsip dasar mengenai eksplorasi dan
eksploitasi antariksa, tanpa pengaturan khusus mengenai GSO, kedaulatan
dan hak berdaulat atas GSO. Hal ini dipandang sebagai suatu kesengajaan
yang dibuat oleh negara – negara maju, demi kepentingan untuk
eksploitasi GSO guna penempatan satelitnya, sementara negara
khatulistiwa seperti Indonesia memperhatikan mengenai kemungkinan
terjadinya saturasi di dalam eksploitasi tersebut yang secara nyata akan membawa dampak langsung maupun tidak langsung terhadap Indonesia.
Dalam hal ini, pemerintah Indonesia, hendaknya terus melakukan kajian
yang mendalam dan berkesinambungan bersama – sama dengan negara
khatulisatiwa lainnya untuk dapat melahirkan format baru yang dapat
diajukan di dalam sidang khusus subkomite hukum UNCOPUOS berikutnya
(2010) bersama – sama dengan isu ‘sexy’ lainnya, yaitu “definisi dan
delimitasi antariksa”.
Apabila sinergi di dalam pembahasan dua topik ini berhasil, langkah
terakhir bagi Indonesia adalah membuat suatu hukum nasional yang lebih
tegas mengenai definisi dan delimitasi antariksa, GSO, serta hak
berdaulat dan kedaulatan di dalamnya.
III. Definisi Launching State di dalam Rezim Hukum Antariksa Klasik
Sesungguhnya Indonesia adalah negara yang memiliki aset dan nilai
jual yang sangat tinggi untuk ikut meramaikan industri antariksa dan
peluang – peluang ekplorasi dan eksploitasi di dalamnya. Aset dan nilai
jual tersebut, sebagaimana telah dibahas secara singkat didalam sub
pembahasan sebelumnya adalah: posisi Indonesia yang berlokasi langsung
di bawah GSO dengan jalur terpanjang yaitu 34.000 km. Hal ini
berimplikasi pada setidak – tidaknya empat hal:
a) Implikasi ekonomis dimana sesungguhnya Indonesia dapat
menawarkan “paket” yang lebih terjangkau kepada negara – negara peluncur
satelit apabila meluncurkan satelitnya dari spaceport yang di
bangun di Indonesia (karena posisi Indonesia yang persis di bawah GSO),
dan disisi lainnya, Indonesia dapat mengambil keuntungan ekonomi dan
pembangunan daerah yang akan dijadikan spaceport antariksa tersebut
b) Implikasi efisiensi, dimana negara peluncur satelit dapat merasa lebih secure apabila satelitnya di luncurkan dari spaceport Indonesia, karena satelit akan lebih mudah untuk berposisi di dalam GSO yang terletak langsung diatas wilayah Indonesia.
c) Implikasi eksklusivitas, dimana Indonesia akan mendapatkan
informasi dan teknologi antariksa yang lebih baik dibandingkan negara
lain dengan tingginya frekwensi peluncuran satelit yang dilaksanakan di
Indonesia. Kemungkinan diikutsertakannya Indonesia di dalam proyek –
proyek bergengsi seperti ISS pun akan semakin tinggi.
d) Implikasi deterrence (daya tangkal), dimana dengan
semakin aktifnya suatu negara terhadap aktivitas dan penguasaan
teknologi antariksa, maka semakin dekat negara tersebut dengan kemampuan
deterrence yang lebih besar terhadap negara lain (mengutip John F. Kennedy).
Namun sungguh sayang, angan – angan dan impian tetaplah angan – angan
dan impian, Indonesia menolak mengambil opsi tersebut dikarenakan masih
adanya suatu ganjalan yang terdapat di dalam rezim hukum antariksa
klasik. Ganjalan tersebut adalah disatukannya definisi negara yang
meluncurkan satelit dengan negara yang menyediakan spaceport bagi pluncuran satelit sebagai satu kesatuan launching state. Sebagai contoh, pasal 7 dari Space Treaty mengatakan:
“each State Party to the Treaty that launches or procure the
launching of an object into outer space…and each State Party from whose
territory or facility an object is launched, is internationally liable for damage to another State Party to the Treaty…”
Sangatlah tidak wajar apabila negara pemilik satelit dan negara spaceport
memiliki tanggung jawab yang sama apabila terjadi kerusakan yang timbul
dari peluncuran satelit tersebut. Kondisinya akan sedikit berbeda
apabila bentuk tanggung jawab antara negara pemilik satelit dan negara spaceport di pisahkan secara proporsional. Jadi, dalam hal ini, negara spaceport bertanggung jawab atas kerusakan yang timbul dari fasilitas spaceport itu
sendiri (lingkungan, gagal luncur, dan sebagainya) sementara negara
pemilik satelit bertanggung jawab atas satelit mereka dan kerusakan yang
ditimbulkan (polusi antariksa, penggunaan senjata antariksa pada
satelit, dan sebagainya).
Penulis memandang pasal karet di dalam rezim hukum antariksa klasik
seperti ini harus segera di amandemen, agar sesuai dengan hakekat pasal 1
Space Treaty, yaitu “exploration dan exploitation of outer space shall be carried out for the benefit and in the interest of all countries…”. Karena definisi launching state yang ambigu sangat merugikan Indonesia dan tidak for the benefit and interest of all countries.
KESIMPULAN
Perkembangan isu eksplorasi dan eksploitasi antariksa memiliki dua
pendekatan yang berbeda antara negara maju dan negara berkembang seperti
Indonesia. Negara maju pada umumnya sudah melakukan pendekatan yang
lebih berorientasi pada aplikasi teknis dan industrialisasi antariksa
sementara Indonesia masih berorientasi pada perdebatan (atau boleh
dikatakan perjuangan) konseptual. Hal ini terlihat jelas dengan derajat
perbedaan kepentingan antara negara maju dan Indonesia. Dari enam elemen
yang diambil sebagai pokok bahasan artikel ini, negara maju sudah
memfokuskan perdebatan yang lebih progresif yaitu pada isu – isu seperti
denuklirisasi dan pelarangan senjata antariksa, wisata antariksa, dan
mitigasi sampah antariksa, sementara Indonesia masih bertarung dengan
perdebatan konseptual kepentingan nasional seperti isu definisi dan
delimitasi antariksa, geo stationary orbit, dan isu definisi launching state.
Namun demikian terdapat satu benang merah yang dapat diambil dari
perbedaan derajat kepentingan antara negara maju dan Indonesia. Kedua
kelompok negara ini sama sama membutuhkan suatu rezim hukum antariksa
modern yang lebih baik, lebih komprehensif, dan lebih detail yang
mengatur seluruh kepentingan yang ada di dalam eksplorasi dan
eksploitasi antariksa. Sehingga, tidaklah berlebihan untuk mengatakan
bahwa kini adalah saatnya untuk membuat suatu rezim hukum antariksa
modern yang bertumpu pada 3 hal:
a) amandemen atau penyempurnaan terhadap rezim hukum antariksa klasik yang sudah ada;
b) perumusan instrumen – instrumen hukum antariksa baru yang mengatur sedikitnya
enam elemen yang dibahas di dalam artikel ini (sebagai representasi
kepentingan negara maju dan negara berkembang di bidang eksplorasi dan
eksploitasi antariksa), dan
c) penciptaan dua organisasi internasional baru sehingga dimasa yang akan datang, isu antariksa memiliki tiga pilar organisasi internasional, yaitu UNCOPUOUS sebagai think thank
isu antariksa, satu organisasi lagi berwenang mengatur mengenai
komersialisasi dan industrialisasi antariksa (termasuk di dalamnya
wisata antariksa), dan organisasi internasional yang terakhir merupakan
perwujudan institusional conference of disarmanment sebagai
organisasi yang berwenang untuk mengatur mengenai aspek politik
-keamanan di dalam eksplorasi dan eksploitasi antariksa.
SARAN
Ada dua kesalahan fatal yang memberikan kontribusi langsung atas terjadinya global warming sebagai dampak eksploitasi berlebihan sektor industri oleh negara – negara pada saat itu. Pertama adalah tidak adanya suatu komitmen dan aturan hukum yang jelas dalam eksploitasi sektor industri. Kedua adalah setmind yang salah yang dilakukan oleh negara – negara pada saat itu. Negara maju melakukan setmind bahwa demi kepentingan nasional-nya lah eksploitasi industri dilakukan secara masif tanpa memperdulikan negara berkembang, lingkungan dan kaedah – kaedah yang ada, sedangkan negara berkembang melakukan setmind bahwa belum menjadi kepentingan nasional-nya untuk membicarakan eksploitasi industri secara terukur dan terencana.
Global warming dan isu Kopenhagen adalah suatu momentum
untuk dapat dijadikan cermin agar kesalahan yang sama tidak terulang
didalam pembahasan isu antariksa, sehingga saran yang dapat diberikan
guna pencapaian suatu rezim antariksa modern adalah:
a) pembangunan kesadaran (awareness) yang berkelanjutan
akan perlunya suatu rezim hukum antariksa yang lebih baik yang memenuhi
kebutuhan – kebutuhan dan persoalan – persoalan antariksa yang
berkembang pada masa sekarang dengan orientasi tetap pada eksplorasi dan
eksploitasi antariksa untuk maksud dan tujuan damai terus ditingkatkan
oleh negara – negara termasuk Indonesia; dan
b) Perubahan pola pikir (setmind) bahwa isu antariksa
adalah hanya merupakan isu sekelompok negara tertentu saja. Dimana
Indonesia seharusnya bisa memposisikan diri sebagai negara yang memiliki
kepentingan dan lingkungan yang strategis terhadap penguasaan dan
pemanfaatan teknologi antariksa di masa yang akan datang.
-FJM-
https://ferryjunigwan.wordpress.com/2010/01/14/kajian-hukum-antariksa-modern-kisah-klasik-untuk-masa-depan-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.