Membaca Darurat Energi dari Perspektif Geopolitik (Bagian 1)
November 20, 2014
0
indoPetroNews.com – Parahnya persoalan minyak dan gas (migas)
telah diisyaratkan oleh para pakar energi, bahwa Indonesia telah
memasuki fase DARURAT ENERGI. Benarkah? Tatkala di permukaan terlihat
landai, maka sesungguhnya situasi itu ibarat bara dalam tumpukan jerami,
tinggal dipercik sedikit api (peristiwa kecil) maka akan meletus,
membakar banyak hal terutama menyerap serta melumpuhkan “energi” bangsa
ini. Mungkin itulah analog yang agak cocok untuk memotret secara sekilas
kondisi permasalahan migas di Republik tercinta ini.
Namun mengurai ‘darurat migas’ sesuai isyarat di atas, sebenarnya
tidak pelik-pelik amat. Artinya, selain tak begitu rumit menganatomi
(mapping) permasalahan yang muncul, juga tak susah-susah amat mencari
solusi terbaik atau bagaimana jalan keluarnya. Kenapa demikian,
sejatinya persoalan utama dalam dunia migas kita hanya masalah political
wil ldan political action elit politik dan segenap pejabat negara
(pemerintah) berkompeten dalam rangka meraih kembali status negara
mandiri (autarky) di bidang energi. Seperti dulu lagi. Itulah hal dan
pokok-pokok paling krusial yang mutlak digelorakan, digebyaran serta
dilangkahkan secara gegap gempita oleh para elit politik dan segenap
komponen bangsa. Dalam bahasa sastranya ialah: “Aku rindu dirimu
(Indonesia) yang dulu”.
Nah, celoteh ini tidak ada niatan menggurui siapapun, terutama para
pakar dan pihak-pihak berkompeten selain sekedar ingin sharing pemahaman
semata. Bila terselip data atau pendapat berbeda, atau barangkali
pemakaian istilah teknis dan taktis yang kurang tepat baik arti, maksud
dan makna, anggaplah kewajaran yang perlu didiskusikan lebih dalam
—intinya— demi meraih pointes dan butiran bagaimana mencapai kemandirian
serta kedaulatan energi yang dirasa semakin lama kian menjauh dari
harapan. Inilah celoteh tak ilmiah, santai dan sederhana.
Mempetakan KETERGANTUNGAN ENERGI (impor) di Bumi Pertiwi, maka
mapping ini wajib diawali breakdowning atas faktor-faktor yang
berpengaruh, kenapa kokketergantungan migas sifatnya berkelanjutan
seolah-olah tidak dapat dibendung, padahal kita dulu tergolong negara
surplus energi (1977 dan 1995). Apa yang tengah terjadi? Selanjutnya,
dalam kajian sederhana ini kami coba melihat dari sisi internal dan
eksternal, antara lain:
Pertama, faktor internal. Beberapa hal yang dominan mempengaruhi
kadar ketergantungan atas kebutuhan energi di Indonesia meliputi: (1)
terbatasnya kilang minyak. Hingga kini, kita cuma memiliki 6 buah kilang
yang berada di Balikpapan, Sorong, Balongan, Cilacap, Dumai dan Plaju.
Semenjak 1994-an memang tak ada lagi penambahan (dan pembangunan)
kilang, meski rencana bahkan studi kelayakan pernah dan telah dilakukan.
Entah kenapa. Tak layak, atau karena ada power lain yang menghalangi?
(2) berperannya jaringan Mafia Barkeley dimana mereka dapat mempengaruhi
policy bidang energi di Indonesia, ketika terbetik khabar bahwa ‘mafia’
ini yang menghambat gerak laju pembangunan kilang melalui jaringannya
di salah satu Kementerian, memang perlu pendalaman lebih jauh; (3)
belitan skema ekonomi neoliberalisme yang kian meraja-lela di republik
ini, dan (4) berlangsungnya praktek-praktek Mafia Migas di dunia
perminyakan nasional.
Untuk beberapa variabel internal di atas tadi, nanti akan diperdalam
sedikit pada pembahasan serta diskusi, sekarang kita lanjut saja ke
faktor berikutnya atas ketergantungan (impor) energi.
Kedua adalah faktor eksternal. Keberadaan The Seven Sisters. Tak bisa
dipungkiri, bahwa kuku-kuku korporasi (MNCs) global seperti ExxonMobil,
ChevronTexaco –Chevron Corporation–, Shell, BP, Gulf Oil, dan lain-lain
milik adidaya dunia telah kuat tertancap investasinya di Bumi Pertiwi.
Sesungguhnya tidak ada masalah dengan investasi asing dimanapun
sepanjang mereka memakmurkan rakyat, kecuali bila track record-nya
hampir tidak pernah membuat sejahtera rakyat (terutama masyarakat di
sekeliling/daerah dimana MNCs berdiri), maka hal itu layak
dipertanyakan, “Apakah ini model kolonialisme baru?”
Taqiyuddin An Nabani mengingatan, “Penjajahan merupakan metode baku
kapitalis sedang yang berubah hanya cara dan sarananya” (1977). Mari
kita perdalam asumsi Nabani tadi. Bahwa sesungguhnya, Bung Karno (BK)
dulu juga sudah mengingatkan bangsa terkait kolonialisme baru, “Bahwa
imperialisme bukan saja sistem atau nafsu menaklukkan negara atau bangsa
lain, tetapi bisa hanya mempengaruhi ekonomi negeri dan bangsa lain. Ia
tidak usyah di jalankan dengan pedang, atau bedil, atau meriam atau
kapal perang (1960). Retorika pun muncul, “Inikah (kolonialisme baru)
yang tengah berlangsung?”
Tak boleh dielak siapapun, bahwa skema (dan tujuan) kolonialisme
dimanapun-sampai kapanpun dipastikan tak akan pernah berubah, yaitu
penguasaan ekonomi dan pencaplokan sumberdaya alam (SDA) negara target
melalui cara mencari bahan baku semurah-murahnya dan menciptakan pasar
seluas-luasnya. Ini yang mutlak ditanam di benak kita.
Jika menelaah dari dimensi “time” (waktu) dan struggle (berjuang)
pada perilaku geopolitik, bahwa target penjajahan tempo deoloe hanya
sebatas mencari rempah-rempah, maka target kolonialisme di era modern
adalah emas, minyak, gas alam dan jenis-jenis tambang lain. What lies
beneath the surface. Apa yang terkandung di bawah permukaan. Bahkan
seorang Vandana Shiva dari India pun berani berkomentar: “Bila
kolonialisasi lama hanya merampas tanah, sedangkan kolonialisasi baru
merampas seluruh kehidupan!”. Sekali lagi, inikah yang tengah terjadi di
Indonesia?
Merujuk statement An Nabhani, BK, Shiva, dll bahwa perilaku offensive
geopolitik modern yang dikembangkan Barat ialah menguasai ekonomi dan
SDA di negeri target menyamar (dan menumpang secara gelap) pada gerak
investasi, manajemen konflik, capacity building, atau kalau perlu —
secara terang-terangan melalui militer sebagaimana invasi koalisi
militer pimpinan Amerika (AS) di Irak (2003-2012) dan Afghanistan
(2001-20013) dengan aneka dalih, bahkan agaknya model tersebut terus
berlanjut hingga kini melalui pintu (isue) baru bertajuk Islamic State
of Irak and Syam (ISIS).
Ia juga sering berkedok gerakan massa mengatasnamakan HAM, demokrasi,
pemimpin tirani misalnya —seperti Arab Spring— atau kadang-kadang via
pintu bencana sebagaimana kasus di Haiti, ataupun cover memerangi wabah
penyakit (Ebola, Flu Burung) ala ‘pendudukkan’ di Afrika, dll. Bagi
pemimpin yang sadar akan (geopolitik) potensi kekayaan alamnya, niscaya
tidak mau diatur oleh kolonialisme global melalui tangan dan kaki-kaki
Multinational Corporations (MNCs) serta variannya.
Pintu masuk paling gampang di negara berdaulat memang isue demokrasi,
korupsi,freedom, instoleransi, dsb karena nilai-nilai global itu sudah
“diterima” masyarakat internasional di berbagai negara, akan tetapi
sering juga via manajemen konflik berupa adu domba (devide et impera) di
negeri yang diincar SDA-nya. Setelah timbul konflik, tahap berikutnya
adalah “intervensi” atas nama capacity building, atau bahkan operasi
militer berdalih pembelaan HAM, mengejar ISIS, menegakkan intolerans
dari salah satu pihak yang berkonflik di dalam negeri tersebut. Itulah
sisi lain (dan contoh kecil) cara “investasi asing” dari perspektif
kolonialisme di sebuah negara bila dicermati atas dasar pemahaman
geopolitik dan konstitusi negara (Indonesia) secara benar.
Selanjutnya, catatan sederhana ini tidak akan membahas lagi soal
rencana “turun”(capacity building)-nya armada laut AS di perairan kita
yang disuruh Bu Susi, Menteri Kelautan dan Perikanan RI dalam rangka
membantu memberantas illegal fishing, sekali lagi — kami tidak akan
mendiskusikannya kembali karena pakem (geopolitik)-nya telah jelas:
“Pertahankan rumah serta pekarangan kita sekalian” (Jenderal Soedirman,
1947). Kebijakan mengundang armada asing di perairan Indonesia, ibarat
pemilik (tuan)-nya justru meminta agar rumah dan pekarangannya
diacak-acak oleh orang luar. Inilah yang kini terjadi.
Kembali ke diskusi faktor internal yang tadi kita loncati. Bila
berangkat dari data sebelum keluar dari OPEC, Indonesia adalah net oil
exporter (kelompok negara pengekspor minyak), tetapi semenjak tahun
2004-an ia berubah sebagai net oil importer (pengimpor minyak). Kenapa
demikian, mohon maaf apabila catatan ini tidak lagi membahas berapa
(dahulu) jumlah produksi dan konsumsi minyak di Indonesia sehingga mampu
meraih status net oil exporter, atau mengapa ia keluar dari OPEC, dan
lain-lain kecuali sekilas untuk menyambung bahasan. Untuk menyingkat
paparan namun supaya tetap akuratpointers-nya nanti, maka data-data yang
ditampilkan berbasis praktek dan operasional migas dekade 2013 – 2014,
walau sekilas saja.
Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) kita sekarang berkisar antara 1,5
juta – 1,6 juta barel per hari (bph). Itu data teknis. Adalah
keniscayaan bila tren konsumsi akan meningkat dari waktu ke waktu
seiring dinamika sosial kemasyarakatan, pertambahan penduduk dan
terutama hiruk-pikuk politik sebagaimana isyarat “Energy Policy”-nya
Guildford (1973),”When it comes to oil is 90% all about politics and 10%
its about oil itself” .
Jika diperkenankan menafsir statement Guildford, bahwa tampilan data
terkait hal-hal teknis perminyakan mungkin akan ditemui banyak dark
number (penggelapan data) sesuai kepentingan dan kemana arah (geo)
politik bergerak. Sedangkan ‘data kering’ saja sering digelapkan demi
sebuah onani (menyenangkan diri sendiri) agar dikatakan berhasil, dll
apalagi ini ‘data yang basah’? Dengan demikian, riil produksi dan
konsumsi minyak yang terilis di media massa oleh pihak tertentu (dan
kompeten) niscaya belum menggambarkan fakta dan data sebenarnya, karena
kentalnya faktor politis.
Di satu sisi, produksi minyak dari 6 kilang di muka tadi berisar 830
ribu – 950 ribu bph danlifting-nya cenderung menurun akibat faktor
operasional dan teknis. Ini juga data-data teknis. Ingat isyarat
Guildford di atas. Sedang sisi lain, sisa kekurangan untuk konsumsi BBM
kita peroleh lewat impor dari banyak negara seperti Arab Saudi,
Aljazair, Malaysia, Cina, Yamen, Australia, Vietnam, Nigeria, Brunei,
Papua New Guene (PNG), Pakistan, Rwanda, Oman, Angola, Thailand, Irak,
Iran, dan lainnya.
Kajian atas keriskanan supply minyak bahwa 60% kebutuhan impor
diangkut via kapal-kapal tanker melalui jalur perairan, dengan kata
lain, jika kelak terjadi “ganguan” dimana berakibat tersendatnya
pasokan, entah gara-gara ‘kemacetan’ di jalur perairan, ataupun ada
masalah politik dengan (negara) pengekspor, mungkin ada gejolak politik
di negara (asal) produsen, atau tiba-tiba meletus perang terbuka di
jalur perairan tersebut, maka niscaya ketersendatan tersebut akan
menjadi penyebab utama atas kelangkaan energi di tanah air. Saat ini,
produksi internal baru memenuhi 40% dari konsumsi dalam negeri.
Apa boleh buat, meskipun negeri ini memiliki cadangan strategis
nasional tetapi tohberkisar 20-an hari saja. Boleh bandingkan dengan
sesama pengimpor minyak seperti Cina, Jepang, Taiwan, Korea Seatan, dll
yang memiliki cadangan strategis hingga 100 hari, bahkan kabarnya sudah
dinaikkan kapasitasnya menjadi 200 hari.
Pertanyaannya sekarang,”Apakah ketergantungan ini dibiarkan
berlanjut, sedang Indonesia memiliki potensi atas ketahanan energi
sebagaimana dulu pernah terjadi; bukankah para elit politik dan
segolongan pakar sudah memahami anatomi darurat energi, tinggal
bagaimana kita mengantisipasi kondisi (ancaman) tersebut?”
Penulis : M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)
http://jurnalisrakyat.com/membaca-darurat-energi-dari-perspektif-geopolitik-bagian-1/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.