alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Sabtu, 03 Oktober 2015

QUO VADIS KEMANDIRIAN BANGSA DALAM BIDANG ENERGI

Geopolitik Energi


November 11, 2012

QUO VADIS KEMANDIRIAN BANGSA DALAM BIDANG ENERGI

QUO VADIS Kemandirian Bangsa Dalam Bidang Energi

Mumu Muhajir
(mumu.muhajir@yahoo.co.id)
Balikpapan, 5 Desember 2006


Apa arti kemandirian?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Balai Pustaka, mandiri berarti keadaan dapat berdiri sendiri; tidak bergantung pada orang lain. Sementara kemandirian berarti hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Jika dikaitkan dengan judul di atas berarti keadaan di mana suatu bangsa bisa berdiri sendiri dalam hal kebutuhan energinya tanpa bergantung pada bangsa lain.
Isu tentang kemandirian bangsa dalam bidang energi ini mencuat kembali akhir-akhir ini ketika muncul beberapa berita di media massa yang menunjukan bahwa dalam sektor energi, terutama sektor hulu migas [eksplorasi dan eksploitasi migas], hampir seluruhnya dikuasai oleh pihak asing.[1] Penguasaan itu tidak hanya terjadi pada lapangan migas yang sedang dikerjakan tetapi juga pada penguasaan cadangan energi yang ada di Indonesia. Beberapa pihak sangat mengkhawatirkan keadaan ini dan mengharapkan pemerintah melakukan tindakan cepat dan tegas untuk menyelesaikan permasalahan ini, termasuk dengan mengajukan pilihan nasionalisasi sektor energi.
Tetapi ada juga beberapa pihak yang merasa bahwa hal itu adalah hal yang wajar ditengah ketidakmampuan bangsa dalam mengusahakan sendiri kebutuhan energinya. Para pihak ini, termasuk di dalamnya adalah pernyataan dari beberapa pejabat Departemen ESDM, berpendapat bahwa janganlah dilihat siapa-nya tapi lihat apa yang diperbuatnya; bahwa tidak ada masalah pihak asing menjadi dominan dalam usaha pertambangan migas asalkan bisa tunduk dalam koridor hukum dan kebijakan Negara Indonesia; atau bahwa ada yang berpendapat lebih lugas : siapapun, baik nasional ataupun asing, akan diterima dengan tangan terbuka asalkan menguntungkan negara Indonesia.
Tanpa bermaksud untuk memihak, penulis akan mencoba memaparkan bagaimana sebenarnya bangsa Indonesia melihat kekayaan minyak dan gas buminya dan umumnya kekayaan sumber daya alam lainnya, pilihan apa yang tersedia dan dikerjakan oleh bangsa ini ? Penulis akan mencoba membongkarnya dari sisi peraturan-peraturan hukum yang pernah dan sedang berlaku yang mengatur mengenai pengelolaan kekayaan minyak dan gas bumi di Indonesia.

[1] Baca misalnya “85 Persen Tambang Migas di Kuasai Asing”, Tribun Kaltim, 24 September 2006.

Masalah Konstitusi?
Mau tidak mau kita akan memalingkan muka pada naskah UUD 1945, yang menjadi dasar dan pembeda Indonesia antara sebelum dan setelah kemerdekaan. Pasal 33 [3] menyatakan bahwa bangsa Indonesia menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia. Yang tetap menjadi masalah di sini adalah pengertian dikuasai negara yang dibenturkan dengan pengertian dimiliki negara.
Pengertian menguasai tidaklah sama dengan pengertian dimiliki. UU No 5 Tahun 1960 menegaskan perbedaan antara menguasai dan memiliki.[2] Dalam sistem hukum modern, yang notabene berasal dari cara pikir Barat, kepemilikan atas sesuatu merupakan konsep yang dianggap suci dan paling kuat. Dari konsep milik inilah muncul hak-hak derivatif lainnya seperti penggunaan objek hak milik dan pemberian ijin. Di sisi yang lain konsep penguasaan tidaklah mengindikasikan seseorang atau institusi mempunyai hubungan absolut dengan apa yang dikuasainya, seperti halnya konsep kepemilikan. Penguasa terhadap sesuatu belum tentu pemilik dari sesuatu itu. Sehingga ketika ada amandemen UUD 1945, ada banyak pihak yang lebih cenderung untuk memakai kata “dimiliki” daripada “dikuasai” yang lebih kabur.[3]

Dalam UU No 44 Prp Tahun 1960, pengertian menguasailah yang dipakai, sehingga semua minyak dan gas yang belum, sedang dan akan diproduksi dikuasai oleh negara. Para pelaku usaha hanya memiliki migas pada saat di ujung bor. Begitu juga dalam UU No 11 Tahun 1967, pengertian menguasai, dan bukan memiliki yang dipakai, walaupun ada beberapa pihak yang berpendapat bahwa kata-kata…”Negara menguasai semua bahan galian dengan sepenuh-penuhnya…”, sebagaimana tercantum dalam Penjelasan pokok-pokok persoalan, dianggap sama dengan negara memiliki.
Bisa juga dipahami kenapa pilihan menguasai yang dipakai oleh bangsa Indonesia. Salah satunya adalah jika kepemilikan yang dipakai, maka begitu ada ijin, kepemilikan atas kekayaan sumber daya alam itu berpindah, dan begitu juga apabila si penerima ijin itu mematuhi dan membayar semua kewajibannya sebagaimana ditentukan oleh peraturan hukum. Sementara dengan pengertian menguasai, cadangan minyak dan gas bumi yang belum dieksploitasi tidak menjadi milik kontraktor.
Namun UU No 22 Tahun 2001, yang menggantikan, salah satunya, UU No 44 Prp tahun 1960, membuat terobosan atas kekaburan istilah itu, dengan menegaskan bahwa pemerintah adalah pemilik dari migas yang diambil sampai pada titik penyerahan. Dengan demikian, pemerintah mempunyai hak untuk mengatur, memelihara dan mempergunakan kekayaan alam itu. Dengan kata lain, pemerintah mempunyai hak yang kuat untuk memberikan ijin atau membuat perjanjian dengan pihak lain untuk mengelola kekayaan migasnya itu.

Apapun itu, UUD 1945 telah menetapkan bahwa Negara Indonesia adalah penguasa dari kekayaan alam yang ada di bumi dan air di wilayah Indonesia [Negara Indonesia sebagai pemegang “Mineral Right”]. Kewenangan negara untuk menguasai itu meliputi penguasaan yang bisa berupa usaha-usaha untuk mengatur, memelihara dan menggunakan bahan galian minyak dan gas itu dengan sebaik-baiknya. Tapi walaupun demikian negara tidaklah menyalahi jika dalam pelaksanaan dari hak penguasaan itu menyerahkannya pada pihak lain. Permasalahannya kemudian adalah bagaimana penyerahan itu dilakukan?

[2] Lihat Pasal 2 [2] serta memori penjelasan II/2, yang menegaskan bahwa pengertian dikuasai dalam Pasal 2, tidaklah sama dengan memiliki. Pemakaian kata “menguasai” di atas ditujukan memberikan kewenangan kepada Negara sebagai organisasi kekuasaaan dari bangsa Indonesia.
[3] Lihat, misalnya, Ryad Chairil, “RUU Pertambangan: Ijin Usaha VS Kuasa Pertambangan,” diambil dari http://www.minergy.com

Penyerahan Pelaksanaan Hak Penguasaan Negara kepada Pihak Lain
Sistem yang lazim dipakai oleh negara-negara dunia, yang menganut sistem negara memiliki semua cadangan kekayaan alam yang terkandung di wilayahnya, dalam memperlakukan kekayaan sumber daya alamnya, terutama sektor energinya secara garis besar terdiri dari tiga sistem: pertama adalah negara mengusahakan sendiri kekayaan sumber daya energinya. Kedua, sistem konsesi, di mana negara melepaskan kepemilikan atas cadangan sumber daya energinya kepada suatu perusahaan yang telah mendapatkan ijin darinya dan telah memenuhi kewajiban-kewajibannya. Ketiga, sistem kontrak bagi hasil. Dalam hal ini negara adalah tetap pemilik dari cadangan energi, namun dalam pengusahaannya diberikan kepada perusahaan/institusi lain yang bekerja atas dasar kontrak.[4]

Pada awalnya, sebagaimana negara-negara yang baru merdeka, semangat untuk menolak segala hal yang berbau asing dan mengerjakan semuanya atas nama bangsa sendiri sangatlah melupa-luap. Dalam masa antara tahun 1951 – 1959, pada saat pemerintahan jatuh bangun, isu ini kerap kali diketengahkan. Hasilnya adalah pada tahun 1958, pemerintah mengeluarkan Program Banteng yang intinya adalah menasionalisasikan semua aset perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia[5]. Namun sayangnya hanya perusahaan minyak kecil yang berhasil dinasionalisasikan seperti NV NIAM [perusahaan yang terbentuk atas kongsi pemerintah Hindia Belanda dengan Shell] yang dirubah jadi PT PERMINDO, kemudian jadi PN PERTAMIN, sementara Shell-nya sendiri bisa lepas dari proses ini.

Barulah di tahun 1960, Pemerintah Indonesia sekaligus mengeluarkan dua Perpu, yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang UU No 37 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Umum serta UU No 44 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak dan Gas. Bagi beberapa pihak, kedua UU ini adalah wujud dari usaha bangsa Indonesia untuk berdiri di kaki sendiri dan menata pengelolaan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi dan air wilayah Indonesia untuk seterusnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia.
Di dalam kedua Perpu itu, semangat untuk mengusahakan sendiri kekayaan alam yang ada terlihat sangat menggebu-gebu. Tapi ada perbedaan yang cukup signifikan, salah satunya adalah dalam hal memperlakukan objek peraturannya. Dalam Perpu pertambangan Migas, disebutkan bahwa kekayaan minyak dan gas seluruhnya dikuasai oleh negara dan pengusahaannya juga dilakukan oleh negara yang dalam pelaksanaannya hanya dilakukan oleh perusahaan negara [kuasa pertambangan hanya dipegang oleh perusahaan negara di bidang minyak dan gas]. Sementara dalam Perpu pertambangan umum, kuasa pertambangan itu bisa dilakukan oleh badan atau perseorangan.

Setidaknya ada empat alasan kenapa waktu bangsa indonesia memperlakukan minyak dan gas bumi berbeda dengan bahan-bahan galian lainnya. Pertama bahwa minyak dan gas bumi itu mempunyai peran yang lebih penting dalm pembangunan masyarakat adil dan makmur dibandingkan dengan bahan-bahan galian lain. Kedua, produksi migas itu merupakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiga, minyak dan gas mempunyai arti penting bagi pertahanan nasional. Keempat, bahwa persoalan mengenai migas mengandung aspek-spek internasional.

Melihat posisi minyak dan gas yang strategis itu, maka penyerahan kewenangan untuk mengusahakan penambangannya hanya diberikan kepada perusahaan negara [sebagai pemegang “Mining Right” atau pemegang Kuasa Pertambangan].[6] Penyerahan kepada semata perusahaan negara untuk melaksanakan pengusahaan penambangan bahan galian minyak dan gas itu dipandang bisa menjamin hubungan antara bangsa Indonesia dengan wilayahnya yang abadi itu serta kedudukan negara Indonesia sebagai penguasa atas kekayaan alam tersebut. Selain itu dengan hanya diusahakan oleh perusahaan negara dapatlah terjamin kemanfaatan bahan galian itu bagi penyusunan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur dan pembangunan negara Indonesia yang kuat dan jaya. 

Dengan ciri-ciri modal yang seluruhnya merupakan kekayaan negara dan modal tersebut tidak dibagi-bagi dalam bentuk saham serta tujuan utama didirikannya adalah untuk turut serta dalam membangun ekonomi nasional sesuai dengan ekonomi terpimpin dengan mengutamakan kebutuhan rakyat dan ketenteraman serta kesenangan kerja dalam perusahaan, menuju masyarakat yang adil dan makmur meteriil dan spiritual, maka jaminan itu terasa kuat[7].

[4] Lihat Greg Muttitt, “Production Sharing Contract Agreements: Oil Privatisations by Another Name?” Diambil dari http://www.carbonweb.org
[5] ditetapkan dalam UU No 68 tahun 1958 tentang Nasionalisasi perusahaan Belanda
[6] Lihat Pasal 1 huruf h jo to Pasal 3 [2] UU No 44 prp Tahun 1960.
[7] Pasal 4(2) UU No 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara

Tekanan Perusahaan Asing Terhadap Kebijakan Baru Migas
Tetapi Indonesia menghadapi pertarungan di tingkat internasional dalam hal perebutan sumber energi. Pada dekade 50-an dan 60-an, politik dunia internasional terbelah dalam dua kubu besar: Nato dan Pacta Warsawa; Blok Barat dan Blok Timur; Dunia Pertama dan Dunia Kedua, yang berpengaruh besar pada pengambilan arah dan keputusan kebijakan yang dilakukan oleh Indonesia yang waktu itu sedang mengarak gerakan Non-Blok. Di sisi yang lain peristiwa “London Smog 1957” telah lebih menyadarkan banyak pihak akan perlunya mengganti sumber energi [bagi transportasi dan pabrik-pabrik] yang bertumpu pada batu bara ke sumber energi yang lebih tidak berasap, alternatifnya adalah minyak bumi dan gas. Karena di dalam negeri mereka sendiri cadangan minyak-nya mulai menipis, maka terjadilah proses pencarian besar-besaran akan sumber cadangan minyak dan gas ke luar negeri. Proses ini dipandang juga sebagai perkembangan lebih lanjut dari Revolusi Industri yang lebih bertumpu pada batu bara.

Karenanya ketika ada perubahan kebijakan nasional dengan diundangkan UU No. 44 Prp tahun 1960, terutama dalam hal hanya perusahaan negara yang memegang “Mining Right”, tentangannya sangatlah keras dari perusahaan-perusahaan besar minyak, yang notabene tinggal 3 perusahaan: Stanvac, Shell dan Caltex. Dengan hanya perusahaan negara yang memegang mining right atau kuasa pertambangan, maka kuasa pertambangan yang dipunyai perusahaan minyak besar itu yang didapatkan dari sistem konsesi sejak zaman kolonial Hindia Belanda berdasarkan Indische Mijnwet[8], tidak lagi berlaku. Padahal dengan sistem konsesi itu, perusahaan minyak sangatlah beruntung; karena menjadi pemilik dari cadangan energi yang ada di wilayah konsesinya. Kedudukan mereka, jika mengikuti aturan dalam UU No. 44 Prp 1960 adalah berlaku sebagai kontraktor bagi perusahaan negara.

Keberadaan kontraktor ini, disisi yang lain, sangatlah penting bagi perusahaan negara, karena usaha pertambangan minyak membutuhkan modal finansial yang besar, teknologi yang tinggi, sumber daya manusia yang mumpuni serta resiko usaha yang besar, yang kesemuanya itu belum dimiliki oleh perusahaan negara pemegang kuasa pertambangan minyak dan gas. Kontraktor itu bekerja atas suatu kontrak, yang bernama perjanjian karya, yang ditandatanginya dengan suatu perusahaan negara. Perjanjian karya ini baru berlaku setelah disahkan dengan Undang-undang.

Dalam aturan peralihan UU No 44 Prp Tahun 1960 disebutkan bahwa bagi perusahaan bukan negara yang mendapatkan kuasa pertambangan berdasarkan aturan sebelum UU No 44 Prp Tahun 1960 ini dibuat, diberi kesempatan untuk melakukan penyesuaian dan tetap bekerja sampai tenggat waktu yang ditetapkan oleh pemerintah. Pada waktu penyesuaian itulah pemerintah melakukan negosiasi lagi dengan mereka untuk menghasilkan suatu perjanjian yang lebih menguntungkan bagi negara.
Tentu saja tiga perusahaan itu menolak. Dalam perundingan yang pertama pada tanggal 22 – 27 Agustus 1961, kedua belah pihak tidak menghasilkan persetujuan tentang pelaksanaan usaha pertambangan minyak dan gas. Keadaan ini memaksa pemerintah mengeluarkan Keppres No 476 tahun 1961 yang ditetapkan pada tanggal 28 Agustus 1961, yang isinya berupa penetapan peraturan-peraturan tertentu bagi ketiga perusahaan itu dalam masa peralihan. Peraturan yang dikenakan itu antara lain bahwa perusahaan asing diharuskan memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri atas dasar perbandingan persentase dari produksi minyak mentahnya,[9] serta pembagian hasil antara pemerintah dan perusahaan asing tersebut berdasarkan persentase 60:40.

Secara garis besar ada 4 hal yang diminta pemerintah pada perusahaan-perusahaan asing tersebut berkenaan dengan perubahan kebijakan baru dalam pertambangan minyak dan gas: pertama, pola pembagian hasilnya adalah 60:40 dari keuntungan bersih, dengan bagian terbesar ada di tangan pemerintah. Kedua, hasil bagi negara tersebut menjadi sumber yang nyata bagi pelaksanaan pembangunan. Ketiga, ada kontrol yang efisien dalam rangka pengusahaan pertambangan, baik yang dilakukan oleh perusahaan negara maupun kontraktor yang bekerja untuk perusahaan negara. Keempat, bahwa dengan adanya perjanjian itu harus membuka kesempatan bagi perusahaan negara agar bisa melaksanakan sendiri kegiatan-kegiatan tertentu, sehingga dalam jangka waktu yang tidak lama, perusahaan negara bisa melaksanakan sendiri kegiatan usaha pertambangan tanpa bantuan kontraktor.[10]

Kenyataannya adalah, walaupun secara prinsip perusahaan-perusahaan menerima kedudukan barunya sebagai kontraktor serta setuju atas pola pembagian hasil yang 60:40 itu, di lapangan masih banyak hal yang belum dilaksanakan dengan sebenarnya. Kemudian ada perundingan selanjutnya yang dilaksanakan pada awal tahun 1963 – dan tetap tidak menghasilkan persetujuan yang signifikan. Melihat keadaan itu pemerintah mengeluarkan PP No 18 Tahun 1963 tentang Penetapan Tenggang Waktu Peralihan Pelaksanaan Usaha Pertambangan Minyak dan Gas Bumi oleh Perusahaan-perusahaan Bukan Perusahaan Negara. Dalam PP ini ditetapkan bahwa tenggang waktu peralihan sebagaimana diminta dalam UU No. 44 Prp tahun 1960 akan berakhir pada tanggal 15 Juni 1963 jam 24.00 waktu Jawa. Bagi perusahaan yang gagal mencapai kata kesepakatan setelah tanggal 15 Juni 1963 akan berlaku dua hal: dilikuidasi sesuai dengan peraturan yang berlaku yang dimulai pada tanggal 16 Juni 1963 atau bekerja terus berdasarkan peraturan-peraturan baru yang akan ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah yang dimulai pada tanggal 16 Juni 1963.

Sikap keras pemerintah ini dilakukan karena pemerintah tidak bisa lagi menerima tentangan dari perusahaan asing itu yang dianggap bebal dan tidak mengerti kehendak politik baru dalam pengusahaan pertambangan minyak dan gas di Indonesia; dan pemerintah tidak mau berunding lagi jika tidak ada jaminan-jaminan yang diperlukan seperti ketundukan perusahaan asing atas ketentuan dalam Keppres 476 tahun 1961[11] serta politik baru dalam dalam pertambangan minyak dan gas, yang antara lain terdiri dari: [1] memajukan kemakmuran nasional dengan cara memperluas pasaran di luar negeri dan atau menemukan cadangan-cadangan baru; [2] mendirikan/memajukan industri dalam negeri tanpa fasilitas istimewa;[3] memberikan pelatihan bagi tenaga kerja Indonesia dan atau memberinya kesempatan menempati posisi yang penting dan strategis di perusahaan; [4] membantu pemerintah dalam menambah devisa negara.

Menjelang tenggat waktu berakhir, terjadilah perundingan di Tokyo, yang difasilitasi oleh Robert F. Kennedy, adik presiden Amerika Serikat waktu itu, John F Kennedy. Perundingan di Tokyo ini menghasilkan Tokyo Heads of Agreement 1 Juni 1963 atau Pokok-pokok Perjanjian Tokyo. Isi dari Kesepakatan Tokyo dalam urusan minyak ini kemudian disempurnakan lagi di Jakarta dan baru selesai pada tanggal 23 September 1963. Isi dalam Perjanjian Tokyo ini sebagian besar mengikuti garis kebijakan pemerintah waktu itu, sementara dari sisi 3 perusahaan besar itu hanya meminta jaminan tidak akan ada nasionalisasi pada aset-aset yang dimilikinya.

Sebagaimana disebutkan dalam UU No 44 Prp tahun 1960, bahwa untuk urusan isi dari perjanjian karya antara pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh perusahaan negara, dengan kontraktor diserahkan pada masing-masing pihak[12]. Pemerintah hanya memberikan pokok-pokoknya saja yang tampak dalam Keppres 476 tahun 1961 atau dalam kebijakan politik baru pertambangan yang berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 serta arahan-arahan politik minyak lainnya. Dengan demikian apa yang dicapai dalam Tokyo Heads of Agreement di atas menjadi pokok-pokok yang kemudian dijabarkan dalam kesepakatan. Kesepakatan ini, yang dinamakan “perjanjian karya” baru akan berjalan setelah disahkan dengan Undang-undang.

Akhirnya tercapailah kesepakatan itu yang kemudian dituangkan dalam UU NO 14 Tahun 1963 tentang Pengesahan “perjanjian karya” antara PN Pertamina dengan PT. Caltex Indonesia dan California Asiatic Oil Company [CALASIATIC], Texaco Overseas Petroleum Company [Topco]; PN Permina dengan PT Stanvac Indonesia; PN Permigan dengan PT Shell Indonesia. Sekedar informasi, bahwa sebenarnya pemerintah Indonesia telah berhasil melakukan perjanjian karya dengan perusahaan minyak lain, yakni Pan American Indonesia Oil Company, anak Perusahaan dari Pan American International Oil Company, yang telah ditetapkan dengan Perpu No. 4 Tahun 1962. Nampaknya perjanjian karya dengan Pan American ini dijadikan senjata bagi pemerintah untuk menekan tiga perusahaan minyak besar tersebut untuk ikut serta dalam kebijakan, sistem dan kontrak baru pertambangan minyak di Indonesia.[13] Terbukti bahwa Perpu No 4 tahun 1962 itu baru disahkan menjadi Undang-undang [UU No 13 tahun 1963] pada tanggal 28 November 1963, tanggal yang sama perjanjian karya dengan tiga perusahaan besar itu disahkan dengan Undang-undang.

Sekelumit sejarah di atas menunjukan bahwa pemerintah Indonesia waktu itu sangat serius dengan usahanya untuk menguasai kekayaan alamnya secara sejati dan mandiri demi untuk kemajuan dan kemakmuan rakyatnya. Ketergantungan pada pihak asing, disamping menyulitkan posisi negara indonesia dalam mengatur, memelihara dan mempergunakan kekayaan alam yang terkandung di wilayahnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyatnya juga menunjukan tidak ada beda kondisi antara Indonesia sebelum dan sesudah merdeka. Kelihatan bahwa pemerintah waktu itu memandang penting penguasaan minyak hanya oleh negara, dengan cara membebankan pada perusahaan asing, yang dulunya penguasa cadangan minyak, dengan tugas-tugas yang berat dan melenceng dari tugas utamanya, yakni akumulasi keuntungan, seperti kewajiban untuk berperan dalam kemajuan ekonomi bangsa, dsb sebagaimana disebutkan di atas.
Tapi apakah pemerintah Indonesia puas dengan lahirnya dua Undang-undang tersebut. “puas” dalam arti sesuai dengan cara pandang Indonesia merdeka yang tercantum dalam pasal 33 UUD 1945, atau dengan arahan politik baru dalam perminyakan di Indonesia?

[8] stb 1899 no 214 jo.to. 1906 No 434
[9] Atau sistem pro-rata berdasarkan UU No. 15 Tahun 1962 tentang penetapan Perpu No 2 Tahun 1962 tentang kewajiban perusahaan minyak memenuhi kebutuhan dalam negeri
[10] Lihat, misalnya, di memori penjelasan UU No 14 Tahun 1963
[11] Keputusan Presiden No 476 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan-peraturan yang Berlaku Terhadap perusahaan-perusahaan Minyak Asing Shell, Stanvc dan Caltex Dalam waktu Peralihan. Lihat misalnya pasal 6 yang mewajibkan ketiga perusahaan itu memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, atau pasal 7 yang menetapkan pola pembagian hasil yang 60 : 40, dengan pemerintah mendapatkan bagian terbesarnya.
[12] Pasal 6 [2] serta Penjelasan Umum no. 6 UU No 44 Prp tahun 1960.
[13] Terutama berkaitan dengan akses pada ladang-ladang minyak baru

Semangat Kemandirian Di Tengah Kekurangan
Jawabannya ternyata tidak. Bentuk perjanjian karya memang telah berhasil keluar dari sistem konsesi warisan jaman kolonial yang merugikan atau setidaknya proporsi yang diterima oleh pemerintah dipandang lebih besar dibanding dengan keuntungan yang didapat oleh penerimaan konsesi. Bentuk perjanjian karya juga telah berhasil menegaskan bahwa “mineral right” atau hak atas cadangan bahan-bahan galian, serta “mining right” atau hak untuk menambang, berada di meja yang berhak: negara Republik Indonesia.

Tetapi masalahnya adalah bagaimana dengan Economic Right atau hak atas manajemen perusahaan minyak dan gas? Dalam perjanjian karya, manajemen pengusahaan minyak dan gas masih berada di tangan perusahaan minyak yang bersangkutan. Sehingga “…kontrol yang efesien atas pengusahaan pertambangan minyak…” sebagaimana diinginkan dalam pokok-pokok isi kebijakan politik pertambangan minyak tidak bisa berlangsung, dan dengan kata lain bahwa pemerintah belum menerapkan sepenuhnya cita-cita pemilikan minyak oleh negara.
Usaha ke arah penguasaan atas manajemen perusahaan minyak dan gas yang waktu itu semuanya di tangan perusahaan asing telah dirintis sejak tahun 1957 oleh Ibnu Sutowo sebagai Presiden Direktur PT PERMINA, yang berdasarkan PP No. 198 Tahun 1961 dilebur menjadi PN PERMINA. 

 Bibit-bibit isi dari Perjanjian yang berisi pengambil alihan economic right itu telah ada ketika melakukan perjanjian dengan perusahaan REFICAN di Sumatera Utara, 1957. Konsep tersebut makin menemukan bentuknya setelah pada tahun 1966 PN PERMINA melakukan Perjanjian dengan IIAPCO dengan sistem bagi hasil dan dikenal sebagai PSC [Production Sharing Contract atau Kontrak Production Sharing – KPS].[14]
Dengan sistem KPS ini, penguasaan manajemen pengusahaan minyak dan gas berada di tangan Perusahaan Negara [dalam hal ini PN PERMINA, yang nantinya melebur menjadi PERTAMINA]. Dalam arti Perusahaan negaralah yang mengatur dan menyetujui rencana kerja dan anggaran dari pihak kontraktor. Kontraktor kemudian hanya memiliki economic interest saja atas wilayah pertambangannya. Sistem KPS inilah yang kemudian menggantikan posisi Perjanjian Karya untuk pengusahaan minyak dan gas di Indonesia.

KPS ini merupakan kontrak antara PERTAMINA dengan kontraktor dan dilaksanakan atas dasar kuasa pertambangan yang diberikan negara kepada perusahaan negara berdasarkan UU No 44 Prp tahun 1960. Posisi KPS kemudian menjadi lebih kuat ketika disebutkan dalam Pasal 12 UU No 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara, sebagai salah satu bentuk kontrak kerja sama dengan pihak lain dalam pengusahaan minyak. Tiga perusahaan besar itu [Shell, Stanvac dan Texaco] juga akhirnya ikut serta dalam sistem ini, setelah dalam perpanjangan Perjanjian Karya pada tahun 1971 merubahnya menjadi sistem KPS.

[14] Kirsten Bindenman, Production-Sharing Agreements: An Economics Analysis , Oxford Institute for Energy Studies, October 1999.

Sistem KPS: Jalan Menuju Nasionalisasi Energi?
Apakah sistem KPS sama dan sebangun dengan proses nasionalisasi perusahaan minyak? Apakah dengan sistem KPS ini telah membuat negara Indonesia telah benar-benar sejati mengatur, memelihara dan mempergunakan secara mandiri oleh bangsa sendiri kekayaan alam berupa minyak dan gas demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia?
Penulis melihat bahwa sistem KPS adalah cara tersembunyi Indonesia untuk melakukan nasionalisasi aset-aset kekayaan nasional berupa minyak ini yang berada di tangan asing. Dengan cara seperti ini seluruh aspek dalam pengusahaan minyak dikuasai oleh negara Indonesia, perusahaan asing hanya berlaku sebagai pelaksana saja. Tapi juga tidak bisa dikatakan proses nasionalisasi karena dalam sistem KPS ini, posisi kontraktor sebenarnya kuat juga. Walaupun dia berlaku sebagai kontraktor, berarti ada di bawah perusahaan negara, tetapi dialah yang menyediakan modal, teknologi dan sebagainya, bahkan pemasarannya, dalam pengusahaan pertambangan minyak. Pembagian hasil baru dilakukan setelah kontraktor mendapatkan ganti atas modal yang telah dikeluarkannya [dikenal dengan Cost Recovery], sehingga sering kali terjadi pemerintah mendapatkan dana bagi hasil dari suatu ladang minyak setelah masa eksploitasinya berjalan beberapa tahun. Di samping bahwa kontraktor adalah penanggung satu-satunya semua resiko finansial. Dengan demikian, Indonesia sebenarnya tergantung pada “kesediaan” perusahaan asing itu dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak. Dan keadaan ini dipakai perusahaan asing untuk menaikkan posisi tawarnya.

Mantapnya Indonesia untuk mengambil pilihan dan mengembangkan sistem KPS dalam pertambangan minyak dan gas ini juga didasari dengan gagalnya proyek nasionalisasi aset-aset perusahaan minyak yang dilakukan oleh Meksiko awal tahun1970-an, karena adanya boikot terhadap minyak yang digali dari Meksiko. Di sisi yang lain sistem yang dipakai oleh Arab Saudi dalam melakukan “nasionalisasi” perusahaan minyak asing berhasil dengn baik. Sistem yang dipakai Arab Saudi adalah dengan menyertakan sahamnya pada perusahaan ARAMCO. Dalam kontraknya ditentukan bahwa keuntungan yang didapat pemerintah Arab Saudi akan dikonversi menjadi penyertaan saham di perusahaan tersebut, sehingga dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, sekitar akhir tahun 1960-an, pemerintah Arab Saudi telah menguasai 100% saham perusahaan tersebut. Tetapi pilihan Arab Saudi ini tidak pernah diambil oleh Indonesia.

Singkat kata, sistem KPS ini merupakan pembuka jalan bagi negara Indonesia c.q. Perusahaan Negara [PERTAMINA] untuk sesingkat-singkatnya mengusahakan sendiri usaha-usaha pertambangan minyak di Indonesia sebagaimana tercantum dalam pasal 33 UUD 1945, UU No 44 Prp 1960, memori penjelasan UU 13 tahun 1963 dan UU No 14 Tahun 1963 serta UU No. 8 Tahun 1971. Sistem KPS dipakai karena masih ada banyak pekerjaan dalam usaha pertambangan minyak yang masih belum dan atau tidak dapat dilakukan sendiri oleh Perusahaan Negara c.q. PERTAMINA atau bahwa seluk beluk penjualan minyak di tingkat internasional masih belum diketahui dan dikenali dengan baik.

Pemerintah waktu itu menyadari sangatlah tidak mungkin untuk secara langsung dan sekaligus mengambil alih seluruh usaha-usaha pertambangan minyak yang sangat padat modal dan teknologi serta memerlukan kecakapan sumber daya manusia yang mumpuni itu ke dalam tangan negara Indonesia. Indonesia membutuhkan masa transisi untuk mencapai cita-cita itu. Karena itulah dalam sistem KPS, ada beberapa isi perjanjian yang sangat diperhatikan, antara lain terhadap peninggian pemasukan bagi negara lewat bagi hasil dimulai dari persentase 60:40, ke 70:30 dan sekarang 85:15; proses alih teknologi harus terus dilaksanakan dengan melakukan pendidikan dan pelatihan serta pengaturan tenaga kerja asing di kontraktor, agar nantinya tenaga kerja Indonesia bisa menggantikan kedudukan tenaga kerja asing; kewajiban kontraktor asing memberi kesempatan pada perusahaan nasional untuk terlibat dalam usaha eksplorasi dan eksploitasi serta ketentuan-ketentuan lainnya sebagaimana garis besarnya ditentukan dalam PP No 35 Tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerja Sama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas.

Data menunjukan bahwa kontrak KPS memang diminati oleh banyak perusahaan asing yang hendak menanamkan modalnya di Indonesia. Sistem KPS ini juga sepertinya banyak juga diterapkan di negara-negara lain. Dari segi finansial juga menunjukan bahwa kontrak KPS ini lebih menguntungkan Indonesia. Sejak tahun 1966 sampai dengan tahun 2001, secara keseluruhan pendapatan yang didapatkan dari migas lewat sistem KPS adalah sebesar $ 364 milyar, yang setelah dikurangi untuk cost recovery dan bagian kontraktornya, Indonesia mendapatkan bagian untung sebesar $ 241 milyar atau sekitar 66 %-nya.[15] Tetapi nampaknya posisi KPS yang sebenarnya “sementara” itu terlupakan dan menganggap bahwa inilah sistem terbaik bagi Indonesia dalam mengusahakan kekayaan minyak dan gas buminya. Ternyata perusahaan negara c.q. PERTAMINA ataupun perusahaan nasional lainnya tidak [mau? Atau bisa?] melepaskan diri dari “proses magang” pada perusahaan kontraktor-kontraktor tersebut.

Dari segi finansial memang bisa dikatakan Indonesia untung, tetapi bagaimana dengan sisi penguasaan teknologi atau manajemen perusahaan berbasis minyak atau akumulasi kapital dan keberanian mengambil resiko atau yang lebih substansial, ketersediaan tenaga kerja atau bahkan ketersediaan minyak dan gas bagi kepentingan dalam negeri?

[15] Data dari S. Zuhdi Pane, The Indonesian Oil & Gas Industry, disampaikan dalam FGD JATAM, “Mencari Format Kontrak Migas yang Menjamin Kebutuhan Domestik, 22 Desember 2005

Liberalisasi dan Kebijakan Minyak dan Gas di Indonesia
Belum sempat menyadari itu – atau malah dalam rangka menyadarkan? – pemerintah Indonesia membuat kebijakan baru dalam hal pertambangan minyak dan gas ini. Pada 23 November 2001, Indonesia mengeluarkan UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas yang sekaligus menggantikan posisi UU No 44 Prp Tahun 1960, UU No 15 Tahun 1962 serta UU No 8 Tahun 1971.
Dalam UU Migas baru ini, minyak dan gas bumi tetap dianggap sebagai kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara, yang diselenggarakan oleh pemerintah selaku pemegang Kuasa Pertambangan. Dengan demikian pemerintah menggantikan kedudukan Perusahaan Negara c.q. PERTAMINA. Tetapi kedudukan pemerintah ini juga dianggap sebagai pemilik dari sumber daya alam tersebut[16]. Sehingga kedudukannya sangatlah kuat. Karena itulah, ada pihak yang mengartikan bahwa awalnya minyak dan gas dikuasai oleh Negara [dengan N kapital] sedangkan sekarang setelah lahirnya UU migas itu, dikuasai oleh negara [dengan n kecil yang bisa diartikan hanya pemerintah saja].[17]

Setelah mencabut Kuasa Pertambangan dari PERTAMINA, pemerintah tidak menyerahkan sepenuhnya pelaksanaannya pada Badan Pelaksana Migas [BP Migas], tetapi malah pada kontraktor KPS [Pasal 12 ayat [3]], yang dalam pelaksanaannya berkoordinasi dengan BP Migas. Hal ini disebabkan BP migas adalah badan hukum milik negara, dan bukannya badan usaha seperti PERTAMINA. Ini juga yang membedakan kedudukan kontraktor KPS dulu dan sekarang. Dulu, kedudukan kontraktor ada di bawah wewenang PERTAMINA, sedangkan sekarang kedudukannya setara dengan BP Migas, yang justru berfungsi sebagai pengawas terhadap pelaksanaan kontraktor KPS tersebut.

Dalam KKS atau Kontrak Kerja Sama, nama yang diberikan UU migas terhadap kontrak bagi hasil atau kontrak lainnya dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas, disyaratkan BP migas adalah pengendali manajemen operasi. Tugas sebagai pengendali manajemen operasi itu adalah pemberian persetujuan atas rencana kerja dan anggaran, rencana pengembangan lapangan dan pengawasan terhadap realisasi rencana tersebut [Pasal 6]. Dengan demikian, economic right berpindah dari PERTAMINA ke BP Migas. BP migas adalah regulator sekaligus juga berfungsi sebagai badan usaha, karena juga bertugas untuk memaksimalkan pendapatan negara dari sektor ini. Kedudukannya sebagai badan hukum ini justru akan menyulitkan tugasnya itu. Contohnya adalah dalam hal penjualan minyak dan gas bumi bagian negara. Dulu hal itu bisa langsung dijual oleh PERTAMINA, namun sekarang, penjualan itu tidak bisa dilakukan oleh BP Migas, karena dia bukan badan usaha. Sehingga penjualan itu harus dilakukan oleh pihak ketiga [yang sayangnya kebanyakan dilakukan oleh trader di Singapura] atau malah disertakan dalam penjualan yang dilakukan oleh kontraktor.

Konsekuensi lainnya adalah jika ada tuntutan hukum, maka yang bertanggung jawab adalah pemerintah, bukan lagi seperti dulu yang jadi tanggung jawab PERTAMINA. Ini tentu akan menurunkan wibawa pemerintah c.q. negara jika kemudian akibat adanya tuntutan hukum itu mengharuskannya menghadiri persidangan arbitrase internasional atau malah kalah di perkara tersebut.
Semangat yang dijunjung oleh UU Migas, yang lahir atas realisasi LOI [Letter of Intent] antara Indonesia dan IMF, ini adalah semangat liberalisasi dan privatisasi. Semangat liberalisasi telihat dari menyerahkan harga jual BBM dan gas kepada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar [pasal 28] atau juga dengan memperbolehkan perusahaan asing bermain di sektor hilir bisnis minyak dan gas, sedangkan semangat privatisasi terlihat dari perubahan kedudukan PERTAMINA menjadi Perseroan Terbatas, serta karenanya mencabut semua keistimewaan yang selama ini dinikmati oleh PERTAMINA. Sehingga PERTAMINA, setelah menjadi Persero, diperlakukan sama dengan kontraktor lain dengan mewajibkannya melakukan Kontrak Kerja Sama dengan pihak BP Migas agar bisa melanjutkan terus kegiatan eksplorasi dan eksploitasinya di area pertambangan bekas PERTAMINA.

Apakah dengan demikian kemandirian bangsa bisa terwujud? Nampaknya Indonesia menghadapi kenyataan lain. Dengan menyerahkan Kuasa Pertambangan kepada Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap atau para kontraktor KPS, maka kontrol atas cadangan dan produksi minyak mentah Indonesia tidak lagi kuat di tangan negara Indonesia. Hal ini disebabkan karena Negara Indonesia tidak lagi mempunyai badan di lapangan yang mengerti betul lika-liku bisnis minyak dan gas, yang dulu tugas itu dipegang oleh PERTAMINA. Kebijakan apa pun yang akan dikeluarkan oleh pemerintah dalam bidang minyak dan gas, terutama di sektor hulu, mau tidak mau harus mempertimbangkan terlebih dahulu kepentingan para kontraktor KPS ini, kalau tidak mau diseret ke badan peradilan atau arbitrase.

Di sisi yang lain, terlihat bahwa sampai tahun 2006 ini, 85,4% dari 137 peserta KPS/KKS adalah perusahaan asing, sementara sisanya adalah perusahaan nasional.[18] Hanya ada 20 perusahaan nasional yang mengelola lapangan minyak dan gas di Indonesia, itupun hanya 10 perusahaan yang berproduksi. Kita juga melihat dari setiap bukaan tender ataupun bukaan penunjukan langsung untuk mengelola blok-blok minyak selalu didominasi oleh perusahaan asing.

[16] Pasal 6 UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas
[17] Seyanto P. Santosa, “Qua Vadis Pengelolaan Migas Nasional”, Kamis, 30 Desember 2004. Diambil dari http:/kolom.pacific.net.id
[18] Tribun kaltim, op cit,

Benteng Rakyat Mulai Runtuh?
Dari sekilas perjalanan kebijakan minyak dan gas di Indonesia ini, terlihat ada yang mundur dari semangat bangsa ini dalam melihat kedudukan strategis minyak dan gas. Dulu, di dekade 1950 dan 1960-an, pemerintah Indonesia menghadapi persoalan yang sama: kokoknya kekuatan asing dalam pertambangan minyak dan gas. Tetapi hal itu tidak menyurutkan semangat pemerintah waktu itu untuk melahirkan berbagai kebijakan dan peraturan hukum yang lebih berpihak pada kepentingan rakyat dan dalam negeri Indonesia yang terlihat dari semangat untuk menguasai sekaligus memiliki minyak mentah [yang berarti “barang mentahnya”] oleh kalangan nasional Indonesia.

Kini, 40 tahun setelah itu, struktur penguasaan pertambangan minyak sebenarnya masih saja sama, dengan kontraktor asing yang tetap kuat. Masalahnya adalah pemerintah – atau bangsa ini? – malah mengeluarkan kebijakan di sektor minyak yang dibalik kata-kata indah dan penuh retorika dalam peraturan-peraturan yang dibuatnya, dalam UU migas misalnya, tetapi dibaliknya nampak seperti “menyerah” atau membiarkan struktur penguasaaan dan pengusahaan minyak dan bumi itu tetap dikuasai oleh asing. Pemerintah dan Negara Indonesia nampaknya hanya cukup puas dengan “pendapatan” yang berarti “uang” yang didapat dari minyaknya dan tidak lagi mempedulikan “barang mentahnya”.

Memang benar UU Migas ini bertujuan, salah satunya, untuk mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing. Untuk itu, badan usaha atau bentuk usaha tetap harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang, jasa dan kemampuan rekayasa serta rancang bangun dalam negeri [pasal 40 ayat [4]], yang pelaksanaannya nampak dalam isi Kontrak Kerja Sama [Pasal 11 ayat [3]]. Tetapi tidak ada kebijakan baru yang nyata dan ditujukan agar penguasaan negara dan nasional atas sumber daya alam itu menjadi kenyataan, entah lewat perubahan sistem ekonomi perminyakan Indonesia, atau perubahan kontrak perminyakan yang menunjukan pemihakan yang jelas pada kepentingan rakyat dan industri dalam negeri. Pemihakan ini nampak jelas ada di dalam UU No 44 Prp 1960 dan peraturan-peraturan lainnya seperti UU No. 13 dan No 14 Tahun 1963.

Penulis melihat bahwa UU Migas yang pekat nuansa liberalisasi dan privatisasinya ini tidak lahir di saat yang tepat. UU migas ini lahir justru di saat penguasaan asing pada struktur ekonomi perminyakan asing masih sangat kuat. Perubahan terhadap struktur tersebut telah dicanangkan empat dekade yang lalu, namun tidak terlaksana karena sistem “antara” berupa sistem KPS malah dianggap sebagai “tujuan” sebenarnya dari kebijakan nasional minyak dan gas Indonesia [selain karena adanya manajemen dana bagi hasil yang buruk dan korup, yang berujung pada pertanyaan kemana perginya uang dana bagi hasil itu dan tata ekonomi internasional yang hendak melemahkan posisi negara-negara penghasil minyak]. 

Belum lagi kepentingan migas nasional terlindungi dengan baik, sudah lahir kebijakan yang menggiring Indonesia memasuki mekanisme pasar bebas, melemahkan struktur pendukung kepentingan minyak nasional, seperti PERTAMINA, yang berdasarkan UU Migas harus berubah jadi Perseroan Terbatas yang ditetapkan dengan PP, harus dipecah-pecah karena UU Migas melarang badan usaha yang bergerak di sektor hulu migas juga berusaha di sektor hilirnya, dan sebaliknya, serta membuat struktur baru perminyakan nasional yang keliru, karena tidak membuat batasan yang jelas antara administrasi negara dengan administrasi usaha dan terlalu berpihak pada kepentingan pasar bebas. Struktur pendukung seperti PERTAMINA yang kuat ini justru diperlukan untuk mempermudah masuknya kepentingan nasional.

Betapa terbatasnya posisi pemerintah dalam membuat kebijakan dalam sektor minyak dan gas itu bisa dilihat dari dokumen Rencana Umum Perminyakan dan Pergasbumian Nasional [RUPPN] 2006 – 2007, yang dikeluarkan oleh Menteri ESDM. Dalam bagian Sasaran dokumen RUPPN itu disebutkan bahwa kebijakan perminyakan dan pergasbumian disasarkan untuk mempertahankan tingkat produksi minyak mentah sekitar 1 juta barel per hari sampai tahun 2025; operatorship 50% oleh perusahaan nasional pada tahun 2025, penggunaan barang dan jasa nasional sebesar 91% pada tahun 2025; penggunaan SDM nasional sebesar 96% pada tahun 2025. Ironisnya adalah bahwa ada keterangan di bawahnya: angka prosentase perlu disepakati bersama oleh stakeholder. Tentu saja yang termasuk dalam stakeholder ini juga termasuk kontraktor nasional. Hanya saja mengingat kontraktor asing lebih dominan dalam sektor hulu minyak dan gas, dengan kata lain merekalah yang sebenarnya mengontrol cadangan dan produksi minyak dan gas, maka tentu saja pemerintah juga harus memberikan insentif agar mereka ikut dalam kebijakan ini.

Di saat di mana hampir dikatakan tidak ada perusahaan nasional yang kuat dalam usaha pertambangan di Indonesia, posisi kontraktor asing malah menguat dalam posisi tawarnya setelah terlihat bahwa cadangan minyak Indonesia diakhir tahun 2005 yang hanya 0,4%-nya dari cadangan minyak dunia,[19] yang memaksa Indonesia harus membuat kebijakan investasi yang lebih menarik lagi bagi kontraktor asing [karena Indonesia harus bersaing dengan sekitar 130 negara-negara penghasil energi lainnya, yang dalam beberapa hal memberikan kebijakan investasi yang lebih menarik seperti porsi bagi hasil yang lebih menguntungkan kontraktor asing serta cadangan minyak yang lebih banyak, seperti yang sekarang diberikan oleh negara-negara Afrika]. Dengan lain kata, sudah cadangannya sedikit, tetapi ketergantungannya pada asing juga tetap tinggi seperti dulu serta kebutuhan dalam negeri akan energi juga terus naik. Pilihan yang dilakukan oleh pemerintah sekarang: liberalisasi, dengan membuang barrier to entry, bagi kontraktor asing yang mau berusaha di sektor hulu, dan berusaha jadi “pelayan” yang baik.

[19] Lihat: BP Statistical Review of World Energy June 2006. diambil dari http://www.bp.com/statisticalreview

Apa yang Bisa Dilakukan?
Penulis melihat beberapa hal yang bisa dilakukan oleh Indonesia:
A. jika memang kemandirian bangsa dalam mengelola minyak dan gas sudah tidak lagi menjadi cita-cita, maka, setidaknya demi untuk tetap berada di rel Pasal 33 UUD 1945, Indonesia perlu membuat suatu kebijakan yang intinya mengatur bagaimana keberadaan kontraktor asing yang dominan itu tidak menyulitkan posisi negara dalam mengatur minyak dan gasnya. Kebijakan yang mengarah ke nasionalisasi aset dihilangkan dan diganti dengan kebijakan investasi yang lebih menarik bagi mereka dengan penegakan hukum yang tegas. Dan Indonesia hanya menarik mineral rent dari kegiatan mereka. Selain itu perlu juga perbaikan pada sistem manajemen pengelolaan dana bagi hasil, sehingga dana tersebut benar-benar berguna sebagaimana diharapkan.
B. Sebaliknya, jika kemandirian bangsa tetap menjadi cita-cita, ada beberapa hal yang bisa dilakukan:

1. Meninjau kembali UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas, bisa dilakukan dengan mencabutnya dan diganti dengan UU migas baru yang lebih memihak kepentingan nasional [bukan hanya tampak dari sisi penerimaan negara yang lebih besar akibat split bagi hasil yang menguntungkan negara, tetapi juga penguasaan pada “barang mentahnya” yakni minyak]; atau kalau tidak dicabut, bisa dilakukan dengan melakukan amandemen terhadap beberapa pasal yang dipandang tidak sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945, seperti masalah pengertian Kuasa Pertambangan.

2. Meninjau dan mengamandemen isi KPS masa depan dengan, contohnya, menaikan persentase interest perusahaan nasional dalam kegiatan kontraktor KPS asing atau mengharuskan adanya pekerja lokal dalam posisi-posisi jabatan strategis di perusahaan kontraktor asing. Atau dalam hal perpanjangan kontrak, pemerintah harus menegaskan dan itu ada ditulis dalam KPS, perubahan syarat dan kondisi yang lebih menguntungkan negara. Kalau perubahan itu tidak tercapai, pemerintah harus berani untuk memutuskan kontrak dan pada saat yang bersamaan menyerahkannya pada perusahaan negara atau nasional yang mampu mengelola.

3. Mempertimbangkan penganekaragaman sistem kontrak-kontrak perminyakan yang berlaku di dunia. Termasuk Sistem Kontrak Jasa [Technical Services Agreement], yang dilakukan oleh hampir semua negara Timur Tengah. Dalam sistem kontrak jasa ini, posisi kontraktor hanya menjalankan suatu kegiatan tertentu dengan jangka waktu tertentu dan atas jasanya itu dibayar oleh negara. Atau juga sistem Buyback Agreement, seperti yang dilakukan oleh negara Iran.

4. Mengingat bahwa dalam kenyataannya, perimbangan kekuasaaan antara negara dengan perusahaan minyak terletak pada detil hukum dalam setiap kontrak, dan bukan pada sistem kontrak apa yang dipakai, maka nampaknya pemerintah perlu membuat aturan-aturan pokok baru bagi isi kontrak yang ada yang lebih memihak pada kepentingan energi nasional dan memberi jalan lebih luas bagi keikutsertaan perusahaan nasional dalam industri migas di Indonesia. Selain itu pemerintah perlu juga membuat tim khusus negosiasi dalam setiap sesi-sesi negosiasi kontrak minyak dengan perusahaan, sehingga isi dari kontrak itu bisa benar-benar menguntungkan dalam negeri Indonesia.

5. Perlu juga segera disahkan perundang-undangan energi nasional, yang isinya tidak hanya membahas energi fosil seperti minyak, gas, atau batu bara, tetapi juga mengatur sumber energi tak terbarukan lain seperti angin, panas bumi dan sinar matahari dan integrasinya dengan infrastruktur energi fosil yang ada.

Daftar Bacaan
BP p.l.c. Quantifying Energy:BP Statistical Review of World Energy June 2006. BP p.l.c. 2006. Diambil dari http://www.bp.com/statisticalreview
Bindenman, Kirsten. Production-Sharing Agreements: An Economics Analysis. Oxford Institute for Energy Studies, October 1999.
Chairil, Ryad. RUU Pertambangan: Ijin Usaha VS Kuasa Pertambangan. diambil dari http://www.minergy.com
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Rencana Umum Perminyakan dan Pergasbumian Nasional 2006 – 2025. Jakarta, September 2006
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEUI. Provisi Terhadap Ulasan Isu-Isu Non-Teknis Kalimantan Timur. Jakarta, 2005
Muttitt, Greg. Production Sharing Contract Agreements: Oil Privatisations by Another Name? Diambil dari http://www.carbonweb.org
Pane, S. Zuhdi.The Indonesian Oil & Gas Industry. Disampaikan dalam FGD JATAM, “Mencari Format Kontrak Migas yang Menjamin Kebutuhan Domestik, 22 Desember 2005
Santosa, Seyanto P. Qua Vadis Pengelolaan Migas Nasional, Kamis, 30 Desember 2004. Diambil dari http:/kolom.pacific.net.id
Simamora,Rudi M. Hukum Minyak dan Gas Bumi, Jakarta: Djambatan, 2000
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No 68 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda
Undang-Undang No 10 Tahun 1959 tentang Pembatalan Hak-Hak Pertambangan
Undang-Undang No 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara
Undang-Undang No 44 prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
Undang-Undang No. 15 Tahun 1962 tentang Penetapan Perpu No 2 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak memenuhi kebutuhan dalam negeri
Undang-Undang No 13 Tahun 1963 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 4 tahun 1962 Tentang Pengesahan “Perjanjian Karya” Antara Perusahaan Negara Pertamina dengan Pan American Indonesia oil Company untuk diri sendiri dan Atas Nama Pan American International Oil Corporation
Undang-Undang No 14 Tahun 1963 tentang Pengesahan “Perjanjian Karya” Antara P.N. Pertamina dengan PT Caltex Indonesia dan California Asiatic oil Company (CALASIATIC) Texaco Overseas Petroleum Company (TOPCO); PN Permina dengan PT Stanvac Indonesia, PN Permigan dengan PT Shell Indonesia
Undang-Undang No 9 tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara
Undang-Undang No 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara
Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 1963 tentang Penetapan Tenggang Waktu Peralihan Pelaksanaan Usaha Pertambangan Minyak dan Gas Bumi oleh Perusahaan-Perusahaan Bukan Perusahaan Negara
Peraturan Pemerintah No 35 Tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi
Peraturan Pemerintah No 42 tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan gas Bumi
Keputusan Presiden No 476 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan-peraturan yang Berlaku Terhadap perusahaan-perusahaan Minyak Asing Shell, Stanvc dan Caltex Dalam waktu Peralihan
Koran/Majalah
Tribun Kaltim, 85 Persen Tambang Migas di Kuasai Asing, 24 September 2006
https://geopolitikenergi.wordpress.com/

Link:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.