Geopolitik Energi
November 11, 2012
QUO VADIS KEMANDIRIAN BANGSA DALAM BIDANG ENERGI
Filed under: BP MIgas,BP Migas bubar,Imperialism,Keputusan MK,minyak,Minyak dan gas — geopolitikenergi @ 5:58 pm
Tags: Ali Mochtar Ngabalin, Amidhan, BP Migas Bubar, detik.com, Din Syamsudddin, Energi, energy, Fahmi Idris, gas, geopolitik, Geopolitik minyak, Geostrategi, Hasyim Muzadi, Imperialism, Keputusan MK, Mahfud MD, minyak, Minyak dan gas, National Oil Companies, Pertamina, Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005, Putusan MK Nomor 11/PUU-V/2007, Sumber daya alam, Suplai minyak, Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan ga, UU 22/2001 tentang Migas
QUO VADIS Kemandirian Bangsa Dalam Bidang Energi
Mumu Muhajir
(mumu.muhajir@yahoo.co.id)
Balikpapan, 5 Desember 2006
Apa arti kemandirian?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Balai Pustaka,
mandiri berarti keadaan dapat berdiri sendiri; tidak bergantung pada
orang lain. Sementara kemandirian berarti hal atau keadaan dapat berdiri
sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Jika dikaitkan dengan judul
di atas berarti keadaan di mana suatu bangsa bisa berdiri sendiri dalam
hal kebutuhan energinya tanpa bergantung pada bangsa lain.
Isu tentang kemandirian bangsa dalam bidang energi ini mencuat
kembali akhir-akhir ini ketika muncul beberapa berita di media massa
yang menunjukan bahwa dalam sektor energi, terutama sektor hulu migas
[eksplorasi dan eksploitasi migas], hampir seluruhnya dikuasai oleh pihak asing.[1]
Penguasaan itu tidak hanya terjadi pada lapangan migas yang sedang
dikerjakan tetapi juga pada penguasaan cadangan energi yang ada di
Indonesia. Beberapa pihak sangat mengkhawatirkan keadaan ini dan
mengharapkan pemerintah melakukan tindakan cepat dan tegas untuk
menyelesaikan permasalahan ini, termasuk dengan mengajukan pilihan
nasionalisasi sektor energi.
Tetapi ada juga beberapa pihak yang merasa bahwa hal itu adalah
hal yang wajar ditengah ketidakmampuan bangsa dalam mengusahakan sendiri
kebutuhan energinya. Para pihak ini, termasuk di dalamnya adalah
pernyataan dari beberapa pejabat Departemen ESDM, berpendapat bahwa
janganlah dilihat siapa-nya tapi lihat apa yang diperbuatnya; bahwa
tidak ada masalah pihak asing menjadi dominan dalam usaha pertambangan
migas asalkan bisa tunduk dalam koridor hukum dan kebijakan Negara
Indonesia; atau bahwa ada yang berpendapat lebih lugas : siapapun, baik
nasional ataupun asing, akan diterima dengan tangan terbuka asalkan
menguntungkan negara Indonesia.
Tanpa bermaksud untuk memihak, penulis akan mencoba memaparkan
bagaimana sebenarnya bangsa Indonesia melihat kekayaan minyak dan gas
buminya dan umumnya kekayaan sumber daya alam lainnya, pilihan apa yang
tersedia dan dikerjakan oleh bangsa ini ? Penulis akan mencoba
membongkarnya dari sisi peraturan-peraturan hukum yang pernah dan sedang
berlaku yang mengatur mengenai pengelolaan kekayaan minyak dan gas bumi
di Indonesia.
[1] Baca misalnya “85 Persen Tambang Migas di Kuasai Asing”, Tribun Kaltim, 24 September 2006.
Masalah Konstitusi?
Mau tidak mau kita akan memalingkan muka pada naskah UUD 1945, yang
menjadi dasar dan pembeda Indonesia antara sebelum dan setelah
kemerdekaan. Pasal 33 [3] menyatakan bahwa bangsa Indonesia menguasai
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia. Yang tetap menjadi masalah di sini adalah pengertian dikuasai negara yang dibenturkan dengan pengertian dimiliki negara.
Pengertian menguasai tidaklah sama dengan pengertian dimiliki. UU No 5 Tahun 1960 menegaskan perbedaan antara menguasai dan memiliki.[2]
Dalam sistem hukum modern, yang notabene berasal dari cara pikir Barat,
kepemilikan atas sesuatu merupakan konsep yang dianggap suci dan paling
kuat. Dari konsep milik inilah muncul hak-hak derivatif lainnya seperti
penggunaan objek hak milik dan pemberian ijin. Di sisi yang lain konsep
penguasaan tidaklah mengindikasikan seseorang atau institusi mempunyai
hubungan absolut dengan apa yang dikuasainya, seperti halnya konsep
kepemilikan. Penguasa terhadap sesuatu belum tentu pemilik dari sesuatu
itu. Sehingga ketika ada amandemen UUD 1945, ada banyak pihak yang lebih
cenderung untuk memakai kata “dimiliki” daripada “dikuasai” yang lebih
kabur.[3]
Dalam UU No 44 Prp Tahun 1960, pengertian menguasailah yang dipakai, sehingga semua minyak dan gas yang belum, sedang dan akan diproduksi dikuasai oleh negara. Para pelaku usaha hanya memiliki migas pada saat di ujung bor. Begitu juga dalam UU No 11 Tahun 1967, pengertian menguasai, dan bukan memiliki yang
dipakai, walaupun ada beberapa pihak yang berpendapat bahwa
kata-kata…”Negara menguasai semua bahan galian dengan
sepenuh-penuhnya…”, sebagaimana tercantum dalam Penjelasan pokok-pokok
persoalan, dianggap sama dengan negara memiliki.
Bisa juga dipahami kenapa pilihan menguasai yang dipakai oleh bangsa
Indonesia. Salah satunya adalah jika kepemilikan yang dipakai, maka
begitu ada ijin, kepemilikan atas kekayaan sumber daya alam itu
berpindah, dan begitu juga apabila si penerima ijin itu mematuhi dan
membayar semua kewajibannya sebagaimana ditentukan oleh peraturan hukum.
Sementara dengan pengertian menguasai, cadangan minyak dan gas bumi
yang belum dieksploitasi tidak menjadi milik kontraktor.
Namun UU No 22 Tahun 2001, yang menggantikan, salah satunya, UU No
44 Prp tahun 1960, membuat terobosan atas kekaburan istilah itu, dengan
menegaskan bahwa pemerintah adalah pemilik dari migas yang diambil
sampai pada titik penyerahan. Dengan demikian, pemerintah mempunyai
hak untuk mengatur, memelihara dan mempergunakan kekayaan alam itu.
Dengan kata lain, pemerintah mempunyai hak yang kuat untuk memberikan
ijin atau membuat perjanjian dengan pihak lain untuk mengelola kekayaan
migasnya itu.
Apapun itu, UUD 1945 telah menetapkan bahwa Negara Indonesia
adalah penguasa dari kekayaan alam yang ada di bumi dan air di wilayah
Indonesia [Negara Indonesia sebagai pemegang “Mineral Right”].
Kewenangan negara untuk menguasai itu meliputi penguasaan yang bisa
berupa usaha-usaha untuk mengatur, memelihara dan menggunakan bahan
galian minyak dan gas itu dengan sebaik-baiknya. Tapi walaupun demikian
negara tidaklah menyalahi jika dalam pelaksanaan dari hak penguasaan itu
menyerahkannya pada pihak lain. Permasalahannya kemudian adalah
bagaimana penyerahan itu dilakukan?
[2]
Lihat Pasal 2 [2] serta memori penjelasan II/2, yang menegaskan bahwa
pengertian dikuasai dalam Pasal 2, tidaklah sama dengan memiliki.
Pemakaian kata “menguasai” di atas ditujukan memberikan kewenangan
kepada Negara sebagai organisasi kekuasaaan dari bangsa Indonesia.
[3] Lihat, misalnya, Ryad Chairil, “RUU Pertambangan: Ijin Usaha VS Kuasa Pertambangan,” diambil dari http://www.minergy.com
Penyerahan Pelaksanaan Hak Penguasaan Negara kepada Pihak Lain
Sistem yang lazim dipakai oleh negara-negara dunia, yang menganut
sistem negara memiliki semua cadangan kekayaan alam yang terkandung di
wilayahnya, dalam memperlakukan kekayaan sumber daya alamnya, terutama
sektor energinya secara garis besar terdiri dari tiga sistem: pertama adalah negara mengusahakan sendiri kekayaan sumber daya energinya. Kedua,
sistem konsesi, di mana negara melepaskan kepemilikan atas cadangan
sumber daya energinya kepada suatu perusahaan yang telah mendapatkan
ijin darinya dan telah memenuhi kewajiban-kewajibannya. Ketiga, sistem
kontrak bagi hasil. Dalam hal ini negara adalah tetap pemilik dari
cadangan energi, namun dalam pengusahaannya diberikan kepada
perusahaan/institusi lain yang bekerja atas dasar kontrak.[4]
Pada awalnya, sebagaimana negara-negara yang baru merdeka, semangat
untuk menolak segala hal yang berbau asing dan mengerjakan semuanya atas
nama bangsa sendiri sangatlah melupa-luap. Dalam masa antara tahun 1951
– 1959, pada saat pemerintahan jatuh bangun, isu ini kerap kali
diketengahkan. Hasilnya adalah pada tahun 1958, pemerintah mengeluarkan
Program Banteng yang intinya adalah menasionalisasikan semua aset
perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia[5].
Namun sayangnya hanya perusahaan minyak kecil yang berhasil
dinasionalisasikan seperti NV NIAM [perusahaan yang terbentuk atas
kongsi pemerintah Hindia Belanda dengan Shell] yang dirubah jadi PT
PERMINDO, kemudian jadi PN PERTAMIN, sementara Shell-nya sendiri bisa
lepas dari proses ini.
Barulah di tahun 1960, Pemerintah Indonesia sekaligus mengeluarkan
dua Perpu, yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang UU No 37
Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Umum serta UU No 44 Prp Tahun 1960
Tentang Pertambangan Minyak dan Gas. Bagi beberapa pihak, kedua UU ini
adalah wujud dari usaha bangsa Indonesia untuk berdiri di kaki sendiri
dan menata pengelolaan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi dan
air wilayah Indonesia untuk seterusnya dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat Indonesia.
Di dalam kedua Perpu itu, semangat untuk mengusahakan sendiri
kekayaan alam yang ada terlihat sangat menggebu-gebu. Tapi ada perbedaan
yang cukup signifikan, salah satunya adalah dalam hal memperlakukan
objek peraturannya. Dalam Perpu pertambangan Migas, disebutkan bahwa
kekayaan minyak dan gas seluruhnya dikuasai oleh negara dan
pengusahaannya juga dilakukan oleh negara yang dalam pelaksanaannya
hanya dilakukan oleh perusahaan negara [kuasa pertambangan hanya
dipegang oleh perusahaan negara di bidang minyak dan gas]. Sementara
dalam Perpu pertambangan umum, kuasa pertambangan itu bisa dilakukan
oleh badan atau perseorangan.
Setidaknya ada empat alasan kenapa waktu bangsa indonesia
memperlakukan minyak dan gas bumi berbeda dengan bahan-bahan galian
lainnya. Pertama bahwa minyak dan gas bumi itu mempunyai peran yang
lebih penting dalm pembangunan masyarakat adil dan makmur dibandingkan
dengan bahan-bahan galian lain. Kedua, produksi migas itu merupakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiga, minyak dan gas mempunyai arti penting bagi pertahanan nasional. Keempat, bahwa persoalan mengenai migas mengandung aspek-spek internasional.
Melihat posisi minyak dan gas yang strategis itu, maka penyerahan
kewenangan untuk mengusahakan penambangannya hanya diberikan kepada
perusahaan negara [sebagai pemegang “Mining Right” atau pemegang Kuasa Pertambangan].[6]
Penyerahan kepada semata perusahaan negara untuk melaksanakan
pengusahaan penambangan bahan galian minyak dan gas itu dipandang bisa
menjamin hubungan antara bangsa Indonesia dengan wilayahnya yang abadi
itu serta kedudukan negara Indonesia sebagai penguasa atas kekayaan alam
tersebut. Selain itu dengan hanya diusahakan oleh perusahaan negara
dapatlah terjamin kemanfaatan bahan galian itu bagi penyusunan
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur dan pembangunan negara
Indonesia yang kuat dan jaya.
Dengan ciri-ciri modal yang seluruhnya
merupakan kekayaan negara dan modal tersebut tidak dibagi-bagi dalam
bentuk saham serta tujuan utama didirikannya adalah untuk turut serta
dalam membangun ekonomi nasional sesuai dengan ekonomi terpimpin dengan
mengutamakan kebutuhan rakyat dan ketenteraman serta kesenangan kerja
dalam perusahaan, menuju masyarakat yang adil dan makmur meteriil dan
spiritual, maka jaminan itu terasa kuat[7].
[4] Lihat Greg Muttitt, “Production Sharing Contract Agreements: Oil Privatisations by Another Name?” Diambil dari http://www.carbonweb.org
[5] ditetapkan dalam UU No 68 tahun 1958 tentang Nasionalisasi perusahaan Belanda
[6] Lihat Pasal 1 huruf h jo to Pasal 3 [2] UU No 44 prp Tahun 1960.
[7] Pasal 4(2) UU No 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara
Tekanan Perusahaan Asing Terhadap Kebijakan Baru Migas
Tetapi Indonesia menghadapi pertarungan di tingkat internasional
dalam hal perebutan sumber energi. Pada dekade 50-an dan 60-an, politik
dunia internasional terbelah dalam dua kubu besar: Nato dan Pacta
Warsawa; Blok Barat dan Blok Timur; Dunia Pertama dan Dunia Kedua, yang
berpengaruh besar pada pengambilan arah dan keputusan kebijakan yang
dilakukan oleh Indonesia yang waktu itu sedang mengarak gerakan
Non-Blok. Di sisi yang lain peristiwa “London Smog 1957” telah lebih
menyadarkan banyak pihak akan perlunya mengganti sumber energi [bagi
transportasi dan pabrik-pabrik] yang bertumpu pada batu bara ke sumber
energi yang lebih tidak berasap, alternatifnya adalah minyak bumi dan
gas. Karena di dalam negeri mereka sendiri cadangan minyak-nya mulai
menipis, maka terjadilah proses pencarian besar-besaran akan sumber
cadangan minyak dan gas ke luar negeri. Proses ini dipandang juga
sebagai perkembangan lebih lanjut dari Revolusi Industri yang lebih
bertumpu pada batu bara.
Karenanya ketika ada perubahan kebijakan nasional dengan
diundangkan UU No. 44 Prp tahun 1960, terutama dalam hal hanya
perusahaan negara yang memegang “Mining Right”, tentangannya
sangatlah keras dari perusahaan-perusahaan besar minyak, yang notabene
tinggal 3 perusahaan: Stanvac, Shell dan Caltex. Dengan hanya perusahaan negara yang memegang mining right
atau kuasa pertambangan, maka kuasa pertambangan yang dipunyai
perusahaan minyak besar itu yang didapatkan dari sistem konsesi sejak
zaman kolonial Hindia Belanda berdasarkan Indische Mijnwet[8],
tidak lagi berlaku. Padahal dengan sistem konsesi itu, perusahaan
minyak sangatlah beruntung; karena menjadi pemilik dari cadangan energi
yang ada di wilayah konsesinya. Kedudukan mereka, jika mengikuti aturan
dalam UU No. 44 Prp 1960 adalah berlaku sebagai kontraktor bagi
perusahaan negara.
Keberadaan kontraktor ini, disisi yang lain, sangatlah penting bagi
perusahaan negara, karena usaha pertambangan minyak membutuhkan modal
finansial yang besar, teknologi yang tinggi, sumber daya manusia yang
mumpuni serta resiko usaha yang besar, yang kesemuanya itu belum
dimiliki oleh perusahaan negara pemegang kuasa pertambangan minyak dan
gas. Kontraktor itu bekerja atas suatu kontrak, yang bernama perjanjian
karya, yang ditandatanginya dengan suatu perusahaan negara. Perjanjian
karya ini baru berlaku setelah disahkan dengan Undang-undang.
Dalam aturan peralihan UU No 44 Prp Tahun 1960 disebutkan bahwa bagi
perusahaan bukan negara yang mendapatkan kuasa pertambangan berdasarkan
aturan sebelum UU No 44 Prp Tahun 1960 ini dibuat, diberi kesempatan
untuk melakukan penyesuaian dan tetap bekerja sampai tenggat waktu yang
ditetapkan oleh pemerintah. Pada waktu penyesuaian itulah pemerintah
melakukan negosiasi lagi dengan mereka untuk menghasilkan suatu
perjanjian yang lebih menguntungkan bagi negara.
Tentu saja tiga perusahaan itu menolak. Dalam perundingan yang
pertama pada tanggal 22 – 27 Agustus 1961, kedua belah pihak tidak
menghasilkan persetujuan tentang pelaksanaan usaha pertambangan minyak
dan gas. Keadaan ini memaksa pemerintah mengeluarkan Keppres No 476
tahun 1961 yang ditetapkan pada tanggal 28 Agustus 1961, yang isinya
berupa penetapan peraturan-peraturan tertentu bagi ketiga perusahaan itu
dalam masa peralihan. Peraturan yang dikenakan itu antara lain bahwa
perusahaan asing diharuskan memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri
atas dasar perbandingan persentase dari produksi minyak mentahnya,[9] serta pembagian hasil antara pemerintah dan perusahaan asing tersebut berdasarkan persentase 60:40.
Secara garis besar ada 4 hal yang diminta pemerintah pada
perusahaan-perusahaan asing tersebut berkenaan dengan perubahan
kebijakan baru dalam pertambangan minyak dan gas: pertama, pola
pembagian hasilnya adalah 60:40 dari keuntungan bersih, dengan bagian
terbesar ada di tangan pemerintah. Kedua, hasil bagi negara tersebut
menjadi sumber yang nyata bagi pelaksanaan pembangunan. Ketiga, ada
kontrol yang efisien dalam rangka pengusahaan pertambangan, baik yang
dilakukan oleh perusahaan negara maupun kontraktor yang bekerja untuk
perusahaan negara. Keempat, bahwa dengan adanya perjanjian itu harus
membuka kesempatan bagi perusahaan negara agar bisa melaksanakan sendiri
kegiatan-kegiatan tertentu, sehingga dalam jangka waktu yang tidak
lama, perusahaan negara bisa melaksanakan sendiri kegiatan usaha
pertambangan tanpa bantuan kontraktor.[10]
Kenyataannya adalah, walaupun secara prinsip perusahaan-perusahaan
menerima kedudukan barunya sebagai kontraktor serta setuju atas pola
pembagian hasil yang 60:40 itu, di lapangan masih banyak hal yang belum
dilaksanakan dengan sebenarnya. Kemudian ada perundingan selanjutnya
yang dilaksanakan pada awal tahun 1963 – dan tetap tidak menghasilkan
persetujuan yang signifikan. Melihat keadaan itu pemerintah mengeluarkan
PP No 18 Tahun 1963 tentang Penetapan Tenggang Waktu Peralihan
Pelaksanaan Usaha Pertambangan Minyak dan Gas Bumi oleh
Perusahaan-perusahaan Bukan Perusahaan Negara. Dalam PP ini ditetapkan
bahwa tenggang waktu peralihan sebagaimana diminta dalam UU No. 44 Prp
tahun 1960 akan berakhir pada tanggal 15 Juni 1963 jam 24.00 waktu Jawa.
Bagi perusahaan yang gagal mencapai kata kesepakatan setelah tanggal 15
Juni 1963 akan berlaku dua hal: dilikuidasi sesuai dengan peraturan
yang berlaku yang dimulai pada tanggal 16 Juni 1963 atau bekerja terus
berdasarkan peraturan-peraturan baru yang akan ditetapkan secara sepihak
oleh pemerintah yang dimulai pada tanggal 16 Juni 1963.
Sikap keras pemerintah ini dilakukan karena pemerintah tidak bisa
lagi menerima tentangan dari perusahaan asing itu yang dianggap bebal
dan tidak mengerti kehendak politik baru dalam pengusahaan pertambangan
minyak dan gas di Indonesia; dan pemerintah tidak mau berunding lagi
jika tidak ada jaminan-jaminan yang diperlukan seperti ketundukan
perusahaan asing atas ketentuan dalam Keppres 476 tahun 1961[11] serta politik baru dalam dalam pertambangan minyak dan gas, yang antara lain terdiri dari: [1] memajukan kemakmuran nasional dengan cara memperluas pasaran di luar negeri dan atau menemukan cadangan-cadangan baru; [2] mendirikan/memajukan industri dalam negeri tanpa fasilitas istimewa;[3] memberikan
pelatihan bagi tenaga kerja Indonesia dan atau memberinya kesempatan
menempati posisi yang penting dan strategis di perusahaan; [4] membantu pemerintah dalam menambah devisa negara.
Menjelang tenggat waktu berakhir, terjadilah perundingan di Tokyo,
yang difasilitasi oleh Robert F. Kennedy, adik presiden Amerika Serikat
waktu itu, John F Kennedy. Perundingan di Tokyo ini menghasilkan Tokyo
Heads of Agreement 1 Juni 1963 atau Pokok-pokok Perjanjian Tokyo. Isi
dari Kesepakatan Tokyo dalam urusan minyak ini kemudian disempurnakan
lagi di Jakarta dan baru selesai pada tanggal 23 September 1963. Isi
dalam Perjanjian Tokyo ini sebagian besar mengikuti garis kebijakan
pemerintah waktu itu, sementara dari sisi 3 perusahaan besar itu hanya
meminta jaminan tidak akan ada nasionalisasi pada aset-aset yang
dimilikinya.
Sebagaimana disebutkan dalam UU No 44 Prp tahun 1960, bahwa untuk
urusan isi dari perjanjian karya antara pemerintah, dalam hal ini
diwakili oleh perusahaan negara, dengan kontraktor diserahkan pada
masing-masing pihak[12].
Pemerintah hanya memberikan pokok-pokoknya saja yang tampak dalam
Keppres 476 tahun 1961 atau dalam kebijakan politik baru pertambangan
yang berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 serta arahan-arahan politik
minyak lainnya. Dengan demikian apa yang dicapai dalam Tokyo Heads of Agreement
di atas menjadi pokok-pokok yang kemudian dijabarkan dalam kesepakatan.
Kesepakatan ini, yang dinamakan “perjanjian karya” baru akan berjalan
setelah disahkan dengan Undang-undang.
Akhirnya tercapailah kesepakatan itu yang kemudian dituangkan dalam
UU NO 14 Tahun 1963 tentang Pengesahan “perjanjian karya” antara PN
Pertamina dengan PT. Caltex Indonesia dan California Asiatic Oil Company [CALASIATIC], Texaco Overseas Petroleum Company
[Topco]; PN Permina dengan PT Stanvac Indonesia; PN Permigan dengan PT
Shell Indonesia. Sekedar informasi, bahwa sebenarnya pemerintah
Indonesia telah berhasil melakukan perjanjian karya dengan perusahaan
minyak lain, yakni Pan American Indonesia Oil Company, anak Perusahaan dari Pan American International Oil Company,
yang telah ditetapkan dengan Perpu No. 4 Tahun 1962. Nampaknya
perjanjian karya dengan Pan American ini dijadikan senjata bagi
pemerintah untuk menekan tiga perusahaan minyak besar tersebut untuk
ikut serta dalam kebijakan, sistem dan kontrak baru pertambangan minyak
di Indonesia.[13]
Terbukti bahwa Perpu No 4 tahun 1962 itu baru disahkan menjadi
Undang-undang [UU No 13 tahun 1963] pada tanggal 28 November 1963,
tanggal yang sama perjanjian karya dengan tiga perusahaan besar itu
disahkan dengan Undang-undang.
Sekelumit sejarah di atas menunjukan bahwa pemerintah Indonesia waktu
itu sangat serius dengan usahanya untuk menguasai kekayaan alamnya
secara sejati dan mandiri demi untuk kemajuan dan kemakmuan rakyatnya.
Ketergantungan pada pihak asing, disamping menyulitkan posisi negara
indonesia dalam mengatur, memelihara dan mempergunakan kekayaan alam
yang terkandung di wilayahnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan
rakyatnya juga menunjukan tidak ada beda kondisi antara Indonesia
sebelum dan sesudah merdeka. Kelihatan bahwa pemerintah waktu itu
memandang penting penguasaan minyak hanya oleh negara, dengan cara
membebankan pada perusahaan asing, yang dulunya penguasa cadangan
minyak, dengan tugas-tugas yang berat dan melenceng dari tugas utamanya,
yakni akumulasi keuntungan, seperti kewajiban untuk berperan dalam
kemajuan ekonomi bangsa, dsb sebagaimana disebutkan di atas.
Tapi apakah pemerintah Indonesia puas dengan lahirnya dua
Undang-undang tersebut. “puas” dalam arti sesuai dengan cara pandang
Indonesia merdeka yang tercantum dalam pasal 33 UUD 1945, atau dengan
arahan politik baru dalam perminyakan di Indonesia?
[8] stb 1899 no 214 jo.to. 1906 No 434
[9]
Atau sistem pro-rata berdasarkan UU No. 15 Tahun 1962 tentang penetapan
Perpu No 2 Tahun 1962 tentang kewajiban perusahaan minyak memenuhi
kebutuhan dalam negeri
[10] Lihat, misalnya, di memori penjelasan UU No 14 Tahun 1963
[11]
Keputusan Presiden No 476 Tahun 1961 tentang Penetapan
Peraturan-peraturan yang Berlaku Terhadap perusahaan-perusahaan Minyak
Asing Shell, Stanvc dan Caltex Dalam waktu Peralihan. Lihat misalnya
pasal 6 yang mewajibkan ketiga perusahaan itu memenuhi kebutuhan
konsumsi dalam negeri, atau pasal 7 yang menetapkan pola pembagian hasil
yang 60 : 40, dengan pemerintah mendapatkan bagian terbesarnya.
[12] Pasal 6 [2] serta Penjelasan Umum no. 6 UU No 44 Prp tahun 1960.
[13] Terutama berkaitan dengan akses pada ladang-ladang minyak baru
Semangat Kemandirian Di Tengah Kekurangan
Jawabannya ternyata tidak. Bentuk perjanjian karya memang telah
berhasil keluar dari sistem konsesi warisan jaman kolonial yang
merugikan atau setidaknya proporsi yang diterima oleh pemerintah
dipandang lebih besar dibanding dengan keuntungan yang didapat oleh
penerimaan konsesi. Bentuk perjanjian karya juga telah berhasil
menegaskan bahwa “mineral right” atau hak atas cadangan bahan-bahan
galian, serta “mining right” atau hak untuk menambang, berada di meja
yang berhak: negara Republik Indonesia.
Tetapi masalahnya adalah bagaimana dengan Economic Right
atau hak atas manajemen perusahaan minyak dan gas? Dalam perjanjian
karya, manajemen pengusahaan minyak dan gas masih berada di tangan
perusahaan minyak yang bersangkutan. Sehingga “…kontrol yang efesien
atas pengusahaan pertambangan minyak…” sebagaimana diinginkan dalam
pokok-pokok isi kebijakan politik pertambangan minyak tidak bisa
berlangsung, dan dengan kata lain bahwa pemerintah belum menerapkan
sepenuhnya cita-cita pemilikan minyak oleh negara.
Usaha ke arah penguasaan atas manajemen perusahaan minyak dan gas
yang waktu itu semuanya di tangan perusahaan asing telah dirintis sejak
tahun 1957 oleh Ibnu Sutowo sebagai Presiden Direktur PT PERMINA, yang
berdasarkan PP No. 198 Tahun 1961 dilebur menjadi PN PERMINA.
Bibit-bibit isi dari Perjanjian yang berisi pengambil alihan economic right
itu telah ada ketika melakukan perjanjian dengan perusahaan REFICAN di
Sumatera Utara, 1957. Konsep tersebut makin menemukan bentuknya setelah
pada tahun 1966 PN PERMINA melakukan Perjanjian dengan IIAPCO dengan
sistem bagi hasil dan dikenal sebagai PSC [Production Sharing Contract
atau Kontrak Production Sharing – KPS].[14]
Dengan sistem KPS ini, penguasaan manajemen pengusahaan minyak dan
gas berada di tangan Perusahaan Negara [dalam hal ini PN PERMINA, yang
nantinya melebur menjadi PERTAMINA]. Dalam arti Perusahaan negaralah
yang mengatur dan menyetujui rencana kerja dan anggaran dari pihak
kontraktor. Kontraktor kemudian hanya memiliki economic interest
saja atas wilayah pertambangannya. Sistem KPS inilah yang kemudian
menggantikan posisi Perjanjian Karya untuk pengusahaan minyak dan gas di
Indonesia.
KPS ini merupakan kontrak antara PERTAMINA dengan kontraktor dan
dilaksanakan atas dasar kuasa pertambangan yang diberikan negara kepada
perusahaan negara berdasarkan UU No 44 Prp tahun 1960. Posisi KPS
kemudian menjadi lebih kuat ketika disebutkan dalam Pasal 12 UU No 8
Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara,
sebagai salah satu bentuk kontrak kerja sama dengan pihak lain dalam
pengusahaan minyak. Tiga perusahaan besar itu [Shell, Stanvac dan
Texaco] juga akhirnya ikut serta dalam sistem ini, setelah dalam
perpanjangan Perjanjian Karya pada tahun 1971 merubahnya menjadi sistem
KPS.
[14] Kirsten Bindenman, Production-Sharing Agreements: An Economics Analysis , Oxford Institute for Energy Studies, October 1999.
Sistem KPS: Jalan Menuju Nasionalisasi Energi?
Apakah sistem KPS sama dan sebangun dengan proses nasionalisasi
perusahaan minyak? Apakah dengan sistem KPS ini telah membuat negara
Indonesia telah benar-benar sejati mengatur, memelihara dan
mempergunakan secara mandiri oleh bangsa sendiri kekayaan alam berupa
minyak dan gas demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia?
Penulis melihat bahwa sistem KPS adalah cara tersembunyi Indonesia
untuk melakukan nasionalisasi aset-aset kekayaan nasional berupa minyak
ini yang berada di tangan asing. Dengan cara seperti ini seluruh aspek
dalam pengusahaan minyak dikuasai oleh negara Indonesia, perusahaan
asing hanya berlaku sebagai pelaksana saja. Tapi juga tidak bisa
dikatakan proses nasionalisasi karena dalam sistem KPS ini, posisi
kontraktor sebenarnya kuat juga. Walaupun dia berlaku sebagai
kontraktor, berarti ada di bawah perusahaan negara, tetapi dialah yang
menyediakan modal, teknologi dan sebagainya, bahkan pemasarannya, dalam
pengusahaan pertambangan minyak. Pembagian hasil baru dilakukan setelah
kontraktor mendapatkan ganti atas modal yang telah dikeluarkannya
[dikenal dengan Cost Recovery], sehingga sering kali terjadi
pemerintah mendapatkan dana bagi hasil dari suatu ladang minyak setelah
masa eksploitasinya berjalan beberapa tahun. Di samping bahwa kontraktor
adalah penanggung satu-satunya semua resiko finansial. Dengan demikian,
Indonesia sebenarnya tergantung pada “kesediaan” perusahaan asing itu
dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak. Dan keadaan ini
dipakai perusahaan asing untuk menaikkan posisi tawarnya.
Mantapnya Indonesia untuk mengambil pilihan dan mengembangkan sistem
KPS dalam pertambangan minyak dan gas ini juga didasari dengan gagalnya
proyek nasionalisasi aset-aset perusahaan minyak yang dilakukan oleh
Meksiko awal tahun1970-an, karena adanya boikot terhadap minyak yang
digali dari Meksiko. Di sisi yang lain sistem yang dipakai oleh Arab
Saudi dalam melakukan “nasionalisasi” perusahaan minyak asing berhasil
dengn baik. Sistem yang dipakai Arab Saudi adalah dengan menyertakan
sahamnya pada perusahaan ARAMCO. Dalam kontraknya ditentukan bahwa
keuntungan yang didapat pemerintah Arab Saudi akan dikonversi menjadi
penyertaan saham di perusahaan tersebut, sehingga dalam jangka waktu
yang tidak terlalu lama, sekitar akhir tahun 1960-an, pemerintah Arab
Saudi telah menguasai 100% saham perusahaan tersebut. Tetapi pilihan
Arab Saudi ini tidak pernah diambil oleh Indonesia.
Singkat kata, sistem KPS ini merupakan pembuka jalan bagi negara
Indonesia c.q. Perusahaan Negara [PERTAMINA] untuk sesingkat-singkatnya
mengusahakan sendiri usaha-usaha pertambangan minyak di Indonesia
sebagaimana tercantum dalam pasal 33 UUD 1945, UU No 44 Prp 1960, memori
penjelasan UU 13 tahun 1963 dan UU No 14 Tahun 1963 serta UU No. 8
Tahun 1971. Sistem KPS dipakai karena masih ada banyak pekerjaan dalam
usaha pertambangan minyak yang masih belum dan atau tidak dapat
dilakukan sendiri oleh Perusahaan Negara c.q. PERTAMINA atau bahwa seluk
beluk penjualan minyak di tingkat internasional masih belum diketahui
dan dikenali dengan baik.
Pemerintah waktu itu menyadari sangatlah tidak mungkin untuk secara
langsung dan sekaligus mengambil alih seluruh usaha-usaha pertambangan
minyak yang sangat padat modal dan teknologi serta memerlukan kecakapan
sumber daya manusia yang mumpuni itu ke dalam tangan negara Indonesia.
Indonesia membutuhkan masa transisi untuk mencapai cita-cita itu. Karena
itulah dalam sistem KPS, ada beberapa isi perjanjian yang sangat
diperhatikan, antara lain terhadap peninggian pemasukan bagi negara
lewat bagi hasil dimulai dari persentase 60:40, ke 70:30 dan sekarang
85:15; proses alih teknologi harus terus dilaksanakan dengan melakukan
pendidikan dan pelatihan serta pengaturan tenaga kerja asing di
kontraktor, agar nantinya tenaga kerja Indonesia bisa menggantikan
kedudukan tenaga kerja asing; kewajiban kontraktor asing memberi
kesempatan pada perusahaan nasional untuk terlibat dalam usaha
eksplorasi dan eksploitasi serta ketentuan-ketentuan lainnya sebagaimana
garis besarnya ditentukan dalam PP No 35 Tahun 1994 tentang
Syarat-syarat dan Pedoman Kerja Sama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas.
Data menunjukan bahwa kontrak KPS memang diminati oleh banyak
perusahaan asing yang hendak menanamkan modalnya di Indonesia. Sistem
KPS ini juga sepertinya banyak juga diterapkan di negara-negara lain.
Dari segi finansial juga menunjukan bahwa kontrak KPS ini lebih
menguntungkan Indonesia. Sejak tahun 1966 sampai dengan tahun 2001,
secara keseluruhan pendapatan yang didapatkan dari migas lewat sistem
KPS adalah sebesar $ 364 milyar, yang setelah dikurangi untuk cost recovery dan bagian kontraktornya, Indonesia mendapatkan bagian untung sebesar $ 241 milyar atau sekitar 66 %-nya.[15] Tetapi
nampaknya posisi KPS yang sebenarnya “sementara” itu terlupakan dan
menganggap bahwa inilah sistem terbaik bagi Indonesia dalam mengusahakan
kekayaan minyak dan gas buminya. Ternyata perusahaan negara c.q.
PERTAMINA ataupun perusahaan nasional lainnya tidak [mau? Atau bisa?]
melepaskan diri dari “proses magang” pada perusahaan
kontraktor-kontraktor tersebut.
Dari segi finansial memang bisa dikatakan Indonesia untung, tetapi
bagaimana dengan sisi penguasaan teknologi atau manajemen perusahaan
berbasis minyak atau akumulasi kapital dan keberanian mengambil resiko
atau yang lebih substansial, ketersediaan tenaga kerja atau bahkan
ketersediaan minyak dan gas bagi kepentingan dalam negeri?
[15]
Data dari S. Zuhdi Pane, The Indonesian Oil & Gas Industry,
disampaikan dalam FGD JATAM, “Mencari Format Kontrak Migas yang Menjamin
Kebutuhan Domestik, 22 Desember 2005
Liberalisasi dan Kebijakan Minyak dan Gas di Indonesia
Belum sempat menyadari itu – atau malah dalam rangka menyadarkan? –
pemerintah Indonesia membuat kebijakan baru dalam hal pertambangan
minyak dan gas ini. Pada 23 November 2001, Indonesia mengeluarkan UU No
22 Tahun 2001 tentang Migas yang sekaligus menggantikan posisi UU No 44
Prp Tahun 1960, UU No 15 Tahun 1962 serta UU No 8 Tahun 1971.
Dalam UU Migas baru ini, minyak dan gas bumi tetap dianggap sebagai
kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara, yang diselenggarakan oleh
pemerintah selaku pemegang Kuasa Pertambangan. Dengan demikian
pemerintah menggantikan kedudukan Perusahaan Negara c.q. PERTAMINA.
Tetapi kedudukan pemerintah ini juga dianggap sebagai pemilik dari
sumber daya alam tersebut[16].
Sehingga kedudukannya sangatlah kuat. Karena itulah, ada pihak yang
mengartikan bahwa awalnya minyak dan gas dikuasai oleh Negara [dengan N
kapital] sedangkan sekarang setelah lahirnya UU migas itu, dikuasai oleh
negara [dengan n kecil yang bisa diartikan hanya pemerintah saja].[17]
Setelah mencabut Kuasa Pertambangan dari PERTAMINA, pemerintah tidak
menyerahkan sepenuhnya pelaksanaannya pada Badan Pelaksana Migas [BP
Migas], tetapi malah pada kontraktor KPS [Pasal 12 ayat [3]], yang dalam
pelaksanaannya berkoordinasi dengan BP Migas. Hal ini disebabkan BP
migas adalah badan hukum milik negara, dan bukannya badan usaha seperti
PERTAMINA. Ini juga yang membedakan kedudukan kontraktor KPS dulu dan
sekarang. Dulu, kedudukan kontraktor ada di bawah wewenang PERTAMINA,
sedangkan sekarang kedudukannya setara dengan BP Migas, yang justru
berfungsi sebagai pengawas terhadap pelaksanaan kontraktor KPS tersebut.
Dalam KKS atau Kontrak Kerja Sama, nama yang diberikan UU migas
terhadap kontrak bagi hasil atau kontrak lainnya dalam kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas, disyaratkan BP migas adalah
pengendali manajemen operasi. Tugas sebagai pengendali manajemen operasi
itu adalah pemberian persetujuan atas rencana kerja dan anggaran,
rencana pengembangan lapangan dan pengawasan terhadap realisasi rencana
tersebut [Pasal 6]. Dengan demikian, economic right berpindah
dari PERTAMINA ke BP Migas. BP migas adalah regulator sekaligus juga
berfungsi sebagai badan usaha, karena juga bertugas untuk memaksimalkan
pendapatan negara dari sektor ini. Kedudukannya sebagai badan hukum ini
justru akan menyulitkan tugasnya itu. Contohnya adalah dalam hal
penjualan minyak dan gas bumi bagian negara. Dulu hal itu bisa langsung
dijual oleh PERTAMINA, namun sekarang, penjualan itu tidak bisa
dilakukan oleh BP Migas, karena dia bukan badan usaha. Sehingga
penjualan itu harus dilakukan oleh pihak ketiga [yang sayangnya
kebanyakan dilakukan oleh trader di Singapura] atau malah disertakan
dalam penjualan yang dilakukan oleh kontraktor.
Konsekuensi lainnya adalah jika ada tuntutan hukum, maka yang
bertanggung jawab adalah pemerintah, bukan lagi seperti dulu yang jadi
tanggung jawab PERTAMINA. Ini tentu akan menurunkan wibawa pemerintah
c.q. negara jika kemudian akibat adanya tuntutan hukum itu
mengharuskannya menghadiri persidangan arbitrase internasional atau
malah kalah di perkara tersebut.
Semangat yang dijunjung oleh UU Migas, yang lahir atas realisasi LOI
[Letter of Intent] antara Indonesia dan IMF, ini adalah semangat
liberalisasi dan privatisasi. Semangat liberalisasi telihat dari
menyerahkan harga jual BBM dan gas kepada mekanisme persaingan usaha
yang sehat dan wajar [pasal 28] atau juga dengan memperbolehkan
perusahaan asing bermain di sektor hilir bisnis minyak dan gas,
sedangkan semangat privatisasi terlihat dari perubahan kedudukan
PERTAMINA menjadi Perseroan Terbatas, serta karenanya mencabut semua
keistimewaan yang selama ini dinikmati oleh PERTAMINA. Sehingga
PERTAMINA, setelah menjadi Persero, diperlakukan sama dengan kontraktor
lain dengan mewajibkannya melakukan Kontrak Kerja Sama dengan pihak BP
Migas agar bisa melanjutkan terus kegiatan eksplorasi dan eksploitasinya
di area pertambangan bekas PERTAMINA.
Apakah dengan demikian kemandirian bangsa bisa terwujud? Nampaknya
Indonesia menghadapi kenyataan lain. Dengan menyerahkan Kuasa
Pertambangan kepada Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap atau para
kontraktor KPS, maka kontrol atas cadangan dan produksi minyak mentah
Indonesia tidak lagi kuat di tangan negara Indonesia. Hal ini disebabkan
karena Negara Indonesia tidak lagi mempunyai badan di lapangan yang
mengerti betul lika-liku bisnis minyak dan gas, yang dulu tugas itu
dipegang oleh PERTAMINA. Kebijakan apa pun yang akan dikeluarkan oleh
pemerintah dalam bidang minyak dan gas, terutama di sektor hulu, mau
tidak mau harus mempertimbangkan terlebih dahulu kepentingan para
kontraktor KPS ini, kalau tidak mau diseret ke badan peradilan atau
arbitrase.
Di sisi yang lain, terlihat bahwa sampai tahun 2006 ini, 85,4% dari
137 peserta KPS/KKS adalah perusahaan asing, sementara sisanya adalah
perusahaan nasional.[18]
Hanya ada 20 perusahaan nasional yang mengelola lapangan minyak dan gas
di Indonesia, itupun hanya 10 perusahaan yang berproduksi. Kita juga
melihat dari setiap bukaan tender ataupun bukaan penunjukan langsung
untuk mengelola blok-blok minyak selalu didominasi oleh perusahaan
asing.
[16] Pasal 6 UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas
[17] Seyanto P. Santosa, “Qua Vadis Pengelolaan Migas Nasional”, Kamis, 30 Desember 2004. Diambil dari http:/kolom.pacific.net.id
[18] Tribun kaltim, op cit,
Benteng Rakyat Mulai Runtuh?
Dari sekilas perjalanan kebijakan minyak dan gas di Indonesia ini, terlihat ada yang mundur dari semangat bangsa ini dalam melihat kedudukan strategis minyak dan gas.
Dulu, di dekade 1950 dan 1960-an, pemerintah Indonesia menghadapi
persoalan yang sama: kokoknya kekuatan asing dalam pertambangan minyak
dan gas. Tetapi hal itu tidak menyurutkan semangat pemerintah waktu itu
untuk melahirkan berbagai kebijakan dan peraturan hukum yang lebih
berpihak pada kepentingan rakyat dan dalam negeri Indonesia yang
terlihat dari semangat untuk menguasai sekaligus memiliki minyak mentah
[yang berarti “barang mentahnya”] oleh kalangan nasional Indonesia.
Kini, 40 tahun setelah itu, struktur penguasaan pertambangan minyak
sebenarnya masih saja sama, dengan kontraktor asing yang tetap kuat.
Masalahnya adalah pemerintah – atau bangsa ini? – malah mengeluarkan
kebijakan di sektor minyak yang dibalik kata-kata indah dan penuh
retorika dalam peraturan-peraturan yang dibuatnya, dalam UU migas
misalnya, tetapi dibaliknya nampak seperti “menyerah” atau membiarkan
struktur penguasaaan dan pengusahaan minyak dan bumi itu tetap dikuasai
oleh asing. Pemerintah dan Negara Indonesia nampaknya hanya cukup puas
dengan “pendapatan” yang berarti “uang” yang didapat dari minyaknya dan
tidak lagi mempedulikan “barang mentahnya”.
Memang benar UU Migas ini bertujuan, salah satunya, untuk mendukung
dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing.
Untuk itu, badan usaha atau bentuk usaha tetap harus mengutamakan
pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang, jasa dan kemampuan rekayasa
serta rancang bangun dalam negeri [pasal 40 ayat [4]], yang
pelaksanaannya nampak dalam isi Kontrak Kerja Sama [Pasal 11 ayat [3]].
Tetapi tidak ada kebijakan baru yang nyata dan ditujukan agar penguasaan
negara dan nasional atas sumber daya alam itu menjadi kenyataan, entah
lewat perubahan sistem ekonomi perminyakan Indonesia, atau perubahan
kontrak perminyakan yang menunjukan pemihakan yang jelas pada
kepentingan rakyat dan industri dalam negeri. Pemihakan ini nampak jelas
ada di dalam UU No 44 Prp 1960 dan peraturan-peraturan lainnya seperti
UU No. 13 dan No 14 Tahun 1963.
Penulis melihat bahwa UU Migas yang pekat nuansa liberalisasi dan
privatisasinya ini tidak lahir di saat yang tepat. UU migas ini lahir
justru di saat penguasaan asing pada struktur ekonomi perminyakan asing
masih sangat kuat. Perubahan terhadap struktur tersebut telah
dicanangkan empat dekade yang lalu, namun tidak terlaksana karena sistem
“antara” berupa sistem KPS malah dianggap sebagai “tujuan” sebenarnya
dari kebijakan nasional minyak dan gas Indonesia [selain karena adanya
manajemen dana bagi hasil yang buruk dan korup, yang berujung pada
pertanyaan kemana perginya uang dana bagi hasil itu dan tata ekonomi
internasional yang hendak melemahkan posisi negara-negara penghasil
minyak].
Belum lagi kepentingan migas nasional terlindungi dengan baik,
sudah lahir kebijakan yang menggiring Indonesia memasuki mekanisme pasar
bebas, melemahkan struktur pendukung kepentingan minyak nasional,
seperti PERTAMINA, yang berdasarkan UU Migas harus berubah jadi
Perseroan Terbatas yang ditetapkan dengan PP, harus dipecah-pecah karena
UU Migas melarang badan usaha yang bergerak di sektor hulu migas juga
berusaha di sektor hilirnya, dan sebaliknya, serta membuat struktur baru
perminyakan nasional yang keliru, karena tidak membuat batasan yang
jelas antara administrasi negara dengan administrasi usaha dan terlalu
berpihak pada kepentingan pasar bebas. Struktur pendukung seperti
PERTAMINA yang kuat ini justru diperlukan untuk mempermudah masuknya
kepentingan nasional.
Betapa terbatasnya posisi pemerintah dalam membuat kebijakan dalam
sektor minyak dan gas itu bisa dilihat dari dokumen Rencana Umum
Perminyakan dan Pergasbumian Nasional [RUPPN] 2006 – 2007, yang
dikeluarkan oleh Menteri ESDM. Dalam bagian Sasaran dokumen RUPPN itu
disebutkan bahwa kebijakan perminyakan dan pergasbumian disasarkan untuk
mempertahankan tingkat produksi minyak mentah sekitar 1 juta barel per
hari sampai tahun 2025; operatorship 50% oleh perusahaan nasional pada
tahun 2025, penggunaan barang dan jasa nasional sebesar 91% pada tahun
2025; penggunaan SDM nasional sebesar 96% pada tahun 2025. Ironisnya
adalah bahwa ada keterangan di bawahnya: angka prosentase perlu
disepakati bersama oleh stakeholder. Tentu saja yang termasuk
dalam stakeholder ini juga termasuk kontraktor nasional. Hanya saja
mengingat kontraktor asing lebih dominan dalam sektor hulu minyak dan
gas, dengan kata lain merekalah yang sebenarnya mengontrol cadangan dan
produksi minyak dan gas, maka tentu saja pemerintah juga harus
memberikan insentif agar mereka ikut dalam kebijakan ini.
Di saat di mana hampir dikatakan tidak ada perusahaan nasional yang
kuat dalam usaha pertambangan di Indonesia, posisi kontraktor asing
malah menguat dalam posisi tawarnya setelah terlihat bahwa cadangan
minyak Indonesia diakhir tahun 2005 yang hanya 0,4%-nya dari cadangan
minyak dunia,[19]
yang memaksa Indonesia harus membuat kebijakan investasi yang lebih
menarik lagi bagi kontraktor asing [karena Indonesia harus bersaing
dengan sekitar 130 negara-negara penghasil energi lainnya, yang dalam
beberapa hal memberikan kebijakan investasi yang lebih menarik seperti
porsi bagi hasil yang lebih menguntungkan kontraktor asing serta
cadangan minyak yang lebih banyak, seperti yang sekarang diberikan oleh
negara-negara Afrika]. Dengan lain kata, sudah cadangannya sedikit,
tetapi ketergantungannya pada asing juga tetap tinggi seperti dulu serta
kebutuhan dalam negeri akan energi juga terus naik. Pilihan yang
dilakukan oleh pemerintah sekarang: liberalisasi, dengan membuang barrier to entry, bagi kontraktor asing yang mau berusaha di sektor hulu, dan berusaha jadi “pelayan” yang baik.
[19] Lihat: BP Statistical Review of World Energy June 2006. diambil dari http://www.bp.com/statisticalreview
Apa yang Bisa Dilakukan?
Penulis melihat beberapa hal yang bisa dilakukan oleh Indonesia:
A. jika memang kemandirian bangsa dalam mengelola minyak dan gas
sudah tidak lagi menjadi cita-cita, maka, setidaknya demi untuk tetap
berada di rel Pasal 33 UUD 1945, Indonesia perlu membuat suatu kebijakan
yang intinya mengatur bagaimana keberadaan kontraktor asing yang
dominan itu tidak menyulitkan posisi negara dalam mengatur minyak dan
gasnya. Kebijakan yang mengarah ke nasionalisasi aset dihilangkan dan
diganti dengan kebijakan investasi yang lebih menarik bagi mereka dengan
penegakan hukum yang tegas. Dan Indonesia hanya menarik mineral rent
dari kegiatan mereka. Selain itu perlu juga perbaikan pada sistem
manajemen pengelolaan dana bagi hasil, sehingga dana tersebut
benar-benar berguna sebagaimana diharapkan.
B. Sebaliknya, jika kemandirian bangsa tetap menjadi cita-cita, ada beberapa hal yang bisa dilakukan:
1. Meninjau kembali UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas, bisa dilakukan
dengan mencabutnya dan diganti dengan UU migas baru yang lebih memihak
kepentingan nasional [bukan hanya tampak dari sisi penerimaan negara
yang lebih besar akibat split bagi hasil yang menguntungkan
negara, tetapi juga penguasaan pada “barang mentahnya” yakni minyak];
atau kalau tidak dicabut, bisa dilakukan dengan melakukan amandemen
terhadap beberapa pasal yang dipandang tidak sejalan dengan Pasal 33 UUD
1945, seperti masalah pengertian Kuasa Pertambangan.
2. Meninjau dan mengamandemen isi KPS masa depan dengan, contohnya,
menaikan persentase interest perusahaan nasional dalam kegiatan
kontraktor KPS asing atau mengharuskan adanya pekerja lokal dalam
posisi-posisi jabatan strategis di perusahaan kontraktor asing. Atau
dalam hal perpanjangan kontrak, pemerintah harus menegaskan dan itu ada
ditulis dalam KPS, perubahan syarat dan kondisi yang lebih menguntungkan
negara. Kalau perubahan itu tidak tercapai, pemerintah harus berani
untuk memutuskan kontrak dan pada saat yang bersamaan menyerahkannya
pada perusahaan negara atau nasional yang mampu mengelola.
3. Mempertimbangkan penganekaragaman sistem kontrak-kontrak perminyakan yang berlaku di dunia. Termasuk Sistem Kontrak Jasa [Technical Services Agreement],
yang dilakukan oleh hampir semua negara Timur Tengah. Dalam sistem
kontrak jasa ini, posisi kontraktor hanya menjalankan suatu kegiatan
tertentu dengan jangka waktu tertentu dan atas jasanya itu dibayar oleh
negara. Atau juga sistem Buyback Agreement, seperti yang dilakukan oleh negara Iran.
4. Mengingat bahwa dalam kenyataannya, perimbangan kekuasaaan antara
negara dengan perusahaan minyak terletak pada detil hukum dalam setiap
kontrak, dan bukan pada sistem kontrak apa yang dipakai, maka nampaknya
pemerintah perlu membuat aturan-aturan pokok baru bagi isi kontrak yang
ada yang lebih memihak pada kepentingan energi nasional dan memberi
jalan lebih luas bagi keikutsertaan perusahaan nasional dalam industri
migas di Indonesia. Selain itu pemerintah perlu juga membuat tim khusus
negosiasi dalam setiap sesi-sesi negosiasi kontrak minyak dengan
perusahaan, sehingga isi dari kontrak itu bisa benar-benar menguntungkan
dalam negeri Indonesia.
5. Perlu juga segera disahkan perundang-undangan energi nasional,
yang isinya tidak hanya membahas energi fosil seperti minyak, gas, atau
batu bara, tetapi juga mengatur sumber energi tak terbarukan lain
seperti angin, panas bumi dan sinar matahari dan integrasinya dengan
infrastruktur energi fosil yang ada.
Daftar Bacaan
BP p.l.c. Quantifying Energy:BP Statistical Review of World Energy June 2006. BP p.l.c. 2006. Diambil dari http://www.bp.com/statisticalreview
Bindenman, Kirsten. Production-Sharing Agreements: An Economics Analysis. Oxford Institute for Energy Studies, October 1999.
Chairil, Ryad. RUU Pertambangan: Ijin Usaha VS Kuasa Pertambangan. diambil dari http://www.minergy.com
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Rencana Umum Perminyakan dan Pergasbumian Nasional 2006 – 2025. Jakarta, September 2006
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEUI. Provisi Terhadap Ulasan Isu-Isu Non-Teknis Kalimantan Timur. Jakarta, 2005
Muttitt, Greg. Production Sharing Contract Agreements: Oil Privatisations by Another Name? Diambil dari http://www.carbonweb.org
Pane, S. Zuhdi.The Indonesian Oil & Gas Industry. Disampaikan dalam FGD JATAM, “Mencari Format Kontrak Migas yang Menjamin Kebutuhan Domestik, 22 Desember 2005
Santosa, Seyanto P. Qua Vadis Pengelolaan Migas Nasional, Kamis, 30 Desember 2004. Diambil dari http:/kolom.pacific.net.id
Simamora,Rudi M. Hukum Minyak dan Gas Bumi, Jakarta: Djambatan, 2000
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No 68 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda
Undang-Undang No 10 Tahun 1959 tentang Pembatalan Hak-Hak Pertambangan
Undang-Undang No 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara
Undang-Undang No 44 prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
Undang-Undang No. 15 Tahun 1962 tentang Penetapan Perpu No 2 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak memenuhi kebutuhan dalam negeri
Undang-Undang No 13 Tahun 1963 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 4 tahun 1962 Tentang Pengesahan “Perjanjian Karya” Antara Perusahaan Negara Pertamina dengan Pan American Indonesia oil Company untuk diri sendiri dan Atas Nama Pan American International Oil Corporation
Undang-Undang No 14 Tahun 1963 tentang Pengesahan “Perjanjian Karya” Antara P.N. Pertamina dengan PT Caltex Indonesia dan California Asiatic oil Company (CALASIATIC) Texaco Overseas Petroleum Company (TOPCO); PN Permina dengan PT Stanvac Indonesia, PN Permigan dengan PT Shell Indonesia
Undang-Undang No 9 tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara
Undang-Undang No 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara
Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 1963 tentang Penetapan Tenggang Waktu Peralihan Pelaksanaan Usaha Pertambangan Minyak dan Gas Bumi oleh Perusahaan-Perusahaan Bukan Perusahaan Negara
Peraturan Pemerintah No 35 Tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi
Peraturan Pemerintah No 42 tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan gas Bumi
Keputusan Presiden No 476 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan-peraturan yang Berlaku Terhadap perusahaan-perusahaan Minyak Asing Shell, Stanvc dan Caltex Dalam waktu Peralihan
Koran/Majalah
Tribun Kaltim, 85 Persen Tambang Migas di Kuasai Asing, 24 September 2006
https://geopolitikenergi.wordpress.com/
Link:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.