ADAT KEMATIAN ORANG ROTE
Perawatan Mayat.
Upacara kematian / death ritual, adalah suatu upacara yang diadakan berhubung dengan
peristiwa kematian seseorang, yang bermaksud untuk menunjukkan perasaan
berkabung. Bagi
orang Rote kalau ada yang meninggal, yang bertanggung jawab secara adat adalah
saudara laki-laki yang tertua yang masih hidup. Begitu ada yang
meninggal semua sanak keluarganya datang, baik yang dari dekat maupun dari
tempat-tempat yang jauh. Sebelum semua sanak saudara berkumpul, mayat tidak
boleh dikubur. Mayat ditempatkan dirumah duka. Kaum ibu berganti-ganti meratap menangis
didepan mayat.
Setelah semua keluarga
hadir, mayat kemudian dimandikan. Kemudian diberikan pakaian adat, berupa
sehelai selimut
(lafa) dan
baju. Mayat yang telah dikenakan pakaian itu kemudian dimasukkan ke peti mati.
Peti mati ini pada zaman dahulu dibuat dari sebatang kayu / sebatang pohon
lontar yang besar yang dilubangi dibagian tengah-tengahnya seperti sebuah
lesung.
Pesan Atas Nama Mayat.
Selesai
merawat mayat, saudara laki-laki tertua kemudian menekuni mayat, terus
tangannya diangkat, semua hadirin menjadi hening menunggu apa kata wali mayat
itu. Terdengarlah pesan-pesan atas nama
mayat :
Ø Siapa-siapa yang
hadir disini yang mempunyai hutang kepadanya,
dan kepada siapa saja yang meninggal itu berutang”.
Ø Jika diantara hadirin
ada yang kebetulan berhutang
dan yang berpiutang kepada si mati,
akan menjawab berturut-turut, yang kemudian mereka dicatat nama-namanya dan jumlah
hutang-piutangnya, untuk diselesaikan nanti setelah penguburan.
Selesai tanya jawab
mengenai hutang-piutang, dan
nama-nama mereka telah dicatat, maka mayat itu diusung ketempat kuburan.
Kuburan dimana saja asal tidak jauh dari rumahnya. Selesai dikubur, diatasnya
ditaruh sirih pinang dan tembakau dalam tempurung kelapa. Juga diatas kuburan
itu ditaruh semua alat memasak. Tetapi tabu/dilarang disana diletakkan senjata tajam atau sebangsanya, karena
mereka percaya kalau para arwah, akan menyebabkan yang masih hidup sakit
karenanya.
Upacara Adat Penguburan di Rote
Adat
penguburan / burial customs, adalah adat yang
berhubungan dengan perawatan jenazah dengan cara menanamnya di tanah. Pada zaman
dahulu, orang yang mengumumkan tentang siapa-siapa yang berhutang-piutang itu,
duduk diatas peti yang sedang dipikul/diusung. Orang tersebut memakai ikat
kepala kain merah.
Sambil duduk diatas
peti itu ia berteriak mengumumkan,
Ø siapa-siapa yang berutang-piutang,
Ø demikian serunya
sampai kadang-kadang timbullah keramaian, dorong-mendorong diantara para
pengiring dan para pengusung peti jenazah yang banyak itu.
Suasana demikian makin hebat setelah dekat pada kuburan.
Setelah
tiba dikuburan mayat segera dimasukkan kedalam kuburan, berarti, pengumuman utang piutang ditutup, dan siapa-siapa yang mengajukan tuntutan
dikemudian hari tentang hutang-piutang tadi, menurut adat tidak akan digubris
lagi atau dengan istilah sekarang disebut daluarsa
artinya hilang hak dan kewajiban perdatanya. Oleh karena itu jika diantara para
pelayat terdapat utang-piutang, maka
semua yang bersangkutan harus menyampaikannya dan dicatat namanya selama mayat
masih dirumah duka. Namun pada waktu pemberitahuan di rumah duka tidak ada pihak yang mengatakan ada utang-piutang,
hingga mayat dimasukkan kedalam kuburan, dan pada suatu ketika ada klaim dari pihak-pihak lain tentang
adanya hutang piutang maka tuntutan
tersebut dianggap telah daluarsa
sehingga yang meninggal dan ahliwarisnya tidak berkewajiban untuk membayar
utang kepada si penagih.
Demikian
adat orang Rote dalam hal adanya utang piutang yang bersangkutan dengan orang
yang mati itu. Setelah
selesai mayat dikuburkan, dibagian kepala kuburan tersebut dipancangkan
tongkat, tempat menggantungkan peralatan memasak, seperti sendok tempurung,
tempat nasi dari daun lontar, batok kelapa tempat gulai dan buli-buli tempat
minum sebagai simbolis. Alat-alat
tersebut dipergunakan nanti oleh arwah di alam gaib. Biasanya kuburan menghadap kearah Barat, karena
menurut keyakinan mereka (orang Rote), kematian ada di Barat mengikuti terbenamnya
matahari dibagian Barat. Oleh karena itu rumah adat orang Rote pantangan untuk menghadap
ke Barat karena itu adalah arah
kematian mengikuti terbenamnya matahari, sehingga dipercaya pemilik rumah akan
cepat mati atau ada saja kemalangan lainnya yang akan dialaminya.
Upacara adat kematian “ Lakape”
Pada upacara rangkaian
pertama sebelum dan pada waktu penguburan, semua tamu yang hadir pada waktu
penguburan, dan sanak keluarga disuguhi
jamuan, jamuan mana dibuat yang paling enak. Jamuan tersebut
dimaksudkan dengan inti sarinya, atau pada hakekatnya, juga dimakan oleh arwah yang meninggal. Oleh karena itu pada upacara-upacara, semua kekayaan si mati dipergunakan
untuk keperluan upacara,
Ø (baik padi yang disimpannya di lumbung loteng rumahnya selama hidupnya, maupun
Ø berpuluh-puluh hewan yang dipeliharanya
bertahun-tahun di padang, semuanya untuk pesta kematiannya).
Pada masa hidupnya belum
tentu setiap hari menanak nasi untuk dimakan, maupun tidak pernah menyembelih
hewan ternaknya untuk lauk pauk. Semua itu sebagai persediaan yang akan
dipergunakan saat kematiannya. Sesekali saja makan nasi, karena ia cukup minim
gula saat lapar maupun haus, dan hanya sesekali makan nasi.
Bagi orang Rote,
kematian itu disebabkan oleh dosa.
Oleh
karena itu bagi keluarga yang tinggal, dosa-dosa itu harus dibersihkan, supaya
tidak terkena malapetaka maut kepada yang masih hidup. Untuk pembersihan itu dilakukan upacara “ lakape no” ( mencuci rambut
dengan santan kelapa). Ini dilakukan
sesudah mayat dikuburkan. Para keluarga tetap tinggal, menghibur keluarga yang sedang
berduka. Malam harinya mereka membunyikan “Gong” dan “Sasando, ”
(macam kecapi) sambil berjanyi dan menari “Kebalai” yaitu tarian selang-seling antara wanita dan laki-laki
yang saling rangkulan dengan tangan
diatas bahu masing-masing dengan membentuk lingkaran berputar dari kiri kekanan
sambil bernyanyi bersama-sama, yang dipimpin oleh pimpinan tari dan tanpa
diiringi oleh satu alat musik pun. Pada keesokan harinya diadakan upacara “Lakape
no”. Untuk keperluan
upacara ini diparutkan kelapa muda yang kemudian dicampurkan dengan irisan
jeruk nipis atau jeruk purut. Kemudian si-janda / duda yang ditinggal mati itu,
diiringi turun kesungai untuk mandi dan mencuci rambut/berlangir kelapa dan
limau / jeruk. Ini sebagai lambang “pembersihan
diri”. Selesai mandi mereka kembali kerumah duka untuk makan adat
bersama. Kurban sajian disembelih berupa 2 atau 3 ekor kambing atau babi.
Sebelumnya tua adat dari keluarga yang sedang berduka itu menyuguhkan sajian
berupa sirih pinang dan tembakau didalam tempurung kelapa. Lalu ia pergi
kepersimpangan pertigaan jalan. Disana ia bermentra dan bercakap-cakap dengan
roh si mati. Percakapan dikhususkan pada persoalan bahwa mulai hari itu yang
ditinggal akan melakukan upacara “lakape no” supaya roh si mati jangan mengganggu.
Upacara “Mok Bingga
Upacara
ini dilakukan oleh saudara laki-lakinya atau oleh ibunya orang yang meninggal.
Keluarga si-mati biasanya memakai
sepotong kain hitam yang dikaitkan pada lengan baju mereka sebagai tanda
berkabung atau berpakaian serba hitam.
Upacara
ini bertujuan untuk memisahkan perhubungan orang yang meninggal dengan ibu
bapak dan saudara-saudaranya serta
dengan seluruh kaum kerabatnya yang masih hidup. Upacara ini dilakukan setelah
mayat dikebumikan. Ia membawa sebotol gula air / cair (toea nasoe), seekor hewan kurban dan sayur daun kelor. Tua adat
mendoa dengan maksud sejak upacara itu, terpisahlah cara kehidupan antara kedua
belah pihak.
Selesai
berdoa mereka diharuskan makan bersama dalam sebuah nyiru, (anyaman dari daun
lontar) demikian juga air gula dan sopi
(arak Rote), harus diminum bersama dari satu botol yang sama pula.
Selesai keluarga itu makan bersama, barulah semua yang melayat dipersilahkan
makan. Dengan demikian selesailah upacara “mok-bingga”.
Upacara Adat Kematian
“Tuna Latek Faha
Langak”.
Upacara ini adalah adat
kebiasaan memadat-madatkan tanah kuburan dengan disertai dengan pembelahan
kepala kerbau. Secara adat kepala-kepala kerbau yang disembelih sebagai
kurban pada waktu penguburan, dibiarkan sampai saat upacara pemadatan tanah
kuburan dan pembelahan kepala kerbau. Setelah
itu, kemudian dipotong-potong dan dagingnya direbus. Disamping itu disembelih
pula binatang kurban beberapa ekor kambing
atau babi. Semua daging binatang itu diberikan kepada semua orang yang
ikut menggali kuburan. Upacara ini sebagai ucapan terima kasih dari keluarga
yang berduka kepada para pekerja “tife
kopa lates” (pemberian jasa pengerja kuburan).
Sementara
itu kaum ibu menyediakan makanan, maka kaum laki-laki membawa lesung dan
tembilang serta alat pemadat tanah lainnya ketempat kuburan. Tanah kuburan kemudian dipadatkan sampai rata
dengan tanah lainnya disekitarnya.
Untuk memadatkan sebagai
kuburan, disekelilingnya didirikan pagar dari batu. Kemudian dalam pagar diatas
kuburan itu dibentangkan tikar yang telah usang dan seember air. Air itu
dipergunakan untuk mencuci tangan dari para pekerja. Pada waktu mencuci tangan
itu terjadilah keramaian, dimana semua pekerja saling mendahului dan saling
ciprat-menciprat satu sama lain, sehingga akhirnya saling kejar-mengejar untuk
menciprati siapa saja yang berada disitu. Terkadang wajah mereka penuh dengan
lumpur, sehingga menyebabkan sorak sarai dan teriakan kegirangan karena
berhasil mengotori wajah temannya dengan lumpur pada tangannya atau siapa saja
yang ada disitu.
Upacara Adat Kematian
“Natu Buku Bakek”
Upacara
ini dilakukan sehari semalam atau lebih. Upacara ini dilakukan tepat pada jam
dua malam, dengan pimpinan kepala adat keluarga yang disebut ”manesongo”
( pendeta adat).
Manasongo ini menabuh sebuah tambur sambil memanggil arwah orang yang baru meninggal itu. Suaranya
mula-mula tinggi, kemudian makin perlahan-lahan yang mengharukan, kemudian
kembali penuh semangat dan akhirnya
menyeramkan.
Apabila “manasongo”
itu telah melihat arwah yang dipanggilnya telah datang, ia turun dari rumah
(rumah panggung), dan menyambut arwah itu dengan di akhiri dengan ucapan
sebagai berikut: “Inilah bagian pusakamu, ambillah” mulai saat ini engkau tidak boleh menuntut
sesuatu lagi dari kami.” Sambil berkata demikian itu menaburkan beras dan
kerat-keratan / potongan-potongan daun telinga babi.Selesai berbuat demikian ia
berteriak sekeras-kerasnya, yang kemudian diikuti oleh teriakan-teriakan lain
dari para hadirin yang ada di sekeliling penjuru rumah.
Teriakan-teriakan
gemuruh ini berarti selesailah upacara “natu-buku bakek””, sehingga keluarga yang ditinggal
itu tidak usah takut akan bencana maut. Kemudian semua keluarga turun dari
atas rumah (rumah panggung) mendapatkan
“manasongo”. Diluar, “manasongo” menceritakan tentang para
arwah yang datang, yang diikuti oleh para arwah yang lainnya. Menurut manasongo para arwah itu, ada yang kelihatan tidak berbadan, tidak
berkaki, ada pula yang tersiksa dengan membawa pedang dan lembing / tombak.
Selesai manasongo bercerita tentang para arwah yang datang, dipukullah gong dan
tambur sebagai tanda mulai bersukaria sampai esok hari. Keesokan harinya semua
hewan kurban di sembelih, dagingnya di potong-potong dan direbus. Soreh harinya
diadakan perjamuan makan “natu
buku bakek” (simpul).
Selesai
makan diadakan pembagian daging kepada mereka yang pernah memberi hadiah /
sumbangan saat menghadiri orang yang meninggal. Daging yang diberikan sesuai
dengan besarnya sumbangan yang diberikan. Selesailah upacara “natu buku-bakek” (upacara melepaskan
masa berkabung) sebagai simpul terakhir yang menyatakan kepada umum, bahwa
keluarga yang berduka telah selesai melakukan segala upacara dukanya. Mulai
saat itu telah terurai dan dukacita telah selesai. Keluarga si mati mulai saat itu melepaskan
tanda hitam lambang duka cita (perkabungan) yang ada pada lengan baju/pakaian
mereka atau demikian pula tidak lagi
memakai pakaian serba hitam lagi. Untuk keperluan upacara ini diperlukan
binatang kurban sampai 50 ekor sapi
atau kerbau babi, kambing, domba.
Selama masih hidup mereka bekerja keras,
Ø menanam padi disawah / diladang dan setelah panen disimpannya dalam
sokal-sokal (tempat menampung padi) diatas loteng rumahnya, dan
Ø memelihara ternak sapi / kerbau /
babi, kambing dan domba.
Namun semuanya ini tidak
dinikmatinya selama hidupnya. Jarang memasak nasi atau menyembelih hewan
piaraannya untuk dimakan. Tetapi semuanya ini merupakan stok / persediaan untuk
pesta saat kematiannya secara besar-besaran dan berhari-hari lamanya. Sesekali
saja menanak nasi atau menyembelih hewan hanya jika ia kedatangan tamu.
Sehari-harinya hanya minum nira atau
gula lontar (gula cair) dan makan
rebusan daun pepaya, sayur laut, ikan kering, rebusan ikan dengan cuka Rote
yang ditangkap disela-sela batu karang waktu air laut surut, bawang merah,
kacang hijau mentah atau sayur hasil kebun lainnya disekitar pekarangannya.
Itulah menu sehari-harinya.
Ø Lapar minum gula, haus minum gula.
Ø Tamu sesama suku bangsanya yang datang bertamu juga dihidangkan gula.
Ø Pergi mengerjakan sawah ladannya, juga gula sebagai bekalnya, atau
Ø Kepadang rumput menggembalakan hewan ternaknya , juga gula bekalnya.
Ya sepanjang hari
adalah gula untuk bertahan hidupnya.
Banyak orang luar bertanya, “setiap hari minum gula tetapi mengapa tidak
seorangpun dari orang Rote itu terkena “sakit
gula”. Mungkin jawaban mudah ialah bahwa
Ø Gula Rote itu gula
alamiah tanpa campuran bahan kimia seperti gula pasir.
Ø Disamping itu dalam
gula ada terkandung sat asamnya sehingga menetraliser dampak lain yang dapat
menyebabkan orang sakit gula.
Mereka cukup protein,
sayur-sayuran dan kalori dari gula, dan sesekali juga makan nasi, sudah memenuhi syarat minimum kesehatan yang dibutuhkan tubuh manusia, menyebabkan
mereka sehat. Karena sering menghadiri pesta adat, seperti pesta perkawinan,
kematian, atau daur hidup yang lainnya, disitulah mereka makan nasi dan daging
sebanyak-banyaknya sebagai pelengkap perbaikan gizi-nya. Setiap hari orang
laki-lakinya naik turun memanjat pohon lontar hingga belasan atau puluhan
banyaknya untuk mengambil niranya,
secara tidak langsung, telah melakukan olah raga secara tidak sengaja.
Demikian pula wanitanya,
pergi mencari kayu untuk memasak, memikul air, mengerjakan sawah dan ladang
bekerja dirumahnya, juga sudah termasuk melakukan olah raga pula. Karena itu
badan laki-laki orang Rote umumnya tegap-tegap dan wanitanya berwajah segar
menawan, murah senyum sehingga jarang menderita sakit yang berarti. Kata orang
Rote mereka tidak mau malu terhadap
tamu-tamu mereka pada suatu pesta adat. Karena
itu,
Ø padi diturunkan dari loteng rumahnya ditumbuk oleh berpuluh-puluh wanita
kemudian dimasak untuk memberi makan berhari-hari kepada tamunya.
Ø demikian pula hewan
peliharaannya yang dipadang ditangkap
dan disembelih berpuluh-puluh ekor, selain digunakan untuk pesta, juga
berbentuk daging mentah untuk pemberian kepada tamu-tamu yang melayat, saat
hendak kembali ke rumah mereka
masing-masing.
Upacara Adat Kematian Di Rote
Di Kerajaan Dengka.
Rangkaian upacara kematian
hampir sama seperti diatas, hanya mayat
dikuburkan setelah terlebih dahulu, dibiarkan 2 atau 3 hari untuk kesempatan meratapi dari para keluarganya selama (“mete-mete”) = berjaga-jaga / lek-lekan, atau tidak tidur semalam
suntuk menunggui si mati. Pada upacara mete-mete inilah
disembelih binatang kurban sebanyak mungkin. Setelah selesai
upacara ‘mete-mete’ beberapa hari kemudian, mayat diusung menuju
kuburan dengan menyinggahi rumah-rumah sanak keluarganya, sebagai ucapan
selamat tinggal. Tuan rumah yang sedang berduka cita berusaha menyediakan
makanan dan minuman bagi para pengiring, yang mengantarkan mayat yang mulai
mengembara didunia gaib-nya itu. Setelah semua sanak keluarga telah disinggahi, baru mayat dibawa kekuburan,
untuk dikubur. Pada hari ke-40 dan ke-l00 diadakan pesta kematian
dengan menyembelih binatang kurban secara besar-besaran.
Adat Kematian (Orang
Halaik/ Animisme)
di Olafulihaa-Korbafo-Pulau Rote
( Pesta KematianTerlama dan termahal di Dunia)
Upacara
(ritual;
ceremony) adalah: Sistem aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh atau hukum yang berlaku dalam
masyarakat, yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa tetap, yang
biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan ; Atau suatu kegiatan pesta
tradisional yang diatur menurut tata adat atau hukum yang berlaku dalam
masyarakat dalam rangka memperingati peristiwa-peristiwa penting atau lain-lain
dengan ketentuan adat yang bersangkutan.
Upacara adat kematian semacam ini
hanya dilakukan oleh orang-orang halaik saja yaitu orang-orang yang masih
beragama “halaik” (animisme).Orang tua yang mati ini juga masih halaik / menyembah
berhala. Dia kaya sekali. Anaknya sudah besar-besar, sudah berkeluarga dan mempunyai rumah sendiri- sendiri, ada 7 (tujuh) orang,, semuanya kaya. Tempat tinggal mereka di desa
Olafulihaan di Kerajaan Korbafo-Rote-NTT. Ketujuh anaknya ini
sekarang ada dirumah ayahnya yang meninggal itu. Semua menangis seperti
biasanya anak yang ditinggal mati oleh bapaknya. Semua sanak keluarga dan
pelayat dari mana-mana juga datang menghadiri kematian orang tua ini (l956). Orang-orang Rote ini
kebanyakan hidup dari nira lontar yang telah dimasak menjadi gula.
Ø Orang Rote melambangkan pohon lontar
itu sebagai ibu mereka.
Ø Air nira yang kemudian dimasak menjadi “gula” itu, mereka anggap sebagai air susu ibunya,
Sebab gula itu dapat mempertahankan hidupnya sehari-hari.
Ø pagi minum gula,
Ø siang minum gula,
Ø malam minum gula,
Ø kalau haus juga minum gula,
Ø lapar juga minum gula,
Ø ya... sepanjang hari menunya adalah
gula. Istilah orang Barat mengatakan Orang
Rote adalah suku bangsa yang disebut : No
Eating People atau Live No Eating.
Yaaa “kehidupan tanpa makan” ada kebenarannya.
Anak-anak mereka juga minum gula atau nira sebelum
berangkat kesekolah.
Kalau bepergian jauh,
atau mengerjakan sawah ladang, atau mengembala hewan dipadang, semuanya membawa
bekal gula. Sesekali saja baru ia menanak/memasak nasi untuk di makan. Lauknya
adalah, sayur-sayuran yang ditanam sendiri di pekarangan rumahnya, atau
dikebunnya, ikan kering, ikan basah hasil penangkapan dilaut. Pada malam
hari mereka pergi kepantai waktu air laut surut mencari ikan, kerang dan
latu/agar-agar atau sayur laut. Semua ini dimasak dengan cuka Rote yang terbuat
dari nira lontar juga. Walaupun ia makan nasi, tetapi penutup makannya juga harus minum gula lagi pengganti air, jika
tidak demikian, ia tetap masih merasa lapar.
Jadi tidak ada hari tanpa gula.
Nira lontar, itulah yang dimasak
menjadi gula Rote dan disimpan dalam
belanga-belanga, botol-botol, guci atau tempat lainnya. Gula adalah menu utama
orang Rote dalam hidupnya. Ada cerita, bahwa ada seorang Rote
pergi merantau ke tempat lain diluar pulau Rote. Ia membawa gula sebagai
bekalnya. Pada suatu saat, habislah gula yang di bawanya. Apa yang terjadi, menangislah
ia sejadi-jadinya karena tidak bisa minum gula lagi, seolah-olah ia telah
kehabisan “air susu ibunya,” seperti di kemukakan diatas.
Menurut penelitian
orang Belanda,
bahwa orang Rote itu cerdas otaknya
karena minum gula. Gula adalah penghasil utama kalori
tinggi bagi kesehatan manusia, juga banyak terdapat vitamin dan mineral yang
terkandung dalam nira / gula lontar itu.
Karena makanannya hanya
gula atau nira, menyebabkan perutnya tidak terlalu banyak menguras tenaga atau
energi dalam memrosesnya menjadi zat makanan yang di butuhkan tubuh. Gula,
sayur, ikan, daging, buah-buahan, adalah menu makanan sehat. Jadi kelebihan energi yang di hasilkan
tubuh, menambah cadangan kekuatan
pada otaknya sehingga menyebabkan ia
cerdas. Orang Rote beranggapan, karena ia
berasal dari perut ibu dan harus
kembali keperut ibunya juga kelak.
Maka dari itu kalau ada orang mati, maka di tebang sebatang pohon lontar.
Batang lontar yang telah di tebang
itu kemudian di belah membujur menjadi dua bagian dan isi batangnya di buang.
Maka terjadilah dua belahan batang itu yang masing-masing bentuknya seperti perahu. Kesitulah nanti mayat di masukkan. Menurut anggapan mereka mayat
itu di masukkan kembali kedalam perut ibunya. Begitu tinggi nilai pohon lontar bagi orang Rote
dalam kehidupannya sehari-hari. Setelah itu kedua belahan itu di katupkan / di
tutup lagi, kemudian di ikat lalu di kuburkan. Sebelum di masukkan kedalam peti
batang pohon lontar itu, terlebih dahulu
di mandikan lalu di kenakan pakaian adat seperti orang yang masih hidup. Pada
mulutnya di letakkan tembakau untuk sugi (Rote = makmo tembakau).
Mereka berpendapat bahwa
di dalam alam baka nanti, orang yang baru meninggal itu juga masih ingin makan
sirih. Itulah sebabnya orang mati diberi sugi
(tembakau).
Orang
yang mati ini biasanya di kuburkan disamping
atau di belakang rumah saja. Bahkan ada yang di kuburkan di dalam rumah
pada waktu dahulu kala. Jadi pada orang halaik
(animisme) tidak terdapat kuburan seperti
biasanya tetapi hanya berupa tumpukan batu saja. Maksud dari tumpukan batu-batu
dikuburannya agar babi-babi atau anjing tidak merusak kuburan itu. Kuburan
mereka terpencar di samping rumahnya saja. Setelah orang mati ini di kuburkan,
maka diadakan malam berjaga-jaga (mete-mete) di rumah si mati. Berjaga-jaga
pada waktu demikian biasa disebut ‘mete-mete”(tidak tidur
semalam-suntuk) atau lek-lekan. Pada malam itu di
tanak/ memasak nasi untuk tamu-tamu dan untuk yang telah mati. Nasi untuk si mati ini di ratakan pada sebuah
nyiru, kemudian di letakkan diatas tempat tidur si mati.
Pagi
harinya tentu nasi itu sudah dingin dan mengerut/susut, jadi disana-sini nasi
itu berlubang-lubang. Orang-orang
mengatakan, bahwa sebagian dari nasi itu telah dimakan oleh arwah si mati. Pada
orang yang mampu, “mete-mete” ini diadakan sampai 40 hari 40 malam. Siang dan malam orang memukul gong dan tambur serta
menari-nari dan “kebalai” (tarian
masal bergandengan tangan dalam bentuk lingkaran dan berputar dari kiri kekanan
mengikuti lagu iringan nyanyian bersama) menghormati arwah si mati.
Tiap-tiap hari menyembelih kerbau, kambing, babi, sapi
dan ayam dan menanak nasi banyak sekali
untuk tamu yang datang. Juga harus menyediakan berbotol-botol berisi sopi
(wisky Rote). Orang tua yang kaya ini (si mati), sebetulnya mempunyai
banyak sekali sawah dan ternak. Tetapi tiap harinya ia hanya memakan gula serta sedikit sayuran seperti
teman-temannya yang lain. Ternaknya di
biarkan berkembang biak di padang
rumput, ada pula yang di lepas di hutang berkeliaran menjadi liar sampai banyak
sekali.
Padi hasil sawahnya
setiap tahun di simpan diloteng rumahnya.
Di simpan tidak
dimakan, sebab makanannya gula.
Ø Tiap hari tidak
pernah menanak nasi dan,
Ø Tidak pernah
menyembelih hewan ternaknya.
Ø Hanya jika ia
kedatangan tamu dari jauh, biasanya baru ia menanak nasi dan memotong kambing
atau babinya untuk di suguhkan pada tamunya sebagai rasa hormatnya.
Ø Bila tamunya pulang,
ia diberi bekal daging dari binatang yang di potong itu.
Pada saat-saat demikian
itu seolah-olah barulah ia merasakan hasil kekayaannya. Setelah itu ia kembali
pada kebiasaan hidup dengan makan
gula lagi setiap hari seperti semula.
Bukan karena kikir, tetapi menyimpan padi itu untuk persediaan
kematiannya nanti. “Aneh tapi nyata”.
Tiap hari bekerja berat
di sawah, tetapi tidak pernah dan tidak mau merasakan hasilnya. Hasilnya di simpan untuk perayaan
kematiannya kelak.
Suatu cara hidup
yang sangat berlainan dengan suku-suku lain di Indonesia.
Ø Berkarung-karung padi
setiap harinya di turunkan dari loteng rumahnya dan di tumbuk beramai-ramai
oleh puluhan perempuan untuk di jadikan beras.
Ø Berpuluh-puluh ekor
kerbau dan sapi yang berkeliaran dihutan ditangkap.
Ø Berasnya
ditanak/dimasak. Binatang di potong.
Semuanya ini untuk
tamu-tamu yang datang selama 40 hari 40 malam terus menerus. Hal demikian terjadi
karena sifat orang Rote yang suka sekali menghormati tamunya. Penghormatan ini
sering berlebih-lebihan. Biar ia sendiri tidak makan, asal tamunya makan.
Mereka akan menunjukkan pada tamunya bahwa mereka mampu menyajikan sajian yang
enak-enak selama 40 hari 40 malam.
Mereka merasa malu sekali, kalau pada
waktu ‘mete-mete’ (lek-lekan) itu tidak dapat menyajikan nasi
beserta lauk-pauknya untuk para tamunya. Api
unggun dihalaman rumahnya makin besar sebagai pengganti lampu penerang di
luar. Orang-orang mulai menari di iringi dengan lagu-lagu gong. Ke-tujuh
orang anak dari orang tua yang meninggal ini juga kaya-kaya semuanya.
Mereka masing-masing
ingin juga merayakan dan menghormati arwah ayahnya.
- Mula-mula pesta dan “mete-mete” (lek2-an)
diadakan dirumah ayahnya,
yaitu dirumah si mati sendiri selama 40
hari 40 malam (yaitu pesta merayakan kematian 40 hari yang pertama). Kemudian anak-anaknya
juga merayakan penghormatan arwah ayahnya itu di rumah mereka masing-masing
lagi, secara barganti-ganti. Ayahnya telah dikubur.
- Setelah pesta kematian 40 hari yang pertama
yang di adakan dirumah orang
tua si mati ini, kemudian
diadakan lagi pesta 40 hari yang kedua
dirumah anaknya yang pertama (sulung).
Si ayah, semasih hidupnya, mempunyai tempat sirih, kemana saja ia pergi
selalu dibawanya. Tempat sirih ini dalam bahasa Rote disebut “Tonda”. Dari rumah ayahnya pada hari
kematian yang ke 41, “Tonda” itu diambil oleh
anaknya yang sulung. “Tonda”
itu dianggap sebagai pengganti/lambang ayahnya yang baru mati 40 hari itu. Sepanjang jalan dari
rumah ayahnya kerumahnya (anak yang pertama/sulung) itu, “Tonda
ayahnya” yang
dibawanya itu “ditangisi/diratapi” sepanjang jalan, oleh para pengiring
seolah-olah itu adalah mayat ayahnya/si mati. Setelah
sampai dirumah anak yang sulung, maka diadakan pesta kematian secara
besar-besaran yang kedua, 40 hari
40 malam juga.
- Dari situ yaitu pada hari kematian yang ke- 81 harinya “Tonda” itu ditangisi lagi diiringi
dan dipindahkan lagi kerumah anaknya yang kedua. Dirumah anak yang kedua inipun diadakan
pesta lagi, pesta kematian yang ketiga kalinya, selama 40 hari dan 40 malam juga.
- Dari situ yaitu pada hari kematian yang ke-121 harinya, “Tonda” itu di pindahkan
lagi kerumah anaknya yang ketiga sambil di tangisi sepanjang jalan.
Di sinipun orang akan merayakan dengan menari-nari dan di beri makan dan
minum dengan memotong hewan kurban sebanyak-banyaknya sampai 40 hari dan 40 malam juga.
- Setelah itu Tonda itu di pindahkan lagi
kerumah anaknya yang ke-empat,
ke-lima, ke-enam dan terakhir
dirumah anaknya yang ke-tujuh,
masing-masing anak merayakan kematian ayah mereka 40 hari dan 40 malam.
Jadi arwah orang tua
dari ke-tujuh anak yang meninggal itu di
hormati di rumahnya sendiri (orang tua si mati) dan di rumah masing-masing ke-tujuh
anaknya, adalah selama 8 X 40 hari = 320 hari. Selama 320
hari atau hampir satu tahun pesta kematian itu di adakan terus menerus, hanya
untuk sesorang saja yang mati. Berapa harikah lamanya pesta kematian itu kalau seandainya memiliki anak
sebanyak 14 orang atau lebih? Ya....,
“Pesta kematian termahal dan terlama di dunia”.
Bayangkanlah
sendiri. Dan apabila di nilai dengan uang, berapa jumlah biaya yang telah dihabiskannya. Orang akan keheranan memikirkan adat kematian
orang
Rote/Roti semacam ini, yang tidak mungkin akan di temukan di manapun
di dunia ini.
”Unik.” Aneh Tapi Nyata. Yaaa...Prestise,
harga diri dan kebanggaan, lebih tinggi
dari nilai ekonomisnya. Inilah arti kebesaran budaya tradisional yang dianut oleh orang Rote (Roti).(Gyanto-l958)
Adat Orang Ndao, Rote di NTT
Cara Menjamu Tamu dan Adat Kematian
1). Adat Menjamu
tamu
“Lain padang lain
belalangnya, lain lubuk lain ikannya”, kata orang bijak. Arti pribahasa itu
tentu dapat saudara terka, yakni “lain daerah, lain pula kebiasaannya”. Pulau
Ndao termasuk wilayah Rote yang terletak
dibagian barat pulau Rote.Dan apa kelainan adat orang Ndao itu, dapat dibaca
pengalaman Minggus Manafe penulis “Buku Aneka Kehidupan di Pulau Roti” sebagai berikut :“Saya ingat, waktu itu
pertengahan tahun l957. Saya sedang berlibur ke-pulau Ndao di Kabupaten Rote Ndao, NTT untuk mengunjungi abang
Alex dan keluarganya”. “Bagaimana kegirangan hati abang melihat kedatangan
saya, tak dapat saya lukiskan dengan kata-kata”. Maklumlah kami sudah berpisah 3 tahun, dan baru sekali ini kami
bertemu.
Dibawalah saya
berkeliling pulau itu untuk melihat-lihat pemandangan yang tidak begitu indah,
dan sesekali-sesekali dibawanya saya kerumah tetangganya, lalu diperkenalkan
kepada mereka. Dengan sangat ramah, datanglah tuan rumah menyambut kami, lalu
kami berjabat tangan dengan mesrahnya. Tuan rumah membentangkan sehelai tikar
diatas sebuah bangku panjang yang lebar, kemudian mempersilahkan kami duduk
diatas bangku itu. Ada juga disediakan dua buah bantal.
“Untuk apa bantal ini” ? Tanya saya kepada abang Alex. “Untuk dipakai tidur”,
jawab abang sambil tertawa. “Tidak, sahut tuan rumah”. “Kakakmu berolok-olok”. “Sudah demikian adat
kami, bila ada tamu datang, perlu disediakan tikar dan bantal untuk tempat duduk”. “Tetapi bagi mereka yang
tidak mempunyai bantal, cukuplah bila telah disediakan tikar”. Hal itu tidak
dianggap sebagai suatu aib. Nah, itu tentang tikar dan bantal dipakai untuk
menyambut tamu.
Sekarang tentang wadah minum-minuman
tamu yang digantung.
Ketika
kami bertamu kerumah Ama Jenna ini,
istrinya menghidangkan nira-lontar
serta ikan kering bakar, untuk saya
dan abang Alex. Nira itu ditaruh didalam dua haik / timba, wadah tempat minum
orang Rote sebagai pengganti gelas) yang terbuat dari daun lontar, yang kemudian digantungkan
tepat dihadapan kami. Tempat menggantung timba itu telah dibuat demikian
rupa, sehingga letak timba tepat pada posisi mulat kami.
Mula-mula
saya merasa lucu, lalu saya tertawa, tetapi secepat itu abang melototkan
matanya lalu saya diam. “Silahkan minum tuan muda”, kata Ama Jenna sambil
tersenyum. “Terima kasih pak”, jawab abang sambil
menyorongkan mulutnya ketimba yang sedang tergantung itu, lalu minumlah ia
sepuas-puasnya. Saya juga meniru sebagai yang dilakukan abang/kakak. Kami
minum nira manis sambil makan ikan asin yang dibakar.
2). Adat Kematian
Di Pulau Ndao, Rote, NTT
“Ada seorang
tetangga saya meninggal”, kata Ama
Jenna.
“Sebab itu bila tuan-tuan tidak berhalangan, sudi
dartanglah kerumah duka”.
“Baik
pak”, jawab abang. Malam itu bulan gelap, tidak
sebuah bintang pun bercahaya. Di halaman
rumah duka itu dibuat api
unggun sebagai alat penerangan
pengganti lampu, dan sekelilingnya tampak orang duduk berkelompok-kelompok. Sedang disudut lain tampak seorang pemuda
sedang asyik bermain
juklele (gitar kecil) dan beberapa pemuda lainnya
bertepuk-tepuk tangan. Dari antara orang
banyak itu, muncul dua tiga pemuda yang berdiri sambil membungkukkan badan
didepan gadis-gadis yang sedang duduk, lalu berdansalah mereka dengan penuh semangat.“Berdansa dirumah duka” ? Tanya saya kepada abang/kakak
keheranan. “Ah, begitulah kebiasaan
mereka disini untuk menghibur hati”. Dikeluarga yang berduka diadakanlah juga
bermacam-macam permainan antara lain,
Ø dansa,
Ø kebalai,
Ø bermain Sasando, dan
Ø tari-tarian.
Bukankah engkau tahu
juga bahwa kurangnya hiburan dipulau
Ndao yang sangat sunyi dan terpencil ini, menyebabkan penduduk menahan
seleranya masing-masing sebab hanya jika ada acara adat, perkawinan, atau
kematian seperti sekarang ini, baru bisa terdapat hiburan yang menghibur diri
mereka. Karena itu mereka memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya.
“Hanya dengan juklele yang sebuah itu” ? Tanya saya.
“Ya, hanya dengan juklele itu, tanpa gitar dan fiol, mereka bermain dengan
penuh semangat lalu berdansa-dansa
sesuka hatinya”. Lihat, yang tua-tua itu juga bertepuk-tepuk tangan
kegirangan. Sebentar lagi mereka pergi
duduk disisi mayat, lalu meratap dengan sedihnya. Lelah menatap mayat, pergi pula mereka memukul
gong dan menari-nari.
“Aneh”, sambung saya.
“Begitu tentu aneh bagi
kita yang bukan penduduk sini., tetapi bagi mereka tidak, karena itu sudah adat
mereka. Sepanjang malam dari senja sampai subuh, suasan dirumah duka itu sangat
ramai oleh bermacam-macam permainan seperti main Sasando, berkebalai dan berdansa serta tari-tarian. Namun
demikian sesekali terdengar juga ratapan tangis yang mengharukan, diratapkan
oleh perempuan dan anak-anak serta keluarga mereka yang ditinggalkan kekasihnya.
Para yang melayat, selain diberi makan dan minum, juga diberi wisky asli Rote yang disebut “sopi” yaitu minuman adat tradisional
berkadar alkohol tinggi yang membuat mereka bertambah semangat. Inilah
cara mereka menghibur keluarga yang sedang berduka.
Adat kebiasaan berdansa ini sebenarnya
dibawa oleh Portugis saat menguasai
Rote pada awalnya. Umumnya di Pulau Rote dan Ndao selain araca-acara yang
disebutkan diatas, juga setiap hari
Ulang Tahun keluarga, teman-teman, dan
tetangga selalu diadakan dansa-dansa.
Oleh karena itu pada Kalender / Almanak tahunan mereka, selalu diberi
tanda/catatan nama-nama orang, pada setiap tanggal-tanggal hari ulang tahun
baik keluarga, tetangga maupun handai tolannya. Maka bila telah tiba tanggal
yang telah diberi tanda itu, maka tanpa diberi undangan sekalipun, mereka akan
beramai-ramai datang kepesta pada malam hari dengan sendirinya. Tujuannya hanya
untuk berdansa walaupun bermodalkan
sebuah juklele atau sebuah gitar saja.
Yaaa... memang Unik...Menghibur keluarga yang berduka
kematian dengan Dansa !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.