alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Jumat, 02 Januari 2015

ADAT KEMATIAN DI PULAU ROTE

ADAT KEMATIAN ORANG   ROTE

Perawatan Mayat.

Upacara kematian / death ritual, adalah suatu upacara yang diadakan berhubung dengan peristiwa kematian seseorang, yang bermaksud untuk menunjukkan perasaan berkabung. Bagi orang Rote kalau ada yang meninggal, yang bertanggung jawab secara adat adalah saudara laki-laki yang tertua yang masih hidup.  Begitu ada yang meninggal semua sanak keluarganya datang, baik yang dari dekat maupun dari tempat-tempat yang jauh. Sebelum semua sanak saudara berkumpul, mayat tidak boleh dikubur. Mayat ditempatkan dirumah duka.  Kaum ibu berganti-ganti meratap menangis didepan mayat.
Setelah semua keluarga hadir, mayat kemudian dimandikan. Kemudian diberikan pakaian adat, berupa sehelai selimut (lafa) dan baju. Mayat yang telah dikenakan pakaian itu kemudian dimasukkan ke peti mati. Peti mati ini pada zaman dahulu dibuat dari sebatang kayu / sebatang pohon lontar yang besar yang dilubangi dibagian tengah-tengahnya seperti sebuah lesung.

Pesan Atas Nama Mayat.

Selesai merawat mayat, saudara laki-laki tertua kemudian menekuni mayat, terus tangannya diangkat, semua hadirin menjadi hening menunggu apa kata wali mayat itu. Terdengarlah pesan-pesan atas nama mayat :
Ø  Siapa-siapa yang hadir disini yang mempunyai hutang kepadanya, dan kepada siapa saja yang meninggal itu berutang”.
Ø  Jika diantara hadirin ada yang  kebetulan  berhutang dan yang berpiutang kepada si mati, akan menjawab berturut-turut, yang kemudian mereka  dicatat nama-namanya dan jumlah hutang-piutangnya, untuk diselesaikan nanti setelah penguburan.
Selesai tanya jawab mengenai hutang-piutang, dan nama-nama mereka telah dicatat, maka mayat itu diusung ketempat kuburan. Kuburan dimana saja asal tidak jauh dari rumahnya. Selesai dikubur, diatasnya ditaruh sirih pinang dan tembakau dalam tempurung kelapa. Juga diatas kuburan itu ditaruh semua alat memasak. Tetapi tabu/dilarang disana diletakkan senjata tajam atau sebangsanya, karena mereka percaya kalau para arwah, akan menyebabkan yang masih hidup sakit karenanya.

Upacara Adat Penguburan di Rote

Adat penguburan / burial customs, adalah adat yang berhubungan dengan perawatan jenazah dengan cara menanamnya di tanah. Pada zaman dahulu, orang yang mengumumkan tentang siapa-siapa yang berhutang-piutang itu, duduk diatas peti yang sedang dipikul/diusung. Orang tersebut memakai ikat kepala kain merah.
Sambil duduk diatas peti itu ia berteriak mengumumkan,
Ø  siapa-siapa  yang berutang-piutang,
Ø  demikian serunya sampai kadang-kadang timbullah keramaian, dorong-mendorong diantara para pengiring dan para pengusung peti jenazah yang banyak itu.
Suasana demikian makin hebat setelah dekat pada kuburan.
Setelah tiba dikuburan mayat segera dimasukkan kedalam kuburan, berarti, pengumuman utang piutang ditutup, dan  siapa-siapa yang mengajukan tuntutan dikemudian hari tentang hutang-piutang tadi, menurut adat tidak akan digubris lagi atau dengan istilah sekarang disebut daluarsa artinya hilang hak dan kewajiban perdatanya. Oleh karena itu jika diantara para pelayat terdapat utang-piutang, maka semua yang bersangkutan harus menyampaikannya dan dicatat namanya selama mayat masih dirumah duka. Namun pada waktu pemberitahuan di rumah duka tidak ada  pihak yang mengatakan ada utang-piutang, hingga mayat dimasukkan kedalam kuburan, dan pada suatu ketika ada klaim dari pihak-pihak lain tentang adanya hutang piutang maka tuntutan tersebut dianggap telah daluarsa sehingga yang meninggal dan ahliwarisnya tidak berkewajiban untuk membayar utang kepada si penagih.

Demikian adat orang Rote dalam hal adanya utang piutang yang bersangkutan dengan orang yang mati itu.    Setelah selesai mayat dikuburkan, dibagian kepala kuburan tersebut dipancangkan tongkat, tempat menggantungkan peralatan memasak, seperti sendok tempurung, tempat nasi dari daun lontar, batok kelapa tempat gulai dan buli-buli tempat minum sebagai simbolis.  Alat-alat tersebut  dipergunakan  nanti oleh arwah di alam gaib. Biasanya kuburan menghadap kearah Barat, karena menurut keyakinan mereka (orang Rote), kematian  ada di Barat mengikuti terbenamnya matahari dibagian Barat. Oleh karena itu rumah  adat orang Rote pantangan untuk menghadap ke Barat karena itu adalah arah kematian mengikuti terbenamnya matahari, sehingga dipercaya pemilik rumah akan cepat mati atau ada saja kemalangan lainnya yang akan dialaminya.

Upacara adat kematian “ Lakape”

Pada upacara rangkaian pertama sebelum dan pada waktu penguburan, semua tamu yang hadir pada waktu penguburan,  dan sanak keluarga disuguhi jamuan, jamuan mana dibuat yang paling enak. Jamuan tersebut dimaksudkan dengan inti sarinya, atau pada hakekatnya, juga  dimakan oleh arwah yang meninggal. Oleh karena itu pada upacara-upacara, semua kekayaan si mati dipergunakan untuk keperluan upacara,
Ø  (baik padi yang disimpannya di lumbung loteng rumahnya  selama hidupnya, maupun
Ø   berpuluh-puluh hewan yang dipeliharanya bertahun-tahun di padang, semuanya untuk pesta kematiannya).
Pada masa hidupnya belum tentu setiap hari menanak nasi untuk dimakan, maupun tidak pernah menyembelih hewan ternaknya untuk lauk pauk. Semua itu sebagai persediaan yang akan dipergunakan saat kematiannya. Sesekali saja makan nasi, karena ia cukup minim gula saat lapar maupun haus, dan hanya sesekali makan nasi.

Bagi orang Rote, kematian itu disebabkan oleh dosa.
Oleh karena itu bagi keluarga yang tinggal, dosa-dosa itu harus dibersihkan, supaya tidak terkena malapetaka maut kepada yang masih hidup.  Untuk pembersihan itu dilakukan upacara  “ lakape no” ( mencuci rambut dengan santan kelapa).  Ini dilakukan sesudah mayat dikuburkan. Para keluarga tetap tinggal, menghibur keluarga yang sedang berduka. Malam harinya mereka membunyikan “Gong” dan “Sasando, ” (macam kecapi) sambil berjanyi dan menari “Kebalai” yaitu tarian selang-seling antara wanita dan laki-laki yang  saling rangkulan dengan tangan diatas bahu masing-masing dengan membentuk lingkaran berputar dari kiri kekanan sambil bernyanyi bersama-sama, yang dipimpin oleh pimpinan tari dan tanpa diiringi oleh satu alat musik pun. Pada keesokan harinya diadakan upacara “Lakape no”. Untuk keperluan upacara ini diparutkan kelapa muda yang kemudian dicampurkan dengan irisan jeruk nipis atau jeruk purut. Kemudian si-janda / duda yang ditinggal mati itu, diiringi turun kesungai untuk mandi dan mencuci rambut/berlangir kelapa dan limau / jeruk. Ini sebagai lambang “pembersihan diri”. Selesai mandi mereka kembali kerumah duka untuk makan adat bersama. Kurban sajian disembelih berupa 2 atau 3 ekor kambing atau babi. Sebelumnya tua adat dari keluarga yang sedang berduka itu menyuguhkan sajian berupa sirih pinang dan tembakau didalam tempurung kelapa. Lalu ia pergi kepersimpangan pertigaan jalan. Disana ia bermentra dan bercakap-cakap dengan roh si mati. Percakapan dikhususkan pada persoalan bahwa mulai hari itu yang ditinggal akan melakukan upacara “lakape no” supaya roh si mati jangan mengganggu.

Upacara “Mok Bingga

Upacara ini dilakukan oleh saudara laki-lakinya atau oleh ibunya orang yang meninggal. Keluarga si-mati biasanya memakai sepotong kain hitam yang dikaitkan pada lengan baju mereka sebagai tanda berkabung atau berpakaian serba hitam. 
Upacara ini bertujuan untuk memisahkan perhubungan orang yang meninggal dengan ibu bapak  dan saudara-saudaranya serta dengan seluruh kaum kerabatnya yang masih hidup. Upacara ini dilakukan setelah mayat dikebumikan. Ia membawa sebotol gula air / cair (toea nasoe), seekor hewan kurban dan sayur daun kelor. Tua adat mendoa dengan maksud sejak upacara itu, terpisahlah cara kehidupan antara kedua belah pihak.
Selesai berdoa mereka diharuskan makan bersama dalam sebuah nyiru, (anyaman dari daun lontar) demikian juga air gula dan sopi (arak Rote), harus diminum bersama dari satu botol yang sama pula. Selesai keluarga itu makan bersama, barulah semua yang melayat dipersilahkan makan. Dengan demikian selesailah upacara “mok-bingga”.

Upacara Adat Kematian
“Tuna Latek Faha Langak”.

Upacara ini adalah adat kebiasaan memadat-madatkan tanah kuburan dengan disertai dengan pembelahan kepala kerbau. Secara adat kepala-kepala kerbau yang disembelih sebagai kurban pada waktu penguburan, dibiarkan sampai saat upacara pemadatan tanah kuburan dan pembelahan kepala kerbau. Setelah itu, kemudian dipotong-potong dan dagingnya direbus. Disamping itu disembelih pula binatang kurban beberapa ekor kambing  atau babi. Semua daging binatang itu diberikan kepada semua orang yang ikut menggali kuburan. Upacara ini sebagai ucapan terima kasih dari keluarga yang berduka kepada para pekerja  “tife kopa lates” (pemberian jasa pengerja kuburan).
Sementara itu kaum ibu menyediakan makanan, maka kaum laki-laki membawa lesung dan tembilang serta alat pemadat tanah lainnya ketempat kuburan.  Tanah kuburan kemudian dipadatkan sampai rata dengan tanah lainnya disekitarnya.
Untuk memadatkan sebagai kuburan, disekelilingnya didirikan pagar dari batu. Kemudian dalam pagar diatas kuburan itu dibentangkan tikar yang telah usang dan seember air. Air itu dipergunakan untuk mencuci tangan dari para pekerja. Pada waktu mencuci tangan itu terjadilah keramaian, dimana semua pekerja saling mendahului dan saling ciprat-menciprat satu sama lain, sehingga akhirnya saling kejar-mengejar untuk menciprati siapa saja yang berada disitu. Terkadang wajah mereka penuh dengan lumpur, sehingga menyebabkan sorak sarai dan teriakan kegirangan karena berhasil mengotori wajah temannya dengan lumpur pada tangannya atau siapa saja yang ada disitu.

Upacara Adat Kematian
“Natu Buku Bakek”

Upacara ini dilakukan sehari semalam atau lebih. Upacara ini dilakukan tepat pada jam dua malam, dengan pimpinan kepala adat keluarga yang disebut ”manesongo”
( pendeta adat).
Manasongo ini menabuh  sebuah tambur sambil memanggil  arwah orang yang baru meninggal itu. Suaranya mula-mula tinggi, kemudian makin perlahan-lahan yang mengharukan, kemudian kembali penuh semangat  dan akhirnya menyeramkan.
Apabila “manasongo” itu telah melihat arwah yang dipanggilnya telah datang, ia turun dari rumah (rumah panggung), dan menyambut arwah itu dengan di akhiri dengan ucapan sebagai berikut: “Inilah bagian pusakamu, ambillah”  mulai saat ini engkau tidak boleh menuntut sesuatu lagi dari kami.” Sambil berkata demikian itu menaburkan beras dan kerat-keratan / potongan-potongan daun telinga babi.Selesai berbuat demikian ia berteriak sekeras-kerasnya, yang kemudian diikuti oleh teriakan-teriakan lain dari para hadirin yang ada di sekeliling penjuru rumah.

Teriakan-teriakan gemuruh ini berarti selesailah upacara “natu-buku bakek””, sehingga keluarga yang ditinggal itu tidak usah takut akan bencana maut. Kemudian semua keluarga turun dari atas  rumah (rumah panggung) mendapatkan “manasongo”.  Diluar, “manasongo” menceritakan tentang para arwah yang datang, yang diikuti oleh para arwah yang lainnya. Menurut manasongo para arwah itu, ada yang kelihatan tidak berbadan, tidak berkaki, ada pula yang tersiksa dengan membawa pedang dan lembing / tombak. Selesai manasongo bercerita tentang para arwah yang datang, dipukullah gong dan tambur sebagai tanda mulai bersukaria sampai esok hari. Keesokan harinya semua hewan kurban di sembelih, dagingnya di potong-potong dan direbus. Soreh harinya diadakan perjamuan makan  “natu buku bakek” (simpul).

Selesai makan diadakan pembagian daging kepada mereka yang pernah memberi hadiah / sumbangan saat menghadiri orang yang meninggal. Daging yang diberikan sesuai dengan besarnya sumbangan yang diberikan. Selesailah upacara “natu buku-bakek” (upacara melepaskan masa berkabung) sebagai simpul terakhir yang menyatakan kepada umum, bahwa keluarga yang berduka telah selesai melakukan segala upacara dukanya. Mulai saat itu telah terurai dan dukacita telah selesai.  Keluarga si mati mulai saat itu melepaskan tanda hitam lambang duka cita (perkabungan) yang ada pada lengan baju/pakaian mereka atau  demikian pula tidak lagi memakai pakaian serba hitam lagi. Untuk keperluan upacara ini diperlukan binatang kurban sampai 50 ekor sapi atau kerbau  babi, kambing, domba.

Selama masih hidup mereka bekerja keras,
Ø  menanam padi disawah / diladang dan setelah panen disimpannya dalam sokal-sokal (tempat menampung padi) diatas loteng rumahnya, dan
Ø   memelihara ternak sapi / kerbau / babi, kambing dan domba.
Namun semuanya ini tidak dinikmatinya selama hidupnya. Jarang memasak nasi atau menyembelih hewan piaraannya untuk dimakan. Tetapi semuanya ini merupakan stok / persediaan untuk pesta saat kematiannya secara besar-besaran dan berhari-hari lamanya. Sesekali saja menanak nasi atau menyembelih hewan hanya jika ia kedatangan tamu. Sehari-harinya hanya minum nira atau gula lontar (gula cair) dan makan rebusan daun pepaya, sayur laut, ikan kering, rebusan ikan dengan cuka Rote yang ditangkap disela-sela batu karang waktu air laut surut, bawang merah, kacang hijau mentah atau sayur hasil kebun lainnya disekitar pekarangannya.
Itulah menu sehari-harinya.
Ø  Lapar minum gula, haus minum gula.
Ø  Tamu sesama suku bangsanya yang datang bertamu juga dihidangkan gula.
Ø  Pergi mengerjakan sawah ladannya, juga gula sebagai bekalnya, atau
Ø  Kepadang rumput menggembalakan hewan ternaknya , juga gula bekalnya.
Ya sepanjang hari adalah gula untuk bertahan hidupnya.  Banyak orang luar bertanya, “setiap hari minum gula tetapi mengapa tidak seorangpun dari orang Rote itu terkena “sakit gula”.  Mungkin jawaban mudah ialah bahwa
Ø  Gula Rote itu gula alamiah tanpa campuran bahan kimia seperti gula pasir.
Ø  Disamping itu dalam gula ada terkandung sat asamnya sehingga menetraliser dampak lain yang dapat menyebabkan orang sakit gula.
Mereka cukup protein, sayur-sayuran dan kalori dari gula, dan sesekali juga makan nasi,  sudah memenuhi syarat minimum kesehatan  yang dibutuhkan tubuh manusia, menyebabkan mereka sehat. Karena sering menghadiri pesta adat, seperti pesta perkawinan, kematian, atau daur hidup yang lainnya, disitulah mereka makan nasi dan daging sebanyak-banyaknya sebagai pelengkap perbaikan gizi-nya. Setiap hari orang laki-lakinya naik turun memanjat pohon lontar hingga belasan atau puluhan banyaknya untuk mengambil niranya,  secara tidak langsung, telah melakukan olah raga secara tidak sengaja.

Demikian pula wanitanya, pergi mencari kayu untuk memasak, memikul air, mengerjakan sawah dan ladang bekerja dirumahnya, juga sudah termasuk melakukan olah raga pula. Karena itu badan laki-laki orang Rote umumnya tegap-tegap dan wanitanya berwajah segar menawan, murah senyum sehingga jarang menderita sakit yang berarti. Kata orang Rote mereka tidak mau malu  terhadap tamu-tamu mereka pada suatu pesta adat. Karena itu,
Ø  padi diturunkan dari loteng rumahnya ditumbuk oleh berpuluh-puluh wanita kemudian dimasak untuk memberi makan berhari-hari kepada tamunya.
Ø  demikian pula hewan peliharaannya yang  dipadang ditangkap dan disembelih berpuluh-puluh ekor, selain digunakan untuk pesta, juga berbentuk daging mentah untuk pemberian kepada tamu-tamu yang melayat, saat hendak kembali ke rumah mereka  masing-masing.

 Upacara Adat Kematian Di Rote
Di Kerajaan Dengka.

Rangkaian upacara kematian hampir sama seperti diatas, hanya  mayat dikuburkan setelah terlebih dahulu, dibiarkan 2 atau 3 hari untuk kesempatan meratapi dari para keluarganya selama (“mete-mete”) = berjaga-jaga / lek-lekan, atau tidak tidur semalam suntuk menunggui si mati. Pada upacara mete-mete inilah disembelih binatang kurban sebanyak mungkin. Setelah selesai upacara ‘mete-mete’ beberapa hari kemudian, mayat diusung menuju kuburan dengan menyinggahi rumah-rumah sanak keluarganya, sebagai ucapan selamat tinggal. Tuan rumah yang sedang berduka cita berusaha menyediakan makanan dan minuman bagi para pengiring, yang mengantarkan mayat yang mulai mengembara didunia gaib-nya itu. Setelah semua sanak keluarga telah disinggahi, baru mayat dibawa kekuburan, untuk dikubur. Pada hari ke-40 dan ke-l00 diadakan pesta kematian dengan menyembelih binatang kurban secara besar-besaran.

Adat Kematian (Orang Halaik/ Animisme)
di Olafulihaa-Korbafo-Pulau Rote
( Pesta  KematianTerlama dan termahal di Dunia)

Upacara (ritual; ceremony) adalah: Sistem aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata  oleh atau hukum yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa tetap, yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan ; Atau suatu kegiatan pesta tradisional yang diatur menurut tata adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat dalam rangka memperingati peristiwa-peristiwa penting atau lain-lain dengan ketentuan adat yang bersangkutan.
Upacara adat kematian semacam ini hanya dilakukan oleh orang-orang halaik saja yaitu orang-orang yang masih beragama “halaik” (animisme).Orang tua yang mati ini juga masih halaik / menyembah berhala. Dia kaya sekali. Anaknya sudah besar-besar, sudah berkeluarga dan mempunyai rumah sendiri- sendiri,  ada 7 (tujuh) orang,, semuanya kaya. Tempat tinggal mereka di desa Olafulihaan di Kerajaan Korbafo-Rote-NTT. Ketujuh anaknya ini sekarang ada dirumah ayahnya yang meninggal itu. Semua menangis seperti biasanya anak yang ditinggal mati oleh bapaknya. Semua sanak keluarga dan pelayat dari mana-mana juga datang menghadiri kematian orang tua ini (l956). Orang-orang Rote ini kebanyakan hidup dari nira lontar yang telah dimasak menjadi gula.
Ø  Orang Rote melambangkan pohon lontar itu sebagai ibu  mereka.
Ø  Air nira yang kemudian dimasak menjadi “gula” itu, mereka anggap sebagai air susu ibunya,

Sebab gula itu dapat mempertahankan hidupnya sehari-hari.
Ø  pagi minum gula,
Ø  siang minum gula,
Ø  malam minum gula,
Ø  kalau haus juga minum gula,
Ø  lapar juga minum gula,
Ø  ya... sepanjang hari menunya adalah gula. Istilah orang Barat mengatakan Orang Rote adalah suku bangsa yang disebut : No Eating People atau Live No Eating. Yaaa “kehidupan tanpa makanada kebenarannya.
Anak-anak mereka juga minum gula atau nira sebelum berangkat kesekolah.
Kalau bepergian jauh, atau mengerjakan sawah ladang, atau mengembala hewan dipadang, semuanya membawa bekal gula. Sesekali saja baru ia menanak/memasak nasi untuk di makan. Lauknya adalah, sayur-sayuran yang ditanam sendiri di pekarangan rumahnya, atau dikebunnya, ikan kering, ikan basah hasil penangkapan dilaut. Pada malam hari mereka pergi kepantai waktu air laut surut mencari ikan, kerang dan latu/agar-agar atau sayur laut. Semua ini dimasak dengan cuka Rote yang terbuat dari nira lontar juga.  Walaupun ia makan nasi, tetapi  penutup makannya juga harus minum gula lagi pengganti air, jika tidak demikian, ia tetap masih merasa lapar.

Jadi tidak ada hari tanpa gula.
Nira lontar, itulah yang dimasak menjadi gula Rote dan disimpan dalam belanga-belanga, botol-botol, guci atau tempat lainnya. Gula adalah menu utama orang Rote dalam hidupnya. Ada cerita, bahwa ada seorang Rote pergi merantau ke tempat lain diluar pulau Rote. Ia membawa gula sebagai bekalnya. Pada suatu saat, habislah gula yang di bawanya. Apa yang terjadi, menangislah ia sejadi-jadinya karena tidak bisa minum gula lagi, seolah-olah ia telah kehabisan “air susu ibunya,” seperti di kemukakan diatas.
Menurut penelitian orang Belanda, bahwa orang Rote itu cerdas otaknya karena minum gula. Gula adalah penghasil utama kalori tinggi bagi kesehatan manusia, juga banyak terdapat vitamin dan mineral yang terkandung dalam nira / gula lontar itu.
Karena makanannya hanya gula atau nira, menyebabkan perutnya tidak terlalu banyak menguras tenaga atau energi dalam memrosesnya menjadi zat makanan yang di butuhkan tubuh. Gula, sayur, ikan, daging, buah-buahan, adalah menu makanan sehat. Jadi kelebihan energi yang di hasilkan tubuh, menambah cadangan kekuatan pada  otaknya sehingga menyebabkan ia cerdas.   Orang Rote beranggapan,  karena ia berasal dari perut ibu dan harus kembali keperut ibunya juga kelak.

Maka dari itu kalau ada orang mati,  maka di tebang sebatang pohon lontar.
Batang lontar yang telah di tebang itu kemudian di belah membujur menjadi dua bagian dan isi batangnya di buang. Maka terjadilah dua belahan batang itu yang masing-masing bentuknya seperti perahu. Kesitulah nanti mayat di masukkan. Menurut anggapan mereka mayat itu di masukkan kembali kedalam perut ibunya.  Begitu tinggi nilai pohon lontar bagi orang Rote dalam kehidupannya sehari-hari. Setelah itu kedua belahan itu di katupkan / di tutup lagi, kemudian di ikat lalu di kuburkan. Sebelum di masukkan kedalam peti batang pohon lontar itu,  terlebih dahulu di mandikan lalu di kenakan pakaian adat seperti orang yang masih hidup. Pada mulutnya di letakkan tembakau untuk sugi (Rote = makmo tembakau).

Mereka berpendapat bahwa di dalam alam baka nanti, orang yang baru meninggal itu juga masih ingin makan sirih. Itulah sebabnya orang mati diberi sugi (tembakau).
Orang yang mati ini biasanya di kuburkan disamping  atau di belakang rumah saja. Bahkan ada yang di kuburkan di dalam rumah pada waktu dahulu kala. Jadi pada orang halaik (animisme) tidak terdapat kuburan seperti biasanya tetapi hanya berupa tumpukan batu saja. Maksud dari tumpukan batu-batu dikuburannya agar babi-babi atau anjing tidak merusak kuburan itu. Kuburan mereka terpencar di samping rumahnya saja. Setelah orang mati ini di kuburkan, maka diadakan malam berjaga-jaga (mete-mete) di rumah si mati. Berjaga-jaga pada waktu demikian biasa disebut ‘mete-mete”(tidak tidur semalam-suntuk) atau lek-lekan. Pada malam itu di tanak/ memasak nasi untuk tamu-tamu dan untuk yang telah mati.  Nasi untuk si mati ini di ratakan pada sebuah nyiru, kemudian di letakkan diatas tempat tidur si mati.
Pagi harinya tentu nasi itu sudah dingin dan mengerut/susut, jadi disana-sini nasi itu berlubang-lubang.  Orang-orang mengatakan, bahwa sebagian dari nasi itu telah dimakan oleh arwah si mati. Pada orang yang mampu, “mete-mete” ini diadakan sampai 40 hari 40 malam. Siang dan malam orang memukul gong dan tambur serta menari-nari dan “kebalai” (tarian masal bergandengan tangan dalam bentuk lingkaran dan berputar dari kiri kekanan mengikuti lagu iringan nyanyian bersama) menghormati arwah si mati.
Tiap-tiap  hari menyembelih kerbau, kambing, babi, sapi dan ayam  dan menanak nasi banyak sekali untuk tamu yang datang. Juga harus menyediakan berbotol-botol berisi sopi (wisky Rote). Orang tua yang kaya ini (si mati), sebetulnya mempunyai banyak sekali sawah dan ternak. Tetapi tiap harinya ia hanya memakan gula serta sedikit sayuran seperti teman-temannya yang  lain. Ternaknya di biarkan  berkembang biak di padang rumput, ada pula yang di lepas di hutang berkeliaran menjadi liar sampai banyak sekali. 

Padi hasil sawahnya setiap tahun di simpan diloteng rumahnya.
Di simpan tidak dimakan, sebab makanannya gula.
Ø  Tiap hari tidak pernah menanak nasi dan,
Ø  Tidak pernah menyembelih hewan ternaknya.
Ø  Hanya jika ia kedatangan tamu dari jauh, biasanya baru ia menanak nasi dan memotong kambing atau babinya untuk di suguhkan pada tamunya sebagai rasa hormatnya.
Ø  Bila tamunya pulang, ia diberi bekal daging dari binatang yang di potong itu.
Pada saat-saat demikian itu seolah-olah barulah ia merasakan hasil kekayaannya. Setelah itu ia kembali  pada kebiasaan hidup dengan makan gula lagi setiap hari seperti semula.  Bukan karena kikir, tetapi menyimpan padi itu untuk persediaan
kematiannya nanti.  “Aneh tapi nyata”.

Tiap hari bekerja berat di sawah, tetapi tidak pernah dan tidak mau merasakan hasilnya. Hasilnya di simpan untuk perayaan kematiannya kelak.
Suatu cara hidup  yang sangat berlainan dengan suku-suku lain di Indonesia.
Ø  Berkarung-karung padi setiap harinya di turunkan dari loteng rumahnya dan di tumbuk beramai-ramai oleh puluhan perempuan untuk di jadikan beras.
Ø  Berpuluh-puluh ekor kerbau dan sapi yang berkeliaran dihutan ditangkap.
Ø  Berasnya ditanak/dimasak. Binatang di potong.
Semuanya ini untuk tamu-tamu yang datang selama 40 hari 40 malam terus menerus. Hal demikian terjadi karena sifat orang Rote yang suka sekali menghormati tamunya. Penghormatan ini sering berlebih-lebihan. Biar ia sendiri tidak makan, asal tamunya makan. Mereka akan menunjukkan pada tamunya bahwa mereka mampu menyajikan sajian yang enak-enak selama 40 hari 40 malam. Mereka merasa malu sekali,  kalau pada waktu ‘mete-mete’ (lek-lekan) itu tidak dapat menyajikan nasi beserta lauk-pauknya untuk para tamunya. Api unggun dihalaman rumahnya makin besar sebagai pengganti lampu penerang di luar. Orang-orang mulai menari di iringi dengan lagu-lagu gong.  Ke-tujuh orang anak dari orang tua yang meninggal ini juga kaya-kaya semuanya.

Mereka masing-masing ingin juga merayakan dan menghormati arwah ayahnya.
  1. Mula-mula pesta dan  “mete-mete” (lek2-an) diadakan dirumah ayahnya, yaitu dirumah si mati sendiri selama 40 hari 40 malam  (yaitu pesta merayakan kematian 40 hari  yang pertama). Kemudian anak-anaknya juga merayakan penghormatan arwah ayahnya itu di rumah mereka masing-masing lagi, secara barganti-ganti. Ayahnya telah dikubur.
  2. Setelah pesta kematian 40 hari yang pertama yang di adakan dirumah orang tua  si mati ini, kemudian diadakan lagi  pesta 40 hari yang  kedua dirumah anaknya yang pertama (sulung). Si ayah, semasih hidupnya, mempunyai tempat sirih, kemana saja ia pergi selalu dibawanya. Tempat sirih ini dalam bahasa Rote disebut “Tonda”. Dari rumah ayahnya pada hari kematian yang ke 41, “Tonda” itu diambil oleh anaknya yang sulung. “Tonda” itu dianggap sebagai pengganti/lambang ayahnya yang baru mati 40 hari itu. Sepanjang jalan dari rumah ayahnya kerumahnya (anak yang pertama/sulung) itu, “Tonda ayahnya” yang dibawanya  itu “ditangisi/diratapi” sepanjang jalan, oleh para pengiring seolah-olah itu adalah  mayat ayahnya/si mati. Setelah sampai dirumah anak yang sulung, maka diadakan pesta kematian secara besar-besaran yang kedua, 40 hari 40 malam juga.
  3. Dari situ yaitu pada hari kematian yang ke- 81 harinya  “Tonda” itu ditangisi lagi diiringi dan dipindahkan lagi kerumah anaknya yang kedua.  Dirumah anak yang kedua inipun diadakan pesta lagi, pesta kematian yang ketiga kalinya, selama 40 hari dan 40 malam juga.
  4. Dari situ yaitu pada hari kematian yang ke-121 harinya, “Tonda” itu di pindahkan lagi kerumah anaknya yang ketiga  sambil di tangisi sepanjang jalan. Di sinipun orang akan merayakan dengan menari-nari dan di beri makan dan minum dengan memotong hewan kurban sebanyak-banyaknya sampai 40 hari dan 40 malam juga.
  5. Setelah itu Tonda itu di pindahkan lagi kerumah anaknya yang ke-empat, ke-lima, ke-enam dan terakhir dirumah anaknya yang ke-tujuh, masing-masing anak merayakan kematian ayah mereka 40 hari dan 40 malam.
Jadi arwah orang tua dari ke-tujuh anak  yang meninggal itu di hormati di rumahnya sendiri (orang tua si mati) dan di rumah masing-masing ke-tujuh anaknya, adalah  selama 8 X 40 hari = 320 hari.  Selama 320 hari atau hampir satu tahun pesta kematian itu di adakan terus menerus, hanya untuk sesorang  saja yang mati. Berapa harikah lamanya pesta kematian itu kalau seandainya memiliki anak sebanyak 14 orang atau lebih?  Ya...., “Pesta kematian termahal dan terlama di dunia”.
Bayangkanlah sendiri. Dan apabila di nilai dengan uang, berapa jumlah biaya yang  telah dihabiskannya.  Orang akan keheranan memikirkan adat kematian orang  Rote/Roti semacam ini, yang tidak mungkin akan di temukan di manapun di dunia ini.
Unik.” Aneh Tapi Nyata. Yaaa...Prestise, harga diri dan kebanggaan, lebih tinggi dari nilai ekonomisnya. Inilah arti kebesaran budaya tradisional  yang dianut oleh orang Rote (Roti).(Gyanto-l958)


Adat Orang  Ndao, Rote di NTT

Cara Menjamu Tamu dan Adat Kematian


1). Adat Menjamu tamu

“Lain padang lain belalangnya, lain lubuk lain ikannya”, kata orang bijak. Arti pribahasa itu tentu dapat saudara terka, yakni “lain daerah, lain pula kebiasaannya”. Pulau Ndao termasuk wilayah  Rote yang terletak dibagian barat pulau Rote.Dan apa kelainan adat orang Ndao itu, dapat dibaca pengalaman   Minggus Manafe penulis “Buku Aneka Kehidupan di Pulau Roti”  sebagai berikut :“Saya ingat, waktu itu pertengahan tahun l957. Saya sedang berlibur ke-pulau Ndao di Kabupaten Rote Ndao, NTT untuk mengunjungi abang Alex dan keluarganya”. “Bagaimana kegirangan hati abang melihat kedatangan saya, tak dapat saya lukiskan dengan kata-kata”. Maklumlah kami sudah berpisah 3 tahun, dan baru sekali ini kami bertemu.
Dibawalah saya berkeliling pulau itu untuk melihat-lihat pemandangan yang tidak begitu indah, dan sesekali-sesekali dibawanya saya kerumah tetangganya, lalu diperkenalkan kepada mereka. Dengan sangat ramah, datanglah tuan rumah menyambut kami, lalu kami berjabat tangan dengan mesrahnya. Tuan rumah membentangkan sehelai tikar diatas sebuah bangku panjang yang lebar, kemudian mempersilahkan kami duduk diatas bangku itu.  Ada juga disediakan dua buah bantal. “Untuk apa bantal ini” ? Tanya saya kepada abang Alex. “Untuk dipakai tidur”, jawab abang sambil tertawa. “Tidak, sahut tuan rumah”. “Kakakmu berolok-olok”. “Sudah demikian adat kami, bila ada tamu datang, perlu disediakan tikar dan bantal untuk tempat duduk”. “Tetapi bagi mereka yang tidak mempunyai bantal, cukuplah bila telah disediakan tikar”. Hal itu tidak dianggap sebagai suatu aib. Nah, itu tentang tikar dan bantal dipakai untuk menyambut tamu.

Sekarang tentang wadah minum-minuman tamu yang digantung.
Ketika kami bertamu kerumah Ama Jenna ini, istrinya menghidangkan nira-lontar serta ikan kering bakar, untuk saya dan abang Alex. Nira itu ditaruh didalam dua haik / timba, wadah tempat minum orang Rote sebagai pengganti gelas) yang terbuat dari daun lontar, yang kemudian digantungkan tepat dihadapan kami. Tempat menggantung timba itu telah dibuat demikian rupa, sehingga letak timba tepat pada posisi mulat kami.
Mula-mula saya merasa lucu, lalu saya tertawa, tetapi secepat itu abang melototkan matanya lalu saya diam. “Silahkan minum tuan muda”, kata Ama Jenna sambil tersenyum. “Terima kasih pak”, jawab abang sambil menyorongkan mulutnya ketimba yang sedang tergantung itu, lalu minumlah ia sepuas-puasnya. Saya juga meniru sebagai yang dilakukan abang/kakak. Kami minum nira manis sambil makan ikan asin yang dibakar.

2). Adat Kematian Di Pulau Ndao, Rote, NTT

 “Ada seorang tetangga saya meninggal”,  kata Ama Jenna.
“Sebab itu bila tuan-tuan tidak berhalangan, sudi dartanglah kerumah duka”.
 “Baik pak”, jawab abang. Malam itu bulan gelap, tidak sebuah bintang pun bercahaya.  Di halaman rumah duka itu dibuat api unggun sebagai alat penerangan pengganti lampu, dan sekelilingnya tampak orang duduk berkelompok-kelompok.  Sedang disudut lain tampak seorang pemuda sedang asyik bermain juklele (gitar kecil) dan beberapa pemuda lainnya bertepuk-tepuk tangan.  Dari antara orang banyak itu, muncul dua tiga pemuda yang berdiri sambil membungkukkan badan didepan gadis-gadis yang sedang duduk, lalu berdansalah mereka dengan penuh semangat.“Berdansa dirumah duka” ? Tanya saya kepada abang/kakak keheranan.  “Ah, begitulah kebiasaan mereka disini untuk menghibur hati”. Dikeluarga yang berduka diadakanlah juga bermacam-macam permainan antara lain,
Ø  dansa,
Ø  kebalai,
Ø  bermain Sasando, dan
Ø  tari-tarian.
Bukankah engkau tahu juga bahwa kurangnya hiburan dipulau Ndao yang sangat sunyi dan terpencil ini, menyebabkan penduduk menahan seleranya masing-masing sebab hanya jika ada acara adat, perkawinan, atau kematian seperti sekarang ini, baru bisa terdapat hiburan yang menghibur diri mereka. Karena itu mereka memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya. 
“Hanya dengan juklele yang sebuah itu” ? Tanya saya. “Ya, hanya dengan juklele itu, tanpa gitar dan fiol, mereka bermain dengan penuh semangat lalu berdansa-dansa sesuka hatinya”. Lihat, yang tua-tua itu juga bertepuk-tepuk tangan kegirangan.  Sebentar lagi mereka pergi duduk disisi mayat, lalu meratap dengan sedihnya.  Lelah menatap mayat, pergi pula mereka memukul gong dan menari-nari.

“Aneh”, sambung saya.
“Begitu tentu aneh bagi kita yang bukan penduduk sini., tetapi bagi mereka tidak, karena itu sudah adat mereka. Sepanjang malam dari senja sampai subuh, suasan dirumah duka itu sangat ramai oleh bermacam-macam permainan seperti main Sasando, berkebalai dan berdansa serta tari-tarian. Namun demikian sesekali terdengar juga ratapan tangis yang mengharukan, diratapkan oleh perempuan dan anak-anak serta keluarga mereka yang ditinggalkan kekasihnya. Para yang melayat, selain diberi makan dan minum, juga diberi wisky asli Rote yang disebut “sopi” yaitu minuman adat tradisional berkadar alkohol tinggi yang membuat mereka bertambah semangat.  Inilah cara mereka menghibur keluarga yang sedang berduka.

Adat kebiasaan berdansa ini sebenarnya dibawa oleh Portugis saat menguasai Rote pada awalnya. Umumnya di Pulau Rote dan Ndao selain araca-acara yang disebutkan diatas, juga setiap hari Ulang Tahun keluarga,  teman-teman, dan tetangga selalu diadakan dansa-dansa. Oleh karena itu pada Kalender / Almanak tahunan mereka, selalu diberi tanda/catatan nama-nama orang, pada setiap tanggal-tanggal hari ulang tahun baik keluarga, tetangga maupun handai tolannya. Maka bila telah tiba tanggal yang telah diberi tanda itu, maka tanpa diberi undangan sekalipun, mereka akan beramai-ramai datang kepesta pada malam hari dengan sendirinya. Tujuannya hanya untuk berdansa walaupun bermodalkan sebuah juklele atau sebuah gitar saja. 
Yaaa... memang Unik...Menghibur keluarga yang berduka kematian dengan Dansa !!!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.