ANALISIS
KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA TIMUR
DAN PARADIGMA
MODERNISASI –SEBUAH CONTOH
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Paradikma Modernisasi Menurut Para Ahli Dan Hubungannya
Dengan Masyarakat Nusa Tenggara Timur Dan Kebudayaannya
Pokok-Permasalahan
Dengan Paradikma Pembangunan
Masyarakat-masyarakat dunia,
terutama masyarakat Barat yang kini telah mencapai peradaban yang tinggi,
adalah :
---masyarakat tradisional pada mulanya, yang
---memiliki berbagai kekurangan baik,
---kualitatif, maupun kuantitatif.
Namun dalam
perjalanan sejarahnya telah mengalami,
---proses
“modernisasi” dan “perobahan social” secara mendasar sehingga,
---jadilah
mereka masyarakat yang “modern”, atau dalam peristilahan masa kini
disebut,
---“negara-negara maju” (developed nations).
Pernyataan di
atas menimbulkan berbagai pertanyaan sebagai berikut;
Persyaratan-persyaratan
bagaimanakah yang telah dipenuhi sehingga, terjadi proses perobahan sosial
dalam masyarakat-masyarakat tersebut yang, telah membawa dan mengangkat mereka
menjadi masyarakat modern?
Dapatkah
persyaratan-persyaratan ‘kualitatif’ maupun ‘kuantitatifnya’,
digunakan sebagai model, sekaligus tolok ukur untuk ‘memodernisasikan’
masyarakat-masyarakat ‘tradisional’, termasuk
masyarakat di Nusa Tenggara Timur?
Adakah
‘kaidah-kaidah’ pembangunan tertentu yang, harus dan telah, mereka ikuti dan
patuhi, dalam perjalanan sejarah pembangunannya yang dapat diimplikasikan
oleh masyarakat ‘trandisional’ untuk maju?
Pertanyaan-pertanyaan
di atas hanya mungkin dijawab dengan,
---mengkaji berbagai ‘model pembangunan’,
---berbagai ‘paradigma perubahan sosial’,yang
---dikembangkan oleh berbagai disiplin ‘ilmu
pengetahuan’.
Perlu
dicatat terlebih dahulu di sini bahwa berbagai ‘paradigma pembangunan’ yang
dikutip di bawah ini bukanlah model teoritis yang telah dirumuskan sebagai
kaidah yang dilaksanakan oleh masyarakat di Barat, ketika mereka mulai
perjalanan pembangunannya.
Malahan yang
benar adalah yang sebaliknya, yaitu bahwa,
---paradigma pembangunan tersebut direkayasa di
kemudian hari,
---lama sesudah masyarakat Barat menjadi modern.
Para ahli,
masing-masing dengan disiplin ilmu yang ditekuninya, mencoba,
---mengamati berbagai gejala historis dan,
---mempertanyakan’kaidah-kaidah’ pembangunan macam
apakah, yang telah melatarbelakangi kemajuan yang telah dicapai kini.
Berhubung
disiplin ilmu yang mereka tekuni berbeda, maka berbeda pulalah paradigma
pembangunan yang mereka’kembangkan’.
Hal
seperti itu mengandung konsekuensi bahwasanya, paradigma-paradigma tersebut
dapat saja cocok dan tepat untuk diterapkan dalam suatu masyarakat tradisional
guna memulai perjalanan modernisasinya, tetapi bisa pula tidak sesuai.
Ambilah
sebagai misal, pendapat Huntington (E.Huntington: Civilazition and
Climate; Yale Univ. Press, New Haven; l9l5), bahwa iklim
memainkan peranan yang amat menentukan ‘proses produksi’ yang telah
menggerakkan berbagai peradaban besar, terutama di belahan yang ‘bermusim
empat’ (Winter, Spring, Summer dan Fall).
Katanya,
“tidak ada perdaban besar” di kawasan tropis maupun di kawasan kutub. Hanya di
kawasan bumi beriklim sedanglah lahir peradaban-peradaban besar.
Paradigma “klimato-ekonomis” seperti ini secara
mendasar telah salah direkayasa dan dapat disangkal, dengan menunjukkan
bukti-bukti dari berbagai belahan bumi, “bukan
sub-tropis” yang memiliki peradaban-peradaban tinggi.
Baiklah di sini diberi suatu tinjauan
ringkas tentang beberapa “model” pembangunan yang telah “direkayasa” oleh para
ahli sebagai upaya,
---memahami
perobahan sosial dan,
---modernisasi
yang telah terjadi di dunia.
Kita mulai
dengan pendapat ahli sejarah Amerika yang masyhur, yaitu Arnorld Toynbee
: “A Study of History”; Oxford Univ.Press, New York ; l947. Menurut Toynbee, “Tantangan lingkungan” merupakan faktor yang
memegang peranan penting bagi lahirnya peradaban-peradaban besar. Yang
dimaksudkan dengan “lingkungan” di sini bukan hanya,
---lingkungan ‘geografis-klimatologis’, melainkan
juga
---lingkungan-lingkungan sosial’.
Hal yang
terpenting baginya ialah adanya, “faktor stimulus” bagi manusia untuk
mencari “daya upaya” dalam rangka mengatasi hambatan-hambatan dan,
“tantangan” yang dihadapi manusia dalam lingkungan-lingkungan seperti itu.
Dikemukakannya
contoh tentang para pioner Amerika yang, diperhadapkan dengan “daerah
Barat” (Western frontiers) yang keras pada awal sejarah Amerika Serikat.
Mereka mengarungi kawasan-kawasan yang
“berbahaya”, baik berupa “tantangan alam”, maupun berupa kaum-kaum Indian yang
tidak bersahabat, asal mereka dapat memperoleh daerah-daerah yang subur untuk
membangun. Suatu contoh klasik lainnya menyangkut” tantangan” dari “lingkungan
social” ialah yang berhubungan dengan kaum Yahudi.
Sifat
partikularistis Yahudi telah menimbulkan antipati yang hebat dalam banyak
negara. Akan tetapi bangsa yang kecil
itu mampu mengatasi semuanya karena terdapat faktor “stimulus religius”
yang kuat, yang membuat mereka bukan hanya mampu bertahan hidup sepanjang
sejarah, melainkan juga menjadi ‘bangsa yang maju’.
Hipotesis
“tantangan lingkungan” dari Toynbee ini haruslah
“diargumentasikan”
bahwa :
Tidak ada satu tempat di bumi ini yang ‘berlingkungan
ramah-tamah’ kepada manusia, baik lingkungan “alam” maupun
lingkungan-lingkungan “social”.
Tidak ada satu kelompok sosial dimanapun di bumi
ini yang tidak berusaha menjawab
tantangan-tantangan lingkungan untuk menguasainya.
Akan tetapi mengapa ada kelompok masyarakat tertentu
yang telah mampu mengatasi tantangan lingkungannya secara “berhasil”, sehingga
mencapai kemajuan, Sedangkan kelompok
masyarakat tertentu, hanya mampu menjawab dan mengatasinya secara “subsisten”
saja?
Toynbee secara implisit
menjawab hipotesisinya dengan menunjuk pada “faktor stimulus”
yang mendorong manusia kepada “daya upaya” dalam rangka menjawab
lingkungan tersebut.
Akan
tetapi bila kita berbicara tentang “faktor stimulus”, maka, tantangan
lingkungan tidak lagi menjadi faktor penentu kemajuan dari suatu peradaban,
melainkan faktor “psikologi”. Tanpa ‘pendorong batiniah’ yang kuat
untuk menjawab tentangan lingkungan, niscaya “tidak ada kemajuan” dan
tidak akan lahir “peradaban”.
Dalam
hubungan dengan “faktor stimulus” sebagai pendorong kemajuan dan
peradaban manusia, perlulah ditampilkan di sisni tokoh David McClelland;
(“The Achieving Society”, The Free Press; New York; l961), yang menurutnya, ‘akal budi’ dan, ‘hasrat atau keinginan’,dalam
diri manusia adalah dua realitas yang berbeda.
Bagi Charles Darwin, baik manusia
maupun binatang sama-sama memiliki “naluri” atau “hasrat” yang kuat
untuk “berjuang” bagi melangsunngkan kehidupan itu jauh lebih disadari.
“Hasrat” itu mendorongnya, melakukan berbagai upaya guna
memperoleh dan, memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya secara “disengaja”.
Dari
berbagai upaya yang dicoba-cobanya itu ia menetapkan “pola-pola hidup”
dan “prilaku” yang dipandangnya paling menjamin kelangsungan hidupnya.
Pola-pola tersebut kemudian dibakukannya dalam berbagai “adat istiadat” dan
“kebiasaan-kebiasaan”.
Kunci dari
tesis Mc Clelland ialah “faktor dorongan
psikologis”, yaitu “hasrat” untuk bertahan hidupnya
(bandingkan dengan faktor “stimulus” dari Toynbee yang disebutkan
diatas), semakin besar pula “dorongan psikologis” dari dirinya untuk
berusaha meningkatkan kesejahteraannya.
Usaha
untuk meningkatkan kesejahteraannya itu dilakukannya dengan “akal budi”.
Oleh sebab
itu, semakin “tinggi” perkembangan “akal budi” manusia, baik yang
diperolehnya dari “pengalaman”, maupun dari “belajar”, maka “semakin mampulah”
ia menemukan cara-cara baru yang lebih “rasional” guna mempertinggi usahanya
dan semakin meningkatkan kesejahteraannya.
Perkembangan
“akal budi” pada manusia itu mencapai puncaknya ketika ia, mampu
mengembangkan “ilmu pengetahuan” dan, merekayasa “teknologi”.
“Hasrat” sedemikian, oleh McClelland dinamakannya “Need for Achievement” (“hasrat untuk
berprestasi”) dalam ‘segala segi kehidupan’.
Need for
Achievement” tersebut di-terminus-teknikus-kannya dengan “N-Ach.”
“N-Ach” tersebut, menurut McClelland merupakan
“faktor pendorong” di balik semua perkembangan peradaban manusia sepanjang
zaman.
Dalam
laboratorium “psikologi” yang dikembangkannya, ditetapkan oleh McClelland bahwa
ia telah, menemukan suatu virus bernama “N-Ach” dan, “virus N-Ach” itu dapat
ditularkan kepada sesama manusia, baik, individual maupun kelompok, untuk membangkitkan “demam pembangunan” menuju “modernisasi”.
Bila
dilakukan penilaian obyektif atas kedua paradigma pembangunan yang dikemukakan,
baik oleh Toynbee sebagai
sejarawan maupun oleh, Mc Clelland sebagai ahli psikologi, maka dapatlah
ditetapkan bahwa ada “dua kebenaran” terdapat di situ.
Pertama, manusia memerlukan “dorongan psikologi” yang
kuat jika ia mau maju. Manusia perlu mengembangkan “hasrat yang kuat”,
“tekad” yang ‘kokoh’ untuk mengembangkan hidupnya. “Tanpa tekad”
untuk merobah diri, manusia akan “tidak punya niat” untuk ‘melangkah maju’.
Bolehlah disimpulkan sementara bahwa salah satu ‘faktor pendorong’ bagi
perkembangan peradaban suatu masyarakat adalah “faktor psikologis”, faktor
‘pendorong bathiniah’.
Kedua, baik Toynbee maupun McClelland
sama-sama menunjuk pada “daya upaya” untuk mengembangkan hidup
sebagaimana yang di-‘hasratkan’-nya.
Ungkapan “daya
upaya” selalu menunjuk pada kegiatan “akal budi” sebagai “alat
menemukan cara” guna, merekayasa
teknik dan, teknologi, dalam rangka menjawab persoalan-persoalan dan
permasalahan-permasalahan yang timbul, dan menjawab “tangtangan-tantangan” itu
secara “rasional”.
Akan
tetapi faktor “psikologi” dan “rasionalitas” bukanlah faktor satu-satunya.
Masih ada model lain yang diajukan para ahli.
Ian Roxborough,
“Teori-Teori Keterbelakangan”; LP3ES, Jakarta; l986; mengajukan suatu “model
pemacu perobahan” masyarakat, yang dapat disebut sebagai “Teori
hubungan-hubungan sosial”.”
Ia
mengangkat ke permukan teori yang dikembangkan oleh seorang sosiolog Perancis
terkenal, Emile Durkheim, yaitu “teori
solidaritas masyarakat.” Menurut teori tersebut, “masyarakat tradisional”
hidup dalam ikatan-ikatan kekerabatan yang kokoh dan utuh.
Tata kehidupan bersama secara politik, diatur
berdasarkan kedudukan seseorang dalam ”ikatan kekerabatan”.
Kehidupan ekonominya mustahil dilepaskan dari
ikatan-ikatan keluarga dan kaum kerabat, dan agroekosistemnya terikat pada “tanah
ulayat sukunya”.
Dalam peristiwa-peristiwa kemasyarakatan, seseorang
“mustahil melangkahi sanak saudara dan kaum kerabatnya”, misalnya dalam hal
peminangan, perkawinan, pemakaman dan lainnya.
‘Hubungan-hubungan
sosial’ antar kaum kerabat dalam seluruh urusan masyarakat yang demikian itu,
oleh Durkheim disebutnya “solidaritas mekanis.”“Kemajuan” dari
suatu masyarakat tradisional amatlah bergantung
pada “perobahan” dalam “hubungan-hubungan social” dari masyarakat
bersangkutan.
Alasannya
ialah karena suatu masyarakat yang masih
terikat dalam suatu “solidaritas mekanis”, seluruh “perilaku”
anggota-anggotanya telah “terpola dalam adat-istiadatnya” dan,
kebiasaan-kebiasaan yang telah dibakukan. Di situ,
“tidak akan ada inisiatif individual”, bahkan suatu “inovasi baru, dapat dipandang sebagai melawan adat”.
“Statisnya” suatu
masyarakat tradisional terletak pada “tidak adanya kebebasan individu” untuk “berimprovisasi”
dengan suatu peri kehidupan tertentu.
Jika suatu
masyarakat tradisional ingin “maju” maka suatu, “Tatanilai lama” yang kait
mengait dengan “solidaritas mekanisnya” itu perlu, “diputuskan” terlebih
dahulu. Masyarakat itu memerlukan suatu
bentuk “solidaritas sosial yang baru”, yang “lebih banyak memberi
peluang bagi individu” untuk, “berperan”, “berimprovisasi”, “berdiferensiasi”
dan, “berspesialisasi”. Seorang
anggota masyarakat yang “bersolidaritas mekanis”, “Selalu terlibat dalam
semua hal yang berhubungan dengan urusan keluarga dan kaum kerabat”, dan “Tidak
mampu” melakukan sesuatu hal yang ‘berbeda’ daripada yang telah diadatkan
baginya”.
Seandainya
ada sekelompok anggota masyarakat itu “memusatkan diri untuk melakukan
hal-hal”, “spesifik, lalu mendiferensiasikan kegiatannya”,
ia akan menjadi seorang pengerja “spesialis”. “Diferensiasi” dalam
usaha” dan, “spesialisasi” dalam kerja seperti itu”, kelak akan melahirkan kaum
pengerja yang “professional”.
Dengan
“menggalang hubungan-hubungan sosial yang baru di antara mereka yang memilih
kegiatan-kegiatan dan “berspesialisasi”, maka akan, merlahirkan suatu bentuk
“solidaritas masyarakat yang baru”, yang oleh Durkheim, disebutnya, “solidaritas
organis.”
Semakin
besar “diferensiasi kerja dalam suatu masyarakat”, maka akan “semakin
banyak dilahirkan “spesialis-spesialis” yang secara khusus memusatkan
diri pada “suatu kegiatan” yang menguntungkan bagi seluruh masyarakat.
Supaya suatu
kelompok, masyarakat “tradisional” dapat “mengalami proses perobahan social”
menuju keadaan yang “lebih modern”, dipersyaratkanlah oleh Durkheim
untuk, “mengembangkan solidaritas organis”
tersebut.
Dalam bidang
ekonomi misalnya “perlu ada pemisahan” dalam berbagai kegiatan ekonomi”
masyarakat itu. “Perkenalan dengan
barang-barang ‘konsumsi’ yang dihargai dengan ‘mata uang”, mengandung
arti bahwa “perlu ada perubahan mendasar dalam “sistem pertanian”.
Barang dan jasa tidak perlu lagi dihasilkan secara bersama oleh seluruh anggota
masyarakat. Ada yang dihasilkan oleh suatu keluarga, yang lainnya dengan jalan membeli.
Pekerjaan ‘ber-upah’ menggantikan tenaga kerja ‘unit keluarga’, yang dalam
sistem lama tidak memperoleh pendapatan tetap yang seimbang dengan tenaga yang
dikerahkannya. Dalam sektor ‘industri’, maka hasil kerajinan tangan dan
industri keluarga mengandung arti lebih dari pemenuhan kebutuhan sendiri,
melainkan untuk ‘dipasarkan’. Jika kelak di kemudian hari muncul
manufaktur dan pabrik, maka seorang pengerja tidak saja akan dipisahkan dari
usaha bersama yang mekanistis, melainkan,
harus bersedia untuk ditempatkan bersama tenaga-tenaga kerja lainnya di
tempat kerjanya yang baru, dan mengalami
hubungan-hubungan kerja sifatnya organis bahkan impersonal.
“Mutasi
sosialpun” dipandang sebagai “sebuah fator pendorong kemajuan”,
terutama jika “mutasi”tersebut, “bergerak dari masyarakat yang ‘lebih maju’
kepada, masyarakat yang “kurang maju”.
Model
tersebut diajukan oleh H.J.Muller; “The Uses of the Past”; Oxford Univ,
Press, New York ;
l957 :20.
Dikatakannya
bahwa umat manusia, terlibat dalam berbagai kegiatan yang terjadi dalam ruang
dan waktu, yang disebutnya, “culturasi experiments.”
Yang
dimaksudkannya dengan ‘eksperimentasi-eksperimentasi kebuadayaan’ ialah bahwa
“setiap kelompok masyarakat mengembangkan serta menerapkan berbagai metode yang
berbeda dalam organisasi ekonnomi, sosial maupun politik”.
Kadang-kadang
terjadilah mutasi sosial sehingga timbulah kombinasi antara berbagai
kepentingan yang berbeda, kemudian melahirkan perkembangan-perkembangan baru
yang, membawa perobahan-perobahan dalam berbagai lapangan hidup.
‘Mutasi
sosial’ seperti itu senantiasa berlangsung sepanjang sejarah umat manusia.
“Kelompok sosial yang bermutasi,
---membawa
kebudayaan yang mereka miliki dan,
---dalam
interaksinya dengan kelompok kebudayaan yang mereka datangi, terjadilah,
---pembauran
metode-metode, pembauran gagasan-gagasan dan cara hidup, yang,
---melahirkan
suatu jenis kebudayaan yang lebih maju”.
“Difusi
kebudayaan” seperti itu memperkaya kebudayaan yang didatangi.
Pikiran Muller
tersebut hendak menyatakan bahwasanya “manusia’ adalah, makluk yang saling
belajar dari sesamanya, dan dengan belajar hal-hal yang baru dari orang lain,
manusia memperkaya pengetahuan dan pengalamannya, yang merupakan pula suatu
jalan kepada perubahan sosial yang, mendatangkan kemajuan”.
Kebudayaan-kebudayan
dunia dapat dikatakan adalah “difusi” dari banyak hal yang dipelajari
manusia dari kebudayaan-kebudayaan lain.
Pokok
permasalahan tentang “paradikma modernisasi” terakhir yang ingin kita
tinjau si sini berkaitan dengan “kaidah-kaidah ekonomi”
Kita mulai
dengan tokoh Adam Smith; “An Inquiry Into the Nature and Causes of the
Wealth of Nations”, l776, Random House, New
York ; l937, yang dipandang sebagai Bapak Ekonomi
Modern.
Smith
mengetengahkan pandangan dasarnya bahwa, “segala produk material dapatlah
diperhitungkan sebagai produktivitas
manusia”.
Tetapi
suatu proses produksi barulah dipandang lengkap, apabila barang yang dihasilkan
itu tiba di tangan “konsumen terakhir”.
Jika demikian maka suatu usaha ekonomi barulah dapat disebut mencapai tujuan,
jika semua jasa pelayanan (transportasi, pedagang, pengecer, penyerahan barang
dan lainnya) “ikut diperhitungkan.”
Produksi
adalah proses di mana terdapat perpaduan kerjasama antara kaum pengerja,
sumber-sumber daya alam, akumulasi modal dan pengetahuan.
“Inovasi
teknologi” tampaknya bertangung jawab atas peningkatan kesejahteraan secara
material dalam suatu masyarakat yang modern.
Dengan
semakin ditekankannya efesiensi dalam berproduksi maka timbullah tuntutan untuk
:
---meningkatkan
ketrampilan kaum pengerja;
---dikembangkan
dan ditemukannya mesin-mesin dan alat-alat guna mempertinggi laju produksi; dan
---semakin
irit-nya waktu untuk menghasilkan barang.
Pandangan
dasar Smith telah dikembangkan lebih lanjut menjadi ilmu ekonomi modern
dengan berbagai teorinya yang semakin canggih dan rumit, yang tidak akan
dibahas di sini.
Hal yang
hendak diangkat berikut ini ialah pandangan W.W.Rostow; “The Stages of
Growth”; Cambridge Univ.Press, New
York ; l961,
Mencoba
mengaitkan “teori ekonominya” dengan “tatanan
social” dan
“psikologi”.
Menurut
pendapatnya, terdapat 6 kecenderungan dasar atau “motivasi dalam diri
manusia yang mempengaruhi perkembangan ekonomi”, yaitu;
---mengembangkan ilmu dasar;
---menerapkan ilmu bagi tujuan ekonomi;
---menerima penemuan-penemuan baru;
---mencari keuntungan material;
---mengkonsumsi, dan
---melahirkan anak.
Jadi,
perkembangan ekonomi suatu masyarakat tidak semata-mata dipengaruhi oleh adanya
“kaidah-kaidah ekonomi”, melainkan dipengaruhi oleh adanya,
---faktor-faktor sosial dan,
---psikologi.
Tetapi
kesimpulan ini memperlihatkan bahwa, sesungguhnya terdapat kaidah-kaidah
ekonomi yang harus dipatuhi dan, diterapkan dengan sungguh-sungguh, jika suatu
masyarakat hendak dimajukan, dan dimodernisasikan,
Seperti yang
diajukan oleh Harold T. Armine, John A.Ritchey and Oliver S. Hulley;
“Manufacturing Organization and Management”, Prentice Hall, New Jerzey; l959,
yang mereka sebut “The Seven Ms.”
Yang mereka maksudkan dengan “The
Seven Ms”, itu ialah :
---men,
---money,
---materials,
---machines;
---metode,
---management,
---market.
Ketujuh
kaidah ekonomi tersebut memegang kunci penting dalam modernisasi ekonomi suatu
masyarakat.
Presuposisi
Di Balik Semua Paradigma Modernisasi
Di atas
telah dilakukan tinjauan sepintas lalu, tentang pendekatan-pendekatan teoritis
yang direkayasa (paradikma) oleh para ahli dalam rangka memahami ‘gejala
perobahan sosial’, ‘gejala pembangunan suatu masyarakat’, yang kini dikenal
dengan sebutan “modernisasi”.
Telah
disebutkan di muka, bahwa “pendekatan-pendekatan teoritis” yang diangkat di
sini belumlah mewakili semua ‘paradigma
modernisasi’ yang dikembangkan para ahli.
Namun apa
yang dikemukakan di sini, menurut hemat saya, dapat dipandang “cukup memadai”
dalam rangka “mengkaji pembangunan yang dialamatkan khusus kepada
orang/masyarakat di Prov Nusa Tenggara Timur” yang tujuannya hendak
mencapai cita-cita nasional kita, yakni suatu masyarakat yang “adil, makmur,
sejahtera dan bahagia, berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar l945”.
Telah kita
periksa bersama beberapa paradigma modernisasi yaitu,
1.Difusi kebudayaan
lewat mutasi sosial dari masyarakat yang lebih maju ke masyarakat yang kurang
maju (Muller);
2.Solidaritas organis
yang rasional, impersonal, birokratis, administratif, menggantikan solidaritas
mekanis yang statis dan subsisten (Durkheim);
3.Tantangan lingkungan dan tekanan sosial serta
dorongan psikologi untuk mengatasinya
secara rasional (Toynbee);
4.Dorongan untuk berprestasi atau “N-Ach” (McClelland), serta
5.Kaidah-kaidah ekonomi dengan faktor-faktor sosial psikologinya (Smith,
Rostow dan Armine dkk).
Dapatlah
di telaah bahwa suatu masyarakat yang, mampu melakukan ‘eksperimentasi-eksperimentasi
kebudayaan’, tak dapat tidak merupakan masyarakat yang “tinggi daya
nalarnya”, yang lebih, rasional dalam pola pikirnya.
Sudah
tentu bahwa, suatu masyarakat yang mengembangkan “pola-pola hidup yang organis”
haruslah, “suatu masyarakat yang kritis
terhadap pola-pola hidup yang mekanis” sebelumnya.
Demikian
pula masyarakat yang mengembangkan “daya upaya” dan “cara-cara”
untuk mengatasi berbagai “tantangan
lingkungan alam maupun tekanan sosial haruslah”, masyarakat yang
memiliki, “pengetahuan” dan, “teknologi yang memadai”.
Kita tahu juga bahwa dalam diri manusia ada “dorongan untuk mempertahankan
hidup”, namun “N-Ach” sebagai suatu
“metode psikologi” hanya
dapat dipahami jika “dipelajari”.
Kaidah-kaidah
ekonomi modern :
Mustahil dapat diketahui secara naluriah, jika bukan
dengan jalan mempelajarinya.
Semuanya
membutuhkan penalaran atau, cara berfikir rasional yang sepenuhnya didapat
secara sadar, lewat “proses belajar-mengajar”. Hal ini berarti perlu “pendidikan”.
Jadi ‘pendidikan’
merupakan “presuposisi” di balik semua usaha manusia “rasional untuk
memajukan dirinya”.
Modernisasi adalah “mustahil tanpa
pendidikan”.
Jika demikian halnya maka :
---Apakah
modernisasi itu?
---Apa sebenarnya yang diartikan dengan pendidikan
itu?
Kedua
pertanyaan tersebut kait mengait.
Oleh sebab
itu perlulah terlebih dahulu diberi batasan tentang “modernisasi dan pendidikan”
itu. Perlu dicatat di sini bahwa ada banyak batasan tentang “modernisasi”
maupun “pendidikan” yang dirumuskan para ahli, mustahil dikemukakan semuanya
disini.
Oleh sebab
itu, secara kritis dan selektif akan dikutip rumusan yang paling mewakili saja.
Apakah “modernisasi” itu?
Kata itu
telah masuk ke dalam kosa kata Bahasa Indonesia, disebut-sebut oleh banyak
orang, jika bukan oleh semua orang, tetapi “konotasinya tidak ‘dipahami
sepenuhnya’ oleh sebagian besar ‘pemakainya’.
Supaya
konotasi dari kata “modernisasi dapat dimengerti secara benar”, haruslah
diacu kepada rumusan batasan yang umumnya diterima sebagai mewakili ‘kebenaran
minimum’.
W.J.Schoorl;
“Modernisasi”, Gramedia, Jakarata; l994;
Mendefenisikan;
“modernisasi masyarakat” dirumuskan sebagai :
---penerapan
pengetahuan ilmiah’ yang ada,
---kepada
‘semua aktivitas’,
---‘semua
bidang kehidupan’ atau kepada,
---“semua
aspek kehidupan”.
Defenisi ini terlalu “ringkas, padat
isi dan tidak boros kata”.
Unsur pokok
dalam defenisi ini ialah, “penerapan pengetahuan ilmiah”, “secara
keseluruhan”.
Untuk lebih
memperjelas defenisi Schoorl, baiklah dikutip defenisi dari Syed
Hussein Alatas; “Modernization and social Changes;” Angus and Robertson Publ; Sydney, l972, :22,
berbunyi: “Modernization is the process by which modern scientific
knowledge covering all aspects of human life is introduced at varying degress,
by different mothods or groups with the ultimate purpose of achieving a better
and a more satisfactory life”.
“Modern scientific knowledge”
Menurut Alatas memiliki ciri-ciri
berikut :
---pengobyektifan
atas alam;
---adanya
asumsi tentang hukum-hukum dan aturan-aturan alam yang dapat diterangkan dalam
pengertian-pengertian yang rasional dan pendekatan yang bersifat empiris;
---terbuka
bagi pengujian;
---digunakannya
simbol-simbol dan konsep-konsep abstrak;
---dijaminnya semangat kritis;
---pencaharian kebenaran;
---digunakannya metode-metode yang pasti;
---penemuan dan penggunaan energi untuk perkembangan
lanjut.
“Hakekat
moderniasasi” menurutnya adalah, penggunaan dan, penerapan ilmu dan,
teknologi modern, guna memecahkan masalah-masalah kehidupan.
Dan
dibarengi dengan lahirnya nilai-nilai kemanusiaan yang lebih besar, antara lain
misalnya, untuk meningkatkan taraf hidup dan, pendidikan, serta keyakinan akan
kemampuan manusia dalam menentukan tujuan hidupnya.
Siapakah
“pengguna ilmu dan teknologi”?
Jawabnya :
“Manusia”!
Maka Alex
Inkeles ; Modernisasi manusia” dalam Myron Weiner; “Modernisasi :
Dinamika Pertumbuhan”; Voice of America From Locture; p.87;
Secara
langsung menegaskan bahwa “modernisasi” yang sesungguhnya adalah “modernisasi
pada diri manusia itu sendiri”.
Katanya ; … pada akhirnya ide
pembangunan mengharuskan adanya :
---perubahan
watak manusia
---suatu
perubahan yang merupakan alat untuk mencapai tujuan yang,
---berupa pertumbuhan yang lebih lanjut lagi, dan
---berbarengan dengan itu juga merupakan tujuan
besar proses pembangunan itu sendiri.
Menurut C.Arnold Aderson; “Modernisasi Pendidikan” dalam Myron
Weiner;op.cit,:l6;
Berpandangan bahwa walaupun “modernisasi” bukanlah suatu
pengertian yang jelas, namun satu terdapat dalam setiap interprestasi tersebut:
“modernisasi hanya dapat dicapai” dengan :
---“memperbaharui dan,
---meluaskan pendidikan”.
Selanjutnya,
menurut Anderson, “pendidikan” diperlukan untuk,
---dapat mencapai kemajuan teknologi dan ekonomi;
---untuk menjadikan sejumlah suku menjadi satu
bangsa;
---agar para pegawai memiliki kemampuan untuk
menjalankan dan
mengkoordinasikan administrasi pemerintahan yang
meliputi wilayah negara yang luas;
---agar seluruh bangsa belajar bertingkah laku
sedemikian rupa sehingga memungkinkan adanya negara dan, masyarakat modern yang
efektif”
Pengertian
Pendidikan
Pertanyaannya adalah : “Apakah pendidikan”
itu?
Harus
disebutkan dahulu bahwa banyak sekali defenisi tentang pendidikan itu. Secara selektif, hanya akan diajukan dua definisi
saja :
Menurut Suzanne A.Toton : “World Hunger’ The
Responsibility of Christian Education; Orbis Books, New York ; l982 : 245, 246; “Pendidikan
adalah suatu upaya yang disengaja, sistematis dan berkesinambungan untuk
mewariskan,
menanamkan, menumbuhkan dan mengembangkan
pengetahuan, nilai-nilai, sikap, ketrampilan dan kepekaan pada anak
didik”.”Dalam pengertian “pendidikan” yang sedemikian itu anak didik diberi
kemampuan untuk melakukan dan menjalankan relasi-relasi eksistensinya dalam
rangka memajukan dirinya dan
mengaktualisasikan seluruh potensi dirinya dalam
dunia ini secara merdeka, dewasa dan bertanggung jawab.
Menurut
Lawrence C.Little; “Wider Horizons in Christian Adult Education:; “Pendidikan
adalah suatu proses pertumbuhan secara terpimpin bagi anak didik menuju
pengembangan potensinya secara penuh sebagai manusia utuh.”
Proses
belajar secara psikologis dipahami sebagai, proses pemenuhan kebutuhan dan,
pencapaian tujuan anak didik.
Hasil
tertinggi pendidikan adalah, perubahan tingkah laku, ke-arah kemajuan.
Dengan kata
lain, “pendidikan bertujuan”, membebaskan seluruh potensi manusia untuk
menjadi dirinya sendiri dan, kemampuan untuk menetapkan tujuannya sebagai
manusia utuh ke masa depan yang lebih baik.
Telah umum diketahui bahwa menurut
katagorinya, terdapat “tiga metodologi pendidikan”, yaitu
---“pendidikan
informal”;
---“pendidikan
formal”; dan
---“pendidikan
non-formal”.
Yang
dimaksud dengan dengan pendidikan informal ialah suatu proses pendidikan
selama hidup, dimana orang menemukan dan memperoleh pengetahuan lewat
pengalaman dan pengaruh dari lingkungannya,
yang disebut sosialisasi.
Sosialisasi dipahami
sebagai “proses yang membantu individu melalui belajar dan penyesuain diri
tentang bagaimana cara hidup dan cara berpikir kelompoknya dalam rangka
pendewasaan diri.
Pendidikan formal
menunjuk pada sistem pendidikan yang terstruktur secara hierarki, dengan tingkat-tingkat
kronologis yang mengacu kepada proses belajar secara akademis dengan
menggunakan nalar.
Pendidikan non-formal
adalah setiap kegiatan belajar yang terorganisikan di luar sistem pendidikan
formal yang ada, dengan tujuan hendak melayani kebutuhan-kebutuhan khusus.
Dengan
uraian-uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa pendidikan memegang “peran
kunci” dalam perjalanan suatu masyarakat menuju “perobahan sosial, kemajuan
dan modernisasi”.
Pendidikan sebagai
presuposisi dari modernisasi seperti diuraikan di atas akan digunakan sebagai
alat analisa untuk mengukur perobahan
sosial dan, modernisasi, dalam masyarakat di-Prov Nusa Tenggara Timur (sebagai
suatu sample kemiskinan) di Indonesia, maupun, ditempat lain, atau juga di
Dunia Ketiga sekalipun, yang sama kondisi masyarakatnya.
Arti Pendidikan menurut
Penulis adalah : Segala Daya Upaya, untuk mencapai kecerdasan
guna menguasai ilmu pengetahuan, ketrampilan dan teknologi, dalam meningkatkan
kesejahteraan umat manusia.
CONTOH
ANALISA TENTANG PROSES
MODERNISASI
DALAM MASYARAKAT
“NUSA TENGGARA TIMUR”
1.
Pengantar
Tibalah saatnya kita hendak mengkaji proses
modernisasi di kalangan masyarakat di Nusa Tenggara Timur, (sebagai sample)
dengan menggunakan kaidah-kaidah atau paradigma modernisasi, yang telah dibahas
di atas.
Modernisasi
mengandalkan,
---cara berfikir rasional dalam rangka menerapkan,
---ilmu pengetahuan dan teknologi dalam,
---segala bidang kehidupan”.
Akan
tetapi “kemampuan berfikir rasional” hanya dapat, dikembangkan dengan “menempuh
pendidikan”.
Di sini
berlaku asumsi bahwa “semakin tinggi pendidikan, semakin tinggi pula kemampuan
berfikir rasional”, “semakin besar pula
kemampuan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam, segala bidang kehidupan”.
Atas
asumsi yang demikian itulah maka” pendidikan merupakan presuposisi
modernisasi”.
Suatu
masyarakat yang menaruh minat dan perhatian yang sungguh-sungguh kepada pendidikan,
akan meletakkan dasar yang kokoh bagi “proses modernisasi”.
Pertanyaannya, adalah “seberapa banyak” dan “setinggi manakah
pendidikan harus ditempuh”, sebelum “kemampuan berfikir rasional yang
diperlukan dalam proses modernisasi dapat dicapai”?
Dalam
analisis ini akan dikaji dahulu masalah “pendidikan dasar” di kalangan
masyarakat di Nusa Tenggara Timur,
khususnya masyarakat Atoni (Timor) sebagai acuan sample sebagai
mewakili suku-suku lainnya di NTT yang tidak mungkin disebut satu-persatu
disini.
Landasan
hipotitis dari analisis tersebut adalah
semakin tinggi jumlah tamatan Sekolah
Dasar memasuki peringkat pendidikan yang lebih tinggi, semakin besar peluang
yang diperolehnya untuk memperkembangkan cara berfikir rasional, sebagai sarana
guna “memacu proses modernisasi di antara mereka”.
Analisis
akan dilanjutkan dengan “menguji proses modernisasi di kalangan masyarakat Atoni
(Timor)” dengan menggunakan “paradigma-paradigma modernisasi” yang
telah ditetapkan di muka.
2. Pembangunan Pendidikan di Nusa Tenggara Timur
Sejarah
pendidikan di kalangan masyarakat Nusa Tenggara Timur, mustahil dilepaskan dari “sejarah
Pekabaran Injil”.
Anggota Jemaat perlu melek huruf, agar mampu membaca
Alkitab supaya memahami kehendak Allah.
Alhasil, lahirlah Sekolah-Sekolah Rakyat
(Volkschool) asuhan Gereja.
Akan tetapi rakyat yang “melek huruf” adalah
salah satu syarat untuk ‘menjalankan roda pemerintahan’.
Itulah
sebabnya pemerintah (maksudnya ; Pemerintah Hindia Belanda), membangun
pula Sekolah-Sekolah Rakyat (Volkschool) ber-kelas tiga. Murid-murid yang
mampu, dapat melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Rakyat Tingkat Lanjutan
(Vervolgschool) ber-kelas enam.
Kemudian
lahirlah Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus l945.
Undang-Undang Dasar l945 “mengamanatkan” : Pencerdasan bangsa.
Sejak itulah Pemerintah mulai menyediakan sarana dan prasarana pendidikan
untuk, mengimplementasikan dengan sungguh-sungguh amanat UUD tersebut.
Diakui bahwa
pembangunan di bidang pendidikan, seperti halnya dengan bidang-bidang lainnya
menuntut,
---waktu,
---dana,
---tenaga
dan,
---kerja
keras.
Muhammad Shamsul
Huq; “Education and Development Strategy in South and Southeast Asia”; East
West Center, Honololu; l965 : l89, l90; Yang melakukan penelitian di bidang
kependidikan di Asia Selatan dan Asia Tenggara, melaporkan masalah kependidikan
di Indonesia sebagai berikut :
“Sebagai
salah satu negara anggota PBB, Indonesia
pun bergumul dengan soal-soal kependidikan yang sangat berat. Secara
konstitusional dinyatakan bahwa satu tujuan nasional sebagaimana tercantum
dalam Pembukaan UUD l945 adalah,…”sebelum mencapai kemerdekaan pada 17 Agustus
l945, tercatat 79 % dari jumlah
penduduk Indonesia adalah Buta Huruf.
Sejak
tahun l951 Pemerintah melancarkan “Program Massal Pemberantasan Buta
Huruf” dan, dalam tempo 10 tahun telah mampu menekan tingkat buta huruf
di Indonesia
menjadi 40 %.
Di
bidang pendidikan dasar pada tahun l950/l951 telah terdaftar 4.980.000
murid Sekolah Dasar.
Pada
tahun l958/l959 jumlah pendaftaran di Sekolah Dasar meningkat menjadi 7.380.000
murid, dan pada tahun l960/l961 meningkat sangat mencolok yaitu mencapai
8.955.000 murid dengan,
Alokasi anggaran belanja sebesar 7,42 % dari
seluruh APBN.” Mulai tahun 2009, anggaran peendidikan 20% menurut
UUD 1945, setelah revisi (Penulis).
“Mencerdaskan
kehidupan bangsa” sebagai amanat konstitusional
sangat disadari benar oleh Pemerintah Orde Baru, sehingga dalam Pidato
Pertanggungjawaban Presiden RI di depan Sidang Umum MPR 1 Mei l988
(Terbitan Khusus) l988 : l90, dikatakan;
“Kebijaksanaan pokok dan langkah yang telah ditempuh
dalam bidang “pendidikan” guna mencapai tujuan pendidikan tersebut antara lain
bermaksud agar” anak didik dapat selalu belajar dan berkarya secara mandiri”,
yang berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsanya”.
Selanjutnya dirumuskan pula dengan jelas :
“perluasan kesempatan memperoleh pendidikan di dalam dan di luar sekolah pada
tingkat “pendidikan dasar”, dilakukan dalam rangka melaksanakan “wajib
belajar 7 sampai 12 tahun”.
Pemerintah mulai memberi tekanan yang
sungguh-sungguh pada pembangunan prasarana dan sarana pendidikan secara
besar-besaran.
Berikut
ini dibuat cuplikan tentang pembangunan di bidang kependidikan seperti tampak
dalam tabel di bawah ini:
TABEL
Perkembangan
Pembangunan Di Bidang
Pendidikan Dasar di Indonesia
==========================================================
1969 l991 Kenaikan
Lembaga/Gedung 63.000 146.500 2.5 kali
Guru
323.400 1.136.900 4 kali
Murid 7.403.000
26.348.400 3,5 kali
(Sumber : Orde Baru Dalam Angka, Mei l992).
Data tabel di atas memperlihatkan angka pertumbuhan dibidang pendidikan
dasar secara nasional sejak REPELITA I dimulai. Supaya didapat gambaran
komparatif tentang perkembangan dan pembangunan di bidang ’pendidikan dasar’,
di bawah ini dibuat sebuah tabel khususnya dalam wilayah-wilayah yang menampung
mayoritas murid berlatar belakang suku Atoni (Timor) sebagai sample di NTT,
yaitu Kabupaten Kupang daratan Timor, Kabupaten Timor Tengah Selatan dan
Kabupaten Timor Tengah Utara.
TABEL
Perkembangan
Pembangunan Pendidikan Dasar
Di Kabupaten
Kupang, TTS Dan TTU - NTT
1986 1989
Kabupaten. Gedung
Guru
Murid Gedung Guru
Murid
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Kupang 480 3.169 86.569 529 3.595 89.172
TTS 405 2.829 71.657 404 2.844 66.087
TTU 178 1.207 31.036 179 1.210 31.894
------------------------------------------------------------------------------------------------------
TTU =Timor Tengah Selatan
TTU = Timor Tengah Utara.
Sumber :
Kupang Dalam Angka l986;
TTS Dalam Angka l986;
TTU Dalam Angka 1986.
Data dalam
tabel ini memperlihatkan suatu
perkembangan yang belum berarti di bidang pendidikan dasar, yang menampung mayoritas
murid Sekolah Dasar, yang berlatar belakang suku Atoni (Timor ).
Hal tersebut barangkali dapat diterangkan dengan melihat faktor rendahnya
pertumbuhan penduduk.
3.
Analisis Tentang Perkembangan Pendidikan Dasar
Di
Kalangan Masyarakat Suku Atoni (Timor ) NTT
Apabila
dikaji data-data statistik dari ketiga Kabupaten di daratan Pulau Timor di atas
dengan memperbandingkan “jumlah murid SD” dengan “jumlah lulusan SD”
yang melanjutkan pendidikannya ke tingkat SMTP dan SMTA, maka
akan memperoleh suatu “ratio” yang
memperlihatkan “besarnya jumlah murid SD yang
tercecer dari seleksi”.
Bagi
mereka yang “lulus seleksi lewat Evaluasi Belajar Tahap Ahkir (EBTANAS) dan
diterima di tingkat pendidikan yang lebih tinggi”, baginya telah tersedia
prasarana dan sarana belajar yang semakin canggih dan mahal.
Akan
tetapi bagi “mereka yang tidak lolos saringan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi”, maka “berakhirlah pula keikutsertaannya dalam proses pendidikan
formal”.
Secara
keseluruhan kurikulum pendidikan dasar di Indonesia telah mengalami perubahan
secara mendasar.
Muatan
“sains” dan “matematika” dalam kurikulum SD telah
direkayasa sedemikian rupa agar supaya yang “dapat terjaring dalam seleksi
EBTANAS adalah “anak-anak pandai”.
Muatan
“sains” dan “matematika” itu disusun dengan mendasarkannya pada “tingkat
kemampuan intelektual rata-rata anak Indonesia (nasional)”, “bukan disesuaikan dengan tingkat kemampuan
rata-rata secara regional, apa lagi
lokal.”
Perkembangan
“modernisasi di Indonesia mengandung kecenderungan nasional ke arah masyarakat
“industrial”, “walaupun basis “agraris” tetap diperkokoh sebagai penunjang
perkembangan industrial.
“Tren modernisasi semacam itu memang layak ditopang
oleh “sains” dan “matematika” berhubung “industri harus ditopang oleh sains
dan matematika”.
Jika kurikulum SD disusun dan direkayasa
berdasarkan kemampuan intelektual rata-rata anak Indonesia secara keseluruhan,
maka “peluang kecenderungan untuk ikut tersaring lewat sistem EBTANAS ke aras
pendidikan bagi anak-anak suku Atoni akan “semakin rendah”.
Dalam
hubungan ini Gunnar Myrdal; dalam “The Callienge of world Poverty”
Vintage Books, New York : l970 :l79; Memberikan penilaiannya yang tajam dengan
menunjuk bahwa, lingkungan sosial murid harus menjadi lingkungan sosial, terutama orang tua murid, rendah pendidikannya maka
kemungkinannya adalah besar bahwa “anak-anaknya tidak mampu mengembangkan
tingkat intektualnya yang memadai untuk dapat, ikut bersaing dan tersaring ke
aras pendidikan yang lebih tinggi”.
Katanya :…”aduld education, with emphasis on literacy
should help to make school education more effective… Children of illiterate
parents tend to tall behind inscholastic achievement.”
“Sains”
dan “matematika” yang direkayasa kedalam kurikulum SD harus diajarkan
dengan menggunakan sistem pendidikan menurut “Model Inquiry”.
Di
Indonesia, pendidikan menurut Model Inquiry tersebut mengandalkan bahwa, “dalam
diri anak, selalu terdapat rasa keingintahuan, oleh sebab itu, “guru bertindak
sebagai partner dan pemandu bagi anak dalam mencari kebenaran-kebenaran
keilmuan atas usaha sendiri, dan usaha eksplorasi keilmuan secara mandiri”.
Sudah
tentu pendidikan “Model Inquiry” seperti itu, menuntut adanya suatu
lingkungan sosial yang “punya tingkat intelektual yang memadai”, juga, harus ditopang
oleh “Perpustakaan Sekolah sedemikian rupa sebagai referensi yang
niscaya”.
Kenyataan dalam
lingkungan sosial suku Atoni, di pedesaan menunjukkan bahwa :
Mereka bukan saja ”tidak memiliki tinggkat
intelektual yang memadai”, melainkan juga, “tanpa Perpustakaan di rumah”.
Setiap anak sepulangnya dari sekolah, selalu tersita
seluruh waktunya, karena harus ikut terlibat dalam urusan-urusan “ekonomi rumah
tangga keluarga” sehingga, efektif dan
efisien untuk dapat tersaring ke aras pendidikan yang lebih tinggi, “sulit
terbayangkan”.
Jumlah murid yang
“tidak tersaring pada tingkat SD amatlah
besar”.
Membuktikan
hal ini, baiklah kita”rekayasa” sebuah tabel yang baru, untuk menguji “ratio”
tamatan SD yang melanjutkan pendidikannya “ke tingkat yang lebih
tinggi”. Dari tabel tersebut dapat di
lihat “besarnya jumlah murid yang tercecer dari jalur pendidikan formal”.
TABEL
Ratio Murid SD
Yang Melanjutkan Pendidikan
Ke SMTP Dan SMTA Tahun l989
======================================================
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Kupang 89.172 19.054 (21.36%)
14.220 (15.9%)
TTS 66.087 10.007 (15.1%)
3.822 (5.78%)
TTU 31.894 3.428 (10.7%) 1.073
(3.36%)
Jumlah 187.153 32.489 (17.35%)
19.115 (10.21%)
Angka-angka
statistik selalu bergerak turun naik dari tahun ketahun. Akan tetapi kita sudah periksa di
atas, bahwa pergeseran angka statistik dari tahun ke tahun dalam ke tiga
Kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur tersebut sangat rendah.
Oleh sebab itu dapatlah disimpulkan sementara, bahwa terdapat suatu
kecenderungan umum dalam sistem pendidikan formal,
yaitu semakin
tinggi aras pendidikan, semakin rendah jumlah peserta didiknya.
Dari jumlah murid SD sebanyak 187.153 orang, yang terjaring masuk ke-SMTP 32.489 orang saja, atau Tercecer / dropout sebanyak 154.664
murid, dan dari seleksi ke SLTP
dari jumlah anak didik SMTP 32.489
murid yang meneruskan ke SMTA hanya berjumlah 19.115 murid atau Tercecer
/ drop out sebanyak 13.374
murid. Jika dibandingkan dengan yang
tercatat semula di SD 187.153
yang masuk ke SMTA hanya
berjumlah 19.115 murid berarti tercecer
/ drop out sebanyak 168.038 murid dan belum terbayangkan
berapa murid SMTA yang dapat melanjutkan ke Perguruan Tinggi? Ini suatu kenyataan yang sangat
memprihatinkan.
Contoh
semacam ini baru diperlihtkan di 2 (dua) Kabupaten saja
dan belum termasuk kabupaten-kabupaten dan Kota se-Provinsi Nusa
Tenggara Timur maupun kondisi yang sama untuk seluruh Indonesia.
Mereka yang tercecer ini terpaksa kembali ke desa
dan hampir tidak berguna, karena umur
mereka masih terlalu muda dan masih
kurang ilmunya untuk berkarya dibidang
pertanian.
Kesimpulan
sementara itu memperlihatkan
bahwa rata-rata murid SD, bagi yang dropout maupun yang lulus
EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir secara lokal) hanya memiliki
ketrampilan-ketrampilan, dalam :
---melek huruf, dan
---melek bilangan dan,
---melek
Bahasa Indonesia secara sederhana.
---sebagian
besar, jika tidak seluruh tamatan SD itu akan ‘kembali ke desanya
masing-masing” dan, kembali bernaung di bawah kepak ekonomi orang
tuanya”. “Usia mereka masih amat muda” dan, “masih digolongkan sebagai
remaja yang belum mampu mandiri”.
Dr.Bernett Silalahi
: ( “SD dan SLTP tidak dapat
dijadikan Terminal Pendidikan”, Suara Pembauran, edisi 1 Mei l989;)
dalam sebuah tulisannya di Harian Suara Pembaruan,
Mengemukakan pendapatnya …”Sebagian
besar dari tamatan maupun dropout Sekolah Dasar (SD) akan memasuki pasar
tenaga kerja “pertanian”.
Tetapi
mereka hampir “tidak berguna”, baik sektor industri maupun pertanian,
disebabkan karena, mereka sama sekali “tidak” mempunyai ketrampilan yang
employable”.
Sebagai
tenaga kerja muda “di sektor pertanian, tamatan Sekolah Dasar tersebut masih
terlalu muda” untuk menjadi, suatu kekuatan pembaharuan “pertanian” yang
berpengaruh di desa.
Mereka
tidak mempunyai pengetahuan yang andal tentang”pertanian” yang dapat
mereka sumbangkan ke desa dan, sedikutpun tidak membawa pengetahuan yang
rasional tentang bidang pertanian yang
mereka masuki”
“Mereka
terserap ke dalam ‘pola pertanian tradisional’ tanpa kekuatan guna
membelokkannya kepada cara bertani yang lebih rasional”.
Jika
demikian halnya, maka usaha pemerintah lewat REPELITA yang bertujuan
memperkokoh dan memodernisasi pertanian di pedesaan, guna menunjang
perkembangan industri, terutama sektor pertanian di kalangan masyarakat suku
Atoni (Timor ),
masih jauh dari harapan.
Jika keadaan
lingkungan sosial di pedesaan, tidak berkembang menjadi lingkungan yang
kondusif dalam upaya menopang lebih banyak anak-anak mereka melewati tahap
pendidikan SD dan, menaiki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, maka
sukarlah untuk memberi penilaian awal tentang, beberapa banyak waktu lagi yang
akan diperlukan oleh masyarakat suku Atoni untuk, meningkat cara
berfikir rasional mereka sebagai, prasyarat bagi terjadinya modernisasi di
pedesaan.
Perlu
ditambahkan pula suatu kecenderungan lain, yang rasanya penting untuk
dikemukakan di sini. Seperti telah
diuraikan di atas bahwa sistem pendidikan formal mengandung kehendak untuk
menjaring anak-anak Indonesia
yang pandai memasuki aras pendidikan yang lebih tinggi untuk memberi output
yang dapat dimanfaatkan dalam lingkungan industri atau dalam birokrasi.
Kurikulum sekolah tidak berorientasi
pada “problem-solving”.
Sekolah bukanlah
“bengkel latihan ketrampilan” bagi calon pencari kerja, melainkan memberikan
“bekal ilmu pengetahuan” kepada murid.
Alhasilnya
adalah bahwa semakin tinggi tingkatan pendidikan anak-anak suku Atoni, semakin banyak pula tercecer/dropout yang
ikut dalam pendidikan lanjutannya.
Data di
atas mengungkapkan pula suatu kenyataan yang jarang diamati orang yaitu, bahwa :
Secara
teoritis, untuk menopang 15 anak Atoni menempuh pendidikannya di SMTP,
diperlukan 80 anak Atoni
tamatan SD dan/atau dropout SD, membantu orang tua dalam bidang “pertanian”
agar mampu menyediakan “biaya” pendidikan yang memadai, baik secara
natura, maupun secara finasial.
Selanjutnya, untuk menopang 10 anak Atoni belajar di SMTA,
diperlukan 90 anak Atoni, baik yang
tingkat pendidikan SD maupun SLTP untuk membantu orang tua
mendapatkan “biaya” pendidikan saudara-saudaranya yang beruntung itu.
Akhirnya, untuk menopang 2
Mahasiswa asal Suku Atoni dibutuhkan 98
anak Atoni berpendidikan SD, SMTP maupun SMTA untuk
membantu orang tua memperoleh “biaya” pendidikan tinggi bagi saudaranya.
Itupun, belum tentu lulus sebagai Sarjana. Dan seperti disebutkan
diatas, “bila lulus” sebagai “sarjana” sekalipun, ia sekali-kali
“bukanlah jenis sarjana yang siap pakai” atau siap masuk desa.
Kesimpulan bahwa
adalah, mereka yang tinggal di desa ialah :
Mayoritas
penduduk dengan tingkat pengetahuan
SD, beberapa orang tamatan SMTP, dan jumlah tamatan SMTA dapat dihitung
dengan jari. Merekalah pula sokoguru
(tulang punggung) pembangunan di desanya.
Berbagai jabatan
kepemimpinan di tingkat desa yang
diharapkan dapat mampu menggerakkan pembangunan dan modernisasi, jatuh ke pundak mereka karena “terpaksa”,
karena tidak ada orang yang lebih terpelajar di situ.
Akan
tetapi seperti telah dikemukakan di atas, diperlukan : cara berfikir
rasional” untuk dapat memahami berbagai gejala kekurangan di semua bidang
kehidupan, dan mengkaji cara-cara untuk mengatasinya dalam pembangunan.
Bagaimanakah
jalan keluar untuk mengatasi dilema modernisasi di pedesaan tersebut?
Soedjatmoko : “Manusia Dalam Pembangunan”; LP3ES, Jakarta; l984
:53, menjawab dengan mengacu kepada kepentingan pendidikan ketrampilan di SD.
Ia berpendapat
bahwa :
Pendidikan
ketrampilan menjadi sangat penting artinya
sebagai suatu pengetahuan yang merangsang dan memupuk imajinasi atau daya cipta
dan, inisiatif serta pengetahuan mengenai kemungkinan-kemungkinan baru yang
terbuka.
Pendidikan
ketrampilan tersebut dapat direfleksikannya
dikemudian hari dalam hal mendayagunakan alam, berkat adanya alat-alat dan
cara-cara baru.
Mereka dapat menghadapi lingkungan kehidupannya,
dengan sikap yang baru, yaitu mengajukan pertanyaan : “Bagaimana saya dapat
menggunakannya”?
Soedjatmoko terlalu “mengidealkan pendidikan ketrampilan di
tingkat SD” sebagai “jalan
pemecahan masalah di desa”
Pendidikan
ketrampilan di SD adalah suatu, mata
pelajaran, bukan latihan ketrampilan kerja. Guru tidak mengavaluasi
pekerjaan yang dapat dicapai dalam kerangka waktu belajar tertentu. Jenis
pertanyaan yang diajukan Soedjatmoko mengacu kepada jenis
pertanyaan”rasional, yang mustahil dijawab mantan didikan SD”.
Seluruh
uraian di atas memperlihatkan suatu kenyataan yang “tak dapat dielakkan”,
bahwasanya, mayoritas masyarakat suku Atoni yang berdiam di desa-desa terdiri
dari mereka yang, tingkat berfikir rasionalnya maupun, kemampuan ketrampilan
yang diperolehnya dari bangku SD belum memadai untuk, mampu menggerakkan
proses modernisasi.
Konsekwensinya
bahwa konsep “bottom up” dalam proses pengambilan keputusan tentang,
pembangunan dan, modernisasi, dari masyarakat desa “tidak dapat
diimplementasikan”.
Jadi konsep
“bottom up” itu harus diberi konotasi
baru. Yaitu :bukan lagi “proses pengambilan keputusan pembangunan dari
masyarakat desa, melainkan keputusan pembangunan dari masyarakat desa, yakni “membangun desa dari
aras kebudayaan yang dipunyai desa”.
Hal itu
berarti harus ada suatu penelitian sosial untuk menghimpun informasi tentang
unsur-unsur kebudayaan, terutama yang berhubungan dengan kegiatan dan kehidupan
ekonominya dan merekam semuanya menjadi suatu “Baseline Data”.
Pendidikan
modernisasi berarti, menerapkan:
---ilmu
pengetahuan dan,
---teknologi
---pada bidang-bidang kehidupan yang sudah dikenal.
1. Relevansi dari Paradigma Modernisasi
di Kalangan Masyarakat Suku Atoni
Di muka telah disebutkan sejumlah paradigma yang
dirumuskan para ahli, masing-masing sesuai dengan bidang keahliannya dan dengan
alasan-alasannya sendiri.
Paradigma-paradikma tersebut hendak dijadikan
batu uji mengukur sampai berapa relevansinya dalam perkembangan masyarakat Atoni
(Timor) sebagai sample mewakili masyarakat trandisional lainnya di Propinsi
Nusa Tenggara Timur termasuk masyarakat miskin lainnya di negara-negara
Dunia Ketiga
4.a.
Relevansi Paradigma Muller Tentang Difusi Kebudayaan
Muller, seperti telah dikutip sebelumnya mengemukakan kaidah bahwa
perkembangan
suatu masyarakat dipengaruhi oleh
kebudayaan yang lebih tinggi tarafnya.
Sampai berapa jauhkah masyarakat Atoni ke dalam kelompok-kelompok
masyarakat “berladang tebas-bakar dan berpindah-pindah”?
Lihat :Koentjaraningrat
; “Masyarakat Desa di Indonesia”, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Univ
Indonesia, Jakarta; l984; Bab I ;
F.J.Ormeling
: “The Timor Problem”, J.B Wolters, Jakarta-Groningen; l955 : 198 ff;
H.G.Schulte Nordhold
: “The Political System of the Atoni of Timor”, Martinus Nijhoff, The Hague ; l971 : 40 ff,
atau slash and burn agri-culture” dan shifting cultifation.”
Klasifikasi
seperti itu tentu dengan mudah dapat dipahami sebagai akibat dari pengamatan
modern di lapangan menyangkut gejala-gejala perilaku ekonomi masyarakat
Atoni.
Klasifikasi
tersebut sudah tentu dilatarbelakngi oleh kesadaran lingkungan hidup yang
muncul di zaman modern ini.
Jadi
klasifikasi tersebut tidak dapat dijadikan titik tolak guna mengukur
difusi-“difusi kebudayaan” manakah yang telah membuahkan suatu pola perilaku
ekonomi, yakni :
---“slash
and burn agroculture” dan,
---“shifting
cultivation” itu di Pulau Timor ;
Tidak ada
tulisan etnografi-antropologis yang pernah melaporkan prihal kehidupan primitif
dari orang Atoni. Oleh karena itu
mustahil mengevaluasi apakah klasifikasi antropologis tentang,
---“slash and burn agroculture” dan “
---“shifting cultivation” adalah bagian dari,
perilaku primitif orang Atoni atau bukan.
Menurut
garis pikiran Muller, pola perilaku
yang dapat diamati sekarang sudah tentu merupakan difusi antara :
kebudayaan tradisional dengan, kebudayaan yang pernah masuk ke Pulau Timor.
Sebab,
walaupun orang Atoni tidak memiliki pengetahuan kebaharian, hal ini tidak
berarti mereka tidak pernah berinteraksi dengan kebudayaan-kebudayaan dari luar
yang lebih maju.
“Slash and burn
agriculture” adalah suatu pola perilaku
pertanian yang memerlukan alat-alat dari logam, terutama dari besi untuk,
menebas hutan yang akan dijadikan ladang.
Namun Schulte
Norhold melaporkan bahwa :orang Atoni tidak memiliki pengetahuan dan teknik
mengerjakan logam, pada hal dalam kebudayaannya, mereka mengenal dan menggunakan alat-alat dari besi, seperti,
parang (benas), kapak (fani), linggis (pali/hanil), pisau (besi/opi).
Oleh sebab
itu, penggunaan alat-alat dari besi itu mestilah merupakan buah dari “difusi
kebudayaan”, yang telah merobah dan merevolusikan seluruh perilaku yang :
primitif menjadi, masyarakat pertanian berladang.
Pakaian
macam apa yang dikenakan orang Atoni untuk membungkus tubuhnya ketika masih
merupakan suatu masyarakat primitif, tidak diketahui.
Umum
mengetahui, bahwa orang Atoni mengerjakan sendiri sandangnya, yang
dikenal sebagai “sarung dan selimut”.
Bahkan mereka memiliki pengetahuan yang tinggi tentang berbagai tanaman
pewarna dan mengerjakan pola-pola seni yang tinggi pada tenunannya, seperti
“lulat” (bunga ikat), “sotis” dan “lotis” (menyunting pola tenunan). Kenyataan tersebut memperlihatkan bahwa pada
mulanya orang Atoni telah “berintegrasi dengan suatu kebudayaan yang memiliki
pengetahuan yang tinggi dibidang pembuatan sandang”.
“Difusi
kebudayaan” itu memberi pengetahuan kepada orang Atoni tentang :
---tanaman kapas (abas),
---alat pemintal benang (kine ma bine),
---parang tenun (senu),
---seni ikat (futus),
---penyirat benang ( pu’at) sehingga mereka,
---mampu membuat sandang yang bermutu seni tinggi.
Satu-satunya
“mesin” yang dimiliki orang Atoni ialah mesin pemisah biji kapas, yang disebut
“bninis.” Dengan kebudayaan-kebudayaan mana sajakah orang Atoni telah
berintegrasi?
Ormeling, melaporkan tentang berbagai hasil penelitian yang
memperlihatkan adanya berbagai,”kontak dagang” dengan :
---Kerajaan-kerajaan Jawa (Kediri dan Mojopahit),
---Pelaut-pelaut Makassar,
---Kekaisaran Cina, dan akhirnya,
---Orang Portugis dan Belanda.
Kontak
dagang itu berhubungan dengan adanya warisan “flora di Timor, yaitu kayu
cendana (Santalum album)”
Masing-masing
kelompok kebudayaan yang datang ke Timor melakukan barter untuk mendapatkan
kayu cendana.
Sebagai gantinya,
orang Atoni, menerima pembayaran dengan :
---alat-alat dari besi,
---alat-alat rumah tangga (periuk belanga, piring
mangkok dan sendok,
---perabot rumah tangga dan sebagainya.
--di bidang seni, orang Timor menerima biola,
perangkat gong dan tambur, kecapi mulut (knobe).
---di bidang pemerintahan adalah jabatan Tumenggung
(Temukung), dan
---destar (pilu) untuk laki-laki, serta
---batik lipat (lipa) yang harus dikenakan oleh
wanita-wanita Atoni di atas sarungnya, sebagai tanda patuh pada kerajaan
Majapahit.
Tentulah
mustahil mengemukakan semua realitas dalam masyarakat Atoni yang merupakan
hasil”difusi dari berbagai kebudayaan” pada kesempatan ini.
Namun
dengan beberapa cuplikan di atas kiranya jelaslah bahwa masyarakat Atoni, yang
menurut kebudayaannya, tidak memiliki kemampuan bahari untuk merantau
(maklumlah bahwa sebutan “Atoni Pak Meto” artinya “manusia daratan”) ternyata
telah :
---membuka dirinya kepada kebudayaan-kebudayaan
luar,
---menerima beraneka ragam unsur kebudayaan, baik
yang material maupun yang non-material, dan
---menggunakan semua yang diterimanya untuk menata
kehidupannya ke arah yang lebih baik.
Pertemuan
dengan “kebudayaan-kebudayaan yang lebih maju” itu, telah membuat suatu
revolusi besar dalam kehidupan masyarakat Atoni.
Merevolusikan
suatu masyarakat “tak berpakaian, menjadi suatu masyarakat berpakaian dengan
seni yang tinggi”, Merevolusikan sistem “politik dari pemerintahan para “Nakaf”
(Kepala Suku) menjadi Temukung, dan “Nonot Usif (Marga Raja) menjadi kaum
Ningrat berdarah biru, “Pah” menjadi “kerajaan”.
Pertanyaan yang timbul adalah
: “Apakah “difusi kebudayaan” yang
memperkaya
kebudayaan masyarakat suku Atoni itu memodernisasikannya?”
Pertama-tama haruslah dijawab bahwa
:“difusi kebudayaan” yang memperkaya kebudayaan Atoni itu telah merevolusikan
seluruh perilaku kehidupannya, “tetapi tidak memodernisasikannya”.
Sebab
menurut definisinya, “modernisasi” adalah suatu proses perobahan sosial
yang diakibatkan oleh penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi; “Revolusi”
adalah suatu perombakan total dari keadaan lama menjadi keadaan yang baru
secara “ irreversible” (tiada titik balik).
Jadi “difusi
kebudayaan” yang terjadi karena adanya interaksi kebudayaan membawa akibat
pada adaptasi perilaku yang kemudian, dibakukan dalam adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan.
Parang dan Kapak
untuk menebas hutan menjadi ladang adalah,
---“adaptasi prilaku dengan material yang diterima”.
Itu sebuah revolusi,
---sebab sejak itu, “kebiasaan mengumpulkan
umbi-umbi hutan ditinggalkan”, dan
---“mulailah orang Atoni memasukkan bibit kedalam
tanah dan, menunggu panen”.
Sejak itu orang
Atoni mulai mengenakan :
Sarung dan selimut dan meninggalkan serat pohon
sebagai pembungkus tubuhnya untuk selama-lamanya.
Mereka
mengenal gong dan mengembangkan tari-tarian; mengenal biola (biol atau he’o)
bahkan dapat membuat sendiri biola dengan alat sederhana, mencipta lagu
pengiring permaianan biola serta tariannya.
Mereka
mengenal teknologi pengawetan bahan makanan yang dipanennya.
Walau demikian,
orang Atoni tidak mengalami modernisasi.
Mengapa demikian?
Sebab
“revolusi” yang diakibatkan oleh adanya “difusi kebudayaan” yang, segera
membaku dalam adat istiadat dan,
kebiasaan-kebiasaan yang dikawal dengan ketat secara tradisional. “Semua
buah revolusi yang dicapainya tidak pernah menjadi basis bagi pengembangan
lebih lanjut” seperti :
Teknologi pembuatan “pena ut” (tepung jagung goreng)
tidak menjadi basis untuk mengembangkan
industri “pena ut” yang menghasilkan komoditi untuk diperdagangkan. Ketrampilan menenun pun tidak berkembang
menjadi industri tekstil tradisional “made in Atoni”.
Mengapa demikian?
Karena
revolusi itu tidak dibarengi dengan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai, prasyarat bagi modernisasi.
Dengan
uraian singkat di atas, paradigma modernisasi yang diajukan oleh Muller, ‘kita tolak’.
Defusi
kebudayaan adalah paradigma untuk
menguji perobahan sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat, tetapi
yang, tidak menjadi basis bagi perobahan seterusnya, karena masih kekurangan satu
unsur penting, yaitu, Penerapan “ilmu pengetahuan dan teknologi” kepada
hal-hal yang “telah dicapai sebelumnya”. Dengan kata lain, revolusi
kebudayaan merobah suatu masyarakat dari status yang :Lebih rendah kepada
suatu status baru yang lebih tinggi, dan mengembangkannya lebih lanjut. Dengan
demikian defusi kebudayaan seperti yang dicontohkan di atas, membuktikan bahwa
“setiap “defusi kebudayaan” “tidak selalu “memodernisasikan” suatu masyarakat”.
Dengan uraian di atas maka
“paradigma Muller”
tidak terbukti, sehingga “Kita Tolak” teorinya.
Pengembangan lanjut di atas status baru yang dialami suatu masyarakat
“memerlukan suatu paradigma yang lebih tinggi dari paradigma difusi
kebudayaan”.
4.b. Relevansi Dari Paradigma Durkheim
Tentang Solidaritas Organis
Telah diuraikan secara ringkas pada bagian
pertama, bahwa komunitas-komunitas tradisional dimanapun di dunia ini selalu
membangun peri kehidupannya dengan melandaskannya pada ikatan kekerabatan
yang sangat kokoh. Struktur kehidupannya bertumpu pada kekuatan sosial pada
aras kesatuan dan kesepakatan dari para tetua adat.
Setiap
penyimpangan dari kesepakatan yang telah diputuskan berarti : telah melanggar
norma dan, tata nilai yang berlaku dan
harus, diluruskan kembali sesuai, adat
kebiasaan yang berlaku.
Dalam
komunitas tradisional yang “terikat dalam sistem kaum kerabat” seperti
itu, oleh Durkheim disebutnya “solidaritas mekanis.”
Dalam
komunitas tradisional dengan solidaritas yang demikian itu, tidak ada peluang
untuk tumbuhnya :
---diferensiasi dan,
---spesialisasi
dalam, kehidupan dan, mata pencaharian.
Sebabnya
ialah karena “diferensiasi”dan “spesialisasi” dipandang sebagai suatu penyimpangan
normatif. Demikianlah keadaannya masyarakat Atoni.
Dalam suatu
masyarakat dengan “solidaritas mekanis” seperti itu, menurut Durkheim
mustahil terjadi modernisasi, sebab salah satu kaidah modernisasi
ialah, diferensiasi dan spesialisasi.
Dalam masyarakat Atoni, memang
terdapat pembagian kerja.
---Kaum
pria melakukan segala pekerjaan yang secara tradisional diadatkan
bagi kaum pria.
---Kaum
wanitanya melakukan sejumlah pekerjaan yang
patut baginya menurut adat istiadat.
---Anak-anakpun
mempunyai tugas-tugasnya sendiri.
---Ada pula jenis pekerjaan
yang harus dilakukan secara bersama-sama, tanpa pembedaan variabel laki-laki
atau perempuan atau anak-anak, seperti melakukan pekerjaan gotong-royong desa.
Jika
dilakukan pengamatan ke dalam suatu komunitas suku Atoni, segera akan kelihatan
bahwa,
Seorang
laki-laki yang menyebut dirinya sebagai petani, tetapi juga mengerjakan semua
macam pekerjaan laki-laki yang non-pertanian.
Ia
melakukan juga pekerjaan tukang untuk membangun rumahnya, membuat perabot rumah
tangga.
Istrinya
melakukan lebih dari sekedar melayani suami dan anak-anaknya.
Ia
adalah seorang pengerja industri rumah tangga, sebagai penghasil tekstil
(tenunan), produser ‘lu’at’ (sambal Timor ),
pena ut (tepung jagung goreng).
Walaupun demikian, perempuan
Atoni tersebut tidak dapat dikatagorikan sebagai spesialis. “Ia melakukan semuanya untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya”.
Oleh sebab
itu seluruh kegiatan untuk menghasilkan berbagai ragam barang baik oleh
laki-laki Atoni, maupun oleh kaum perempuannya dengan menggunakan beraneka
ketrampilan yang mereka kuasai, masih dikatagorikan ke dalam : pola hidup subsisten, yaitu pola pemenuhan kebutuhan domistik, bukan
produk massal sebagai komoditi komersial untuk di pasarkan.
Paradigma
Durkheim mensyaratkan tumbangnya solidaritas
mekasis dan digantikan oleh solidaritas organis dimaksudkan sebagai
ikatan-ikatan sosial yang baru, yang, didasarkan pada adanya diferensiasi
yang tegas antara, berbagai fungsi dalam masyarakat, dan adanya spesialisasi
dalam berbagai bidang kehidupan. Perobahan
sosial yang pertama kali mengacu pada solidaritas organis dalam masyarakat Atoni terjadi ketika mereka menerima Iman
Kristen dan menjadi, anggota gereja.
Susunan
pemerintahan (organisasi) dalam gereja menuntut adanya pemilihan anggota
Majelis Gereja. Para calon anggota Majelis Gereja harus memenuhi sejumlah syarat
yang dimuat dalam Alkitab.
Termasuk di
antaranya adalah,
---kemampuannya membaca dan menafsirkan isi Alkitab.
Hal ini berarti bahwa,
---calon haruslah orang yang melek huruf,
---memiliki ketrampilan kepemimpinan,
---kecakapan menafsir Alkitab, dan
---ketrampilan administrasi.
Sistem
pemilihan anggota Majelis Gereja amat berbeda dengan penetapan seorang Atoni
menjadi tetua adat. Syarat-syarat premordial masyarakat suku tidak berlaku dalam proses pemilihan pimpinan
gereja.
Para
pimpinan gereja dalam suatu jemaat tertentu,
dilepaskan dari ikatan kekerabatan tradisional, karena Alkitab
mengajarkan bahwa gereja adalah sebuah “keluarga Allah”. Atas dasar itu
maka untuk pertama kali dalam kehidupan masyarakat Atoni diperkenlkanlah suatu
struktur organisasi yang seluruhnya didasarkan pada suatu konsep kepemimpinan
yang mengabaikan solidaritas mekanis.
Bahkan
ikatan kekerabatan kerja Majelis Gereja sudah memiliki watak solidaritas
organis. Demikian pula halnya struktur pemeritahan desa. Memasuki era penataan
kembali susunan pemerintahan desa yang baru, disingkirkanlah semua unsur
premordial dari kepemimpinan desa.
Kepala Desa
dipilih oleh rakyat desa.
Calon-calon
Kepala Desa harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan Pemerintah adalah :
---Ia harus melek huruf,
---memiliki kewibawaan dalam desa,
---punya ketrampilan kepemimpinan,
---mampu menafsirkan instruksi-instruksi pembangunan
yang diturunkan kepadanya oleh pejabat pemerintah yang di atasnya.
---Ia harus memiliki kemampuan admisnistrasi agar
dalam mendokumentasikan data-data desanya, dan melakukan korespondensi
pemerintahan.
Setiap desa harus
dilengkapi oleh perangkat pemeritahan desa, seperti :
---Lembaga Musyawarah Desa (LMD),
---Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD),
---Dharma
Wanita,
---Ketua
Rukun Wilayah (RW),
---Ketua
Rukun Tetangga (RT).
Hal-hal
yang dikemukakan di atas tampaknya sangat rasional.
Apa yang
tidak muncul ke permukaan dalam proses domokratisasi di desa ialah adanya “arus
bawah kebudayaan”yang diperankan oleh para tetua adat, yang secara formil
merupakan kekuatan bawah.
Para tetua adat yang sudah tidak tampil lagi secara formal, masih
tetap menjadi tempat bertanya bagi generasi muda yang hendak menduduki suatu
jabatan dan akan memainkan suatu peran kepemimpinan tertentu di desanya.
Tak boleh
dilupakan pula kenyataan yang telah diungkapkan dalam bahasan tentang
pendidikan, bahwa mayoritas penduduk desa terdiri dari :
---para tamatan SD atau dropout SD
dan,
---sejumlah kecil tamatan SMTP dan,
---SMTA atau dropout dari kedua aras
pendidikan tersebut.
Sudah
disimpulkan pula bahwa dengan, aras pengetahuan SD dan SMTP itu,
ditambah pula dengan, usia mereka yang
rata-rata masih sangat muda maka, sulitlah bagi mereka untuk memainkan
pengaruh pembaharuan yang, mengarah kepada modernisasi. Hal-hal yang
dikemukakan ini bukan bermaksud hendak meremehkan pembangunan yang telah
terjadi di kalangan masyarakat Atoni di desa.
Tetapi modernisasi
di pedesaan menuntut cara berfikir rasional dan sejalan dengan, harus ada penerapan
ilmu pengetahuan dan teknologi, di segala bidang kehidupan.
Perangkat-perangkat
organisasi gereja maupun pemerintahan desa memang telah mengalami perobahan
menuju suatu model struktur yang organis.
Tetapi solidaritas
organis yang dikehendaki Durkheim
tidak boleh ditafsirkan hanya
sebagai perombakan model kepemimpinan saja.
Perlu ada diferensiasi
dalam pola mata pencaharian misalnya petani yang berspesialisasi
di bidang penggemukan ternak, ada petani yang mengkhususkan dirinya untuk
hidup dari kebun kelapa dan perusahaan pembuatan minyak kelapa, lainnya
mengembangkan kebun singkong dan mengkhususkan dirinya dalam pembuatan kripik
ubi/singkong untuk dipasarkan dll.
Semua
petani sejenis mengikat diri dalam satu persatuan tertentu menurut jenis
spesialisasinya, agar lembaga-lembaga khusus itu memperjuangkan
kebaikan-kebaikan bersama.
Model
ikatan-ikatan khusus itulah yang dimaksudkan Durkheim dengan “solidaritas
organisme.” Solidaritas semacam itu belum terjadi di desa.
Memang
diakui bahwa Pemerintah telah berusaha mendorong tumbuhnya KUD (Koperasi
Unit Desa). Namun dipertanyakan fungsi organ ekonomi KUD itu. Apakah yang
dimaksudkan dengan KUD adalah suatu lembaga yang menghimpun kekuatan-kekuatan
ekonomi yang berdiferensi dan berspesialisasi dalam proses produksi
khas, ataukah lembaga ekonomi secara umum yang bukan organis?
Jika sifatnya
khas, maka dimanakah petani-petani spesialis yang melakukan diferensiasi
dalam mata pencahariannya, supaya KUD menjadi lembaga yang menunjang tumbuhnya solidaritas
organis sebagai suatu sarana modernisasi.
Sebuah
contoh solidaritas organis di Australia , ialah terbentuknya Country
Party yang secara politis memperjuangkan nasib para petani di desa.
Di
daerah Murray River , terdapat petani
peternak sapi perahan, dan petani perkebunan jeruk.
Di
wilayah Barosa Valley di Australia Selatan terdapat petani anggur.
Masing-masing
petani sejenis bersatu dalam KUD, misalnya “Association of Dairy Farmers”
(Persatuan Petani Penghasil Susu), dan seterusnya.
Hal itu
tidak pernah atau belum pernah terjadi atau dimotivasikan di kalangan suku
Atoni, di Timor, NTT.
Jika paradigma Durkhim tentang
perubahan dari : “tatanan social” yang
didasarkan
pada “ikatan-ikatan primordial” berupa “solidaritas mekanis”
menjadi, “solidaritas organis”, sebagai “prasyarat modernisasi”
di kalangan masyarakat Atoni, maka kebijakan pembangunan yang “direkayasa oleh
Pemerintah perlu dikaji kembali dengan saksama”.
Konsep “Area Development Approach”
yang diajukan oleh almarhum mantan Gubernur Nusa Tenggara Timur, El Tari dapat
dipandang sebagai,
---“suatu
visi pembangunan yang amat modern”, yang
---mengacu
kepada “lahirnya solidaritas organis” sebagai,
---“prasyarat
modernisasi di kalangan masyarakat Atoni”.
Secara
singkat, konsep “Area Development Approach” mengandung acuan untuk
memilih jalur pembangunan “bertendensi difernsiasi dan spesialisasi”.
---Di
Nusa Tenggara Timur. Pulau Timor, Rote, dan Sumba Timur ditetapkan sebagai
“daerah pengembangan ternak”.
---Daerah
Sumba Barat dan Flores Barat ditetapkan sebagai “daerah penghasil padi”.
---Daerah
Flores Timur dan Alor Pantar sebagai “daerah pengembangan perikanan laut”.
Artinya, seluruh masyarakat Atoni dan penduduk Sumba Timur harus “mengembangkan
spesialisasi di bidang peternakan, terutama sapi, baik sapi Bali
(Bos Sundaicus) maupun jenis Brahman”.
Padang-padang
rumputnya dirobah menjadi kebun rumput yang ditanami dengan jenis rerumputan
yang dapat dipanen, dan dijadikan “bay” (rumput kering) atau “sillage”
(rumput olahan yang dapat disimpan di gudang).
Untuk
meningkatkan mutu sapi Bali, maka perlu diadakan peraturan bahwa :
Setiap peternak wajib mempertahankan seekor sapi
jantan bermutu tinggi, yang berusia di atas 5 tahun sebagai sapi
bibit. Harus ada larangan mengeluarkan
sapi bibit dari Nusa Tenggara Timur ke daerah lain.
Perlu mendatangkan sapi pejantan Bali asli
(Bos Sundaicus) untuk menyebar sperma species dalam rangka perbaikan dan
peningkatan mutu. Dinas-Dinas Kemakmuran membantu para peternak, baik dengan
penyuluhan yang intensif maupun mekanisasi pada rumput untuk dijadikan
ladang-ladang rumput bermutu.
Diperlukan “kredit pertanian berbunga lunak”
untuk membantu investasi di bidang pengembangan “peternakan modern”.
Model-model
pembangunan “berdiferensiasi dan berspesialisasi” seperti itulah yang harus
dikaji dan diimplementasikan dengan sungguh-sungguh dengan “Area Development
Approach”yang disebutkan di atas.
Semua
kelompok masyarakat yang seprofesi karena spesialisasi dalam mata
pencahariannya, niscaya mengikat diri dalam lembaga-lembaga khas yang
bersolidaritas organis yang amat tinggi yang memperjuangkan nasib
anggota-anggotanya.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa paradigma Durkheim tentang
perlunya diganti “solidaritas mekanis menjadi solidaritas organis”
sebagai prasyarat “modernisasi”, hanya
dapat dijalankan apabila :
---“Ada peningkatan profesinalisme di kalangan
masyarakat Atoni lewat pendidikan yang memberikan dasar rasionalitas
yang tinggi”
---“Ada perombakan mendasar dalam kebijksanaan
pembangunan” di Nusa Tenggara Timur dengan mengimplementasikan secara konsekuen
“Area Development Approach” dengan dukungan semua dinas terkait.
4.c.
Relevansi Dari Paradigma Smith, Rostow,
Armine-Ritcchey-Hulley
di Bidang Ekonomi
Adam Smith, seperti telah dikutip di muka mengemukakan “paradigma efiseiensi dalam berproduksi” :
1.“innovasi
teknologi,
2.
peningkatan ketrampilan kaum pengerja,
3.
akumulasi modal dan,
4.
pengetahuan”;
Rostow
mengemukakan “paradigma tatanan sosial-psikologi” :
1.“mengembangkan
ilmu dasar,
2.
menerapkan ilmu pengetahuan, dengan tujuan ekonomi,
3. menerima
innovasi baru,
4. mencari
laba,
5.
mengkonsumsi dan,
6.melahirkan
anak..
Armine-Ritchey-Hulley mengemukakan
paradigma “The Seven M’S”
---men,
---money,
---materials,
---machines,
---methods,
---management,
---market..
Bagaimana
“relevansi dari paradigma-paradigma ekonomi di atas, dalam rangka menggerakkan
dan memacu modernisasi” di kalangan masyarakat Atoni?
4.c.1. Efesiensi Produksi Di Kalangan Masyarakat Suku Atoni
Baiklah
penyelidikan kita dimulai dengan “munguji paradigma Smith tentang efiseinsi
dalam berproduksi”.
“Efesiensi
dalam berproduksi” ditunjang 4 kaidah pokok, seperti dikemukakan di
atas, yaitu,
1. innovasi teknologi,
2. peningkatan ketrampilan kaum pengerja,
3. akumulasi modal dan,
4. pengetahuan (Knowhow).
Dalam
interaksinya dengan kebudayaan-kebudayaan yang telah lebih maju, orang Atoni
berkenalan bukan hanya dengan alat-alat dan artifak-artifak kebudayaan,
melainkan juga dengan ‘teknologi’.
Salah satu
contoh yang telah dikemukakan ketika membahas paradigma Muller, ialah
diperkenalkannya ‘alat-alat tenun’ dan ‘teknologi pertenunan’.
Kita
bertanya : “Seberapa efesienkah proses bertenun dengan menggunakan alat-alat
tenun tradisional itu?
Jawabnya :
Cukup lama
dan makan waktu, bergantung pada, lebarnya kain yang hendak ditenun dan, motif
tenunannya. Bahwa sejak dikenalnya alat-alat tenun tersebut belum ada seorang
Atoni pun yang pernah mencoba mengembangkan sesuatu temuan (innovasi) untuk,
mempercepat proses bertenun yang, irit waktu dan tenaga.
Bukan
hanya alat tenun. Orang Atoni telah pula mengenal berbagai :
Teknologi membuat barang secara tradisional sebagai,
akibat adanya difusi kebudayaan dalam perjalanan sejarahnya.
Tetapi belum ada seorang Atoni pun mencoba,
menemukan suatu alat baru guna mempercepat proses membuat barang yang secara
tradisional telah mereka kenal teknologinya.
Sebagai
akibatnya, semua proses produksi masih tetap mengikuti prosedur dan metode
tradisional yang dikenalnya, betapapun
tidak efesien.
Oleh sebab
itu produksinya tidak dapat meningkat untuk melayani konsumen yang lebih luas
(pasar). .Jadi tidak ada peningkatan ketrampilan, karena tidak ada innovasi teknologi.
Menurut Smith perlu modal untuk
membeli mesin-mesin.
Seperti diketahui di Indonesia,
---Telah banyak diproduksi mesin-mesin, baik yang
manual maupun yang masinal.
---Tetapi
diperlukan modal untuk membelinya.
---Tampaknya
orang Atoni memiliki kemampuan untuk pengadaan modal, misalnya dengan jalan
menjual sapi paronnya harga jualnya pun tinggi.
Akan tetapi
uang yang diperoleh dari penjualan sapi itu habis digunakan untuk, memenuhi
berbagai keperluan yang konsumtif, atau
membangun rumah mengikuti mode umum.
Di beberapa
daerah tertentu terdapat tanaman kelapa dalam jumlah cukup banyak. Biasanya
orang Atoni membawa kelapanya ke pasar guna memperoleh uang tunai untuk
memenuhi berbagai kebutuhan sehari-hari.
Perhitungannya
ialah, bahwa di samping memarut kelapa miliknya sendiri, ia dapat mempersewakan
mesinya kepada tetangganya.
Tetapi
segera ia menemui kesulitan.;
Bahan bakar untuk menjalankan mesinya harus didatangkan
dari kota Kupang (ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur) yang berjarak
sekitar 21 Km dari desanya.
Hal ini memerlukan biaya transport.
Jika biaya transpor bahan bakar dibebankan kepada
pemakai mesinnya, maka harga sewa parut kelapanya menjadi tinggi per unit
kelapanya.
Lagi pula, berhubung tidak memiliki ketrampilan
teknis dalam hal permesinan, ia harus mengeluarkan biaya reparasi yang tidak
dapat dikatakan rendah dan harus dibawa ke Kota Kupang (21 km).
Hal yang
disebutkan diatas, barulah sebuah contoh.
Paradigma Smith mengandung unsur-unsur yang saling terkait.
Modernisasi bukan hanya bergantung pada, pemilikan sebuah
mesin, atau asal punya sejumlah modal.
Jika salah
satu unsurnya tidak ada maka, seluruh rangkaian proses produksi menjadi macet.
Sudah tentu
orang Atoni tidak sedikitpun mengenal paradigma Smith dengan keempat
unsurnya yang saling terkait, yaitu :
---inovasi
teknologi,
---ketrampilan,
termasuk mereparasi kerusakan mesin sendiri,
---serta
modal,
---serta
pengetahuan.
Jika modernisasi
menurut paradigma Smith hendak
diimplementasikan di antara orang Atoni, niscaya diperlukan adanya, usaha untuk
menyadarkan mereka tentang keterkaitan berbagai unsur tersebut diatas, agar
dapat berproduksi secara efisien dan
mampu memenuhi permintaan pasar akan barang-barang konsumsi yang
dihasilkan.
Visi dan
pengertian tentang efisiensi dalam proses produksi untuk komoditi pasar,
hanya dapat tumbuh jika, ada pendidikan untuk memperoleh pengetahuan
(knowhow) yang memadai.
***Sungguh
benarlah kata “Alkitab di AMSAL 19 :2”,
“
Tanpa pengetahuan, kerajinanmu tidak baik”.
(4,c.2). Tatanan Sosial
Psikologi di Kalanagan Masyarakat Atoni
Tidak
bedanya dengan paradigma Smith, paradigma Rostorw memberi tekanan yang sangat tinggi pada rasionalitas.
Paradigma
tatanan sosial-psikologi dari Rostow
membebankan “enam unsur”, seperti terurai dimuka.
Kita akan
mengabaikan “3 unsur terakhir” yaitu,
---kecenderungan mencari laba atau keuntungan
material,
---mengkonsumsi dan,
---melahirkan anak.
Perhatian kita
arahkan pada “ketiga unsur pertama”, yaitu :
---pengembangan
ilmu dasar basic science,
---menerapkan ilmu pengetahuan dengan tujuan ekonomi
dan,
---inovasi baru.
Tampaknya
sudah tidak dibutuhkannya lagi komentar panjang lebar jika disadari tentang,
rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Atoni yang, tinggal di pedesaan.
Mereka memiliki banyak sekali pengalaman dalam berbagai bidang kehidupan.
Pengetahuannya tentang berbagai unsur kebudayaanpun banyak.
Tetapi pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya bersifat
kesehari-harian (naïve knowledge), bukan pengetahuan keilmuan (scientific
knowledge).
Dengan mengatakan demikian, bukanlah berarti pengalaman dan pengetahuan
kesehari-hariannya itu rendah gunanya atau tidak berarti.
Namun,
modernisasi membutuhkan lebih dari itu.
Menurut Rostow,
adalah sangat penting bagi suatu masyarakat untuk mengembangkan ilmu dasar
(basic science). Harus diberi tekanan di sini bahwa Rostow tidak
memaksudkan “mengajarkan ilmu dasar” melainkan
mengembangkannya.
Fungsi utama ilmu dasar adalah untuk
menyelidiki alam sebagaimana adanya, dengan jalan :
---menyelidiki
susunan kimiawinya,
---sifat-sifat
fisiknya,
---bagaimana
proses-proses yang beraneka ragam di dalamnya,
---berbagai
faktor pengaruh yang timbul baik dari dalam maupun dari luar terhadapnya dan
sebaginya.
Perlu
ditekankan di sini bahwa “basic science” (misalnya dalam biologi dikenal
: kapiler, fotosintesis) yang diporoleh di SD, diajarkan menurut model
pendidikan yang disebut “Model Produk” Artinya :
---Murid
diajari ilmu dasar tersebut sebagai “ilmu jadi”,
---Bukan
hasil eksplorasi keilmuan.
---Oleh
sebab itu ilmu dasar yang diperoleh di SD adalah
---tidak
implementable dalam bentuk yang bagaimanapun.
Di bidang pertanian
di Indonesia ,
misalnya, telah diperkenalkan teknologi “Panca Usaha Tani” dengan kelima
unsurnya, yaitu :
---pengolahan
tanah yang baik,
---pemilihan
bibit unggul,
---penyiangan tepat waktu,
---pemupukan seimbang, dan
---irigasi yang memadai.
Ini sebuah
inovasi baru. Teknologi tersebut telah disuluhkan terus menerus kepada rakyat,
termasuk orang Atoni.
Pertanyaannya ialah, sudah berapa banyak petani Atoni menerima inovasi
teknologi itu dan, mengimplementasikannya dalam pertaniannya?
Teknologi
Panca Usaha Tani adalah, jenis teknologi untuk masyarakat agraris, yang
mengusahakan lahan tetap dan, beririgasi.
Tetapi
dalam konteks Provinsi Nusa Tenggara Timur (Provinsi Gersang—Kikir Hujan) yang
:: semi Arid (lahan kering), yang
miskin air irigasi, (tandus)
teknologi itu harus, direkayasa kembali
dan, disesuaikan dengan, pola lahan kering.
Dalam hal
ini masih ditunggu hasil definitif pola pertanian lahan kering yang menjadi Pola
Ilmia Pokok (PIP) Universitas Nusa Cendana (UNDANA) Kupang-NTT.
Tampaknya
orang Atoni bukan tidak menghendaki masuknya suatu teknologi baru, karena
mereka telah berulang kali berkenalan dengan, berbagai kebudayaan yang lebih
maju, dan mengalami difusi Kebudayaan berulang kali juga. Tetapi
suatu teknologi barulah dapat diterima, jika ia, “tepat guna”.
4.c.3. Relevansi Dari
The Seven M’S di Kalangan Masyarakat Atoni
Pembangunan
untuk menciptakan perobahan sosial secara total atau modernisasi, memerlukan
penguasaan management yang total pula.
Paradigma Armine dkk
tentang “The Seven M’S” berkaitan erat dengan usaha modernisasi ekonomi.
The Seven M’s” tersebut adalah,
---men
(faktor manusia),
---money
(faktor modal),
---machines (faktor produksi),
---methods (cara berproduksi),
---management (cara menangani seluruh proses
produksi)
---market (konsumen),
---material (bahan dasar).
Apa yang
akan dikemukanan, jika The Seven M’s itu digunakan sebagai teropong
untuk meninjau ekonomi orang Atoni?
Dalam masyarakat Atoni, faktor manusia secara kuantitif tidak usah
diragukan. Akan tetapi sudah jelas tampak dari bahasan-bahasan di atas bahwa modernisasi
memerlukan faktor manusia secara kualitatif, “ the qualified men”.
Sudah kita amati bahwa persentasi
terbesar masyarakat Atoni yang berdiam di desa, dikatagorikan sebagai masyarakat
berpendidikan rendah. Jadi secara kualitatif, masyarakat Atoni di
pedesaan itu belum dapat diperhitungkan ke dalam katagori manusia yang terlibat
dalam proses produksi yang efektif dan efisein.
Masyarakat Atoni sudah lama mengenal mata uang. Bahkan di zaman
dahulu ketika mata uang dari logam mulia masih beredar, orang Atoni berusaha
mendapatkannya dan menyimpannya. Apalagi sekarang uang mudah diperoleh,
asal mereka mau menyediakan barang. Apa saja yang dihasilkan dari ladangnya
dapat dengan mudah dipasarkan untuk memperoleh uang. Dengan sistem paron
sapi (sistem pemeliharaan sapi di Timor dengan cara di ikat di kandang/di
rumahnya dengan menyediakan rumput untuk makanannya, sebagai cara penggemukan
sapi), uang dapat diperoleh dalam jumlah yang besar sekaligus. Tetapi
yang dimaksudkan Armine dkk adalah uang sebagai modal usaha.
Tampaknya hasil menjual sapi paron
belumlah mencukupi untuk dijadikan modal usaha pada alur produksi yang
dimaksudkan di sini. Uang ada di bank-bank. Bank akan yang selalu siap
sedia melayani nasabahnya dengan modal untuk berusaha. Sayangnya, “jalan
menuju sumber uang” ke bank itu begitu
asingnya bagi petani Atoni.
Meminjam
uang kepada tetangga lebih mudah jalannya, dari jalan ke bank mencari kredit.
Mengapa…….?
Bank-bank di Indonesia telah didik untuk “mudah mencurigai” atau tidak begitu percaya
kepada setiap calon nasabah, karena mudah pula menjatuhkan vonis bahwa akan
mengalami kesulitan dalam pelunasannya. Seharusnya Bank membangun
budaya “kepertcayaan” antar kedua belah pihak.
Tentang bahan-bahan yang dapat diolah menjadi produk
untuk konsumen tersedia di desa, seperti kelapa, pisang, jagung, singkong,
babi, ayam, sapi paron dll. Bahan-bahan seperti itu tidak asing bagi orang
Atoni. Tetapi untuk menunjang suatu produk yang berkesinambungan,
diperlukan adanya satu jenis bahan baku dalam jumlah yang besar.
Tetapi pola perladangan orang Atoni adalah padat
tanaman dalam lahan terbatas. Semua jenis bahan pangan yang ada di situ, namun
dalam jumlah yang terlalu sedikit untuk suplai berkesinambungan dalam proses
produksi.
Masyarakat Atoni mengenal berbagai cara mengolah
bahan, misalnya bahan makanan.
Mereka membuat
:
Sambal (lu’at)
yang lezat. Namun mereka, tidak mengembangkan metode takaran agar produknya
memiliki mutu standar yang sama dan seragam.
Dalam satu produksi massal, diperlukan suatu mutu standar yang baku , yang tidak dimiliki oleh orang Atoni.
Standar mutu produksi mereka, tidak bergantung pada
kaidah metematis, melainkan pada kaidah rasa. Jika belum cukup asin, tambah
garam. Berapa banyaknya garam, bukanlah ukuran, melainkan sampai ada rasa asin
sesuai selera (ini adalah ukuran-ukuran tradisional).
Orang Atoni mengenal management rumah tangga
secara sederhana. Bagaimana mengatur agar jagung yang disimpan cukup untuk
makanan setahun, di tambah cadangan untuk bibit. Itu adalah manajemen.
Tetapi manajemen dalam keseluruhan proses untuk memproduksi komoditi, tidak mereka
miliki. Orang Atoni mengenal adanya “Hari Pasar” dan lokasi
“Pasar”, tetapi tidak mengartikan ‘pasar” sebagai konsumen yang
anonimus.
Bagaimana caranya agar “barang jadi” yang
dihasilkannya di Timor dapat mencapai
“pasar Jakarta” adalah “konsep yang tidak bisa mereka tangkap”.
Agar supaya analisis ini tidak diperhitungkan sebagai isapan jempol, maka “the
seven M’s” itu perlu diuji dengan kasus yang konkrit, yaitu PKK.
Kisahnya begini :
Ada kisah
yang diperoleh dari “Amarasi” (Timor), sebuah kecamatan yang jauhnya sekitar 21 Km dari Kota Kupang
ibu kota Prov.NTT, tentang kursus ketrampilan PKK (Pendidikan
Kesejahteraan Keluarga) yang mengajarkan ketrampilan membuat kripik singkong.
Kepada
ibu-ibu di desa, diberitahu bahwa di
Kota Kupang ada sejumlah orang Jawa yang sangat berhasil dalam usahanya dengan
membuat dan menjual kripik singkong.
Katanya,
di jalan-jalan di Kota Kupang orang-orang Jawa itu menjajakan
kripiknya di dalam gerobak dorong dan jualannya sangat laris.
Ketika
mereka (orang-orang Jawa) itu datang ke Kupang, mereka hanya bermodalkan
ketrampilan membuat kripik, tetapi setiap tahun mereka kembali menegok
keluarganya di Pulau Jawa dengan naik pesawat terbang.
Kursus
membuat kripik singkong itu berlangsung dengan baik. Bukanlah soal
mengiris dan menggoreng singkong itu, sudah biasa bagi mereka di desa.
Diharapkan bahwa lewat kursus itu, ibu-ibu di Amarasi dapat meningkatkan
pendapatan keluarga dan mensejahterakan keluarganya.
Setelah
suatu jangka waktu, Tim Penggerak PKK dari kota Kupang, kembali lagi ke
Amarasi itu, untuk melihat sudah seberapa jauh usaha mereka mencapai hasil.
Jawaban yang mereka peroleh ialah
bahwa,
Mereka
memang telah menguasai ketrampilan membuat kripik, namun ada sejumlah kendala
yang mereka hadapi. Jika mereka harus membawa kripiknya dan menjualnya di
jalan-jalan di kota
Kupang (21 Km) dari desanya pada
petang hari, bagaimana mereka dapat kembali ke desanya jika sudah larut malam.
Tidak ada kendaraan umum yang beroperasi lagi.
Mereka tidak mampu membeli gerobak
dorong untuk menjajakan kripik singkongnya karena tidak bermodal. Jika
mereka harus berjualan setiap petang ke kota Kupang (21 km), bagaimana
dengan perawatan dan pemeliharaan anak-anak mereka di desa?
Jawaban-jawaban itu mengacu kepada
masalah :
---permodalan,
---management
dan
---marketing.
Andaikata
saja, produksi dilakukan oleh, ibu-ibu di
desa Amarasi tetapi, pengemasan dan pemasaran dilakukan oleh tim PKK
(Pendidikan Kesejahteraan Keluarga) yang ada di Kupang, maka diperlukan
suatu mata rantai jasa-jasa tertentu supaya produk kripik dapat tiba di tangan konsumen.
Siapa harus menghubungkan ibu-ibu di desa dengan sebuah Bank. di kota,
yang bersedia mempercayakan modal usaha itu?
Kini kita
diperhadapkan dengan situasi yang sama, apapun paradigma modernisasi
yang ingin diimplementasikan.
Masing-masing
paradigma mengandung sejumlah unsur-unsur terkait seperti mata rantai.
Mustahil menerapkan mata rantai yang satu, sambil mengabaikan mata rantai
lainnya.
Justru
tradisionalitas yang terdapat di kalangan masyarakat Atoni ialah bahwa, secara
naluriah menemukan dan, menerapkan salah satu mata rantai dari
paradigma-paradigma yang diajukan. Andai kata mereka, secara naluriah menemukan
lebih dari satu unsur-unsur yang terdapat dalam paradigma itu sekalipun,
mereka tidak memiliki cara berfikir yang rasional untuk, mencari
korelasi-korelasi antar unsur-unsur itu, sehingga tidak melahirkan suatu
perobahan sosial yang berarti.
Inilah tantangan-tantangan riel
yang muncul ketika paradigma modernisasi tertentu hendak
diimplementasikan ke dalam kehidupan masyarakat Atoni, dalam rangka memodernisasikan
kehidupannya, dan mengangkat harkat dan martabat mereka.
4.d.
Relevansi Dari Paradikma Toynbee Tentang Tantangan Lingkungan dan Paradigma Mc
Clelland Tentang N-Ach
Dalam analisis
ini akan dicoba gabungkan :paradigma Toynbee tentang lingkungan dan
paradigma McClelland tentang N-Ach dalam usaha memahami pendorong bathiniah masyarakat
Atoni kepada modernisasi.
Alasannya adalah bahwa walaupun
Toynbee mendasari hipotesisnya pada :
---tantangan lingkungan, namun memberi,
---pemecahannya pada faktor psikologi.
Sedangkan
bagi McClelland faktor psikologi, yaitu, “kebutuhan bathiniah untuk,
berprestasi,” memegang kunci dalam proses modernisasi.
Seberapa
jauhkah terdapat tantangan lingkungan alam yang dihadapi masyarakat Atoni di
negerinya Pah Meto (Manusia Darat)
(Timor) itu?
Sudah
jelas dari namanya Pah Meto, bahwa tantangan utama yang dihadapi
masyarakat Atoni adalah tantangan klimato-georgafis.
Bahwa
terdapat suatu kawasan di Tenggara Indonesia yang diapit oleh Garis Lintang
Selatan 8 derajat dan Garis Lintang Selatan 11 derajat merupakan
:
---Suatu kawasan yang beriklim peralihan kritis.
---Kawasan tersebut berbentuk segitiga,
---Mulai dari Parangteritis (Daerah Istimewa
Jogjakarta) di Selatan Jawa Tengah hingga ke pulau Adaut di kepulauan
Tanimbar di Maluku (2295 km), dan dari
---Pulau Adaut ke pulau Ndana di
selatan pulau Rote NTT, (945 km),
dan dari
---Pulau
Ndana (Rote) NTT ke Parangteritis –
Yogyakarta (1440 km).
--- Luas kawasan segitiga itu adalah 360.462,5
Km2.
Kawasan
tersebut sangat dipengaruhi oleh Angin Passat Tenggara yang panas dan
kering, karena tiupannya melintasi, Gurun
Pasir Australia Tengah “Nularbor”, (Nul artinya “tidak ada”, arbor
artinya “kehidupan) = “Gurun tanpa kehihidupan”.
Pulau Timor,
Rote, Sabu, Sumba Timur, Flores Timur, Adonara adalah merupakan gugusan
pulau-pulau terdepan (busur
luar) yang menghadang tiupan Passat Tenggara yang panas
dan kering itu.
Dalam
kondisi klimatologis yang demikian itu :semua usaha penghijauan dihadapkan
dengan situasi kritis selama Passat Tenggara bertiup, karena
semua
kadar kelembaban (air) yang ada di bumi Timor dan pulau-pulau busur luar lainnya yang disebutkan
di atas, diuapkan oleh udara yang panas
dan kering itu.
Tanpa
pemeliharaan dan perawatan atas bibit tanaman selama bertiupnya angin Passat
Tenggara yang ganas itu, tanaman tidak mampu bertahan hidup sampai turunnya
hujan pada tahun kedua/berikutnya.
Tantangan alam yang kedua adalah,
Struktur
geog-fisiknya dengan tingkat kemiringan lebih dari 50 derajad.
Tingkat kemiringan yang demikian itu menyebabkan pulau
Timor sangat rentan terhadap tanah longsor yang hebat.
Kemampuannya untuk menyerap air ke dalam tanah pun
amat rendah, sehingga mata air yang ada
cepat mengering atau debit airnya menurun secara drastis.
Dalam kondisi seperti itu, maka sekali suatu
kawasan hutan primer ditebas untuk diladangi, maka dibutuhkan waktu
sekitar satu abat untuk mengembalikannya pada kondisi primernya.
Seperti
disebutkan di atas bahwa perluasan usaha pertanian lahan kering oleh
masyarakat “petani tradisonal” hampir terdapat diseluruh wilayah Nusa
Tenggara Timur dilakukan dengan sistem, slash and burn agriculture
(tebas-bakar) dan shifting cultivation” (perladangan berpindah-pindah)
yang memasuki wilayah hutan untuk
perladangannya.
Akibatnya hutan
menjadi gundul dan, terganggu
ekosistem, dan merubahnya menjadi daerah tandus nyaris tanpa
pepohonan.
Inilah tantangan klimato-geografis paling berat yang
dialami masyarakat Nusa Tenggara Timur. Ketika masyarakatnya masih, primitif
dan hidup dari mengumpul makanan
dari hutan dan berburu, lingkungan alamnya lestari.
Dapat diduga
bahwa tantangan utama dalam kondisi itu ialah, kekuarangan pangan dengan
tingkat mortalitas yang tinggi
dan mengalami kemiskinan kronis/absolut.
Kemudian
datanglah zaman baru yang membawa pengharapan hidup yang lebih baik,
ketika mereka berkenalan dengan “atat-alat dari besi”, yang “merevolusikan”
pola pertaniannya menjadi “slash and burn agriculture” dan “shifting
cultivation”
Jika zaman
besi orang Atoni dihitung sejak perkenalannya dengan Cina (1225) atau
sejak zaman kerajaan Negarakertagama sampai kerajaan Majapahit pada abad
ke 14, maka, sejarah “slash and burn cultivation” sudah
berlangsung 5 – 7 abad lamanya.
Andai kata
zaman “besi” itu dimulai dengan datangnya orang Barat ke Timor
pada abad ke-16 maka “slash and burn cultivation” itu telah dipraktekkan
orang Atoni selama 3 – 4 abad
hingga kini.
Bolehlah
dikatakan di sini bahwa pola pertanian “tebas – bakar” itu merupakan
jawaban terhadap, tantangan lingkungan klimato-geografis yang, sukar seperti
pulau Timor dan pulau-pulau busur luar lainnya.
Dalam
kaitannya dengan paradigma Toynbee, timbul pertanyaan yang serius:
“Apakah tantangan,
klimato-geografis yang dihadapi itu menjadi faktor pendorong psikologis
bagi orang Atoni, melakukan penemuan
(invention) alat-alat dari besi dan menemukan metode “slash and burn
cultivation?”
Jawabnya sudah jelas : “Tidak
demikian”!
Slash and burn cultivation
muncul sebagai suatu “given momentum” oleh “sejarah” Sejak Zaman besi
membuka peluang bagi orang Atoni, mengembangkan pola pertanian tebas-bakar,
pola tersebut tidak pernah dijadikan landasan untuk mengembangkan suatu pola
pertanian lain yang lebih maju.
Pada hal, McClelland
mengatakan bahwa: tantangan menimbulkan dorongan psikologi terhadap,
kebutuhan untuk berprestasi, menimbulkan, “need for achievement”.
Memang
terkadang terjadi inovasi secara
kebetulan, dari usaha coba-coba (trial and error).
Tetapi
pada umumnya innovasi lahir dari cara berfikir yang sangat rasional, dengan:
---Menggunakan metode “hipotetiko-deduktif.
---Modernisasi tidak lahir secara tidak sengaja.
---Mesti ada pengetahuan ilmia.
---Ada innovasi teknologi, dan ada penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi tersebut secara disengaja.
Hal itu
memerlukan adanya proses pendidikan yang panjang, suatu belajar secara
kronologis dan metodologis.
Pada hal
masyarakat Atoni di pedesaan telah mengakhiri pendidikan formalnya sampai pada
tingkat SD. Sadar, orang Atoni telah melahirkan suatu, kebudayaan yang khas, dan
unik tetapi perjalanan yang disengaja
dan terencana menuju suatu, peradaban yang lebih tinggi, yang
didorong oleh adanya faktor “N-Ach” nya McClelland, masih jauh.
Kesimpulan
(1). Modernisasi adalah suatu proses perobahan
sosial yang terjadi sebagai akibat diterapkannya ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam segala bidang kehidupan.
Analisis yang dilakukan terhadap kelompok sasaran
dengan menggunakan paradigma-paradigma tersebut menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan rata-rata yang diperoleh mayoritas warga masyarakat Atoni
(dipedesaan) belum dapat menjadi penentu bagi suatu aras berpikir rasional yang
disyaratkan oleh modernisasi. Tingkat pendidikan mayoritas masyarakat Atoni di
pedesaan adalah pendidikan dasar.
Tingkat
pendidikan yang lebih tinggi hanya dapat dinikmati oleh sekelompok kecil
warga masyarakat Atoni, karena ditopang
oleh berbagai faktor pendukung, seperti intelegensia anak, dan kemampuan
ekonomi keluarga.
Analisis
dengan menggunakan paradigma-paradigma itu memperlihatkan kecenderungan yang
tidak begitu cerah bagi orang Atoni,
dilihat dari kacamata modernisasi.
Jika
kita amati secara benar dan cermat, maka penerapan ilmu dan teknologi
kepada semua bidang kehidupan, selalu mengacu kepada efisiensi dalam berproduksi
dalam rangka memacu kesejahteraan material, “material
wealth” (paradigma Smith)
Demikian
pulalah halnya dengan paradigma Muller tentang difusi kebudayaan
mengandung kecenderungan pada perkenalan dengan alat-alat baru untuk
berproduksi dengan lebih efisien.
Keenam
unsur dalam paradigma Rostow dan “The Seven M’s” dalam paradigma Armine-Ritchey-Hulley-,
mengandung kecenderungan yang sama.
Tidak
ada bedanya dengan paradigma Durkheim yang menuntut pengembangan solidaritas
organis karena terjadinya diferensiasi dan spesialisasi dalam
usaha dan mata pencaharian.
Dengan
demikian, modernisasi dalam pengertian penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi lebih berorientasi
pada tujuan-tujuan ekonomi sebagai ukuran kemakmuran dan indikator kesejahteraan suatu masyarakat.
Indikator-indikator
tersebut kelak digunakan untuk menentukan Produk Nasional Bruto (PNG), juga
untuk menentukan Produk Regional Bruto, (PRB) yang kemudian dibagi dengan
jumlah penduduk guna menentukan tingkat pendapatan per-kapita.
Model
perhitungan seperti itu sering menyesatkan, karena pendapatan riel
petani per-kapita sebenarnya jauh di bawah perhitungan
menurut model tersebut.
Setelah
mencoba menelaah paradigma-paradigma modernisasi yang dimajukan oleh
para ahli dari beberapa disiplin ilmu dan menghubungkannya dengan masyarakat
Atoni dan kebudayaannya, maka dapatlah disimpulkan di sini bahwa, berbagai
kemajuan dan perobahan sosial yang dialaminya selama ini merupakan karunia
sejarah semata dan bukan karena
penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Innovasi
dan invention dari kalangan orang Atoni yang menuntut cara berfikir ilmiah,…
masih jauh.
Oleh sebab
itu diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dan lama dari berbagai pihak luar
untuk membantu mereka menjadi subyek pembangunan guna
mengembangkan
harkat dan martabat sebagai masyarakat yang modern.
(2). Modernisasi Milik Siapa?
Perolehan ilmu
pengetahuan dan teknologi menuntut biaya pendidikan yang mahal. Tetapi
penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi pun tidaklah murah.
Jadi untuk
siapkah modernisasi itu?
Jawabnya ialah
bahwa, modernisasi itu tidak diperuntukkan bagi :
---orang yang miskin,
---yang kurang pendidikan,
---yang tidak mampu memperoleh ilmu pengetahuan
atau,
--membeli teknologi yang begitu mahal.
Kaum miskin yang
tidak efisien dalam berproduksi harus menyerahkan seluruh proses produksi
kepada segelintir kecil kalangan yang memiliki ilmu pengetahuan dan, mampu
mengimplementasikan teknologi.
Efesiensi
dalam berproduksi hanya dapat dicapai, jika seluruh proses
produksi diserahkan kepada industri, yang mustahil dikembangkan oleh tamatan SD
yang kembali ke desa sebagai, Tenaga kerja pertanian tradisional, bertapapun
besarnya jumlah mereka.
Jadi, seleranya
harus dapat didikte, betapapun ia secara pribadi punya selera lain. Seleranya harus disesuaikan dengan :
“Super Mie”, “Mie
Bakso”, “Mie Ayam”, walaupun dalam kebudayaannya ia memiliki “manggulu “ (Sumba), “pena ut” (tepung jagung goreng) dan “jagung bose”(jagung tumbuk) (Atoni), “lepa
no” (semacam dodol kelapa parut bergula) dan “sagu beras” (Rote), “jagung
pipih” (Alor-Adonara).
Penyedap makannya tidak harus lagi dipenuhinya dengan
cara berproduksi sendiri, sebab itu ada “Sambal
ABC” dan “Saus Tomat ABC”,
walaupun dalam kebudayaannya ada “lua’at
(sambal Timor) (Atoni) dan “lawar ikan
teri” (Rote) dan penyedap tradisonal lainnya.
Sandangnya
tidak perlu lagi diproduksi sendiri, karena cukup
tersedia oleh pabrik tekstil yang bekerja dengan efisiensi sangat tinggi dan
mampu menghasilkan tekstil yang murah harganya untuk semua, walaupun dalam
kebudayaannya masyarakat tradisional mengenal alat-alat tenunan.
Rumah beratap alang-alang atau daun gewang dan
berdinding bebak/pelepah, yang menjamin kesejukan sepanjang hari, dinilai
sebagai, bukan rumah sehat dan tidak modern, sehingga harus dimodernkan dengan atap
seng, walaupun terik panas matahari harus menyengat penghuninya selama
siang hari. Rumah joglo Sumba adalah model rumah ketinggalan zaman dan
harus digantikan dengan desain modern menurut gaya Italia dan harus
memakai pilar ala Romawi.
Sistem pendidikan yang menyaring murid pandai lewat EBTANAS dan
menyaring murid terpandai lewat sistem Penelusuran Minat dan Ketrampilan (PMDK)
perlu ditopang kelanjutan pendidikannya demi modernisasi. Dan dengan
kemampuannya, menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka kelak akan
membangun industri-industri yang akan menyediakan semua kebutuhan manusia
sekedar tinggal beli dan mengubah tatanilai swadaya dan swasembada menjadi
masyarakat konsumen.
Maka timbulah pertanyaan yang serius
lagi :
“Modernisasi ini milik siapa?
---Apakah milik Industriawan?
---Koglomerat?
---Penanam modal?
---Ataukah modernisasi ini milik kita semua,
termasuk mereka yang telah tercecer dari aras pendidikan
menengah, aras pendidikan atas dan aras pendidikan tinggi?
Jawabnya ialah :
“Tidak!!!
Modernisasi ini milik seluruh rakyat Indonesia, baik yang
berdiam di kota, maupun yang di desa, terpelajar maupun mereka yang masih harus
mengikuti “Paket A”, program pemberantasan buta huruf.
Modernisasi ini milik masyarakat Atoni (NTT) juga, yang hampir
semuanya berdiam di desa-desa dan hidup dari pola pertanian subsisten (dalam
kondisi kemiskinan kronis/absolut).
Mereka memerlukan suatu “Profesional Will”
untuk turun ke desa dan memodernisasi masyarakatnya sendiri.
Dalam
hubungan ini, kita teringat kepada Pidato Pembukaan Konperensi Tingkat Tinggi
(KTT) Negara-Negara Non-Blok, tanggal l September l992 di Jakarta, oleh Presiden
Soeharto.
Kata beliau “ bahwa setiap bangsa bertanggung jawab untuk membangun bangsanya
sendiri.
Pernyataan tersebut benar pula dalam kerangka
nasional maupun internasional.
Pernyataan tersebut
benar pula dalam kerangka pembangunan dan modernisasi masyarakat
pedesaan.
Merekalah yang harus memodernisasikan dirinya
sendiri.
Kembali ke desa harus menjadi dorongan moral
bagi putra-putra terbaik asal desanya sendiri.
Semua bantuan dari luar harus dipandang sebagai pelengkap,
sebagai komponen.
Derita Kemiskinan
yang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur
sekitar 67 tahun sesudah
Indonesia Merdeka l945, belum lagi surut hingga sekarang.
Gambaran
berbagai Paradigma oleh para ahli dari
berbagai disiplin ilmu modern yang diuraikan di atas dan dibandingkan dengan
kondisi dan situasi serta keadaan Nusa
Tenggara Timur, ternyata memberi
petunjuk bahwa:
Banyak terdapat kekurangan dan ketertinggalan dalam
berbagai faktor pembangunan sehingga tetap miskin.
Ini salah
siapa?
Atau
kepada siapa, aku harus menyampaikan tangisanku?
Apakah
kepada Rumput Yang Bergoyang?
Ataukah
hanya kepada ombak yang memecah dipantai?
Tetapi
mereka diam semuanya.
Mereka
tinggalkan aku tetap primitif di desa
yang sunyi tanpa kata.
Dan apa
langkah-langkah ke depan?
Kiranya
bagian dari tulisan ini nenunjukkan kepada kita suatu kesedihan dan air mata
kemanusiaan mengapa terjadinya kemiskinan
yang berlarut-larut yang diutarakan dalam berbagai fersi dan gambaran
sebab-sebabnya terjadinya kemiskinan
yang selama ini tidak mengenal dengan pasti penyebabnya yang utama, walupan
bukan yang pertama, oleh karena :
---Kita
kurang memiliki wawasan yang luas tentang kondisi sesuatu wilayah, maupun
suatu negara secara mendalam, dalam mengatasinyapun,
hanya dengan meraba-raba dalam kegelapan pengetahuan yang dangkal dan
tidak/kurang tepat, menyebabkan tidak secara dini mengantisipasinya.
---Ternyata
setelah mencoba menerapkan berbagai ilmu pengetahuan dari berbagai ahli
dibidangnya, dengan kondisi disesuatu deaerah seperti yang dicontohkan di
atas, telah membuktikan bahwa karena kebodohan,
karena kurangnya perhatian di sektor pendidikan yang begitu mahal yang tidak terjangkau masyarakat miskin di
daerah–daerah kecil terpencil di udik sana yang tidak/kurang terjangkau
pelayanan publik.
---Desa yang
serba miskin dan melarat menjadi pembatas kemajuan adalah penyebab kemiskinan dimana saja, dan
Nusa Tenggara Timur sebagai suatu contoh yang tepat, sebagai gambaran kemiskinan yang juga
terdapat di Indonesia termasuk Dunia Ketiga lainnya.
Kalau kita
mengikuti berita-berita di media massa, yang memberitakan angka dana puluhan
triliunan rupiah yang katanya untuk pemberantasan kemiskinan dan pengangguran,
tetapi kenyataannya kemiskinan dan pengangguran di Indonesia masih terus
bertambah. Kemana jalannya dana-dana tersebut, sehingga tidak tersentuh oleh
rakyat yang melarat di desa?
Rakyat
di desa, ibarat sedang berdiri diluar
pagar, sedang menonton para pembesar negeri ini sedang menghadiri suatu
jamuan pesta perkawinan disebuah gedung mewah, dengan hidangan serba ala
masakan luar negeri yang lesat, sambil
mendengar lagu-lagu pop dan berdansa ria dan penuh dengan kemewahan yang tak
ada bandingannya, sementara si miskin yang berdiri di luar pagar tembok
sebagai penonton, hanya menelan ludah kelaparannya sendiri.
Pertanyaannya, kemana saja dana-dana tersebut mengendap? Dan
siapa yang harus bertanggung jawab?
Pararadigma
modernisasi tersebut di atas yang di
tujukan kepada masyarakat Nusa Tenggara Timur, tetapi bagaimana jika diterapkan
secara keseluruhan untuk Indonesia.
Pertanyaannya : Apakah Indonesia sudah termasuk katagori
‘modernisasi’ atau ‘belum’ menurut teori para ahli tersebut di atas?
Jawabnya : “belum” sepanjang belum terhapusnya kemiskinan di
Indonesia.
Boleh juga
Indonesia digelar “Negara Tradisional Pra
Modernisasi”
Jika ‘belum,’
diterapkannya teori-teori tersebut sebagai “obat mujarab”
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Profesi :
Konsultan Pajak – Penulis Buku.
Alamat : Jln
Jambon I/414J – Kricak – Jatimulyo – Jogjakarta
Telp.0274.58816-
- Hp.082135680644
Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id
Motto-KU :
1.
“KONDISI dan SITUASI
Ditentukan Oleh KWITANSI”
2. „ SIMPAN YANG
ADA, dan MAKAN YANG BELUM ADA“
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.