ANAK JAWA
MELIHAT ROTI
(Gianto, 27
Desember l955)
Oleh:Drs.SimonArnoldJulianJacob
Di pulau Roti pemain-pemai musik itu tidak memungut bayaran.
Pada pesta-pesta, orang tidak usah ribut-ribut mencari musik.
Musik itu akan datang sendiri dari teman-teman. Orang-orang Roti, lebih-lebih
orang-orang Ba’a, hampir semua atau sebagian besar dapat bermain gitar atau
banyo. Mereka sejak kecil hidup dilingkungan gitar atau banyo.
Boleh dikatakan dalam tiap rumah ada sebuah gitar. Yang
pandai-pandai bermain gitar tidak terbatas pada orang-orang Kristen yang sering
menyanyi di gereja saja, tetapi juga oleh orang Islam, Budha dan lain-lain
lagi.
Ada juga seorang dua orang yang mempunyai biola.
Kebanyakan dari mereka pandai bermain gitar, banyo, atau biola,
tetapi tidak tahu teori musik sama sekali, sehingga mungkin sekali aku belajar
dari mereka.
Musik dihalaman terus mengalun lagu berganti lagu. Nona-nona
membawa minuman tadi, sekarang keluar lagi.
Mereka membawa piring-piring kosong, senduk dan garpu dan nasi.
Mula-mula kami mengambil piring kosong dan sendok serta garpu.
Setelah itu maka datang
nona pembawa nasi kepada kami.
Kami harus mengambil sendiri nasi itu dari tempatnya.
Lalu menyusul nona-nona yang lain lagi dibelakang yang membawa
gulai dan lauk-pauk lainnya.
Nona-nona ini pun tidak menyendukan lauk-pauk yang dibawanya untuk
kami, melainkan kami sendiri yang menyenduknya.
Setelah semua orang selesai mengambil, maka berdirilah tuan rumah
menyilakan tamu-tamunya makan.
Biasanya sebelum tamu-tamu makan, pendeta berdoa dulu yang intinya
berterima kasih pada Tuhan atas berkat berupa sajian makanan itu.
Musik tak mengudara lagi, sebab pemain-pemain musiknya juga sedang
makan. Disana-sini terdengar suara senduk menyentuh piring.
Tengah kami makan nona-nona tadi keluar lagi membawa nasi dan lauk
pauk bagi mereka yang ingin tambah. Siapa pun tidah usah malu-malu kalau masih
kurang, boleh tambah.
Tidak lama kemudian suara musik terdengar lagi. Pemain-pemainnya
sudah selesai makan. Sebentar lagi kami pun sudah selesai makan dan nona-nona
keluar lagi mengangkat piring-piring yang telah kosong.
Sementara itu disana-sini tamu-tamu berkelompok-kelompok
empat-empat orang bermain kartu.
Nona-nona keluar lagi dengan gelas-gelas kecil berisi anggur dan
jenever dan sopi minuman beralkohol tinggi buatan orang Roti sendiri dari hasil
fermentasi sulingan air nira dari pohon lontar.
Sesudah makan, tuan rumah dengan suara jelas menyilahkan kepada
tamu-tamu yang suka, untuk berdansa.
Sampai sekarang di Roti berdansa ini adalah soal biasa.
Berdansa sama saja dengan menarikan kebalai.
Pasangan-pasangan berganti-ganti sehingga memberi kesempatan
kepada para tamu untuk berdansa dengan
siapa saja. Mereka berdansa enak saja walaupun orkes hanya terdiri dari gitar
dan banyo-banyo saja.
Wals berganti
samba, samba
berganti wals
dan seterusnya.
Hanya dansa-dansa moderen saja yang belum masuk ke Roti, seperti boogie-woogie, Rock and
Rool dan sebagainya.
Yang telah lelah, duduk-duduk bermain kartu.
Yang tadi bermain kartu sekarang berdansa.
Begitu berganti-ganti.
Hampir segala lapisan masyarakat Roti dapat berdansa.
Memang pengaruh kebudayaan lebih
berurat-berakar dari pengaruh-pengaruh yang lain.
Mungkin ada juga diantara orang Roti yang anti dansa, tetapi tidak
pernah menyatakan dengan terus terang dan tidak pernah menentang.
Karena semua orang ingin bersatu dipulau yang kecil itu, maka yang anti lebih baik diam saja.
Pemain-pemain musik saling bergantian, sebab mereka ingin juga
berdansa. Mereka berdansa dengan sopan karena dansa itu mereka anggap suatu
kesenian juga.
Gelak tertawa terdengar dari pemain-pemain kartu dan dari
orang-orang yang beromong-omong itu. Mereka bermain kartu dan tidak pernah
dengan taruhan uang.
Hari makin malam.
Lampu Petromax masih terang benderang dan tamu masih banyak.
Sudah ada juga seorang dua tamu yang telah pulang karena tidak
dapat berjaga ( Rote =mete-mete)- (melek)= tidak tidur sampai jauh malam.
Udara sudah dingin.
Lonceng ditangsi Polisi terdengar 2 kali, berarti hari sudah jam
dua tengah malam.
Magdalena FanggidaE, anak yang dirayakan ‘hari jadinya’ telah lama
tidur. Tetapi tamu-tamu yang merayakannya, masih asyik bermain kartu, bermain
musik dan berdansa sambil menunjukkan gayanya masing-masing.“Hari jadi” di Roti
selalu ramai begini,” kata bu Winvied setelah duduk disampingku habis berdansa.
“Hari jadi” (HUT) ini menjadi hiburan
orang Roti sebab pada hari-hari jadi orang dapat berkumpul bersama-sama,
bermain kartu, berdansa dan sebagainya. Jadi karena orang-orang merayakan
‘hari-jadinya’, Roti tidak begitu sepi meskipun tidak ada gedung bioskop.
Coba bayangkan sendiri betapa sepinya Roti
ini, kalau kebiasaan merayakan ‘hari-jadi’ disini tak ada.
“Sampai jam berapa orang-orang ini akan
pulang ?”
“Ada juga sampai pagi baru pulang. Dulu jaman penjajah Belanda, ketika orang masih baru mengenal
dansa dan masih sangat keranjingan dansa, pesta-pesta ‘hari-jadi’ (Ulang Tahun)
selalu sampai pagi. Tamu-tamunya jarang yang suka main kartu seperti sekarang ini.
Semua tamu pada waktu itu berdansa terus dari
soreh sampai pagi tidak kenal lelah.
Tetapi sekarang, orang sudah agak bosan
kepada dansa, sehingga banyak yang
menyelinginya dengan bermain kartu seperti
sekarang ini.
“Dulu, ketika orang masih sangat keranjingan dansa itu, tiap-tiap
saat ada saja orang yang mengadakan pesta hari-jadi, meskipun hari itu bukan
hari kelahiran salah seorang anggota keluarganya.”
“Kalau pesta hari-jadi
dimaksudkan untuk memperingati hari ulang tahun, lalu pesta yang diadakan tidak
pada hari ulang tahun salah seorang anggota keluarganya, itu dinamakan pesta
apa ?”
“Mereka namakan pesta hari-jadi juga.
Dikatakan kepada tamu-tamu bahwa hari itu dia
merayakan “hari-jadi kucing” kesayangannya, atau “anjing” kesayangannya,
“itiknya”, ayamnya “Lalu apa maksudnya
mengadakan pesta semacam itu ?”“Seperti telah saya katakan tadi, maksud mereka
mengadakan pesta hari-jadi kucing dan sebagainya itu hanya untuk alasan supaya
mereka dapat memperoleh kesempatan untuk berdansa saja. Tetapi hal yang
demikian tidak terjadi lagi sekarang. Orang-orang sudah tidak ada lagi yang
merayakan hari jadi kucingnya lagi dan sebagainya, sebab orang-orang sudah
tidak keranjingan lagi akan dansa.”
“ O, ya kalau demikian aku mengerti.
Arti Piring Putih & Piring Kembang di Pesta
Tetapi sekarang ada hal lain yang masih menjadikan pertanyaan besar bagiku.
Mengapa piring saya
tadi ketika makan, putih,
berlainan dengan piring orang-orang yang duduk disekitarku.
Mereka semuanya berpiring
kembang. Orang yang tadi
duduk disudut sana itu piringnya juga putih.
Nona-nona yang membawa lauk pauk yang melayani bu Win tadi juga
tidak melayani aku.
Yang melayani aku ialah nona yang melayani orang disudut tadi dan
nona itulah yang melayani orang-orang yang berpiring putih yang lain.
Apakah nona-nona itu membedea-bedakan
tamu ?
Apakah
aku dianggap orang asing yang harus dipencilkan/dilainkan ?”
“Nanti dulu, “bu” (broer=kakak) ! Pertanyaan
“bu” itu terlalu banyak. Baiklah saya jawab satu persatu.
Nona-nona itu sebetulnya tidak memilih atau
membeda-bedakan tamu-tamu. Segala tamu-tamu akan dilayaninya. Tetapi tamu-tamu
disini terdiri dari orang-orang Kristen, Islam, dan lain-lainnya.
Tamu-tamu yang terdiri dari berbagai-bagai
golongan ini biasanya dipisahkan menjadi dua golongan, yakni golongan Islam dan
golongan bukan Islam.
Pemisahan ini mereka maksudkan untuk memudahkan melayaninya saja.
Golongan bukan Islam itu terdiri dari orang-orang Kristen, Buda, Tionghoa dan
sebagainya. Piring berbunga untuk tamu-tamu Non Islam.
Yang piring putih tadi ialah untuk orang-orang yang beragama
Islam.
Piring putih itu hanya untuk membeda-bedakan makanan saja.
Orang Islam-kan tidak makan daging babi.
Nah, orang yang akan mengadakan pesta ‘hari-jadi’ biasanya disini
menyembelih ‘babi’.
Tetapi dia minta tolong kepada salah seorang Islam juga untuk
menyembelih ayam dan kambing, untuk menjamu tamu-tamu Islam yang akan datang
kepesta ini. Untuk menyembelihnya dia
minta tolong orang Islam.
Orang Islam tidak suka makan daging yang berasal dari binatang
yang tidak disembelih secara Islam.
Tamu-tamu yang beragama Islam diberi piring
putih. Setelah itu nona-nona mengedarkan nasi. Masakan yang diedarkan itu ada
dua macam.
Nona-nona yang membawa masakan Islam ini
tentu saja hanya melayani orang-orang
yang memegang piring putih saja seperti “bu” juga.”
Tetapi mengapa saya diberi piring putih ? Apakah dia sudah tahu
bahwa saya ini orang Islam ?”
“Orang Roti biasa mencap orang-orang Jawa
yang baru datang, Islam. Setelah mereka tahu bahwa orang Jawa, yang baru datang
itu juga pergi ke-gereja, baru mereka tahu bahwa orang Jawa yang baru datang
itu orang Kristen.
Baru kalau ada pesta lagi, orang Jawa itu diberi piring yang
berbunga.
Bukankah kebanyakan orang Jawa itu Islam ? “Bu” disini orang baru.
Andaikata “bu” = (broer = kakak) orang Kristen, belum ada juga orang yang
mengetahuinya, sebab belum pernah melihat “bu” pergi ke-gereja. Kalau “bu”
Kristen memakan masakan Islam tadi akan tidak apa-apa.
Tetapi kalau “bu” Islam dan diberi
piring berbunga tentu dijamu masakan
babi.
Setelah
tahu, mungkin “bu” akan marah-marah kepada tuan rumah, bukan ?”
“Kalau demikian orang-orang Roti disini mempunyai cara yang baik
sekali dalam menjamu/melayani tamu yang berlainan agama dengan warna-warna
piring sebagai tandanya.
Dansa
Masih ditengah-tengah percakapan ini, datang kepada kami dua
pasang pemuda-pemudi.
Pemudanya meminta kepada kami supaya kami
suka berdansa
dengan nona-nona yang digandengnya itu.
Inilah cara mereka menghormati tamu. Mereka tahu bahwa aku belum
kenal dengan nona-nona disitu, sehingga mereka menyangka aku belum berani mencari
pasangan untuk berdansa.
Untuk menghargai penghormatan orang ini, kupenuhi juga
permintaannya. Untung aku dapat berdansa.
Terdengar lonceng ditangsi Polisi berbunyi tiga kali yang berarti
sudah jam 3.00 pagi. Pada zaman Belanda hingga kini disetiap tangsi Polisi
memukul lonceng sebagai tanda jam. Jika jam 12.00, maka lonceng dipukul 12
kali. Ini dilakukan setiap jam. Karena telah larut malam, kami minta diri
kepada tuan dan nyonya rumah, untuk pulang.
Sampai aku membalikkan bantalku, masih
kudengar irama
samba, gitar dan banyo dari tempat pesta “hari jadi’ itu.
Menghadiri Pesta
Adat Di-Istana Termanu-Rote Tengah
Tidak lama kemudian telah terdengar suara riuh sekali.
Suara teriakan-teriakan orang bercampur, lagi dengan suara
gong-gong yang dipalu dan bercampur lagi dengan suara alat-alat musik.
Orang Rote kalau kegirangan selalu berteriak.
Tetapi teriak girang ini berlainan dengan
teriak kesakitan.
Dan teriak yang kami dengar sekarang ini
ialah teriak kegirangan. Suara itu datang dari Istana raja Termanu. Kami dari Kota Ba’a dan kini telah sampai di Feapopi, ialah ibu kota kerajaan
Termanu itu.
Pich Up kami berhenti dihalaman Istana.
Halaman itu penuh sesak dengan orang.
Mereka adalah rakyat kerajaan Termanu.
Orang-orang itu berdiri atau duduk-duduk pada dinding tembok halaman yang
rendah dan sebagian lagi berjongkok saja ditanah.
Mereka semua berpakaian seragam. Hampir semua
dari mereka memakai topi yang bercorak Rote yang mereka namai : Ti’ilangga.
Topi Ti’ilangga ini banyak sekali tugasnya. Tugas yang terpenting ialah seperti
topi biasa, yakni untuk melindungi kepala dari panas matahari pada waktu siang
hari. Tuganya yang lain ialah menyebabkan pakaiannya menjadi berpakaian
lengkap---- karena tanpa Ti’ilangga berarti kurang lengkap------ dan juga menyebabkan
adanya keseragaman diantara mereka.
Orang Rote memakai topi yang namanya ti’ilangga ini, dimana saja,
tidak saja diluar akan tetapi juga didalam rumah baik siang maupun malam, jika
menghadiri sesuatu pesta adat.
Pengaruh Portugis
Kecuali ti’ilangga ini mereka juga memakai
baju yang dari potongannya dapat kami lihat bahwa masih ada pengaruh Portugis.
Selain potongan baju, pengaruh kebudayaan
Portugis ini dapat kami temui didalam bahasa orang Rote sekarang.
Orang Rote sekarang disamping kata “kursi” mengenal juga kata “kadera”.
Terang sekali bahwa “kadera” ini berasal dari
bahasa Portugis yang berarti “kursi”.
Sekarang orang biasa menyebut istri guru dan pendeta dengan
perkataan “nyora”.
“Nyora” ini juga berasal dari bahasa Portugis
juga yang artinya “nyonya”. Mereka hanya memanggil “nyora” pada istri guru atau pendeta
saja, karena pada waktu itu jabatan guru dan pendeta merupakan suatu jabatan
terhormat dimata masyarakat.
Perkataan “nyora” ini sampai sekarang ini masih dapat kita dengar di Rote
didalam pergaulan sehari-hari.
Sebagai peninggalan dari zaman lampau, dapat
kita jumpai meriam-meriam dan senapan-senapan yang menjadi milik orang Roti.
Meriam itu bentuknya persis meriam-meriam yang dapat
kita lihat di musium
di Jakarta.
Di Roti meriam-meriam itu karena tidak
digunakan lagi, dijadikan perhiasan dihalaman rumah atau kantor pemerintah.
Senapan yang sangat sederhana bentuknya, sampai sekarang masih banyak terdapat
di pulau Roti.
Banyak sekali orang yang memiliki senapan tua
dan orang menyebutnya “senapan tumbuk”. Mereka harus
menumbuk bahan peledaknya terbih dahulu. Setelah bahan peledak itu ditumbuk
padat-padat, kemudian diberi peluru timah atau besi. Kemudian tali api pada
lubang pada pangkal senapan tumbuk dibakar.
Terjadilah letusan dan pelurunya terbang
menuju sasarannya.
Sampai sekarang orang
-orang Roti
kecuali bersenjatakan parang, membawa juga sanapan-sanapan tumbuk itu
kemana-mana saja mereka pergi.
Pakaian Adat
Kecuali topi ti’ilangga dan baju, mereka memakai selimut Rote,
yang mereka tenun sendiri. Warnanya merah dan hitam berbunga putih. Selimut itu
mereka pakai sebagai kain.
Laki-laki dan wanita memakai kain selimut Rote ini. Pada bahu
mereka terdapat selendang Rote. Selendang Rote ini semacam selimut Rote juga,
hanya tidak begitu lebar. Pada pinggang mereka
terselip parang. Ada juga membawa senapan tumbuk.. Hampir semua
berpakaian begitu.
Pakaian mereka seragam dan tentu saja sangat baik dipandang.
Mereka duduk-duduk dihalaman atau didalam istana.
Alat Kesenian - Tari & Dansa.
Ditengah-tengah halaman ini terdapat sebatang bambu yang ditunjang
oleh tiang kuda-kuda (=bersilang). Pada bambu itu tergantung sembilan buah gong dengan
nada yang berlainan.
Dibelakangnya, duduk tiga orang pemukulnya.
Disamping gong itu terdapat tambur seorang pemukulnya. Gong Rote
kecil-kecil, di Jawa disebut “bende”; sembilan buah bende ini tidak ada yang
sama bunyi nadanya. Gong-gong itu tidak dibuat dari kuningan, tetapi dibuat
dari drum-drum yang tidak terpakai lagi.
Drum itu dipotong-potong kemudian ditempa diberi bentuk gong..
Tambur Rote itu sebetulnya gendang. Tetapi berlaianan juga dengan
gendang biasa.Gendang ini berselaput kulit sapi/kerbau sebelah
saja (dibagian atas besar), sedang bagian yang lain (ujung bawahnya makin mengecil)
berlubang kecil dan tidak berselaput. Gendang yang dinamai tambur ini didirikan
dengan bagiannya yang berselaput diatas. Tambur ini bentuknya persisi seperti
gendang kepunyaaan orang-orang Afrika yang dapat kita lihat pada film-film.
Bentuk bitala
di Rote tidak beda dengan bentuk bitala dimana-mana diluar Rote.
Gong-gong itu dipukul dengan kayu jarak putih. Kayu ini tidak
begitu keras sehingga tidak menyebabkan rusaknya gong. Ditengah-tengah
permainan biasanya kayu itu telah patah/pecah dan orang akan memotong lagi
untuk gantinya. Jadi kayu-kayu pemukul gong di Rote tidak pernah disimpan.
Kayu-kayu itu sekali dipakai, dibuang. Tamburnya dipukul dengan kayu keras.
Rombongan kami sudah masuk dan semua sudah duduk didalam istana.
Gong
dan tambur serta bitala dihalaman sedang dipukul orang.
Teriakan-teriakan girang selalu terdengar. Tambur dipukul orang
dengan irama yang sangat cepat.
Orang dihalaman duduk melingkar. Ditengah-tengah lingkaran itu
kosong. Ditepinya terdapat tempat gong, tambur, bitala serta pemukulnya.
Kemudian salah seorang yang duduk itu masuk kedalam lingkaran itu.
Dia berpakaian adat Rote lengkap (selimut Rote, baju putih
berlengan setengah panjang, bersaku besar dikiri dada, berselendang Rote pada
bahunya, parang yang terselipkan pada pinggangnya, dan bertopi ti’ilangga).
Kemudian dia memberi hormat kepada para
penonton pada semua arah lingkaran dengan membuka Ti’ilangga sebentar/sesaat
dan menganggukkan kepala kepada semua orang yang ada disitu.
Setelah itu ti’ilangganya dipakai lagi dan
dia kini menarikan tarian yang disebut : “foti”.
Pada foti, orang hanya
memainkan kaki saja, yang diinjakkan berganti-ganti kiri dan kanan terkadang
sambil melompat dengan cepat sekali. Makin cepat makin baik.
Seperti militer yang diberi aba-aba/perintah
: “Lari ditempat dengan cepat sekali !” Demikian irama tariannya.
Inilah semacam tari yang disebut “foti.” Tentu saja ti’ilangga
yang dipakai oleh orang yang sedang menari foti itu, harus dipegang erat-erat
supaya tidak jatuh.
Tetapi foti ini hanya dilakukan oleh orang
laki-laki saja.
Penonton-penontonnya berteriak kegirangan.
Penarinya sendiri juga turut berteriak.
Berteriak karena kegirangan dan berteriak karena bangga.
Sedang ia menari itu, maka masuk seorang lain
lagi ketengah lingkaran itu. Setelah memberi hormat, dia ber-“foti”. Kini dua
orang berfoti bersama-sama.
Kemudian masuk lagi orang lain kedalam
lingkaran itu, berfoti. Foti ini ialah tarian yang mengikuti irama tambur yang
dipukul sangat cepat itu, sehingga penari-penarinya lekas sekali lelah.
Belum sampai lima menit, penari meninggalkan
lingkaran itu.
Kemudian masuk lagi orang lain kedalam
lingkaran itu. Begitu terus berganti-gantian. Suara tambur, gong dan bitala
dicampur dengan suara teriakan merupakan suatu paduan suara, yang baru sekali
ini kudengar.
Teriakan-teriakan membakar semangat layaknya akan maju kemedan
pertempuran perang. Foti ini memang tarian “perang” atau tarian kemenangan
sesudah perang melawan musuh.
Pada zaman dahulu sedikit saja persoalan perbatasan dengan
kerajaan tetangga, masalah hewan, air untuk persawahan, sering memicu perang
antar kerajaan. Setelah kembali dari peperangan itu, maka para pahlawan itu
disambut dengan tarian kemenangan yang disebut “Foti” itu.
Didalam istana juga terdengar suara alat-alat bunyi-bunyian.
Tetapi bukan gong, tambur dan bitala,
melainkan gitar, banyo, dan biola. Didalam istana orang juga menari, tetapi
bukan tari “foti” melainkan “dansa”.
Dimana-mana di Rote orang suka berdansa asal ada gitar, atau alat
musik yang lain. Suara gitar, banyo, dan biola disatu fihak “bertempur” melawan
suara gong, tambur, bitala dipihak lain.
Pertempuran suara ini mengakibatkan kesan
yang menyebabkan kami tidak akan
melupakan Istana KerajaanTermanu.
Suasana benar-benar seperti suatu pertempuran
dimedan perang.
Suara gong, tambur, dan bitala, dihalaman
berhenti.
Orang-orang masih berteriak-teriak kegirangan.
Tetapi kali ini iramanya berlainan dengan
irama foti tadi.
Sekarang iramanya lambat-lambat, ialah irama
“ronggeng”. Orang-orang masih duduk merupakan lingkaran.
Tari ronggeng ini dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan
bersama-sama dan dapat dilakukan lebih lama dari pada foti yang lekas sekali
melelahkan itu.
Kini maju kedalam lingkaran dua orang wanita.
Mereka berpakaian adat ialah dengan
bersarung-kan tenunan Rote, berbaju
selimut Rote dan juga berselendang Rote pada bahunya.
Mereka memberi hormat kepada orang-orang
disitu, kemudian mereka mulai menari.
Minuman Sopi & satu cangkir untuk semua
Lalu datang seorang laki-laki ketengah lingkaran itu turut menari.
Kemudian beberapa orang bersama-sama masuk
kedalam lingkaran untuk menari.
Diantara tamu-tamu dihalaman itu ada yang
dipanggil oleh raja, kemudian diberi beberapa botol “sopi” (wisky Rote)
berakohol tinggi, untuk diedarkan kepada tamu-tamu dihalaman itu.
Sopi atau arak sangat disukai oleh orang Rote, dibuat dari
sulingan air nira lontar yang sudah
difermentasi (Rote = Laru-bahan baku
untuk penyulingan menjadi sopi/wisky).
Orang yang diberi sopi oleh raja, hanya membawa
sebuah cangkir dan sopi didalam botol itu saja.
Mula-mula orang itu menuju ketengah lingkaran
menemui penari-penari. Kepada salah seorang penari dia berbisik.
Setelah itu penari itu berhenti menari sejenak. Pembawa sopi itu
menuangkan sopi kedalam cangkir, kemudian diberikan kepada penari itu.. Setelah
ia minum sopi yang diberikan, ia menari lagi. Penari lain masih tetap menari.
Kemudian pembawa sopi, berbisik lagi kepada
penari yang lain yang sedang menari dan memberikannya sopi dengan cangkir bekas
termannya tadi.
Dari seorang penari ganti kepada penari yang
lain pembawa sopi itu, terus saja memberikan sopinya dengan cangkir yang
itu-itu juga, tidak diganti dan tanpa dicuci lebih dahulu.
Penari-penari dapat dan diperbolehkan minum
ditengah permainan.
Malah penari-penari ini yang mesti
didahulukan diberi minuman.
Setelah segala penari-penari ini minum sopi
semuanya, maka pembawa sopi itu, kini mengedarkan sopinya diantara tamu
dihalaman itu dengan cangkir yang tadi juga.
Dengan sebuah cangkir saja, orang Rote
menunjukkan persatuannya.
Kecuali suara alat-alat bunyi, terdengar juga suara nyanyian
orang.
Nyanyian ini dinyanyikan oleh seorang laki-laki dengan suara
kepala, sehingga suaranya tinggi seperti suara wanita. Nyanyian ini juga
membawakan irama bagi penari-penari
ronggeng itu.
Di Jawa
penyanyi yang demikian itu disebut :”pesinden”.
Sopi diedarkan terus. Botol-botol menjadi kosong minuman.
Orang-orang yang tadi sudah minum, kini mendapat giliran minum lagi, karena
orang yang mengedarkan sopi itu banyak dan dimana-mana.
Sebentar lagi disana-sini sudah banyak yang
mabuk.
Penari-penari mabuk, pemukul-pemukul gong mabuk dan tamu-tamu pun
mabuk. Dengan banyaknya orang yang mabuk itu, halaman makin ramai.
Teriakan-teriakan makin keras dan lama-kelamaan hampir-hampir
tidak dapat dibedakan lagi antara teriakan girang dengan teriakan orang mabuk.
Didalam Istana Raja Termanu, banyak juga rakyat yang duduk
dikursi. Mereka tidak menghiraukan orang yang mabuk itu.
Permaiana Cincin
Mereka sedang bermain; “mencari cincin/
menebak cincin.
Mula-mula cincin itu dimasukkan kedalam seutas
tali.
Kemudian kedua ujung tali diikat, dihubungkan menjadi satu. Lalu
tali yang sudah merupakan lingkaran itu dipegang oleh beberapa orang
bersama-sama yang duduk melingkar.
Seorang duduk ditengah lingkaran itu sebagai
penebak cincin. Sambil menyanyi, mereka yang memegang tali itu
menggerak-gerakkan tangan seperti gerak orang yang sedang
memberikan/mengedarkan cincin yang ada pada tali itu, kepada orang yang duduk
disebelahnya dan terus saja diedarkan dari tangan seorang, ketangan orang
berikutnya begitu macam, sehingga cincin itu tidak dapat dilihat atau diketahui
oleh orang yang duduk ditengah-tengah lingkaran itu.
Setelah nyanyian selesai, orang yang duduk
ditengah lingkaran itu harus menebak, cincin itu pada tangan siapa.
Kalau tebakannya tidak tepat maka dia
dihukum.
Hukuman ini biasanya berupa perintah menyanyi
atau menari.
Sebentar-sebentar hidangan datang. Kalau rokok yang diisap sudah
pendek, maka akan disorongkan kepada perokok, beserta koreknya. Kalau gelas
minuman kami tinggal separoh isinya, maka datang kepada kami pemuda atau
nona-nona menanyakan apakah anda ingin supaya minuman itu ditambah.
Adat di Roti, memanggil gadis biasanya dengan sebutan “nona” kalau
seperti di Jawa “mbak”, di Bali “Mbok”.
Kalau kami masih ingin minum labih banyak lagi, tidak malu-malu kami katakan itu.
Begitu juga tamu-tamu lain tidak pernah merasa malu-malu sebab
mereka sudah merasa dirumah sendiri.
Hidangan Makan & Perbedaan Piring
Warna piring-piring kosong untuk
tempat makan para tamu..
Disini pun tamu-tamu dibeda-bedakan menjadi
dua golongan yakni tamu Islam dan
tamu bukan
Islam. Bagi orang yang beragama Islam diberi piring berwarna putih
sedang yang Non
Islam piring berkembang atau ada gambar-gambarnya. Di pesta tersebut
juga terdapat 2 lokasi tempat
makanan-makanan terpisah, yaitu di satu sisi
khusus untuk yang beragama islam, sedang pada sisi lain tempat makanan
untuk umum/non Islam. Pemberian warna piring berbeda untuk memudahkan pelayanan
makanan, sehingga jangan sampai terjadi lauk pauknya yang untuk umum akan
diberikan juga kepada warga muslim.
Staf musik juga berhenti dan turut makan. Begitu juga orang-orang
yang sedang berdansa, berhenti semuanya. Tetapi orang dihalaman masih tetap
memukul gong dan tambur, masih tetap berteriak dan masih tetap menari.
Pencak Silat
Kini iramanya berubah dari irama ronggeng
menjadi irama langkah, yaitu pencak silat.
Setelah alat-alat musik dipukul orang
sementara lamanya, maka maju ketengah lingkaran seorang laki-laki yang akan
bermain langkah/pencak silat.
Disini dia menunjukkan langkah bunga-bunga
seni permainannya, kemudian dia keluar dari lingkaran itu.
Maju kemuka seorang lain yang nanti didalam
permaian langkah/silat akan menjadi lawan orang yang pertama tadi. Orang yang
baru maju inipun dengan irama tambur mempertunjukkan langkah bunga-bunga seni
permainannya pencak silatnya.
Setelah orang yang kedua ini selesai mempertunjukkan bunga-bunga
seni permainannya, maka orang yang pertama tadi maju lagi ketengah lingkaran.
Sekarang permainan langkah/silat dimulai.
Tetapi permainan langkah di Rote ini sangat halus sehingga mirip
dengan tari perang pada wayang orang
(Jawa) yang dilakukan oleh Arjuna.
Petik Sasando
Diantara suara tambur dan gong didalam permaianan langkah ini,
terdengar juga ada suara alat bunyi-bunyian lain yang datang dari jurusan lain
pula.
Bu (Broer) Winvried, kecuali suara tambur,
gong dan bitala terdengar juga suara alat bunyi-bunyian yang suaranya mirip
sekali dengan suara kecapi.
Itu suara alat bunyi-bunyian apa ?”
“O, itu suara “Sasando”.
Memang ‘sasando’ itu sangat mirip dengan
kecapi, bentuknya maupun suaranya. ‘Sasando’ itu berupa sebuah kayu bulat
panjang. Dari ujung keujung dipasang orang, tali-tali kawat yang menjadi senar.
Kedua ujung kayu itu dimasukkan kedalam kotak
suara yang dibuat dari daun lontar.
Sasando itu
mempunyai 14 senar rangkap dan 12 senar tunggal.
Senar rangkap ini halus untuk membuat nada-nada
tinggi sedang senar tunggal besar-besar untuk nada-nada rendah.
Diantara ujung dan pangkal tiap-tiap senar terdapat kayu kecil
yang dapat dimaju-mundurkan untuk mencari nada yang sesuai (menyetem nada).
Nada yang dikeluarkan oleh ‘sasando’ ini sangat merdu dan dengan
irama ‘sasando’ orang dapat juga menari ronggeng.
Tetapi ‘sasando’ tidak sanggup menghasilkan
irama untuk tarian “foti”, tari yang sangat cepat dan lincah itu.”
Kami telah selesai makan. Kemudian kami
menuju ketempat orang memetik ‘sasando’.
Disitu hanya orang laki-laki dan wanita, diantaranya yang menari
ronggeng. Jadi Istana Raja Termanu
pada waktu itu seperti pasar malam yang ramai sekali.
Dihalaman terdapat permainan “foti”, permaianan langkah/silat,
didalam terdapat orang-orang berdansa, bermain kartu, bermain mencari cincin,
yang dibelakang istana terdapat orang-orang bermain sasando serta menari
ronggeng.
Makan cara Lesehen
Dibelakang istana terbentang tikar yang sangat luas tempat
orang-orang makan dan minum. (Dalam istilah Jawa-nya disebut duduk “Lesehan”-duduk dilantai).
Mulai dari jam l9.00 petang tikar itu sudah
diduduki orang berganti-ganti.
Tikar itu diduduki oleh orang sekampung.
Seorang kepala kampung mengumpulkan rakyat
sekampungnya dan menyuruh rakyat itu duduk. Orang sekampung itu kemudian makan
bersama-sama.
Setelah selesai makan, maka diganti dari
kampung lain.
Tentu saja yang melayani sangat sibuk sebab
dari semua kampung diseluruh kerajaan Termanu itu datang orang-orang yang akan
merayakan “hari-jadi” rajanya/ Hari Ulang Tahun itu.
Gong-gong, tambur, serta bitala dihalaman selalu berbunyi sebab
pemukulnya berganti-ganti. Kalau
pemukul-pemukul pertama sedang makan, maka datang orang lain yang telah
makan menggantikannya.
Semoga Adat-istiadat dan seni-budaya orang Roti ini tetap
dilestarikan sebagai salah satu khasanah budaya Nusantara Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.