alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Selasa, 06 Januari 2015

PENGALAMAN--ANAK--JAWA-MELIHAT-PULAU--ROTE-(ROTI)

ANAK  JAWA  MELIHAT  ROTI
(Gianto, 27 Desember l955)
Oleh:Drs.SimonArnoldJulianJacob

Pengantar

Pada tahun-tahun 1950-an, banyak guru-guru asal Pulau Jawa dan Bali, yang ditugaskan mengajar  di SMP, SMA, dan SMEA Negeri  di Kupang, NTT dan sebagian lagi dikirim ke Pulau Rote (Roti) menjadi guru SMP Negeri di Ba’a Ibu Kota Pulau Rote.  Pada bagian ini akan diceiterakan beberapa pengalaman guru Gianto ini  mulai dari berangkat dari Surabaya hingga Kota Ba’a serta  pengalamannya lainnya selama mengajar di SMP Negeri Ba’a, dalam bukunya berjudul : “Pulau Roti Pagar Selatan Indonesia (1958)

Dari berbagai cerita pengalamannya yang ditulis dalam Buku tersebut kita memperoleh banyak informasi penting tentang Pulau Rote, masyarakatnya, adat istiadatnya, dan kehidupannya yang diceritakan sebagai berikut :

Pelayaran Dari Surabaya Menuju Kota Ba’a, Di Pulau Roti, NTT

Awan yang tadinya cerah, kini telah berobah. Mega hitam yang ganas datang berarak-arak memisahkan aku dengan langit luas yang penuh dengan bintang-bintang diatasku. Kini tak seberkas sinar bintang pun yang datang sampai kekamarku. Udara gelap. Angin sejuk menusuk-nusuk kulit dibalik baju. Sebentar kemudian terdengar suara rintik-rintak air dingin jatuh diatap dan digeladak kapal. Ombak mengamuk dan menambah  besar dirinya. Kapal “Waingapu” yang kutumpangi dari Surabaya menuju pulau Roti, oleng. Dari kelas satu kulihat beberapa lampu kecil-kecil kelip-kelip di geladak menyinari muka orang-orang yang telah tidur.
Tempias air hujan sering-sering datang membasahi mereka. Tetapi bagi orang lain berkulit tebal tak terasa. Yang tak tahan dingin, banyak yang bangun mengalih letak tidurnya. Dihaluan dan diburitan menyala lampu kapal yang terang sekali cahayanya yang akan menghindarkan bahaya-bahaya tubrukan ke batu karang. Sayup-sayup kudengar alunan suara yang datangnya dari arah buritan. Lagu sedih yang dinyanyikan tepat pada waktunya. Waktu itu sedang dalam suasana Hari Natal.
Aku makin tak dapat tidur. Pikiranku melayang-layang membayang-bayangkan nasibku di pulau Roti nanti. Pulau yang belum pernah kuinjak dan sepintas lalu saja kukenal dari atlas, sebab ketika aku masih duduk dibangku sekolah, aku sangat benci kepada Ilmu Bumi itu.
Puput kapal berbunyi se-akan-akan memprotes, ingin supaya hujan dan badai berhenti. Sekali lagi berbunyi dan sekali lagi. Tetapi hujan dan angin makin menjadi-jadi. Kapal makin terombang-ambing. Kepalaku terasa berat. Perutku mual.
Inilah gejala permulaan mabok laut.. Perasaan tubuh yang tak enak ini kulenyapkan dengan sebutir pil suprimal, pil anti mabok. Aku makin sukar dapat tidur. Dengan terhuyung-huyung kubangunkan Rifai dan Soeroso, temanku sekamar dikapal, akan kuajak duduk-duduk dikamar duduk.
Kami keluar menuju kamar duduk dan beromong-omong disitu. Hari sudah pukul 02.43 lepas tengah malam. Angin makin dingin. Meskipun kami semua berjeket, namun sumsum tulangku masih menggigil. Kamar duduk itu gelap sekali. Hanya ada beberapa gelintir lilin yang ditinggalkan di pohon-terang/pohon Natal yang dipasang oleh nyonya kapten disudut kamar duduk itu tadi soreh. Sinarnya kelip-kelip membuat mata kami bersinar-sinar seperti mata kucing.

Hari itu tanggal 26 Desember l955. Tadi pagi kapal kami “Waingapu” meninggalkan Ende-Flores, setelah lima hari lima malam ditengah laut sejak berangkat dari Surabaya.
Kini kami ditengah laut diantara Flores dan Savu/Sabu. Setelah jemu berceritera, kami masuk kekamar tidur lagi. Jam berapa kami tidur, aku tak tahu. Pagi-pagi kira-kira jam 8.00 kapal kami berlabuh di pantai pulau Savu/Sabu. Pulau kecil dengan kota yang kecil pula, Seba.
Setelah selesai orang menaikkan dan menurunkan muatan, kapal kami berangkat lagi menuju pulau Roti, pulau tujuanku. Hatiku mulai berdebar-debar.
Selalu ingin lekas-lekas tahu bagaimana keadaan pulau Roti itu.
Pada jam 2 soreh mulai tampak dari kapal kami sebuah pulau. Itulah pulau Roti.
Pulau itu datar sebab tak ada gunung-gunungnya yang berarti. Segala tanahnya yang tinggi belum dapat kusebut gunung, melainkan bukit-bukit saja. Bukit-bukit itu dari jauh tampak hijau karena rumput dan pohon-pohon. Sumba pulau putih karena batu-batu karangnya. Kini kami berlayar menyusur pantai  Roti. Hampir jam 4.00 soreh pelabuhan Ba’a (ibu kota Pulau Roti), sudah tampak jelas. Orang-orang banyak sekali berdiri berjejer-jejer ditepi pantai, menanti kapal datang. Mereka tampak kecil-kecil dan sibuk mengangkat-angkat barang.. Kecepatan kapal kami mulai berkurang.

Sambutan yang hangat setiba di Ba’a Pulau Roti

Sebentar kemudian kapal membuang jangkar ditengah laut. Kapal itu tak dapat berlabuh dekat pantai, karena airnya dangkal. Berpuluh-puluh sampan berlomba-lomba dari tepi pantai menuju kapal kami, seperti layaknya adik-adik kami yang berlomba-lomba mendapatkan ibunya yang baru pulang dari pasar.
Sampan-sampan itu membawa penumpang dari darat  yang akan naik kapal kejurusan Kupang di Pulau Timor.  Anak-anak itu naik kekapal berteriak-teriak menawarkan jasanya untuk mengangkat kopor-kopor/tas-tas kedarat.
Pada waktu itu dikapal ribut seperti dipasar malam. Orang-orang Roti naik membawa barang-barang kerajinan dan ayam serta burung-burung untuk dijual dikapal.
Segala corak manusia bercampur. Segala rupa pakaian, segala macam gerak-gerik  dan segala macam logat bahasa, campur baur dikapal itu.
Bahasa tak menjadi soal.
Pokoknya kalu penjual tahu berapa rupiah, sipembeli menawar dagangannya atau kalau kami tahu berapa rupiah ongkos tambang dengan sampan kepantai, jadilah. Kini kapal seperti pasar ayam saja.
Ributnya ditambah dengan kokokan dan kotekan ayam-ayam itu serta ocehan burung dan suara penjualnya yang memekakkan telinga bagi barang siapa yang mendengarnya.
Dari kelas satu aku turun kedek kapal dan turun terus kesampan..
Sampan bergerak menuju pantai. Ketika hampir sampai ditepi laut kulihat muka orang-orang yang berdiri didarat itu, asing semua.
Asing dalam caranya bekerja, asing dalam caranya berteriak, asing dalam gerak-gerik dan berpakaiannya.
Setelah sampai didarat kulihat sementara orang-orang yang berpakaian rapi. Dibelakang mereka berdiri beberapa orang anak yang sudah besar.
Aku menuju mereka dan bertanya kepada salah seorang diantaranya:

“Bolehkah saya bertanya, saudara?”
“O. ya, ada apa ?” katanya.
“Apakah saudara kenal Bapak Kepala S.M.P Negeri disini ?”
“Kepala S.M.P. Negeri disini ialah saya sendiri.”
“O, maaf, kataku “mengenalkan, saya ialah seorang guru baru yang ditugaskan mengajar di SMP Negeri disini.”
“Kalau begitu, saudaralah orang yang kami menantikan.”

Kemudian bapak kepala S.M.P. memperkenalkan aku dengan guru-guru lain yang berdiri disitu dan juga kepada murid-murid. Pada air muka/wajah guru-guru dan murid-murid dapat kubaca bahwa mereka ramah-ramah.
Koporku yang berat menjadi rebutan murid-murid yang ramah-ramah itu.
Mereka ingin berjasa kepadaku dengan membawanya ke-pesenggrahan, tempat aku tidur nanti.
Sesampainya di pesenggrahan banyak sekali tamuku. Tamu-tamu yang belum pernah kukenal sebelumnya. Mereka ramah-ramah semuanya. Kebanyakan dari mereka minta kepadaku supaya aku menceriterakan keadaan di Jawa. Kemudian oleh mereka diadakan jamuan makan sekedarnya. Sebelumnya hatiku sangat terharu melihat penyambutan mereka itu.
Aku sangat berterima kasih kepada mereka dan bersyukur kepada Tuhan yang telah menempatkan aku di pulau yang penduduknya ramah-ramah itu.
Baru beberapa jam saja, aku berkenalan dengan mereka, namun sudah tumbuh suatu pertalian bathin yang kuat kokoh.
Setelah makan, kami berceritera-ceritera lagi. Aku masih merasa terharu mendapat penghormatan semacam itu. Panggilan “pak oleh tamu-tamu dan murid-murid yang ada disitu masih kurasa janggal.

Orang Roti peramah semuanya

Setelah senja mereka pulang kerumah mereka masing-masing. Mataku belum mengantuk sebab tadi siang aku tidur agak lama dikapal. Percakapan kami teruskan dengan penghuni-penghuni pesanggrahan yang lain di halaman. Tak lama kami diluar, langit mulai gelap dan hujan turun dengan tiba-tiba.
Dulu ketika aku masih di Jawa, kusangka Roti itu kering tandus tak kenal hujan, kiranya kini baru saja aku datang sudah disambut oleh hujan.
Aku masuk kekamar. Diluar rumah kudengar injakan-injakan kaki orang-orang yang lari karena takut basah oleh hujan. Mereka mencari perlindungan.
Mereka adalah penari-penari lapangan, penari Kebalai.
Tetapi tadi belum jelas kulihat cara mereka menarikan tari adatnya itu. Tentu saja lain kali akan kulihat dengan baik-baik.
Hujan makin deras seperti dicurahkan dari langit.
Tak kalah derasnya dengan hujan di Jawa.. Sebentar-sebentar terdengar derak dahan kayu yang patah karena ditimpa air hujan.
Guruh/guntur bergegar membuat tempat tidurku bergoyang.
Pulau, dimana kusangka orang sukar mencari setitik air, kiranya kaya dengan air. Beratus-ratus kubik turun dari langit.
Gonggongan anjing-anjing liar mengacau mencampuri deru air seolah-olah minta perbaikan nasib. Hujan berlangsung terus sampai jauh malam. kapan hujan itu berhenti aku tak tahu sebab sudah tertidur. Pagi-pagi benar aku sudah bangun menantikan matahari terbit.

Matahari terbit yang pertama kulihat dari pulau Roti.

 Halaman pesanggrahan penuh dengan lumpur yang terjadi dari tanah kikisan air hujan semalam. Sekolah masih libur.
Masyarakat pulau Roti ialah masyarakat Kristen.
Sebab itu hari-hari libur disana berlaianan dengan hari-hari libur di Jawa dan di Sumatera yang kebanyakan penduduknya beragama Islam.
Tiap-tiap tanggal 23 Desember sampai tanggal 6 Januari, sekolah-sekolah diseluruh pulau Roti, libur.
Pada waktu aku tiba pun sekolah masih ditutup. Itulah sebabnya sedikit saja murid-murid yang datang ke pelabuhan menjemput aku. Tetapi meskipun begitu sebetulnya aku sangat berterima kasih dengan adanya penjemputan yang tak kusangka-sangka itu.
Karena datangku pada tanggal 27 Desember 1957, jadi masih ada waktu sepuluh hari untuk meliha-lihat kota Ba’a dan sekitarnya sebelum aku mulai mengajar.

Pemandangan dan Pengalaman di Ba’a

Setelah tidur nyenyak sepanjang malam maka pagi harinya aku berjalan-jalan melihat-lihat Kota Ba’a diantar oleh bapak Direktur SMP, bapak H.A.Pedrico dan guru-guru yang lain. Mula-mula kami makan bersama-sama di pesanggrahan.
Pesenggrahan itu kepunyaan pemerintah. Dibuat untuk digunakan sebagai rumah penginapan bagi pegawai-pegawai yang turne  dari tempat lain ke Ba’a.
Tetapi kini kamarnya telah penuh diisi oleh penghuni-penghuni yang menetap ialah guru-guru  muda pengajar-pengajar SMP dan pengajar-pengajar SGB (Sekolah Guruh Bawah) yang kebanyakan dari Jawa dan Bali.
Ibu yang menyelenggarakan makan bagi para penghuni-penghuni pesanggrahan itu ialah seorang wanita Jawa. Suaminya telah meninggal pada waktu pendudukan Jepang..
Dari pesanggrahan kami berjalan ke-utara.

Kota Tanpa Nama Jalan & Pelayanan Kantor Pos

“Apa nama jalan ini, pak?” tanyaku kepada bapak direktur.
”Mas, di kota-kota di Jawa tentunya segala jalan ada namanya  bukan?
Malah ada yang kekurangan nama lalu diambilkan dari nama-nama sungai, gunung-gunung, atau wayang dan sebagainya.
Misalnya jalan Serayu, Musi, Barito, Merbabbu, Slamet, Semeru, Merapi, Arjuna, Gatotkaca.
Tetapi disini tidak ada sebuah jalan pun yang bernama. Yang ada hanyalah nama-nama  dari kampung-kampung saja.
Kemudian tanyaku lagi: “Kalau bagaimana, jika seseorang mendapat surat, padahal tidak ada nama jalannya.?”
“Itu mudah, mas, Pegawai Kantor Pos disini sudah kenal kepada semua penduduk kota Ba’a, lebih-lebih yang biasa menerima surat.

Maklumlah Ba’a kota kecil, jadi segala hidung dapat dilihat. Kebanyakan pedagang-pedagang atau orang-orang yang biasa menerima surat, kalau ada kapal dari jurusan Kupang datang kesini, mereka datang sendiri ke Kantor Pos untuk mengambil suarat-suratnya. Sebab kapal yang datang dari Kupang saja yang mengantarkan surat ke Ba’a. Segala surat-surat dari mana pun untuk pulau Roti harus dibawa ke Kupang dulu, kecuali dari pulau Sabu/Savu.
Penerima surat ini datang sendiri ke-Kantor Pos, bukan karena pegawai kantor Pos itu tidak mau mengantarkan, tidak, melainkan karena mereka itu sudah sangat rindu pada surat-surat yang datangnya kalau ada kapal saja. Pada kapal yang datang membawa surat sudah boleh dikatakan sering, dua kali dalam sebulan (1950).
Karena itu, maka pengantar surat dari Kantor Pos, tidak usah berjalan hilir-mudik mengantarkan surat-surat itu.  Ia cukup dengan memanggil  nama orang yang  mengambil surat saja . Toch yang menerima surat sudah berdiri diluar Kantor Pos menunggu panggilan.
Semua orang disini memang saling  kenal mengenal sebab Ba’a memang  benar-benar kota  kecil. Nama mas sendiri disini sudah dikenal banyak orang sejak beslit mas datang dikantor SMP kita. Jadi dengan perkataan lain  orang Ba’a sudah kenal “mas” sebelum mereka melihat “mas”.

Sekolah di Ba’a-Rote

Kemudian kami sampai kegedung SMP kami, SMP Negeri Ba’a.
Gedung sekolahnya sangat sederhana. Kata “gedung” disini tidak berarti rumah yang dibuat dari batu bata, beratap genteng, berjendela kaca dan lain-lain yang serba baik seperti yang biasa diartikan orang di Jawa.
Gedung SMP Negeri di Ba’a jauh lebih sederhana daripada gedung–SR (Sekolah Rakyat)  di- Pekalongan di Jawa.
Gedung SMP ini  baru saja didirikan dan baru pada tahun l953 diakui menjadi SMP Negeri. Gedung ini berdindingkan pelepah-pelepah daun gewang/gebang yang rupanya seperti pelepah daun kelapa, yang dijajarkan punggung dengan dada; kemudian ditusuk dengan bambu atau kayu.

Kepingan tusukan pelepah-pelepah (istilah Rote, pelepah = bebak) itu merupakan dinding yang kuat dan rapat, sehingga tak dapat diintip orang dari luar.
Tiang SMP kami ini ialah batang pohon gewang/gebang itu juga yang rupanya seperti batang kelapa atau seperti batang pohon pinang.
Atapnya terdiri dari daun-daun gewang juga yang disusun dan dijajarkan sehingga rapat sekali dan tidak bocor apabila hujan turun.
Di pulau Roti, jika dinding sebuah rumah semuanya terbuat dari pelepah-pelepah gewang, maka rumah tersebut diberi nama rumah bebak”.
Tiap kelas berpintu sebuah dan tidak berjendela sama sekali.
Hanya ada beberapa lubang saja didinding bagian atas untuk hawa bertukar.
Didalam kelas ada bangku, dan meja murid, sebuah meja dan sebuah kursi untuk guru dan dua buah papan tulis.
Alamari-almari tempat buku disimpan dimasing-masing kelas tidak terdapat, semuanya terdapat/tersimpan di kantor sekolah (di ruang Kepala Sekolah).

Didalam kelas tak ada sehelai gambar pun  yang tergantung , sebab dididing yang terbuat dari pelepah/bebek itu sukar dipaku.. Tapi tak ada gambar yang berhubungan dengan mata pelajaran. Sehabis murid-murid pulang, kelas-kelas itu tidak dikunci, kecuali ruang kantor saja, sebab didalam kelas itu tak ada barang-barang yang patut di khawatirkan akan hilang.
Karena segala bahan bangunan terdiri dari bahan pohon gewang, maka  bolehlah gedung SMP kami, disebut Gedung Gewang”. Hanya lantainya dari semen.
Untuk campuran semen orang Roti biasa menggunakan pasir laut bukan pasir sungai seperti di Jawa dan di pulau-pulau lain yang sungai-sungainya agak besar-besar. 
Memang penduduk pulau Roti  tak dapat mengharapkan adanya pasir sungai. Sungai-sungai yang dapat menghasilkan banyak pasir  di Roti tak ada. Sungai-sungai disana dasarnya berlumpur tidak ada pasirnya.  Kecuali gedung SMP, banyak sekali rumah-rumah penduduk yang terdiri dari pelepah-pelepah  gewang dan bahan-bahan lain yang sama  dengan gedung SMP (Sekolah Menengah Pertama) itu.

S.G.B (Sekolah Guru Bawah) lebih buruk lagi  nasibnya.
Dia tidak memiliki gedung sekolah sendiri. Jadi terpaksa meminjam-minjam dari SR (Sekolah Rakyat) kini disebut SD (Sekolah Dasar) dan dari SMP.
Tiga dari sepuluh ruangan SMP dipinjamkan kepada SGB.
Ketiga ruangan yang di pinjamkan ini paling buruk letaknya. Karena tadi malam hujan, maka air dikelas-kelas yang di pinjamkan kepada SGB itu sampai kelutut dan lumpur  masuk kekelas. Untung sekarang masih libur. Asrama SGB belum ada .
Guru-guru di SMP dan SGB sudah cukup. Kebanyakan dari mereka guru-guru muda dari Jawa dan Bali.
Hanya ada sebuah lagi sekolah lanjutan di Roti, ialah SMP Nasional, ini bertempat digedung SMP Negeri.
Jadi ketiga-tiga sekolah lanjutan di Roti  terdapat di kota Ba’a, kota yang terbesar di seluruh pulau Roti.
Kemudian bapak Direktur SMP dengan saya masuk kekantor kami, satu-satunya ruangan yang mempunyai kunci  disekolah kami.
Ruangan itu gelap seperti ruangan kelas-kelas lainnya yang tak berjendela itu, betul-betul tak memenuhi sarat-sarat kesehatan.
Didalam kantor ada beberapa buah almari, meja, kursi, rak-rak buku dan satu mesin tulis.

Buku-buku pelajaran di SMP Negeri kami lengkap. Hanya alat-alat peraga Ilmu Hayat dan Ilmu Alam tak ada sama sekali, sehingga sangat sukar bagi guru-guru mengajar. Ruang senam juga tidak ada.
Kalau hari hujan terpaksa murid-murid diberi pelajaran teori pada jam pendidikan jasmani, meskipun ini tak begitu dipentingkan seperti di SGB. 
Kalau musim penghujan dan tiap hari turun hujan, maka tiap hari juga pelajaran teori gerak badan diberikan.
Setelah melihat-lihat keadaan gedung SMP Negeri Ba’a itu, kami teruskan perjalanan kami mengelilingi kota Ba’a.
Dimuka gedung SMP, terbentang sebidang lapangan yang luas. Itulah alun-alun Ba’a tempat murid-murid, SR/SD, SMP, dan SGB, berolah raga bila hari tak hujan.
Dilapangan itu banyak sekali kuda berkeliaran. Kuda-kuda itu kepunyaan orang-orang yang rumahnya disekitar alun-alun itu, yang tak kenal kandang. Banyak sekali orang berjalan hilir-mudik disekitar alun-alun itu.

Penduduk Kota Ba’a

Banyak diantara orang-orang itu yang berasal dari desa-desa sekitar kota Ba’a, yang datang dari desanya berombongan enam tujuh orang akan menjual kopranya.
Kopra ialah hasil utama di Roti. Rombongan itu terdiri dari wanita-wanita dan laki-laki.  Yang memikul kopra itu wanita dan bukan laki-laki.
Laki-laki berjalan dengan tangan kosong atau istilah di Jawa, “jalan lenggang kangkung”, artinya tanpa membawa beban barang sesuatu apapun, dan  hanya membawa tonda (semacam tas dari kain atau dari anyaman daun lontar) tempat sirih-pinangnya) saja.
Dengan keringat bercucuran wanita-wanita itu memikul kopranya yang beratnya sampai  30 kg dari desa yang jauhnya sampai 20 kilometer atau lebih, karena tidak ada kendaraan umum.
Wanita-wanita itu kebanyakan berpakaian hitam. Kain itu mereka pakai seperti biasanya orang memakai kain sampai ke-dada kemudian diikatkan, ikat pinggang pada pinggangnya.
Kain yang diatas ikat pinggang sampai kedadanya itu dilepaskan kebawah sehingga ikat pinggang tertutup. Kemudian mereka gunakan kain lain atau baju untuk menutup tubuhnya bagian atas. Ada juga satu dua orang wanita waktu itu yang tidak berbaju dibagian atasnya.
Yang laki-laki berkain juga. Ada juga yang berkainkan selimut Roti (lafa), ialah pakaian adatnya.
Orang laki-laki itu berbaju putih atau bergaris-garis. Baju itu tidak berleher (ber-krah) sama seperti leher baju Jawa, dan hanya dapat dibuka sampai kedada saja. Bentuknya seperti baju kaos pemain sepak bola
Dibagian kiri bawah baju itu terdapat sebuah saku/kantong baju yang besar. Mereka  membawa selendang/selimut Roti yang disandang dibahunya.
Seperti selimut Roti, selendang Roti itu pun hasil kerja tangan mereka sendiri (tenunan sendiri). Selimut Roti itu tebal dan harganya ada yang sampai Rp.300,- (l955).

Jadi kalau kami melihat orang yang selalu berpakaian selimut saja, itu tandanya bahwa orang itu orang kaya. Semua orang laki-laki pada umumnya memakai topi  buatan sendiri yang aneh sekali bentuknya yang dinamai : “Ti’ilangga”. Topi itu dibuat dari anyaman daun lontar.
Pada pinggang orang laki-laki biasa terselip sebuah parang. Hal ini persis seperti orang Jawa berpuluh-puluh tahun yang lalu selalu menyelipkan keris pada pinggangnya. Mula-mula tentu saja aku takut melihat orang-orang yang membawa parang itu.
Kukira ada sesuatu kekacauan sehingga menyebabkan orang membawa parang, pada hal tidak.
Membawa parang itu adalah suatu kebiasaan atau suatu kelengkapan busana kalau sesorang bepergian jauh. Parang mereka berhulukan kayu atau tanduk. Sarungnya dibuat dari kayu, kulit, atau dari anyaman daun lontar.
Sambil menanti gilirannya dipanggil pembeli kopranya, mereka duduk-duduk ditepi jalan.

Laki-laki dan wanita bersama-sama memakan  sirih-pinang dan minum nira lontar/gula rote, bekalnya yang dibawah dari desanya. Karena banyak sekali penjual kopra dari desa-desa itu, mereka terpaksa antre. Bergiliran menjualnya, dimuka toko-toko yang membelinya.
Kebanyakan kopra itu mereka jual pada “Yayasan Kopra”. Kopra yang kering dan baik mereka berani membelinya dengan harga Rp.l,025 (satu rupiah dua puluh lima sen) (l955) tiap kilogram. Banyak juga kopra yang terpaksa tidak dapat dibeli oleh Yayasan Kopra, karena masih basah atau tidak baik keadaannya. Penjual-penjual yang datang dari desa yang sangat jauh letaknya itu tak mau membawa kopranya yang tidak laku itu kembali kerumahnya. Sebab mereka pulang-pergi dari desanya itu berjalan kaki saja.
Dari desanya menuju ke kota Ba’a belum tersedia jalan raya menyebabkan kendaraan roda empat tidak dapat masuk ke desa mereka (daerahnya masih terisolasi).
Mereka berangkat dengan niat akan pulang membawa uang. Tetapi kini ternyata kopranya ditolak oleh Yayasan Kopra. Satu-satunya jalan yang dapat mereka tempuh ialah menjual kopranya kepada tengkulak-tengkulak Tionghoa yang biasa membelinya dengan harga hanya 60 sen se-kilonya. Biar 60 sen asal jadi uang.
Kopra yang masih basah itu dijemur lagi oleh tengkulak-tengkulak itu, sehingga beratnya akan susut. Uang penjualannya itu biasa mereka gunakan untuk membeli pinang, tembakau untuk sugi (Rote = “makmo tembakau”), yang sangat laku di Roti.
Berapa saja toko-toko menyediakan pinang dan tembakau, akan habis dibeli oleh penduduk Roti asli yang masih makan sirih.

Kecuali dibelikan barang-barang kegemarannya kaos, batere, minyak tanah, ikan kering, kain sarung, pakaian dan lain-lain barang, yang tak terdapat didesanya. Ada juga diantara mereka yang pagi-pagi benar berangkat dari desanya. Karena letak desanya itu jauh sekali dari kota Ba’a, maka jam tiga soreh atau sesudahnya baru tiba di Ba’a. Tentu saja Yayasan Kopra sudah tutup pada jam itu.
Bila terjadi hal yang demikian, maka mereka terpaksa menginap di Ba’a.
Kalau di Ba’a tidak ada saudaranya/keluarganya, mereka biasa menginap diserambi gereja.
Pagi-pagi baru mereka menjual kopranya itu. Selain kopra, mereka membawa juga barang-barang lain yang akan mereka jual di Ba’a. Kebanyakan yang mereka jual itu “gula lontar” (Rote = tua nasu)
Gula yang dibuat dari air nira yang diambil dengan cara me-nira/menyadap mayang/buah pada pohon lontar. Jika di Jawa atau di tempat lain, nira diambil dari pohon enau atau dari pohon kelapa yang dijadikan gula padat (gula jawa).
Kecuali kopra dan gula lontar ini, mereka jual juga hasil kerajinan tangan yang berupa “topi Ti’ilangga”, tempat sirih, timba yang mereka namakan “haik”, tudung saji, dan lain-lainnya yang terbuat dari anyaman daun lontar.
“Roti” memang dapat dinamakan “pulau lontar/Nusa Lontar.”

 “Segala sesuatu kebutuhan rumah tangga,
dibuat dari daun lontar.”

Disamping itu sering juga ada diantara mereka yang menjual sayur kangkung sayur sawi dan kol.
Kami teruskan perjalanan kami ke-timur.
Ditepi jalan kami dapati toko-toko yang menjual bermacam-macam barang, seperti baju, pomade, dan saputangan. Tetapi jumlah toko-toko ini diseluruh kota Ba’a  tak melebihi bilangan 20.
Kebanyakan toko-toko ini  terbuat dari batu dan beratap seng. Sampai disini sepatuku sudah tak enak kupakai, sebab jalan-jalan tak rata, berbatu-batu tajam, tak diaspal. Kini kami telah sampai dipasar.
Pasar satu-satunya dikota Ba’a. Pasar itu kira-kira sebesar halte kecil di Jawa. Itupun orang tak penuh berjualan disitu. Yang paling banyak dijual orang ialah pinang juga seperti ditoko-toko.
Orang Roti, laki-laki perempuan, masih suka makan sirih, seperti di Jawa berpuluh-puluh tahun silam. Kemana saja mereka pergi, mereka membawa tempat sirih (Roti = tonda).

 Itulah sebabnya sedikit sekali terdapat penyakit gigi di Roti. Pinang ini didatangkan dari pulau Flores atau pulau Alor, sebab hasil pinang pulau Roti sendiri tidak mencukupi kebutuhan. Kecuali pinang, dipasar itu dijual orang sarung, baju, beras, ikan dan sedikit sekali sayuran.
Dikiri-kanan jalan yang kami lihat hanya deretan rumah-rumah yang beratapkan daun lontar belaka. Kadang-kadang kami lihat juga yang beratapkan seng, genteng atau sirap.
Rumah yang bertingkat dua diseluruh kota Ba’a hanya ada empat lima buah saja. Sedang yang bertingkat lebih dari dua tak ada sama sekali. Makin jauh kami berjalan makin banyak terdapat gereja yang menandakan bahwa penduduk Ba’a kebanyakan beragama Kristen dan taat beribadat. 

Dikiri-kanan rumah-rumah dan dimana saja ada tempat kosong , menjulang tinggi pohon-pohon nyiur yang sangat lebat buahnya.
Karena itu aku sadar bahwa Indonesia ini benar-benar “pulau kelapa”. Baru saja disitu kami sudah mendengar 7 – 8 kali suara kelapa kering jatuh.
Kelapa kering sampai gugur dengan sendirinya, sebab tak ada yang memetiknya dan lagi orang tak begitu butuh akan kelapa. Sebab pohonnya terlalu banyak. Orang tak ada waktu untuk memetiknya.
Dari kelapa yang gugur dengan sendirinya itu saja, kebutuhan sehari-hari akan kelapa sudah sangat cukup. Mengapa pula harus susah-susah  memanjat akan memetiknya ?
Kelapa yang berjatuhan itu boleh diambil oleh siap saja yang melihatnya lebih dahulu, baik diketahui atau tidak diketahui oleh yang empunya.

Berkenalan Dengan Penduduk Ba’a

Sepanjang jalan yang kami lalui semua orang memberi salam dengan mengucapkan : “Semat pagi”. Teman-temanku yang mendapat salam itu menjawab : “Selamat” atau “Selamat pagi” juga. Hampir semua orang memberi selamat kepada rombongan kami. Itu berarti bahwa guru-guru temanku itu sudah kenal mereka semua. Tentu saja akan kukenalkan juga mereka dalam beberapa hari lagi. Ada juga satu dua diantara orang-orang yang kami jumpai itu menanyakan siapa aku ini.
Buat mereka di Roti, aku ini “muka baru”. Setelah teman-teman menjawab bahwa aku ini guru yang baru datang dari Jawa, dia mengangguk. Seolah-olah sudah mengetahui akulah yang mereka nantikan.
Sudah jadi kebiasaan penduduk kota Ba’a mengetahui pegawai baru yang akan datang kekantornya itu.
Sepanjang jalan gereja-gereja terus diselang-seling rumah-rumah penduduk.

Banyak juga gereja di tepi jalan yang kami lalui itu.  Gereja Protestan,
Katolik,Pantekosta, Advent dll.
Ketimur sedikit kami sampai kekantor Penerangan. Kami masuk dan berkenalan dengan pegawainya yang hanya terdiri dari dua orang saja, saudara Jacobis Lasarus dan saudara Bernadus Laleb.
Mereka pun  ramah tamah kepadaku. Kantor Penerangan itu juga menjadi rumah tempat tinggal kedua pegawainya serta keluarganya.
“Bu” Obi dan “bu” Laleb, inilah teman kita yang baru datang dari Jawa dengan kapal “Waingapu” kemarin, kata salah seorang temanku guru kepada saudara Jacobus Lasarus dan saudara Bernadus Laleb itu. Kami kemudian berjabat tangan berkenalan.
Timbul pertanyaan dalam hatiku : mengapa temanku  itu memanggil orang laki-laki dengan kata-kata “bu”,  “bu” Obi dan “bu” Laleb ? 

Tetapi pertanyaanku ini kusimpan saja dalam hati. Kemudian keluar seorang nyonya  dari dalam. Rupa-rupanya nyonya Jacobis Lasarus.
Kata temanku kepada nyonya itu,  “Susi,” memperkenalkan ini teman kita yang baru datang dari Jawa. Kemudian kami berjabatan tangan dan saling berkenalan.
Sebelum pertanyaan dalam hatiku yang pertama tadi terjawab, kini telah timbul pertanyaan baru lagi didalam hatiku. Pertanyaan itu mungkin bercampur dengan keheranan : mengapa temanku memanggil seseorang nyonya dengan namanya saja : “Susi”.
 Mengapa tidak diberi kata penggilan dimuka nama nyonya itu misalnya  “kak Susi”?
Aku  belum mengerti tetapi akan menanyakan hal itu disitu malu. Jadi aku hanya melamun saja memikirkan apa yang baru saja terjadi itu dan mencoba mencari sendiri jawabannya, namun jawabannya tak kunjung dapat.
Kawan-kawanku yang lain pun memanggil “susi” saja kepada nyonya rumah itu.
Nyonya rumah sendiri memanggil kami dengan kata panggilan pak” dimuka nama kami, meskipun kami lebih muda dari padanya.

Hidangan kepada Tamu & Berbisik

Setelah sementara kami bercakap-cakap itu tuan rumah bangkit dari tempat duduknya dan menuju ketempat duduk bapak direktur SMP kami, bapak H.A.Pedrico.
Kemudian tuan rumah membungkuk dan membisikkan sesuatu kata yang lemah sekali sehingga tak kudengar, ketelinga bapak Pedrico.
Bapak direkturku itu berbisik pula lemah sekali kepada tuan rumah. Kedua-duanya tertawa kecil.
Aiii, aku heran bukan main. Mukaku pucat kurasa. Malu. Mungkin mereka membicarakan aku.
Kemudian tuan rumah itu beralih dari telinga bapak direkturku ketelinga temanku yang lain. Temanku menjawab lemah sekali, tak terdengar. Kedua-duanya tertawa kecil. Aku menjadi gelisah. Kuusap mukaku tetapi, tetap tak ada apa-apanya.
Tuan rumah yang aneh itu pindah lagi pada temanku yang lain berbuat seperti tadi juga, berbisik ketelinga lagi. Aku tambah gelisah dan pucat, merasa dipermainkan.
Perbuatan tuan rumah itu, saya anggap sesuatu perbuatan yang tak pantas dilakukan pada waktu itu. Semua orang tertawa kecil. Tertawa  yang mungkin karena keanehanku.
Mengapa mereka berbuat yang aneh sekali dihadapnku, seorang asing yang belum mengerti seluk-beluk dan adat istiadat Roti sama sekali ?
Telah melanggar adatkah aku ?

Tetapi dengan tidak kusangka, tuan rumah itu datang juga ketempat aku duduk.
Dia membungkuk mendekatkan bibirnya ketelingaku.
Hatiku selalu bertanya : Kata-kata apakah gerangan yang akan dibisikkan oleh tuan rumah ketelingaku ?
Kemudian dia berbisik  lemah sekali.
Saudara suka minum apa ?”
Aku heran, apa maksud pertanyaan ini, aku belum tahu.
Aku melongo  saja.
Lalu dia berbisik sekali lagi :
Saudara suka minum apa ?
Bier atau limun atau minuman lain ?”
Setelah bisikan tadi diulangi, baru aku tahu apa yang dimaksud.
Kemudian jawabku dengan bisikan juga ketelinganya : “Limun saja” dan akupun tertawa kecil.
Dia juga membalas dengan tertawa kecil pula.
Kini aku baru lega.
Tidak gelisah lagi sebab tidak ada alasan apa-apa yang menyebabkan aku gelisah seperti tadi.
Hanya yang masih menjadi  pertanyaan didalam hatiku sampai sekarang ialah :

Mengapa tamu-tamu itu ditanyai dahulu
apa yang akan diminumnya ?

Mengapa tidak terus saja dikeluarkan minuman yang semacam; misalnya teh semua, seperti di Jawa ? Untuk pertanyaan ini tentu  saja hatiku sendiri dapat menjawabnya pada waktu itu juga. Yaitu seperti kata pepatah :
“Lain ladang lain belalangnya, lain lubuk (kolam) lain ikannya.”
Kini aku tak gelisah lagi, dan mulai turut mencampuri percakapan-percakapan mereka dengan perasaan gembira. Percakapan seolah-olah terjadi diantara keluarga saja. Kedua tuan rumah dan seorang nyonya rumah disini pun tidak berbeda dengan orang-orang lain yang kujumpai lebih dahulu di Roti ini.
Mereka ingin mendengar ceritera-ceritera tentang keadaan di pulau Jawa. Aku memenuhi permintaannya, sebab aku tahu bahwa dengan bertanya itu berarti mereka menghormati aku dan memberiku kesempatan untuk ikut dalam percakapan.
Menghormati, sebab memberikan kesempatan kepadaku untuk berceritera. Penghormatan inipun kuterima dengan menceriterakan tentang keadaan di Jawa yang sebenarnya dengan tidak kutambah-tambah.
Ceriteraku sering menjadi buah tertawaan mereka sebab dalam bahasaku terselip kata-kata yang bagi telinga 0rang Roti janggal atau yang mempunyai arti lain di Roti.
Benar, tuan rumah itu seorang pegawai Kantor Penerangan yang tiap hari membaca surat kabar. Tetapi rupa-rupanya ceritera orang lebih mengasikkan dari pada ceritera yang hanya di ceriterakan oleh surat kabar; meskipun pokok yang di ceriterakan sama saja.
Sejurus kemudian dari dalam, muncul seorang pelayan membawa talam dengan minuman : empat gelas bier, dua gelas limun, segelas teh dan segelas susu.
1.    Bier itu untuk bapak direktur SMP, sudara Jacobus Lasarus dan dua orang temanku.
2.    Limun segelas untuk saudara Bernadus Laleb dan segelas untukku.
3.    Teh untuk seorang kawanku lagi.
4.    Susu untuk nyonya rumah.
5.    Jadi jumlah 8 orang, dengan minuman 4 macam.
Bagi mataku, heran memandang gelas-gelas yang berlain-lainan isi-isinya diatas sebuah meja. Pengalamanku seperti ini tidak mungkin akan kutemui dimana juga di Indonesia ini, kecuali hanya di pulau Roti ini, ya... unik. & spesifik.

Bila mana ada persediaan beberapa macam minuman, memang ada juga baiknya tamu-tamu itu ditanyai lebih dahulu kepada masing-masing, tetapi di Roti, dilakukan dengan cara berbisik ke telinga tamunya karena dengan cara berbisik merupakan suatu adat sopan santunnya.
Setelah disilahkan oleh tuan rumah, maka kami menikmati minuman dan kue.
Setelah puas bercakap-cakap maka kami minta diri.
“Jangan bosan datang lagi kemari, pak”, kata tuan rumah itu kepadaku.
Kami tinggalkan rumah itu dengan perasaan puas dengan cara-cara menjamu tamu dan untuk pertama kali kualimi di pulau Roti ini.
 Baru sebentar saja sudah timbul tali perhubungan bathin.
Orang Roti memang orang peramah semua. Suka sekali kepada tamu dan merasa dihormati bila ada tamu yang datang kerumahnya.

Nama Panggilan Seseorang di Roti.
Mengapa bapak tadi memanggil saudara Jacobus Lasarus dan saudara Bernadus Laleb dengan kata panggilan “bu” ?
Tanyaku kepada pak guru Anak Agung Gde Oka yang berasal dari Bali dan telah setahun di Roti.
Memang tadi yang seorang saya panggil “bu Obi” dan yang lain “bu Laleb”. Perkataan “bu” itu sebetulnya peninggalan dari bahasa Belanda .
Aslinya dalam bahasa Belanda, “Broer” artinya “saudara laki-laki,”  Sedang “Obi” itu singkatan dari  “Jacobis,” nama tuan rumah itu.
“Jacobis” itu namanya sendiri sedangkan “Lasarus” nama keluarganya /marganya/vam.
Jadi ayahnya, adiknya, kakaknya, semua bernama marganya “Lasarus” juga.
Misalnya : Willem Lasarus,” “Charles Lasarus” dan sebagainya. Nenek-neneknya juga bernama marga “Lasarus”, Nama keluarga itu disini biasa disebut “ nama vam. Orang dari Vam “Lasarus”, artinya orang dari keluarga/keturunan/marga “Lasarus”. Begitu juga “bu Bernadus Laleb”. “Bu” berasal dari “broer” tadi, “Bernadus” ialah namanya sendiri dan “Laleb” nama Vamnya/marganya.
Saudara Jacobis Lasarus kita biasa memanggil dengan nama kecilnya, ialah “Jacobis” atau disingkat “Obi”.
Tetapi saudara Bernadus Laleb kita biasa memanggilnya dengan nama Vam-nya, ialah : “Laleb”.
Kita tak dapat membeda-bedakan orang yang mana harus kita panggil dengan nama kecilnya dan orang yang mana harus kita panggil dengan nama Vam-nya.
Untuk ini tak ada aturan yang menentukan, melainkan kita meniru saja panggilan nama yang sudah biasa dipanggil oleh keluarganya atau oleh orang lain kepadanya, sebab mereka sudah mempunyai alasan untuk memanggil seseorang dengan nama kecilnya atau dengan nama Vam-nya itu.
Nama Vam selalu terdapat dibelakang nama kecil atau namanya sendiri.
Misalnya untuk membedakan antara “Jacobis Lasarus” dengan “Jacobis Dethan” atau dengan Willem Terru,” orang memanggil dengan nama Vam-nya. Kalau kita sebut nama-namanya sendiri tentu saja sama, misalnya. Untuk membedakan seorang dari yang lain  dari keluarga yang sama, misalnya “Jacobis Lasarus” dengan “Willem Lasarus”  dapat kita panggil dengan nama kecilnya, yaitu Jacobis dan Willem saja.
Tetapi  bagaimana kalau seseorang akan menyingkatkan kata “ibu” ? Biasanya di Jawa anak-anak memanggil ibunya : “bu” singkatan dari “ibu”. Tetapi disini artinya “saudara laki-laki”.
Jawab pak Oka, dengan tertawa.
Orang disini jarang sekali menggunakan kata “ibu”. Yang biasa mereka gunakan ialah “mama”. “Bu” singkatan dari “ibu”, tak pernah terdengar  di Roti.
“Mengapa tidak diganti saja perkataan “bu” yang berasal dari “broer” itu dengan perkataan “Kak” singkatan dari “kakak”?

Kalau dilihat dari asalnya, memang lebih baik kita ganti saja “bu” itu dengan “kakak”. Tetapi tidak mudah untuk melenyapkannya, meminta waktu berpuluh-puluh tahun.
Seperti halnya dengan pemeluk-pemeluk agama Islam di Jawa yang masih suka membakar kemenyan  dan bersajen dipersimpangan jalan. Kebiasaan itu sukar kita lenyapkan.
Pada hal agama Islam sendiri tidak menyuruh orang mengadakan pembakaran kemenyan dan bersajen dipersimpangan jalan. Itu ialah pengaruh kebudayaan Hindu. Seharusnya sudah beratus-ratus tahun yang lalu lenyap dari Jawa bersama-sama dengan  bangsa Hindu yang membawa pengaruh itu
Pengaruh kebudayaan memang lebih meresap dari pada pengaruh lain.
Lagi pula kalau kita ingat bahwa bahasa Indonesia masih dalam masa pertumbuhan untuk kemudian menjadi bahasa yang baik dan lengkap.
Maka tak salahnya kalau kita biarkan saja kata “bu, dan susi” itu di-alam Roti ini.
“Betul juga jawaban pak Oka ini” “apakah sudah menjadi kebiasaan disini memanggil seseorang dengan namanya saja?”
“Murid-murid dan anak-anak kecil tentu kami panggil namanya saja. Mengapa bapak tanyakan demikian ?”
“Kalau tidak salah tadi saya dengar bapak-bapak semua ini memanggil nyonya Lasarus “Susi” mengapa tidak “kak Susi” atau “entjik Susi” dan sebagainya.”
Mendengar perkataanku itu keempat kawanku tertawa.
Kata bapak Petrico :
Begini Mas, tadi ketika pak Oka menerangkan kata “bu” yang misalnya dari kata “broer” dalam bahasa Belanda, dia lupa menerangkan kawan kata dari
Nyonya Lasarus namanya bukan “Susi”.. “bu”  itu ialah kata “Susi” tadi.
“Susi” itu  juga sepatah kata yang berasal dari bahasa Belanda “Zus” yang artinya tentu Mas sudah tahu, ialah “saudara perempuan”.
Dari kata itu timbul kata “Susi”.
Jadi semua wanita yang sebaya  dengan nyonya Lasarus tadi boleh dipanggil “Susi” di pulau Roti ini.”
Aku sendiri turut tertawa lebar-lebar setelah mendengar keterangan dari bapak Pedrico ini.
Sambungnya lagi :
Mas, seperti halnya dengan kata “Susi” yang berasal dari “Zus” tadi disini ada juga kata “tanta” yang berasal dari kata “tante’ yang berarti “bibi”. Sedang kata “Oom” yang berarti “paman” masih tetap diucapkan “Om” juga di Roti ini.

Panggilan/sapaan kepada seseorang  dalam adat orang Roti
A. Untuk Laki-Laki :
1.  Panggilan kepada orang (laki-laki) yang seusia dengan kita/sebaya tetapi lebih tua usianya dari kita adalah “BU” (Belanda) = “Broer” yang artinya = kakak / mas (Jawa).
2.  Panggilan kepada orang laki-laki yang statusnya  tergolong orang tua sebaya ayah kita maka kita panggil “Oom/Om” ( asal dari bahasa Belanda). Bila dianggap sebagai keluarga sendiri dapat dipanggil dengan kata “Papa”=(Ayah).
Jika seorang laki-laki yang berasal dari luar pulau Roti. Biasanya mereka menyapa dengan kata-kata panggilan “Pak” atau “Bapak”.
·         Panggilan seorang anak kepada saudara laki-laki dari Ibunya adalah “To’O”= Paman. 
·         Sapaan/panggilan “To’O + Nama kecilnya”. Misalnya saudara ibu bernama Tias, singkatan nama dari Mathias, maka akan disapa dengan panggilan “To’O Tias.” Tetapi dapat dipanggil juga dengan “Papa To’O Tias.”
·         Panggilan seorang cucu kepada kakeknya (ayah bapak, ayah ibu) “Ba’i”
·         Panggilan adik-adik, baik ia laki-laki atau perempuan kepada kakak laki-laki-nya adalah “A’a”/ “Bu”. A’a = kakak;
·         Panggilan seorang anak kepada saudara laki-laki ayah yang lebih tua dari ayahnya adalah “Papa besa”= papa besar, sedang kepada
·         saudara laki-laki ayah yang lebih adik dari ayahnya adalah “Papa Kici” = papa kecil.
·         Tetapi umumnya panggilan seorang anak kepada saudara-saudara laki-laki ayah biasanya dengan panggilan “Papa” juga dengan menyebut “nama kecilnya”. Misalnya “Papa Ten,” . “Ten “ singkatan dari “Marthen”. Sedang panggilan anak-anak kepada ayahnnya cukup dengan “Papa” saja tanpa menyebut namanya.
·         Panggilan seorang istri misalnya bermanya “Ruthy” kepada suaminya misalnya yang bernama “Simon”, tidak pernah memanggilnya dengan menyebut nama suaminya, tetapi dengan sebutan “nama anaknya yang sulung”. Misalnya nama anaknya yang sulung bernama “Robby”, maka istrinya memanggil suaminya dengan sapaan/panggilan “ Robby Papan”. Artinya “Bapaknya Robby”. Huruf “n” disini menyatakan kepunyaan.
·         Demikian pula kalau suaminya “Simon” itu memanggil  istrinya “Ruthy” juga tidak memanggil dengan namanya sendiri tetapi dengan sapaan/panggilan “Robby Maman” artinya Mamanya Robby.
Inilah panggilan yang paling sopan dari seorang istri kepada suaminya atau sebaliknya dan tidak pernah memanggil dengan sebutan namanya sendiri.
Jadi dalam adat orang Rote, Nama suami ataupun nama istri tidak pernah disebut-sebut. Tetapi yang disebut adalah “nama anak sulungnya”.
Panggilan semacam ini hanya dalam kalangan keluarga besarnya (kekrabatannya) saja atau kalangan yang dekat sekali dengan keluarga ini. 
Ada lagi panggilan nama seseorang yang dihubungkan dengan “Nama Tempat”.

Misalnya  ada beberapa orang  bersaudara, telah berkeluarga semuanya dan berdiam/tinggal ditempat yang berbeda-beda.
·         Misalnya saudara kandung yang bernama Jors Jacob tinggal di Kota Dale, Ringgou pulau Rote;
·         James Jacob tinggal di Makassar,
·         Max Jacob tinggal di  Kupang, sedang
·         Simon Jacob tinggal  di Jogyakarta.
Anak-anak dari semua saudara-bersaudara tadi dapat mepanggil semua saudara ayah maupun istri-istri  mereka masing-masing dengan tidak menyebut nama mereka, tetapi dengan sapaan/panggilan “Papa/Mama” + Nama Tempat Tinggalnya”
·         misalnya dengan  panggilan Papa/Mama Jogya,
·         Papa/Mama Kupang, Papa/Mama Kota Dale, tanpa menyebut nama-nama mereka  masing-masing.
Dengan panggilan  demikian saja  mereka sudah saling mengetahui, siapa yang dimaksud.
·         Misalnya anak-anak dari Gustaf Jacob  di Kupang menyebut Papa/Mama Jogya, itu berarti otomatis yang dimaksud adalah Papa Simon/Mama Ruthy Jacob yaitu saudara ayahnya yang tinggal di Jogya walaupun tidak menyebut namanya.
·         Ada lagi panggilan Nama yang dikaitkan dengan “Profesi”.
Misalnya diantara suatu keluarga besar ada empat belas orang bersaudara dan semuanya sudah bekerja pada kantor-kantor/profesi yang berbeda.
·         Misalnya : Max Jacob adalah seorang Pendeta; 
·         Simon Jacob,  pegawai Pajak,
·         Adel Pela-Jacob, pegawai Kabupaten,
·         JoEl Jacob di kantor Gubernur;
·         Gustaf Jacob , seorang Pengacara;
·         Victor Jacob, pegawai Kantor PD & K;
·         Sehan Jacob, pegawai Penerangan.
Umumnya panggilan nama mereka di masyarakat, memakai nama marga/Vam saja, bukan nama kecil mereka.
Karena nama vam Jacob itu banyak sekali,  maka untuk  tidak membingunkan, maka orang-orang  akan memanggil mereka masing-masing dengan “Nama mereka (Vam) + Nama Kantornya”.
·         Misalnya panggilan, pak Jacob Pendeta,
·         Pak Jacob Pajak,
·         Pak Jacob PDK,
·         Pak Jacob Pengacara,
·         Ibu  Pella Jacob Kabupaten dan seterunya.

Jadi bila mereka menyebut,
·         Pak Jacob Pajak itu berarti yang di maksud adalah Simon Jacob;
·         Pak Jacob Pengacara, yang dimaksud adalah Gustaf Jacob yang berprofesi Pengacara;
·         Pak Jacob Gubernur, yang dimaksud adalah JoEl Jacob yang bekerja di Kantor Gubernur  dan selanjutnya.
·         Ada juga, misalnya seseorang di panggil Ogus “Pokodolo”. Ogus adalah nama yang bersangkutan, sedang Pokodolo adalah bunyi guntur. Ia diberi gelar tambahan  “ Pokodolo” dibelakang namanya karena jika ia berbicara suaraya besar sekali seperti bunyi guntur saja. Oleh karena itu semua orang yang mengenalnya, tidak dipanggil Ogus saja yaitu nama aslinya, melainkan ditambah dengan gelarnya yaitu “Pokodolo” jadi Ogus Pokodolok. Ada lagi sapaan nama misalnya kepada seorang keturunan Arab tinggal di Papela Rote Timur, nama aslinya Abdulah.
·         Umumnya warga Arab kulitnya hitam. Lalu orang tidak memanggil namanya Abdulah tetapi mereka memanggilnya  dengan sebutan Ara Keo artinya Arab hitam, tentu yang dimaksud adalah Abdulah tadi.. 
·         Di Rote sapaan/panggilan nama seseorang banyak sekali macamnya. Kadang-kadang seseorang dipanggil berdasarkan ciri khasnya yang dimiliki, misalnya karena “pendek” Namanya misalnya Tobias, karena tubuhnya pendek, maka ia selalu dipanggil dengan nama “Tobias Pendek),
·         Terkadang pula panggilan kepada seseorang karena cacat pada tubuhnya misalnya namanya sendiri Beny tetapi karena tidak berambut lagi sehingga botak kepalanya, maka ia selalu dipanggil dengan nama Beny Botak. Dengan nama sapaan-sapaan tersebut diatas  itu, orang lalu mengenal siapa orang itu yang dimaksud, tanpa menyebut nama yang bersangkutan. Ini merupakan satu budaya dalam sapaan/panggilan nama seseorang menurut adat orang Rote.

B. Panggilan/sapaan Untuk Wanita di Roti
1.    Panggilan kepada wanita seangkatan/seumur dengan kita, tetapi lebih tua usianya dari kita adalah “Susi” (bahasa Belanda Zus).
2.    Panggilan kepada wanita yang seangkatan/ seusia/ sebaya dengan ibu kita adalah : “tanta”  bisa juga jika dianggap keluarga sendiri dapat dipanggil “Mama”. Panggilan kepada seorang wanita yang berasal dari luar pulau Roti, meraka akan menyapa dengan panggilan “Ibu”.
3.    Panggilan seorang anak kepada saudara  perempuan Ibunya  adalah “Te’O”= tante.
4.    Panggilan seorang cucu kepada neneknya ( Ibu dari ayah atau ibu dari mama nya) “Bei.”
5.    Panggilan seorang adik kepada saudara perempuannya yang lebih  tua usianya, adalah “susi”.
6.    Panggilan seorang kakak (laki-laki atau perempuan) kepada  adik-adiknya baik ia perempuan atau laki-laki, biasanya dengan panggilan “nama kecil-nya” saja. 
Istilah-istilah panggilan ini sekarang telah memasyarakat dimana-mana, bukan saja di pulau Roti tetapi hampir di seluruh Indonesia, dan tergolong panggilan yang bersifat sopan baik kepada orang yang sudah kita  kenal baik, maupun belum mengenalnya sama sekali, dan tanpa harus diikuti dengan penyebutan/panggilan  nama orang yang bersangkutan.(Khusus tentang sapaan/panggilan oleh Penulis).***

Ba’a dari Dekat

Sambil bercakap-cakap itu kami tak merasa bahwa kami telah jauh berjalan dan telah sampai dikampung Mataharinaik yang biasa disingkatkan orang “Maternaik”. “Mataharinaik”  sebetulnya berarti “timur” dan memang begitu juga bahasa orang Roti. Tetapi karena kampung ini terletak di Ba’a bahagian timur jadi biasa disebut orang kampung “Maternaik”.
Tetapi disebelah timur kampung Maternaik itu masih ada kampung lagi ialah “Metina” . Inilah kampung yang ter-timur dikota Ba’a. Rumah-rumah dikampung Metina dan kampung Maternaik kebanyakan beratapkan daun gewang, bertiang batang gewang/gebang dan berdinding pelepah gewang seperti gedung SMP Negeri Ba’a, orang menyebutnya “rumah bebak”.
Ada juga satu dua rumah rumah yang dibuat dari batu dan beratapkan sirap, daun kelapa, ilalang/ alang-alang, atau seng.
Rumah batu di Roti betul-betul  dari batu. Di Jawa disebut rumah batu ialah rumah dari batu bata.
Tetapi di Roti rumah batu, benar-benar dari batu. Batu-batu itu diambil dari laut (terumbu karang) kemudian dipech-pecahkan sehingga bentuknya menjadi seperti batu bata. Dibuat begitu supaya mudah diatur dan disemen. Batu  laut itu adalah batu karang laut/terumbu karang.
Pagar halaman luar biasanya dibuat dari batu-batu karang/batu gunung yang tidak usah dipecahkan lebih dahulu. Maternaik makin menyengat. Tubuhku makin tak kuat menahan panasnya itu, lebih-lebih tengkuk-ku. Keringatku keluar. Dikiri-kanan jalan banyak anak-anak kecil  yang memandang kami dengan keheranan. Pandangan anak-anak kecil penduduk asli kepada orang-orang asing/pendatang.
Dihalaman muka dan kiri kanan tiap-tiap rumah berdiri pohon-pohon nyiur/kelapa, dan pohon lontar serta satu dua pohon pinang yang menaungi penghuni rumah-rumah dibawahnya itu.
Mereka sudah tidak merasa begitu panas lagi sebab rumahnya beratapkan daun-daun lontar. Hanya rumah-rumah yang beratapkan seng penghuninya kepanasan. Maka dibuatnya rumah itu tinggi-tinggi dan atap seng itu dilapisi dari bawah dengan daun lontar yang disusun tak begitu tebal untuk penahan panas.

Kerajinan Tenun Ikat

Dibawah atap yang menjorok keluar rumah itu duduk beberapa orang wanita. Tua muda dengan alat tenun pada pangkuannya. Anak-anaknya yang masih kecil bermain-main dengan batu kecil pengganti kelereng disamping ibunya.
 Ibu-ibu itu sangat sabar menjajarkan benang selembar demi selembar sehingga bila tiba waktunya, akan menjadi sehelai selimut Roti yang terkenal.. Harganya tak kurang dari tiga ratus rupiah (l955).
Benang yang akan ditenun itu dibelinya ditoko. Kemudian benang itu mereka hitamkan dengan memasukkannya kedalam Lumpur selama dua hari dua malam. Kemudian baru mereka celupkan kedalam nila (Rote = tauk). Warna merahnya mereka buat dari campuran kayu-kayuan berwarna.
Dimana-mana saja, kami lihat orang sedang menenun. Ada juga yang ingin mendapatkan keteduhan maka pergilah ia dan duduk dibawah bayangan pohon nyiur/kelapa ditepi pantai menenun disitu. Tak bising telinganya mendengarkan tangis dan teriakan anak-anak kecil yang nakal-nakal. Dia hanya mendengar bunyi alat tenunnya yang berirama itu saja.
Sekali-sekali juga datang ombak dari tengah laut memecah ditepi, mengantarkan suara untuk campuran suara alat tenunan itu.
Suatu paduan suara yang merdu!

Alat tenun itu sederhana, tetapi itulah satu-satunya temannya yang paling setia sepanjang hidupnya didunia ini.
Ada juga orang kampung itu yang berjualan. Beberapa toples yang terisi rokok, kacang goreng, pinang yang berserakan diatas meja, ikan kering yang tergantung dan gula-gula untuk kanak-kanak.
Aku merasa menemukan ketenangan hidup disitu.
Ketenangan hidup yang tak akan dapat ketemukan di Jakarta atau Semarang, kota yang selalu dikejar waktu itu.
Orang Roti belum takut kepada hantu waktu itu. Mereka dapat menguasai waktunya. Mereka dapat mengatur waktunya, sehingga tak pernah takut karena dikejar waktu seperti orang Jakarta dan Semarang itu. Mereka tenang. Sambil menyanyi diteruskannya pekerjaannya.
Dikampung Maternaik terdapat sebuah masjid. Orang kampung Maternaik dan kampung Metina kebanyakan memeluk agama Islam.

Jadi seolah-olah Ba’a Timur adalah kampung Islam dan Ba’a Barat kampung Kristen. Setelah sampai dibatas kampung, kami lihat ada batu yang ber-angka satu (pilar KM-1), menandakan bahwa jauhnya dari pusat kota hanya satu Kilo meter. 
Kemudian kami ke-barat. Barat sebagai lawan dari  timur orang mengatakan : “Matahari turun”.Tetapi kampung yang letaknya paling barat tidak disebut kampung “Matahari turun” sebab sudah mempunyai nama sendiri ialah : “Menggalama”.
Tibalah kami dimuka rumah K.P.S. (Kepala Pemerintahan Setempat) yang berkedudukan di Ba’a dan memegang pemerintahan seluruh pulau Roti beserta pulau-pulau kecil disekitarnya dan pulau Savu/Sabu/Sawu.
Dimuka rumah KPS terdapat sebuah mercusuar yang kerjanya pada malam hari selalu memancarkan sinarnya sebagai isyarat kepada kapal-kapal.  Jalan disitu membelok ke-selatan.
Disebelah kanan jalan terdapat stasion radio P.T.T. (Pos, Telpon dan Telegrap). Stasion radio itulah yang menyebabkan Roti tidak merasa terpencil meskipun lama sekali baru ada kapal datang.
Semua kapal yang akan datang ke Ba’a tentu mengabarkan datangnya lebih dahulu melalui rario PTT itu. Sehingga orang-orang yang akan pergi dapat bersiap-siap . Stasion Radio itu pula yang menerima dan mengirimkan telgram biasa.

Orang Penjara  & Tanpa Pengawal

Disebelah selatan stasion radio itu ada rumah penjara yang penuh dengan penghuni. Penghuni-penghuni itu lebih suka bila orang luar menyebut rumah penjara itu : “Rumah Pendidikan Jiwa”.
Di Ba’a itu banyak sekali kami lihat orang-orang yang berpakaian seragam biru. Bajunya pendek dan celananya pun pendek. Orang-orang semacam itu tersebar dimana-mana diseluruh kota Ba’a.
Di-pasar, ditepi jalan-jalan, mereka membersihkan selokan-selokan, menebang pohon-pohon yang cabang-cabangnya mengganggu lalu-lintas, menyapu jalan, mengangkut kayu hasil tebangannya.
Yang sudah lelah duduk beromong-omong ditepi jalan.
Mereka itulah penghuni penjara.

Orang hukuman.

Mereka tak usah dijaga terus-menerus.
Mereka tidak akan lari.
Andaikata akan melarikan diri, lari kemana ? Pulau Roti terlalu kecil.
Orang yang baru datang  tentu saja akan heran melihat orang-orang penjara itu berjalan hilir-mudik di luar penjara tanpa seorangpun mengawalnya.
Kalau sudah tiba waktunya, maka mereka kembali  kepenjara.
Sehabis makan, bekerja lagi diluar penjara.
Malam hari akan tidur, mereka masuk lagi ke-penjara dengan sendirinya, tak usah dipanggil-panggil lagi.
Aku sangat heran.
Heran mengapa sampai begitu jujur-jujurnya orang-orang Roti itu.
Orang yang sudah di penjara, yang sudah tentu telah berbuat sesuatu kesalahan, dan bekerja diluar penjara tanpa pengawalan, bahwa mereka tak akan melarikan diri.

Kantor Pos, SMP, Rumah Sakit.

Ke-selatan sedikit disebelah kiri jalan berdiri Kantor Pos yang terdiri dari sebuah ruangan saja dengan sebuah pintu, dua buah jendela dan sebuah loket. Kantor Pos ini sepi.
Ketika kami lalu disitu hanya ada seorang saja yang berdiri diluar loket minta dilayani. Dari pintu yang terbuka kelihatan didalamnya hanya ada beberapa orang pegawai saja. 
Kepala Kantor Pos, seorang Pengantar Surat (Loper surat) (pos bode) dan seorang lagi yang melayani loket.
Disebelah selatan rumah penjara terdapat SR (Sekolah Rakyat) II atau sekarang SD (Sekolah Dasar).
Gedungnya lebih baik dari pada gedung SMP, sebab gedung SR.II ini sudah lebih dahulu berdiri dari pada gedung SMP.
Disebelah selatan SR.II ini ada rumah sakit.
Ruangan tempat merawat orang, dindingnya sudah berlobang-lobang besar, sehingga kepala anjing dapat dijenggukkan kedalam.
Di B’a tak ada seorang dokter pun.
Rumah sakit ini kurang memenuhi syarat, karena sekarang masih dibangun rumah sakit yang baru.
SR (Sekolah Rakyat), di Ba’a hanya ada dua buah ialah SR.I dan SR.II. Jalan membelok ke-timur menuju tangsi polisi yang terdiri dari Kantor dan sederetan kamar-kamar tempat tinggal. Ditengah-tengah leretan kamar-kamar tempat sebuah ruangan tempat orang bermain bola sodok (bilyar).

Kambing Berkalung

Pada soreh, kami pergi melancong lagi kebagian barat kota. Mula-mula kami lalui tangsi polisi yang telah kami lalui pagi tadi. Kemudian kami melalui sebuah gang kecil ke-selatan sedikit, terus ke-barat.
Jalan agak naik sedikit dan berbatau-batu sanagat kasar sehingga sepatu menjadi rusak olehnya. Dikiri kanan jalan banyak tiang-tiang yang beratap ialah kandang kambing. Kandang-kandang itu tidak berdinding.
Kambing-kambing semuanya berkalung, berkalung kayu bentuk segitiga untuk mencegah supaya tidak dapat masuk kekebun-kebun orang yang sudah ditanami.
Kebun-kebun itu tentu saja baru berpagar
Tetapi pagar-pagar itu  jarang-jarang saja; kambing yang berkalung itu tak dapat masuk kebun itu sebab kalung yang sangat lebar itu akan menghalanginya, karena tertahan dipagar..
Kecuali kambing, biri-biri/domba banyak juga berkeliaran sepanjang jalan.. Ada juga babi, yang bersama dengan delapan sampai dua belas ekor anaknya  berlari kian kemari mencari rejeki.
Babi-babi itu kebanyakan berkulit hitam dan kotor-kotor karena berkubang di lumpur dan juga karena kurang baik pemeliharaannya. Babi-babi itu dilepaskan begitu saja seperti ayam-ayam di Jawa.

Pemandangan & Makan buah Lontar
Jalan makin naik dan  disebelah kanan jalan sudah ada bukit. Kami mendaki bukit itu. Tampak oleh kami pada kaki bukit yang penuh dengan pohon-pohon lontar, terhampar padang rumput yang hijau dan luas dengan beberapa titik-titik putih yang besar-besar, yakni domba-domba yang digembalakan oleh anak-anak kecil di padang rumput.
Sering-sering gembala itu pergi bermain-main dengan teman-temannya dan domba-dombanya dibiarkan begitu saja dipadang luas. Dia tak usah khawatir domba-dombanya akan hilang atau dicuri orang atau dimakan binatang buas. Binatang buas tak ada di Roti. Setelah kaki bukit itu, baru tampak jelas sekali laut terbentang seperti lapangan aspal yang sangat luas.
Makin lama makin sore dan makin teduh. Panasnya makin berkurang. Tetapi terasa haus juga oleh kami..
Winvried Tungga, tetangga kami yang turut berjalan-jalan itu, sudah mendengar kami mengeluh kehausan, kemudian ia berbicara dengan orang yang sedang memanjat pohon lontar tak jauh dari tempat kami beristirahat itu.
Mereka bercakap-cakap dalam bahasa dearah Roti.
Tak lama kemudian orang itu turun membawa banyak sekali buah lontar, atau siwalan (Rote = siboak). Buah lontar (siboak) itu dikupas dan diberikan kepada kami.

Meskipun buah itu tidak banyak mengndung air, kami makan untuk menghilangkan rasa haus kami. Wienvied memberikan uang setengah rupiah (lima puluh sen) kepada orang yang memberikan buah lontar itu kepada kami.
Aku menyangka tentu orang itu tak akan mau dibayar hanya 50 sen itu saja.
Orang itu tidak mau menerima setengah rupiah itu sambil omong sendiri dengan bahasa Roti. Wielvried memaksa supaya orang itu mau menerima uang yang setengah rupiah itu.
Setelah lama terjadi pertengkaran kecil akhirnya orang itu mau juga menerima uang yang setengah rupiah itu.
“Bagaimana bu Win kata orang itu tadi ?” tanyaku.

Orang itu tidak mau menerima uang itu. Kukira dia minta tambah karena terlalu sedikit uang 50 sen itu.
Tidak! Sekali-kali tidak! Malah dia mengatakan begini:
“Mengapa akan tuan bayar buah lontar yang saya berikan itu ?” sambil menolak uang itu tadi.”
“O, saya kira dia minta tambah lagi”.
“Ach tidak. Orang disini kalau ingin, boleh minta saja buah lontar itu, sebab orang aslinya/pemiliknya sendiri tak suka dan tak pernah menjualnya.
Buah itu sampai kering dipohon. Akhirnya buah yang kering itu jatuh ketanah, kulitnya juga lunak dan agak manis itu dimakan oleh babi-babi yang berkeliaran disini.
Setelah kulit itu habis dimakan babi, tinggal bijinya yang kering dan sudah keras. Biji ini tumbuh disitu menjadi anakan pohon lontar baru.
“Apanya yang diambil orang dari pohon lontar itu?” 

Yang sangat banyak digunakan ialah air niranya yang manis dimasak menjadi gula rote dan  daunnya.
Daun itu dibuat menjadi timba, payung, tempat gula, tempat sirih, dan lain-lain sebagainya.
Kecuali daunnya, batangnya berguna juga untuk tiang rumah dan pelepahnya untuk dinding rumah seperti hanya dengan pelepah gewang. Kalau sudah  musim berbuah orang menyadap mayangnya. Niranya ditampung, dijadikan minuman atau dijadikan gula seperti gula enau atau gula kelapa.
Matahari makin lama makin turun hampir malam. Sengatan panasnya makin lemah. Sinarnya makin memerah.
Tak lama kemudian tempat digaris pertemuan langit dengan laut, matahari disitu menciptakan dirinya ingin masuk keperaduannya. Dari atas bukit tempat kami duduk-duduk itu terus kesebelah barat sampai ketempat matahari akan terbenam itu merupakan suatu pemandangan yang sangat indah. Kami menuruni bukit akan pulang.
Kampung dikaki bukit itulah kampung Menggalama, kampung yang ter-barat dikota Ba’a. Batas barat kampung itu setengah kilometer jauhnya dari pusat kota Ba’a.
Dengan demikian kota Ba’a itu panjangnya hanya ½ (setengah) Km saja. Sedang lebarnya ini tidak lebih dari ½ ( setengah) Km.

Babi-babi Siang mencari Makan, Malam Pulang sendiri

Dengan sinar matahari yang masih ada itu kami pulang ke-pesenggrahan. Sepanjang jalan  kami pergoki babi-babi yang tergesa-gesa pulang kerumah majikannya masing-masing setelah seharian berkeliaran jauh dari rumah pemiliknya, mencari nafkahnya kemana-mana. Babi-babi di Roti tidak perlu dicari oleh pemiliknya, melainkan ia akan pulang dengan sendiri, meskipun ia mencari makannya sendiri, jauh dari rumah pemiliknya.
Anak-anaknya mengikuti dari belakang sambil bersenda-gurau dengan saudaranya. Suaranya gaduh menjerir-jerit.

Menari Kebalai
Di Ba’a tidak ada listrik, tidak ada gedung bioskop, tak ada sebuah gedung pertunjukan apapun.
Tidak ada sandiwara. Jalan-jalan makin digelapkan oleh bayangan-bayangan pohon-pohon dikiri-kanannya. Bayangan pohon itu disebabkan oleh beberapa lampu kelap-kelip yang memancarkan sinarnya keluar rumah lewat pintu-pintu atau menerobos sela-sela didinding yang sudah usang dan lapuk.
Embusan angin laut yang terakhir yang menyentuh tubuhku dan meraba telingku membisikkan kepadaku suatu irama nyannyian yang baru dan asing bagiku.
Makin kupasang telinga, makin jelas lagu nyanyian terdengar.
Kumasukkan kursi yang kududuki tadi kedalam.
Setelah berganti pakaian aku keluar langsung menuju rumah Winvried Tungga.

Kujumpai bapak Tungga masih didepan pintu sedang duduk berangin-angin.
“Selamat malam, Om ! kataku.
Kami di Roti memanggil orang laki-laki yang sebaya dengan ayah kami Om atau papa.
“Malam baik /Malam bae” (Selamat malam) jawabnya, Saya agak heran mendengar jawab yang aneh ini.
Mungkin “malam baik/Malam bae” ini terjemahan langsung dari ‘good night’ dalam bahasa Inggris atau ‘goeden avond’  dalam bahasa Belanda.
“Om, bu Winvried ada ?” tanyaku.
“Ada, Mari duduk dulu !”.
Tak lama kemudian datang dari dalam Winvried beserta adiknya perempuan, Esterina Tungga..
Aku sudah berkenalan dengan dia kemarin.
“Apa “bu” dan “susi” mendengar sesuatu lagu sekarang ?”, tanyaku.
“Ya, itu lagu kebalai”. 
“Dinyanyikan oleh berpuluh-puluh orang laki-laki dan perempuan bersama-sama sambil menari.”
“Apakah boleh kita melihatnya ?”
“Boleh saja. Kalau “bu” ingin melihat , mari kita kesana,” katanya.
Dia memanggilku juga “bu,”
“Saya juga turut” kata susi Esterina.
“Nah kita bertiga.”

Setelah mereka berias, kami berangkat. Kami berjalan ke-utara menuju pantai, kearah datangnya suara-suara nyanyian yang ramai itu. 
Untuk menghormati kaum wanita, maka susi Esterina kami suruh berjalan ditengah. Tidak sampai seperempat kilometer kami telah sampai ditepi laut. Kami berjalan lagi sepanjang tepi pantai dibelakang rumah-rumah.
Bulan samar-samar menerangi kami.
Suara penyanyi makin jelas terdengar. Pada suatu tempat yang lapang dimana tidak ada sebuah rumah pun berdiri, berkumpulah penyanyi-penyanyi yang menjadi penari-penari juga.
Laki-laki dan wanita berdiri saling berpegangan bahu.
Wanita diselingi laki-laki dan laki-laki diselingi wanita.

Mereka berpegangan erat-erat  dan semuanya merupakan sebuah lingkaran.
Salah seorang dari mereka mulai menyanyi, maka kemudian semuanya turut bernyanyi bersama-sama merupakan nyanyian bersama yang sangat baik.
Lagunya saja tanpa iringan musik apa pun dan dinyanyikan dengan suara panjang menggelombang dan didalamnya terdengar irama-irama lagu kematian  dalam formasi lingkaran.
Lagu-lagu itu tidak  semacam saja.
Ada yang berirama lambat ada yang berirama seperti lagu samba.
Pada waktu nyanyian itu dinyanyikan oleh seorang atau oleh semuanya, maka penari-penari yang berpegangan bahu itu menggerak-gerakan kakinya bersama-sama menurut irama lagu dan lingkaran itu berputar kekanan.

Kalau nyanyiannya cepat, cepat juga lingkaran itu berputar.
Kalau nyanyiannya lambat, lambat juga berputarnya.
Kata-kata dalam nyanyian itu kata-kata Roti kuno sehingga orang-orang Roti sekarang, meskipun yang menyanyikannya sendiri, banyak yang tidak mengetahui artinya.
Dalam mendengarkan lagu-lagu yang begitu dinyanyikan oleh beberapa orang dibawah pohon nyiur, maka teringat aku kepada film-film Tarzan yang sering -ku-tonton dulu ketika aku masih kecil.
Nyanyian yang seirama dengan nyanyian-nyanyian yang dinyanyikan oleh penduduk asli Afrika dipedalaman.
Ada juga setengah dari mereka yang duduk-duduk melepaskan lelah karena lama menari “kebalai” itu.
Nanti kalau lelah telah hilang, bangkit lagi dan memutuskan gandengan diantara dua orang dan dia sendiri sekarang ditengah-tengah kedua orang yang gandengannya diputuskan itu.
Kebalai itu boleh diikuti oleh siapa saja yang suka dan oleh orang yang murung dirumah !
Itulah salah satu hiburan di Roti. Kini makin  banyak orang datang.
Orang yang tadi  lelah, sekarang telah bangkit dan akan masuk kelingkaran lagi.
Seorang demi seorang memutuskan gandengan dan masuk kedalam lingkaran itu.
Bu Winvried dan susi Esterina masuk juga kedalam lingkaran itu dan turut “berkebelai”.

Orang-orang itu tak mementingkan pakaiannya. Ada yang bercelana panjang, bersepatu, ada yang bersarung saja, ada yang berselimut, pakaian adat Roti, dan sebagainya. Mereka tidak mementingkan pakaian sebab tari kebalai kali ini tidak diadakan secara resmi untuk pesta.
Kalau dalam pesta, mereka semua berpakaian adat, ialah selimut Roti yang dipakai sebagai kain.
Lingkarannya makin lama makin lebar juga.
Nyanyiannya makin bergema terdengar kemana-mana.
Langit makin terang seolah-olah turut bergembira.
Kaki-kaki orang makin bersemangat menjejak/menginjak bumi dan menari.
Lagunya makin halus berpadu menjadi satu.
Aku hanya melihat, duduk dibawah pohon nyiur. Sebentar-sebentar nyanyian mereka dibubuhi dengan suara deburan ombak yang hanya berjarak beberapa meter saja dari tempat penari-penari itu.

Pengikut-pengikut yang tak diundang itu makin banyak juga. Kecuali yang sudah masuk menjadi lingkaran, masih banyak juga yang baru saja datang.
Lingkaran makin bertambah besar.
Akhirnya lingkaran sudah terlalu besar itu, pecah menjadi dua buah lingkaran yang sama besarnya. Nyanyian kedua lingkaran ini sama dari pimpinan tani.
Dibuat sama untuk mencegah terjadinya keributan suara yang ditimbulkan oleh dua nyanyian yang berlainan, yang dinyanyikan pada waktu yang bersamaan.
Yang datang masih banyak juga ketempat hiburan tanpa uang itu.
Orang-orang penari kebalai itu terdiri dari segala lapisan masyarakat.
Pelajar, pedagang, pegawai, tukang pikul pasir, tukang pikul air, guru, polisi, tentara, semua menjadi satu tak membeda-bedakan pangkatnya, statusnya pada waktu siang hari.
Tari kebalai benar-benar semacam tarian yang baik yang akan menghilangkan rasa perbedaan antara tukang pikul pasir dengan pegawai-pegawai kantor dan lain-lain.
Tari kebalai ini dapat melenyapkan rasa rendah diri. Semuanya nampak sebagai bersaudara.
Hak wanita dan hak laki-laki dalam tari kebalai ini sama saja.
Kalau wanita harus menyanyi yang laki-laki pun demikian.
Kalau yang laki-laki harus menari, wanitanya juga demikian.
Lingkaran yang sebuah pesat sekali bertambah besarnya. Sebentar saja lingkaran itu pecah lagi menjadi dua. Kini tiga lingkaran yang masih bertambah besar juga, belum selesai dalam pertumbuhannya.
Nyanyiannya makin tinggi mencapai awan dan daerah kedengarannya makin jauh seolah-olah memanggil orang lain supaya suka menambah besarnya lingkaran-lingkaran itu.
Karena aku belum dapat menari kebalai itu, jadi aku hanya melihat saja menikmati kesenian Roti asli itu.
“Kebalai” itu suatu tarian yang ditarikan atas irama nyanyian sendiri, tidak karena alat-alat musik  (tarian tanpa musik yang diiringi hanya dengan lagu-lagu nyanyian bersama).

Jadi dimana-mana saja tari kebalai itu dapat diadakan tidak usah bersusah-susah mengangkat alat-alat musik ketempat menari kebalai itu.
Tarian kebalai ditepi pantai dibawah lambaian daun nyiur yang diembus angin itu berlangsung terus sampai jauh malam.
Orang-orang yang keesokan harinya harus bangun pagi-pagi karena sesuatu tugas, seorang demi seorang melepaskan diri dari lingkaran kebalai dan pergi meninggalkan lingkaran kebalai itu pulang kerumahnya, dengan hati penuh kepuasan.
Makin larut makin banyak juga yang pulang dan akhirnya dua dari lingkaran yang tiga buah tadi bergabung menjadi satu hingga kini hanya terdapat dua buah lingkaran saja.
Orang-orang yang pergi pulang kerumahnya makin banyak juga dan akhirnya dua buah lingkaran itu bergabung menjadi satu juga.
Bu Winvried dan susi Esterina rupa-rupanya sudah lelah.
Mereka keluar juga dari lingkaran kebalai itu dan menuju kepadaku dibawah pohon nyiur.
Karena kami masih merasa belum mengantuk, kami terus berjalan sepanjang tepi laut ke-timur akan melihat-lihat.

Makameting

Makameting adalah mencari ikan di pantai karang, saat air laut surut.
Dilaut banyak sekali obor yang menyala. Obor itu bergerak-gerak. Sebentar kekiri sebentar kekanan, sebentar keatas sebentar kebawah. Laut penuh dengan obor itu. Dari pantai Ba’a  sebelah barat sampai pantai sebelah timur, tempat kami bertiga berjalan pada waktu itu, obor saja yang kami lihat dilaut.
“Pembawa-pembawa obor itu ada juga yang jauh letak rumahnya dari sini”, kata susi Esterina, “ yang dibawa itu obor daun kelapa kering.
Seberkas demi seberkas daun kelapa kering itu dibakar  dijadikan umpan api.
Dari rumahnya sore-sore mereka sudah menyiapkan beberapa berkas daun kelapa kering dan api.
Dari tempat tinggal gembala-gembala ditengah padang disekitar kota Ba’a ini, mereka datang berbondong-bondong memanggul beberapa berkas daun kelapa kering itu. Beberapa jam setelah matahari terbenam mereka menyalakan berkas daun kelapa keringnya. Dengan bersenjatakan itu mereka kelaut. Laut pada waktu itu surut. Airnya  tidak sampai kelutut .
Ditengah laut yang surut itu mereka berjalan hilir-mudik dengan obornya. Habis yang seberkas ganti berkas yang lain.
Begitu berturut-turut sepanjang malam sampai habis segala berkas daun kelapa kering sebagai obor yang dibawanya itu.
Mereka mendapat ganti. Daun kelapa yang telah habis itu kini berganti wujud menjadi benda yang mereka cari sepanjang malam dengan susah payah itu yakni ikan.

“Jadi mereka itu sedang mencari ikan, susi ?”
“Ya, mereka mencari ikan.”
“Apakah ikan-ikan itu tidak lari bila matanya silau oleh obor-obor pencari ikan itu ?”
“Ach tidak. Kebanyakan ikan-ikan itu malah berlomba mendekati obor sehingga mudah sekali menangkapnya. Yang biasa ditangkapnya itu ialah ikan cumi-cumi, gurita, ikan-ikan karang, kerang/siput.
Selain ikan mereka juga mencari sayur laut ( Rote =  latu).
Hasil perolehannya itu biasanya sebagai lauk-pauk untuk diminum dengan nira lontar/tuak di pagi hari hingga hari siang. Pagi-pagi mereka pulang berbondong-bondong lagi, membawa barang yang hanya diperoleh bila rajin mencarinya sepanjang malam.
Kini mereka berjalan seperti laskar yang memperoleh kemenangan yang gilang-gemilang dari medan pertempuran.
“Apakah pekerjaan mereka itu hanya mencari ikan itu saja ?”
“Tidak ! Pada waktu siang ada diantara mereka yang menjadi gembala yang menggembalakan sapi.
Ada juga yang menjadi pemikul pasir, pedagang kecil, petani dan sebagainya. Hasil pencahariannya itu mereka makan sendiri. Kalau ada lebihnya baru mereka jual.

Mereka tak dapat hidup dengan mencari ikan begitu saja, sebab ikan itu hanya dapat dicari pada waktu-waktu laut surut airnya saja. Pada waktu-waktu bulan purnama raya air laut selalu pasang dan tak ada seorangpun yang akan mencari ikan dengan obor kelaut.
Juga musim barat, ialah musim angin dari sebelah barat, orang tidak pergi mencari ikan sebab gelombang terlalu besar. Sebentar lagi kira-kira pada permulaan bulan Januari musim barat mulai. Pencari-pencari ikan mulai berhenti mencari ikan.
Hari makin larut. Embusan angin dingin telah terasa pada kulit kami. Kami berjalan pulang. Rumah-rumah telah sepi. Penghuni-penghuninya pada sudah tidur. Tak ada suara ribut-ribut. Kota Ba-a, kota yang sangat kecil ini sangat tenang seperti kota yang mati. Sebentar-sebentar hanya terdengar depakan-depakan suara sayap kelalawar yang mengantar impian orang-orang yang telah tidur, keatas menuju langit. Dari jauh terdengar gonggongan anjing-anjing—dikampung memanjang menyedihkan dan mengingatkan orang perantau, kepada tanah airnya yang jauh ditinggalkan.


Perayaan Tahun Baru di Ba’a,  Pulau Roti & Adat Berciuman

Hampir tengah malam letusan-letusan masih menghebat. Baik letusan-letusan dengan senjata api, yang tentu saja diisi patrum mesiu tanpa peluru, maupun letusan-letusan dengan meriam bambu atau dengan korek api buatan anak-anak. Malam itu bising telingku mendengar letusan-letusan yang bersahut-sahutan yang kadang-kadang berbunyi dari sampingku benar.
Jam 24.00 tengah malam letusan-letusan itu berhenti sama sekali.
Malam itu lebih tenang, lebih gagah dan lebih berjiwa dari pada malam-malam yang lain.
Dimalam buta itu pintu-pintu rumah penduduk Ba’a yang beragama Kristen, sebuah demi sebuah terbuka.
Dari dalam rumah itu memancar sinar-sinar lampu keluar.
Sebentar lagi penghuni-penghuni rumah itu keluar dengan berpakaian rapi. Banyak diantara pakaian-pakaian yang mereka pakai itu masih baru, dibuat untuk dipakai pada malam yang berbahagia ini.
Setelah mereka keluar, pintu ditutup lagi.

Kota Ba’a, kota kecil yang tak pernah kenal akan kehidupan malam.
Kota yang tidur kalau matahari telah tenggelam, kini hidup dan bangun dimalam buta ini.
Jalan-jalan penuh sesak dilalui hamba-hamba Tuhan.
Mereka berduyun-duyun menuju gereja. Gereja “Kunci Tahun”, dan menyambut “Tahun Baru”.
Pendudk Ba’a kebanyakan beragama Kristen.
Dari itu banyak sekali orang yang keluar rumah pada tengah malam 31 Desember.
Sebentar saja gereja-gereja telah penuh dan atapnya bergetar oleh suara nyanyian hamba-hamba Tuhan yang ada dibawahnya.
Puji-pujian untuk Tuhan yang telah memberi hidup kepada mereka sampai saat itu.
Atap bergetar makin keras dan suara pujian lolos meninggalkan gereja memanjat awan menuju Tuhan.

“Tahun Lama- telah berlalu”, setelah mendapat ucapan selamat jalan dari penduduk Ba’a.
Detik-detik dan menit-menit pertama dari “Tahun Baru” telah mereka nikmati didalam gereja, suatu tempat yang selalu mengingatkan mereka kepada Tuhan yang telah menciptakan “waktu” yang sekarang sedang mereka nikmati itu.
Paginya, tanggal l Januari, rumah bu Winvried Tungga penuh dengan tamu-tamu.
Aku pergi juga kesana akan berjabatan tangan dengan seisi rumah temanku itu akan memeberi “Selamat Tahun Baru”.
Yang datang banyak sekali berganti-ganti.
Aku duduk bercakap-cakap dengan bu Winvried dan tamu-tamu yang kebanyakan belum kukenal itu.
Kursi tidak ada yang kosong lagi. Semua telah diduduki tamu-tamu.
Tak lama kemudian diluar rumah terdengar ada serombongan tamu yang akan masuk.
Melihat akan ada tamu lain masuk dan melihat kursi telah penuh ini, maka tamu-tamu yang sudah duduk dan bercakap-cakap  itu segera berdiri minta diri kepada tuan rumah, meskipun percakapan belum selesai dan minum belum habis diminum.
Mereka semua berdiri dan berjabatan tangan minta diri.
Mereka tahu kalau mereka  tidak meninggalkan rumah itu dan tamu-tamu itu masuk, tentu tamu-tamu yang baru datang ini tidak akan mendapat tempat duduk.
Kalau terjadi demikian tuan rumah dan tamu-tamu-baru, yang tidak mendapat kursi untuk duduk itu, akan malu.

Meski pun begitu aku belum mau pulang, sebab aku tahu kursi-kursi yang telah ditinggalkan oleh tamu-tamu lama masih sangat mencukupi kalau ditempati oleh tamu-tamu baru itu.
Jumlah yang pergi lebih banyak dari pada jumlah yang datang.
Setelah tamu-lama keluar semua, maka rombongan tamu baru masuk seorang demi seorang dengan sangat hormatnya.
Rombongan tamu-tamu itu tidak terdiri dari sekeluarga.
Kebanyakan teman dengan teman yang secara kebetulan bersamaan berjumpa dijalan hendak kesini.
Seorang laki-laki masuk berjabat tangan dengan om Willem Tungga, kemudian berjabat tangan dengan mama, lalu dengan bu Winvried Tungga dan kemudian dengan susi Esterina Tungga.
Tamu-tamu hanya berjabatan tangan dengan keluarga rumah yang didatangi saja.

Ketika tamu laki-laki tadi sedang berjabat tangan dengan nyonya rumah, maka dibelakangnya menyusul seorang tamu wanita berjabat tangan dengan om Willem  Tungga, kemudian  dengan nyonya rumah.
Kecuali berjabat tangan, tamu wanita tadi berciuman dengan nyonya rumah.
Kemudian berjabat tangan dengan bu Winvried, lalu berjabat tangan serta berciuman dengan susi Esterina. Dibelakang tamu kedua ini, tamu ketiga wanita juga.
Tamu wanita ini juga berjabat tangan dengan om, berjabat tangan serta berciuman dengan susi Esterina. Segala tamu laki-laki berjabatan tangan saja.
Sedang tamu-tamu wanita ini juga  berjabatan tangan dengan laki-laki dan berjabatan tangan serta berciuman  dengan sesama wanita.
“Bu Win, apakah hanya rombongan tamu ini saja berciuman ?”, tanyaku dengan suara lembut kepada bu Winvied Tungga.
Tidak !
Segala tamu-tamu wanita berciuman dengan wanita isi rumah.

Jadi kalau nanti ada rombongan tamu lagi dan didalam rombongan itu ada wanitanya, tentu wanita itu akan berciuman juga dengan Mama dan Esterina seperti sekarang.”
Susi Esterina sibuk sekali. Dia membawa talam besar dan mengambil gelas-gelas kosong bekas tempat minum tamu-tamu yang telah pergi tadi.
Setelah itu ia keluar lagi berbisik-bisik dari telinga-ketelinga tamu yang seorang ketelinga tamu yang lain sambil tersenyum.
Kini aku telah tahu  apa yang dibisikkan oleh susi Esterina itu.
Tak lama antaranya dia keluar dengan talam besar yang berisi gelas-gelas dengan jenis-jenis minuman : bir, kopi, kopi susu, teh dan limun.
Setelah minuman dihidangkan kepada para penggemarnya, dia masuk lagi dan keluar dengan membawa kue-kue. Kue-kue itu diedarkan.
Suasana makin meriah.
Tidak lama antaranya datang lagi dua orang tamu suami istri. Belum lama, tamu suami istri itu duduk, diluar terdengar ada rombongan tamu datang. Rombongan ini besar. Tamu-lama minta diri, juga tamu suami istri yang baru saja duduk itu. Kalau minta diri mereka berjabatan tangan lagi dan wanitanya berciuman lagi.
Kemudian rombongan tamu-tamu baru masuk. Begitu terus-menerus. Tamu berganti-ganti.

Adat Bertamu Pada Hari Raya & Toleransi Beragama

Kira-kira jam 12.30 (setengah satu siang)  tidak ada tamu yang datang lagi.
Tentu saja tamu-tamu itu sengaja tidak mau  datang pada jam itu untuk memberi kesempatan makan dan tidur/istirahat siang kepada tuan rumah.
“Mama, kebiasaan berciuman itu apakah hanya terdapat pada wanita Kristen saja disini ?” tanyaku kepada mama, nyonya rumah.
“Terdapat pada semua wanita disini”.
Baik Kristen, Islam, Budha, Tinghoa, dan Animis.
Tamu-tamu yang datang tadi tidak ada seorang pun yang beragama Kristen. Yang “beta” (saya) maksudkan dengan “Kristen” ialah Protestant, Advent, Pantekosta dan sebagainya.

Jadi tamu-tamu tadi ialah orang-orang yang beragama Islam, Budha, Animis dan orang-orang Tionghoa yang bukan Kristen.
Seperti bapak lihat tadi, mereka toh berciuman juga dengan “beta” (saya) dan dengan nona.*) Nona = panggilan kepada anak gadis. Dalam kalimat ini “nona” maksudnya “anak beta yang gadis”.
Jadi ciuman itu bukan  kebiasaan agama kami, tetapi kebiasaan setempat di pulau  Roti ini.
“Mengapa tidak ada tamu-tamu yang beragama Kristen seorang jua pun ? Pada hal keluarga disini keluarga Kristen dan lagi tanggal l Januari ini ialah Hari Raya Kristen”.

“Begini, pak”, kata susi Esterina, kami di Roti ini berusaha sedapat-dapat untuk bersatu dan saling menghormati. Bersatu dan saling menghormati dengan tidak memandang kelainan suku, kelaianan bangsa, kelaianan penderian dan kelaianan Agama. 
Jadi pada hari raya Kristen seperti sekarang ini, orang-orang yang bukan Kristen datang kepada kami untuk menyampaikan ucapan selamat.
Mereka, tidak kami undang minta untuk datang kemari dan menyampaikan selamat, tidak ! Sekali-kali tidak.
Tetapi mereka sendiri ingin menghormati kami, datang kerumah kami memberi ucapan selamat.
Nanti pada hari-rayanya mereka, kami akan bergiliran memberi ucapan selamat kepada mereka  juga. 
Pada l Syawal misalnya, orang-orang yang bukan Islam, termasuk juga kami orang Kristen, datang  kerumah orang Islam menyampaikan ucapan selamat.

Pada hari raya Tionghoa, orang yang bukan Tionghoa datang mengucapkan selamat kepada orang-orang yang sedang merayakan hari rayanya itu.
 Begitu seterusnya.
Jadi dengan jalan itu, kita  orang-orang  yang berdiam di pulau Roti yang sangat kecil ini, dapat selalu bersatu.
Bersatu meskipun kita terdiri dari berbagai golongan.
Ini adalah salah satu jalan, untuk menunjukkan bahwa kita bersatu.
Dalam hal ini jika orang Kristen, akan menderikan gereja baru.
Bilamana orang-orang yang bukan Kristen mendengar berita ini, terus saja mereka menyampaikan sumbangannya.
Ada yang menyumbang tiang, atap dan sebagainya.
Begitu juga kalau orang Islam disini akan menderikan  sebuah masjid, kami orang Kristen menyumbang juga.
Sekarang bapak tahu bahwa untuk bersatu, orang-orang Roti tidak melihat agama, bulu dan keyakinan seseorang.
Memang kita sama-sama manusia, harus bersatu dan saling hormat-menghormati.”
Kalau begitu baik sekali pendirian dan kebiasaan orang Roti itu.
Dalam hal ini saya lihat adanya perbedaan dengan orang-orang di Kota-kota besar.

Dikota-kota besar, Hari Raya Kristen dirayakan oleh orang Kristen saja. Kalau ada orang yang beragama lain mengucapkan selamat kepada orang-orang Kristen oleh karena, ia teman yang sudah sangat akrab/karib.
Tetapi, susi, kalau orang-orang yang seagama apakah tidak usah hormat-menghormati lagi disini ?”, kataku.
“Sudah barang tentu !”
“Tetapi saya lihat tidak seorang Kristen pun yang datang kemari mengucapkan selamat.”
“Pada hari ini dan besok semua orang Kristen tinggal dirumahnya saja, untuk menerima tamu yang bukan beragama Kristen.

Jadi pada hari ini dan besok tidak ada seorang Kristen pun yang akan menjadi tamu.
Baru hari ketiga, orang Kristen pergi kerumah orang Kristen juga untuk saling memberi Selamat.
Begitu juga pada l Syawal orang-orang Islam menjadi tuan rumah dahulu menerima tamu-tamu yang bukan beragama Islam.
Setelah kurang lebih dua hari dan tamu-tamu yang bukan Islam sudah memberi selamat semua, baru orang-orang Islam saling bertamu mengucapkan selamat hari raya.
Dengan omong-omong itu, aku tak merasa bahwa hari sudah siang.
Aku pulang kepesanggrahan. Soreh harinya mulai jam empat tamu-tamu sudah mulai datang lagi.
Rumah orang Kristen ramai lagi. Setelah matahari terbenam rumah Om Willem Tungga terang-benderang. Tamu-tamu datang bergiliran. Tamu-tamu itu terdiri dari segala macam lapisan masyarakat yang tidak beragama Kristen.

Kepala-kepala kantor, pedagang-pedagang, tukang kopra, tukang air, polisi, pelajar-pelajar dan sebagainya adalah tamu-tamu Non Kristen selama hari pertama dan hari kedua Hari Raya.
Namun bagi yang Non Kriten yang belum sempat datang memberi selamat hari raya pada hari-hari pertama dan kedua, tidak menutup kemungkinan kepada mereka untak boleh datang pada hari-hari setelah itu.
Rombongan demi rombongan mereka itu datang.
Jalan-jalan di Ba’a penuh dengan rombongan-rombongan tamu yang hilir mudik masuk rumah keluar rumah, saling memberikan ucapan selamat
Kota Ba’a pada hari-hari demikian itu penuh dengan orang berlalu-lalang pergi memberikan selamat kepada sahabat-sahabat mereka.

Makin lama makin gelap dan Ba’a, kota yang tidak ada lampu-lampu listrik di jalanan, pada waktu itu terang karena sinar-sinar yang keluar dari lampu senter-senter rombongan tamu-tamu tadi.
Kota Ba’a kini hidup pada waktu malam.
Kehidupannya berlangsung terus.
Makin malam tamu-tamu makin banyak.
Baru setelah kira-kira jam 23.00 malam turunlah tamu-tamu terakhir.
Pada hari ketiga baru orang-orang Kristen keluar meninggalkan rumah mereka untuk mengucapkan selamat kerumah-rumah keluarga, handai tolan dan kenalannya sesama orang Kristen.

Perayaan Hari Ulang Tahun di Roti
Hari Raya Tahun Baru sudah berlalu, jadi sekarang sudah tidak ada tamu-tamu lagi. “Nanti beberapa bulan lagi, baru saya  ajak bapak kepedalaman pulau Roti untuk bertamasya”, kata Winvried.
“Kira-kira tanggal berapa ?’
“Coba saya lihat penanggalan/kalender dahulu”, katanya sambil bangkit menuju kalender yang tergantung didinding. Tiba-tiba katanya ;
“Eh, hari ini hari-jadinya Magdalena Fanggidae.
Beta (saya) belum dapat menentukan tanggal berapa kita kepedalaman itu “bu,” lalu katanya kepada ayahnya :
“Papa, mama, Es, hari ini hari jadinya Magdalena FanggidaE !”
Dari dalam, susi Esterina keluar dan terus memeriksa kalender;
“O ya ! katanya, “mari kita bersama-sama pergi kesana !”
Bu (broer = kakak) Winvried masuk akan berganti pakaian. Aku bangkit memeriksa penanggalan itu.
Banyak sekali tulisan-tulisan tangan yang dicatat disitu.
Hari itu tanggal 23 Januari. Pada angka 23 ini terdapat tulisan tangan; “Magdalena FanggidaE.” Kemudian pada tanggal 27 ada catatan “Welhemina Dethan”; Lembaran kalender kubuka dan kini halaman Pebruari yang kulihat. Pada halaman ini banyak juga catatan.
Pada tanggal 11; “Christofel Nunuhitu”, pada angka l7; Johana Rotte”, dan begitu juga pada lembaran bulan Maret, April, Mei, sampai lembaran Desember.
Bu Winvried kemudian keluar dari kamar setelah berganti pakaian.
“Bu, kita bersama-sama pergi kerumah Om Adrianus FanggidaE, ya ? Sekarang ini hari jadi anaknya yang bungsu, Magdalena FanggidaE.”

 “Hari jadi itu apa ?”

“Hari jadi ialah hari ulang tahun. Kami penduduk pulau Roti ini biasa merayakan “hari jadi” kami.
Kami biasa pula mencatat hari jadi teman-teman kami atau kenalan kami pada lembaran-lembaran kalender tanggalan.
Pada penanggalan/kalender kami, biasa kami tuliskan nama-nama teman kami yang berulang tahun.
Nama itu kami tulis pada tanggal hari jadinya. Misalnya Magdalena FanggidaE ini, hari jadinya tanggal 23 Januari sekarang ini.
Pada angka 23 bulan  Januari  kami tuliskan namanya : Magdalena FanggidaE.”
Begitu juga nama-nama teman-teman kami yang lain.”
“Bu Winvied, saya sebetulnya tidak berkeberatan pergi bersama-sama, tetapi saya tidak diundang. Apalagi diundang, berkenalan saja belum dengan Om Adrianus FanggedaE itu.”
“Untuk mengunjungi pesta “Hari Jadi,” kita disini tidak perlu diundang dan tidak perlu kenal lebih dahulu.
Saya sendiri tidak diundang.
Tatapi karena saya tahu bahwa sekarang ini ‘hari jadi’ Magdalena, maka saya akan pergi kesana akan mengucapkan selamat berulang-tahun. Kalau kita tidak datang tidak apa-apa juga, tetapi kami senantiasa ingin menghormati tetangga.
Lagi pula sudah menjadi kebiasaan disini.

Pesta ‘hari jadi,’ (Ulang Tahun) tanpa undangan

Bagi yang mengadakan pesta, makin banyak tamu, makin senang sebab berarti makin banyak orang yang menghormatinya atau setidak-tidaknya menaruh perhatian kepadanya.
“Kalau memang begini cara disini, saja tidak keberatan datang kesana. Sekarang berumur berapa Magdalena FanggidaE ini?” “Sekarang ini ‘hari  jadinya’ yang kedelapan, jadi dia sekarang berumur delapan tahun. Dia anak bungsu perempuan.
Kakaknya juga perempuan, namanya Anthonetha FanggidaE, umurnya sepuluh tahun. Kakaknya laki-laki bernama Marthen FanggidaE, berumur 12 tahun. Kakaknya lagi yang sulung  bernama Abia FanggisaE, berumur 21 tahun.”
Setelah siap semuanya kami berangkat. Mula-mula kami menuju ke-toko akan membelikan sesuatu untuk hadiah ulang tahun. Ditoko, susi Esterina, Mama dan om Willem Tungga asik memilih barang yang kira-kira disenangi oleh anak perempuan yang berumur delapan tahun.
Bu Winvried membeli tas sekolah dan aku membeli sekotak pensil berwarna. Rumah om Adrianus FanggedaE terang-benderang.

Didalam terlihat beberapa orang tamu duduk pada kursi yang diatur melingkar membelakangi dinding. Melihat rombongan kami datang, maka om Adrianus FanggidaE menyambut kami.
Dibelakangnya berdiri tanta/tante dan dibelakangnya, Magdalena FanggidaE. Om Willem Tungga berjabat tangan dengan tuan rumah, nyonya rumah dan dengan Magdalena. Kemudian mama berjabat tangan dengan om Adrianus , kemudian berjabat tangan dengan nyonya rumah.
Setelah berjabat tangan mereka berciuman.. Setelah itu mama mencium Magdalena dan memberikan bungkusan yang berisi tanda mata.
Kemudian susi Esterina Tungga berbuat demikian juga. Lalu menyusul bu Winvried dan akhirnya aku.
Kami duduk diserambi. Belum lama kami duduk itu datang lagi serombongan tamu.
Tamu makin banyak yang datang. Tamu-tamu itu ada yang kenalan om Adrianus FanggedaE, ada kenalan tanta, kenalan bu Abia Fanggidae, Marthen FanggidaE, Anthonetha FanggidaE, dan terutama kenalan dan teman-teman Magdalena FanggidaE sendiri.

Tamu-tamu yang masih muda lebih senang duduk diluar, dihalaman.
Teman-teman bu Abia dan teman-teman dik Marthen banyak juga yang datang, laki-laki dan perempuan. Pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi itu juga duduk diluar.
Mereka kebanyakan membawa gitar dan banyo.
Kira-kira setengah delapan malam tamu yang beragama Kristen bersama-sama menyanyikan pujian-pujian bagi Tuhan yang telah mengaruniai umur sampai delapan tahun dan telah mengaruniai kebahagiaan kepada Magdalena FanggidaE.
Tamu-tamu yang bukan Kristen berdiam diri saja, dan tenang menghormati orang-orang yang sedang bernyanyi dan beribadat itu.

Setelah habis menyanyi dan membacakan Kitab Suci Injil, pendeta menguraikan panjang lebar terima kasih seseorang bila diberi umur panjang.
Dikatakannya pula, mudah-mudahan Tuhan mengaruniai Magdalena, sehingga dapat berulang-ulang merayakan ‘hari jadinya (ulang tahun)’.
Beberapa orang tamu menyambut uraian pendeta dengan ucapan selamat yang panjang lebar juga.
Sesudah segala sambutan-sambutan selesai maka ada seorang yang mengambil mangkuk yang sejak tadi terletak dimeja dihadapan pendeta. Mangkuk itu kosong, tertutup sehelai saputangan putih.
Seorang demi seorang tamu-tamu didekati oleh orang yang membawa mangkuk kosong itu.

Orang-orang yang didekati memasukkan uang kedalamnya. Setelah orang yang membawa mangkuk itu persis didepanku, aku turut juga memasukkan uang kedalam mangkuk itu.
Orang itu dengan sabar mendekati tamu-tamu itu seorang demi seorang sampai sekalian tamu-tamu memasukkan uang kedalam mangkuk yang  dibawanya itu.
Mangkuk yang tadinya kosong, sekarang telah penuh dengan uang.
Dihadapan pendeta, uang itu dihitung. Setelah dicatat berapa rupiah yang didapatnya itu, maka uang itu disimpannya. Uang yang terkumpul itu disebut uang kolekte, yang  disumbangkan ke gereja melalui bapak Pendeta.
Sekarang dari dalam rumah, keluar beberapa nona-nona (gadis-gadis) yang membawa minuman dan kue-kue untuk tamu-tamu. Dihalaman terdengar musik terdiri dari gitar dan banyo saja.
“Untuk siapa uang didalam mangkuk itu tadi, bu Win?”
“Untuk gereja. Untuk dana gereja. Kecuali sumbangan tetap dari anggota-anggotanya setiap hari minggu, gereja juga mendapat uangnya dari  dengan jalan seperti ini tadi.”

Musik, Dansa dan…. Makan

Di pulau Roti pemain-pemai musik itu tidak memungut bayaran.
Pada pesta-pesta, orang tidak usah ribut-ribut mencari musik. Musik itu akan datang sendiri dari teman-teman. Orang-orang Roti, lebih-lebih orang-orang Ba’a, hampir semua atau sebagian besar dapat bermain gitar atau banyo. Mereka sejak kecil hidup dilingkungan gitar atau banyo.
Boleh dikatakan dalam tiap rumah ada sebuah gitar. Yang pandai-pandai bermain gitar tidak terbatas pada orang-orang Kristen yang sering menyanyi di gereja saja, tetapi juga oleh orang Islam, Budha dan lain-lain lagi.
Ada juga seorang dua orang yang mempunyai biola.
Kebanyakan dari mereka pandai bermain gitar, banyo, atau biola, tetapi tidak tahu teori musik sama sekali, sehingga mungkin sekali aku belajar dari mereka.
Musik dihalaman terus mengalun lagu berganti lagu. Nona-nona membawa minuman tadi, sekarang keluar lagi.

Mereka membawa piring-piring kosong, senduk dan garpu dan nasi.
Mula-mula kami mengambil piring kosong dan sendok serta garpu.
Setelah itu  maka datang nona pembawa nasi kepada kami.
Kami harus mengambil sendiri nasi itu dari tempatnya.
Lalu menyusul nona-nona yang lain lagi dibelakang yang membawa gulai dan lauk-pauk lainnya.
Nona-nona ini pun tidak menyendukan lauk-pauk yang dibawanya untuk kami, melainkan kami sendiri yang menyenduknya.
Setelah semua orang selesai mengambil, maka berdirilah tuan rumah menyilakan tamu-tamunya makan.
Biasanya sebelum tamu-tamu makan, pendeta berdoa dulu yang intinya berterima kasih pada Tuhan atas berkat berupa sajian makanan itu.
Musik tak mengudara lagi, sebab pemain-pemain musiknya juga sedang makan. Disana-sini terdengar suara senduk menyentuh piring.
Tengah kami makan nona-nona tadi keluar lagi membawa nasi dan lauk pauk bagi mereka yang ingin tambah. Siapa pun tidah usah malu-malu kalau masih kurang, boleh tambah.

Tidak lama kemudian suara musik terdengar lagi. Pemain-pemainnya sudah selesai makan. Sebentar lagi kami pun sudah selesai makan dan nona-nona keluar lagi mengangkat piring-piring yang telah kosong.
Sementara itu disana-sini tamu-tamu berkelompok-kelompok empat-empat orang bermain kartu.
Nona-nona keluar lagi dengan gelas-gelas kecil berisi anggur dan jenever dan sopi minuman beralkohol tinggi buatan orang Roti sendiri dari hasil fermentasi sulingan air nira dari pohon lontar.
Sesudah makan, tuan rumah dengan suara jelas menyilahkan kepada tamu-tamu yang suka, untuk berdansa.
Sampai sekarang di Roti berdansa ini adalah soal biasa.
Berdansa sama saja dengan menarikan kebalai.
Pasangan-pasangan berganti-ganti sehingga memberi kesempatan kepada para tamu untuk  berdansa dengan siapa saja. Mereka berdansa enak saja walaupun orkes hanya terdiri dari gitar dan banyo-banyo saja.
Wals berganti samba, samba berganti wals dan seterusnya.

Hanya dansa-dansa moderen saja yang belum masuk ke Roti, seperti boogie-woogie, Rock and Rool dan sebagainya.
Yang telah lelah, duduk-duduk bermain kartu.
Yang tadi bermain kartu sekarang berdansa.
Begitu berganti-ganti.
Hampir segala lapisan masyarakat Roti dapat berdansa.
Memang pengaruh kebudayaan lebih berurat-berakar dari pengaruh-pengaruh yang lain.
Mungkin ada juga diantara orang Roti yang anti dansa, tetapi tidak pernah menyatakan dengan terus terang dan tidak pernah menentang.
Karena semua orang ingin bersatu dipulau yang kecil itu,  maka yang anti lebih baik diam saja.
Pemain-pemain musik saling bergantian, sebab mereka ingin juga berdansa. Mereka berdansa dengan sopan karena dansa itu mereka anggap suatu kesenian juga.
Gelak tertawa terdengar dari pemain-pemain kartu dan dari orang-orang yang beromong-omong itu. Mereka bermain kartu dan tidak pernah dengan taruhan uang.
Hari makin malam.
Lampu Petromax masih terang benderang dan tamu masih banyak.
Sudah ada juga seorang dua tamu yang telah pulang karena tidak dapat berjaga ( Rote =mete-mete)- (melek)= tidak tidur sampai jauh malam.
Udara sudah dingin.

Lonceng ditangsi Polisi terdengar 2 kali, berarti hari sudah jam dua tengah malam.
Magdalena FanggidaE, anak yang dirayakan ‘hari jadinya’ telah lama tidur. Tetapi tamu-tamu yang merayakannya, masih asyik bermain kartu, bermain musik dan berdansa sambil menunjukkan gayanya masing-masing.“Hari jadi” di Roti selalu ramai begini,” kata bu Winvied setelah duduk disampingku habis berdansa. “Hari jadi”  (HUT) ini menjadi hiburan orang Roti sebab pada hari-hari jadi orang dapat berkumpul bersama-sama, bermain kartu, berdansa dan sebagainya. Jadi karena orang-orang merayakan ‘hari-jadinya’, Roti tidak begitu sepi meskipun tidak ada gedung bioskop.
Coba bayangkan sendiri betapa sepinya Roti ini, kalau kebiasaan merayakan ‘hari-jadi’ disini tak ada.
“Sampai jam berapa orang-orang ini akan pulang ?”
“Ada juga sampai pagi baru pulang. Dulu jaman  penjajah Belanda, ketika orang masih baru mengenal dansa dan masih sangat keranjingan dansa, pesta-pesta ‘hari-jadi’ (Ulang Tahun) selalu sampai pagi. Tamu-tamunya jarang yang suka  main kartu seperti sekarang ini.
Semua tamu pada waktu itu berdansa terus dari soreh sampai pagi tidak kenal lelah.

Tetapi sekarang, orang sudah agak bosan kepada dansa, sehingga banyak yang
 menyelinginya dengan bermain kartu seperti sekarang ini.
“Dulu, ketika orang masih sangat keranjingan dansa itu, tiap-tiap saat ada saja orang yang mengadakan pesta hari-jadi, meskipun hari itu bukan hari kelahiran salah seorang anggota keluarganya.”
“Kalau pesta hari-jadi dimaksudkan untuk memperingati hari ulang tahun, lalu pesta yang diadakan tidak pada hari ulang tahun salah seorang anggota keluarganya, itu dinamakan pesta apa ?”
“Mereka namakan pesta hari-jadi juga.
Dikatakan kepada tamu-tamu bahwa hari itu dia merayakan “hari-jadi kucing” kesayangannya, atau “anjing” kesayangannya, “itiknya”, ayamnya  “Lalu apa maksudnya mengadakan pesta semacam itu ?”“Seperti telah saya katakan tadi, maksud mereka mengadakan pesta hari-jadi kucing dan sebagainya itu hanya untuk alasan supaya mereka dapat memperoleh kesempatan untuk berdansa saja. Tetapi hal yang demikian tidak terjadi lagi sekarang. Orang-orang sudah tidak ada lagi yang merayakan hari jadi kucingnya lagi dan sebagainya, sebab orang-orang sudah tidak keranjingan lagi akan dansa.”
“ O, ya kalau demikian aku mengerti.

Arti Piring Putih & Piring Kembang di Pesta

Tetapi sekarang ada hal lain yang masih menjadikan  pertanyaan besar bagiku.
Mengapa piring saya tadi ketika makan, putih, berlainan dengan piring orang-orang yang duduk disekitarku.
Mereka semuanya berpiring kembang. Orang  yang tadi duduk disudut sana itu piringnya juga putih.
Nona-nona yang membawa lauk pauk yang melayani bu Win tadi juga tidak melayani aku.
Yang melayani aku ialah nona yang melayani orang disudut tadi dan nona itulah yang melayani orang-orang yang berpiring putih yang lain.

Apakah nona-nona itu membedea-bedakan tamu ?

Apakah aku dianggap orang asing yang harus dipencilkan/dilainkan ?”
“Nanti dulu, “bu” (broer=kakak) ! Pertanyaan “bu” itu terlalu banyak. Baiklah saya jawab satu persatu.
Nona-nona itu sebetulnya tidak memilih atau membeda-bedakan tamu-tamu. Segala tamu-tamu akan dilayaninya. Tetapi tamu-tamu disini terdiri dari orang-orang Kristen, Islam, dan lain-lainnya.

Tamu-tamu yang terdiri dari berbagai-bagai golongan ini biasanya dipisahkan menjadi dua golongan, yakni golongan Islam dan golongan bukan Islam.
Pemisahan ini mereka maksudkan untuk memudahkan melayaninya saja. Golongan bukan Islam itu terdiri dari orang-orang Kristen, Buda, Tionghoa dan sebagainya. Piring berbunga untuk tamu-tamu Non Islam.
Yang piring putih tadi ialah untuk orang-orang yang beragama Islam.
Piring putih itu hanya untuk membeda-bedakan makanan saja.
Orang Islam-kan tidak makan daging babi.
Nah, orang yang akan mengadakan pesta ‘hari-jadi’ biasanya disini menyembelih ‘babi’.

Tetapi dia minta tolong kepada salah seorang Islam juga untuk menyembelih ayam dan kambing, untuk menjamu tamu-tamu Islam yang akan datang kepesta ini.  Untuk menyembelihnya dia minta tolong orang Islam.
Orang Islam tidak suka makan daging yang berasal dari binatang yang tidak disembelih secara Islam.
Tamu-tamu yang beragama Islam diberi piring putih. Setelah itu nona-nona mengedarkan nasi. Masakan yang diedarkan itu ada dua macam.
Nona-nona yang membawa masakan Islam ini tentu saja hanya melayani orang-orang  yang memegang piring putih saja seperti “bu” juga.”

Tetapi mengapa saya diberi piring putih ? Apakah dia sudah tahu bahwa saya ini orang Islam ?”
“Orang Roti biasa mencap orang-orang Jawa yang baru datang, Islam. Setelah mereka tahu bahwa orang Jawa, yang baru datang itu juga pergi ke-gereja, baru mereka tahu bahwa orang Jawa yang baru datang itu orang Kristen.
Baru kalau ada pesta lagi, orang Jawa itu diberi piring yang berbunga.
Bukankah kebanyakan orang Jawa itu Islam ? “Bu” disini orang baru. Andaikata “bu” = (broer = kakak) orang Kristen, belum ada juga orang yang mengetahuinya, sebab belum pernah melihat “bu” pergi ke-gereja. Kalau “bu” Kristen memakan masakan Islam tadi akan tidak apa-apa.
Tetapi kalau “bu” Islam dan diberi piring  berbunga tentu dijamu masakan babi.
Setelah tahu, mungkin “bu” akan marah-marah kepada tuan rumah, bukan ?”
“Kalau demikian orang-orang Roti disini mempunyai cara yang baik sekali dalam menjamu/melayani tamu yang berlainan agama dengan warna-warna piring sebagai tandanya.


Dansa

Masih ditengah-tengah percakapan ini, datang kepada kami dua pasang pemuda-pemudi.
Pemudanya meminta kepada kami supaya kami suka berdansa dengan nona-nona yang digandengnya itu.
Inilah cara mereka menghormati tamu. Mereka tahu bahwa aku belum kenal dengan nona-nona disitu, sehingga mereka menyangka aku belum berani mencari pasangan untuk berdansa.
Untuk menghargai penghormatan orang ini, kupenuhi juga permintaannya. Untung aku dapat berdansa.
Terdengar lonceng ditangsi Polisi berbunyi tiga kali yang berarti sudah jam 3.00 pagi. Pada zaman Belanda hingga kini disetiap tangsi Polisi memukul lonceng sebagai tanda jam. Jika jam 12.00, maka lonceng dipukul 12 kali. Ini dilakukan setiap jam. Karena telah larut malam, kami minta diri kepada tuan dan nyonya rumah, untuk pulang.
Sampai aku membalikkan bantalku, masih kudengar irama samba, gitar dan banyo dari tempat pesta “hari jadi’ itu.

Menghadiri Pesta Adat Di-Istana Termanu-Rote Tengah

Tidak lama kemudian telah terdengar suara riuh sekali.
Suara teriakan-teriakan orang bercampur, lagi dengan suara gong-gong yang dipalu dan bercampur lagi dengan suara alat-alat musik.
Orang Rote kalau kegirangan selalu berteriak.
Tetapi teriak girang ini berlainan dengan teriak kesakitan.
Dan teriak yang kami dengar sekarang ini ialah teriak kegirangan. Suara itu datang dari Istana raja Termanu. Kami dari Kota Ba’a dan kini telah sampai di Feapopi, ialah ibu kota kerajaan Termanu itu.
Pich Up kami berhenti dihalaman Istana.
Halaman itu penuh sesak dengan orang.

Mereka adalah rakyat kerajaan Termanu. Orang-orang itu berdiri atau duduk-duduk pada dinding tembok halaman yang rendah dan sebagian lagi berjongkok saja ditanah.
Mereka semua berpakaian seragam. Hampir semua dari mereka memakai topi yang bercorak Rote yang mereka namai : Ti’ilangga. Topi Ti’ilangga ini banyak sekali tugasnya. Tugas yang terpenting ialah seperti topi biasa, yakni untuk melindungi kepala dari panas matahari pada waktu siang hari. Tuganya yang lain ialah menyebabkan pakaiannya menjadi berpakaian lengkap---- karena tanpa Ti’ilangga berarti kurang lengkap------ dan juga menyebabkan adanya keseragaman diantara mereka.
Orang Rote memakai topi yang namanya ti’ilangga ini, dimana saja, tidak saja diluar akan tetapi juga didalam rumah baik siang maupun malam, jika menghadiri sesuatu pesta adat.

Pengaruh Portugis

Kecuali ti’ilangga ini mereka juga memakai baju yang dari potongannya dapat kami lihat bahwa masih ada pengaruh Portugis.
Selain potongan baju, pengaruh kebudayaan Portugis ini dapat kami temui didalam bahasa orang Rote sekarang.
Orang Rote sekarang disamping kata “kursi” mengenal juga kata “kadera.
Terang sekali bahwa “kadera” ini berasal dari bahasa Portugis yang berarti “kursi”.
Sekarang orang biasa menyebut istri guru dan pendeta dengan perkataan “nyora”. 
“Nyora” ini juga berasal dari bahasa Portugis juga yang artinya “nyonya”. Mereka hanya memanggil “nyora” pada istri guru atau pendeta saja, karena pada waktu itu jabatan guru dan pendeta merupakan suatu jabatan terhormat dimata masyarakat.

Perkataan “nyora” ini sampai sekarang ini masih dapat kita dengar di Rote didalam pergaulan sehari-hari.
Sebagai peninggalan dari zaman lampau, dapat kita jumpai meriam-meriam dan senapan-senapan yang menjadi milik orang Roti. Meriam itu bentuknya persis meriam-meriam  yang dapat kita lihat di musium di Jakarta.
Di Roti meriam-meriam itu karena tidak digunakan lagi, dijadikan perhiasan dihalaman rumah atau kantor pemerintah. Senapan yang sangat sederhana bentuknya, sampai sekarang masih banyak terdapat di pulau Roti.
Banyak sekali orang yang memiliki senapan tua dan orang menyebutnya “senapan tumbuk”. Mereka harus menumbuk bahan peledaknya terbih dahulu. Setelah bahan peledak itu ditumbuk padat-padat, kemudian diberi peluru timah atau besi. Kemudian tali api pada lubang pada pangkal senapan tumbuk dibakar.
Terjadilah letusan dan pelurunya terbang menuju sasarannya.
Sampai sekarang orang
-orang Roti  kecuali bersenjatakan parang, membawa juga sanapan-sanapan tumbuk itu kemana-mana saja mereka pergi.

Pakaian Adat

Kecuali topi ti’ilangga dan baju, mereka memakai selimut Rote, yang mereka tenun sendiri. Warnanya merah dan hitam berbunga putih. Selimut itu mereka pakai sebagai kain.
Laki-laki dan wanita memakai kain selimut Rote ini. Pada bahu mereka terdapat selendang Rote. Selendang Rote ini semacam selimut Rote juga, hanya tidak begitu lebar. Pada pinggang mereka  terselip parang. Ada juga membawa senapan tumbuk.. Hampir semua berpakaian begitu.
Pakaian mereka seragam dan tentu saja sangat baik dipandang.
Mereka duduk-duduk dihalaman atau didalam istana.

Alat Kesenian - Tari & Dansa.

Ditengah-tengah halaman ini terdapat sebatang bambu yang ditunjang oleh tiang kuda-kuda (=bersilang). Pada bambu itu tergantung sembilan buah gong dengan nada yang berlainan.
Dibelakangnya, duduk tiga orang pemukulnya.
Disamping gong itu terdapat tambur seorang pemukulnya. Gong Rote kecil-kecil, di Jawa disebut “bende”; sembilan buah bende ini tidak ada yang sama bunyi nadanya. Gong-gong itu tidak dibuat dari kuningan, tetapi dibuat dari drum-drum yang tidak terpakai  lagi.
Drum itu dipotong-potong kemudian ditempa diberi bentuk gong..
Tambur Rote itu sebetulnya gendang. Tetapi berlaianan juga dengan
gendang biasa.Gendang ini berselaput kulit sapi/kerbau sebelah saja (dibagian atas besar), sedang bagian yang lain (ujung bawahnya makin mengecil) berlubang kecil dan tidak berselaput. Gendang yang dinamai tambur ini didirikan dengan bagiannya yang berselaput diatas. Tambur ini bentuknya persisi seperti gendang kepunyaaan orang-orang Afrika yang dapat kita lihat pada film-film. Bentuk bitala di Rote tidak beda dengan bentuk bitala dimana-mana diluar Rote.

Gong-gong itu dipukul dengan kayu jarak putih. Kayu ini tidak begitu keras sehingga tidak menyebabkan rusaknya gong. Ditengah-tengah permainan biasanya kayu itu telah patah/pecah dan orang akan memotong lagi untuk gantinya. Jadi kayu-kayu pemukul gong di Rote tidak pernah disimpan. Kayu-kayu itu sekali dipakai, dibuang. Tamburnya dipukul dengan kayu keras.
Rombongan kami sudah masuk dan semua sudah duduk didalam istana.
Gong dan tambur serta bitala dihalaman sedang dipukul orang.
Teriakan-teriakan girang selalu terdengar. Tambur dipukul orang dengan irama yang sangat cepat.

Orang dihalaman duduk melingkar. Ditengah-tengah lingkaran itu kosong. Ditepinya terdapat tempat gong, tambur, bitala serta pemukulnya. Kemudian salah seorang yang duduk itu masuk kedalam lingkaran itu.
Dia berpakaian adat Rote lengkap (selimut Rote, baju putih berlengan setengah panjang, bersaku besar dikiri dada, berselendang Rote pada bahunya, parang yang terselipkan pada pinggangnya, dan bertopi ti’ilangga).
Kemudian dia memberi hormat kepada para penonton pada semua arah lingkaran dengan membuka Ti’ilangga sebentar/sesaat dan menganggukkan kepala kepada semua orang yang ada disitu.
Setelah itu ti’ilangganya dipakai lagi dan dia kini menarikan tarian yang disebut : “foti”.

Pada foti, orang hanya memainkan kaki saja, yang diinjakkan berganti-ganti kiri dan kanan terkadang sambil melompat dengan cepat sekali. Makin cepat makin baik.
Seperti militer yang diberi aba-aba/perintah : “Lari ditempat dengan cepat sekali !” Demikian irama tariannya.
Inilah semacam tari yang disebut “foti.” Tentu saja ti’ilangga yang dipakai oleh orang yang sedang menari foti itu, harus dipegang erat-erat supaya tidak jatuh.
Tetapi foti ini hanya dilakukan oleh orang laki-laki saja.
Penonton-penontonnya berteriak kegirangan.
Penarinya sendiri juga turut berteriak.
Berteriak karena kegirangan dan berteriak karena bangga.
Sedang ia menari itu, maka masuk seorang lain lagi ketengah lingkaran itu. Setelah memberi hormat, dia ber-“foti”. Kini dua orang berfoti bersama-sama.

Kemudian masuk lagi orang lain kedalam lingkaran itu, berfoti. Foti ini ialah tarian yang mengikuti irama tambur yang dipukul sangat cepat itu, sehingga penari-penarinya lekas sekali lelah.
Belum sampai lima menit, penari meninggalkan lingkaran itu.
Kemudian masuk lagi orang lain kedalam lingkaran itu. Begitu terus berganti-gantian. Suara tambur, gong dan bitala dicampur dengan suara teriakan merupakan suatu paduan suara, yang baru sekali ini kudengar.
Teriakan-teriakan membakar semangat layaknya akan maju kemedan pertempuran perang. Foti ini memang tarian “perang” atau tarian kemenangan sesudah perang melawan musuh.

Pada zaman dahulu sedikit saja persoalan perbatasan dengan kerajaan tetangga, masalah hewan, air untuk persawahan, sering memicu perang antar kerajaan. Setelah kembali dari peperangan itu, maka para pahlawan itu disambut dengan tarian kemenangan yang disebut “Foti” itu.
Didalam istana juga terdengar suara alat-alat bunyi-bunyian.
Tetapi bukan gong, tambur dan bitala, melainkan gitar, banyo, dan biola. Didalam istana orang juga menari, tetapi bukan tari “foti”  melainkan “dansa”.
Dimana-mana di Rote orang suka berdansa asal ada gitar, atau alat musik yang lain. Suara gitar, banyo, dan biola disatu fihak “bertempur” melawan suara gong, tambur, bitala dipihak lain.

Pertempuran suara ini mengakibatkan kesan yang  menyebabkan kami tidak akan melupakan Istana KerajaanTermanu.
Suasana benar-benar seperti suatu pertempuran dimedan perang.
Suara gong, tambur, dan bitala, dihalaman berhenti.
Orang-orang masih berteriak-teriak kegirangan.
Tetapi kali ini iramanya berlainan dengan irama foti tadi.
Sekarang iramanya lambat-lambat, ialah irama “ronggeng”. Orang-orang masih duduk merupakan lingkaran.
Tari ronggeng ini dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan bersama-sama dan dapat dilakukan lebih lama dari pada foti yang lekas sekali melelahkan itu.
Kini maju kedalam lingkaran dua orang wanita.
Mereka berpakaian adat ialah dengan bersarung-kan tenunan  Rote, berbaju selimut Rote dan juga berselendang Rote pada bahunya.
Mereka memberi hormat kepada orang-orang disitu, kemudian mereka mulai menari.

Minuman Sopi & satu cangkir untuk semua

Lalu datang seorang laki-laki ketengah lingkaran itu turut menari.
Kemudian beberapa orang bersama-sama masuk kedalam lingkaran untuk menari.
Diantara tamu-tamu dihalaman itu ada yang dipanggil oleh raja, kemudian diberi beberapa botol “sopi” (wisky Rote) berakohol tinggi, untuk diedarkan kepada tamu-tamu dihalaman itu.
Sopi atau arak sangat disukai oleh orang Rote, dibuat dari sulingan air nira lontar  yang sudah difermentasi (Rote = Laru-bahan baku untuk penyulingan menjadi sopi/wisky).
Orang yang diberi sopi oleh raja, hanya membawa sebuah cangkir dan sopi didalam botol itu saja.
Mula-mula orang itu menuju ketengah lingkaran menemui penari-penari. Kepada salah seorang penari dia berbisik.

Setelah itu penari itu berhenti menari sejenak. Pembawa sopi itu menuangkan sopi kedalam cangkir, kemudian diberikan kepada penari itu.. Setelah ia minum sopi yang diberikan, ia menari lagi. Penari lain masih tetap menari.
Kemudian pembawa sopi, berbisik lagi kepada penari yang lain yang sedang menari dan memberikannya sopi dengan cangkir bekas termannya tadi.
Dari seorang penari ganti kepada penari yang lain pembawa sopi itu, terus saja memberikan sopinya dengan cangkir yang itu-itu juga, tidak diganti dan tanpa dicuci lebih dahulu.
Penari-penari dapat dan diperbolehkan minum ditengah permainan.
Malah penari-penari ini yang mesti didahulukan diberi minuman.

Setelah segala penari-penari ini minum sopi semuanya, maka pembawa sopi itu, kini mengedarkan sopinya diantara tamu dihalaman itu dengan cangkir yang tadi juga.
Dengan sebuah cangkir saja, orang Rote menunjukkan persatuannya.
Kecuali suara alat-alat bunyi, terdengar juga suara nyanyian orang.
Nyanyian ini dinyanyikan oleh seorang laki-laki dengan suara kepala, sehingga suaranya tinggi seperti suara wanita. Nyanyian ini juga membawakan irama bagi penari-penari  ronggeng itu.

Di Jawa penyanyi yang demikian itu disebut :”pesinden”.
Sopi diedarkan terus. Botol-botol menjadi kosong minuman. Orang-orang yang tadi sudah minum, kini mendapat giliran minum lagi, karena orang yang mengedarkan sopi itu banyak dan dimana-mana.
Sebentar lagi disana-sini sudah banyak yang mabuk.
Penari-penari mabuk, pemukul-pemukul gong mabuk dan tamu-tamu pun mabuk. Dengan banyaknya orang yang mabuk itu, halaman makin ramai.
Teriakan-teriakan makin keras dan lama-kelamaan hampir-hampir tidak dapat dibedakan lagi antara teriakan girang dengan teriakan orang mabuk.
Didalam Istana Raja Termanu, banyak juga rakyat yang duduk dikursi. Mereka tidak menghiraukan orang yang mabuk itu.

Permaiana Cincin

Mereka sedang bermain; “mencari cincin/ menebak cincin.
 Mula-mula cincin itu dimasukkan kedalam seutas tali.
Kemudian kedua ujung tali diikat, dihubungkan menjadi satu. Lalu tali yang sudah merupakan lingkaran itu dipegang oleh beberapa orang bersama-sama yang duduk melingkar.
Seorang duduk ditengah lingkaran itu sebagai penebak cincin. Sambil menyanyi, mereka yang memegang tali itu menggerak-gerakkan tangan seperti gerak orang yang sedang memberikan/mengedarkan cincin yang ada pada tali itu, kepada orang yang duduk disebelahnya dan terus saja diedarkan dari tangan seorang, ketangan orang berikutnya begitu macam, sehingga cincin itu tidak dapat dilihat atau diketahui oleh orang yang duduk ditengah-tengah lingkaran itu.

Setelah nyanyian selesai, orang yang duduk ditengah lingkaran itu harus menebak, cincin itu pada tangan  siapa.
Kalau tebakannya tidak tepat maka dia dihukum.
Hukuman ini biasanya berupa perintah menyanyi atau menari.
Sebentar-sebentar hidangan datang. Kalau rokok yang diisap sudah pendek, maka akan disorongkan kepada perokok, beserta koreknya. Kalau gelas minuman kami tinggal separoh isinya, maka datang kepada kami pemuda atau nona-nona menanyakan apakah anda ingin supaya minuman itu ditambah.
Adat di Roti, memanggil gadis biasanya dengan sebutan “nona” kalau seperti  di Jawa “mbak”, di Bali “Mbok”.
Kalau kami masih ingin minum labih banyak lagi,  tidak malu-malu kami katakan itu.
Begitu juga tamu-tamu lain tidak pernah merasa malu-malu sebab mereka sudah merasa dirumah sendiri.

Hidangan Makan & Perbedaan Piring

Warna piring-piring kosong untuk tempat makan para tamu..
Disini pun tamu-tamu dibeda-bedakan menjadi dua  golongan yakni tamu Islam dan tamu bukan Islam. Bagi orang yang beragama Islam diberi piring berwarna putih sedang yang Non Islam piring berkembang atau ada gambar-gambarnya. Di pesta tersebut juga  terdapat 2 lokasi tempat makanan-makanan terpisah, yaitu di satu sisi  khusus untuk yang beragama islam, sedang pada sisi lain tempat makanan untuk umum/non Islam. Pemberian warna piring berbeda untuk memudahkan pelayanan makanan, sehingga jangan sampai terjadi lauk pauknya yang untuk umum akan diberikan juga kepada warga muslim.
Staf musik juga berhenti dan turut makan. Begitu juga orang-orang yang sedang berdansa, berhenti semuanya. Tetapi orang dihalaman masih tetap memukul gong dan tambur, masih tetap berteriak dan masih tetap menari.

Pencak Silat

Kini iramanya berubah dari irama ronggeng menjadi irama langkah, yaitu pencak silat.
Setelah alat-alat musik dipukul orang sementara lamanya, maka maju ketengah lingkaran seorang laki-laki yang akan bermain langkah/pencak silat.
Disini dia menunjukkan langkah bunga-bunga seni permainannya, kemudian dia keluar dari lingkaran itu.
Maju kemuka seorang lain yang nanti didalam permaian langkah/silat akan menjadi lawan orang yang pertama tadi. Orang yang baru maju inipun dengan irama tambur mempertunjukkan langkah bunga-bunga seni permainannya pencak silatnya.
Setelah orang yang kedua ini selesai mempertunjukkan bunga-bunga seni permainannya, maka orang yang pertama tadi maju lagi ketengah lingkaran.
Sekarang permainan langkah/silat dimulai.
Tetapi permainan langkah di Rote ini sangat halus sehingga mirip dengan tari perang pada wayang orang  (Jawa) yang dilakukan oleh Arjuna.

Petik Sasando

Diantara suara tambur dan gong didalam permaianan langkah ini, terdengar juga ada suara alat bunyi-bunyian lain yang datang dari jurusan lain pula.
Bu (Broer) Winvried, kecuali suara tambur, gong dan bitala terdengar juga suara alat bunyi-bunyian yang suaranya mirip sekali dengan suara kecapi.
Itu suara alat bunyi-bunyian apa ?” 
“O, itu suara “Sasando”.
Memang ‘sasando’ itu sangat mirip dengan kecapi, bentuknya maupun suaranya. ‘Sasando’ itu berupa sebuah kayu bulat panjang. Dari ujung keujung dipasang orang, tali-tali kawat yang menjadi senar.
Kedua ujung kayu itu dimasukkan kedalam kotak suara yang dibuat dari daun lontar.

Sasando itu mempunyai 14 senar rangkap dan 12 senar tunggal.
Senar rangkap ini halus untuk membuat nada-nada tinggi sedang senar tunggal besar-besar untuk nada-nada rendah.
Diantara ujung dan pangkal tiap-tiap senar terdapat kayu kecil yang dapat dimaju-mundurkan untuk mencari nada yang sesuai (menyetem nada).
Nada yang dikeluarkan oleh ‘sasando’ ini sangat merdu dan dengan irama ‘sasando’ orang dapat juga menari ronggeng.
Tetapi ‘sasando’ tidak sanggup menghasilkan irama untuk tarian “foti”, tari yang sangat cepat dan lincah itu.”
Kami telah selesai makan. Kemudian kami menuju ketempat orang memetik ‘sasando’.
Disitu hanya orang laki-laki dan wanita, diantaranya yang menari ronggeng. Jadi Istana Raja Termanu pada waktu itu seperti pasar malam yang ramai sekali.
Dihalaman terdapat permainan “foti”, permaianan langkah/silat, didalam terdapat orang-orang berdansa, bermain kartu, bermain mencari cincin, yang dibelakang istana terdapat orang-orang bermain sasando serta menari ronggeng.

 Makan cara Lesehen

Dibelakang istana terbentang tikar yang sangat luas tempat orang-orang makan dan minum. (Dalam istilah Jawa-nya disebut duduk “Lesehan”-duduk dilantai).
Mulai dari jam l9.00 petang tikar itu sudah diduduki orang berganti-ganti.
Tikar itu diduduki oleh orang sekampung.
Seorang kepala kampung mengumpulkan rakyat sekampungnya dan menyuruh rakyat itu duduk. Orang sekampung itu kemudian makan bersama-sama.
Setelah selesai makan, maka diganti dari kampung lain.
Tentu saja yang melayani sangat sibuk sebab dari semua kampung diseluruh kerajaan Termanu itu datang orang-orang yang akan merayakan “hari-jadi” rajanya/ Hari Ulang Tahun itu.
Gong-gong, tambur, serta bitala dihalaman selalu berbunyi sebab pemukulnya berganti-ganti. Kalau  pemukul-pemukul pertama sedang makan, maka datang orang lain yang telah makan menggantikannya.
Semoga Adat-istiadat dan seni-budaya orang Roti ini tetap dilestarikan sebagai salah satu khasanah budaya Nusantara Indonesia.
Demikian kesan dan pengalaman Giyanto, seorang guru SMP Negeri di Kota
pengalamannya kepada kita, tentang berbagai adat istiadat dan seni-budaya Orang Rote.
Penulis:Drs.Simon-Arnold-Julian-Jacob



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.