alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Selasa, 06 Januari 2015

CERITA-CERITA-TRADISIONAL-ORANG-ROTE

Beberapa Cerita-cerita Tradisional Orang Rote
Oleh: Drs.Simon Arnold-Julian-Jacob  

Pengantar

Di pulau Rote (Roti), banyak terdapat ceritera rakyat dalam berbagai bentuknya seperti antara lain hikayat. Cerita  yang kami bukukan ini, adalah baru sebagian kecil saja, sebagai kelengkapan dalam buku ini. Ceritera dan hikayat ini dituturkan secara lisan (sastra lisan) dari generasi ke generasi, diantaranya sudah dibukukan.

Kalau diamati, karya sastra lisan yang disebut hikayat itu mempunyai tiga unsur pokok.
Pertama : unsur rekaan atau fiktif;
Kedua     : adanya unsur kesejarahan ; dan
Ketiga     : adanya unsur yang bersifat biografi.
Ketiga macam unsur ini ada yang dianggap paling menonjol.
Oleh karena itu dapatlah kita menggolongkan hikayat itu menjadi tiga jenis yaitu :

Hikayat rekaan. Di dalam hikayat jenis rekaan, terungkap dengan sangat
menonjol hal-hal berikut :
Pertama berpusat pada istana, seseorang yang di tokohkan, dan tokoh utama ini didalam ceritanya selalu mendapat kemenangan dan akhirnya nasipnya baik. Ceritanya selalu menggambarkan percintaan, peperangan serta adanya makluk halus atau makluk gaib dan jalan ceritanya yang mudah diterka.
Kelihatannya seperti jenis yang untuk hiburan karena menggambarkan hal-hal yang hebat dan menarik, tetapi juga ada nasihat untuk pendidikan.
Kedua, Ada  Hikayat Sejarah. Hikayat jenis ini biasanya menampilkan unsur yang dapat dikaitkan dengan nama tempat yang dikenal umum, atau nama yang dapat dikaitkan dengan tohoh sejarah. Kemudian nama tempat yang terdengar aneh, biasanya diterangkan dengan rekaan yang terasa mengada-ada.   Disamping itu biasanya tidak ada tahun tertentu yang dikemukakan didalam hikayat jenis itu.
Ketiga, Juga ada Hikayat Jenis Biografi. Seperti juga yang kedua jenis tadi hikayat jenis ini selalu menampilkan, nama orang atau nama tempat yang dapat dihubungkan dengan kenyataan. Bedanya di dalam jenis ini penceritaan lebih dipusatkan kepada satu orang tertentu saja  Baik bagi jenis yang kedua maupun ketiga, hikayat yang lebih tua umurnya, lebih banyak bersifat rekaan. Hikayat yang lebih muda tampak tidak terlalu banyak rekaan. Oleh karena itu kalau  kita membaca hikayat yang menggambarkan sejarah suatu kerajaan ataupun yang menggambarkan biografi seseorang, tidaklah dapat kita gunakan pengertian moderen mengenai sejarah dan biografi.

Rekaan Masa Lalu.

Untuk mengenal hikayat libih dekat lagi ada beberapa hal yang perlu diingat betul :
 Pertama : hikayat adalah rekaan. Jadi apa yang diungkapkan di dalamnya tidak dapat diukur dengan ukuran yang nyata, atau ukuran masa kini. Adanya hal-hal yang “tidak masuk akal” bagi orang zaman sekarang hendaknya dilihat sebagai suatu simbolisme atau cara mengungkapkan terselubung yang digunakan oleh si pencerita. Itulah sifat rekaan hikayat.
Kedua :Hikayat juga merupakan cerminan masa lalu. Bahasa yang dipakai pun bahasa daerah/ bahasa lama. Pilihan kata dan gaya kalimatnya tentu saja berbeda dengan keadaan sekarang. Bahasa yang dipakai masih lebih bersifat daerah atau Melayu, yang jauh keadaannya dengan bahasa Indonesia kini.
Oleh karena itu ukuran kita waktu membaca hikayat, janganlah disamakan dengan ukuran ketika kita membaca novel modern. Terlepas dari hal-hal itu, banyak segi pendidikan dan butir kebijakan yang dapat dipetik dari hikayat kita.

Humor Dalam Karya Sastra

Selain yang kita sebutkan diatas, pembaca tentu mengetahui sejenis cirita lama yang bisa disebut dengan nama “Pelipur lara”, yaitu seperti “Cerita Pak Belalang”, Cerita Pak Kadok”. Dalam kekayaan sastra Sunda, pembaca tentu pernah mengenal nama “Si Kebayan”. Cirita-cerita itu secara umum disebut sebagai ‘cerita lucu’, atau ‘cerita jenaka. Bagi kita sekarang pertanyaan yang timbul  adalah “ (a). Apa beda ‘humor’ dan ‘jenaka’ atau ‘lelucon’.; (b). Apa gunanya aspek ‘humor’ di dalam kaya sastra itu ?

Humor, Lelucon, Jenaka dan Anekdot :

James Danandjaya di dalam bukunya tentang “folklor Indonesia” membedakan ‘humor’ dan ‘lelucon’. Di dalam ‘lelucon’ dan juga di dalam ‘cerita jenaka’  (menurut Jumsari Jusug dkk) , lelucon itu timbul karena cerita itu menampilkan ‘kekurangan’, ‘kebodohan’, atau ‘kedunguan’ orang lain atau kelompok lain. Jadi sasarannya adalah ‘orang lain’.
“Humor” lain lagi. Di dalam humor kelucuan itu bangkit karena cerita atau tokoh cerita mengemukakan ‘kekurangan yang ada pada dirinya’, baik  yang berupa kedunguannya, kemalangannya, ataupun keluguannya’.

“Aneknot”, menurut Danandjaja menyangkut ‘kisah fiktif lucu’, pribadi seseorang tokoh atau beberapa tokoh, yang benar-benar ada.
Jadi ceritanya mungkin saja mengada-ada, tetapi tokoh yang dijadikan cerita memang betul-betul ada.
Cerita yang bersifat ‘lelucon’ di dalam sastra kita baik yang berbahasa Indonesia maupun yang berbahasa daerah cukup banyak. Ada yang menggambarkan kebodohan, lelucon mengenai kalangan agama, atau mengenai kelompok tertentu lainnya. Akan tetapi cerita yang bersifat humor, tidak terlalu banyak. Cerita bersifat humor, umumnya mengisahkan kejenakan akibat “kecerdikan” atau kebodohan, kemalangan atau kemujuran tokoh utamanya. Seringkali tokoh cerita digambarkan  sebagai orang yang sangat bodoh dan tidak dapat menangkap maksud orang lain sehingga terjadi kesalah-pahaman. Di dalam sastra Melayu, kita mengenal tokoh ‘Pak Kadok’, di Jawa ada Pak Dungu’, di Bali ada ‘I Belog’ dan Sunda ada ‘Si Kebayan’ yang kadang-kadang digambarkan sebagai ‘orang dungu’.

Menghibur dan Mendidik
Apakah cerita humor itu sekedar menghibur hati saja ?
Apakah cerita itu sekedar memancing tawa atau senyum dari kemalangan atau cacat orang lain? Tampaknya tidak begitu. Di dalam kepustakaan yang disebutkan diatas, Jumsari Jusuf dkk, mengatakan bahwa walaupun cerita humor itu lucu dan isinya menceritakan ‘kepandiran, kelucuan, atau kemalangan’ tokohnya ada beberapa di antaranya yang menceritakan ‘kebijaksanaan’ dan ‘kecerdikan’ (walaupun kadang-kadang disertai “tipu-daya”. Tampaknya di samping menghibur hati, cerita seperti itu dimaksudkan pula untuk ‘mendidik orang’.

Cerita Humor Sumber
Kekayaan Sastra Kita.

Cerita humor merupakan sumber kekayaan Sastra Lisan kita yang belum banyak digali dan diketahui secara luas. Di situ kita dapat menemukan gambaran masyarakat yang dilukiskan di dalam cerita itu. Tindakan raja yang dapat ditafsirkan semena-mena di dalam memutuskan perkara, misalnya akan menghukum mati, apabila pekerjaan orang tidak memberi hasil. Atau ‘nasihat’ yang tersembunyi bagi pendengar (pembaca) agar jangan serakah/rakus, jangan pandir, yangan berputus asa dan jangan menipu orang, ada di dalam cerita seperti itu.
Melihat tersebar dan banyaknya ragam cerita rakyat dan cerita humor itu, kita mendapat kesan bahwa ‘kaum tua’ kita mempunyai cara yang baik di dalam memberi nasihat, yaitu dicampur dengan ‘humor  agar orang tidak menjadi tersinggung perasaannya.
Bagi kaum muda, ada pelajaran yang dapat dipetiknya : cerita humor atau humor di dalam karya sastra memberi kesan, hadapilah persoalan hidup dengan sungguh-sungguh, tetapi juga dengan sikap optimis. (Sumber :Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara II, Dep.Dik Bud, Jakarta, hal.259-263).
Dalam hal bahasa : J.Harold Bruvand (dalam bukunya ,”The Sudy of American Folklore” New York l968)  memberi ciri-ciri tentang Folklore sebagai berikut :

a.    Penyebaran secara lisan yaitu melalui mulut ke mulut yang sering disertai gerakan-gerakan tangan dan kaki.
b.    Bersifat tradisional, disebarkan relatif tetap atau dalam standar.
c.    Ada dalam versi yang berbeda-beda.
d.    Penciptaannya anonim.
e.    Mempunyai bentuk klise seperti misalnya terdapat pada cerita-cerita prosa rakyat (cerita rakyat) menggunakan kata-kata klise, ungkapan tradisional.

Selain itu Bruvand mengemukakan pembagian jenis Folklore yang terdiri dari pada tiga kelompok besar yaitu :
1.Folklore lisan (verbal folklore) misalnya bahasa rakyat, ungkapan-ungkapan tradisional (pribahasa, pepatah), pertanyaan tradisional (teka-teki, puisi rakyat, cerita rakyat, nyanyian rakyat).
2.Folklore setengah lisan (partly verbal Folklore) misalnya, kepercayaan, tahyul, permainan rakyat (hiburan rakyat) drama rakyat, tari adat kebiasaan rakyat, upacara-upacara dan pesta-pesta rakyat.
3.Folklore bukan lisan (non verbal Folklore) misalnya arsitektur rakyat, seni kerajinan tangan, pakaian dan perhiasan rakyat, obat-obatan rakyat, makanan dan minuman, alat-alat musik, peralatan dan senjata, mainan, bahasa isyarat dan musik. (Monografi Daerah Jawa Timur jilid 3, Dep.Dikbud RI, Jakarta,l977, hal.58).
Berdasarkan pada uraian-uraian tersebut diatas, berikut ini dapat kita membaca beberapa cerita/hikayat Rakyat Rote, selain untuk menambah perbendaharaan cerita-cerita rakyat yang sudah ada, maka silahkan pembaca akan menggolongkan masuk katagori yang mana cerita/hikayat-hikayat tersebut, yang kriterianya yang  disebutkan diatas.
  
KARAKTER ORANG  ROTE TERGAMBAR DALAM BERBAGAI CERITA RAKYATNYA

Cerita-cerita orang Rote di bawah ini sebenarnya mau menggambarkan diri  orang Rote itu 
sendiri,  yaitu tentang kecerdikan, ketangkasan, akal yang luar biasa, kepahlawanan, 
kefasikan dalam berbicara, dalam berbagai hal maupun tipu daya  yang tak 
kepalangtanggung, guna mendapatkan keuntungan moriil maupun material  dengan
 logikanya yang tinggi bukan dengan fisik, melainkan mempergunakan akal sehat semata, 
maupun dengan pengorbanan yang sedikit memperoleh keuntungan dan kemenangan yang 
besar. Hal ini seperti  apa yang ditulis oleh Fox  dihalaman-halan sebelumnya, ada 
kebenarannya.
Berikut ini  sedikit dari  sekian banyak cerita orang Rote yang disajikan disini sebagai berikut 

Cerita Rote Tentang “Sangguana”


Kerajaan Thie adalah salah satu diantara l9  (sembilan belas) Kerajaan di pulau Rote. Pada zaman dahulu pernah berperang melawan kerajaan Ndana. Kerajaan Ndana ini ialah sebuah pulau yang terletak disebelah selatan kerajaan Thie ini. Peperangan itu terjadi karena suatu pembunuhan.  Raja Ndana pada waktu itu bernama Takala’a. Permaisurinya berasal dari Thie. Permaisuri ini bersahabat baik dengan adik perempuan Takala’a yang bernama Loela’A.

 Sangguana membalas dendam

Pada suatu hari, Nalesanggu seorang dari Thie pergi ke-pulau Ndana.

Setelah sampai di Ndana ia dibunuh oleh raja Takalaa. Istri Nalesanggu di Thie sedang mengandung. Setelah bersalin anaknya dinamai Sangguana. Bertahun-tahun kemudian, Sangguana telah menjadi besar. Ia menjadi seorang pemuda yang bertubuh tegap dan tanpan.  Pada suatu ketika bertanyalah ia kepada ibunya: “Mama, ayah dimana?” “Ayahmu “Nalesanggu”, ketika ia pergi ke pulau Ndana  bererapa tahun yang lalu telah mati dibunuh oleh Takalaa, raja Ndana.
Mendengar jawaban ibunya yang demikian itu, Sangguana kemudian mengambil parang dan parang itu diasahnya 3 hari 3 malam berturut-turut. Setelah selesai mengasah parang, maka dipotongnya beberapa pohon pisang. Sekali ayun, putus semuanya. Kemudian ia bertanya pada ibunya. “Andaikata orang yang di penggal dengan parang ini apakah akan putus atau tidak?”  “Tentu saja putus.”
Lalu dipotongnya seberkas pelepah lontar, kemudian tanyanya kepada ibunya : “Kalau tulang orang, putus atau, tidak.” “Tentu putus juga karena parangmu sangat tajam.”
Kemudian ia menyerbu kepulau Ndana membawa seekor kerbau yang telah dicat merah, putih, hitam yang dikendarainnya sebagai pengganti perahu.
Orang Ndana belum pernah melihat kerbau, lebih-lebih kerbau yang berwarna merah, putih, hitam itu. Setelah tiba di Ndana, oleh Sangguana  kerbaunya itu disuruh berkubang didanau O’Ehendo. Penduduk kerajaan Ndana semua pergi melihat kerbau itu. Juga semua penjaga-penjaga benteng istana turut juga melihat kerbau itu. 
Istana Ndana tertutup oleh benteng. Jalan masuk hanya sebuah dan sempit sekali. Orang-orang diistana, hanya raja, permaisuri dan Loela’A, saja, semuanya  berlari ketempat kubangan melihat kerbau berwarna itu.  Karena isi istana hanya tinggal 3 orang saja, maka Sangguana menyerbu kedalam. Raja Takala’a dibunuh. Permaisuri dan Loelaa disuruh berdiri dipintu gerbang.  Oleh Sangguana, istana itu dibakar hingga musna semuanya. Kemudian ia pergi kepintu gerbang menyusul permaisuri dan Loela’A. Melihat asap berkepul-kepul  diistana  itu, maka rakyat Ndana yang sedang asik melihat kerbau dikubangan itu, berlarian menuju istana akan memberikan pertolongan memadamkan api.  Karena pintu gerbang istana sangat sempit, maka mereka masuk seorang demi seorang. Dibalik pintu gerbang itu, Sangguana menanti dengan parang tajam ditangannya, sambil memancung seorang demi seorang sampai semua rakyat Ndana habis musnah terbunuhnya.

Setelah istana menjadi abu, permaisuri, Loela’A, dan Sangguana mengendarai kerbau sebagai pengganti perahu kembali ke kerajaan Thie di pulau Rote. Sejak dari peristiwa itu pulau Ndana menjadi daerah Thie  sampai sekarang. Kecuali Loela’A, tidak ada seorang Ndana-pun hidup. Loela’A kemudian kawin dengan pemuda Thie.  Anak-anak mereka menamakan dirinya keturunan Ndana, meskipun yang berdarah Ndana adalah ibunya Loela’A. Sejak terjadinya peristiwa itu pulau Ndana tidak ditempati seorang jua pun.  Beberapa tahun setelah peristiwa itu terjadi, maka anak raja Kerajaan Termanu meminang anak raja Thie. Siapa nama-nama mereka sudah tidak diketahui lagi dengan jelas.

Anak raja Thie menuntut “belis” (mas kawin). Belis yang dituntut anak raja Thie adalah apa saja yang hidup. Menurut ceritanya, anak raja Termanu dapat menyediakan “belis “ itu. Binatang-binatang yang dijadikan belis itu banyak yang disembelih untuk pesta
perkawinan. Sepasang rusa yang diberikan juga oleh anak raja Termanu, di seberangkan kepulau Ndana yang kosong tanpa penghuni / penduduk itu.
Disana di lepaskan dan hidup seperti di hutan. Orang tidak usah khawatir rusa itu akan hilang. Sepasang rusa itu hidup dan berkembang biak makin lama makin banyak dan sekarang rusa itu sebagai penghuni pulau Ndana yang terutama. Rusa di Ndana banyak sekali. Siapa saja boleh memburunya tetapi harus dengan  seijin raja Thie. Jika diberikan ijin, pemburu itu harus membayar  dengan uang Belanda, 12 golden kekantor raja Thie.

(Catatan / Usulan penulis) :  Pulau Komodo (di Flores) tempat reptil Raksasa Komodo, jika pada suatu ketika, persediaan makanan Komodo berupa kijang dan babi hutan telah habis, yang dapat menyebabkan musnanya binatang Komodo tersebut, maka sebagai gantinya, mulai dari sekarang dapat memindahkan binatang Komodo itu secara bertahap ke Pulau Ndana-Rote yang sangat limpah dengan binatang rusa/kijang, karena  pulau ini tidak berpenghuni, sehingga Komodo ini dapat hidup dengan lestari, aman, tanpa mendapat gangguan dari manusia.
Untuk itu perlu dibentuk suatu team yang terdiri dari para ahli baik dari Indonesia ataupun dari lembaga-lembaga Internasional yang berkecimpung dalam Swaka alam, untuk meneliti lingkungan alam  pulau Ndana ini, sebagai suatu alternatif  habitat baru untuk binatang purba Komodo  yang hampir habis binatang buruannya karena Pulau Ndana ini sangat kaya dengan rusa/kijang. ”SEMOGA”  

Cerita Rakyat Rote tentang “BE LANA.”

Ada seorang ayah bersama istrinya, mereka mempunyai dua orang putra.  Pada suatu hari yang kakak mengajak adiknya untuk menjerat ayam hutan. Ajakan kakaknya disetujui adiknya, oleh sebab itu segala sesuatu yang diperlukan disiapkan antara lain, lima utas tali dan sebuah pisau. Persiapan yang dikerjakan kedua anak tersebut sama sekali di luar pengetahuan orang tuanya, karena keinginan mereka tidak disetujui. Setelah selesai persiapan, diam-diam keduanya meninggalkan rumah, berjalan menuju tempat yang dikehendaki. Oleh karena tempat yang dituju agak jauh, sedang waktu sudah mejelang petang, maka langkahnya dipercepat.  Setelah melewati sebuah gunung sampailah mereka disuatu tempat yang mempunyai semak-belukar. Di situ banyak terdapat ayam hutan. Dengan cepat pula mereka meneliti tempat-tempat yang biasa dilalui oleh ayam hutan, dan disitulah mereka mulai memasang jerat-jeratnya.

Oleh karena sudah biasa dalam hal ini, maka dalam waktu singkat pekerjaan memasang jerat itu selesai.  Kemudian kembalilah mereka. Setibanya di rumah, dan selama di rumah,  sekali pun disibuki dengan beberapa tugas, namun sama  sekali tidak menghalangi pikiran mereka dari jerat-jerat yang dipasang di sebelah gunung.
Sepanjang malam keduanya selalu membayangkan jerat-jerat mereka dan selalu mengharapkan agar cepat siang, supaya ayam-ayam hutan mulai mencari makannya, terutama di tempat-tempat di mana jerat-jerat mereka dipasang.
Demikianlah keadaan suasana pikiran kedua anak tersebut hingga tiba saatnya untuk pergi menyaksikannya.
Setelah hari menjadi siang, sekalipun disibuki dengan tugas di rumah, pikiran mereka selalu membayangkan apa nasip mereka, apakah sial atau untung, sambil menanti saat petang hari untuk keduanya pergi menyaksikan jerat-jerat tersebut. Setelah hari menjelang petang, keduanya terus saja menghilang dari rumah, tanpa diketahui oleh kedua orang tuanya.  Keduanya mulai berjalan dengan cepat menuju tempat tersebut, dan berhasil jerat-jerat mereka sesuai apa yang mereka harapkan.
Namun ternyata jerat  adiknya berhasil menjerat seekor ayam jantan merah, sedang jerat kakaknya berhasil menjerat seekor burung tekukur. Suasana senang meliputi keduanya, namun karena perasaan yang lebih besar adalah adiknya, sedangkan kakaknya merasa sedikit kecewa karena apa yang diharapkan tidak berhasil.
Maka timbullah iri hatinya terhadap adiknya.. Namun sebelum ia mencetuskan iri hatinya terlebih dahulu ia membujuk adiknya agar ayam ditukar dengan burung tekukur. Mendengar bujukan pertukaran ini, berkatalah adiknya, “Saya tidak mau, sebab jerat saya yang mendapat ayam ini dan sayalah yang harus memilikinya, sedang jerat kakaklah yang mendapat burung tekukur jadi burung tekukurlah yang menjadi milikmu.”  Namun demikian kakaknya terus saja membujuk adiknya  agar ayam  ditukar dengan tekukur tetapi adiknya tetap pada penderiannya semula.
Oleh sebab itu kakaknya lari meninggalkan adiknya, sehingga adiknya tersesat di jalan.  Karena hari telah gelap, terpaksa ia mencari jalan sendiri dan akhirnya ia tiba pada sebuah rumah di tengah hutan.  Penghuni dari rumah itu adalah seorang nenek tua bernama Be Lana.  Mendengar isak tangis anak kecil, Be Lana keluar dari rumahnya untuk melihat siapa sebenarnya  yang menangis itu.  Ternyata yang dilihatnya adalah seorang anak kecil  yang sedang membawa seekor ayam jantan merah.
Be Lana merasa berbangga karena tidak disangka-sangka dan tidak bersusuah payah mencari makanan yang enak, tetapi makanan yang enak tersebut telah datang sendiri, yaitu anak kecil tersebut.
Adapun makanan yang biasa dimakan Be Lana adalah daging manusia terutama daging anak kecil.  Dengan bujukan yang halus Be Lana memanggil anak itu masuk kedalam rumahnya karena hari telah gelap. Anak tersebut tangisnya makin menjadi-jadi karena pikirannya bahwa pasti yang membujuknya  adalah Be Lana pemakan daging manusia, seperti yang biasa diceriterakan oleh orang tuanya.  Namun tak ada jalan lain yang harus ditempuhnya melainkan menyerah pada nasibnya. 

Akhirnya anak itu masuk bersama Be Lana ke dalam rumah tersebut.
Be Lana  mendekati anak itu membujuknya agar tidur dan makan di situ. Nanti besok pagi akan diantar kembali kerumahnya.  Untuk memikat hati anak tersebut Be Lana memasak makanan yang enak-enak untuk diberikan kepada anak tersebut disamping itu ia terus membujuk anak itu dengan kata-kata halus, pada hal dalam hatinya merasa senang karena anak tersebut merupakan makanan yang paling enak baginya.
Setelah selesai diberi makan, maka Be Lana menyuruh anak tersebut masuk ke dalam sebuah kamar yang telah disiapkannya agar anak tersebut dapat tidur dan Be Lana mengikat pintu kamar itu dari luar.  Sepanjang malam anak itu tak dapat tidur, karena merasa takut karena ia pasti dibunuh oleh Be Lana dijadikan makanan enak baginya dan di samping itu ia berusaha mencari jalan agar dapat keluar dari rumah tersebut dan melarikan diri.  Kesusahan anak itu diketahui oleh ayam hutan yang dibawanya itu. Oleh sebab itu ayam tersebut berkata kepada anak itu, bahwa janganlah dia takut sebab dia akan menolongnya asal jangan  dibunuh.  Mendengar kata-kata dari ayam tersebut, ia berpikir tak mungkin ayam ini dapat menolongnya.

Namun ayam itu terus berkata kepadanya bahwa jangan takut dan jangan menangis,  yakinlah bahwa saya akan menolongmu.  Menjelang siang anak tersebut dikejutkan karena suara dari Be Lana yang sedang menggigau, sambil berkata, “Saya telah memberi engkau makan yang enak, nanti besok pagi saya akan membunuhmu dan dagingmu kujadikan makanan yang enak”. Mendengar kata-kata tersebut perasaan takut dan sedih anak itu menjadi-jadi. Anak itu mulai menangis dengan sedihnya mengenang nasipnya yang malang itu. Tetapi ayam jantannya selalu saja berkata : “Jangan engkau takut dan menangis, sebab saya akan menolongmu”.   Setelah menjelang pagi, anak itu mendengar Be Lana bangun dari tidurnya  dan mulai mengasah pisau dan parangnya.  Tidak lama kemudian Be Lana  membuka pintu kamar tersebut dan memindahkannya dari kamar itu ke atas loteng rumahnya.
Setelah itu  Be Lana  menyiapkan serapan pagi untuk anak tersebut, sambil merencanakan agar kebunnya hari itu dapat dibersihkan oleh orang-orang kampung di sekitarnya. Sesudah Be Lana membereskan  semua pekerjaannya di rumah, maka Be Lana  menyampaikan maksudnya kepada orang-orang di sekitarnya agar kebunnya  hari itu dapat dibersihkan.  Maka orang-orang tersebut mulai membersihkan kebun itu dengan harapan  bahwa anak tersebut akan dibunuh dan dijadikan makanan yang enak. Sementara itu Be Lana  mulai sibuk dengan memasak  lebih dahulu makanan yang lain. Anak kecil yang berada di atas loteng  makin merasa sedih mengenang nasibnya yang malang itu, tetapi ayam jantan yang merah itu berkata kepadanya : “Ambillah pisaumu dan lubangi atap rumah ini”.

Anak itu mulai mengikuti perintah ayamnya.
Dengan cepat anak itu mulai melubangi atap itu, setelah selesai anak itu keluar bersama ayamnya dan duduk diatas atap rumah tersebut.  Lalu ayam jantan itu berkata kepadanya, “Jika Be Lana hendak menangkapmu  maka engkau memegang leherku erat-erat agar saya dapat menerbangkanmu  dari tempat ini”. Anak itu menjawab, “Baiklah, terima kasih, saya merasa sangat bersyukur atas bantuanmu”.
Setelah menjelang siang  Be Lana datang hendak mengambil anak itu akan membunuhnya agar dagingnya  dapat dimasak untuk orang-orang yang mengerjakan kebunnya itu. Setelah dibukanya pintu loteng  Be Lana sangat terkejut dan disertai kata-kata yang kotor karena ternyata apa yang disangka-sangka  tidak terjadi, ternyata harus terjadi, karena anak tersebut telah menghilang dari loteng dan dilihatnya hanya sebuh lubang di atas atap rumahnya. Segera Be Lana turun dari loteng dan langsung berlari ke luar rumah untuk melihat di sekitar rumahnya kalau-kalau anak itu masih disekitar rumah tersebut.  Ternyata anak itu berada di atas atap rumah bersama ayam jantannya.

Setelah Be Lana melihat anak itu di atas atap rumahnya, ia merasa bersyukur dan dengan hati yang girang ia langsung naik ke atas atap rumah untuk menangkap anak itu.  Sementara itu, ayam jantan itu berkata, “Peganglah leherku erat-erat karena kita sekarang hendak terbang”.
Pada saat Be Lana telah dekat, ayam jantan itu pun berkokok satu kali dan langsung terbang bersama anak itu. Dengan merasa sangat menyesal dan dengan hati yang gerang, Be Lana mengejar ayam dan anak itu sambil berteriak-teriak minta bantuan dari orang-orang yang bekerja di kebunnya itu. Namun usaha pengejaran  itu sia-sia  belaka, karena  setiap kali mereka berusaha menaiki pohon yang dihinggapi ayam jantan itu, tetapi ayam jantan bersama anak itu diterbangkan ke pohon yang lain. 

Akhirnya mereka menjadi putus asa dan kembali kerumah Be Lana. Orang-orang itu sangat marah kepada Be Lana karena mereka harus makan tanpa ada lauk, tetapi kebun dari Be Lana telah selesai dibersihkan.  Oleh sebab itu mereka beramai-ramai menangkap Be Lana  lalu dibunuhnya. Setelah Be Lana meninggal dunia mereka semua merasa lega walaupun hari itu mereka makan tanpa lauk.  Sementara itu ayam jantan tersebut terus terbang mencari rumah dari anak yang malang itu..
Setelah beberapa kali terbang berputar-putar  diatas kampung anak itu, tak lama anak itu mengenal rumahnya dan ayam jantan itu pun merendah dan hinggap di atas sebatang pohon dekat rumah anak itu. Kini mereka melepaskan lelah sambil mengenang nasib malang yang  lalu dan nasib untung yang mereka capai. Sedang keduanya bercakap-cakap di atas pohon, terdengarlah suara percakapan mereka oleh kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya ke luar dari rumah mereka dan melihat keatas pohon ternyata anaknya yang hilang itu telah kembali bersama seekor ayam jantan  merah.  Dengan rasa girang kedua orang tuanya menurunkan anaknya bersama ayam jantan itu dari atas pohon, sambil mencium anaknya yang dikira bahwa anaknya itu telah dimakan oleh Be Lana. Setelah mereka mengantar masuk anaknya dan ayam jantan itu ke dalam rumah, maka anak itu pun mulai menceriterakan peristiwa yang telah dialaminya itu.
Kedua orang tuanya  merasa gembira dan mengucap terima kasih kepada ayam jantan itu karena telah menolong meluputkan/melepaskan anaknya dari genggaman Be Lana.
Ayam jantan merah yang telah berjasa itu dipeliharanya baik-baik.  Dan kedua anak mereka dipanggil dan diberi nasehat agar kerukunan hidup berkakak-adik harus berkasih sayang satu sama lainnya,  dan tidak boleh berjalan kemana-mana jika tidak meminta ijin terlebih dahulu kepada orang tuamu. (Ceritera rakyat daerah Nusa Tenggara Timur, Dep.Dik.Bud, Jakarta,l982, hal, 61-65).     

Cerita Rakyat Rote-Ndao
Tentang Kire Oli

Pada zaman dahulu kala antara penduduk di Pulau Sabu dengan penduduk di pulau Ndao, biasa terjadi hubungan kawin mawin. Pulau Ndao  adalah pulau kecil yang terletak di sebelah Timur  Sabu dan di sebelah Barat Pulau Rote. Adat kebiasaan suku Ndao, serta budi bahasanya tidaklah jauh berbeda dengan adat dan kebudayaan  suku Sabu.   Hingga masa kini,  masih nampak benar persamaan-persamaan adat dan budaya dari kedua suku bangsa ini.  Konon menurut cerita sejarah bahwa suku Ndao yang ada sekarang ini, adalah suku Sabu yang telah bermukim dan telah menetap di pulau itu dan sekarang disebut suku Ndao. Tersebutlah pada zaman dahulu bahwa di pulau Ndao hiduplah seorang pemuda yang bernama Kire Oli.  Pemuda ini berasal dari keluarga berada. Keluarga Kire Oli mempunyai harta pusaka.  Mereka mempunyai kebun sirih pinang, kebun kelapa, kebun jeruk, kebun tuak / lontar, dan mereka  mempunyai bidang sawah,  ladang yang luas, dan kaya domba.

Keluarga ini terpandang dan di segani dalam masyarakat Ndao, lagi pula mereka mempunyai sebuah perahu layar yang dapat berlayar ke pulau-pulau lain.  Sudah tiba saatnya pemuda ini berumah tangga,  namun hingga umurnya mencapai kurang lebih tiga puluh tahun ia belum juga menikah. Kedua orang tuanya berkali-kali menganjurkan kepadanya supaya ia cepat mencari jodoh, namun ia selalu menolak dan mengatakan, saatnya belum tiba. Pada suatu hari kedua orang tuanya itu memanggilnya. “Kire Oli anaku tercinta, kapankah engkau ini ingin berkeluarga. Ayah dan ibu ini sudah tua dan sedikit waktu lagi akan tiada.  Kami berdua telah rindu ingin melihat engkau berkeluarga.
Ketahuilah olehmu bahwa kami orang tua akan sangat kecewa apabila anak satu-satunya yakni engkau ini belum juga menikah sewaktu kami masih hidup.”

Demikianlah kata orang tuanya kepadanya.
Pada suatu malam bulan purnama Kire Oli mendatangi kedua orang tuanya dan berkata, “Ayah dan ibu”, “Saya telah lama ingin berkeluarga, dan telah mencoba mencari seorang wanita pendamping hidupku di negeri Ndao ini, tetapi tiada seorang pun yang berkenan di hatiku. Rupanya Deo Wata atau Tuhan yang Maha Kuasa menentukan jodoh saya di seberang laut. Oleh sebab itu saya bermaksud akan berlayar ke pulau-pulau lain untuk mencari jodoh. Saya akan berangkat dari sini menuju Kalo Kota. Di sana akan mencari jodoh saya, memenuhi hasrat ayah dan ibu. “Relakanlah saya untuk maksud ini oh ayah dan ibu.”

“Kalau demikian kehendakmu nak, ayah dan ibu akan merelakan engkau pergi. Pesan ayah dan ibu, isilah perahumu itu penuh dengan bekal atau muatan. Bila engkau bertemu jodoh di sana di negeri orang, hati-hatilah memilihnya. Carilah olehmu,  “do namada Koro Iki jangan memilih  do namada  kor AE, do badha wa habbo ode maidda mahilo”. Masih banyak lagi pesan-pesan dari kedua orang tuanya dan semua pesan-pesan itu didengarnya dengan cermat.. Ia mengisi perahunya dengan bekal dan muatan yang secukupnya dan kemudian berangkat bersama-sama anak buah perahu.
Di Kolo Kota, Holo Kataga dan Kebihu Rai Wa, tidak di ketemukan jodoh yang dicari. Dan terakhir perahu Kire Oli berlabuh di Rai Hawu atau Sabu, di pelabuhan Boddo.
Untuk menyatakan maksud hatinya ia menghubungi Mone Ama dan Bangngu Udu di pulau Sabu.

Mone Ama dan Bengngu Udu menerimanya dengan cara adat Sabu.
Setelah mengetahui maksud hati Kire Oli, Bangngu dan Deo Roi mengundang semua penduduk baik tua maupun muda untuk berkumpul di kampung Boddo. Kemudian maksud hati Kire Oli dijelaskan kepada mereka dalam sebuah pengumuman singkat.
Isi pengumuman itu, mengharapkan kepada seluruh muda mudi di negeri itu untuk bersedia mengadakan sayembara Petu Huta dengan seorang pemuda dari tanah seberang (dari negeri Ndao). Demi tujuan ini Deo Rai dan Bangngu mengadakan suatu malam Hiburan Rakyat di Sabu. Acara-acara yang mengisi malam Hiburan itu antara lain; menyabung ayam, Pehere Jara (lomba Tell Kuda) Pedoa (Sabu dance) serta Tarian Ledo.  Pada saat-saat keramaian itulah diadakan sayembara Petu Huta dengan si pemuda Kire Oli.

Tujuh hari tujuh malam diadakan sayembara Petu Huta di Boddo.
Tetapi belum ada seorang pun yang berkenan di hati Kire Oli. Maka Deo Rai dan Bangngu Udu (pemuka adat dan penguasa) mengulangi lagi pengumuman tersebut agar semua pemuda pemudi baik yang kecil maupun yang besar datang mengikuti dalam sayembara tersebut. Siapa tahu Deo Wata (Tuhan Yang Maha Kuasa)  akan berkenan.  Tak lama kemudian datanglah seorang ibu bersama anak perempuannya.  Nama anak itu Hemado Lena.  Ia berumur sembilan tahun.
Setelah diadakan sayembara Petu Huta, ternyata Hemado Lena-lah yang memenangkan  sayembara ini, dan karena itu ia berhak di kawini oleh pemuda Kire Oli yang datang dari negeri seberang. Tetapi suatu halangan terjadi, karena Hemado Lena  masih belum dewasa untuk suatu usia perkawinan.  Maka diadakanlah mufakat dengan keluarga Hemado Lena, agar untuk sementara diadakan upacara Lolela (pertunangan) sambil menunggu sampai gadis itu mencapai usia dewasa.  Setelah tercapai kata sepakat, maka di langsungkanlah upacara Lolela tersebut.  Lima tahun lagi Kire Oli  akan datang dan merampungkan upacara perkawinan itu.

Segala muatan perahu yang dibawa dari Ndao di turunkan untuk keluarga  Hemado Lena. Beberapa hari kemudian Kire Oli kembali ke negerinya dengan suka cita besar, karena telah menemui jodohnya ditanah seberang, di tanah Sabu. Walaupun Hemado Lena sendiri belum menangkap makna Petu Huta, keculai ibu dan bapaknya.
Di rumah keluarga Hemado Lena dipelihara seekor kera betina. Menurut cerita kera itu ditangkap oleh ayah Hemado Lena di hutan Kelara ketika beliau sedang berburu. Di Sabu, hutan Kelara dianggap sebagai hutan keramat hingga sekarang ini. Kera ini menurut cerita bukanlah kera biasa melainkan seekor kera sakti penjelmaan dari istri dewa Lugi Liru yang telah dikutuk karena pelanggaran, dan telah dibuang di hutan Kelara.

Kera itulah sekarang di pelihara keluarga Hemado Lena.
Pada waktu upacara Lolela Kire Oli dan Hemado Lena, kera itu turut pula menyaksikannya. Maka timbullah niat jahat dalam hatinya untuk merusak hubungan perkawinan itu dan ingin pula menggagalkan perjodohan itu. Lima tahun berlalu dan Kire Oli bersiap-siap datang untuk melangsungkan perkawinan dengan Hemado Lena.
Kabar tentang pinangan atas dirinya telah dimakluminya. Oleh sebab itu ia bermaksud akan memperlengkapkan dirinya dengan bermacam-macam ketrampilan seperti tenun-menenun, teknil ikat motif dan teknik celup-celupan. Dan ini akan dipelajarinya dari nenenya Wennyi Hari Juda di Aikepaka. Pada suatu hari ia menghadap orang tuanya katanya, “Ibu dan ayah tercinta, saya telah besar dan dewasa, tetapi saya merasa bodoh dalam segala hal. Saya bermaksud pergi kepada nenek di Aikepaka untuk belajar seni ikat motif, celuo-celupan dan tenun-menenun.

Relakanlah saya, ayah dan ibu demi hari depanku nanti”.
“Benar anakku, apa yang engkau inginkan, ibu dan ayah  merelakan engkau pergi belajar”. Tetapi ada yang ku-minta pada ayah dan ibu  bunuhlah babi yang  paling besar  yang terikat di kandang itu, untuk nenek Wannyi Hari Juda di Aikepaka, supaya beliau mencurahkan kepandaiannya kepada hamba. Niscayalah nenek akan senang mengajarnya”. Atas permintaan Hemado Lena, maka babi besar itu pun dibunuh.
Dagingnya diantar sendiri oleh Hemado Lena, dan sejak itu Hemado Lena  dengan resmi belajar pada neneknya di Aikepaka. Pada waktu di sembelih babi itu, kera jelmaan itu mulai memainkan peranannya.
Ia menghilang dari rumah dan mengikuti Hemado Lena dari belakang.  Ia senantiasa mengganggu Hemado Lena di jalan dengan rupa-rupa gangguan.  Ia menakut-nakuti Hemado Lena dengan roh-roh jahat hingga gadis itu takut dan lari cepat-cepat tanpa menghiraukan lagi daging yang dibawanya. Daging banyak yang jatuh dan dipungut oleh kera dan dilahapnya.  Setelah Hemado tiba, neneknya Wannyi Hari Juda  sedang menenun.  Ia menegur sang nenek dan barang-barangnya diturunkan. Sang nenek melepaskan pekerjaannya dan menyambut cucunya.  “Nek! Saya datang kepada nenek untuk belajar segala ilmu kepandaian dan ketrampilan dari nenek.  Ajarilah saya, ya nek”, rengek Hemado Lena. “Nenek merelakan engkau dan segala sesuatu akan kuturunkan kepadamu. Kaulah satu-satunya cucu nenek yang manis dan cantik dan sangat nenek sayang”.  Setelah itu Hamedo Lena pergi ke tempat menenun dan menggantikan neneknya menenun.

Begitulah pekerjaan cucunya setiap hari. Kera yang mengikuti Hemado Lena dari belakang bersembunyi di atas pohon di belakang rumah dan mengawasi setiap gerak-gerik Hemado Lena. Pada suatu hari, setelah Hemado Lena sebulan bekerja pada neneknya, Kire Oli tiba dari tanah Ndao. Kabar kedatangan Kire Oli dari tanah Ndao terdengar pula oleh nenek Hemado Lena,  demikian juga oleh si kera.  Kali ini Kire Oli datang menyelesaikan  perkawinan dengan Hemado Lena yang telah  dipinang lima tahun yang lampau.  Dengan gembira Kire Oli menuju ke rumah Hemado Lena.
Segala perlengkapan dari negeri Ndao seperahu penuh diturunkan dan dibawa ke rumah Hemado Lena. Kire Oli amat rindu melihat kekasihnya yang lima tahun lalu di tinggalkannya masih kecil.
“Ayah dan Ibu tercinta? Di manakah adikku Hemado Lena?  Saya rindu ingin melihat wajahnya”.  Jawab mereka:” Adikmu saat ini sedang belajar menenun di rumah neneknya Wannyi Hari Juda di Aikkepaka.  Sabarlah! Berita kedatanganmu telah disampaikan ke sana, dan mungkin tak lama lagi dia akan tiba di rumah”. “Tidak, ayah dan ibu, saya harus menjemputnya sekarang juga”, jawab Kire Oli.

Lalu ia berangkat dengan seorang anak perahu.  Kera ajaib itu telah mengetahui segalanya-galanya. Ia telah mengetahui bahwa Kire Oli akan datang menjemput Hemado Lena  hari itu dan ia telah siap-siap dengan segala kesaktian yang ada padanya untuk merebut Kire Oli dari tangan Hemado Lena. Tiba-tiba saja kera sakti ini berubah ujutnya  menjadi manusia.  Ia berteriak memberi tahu pada Hemado Lena yang sedang asyik menenun. “Kire Oli telah  datang! Kire Oli  telah datang dari Ndao Wolomanu.  Berbahagialah engkau Hemado Lena. Itu... ia telah datang menjemputmu:”. Mendengar teriakan gadis asal kera itu yang tiba-tiba saja sudah berada di depannya itu, maka Hemado Lena lari dari tempat tenunannya  dan bersembunyi di atas loteng rumah neneknya.  Secepat kilat gadis baru itu tadi (kera-ajaib jelmaan itu) telah berada di tempat tenun menggantikan Hemado Lena yang telah lari keatas loteng rumah. Hemado Lena sendiri telah disihirnya sehingga tidak dapat berbuat apa-apa. Wajah gadis asal kera  itu hampir serupa dengan Hemado Lena.  Bedanya ialah bahwa Hemado Lena  mempunyai tanda khusus pada badannya sejak lahir yakni, dongo moto pa danni ode, warru pa tanga Erai. Tanda-tanda ini tidak dapat diwujudkan karena itu merupakan karunia Tuhan bagi Hemado Lena. Gejala keajaiban itu tadi tidak disadari oleh siapa pun  kecuali kera itu sendiri. Begitu Kire Oli tiba, ia langsung membelai gadis yang sedang asyik menenun. Dikiranya itulah gadis Hemado Lena pujaannya, yang lima tahun lalu dipinangnya. Gadis itu sangat cantik dan menawan hatinya. “Sungguh asyik adik menenun;  berhentilah sejenak agar tidak kecapaian”.

Seperti lasimnya seorang gadis menegur dengan sombong dan manja ia menjawab ; “ Untuk apa engkau mengomentari pekerjaanku? Apa hubungan pekerjaanku dengan kedatanganmu?” Kire Oli tidak berkata membalasnya; tetapi ia tersenyum dan memandang wajah gadis itu dengan pandangan penuh kasih dan cinta. Mendengar ada suara laki-laki di luar sang nenek menanyakan, “Hemado Lena, siapakah yang berbicara kepadamu?  Kenapa begitu kasar engkau membalasnya;  Belum sempat Hemado Lena membalasnya sang nenek telah keluar dari dalam rumah. Dan dilihatnya seorang pemuda telah berdiri  di dekat Hemado Lena  yang sedang menenun. Kire Oli memperkenalkan diri ;  “Saya adalah Kire Oli dari negeri Ndao, datang untuk menjenguk nenek dan adik Hemado Lena”.  “Bicaralah yang sopan dan ramah. Ia datang ke Sabu adalah karena dirimu”,  kata nenek.
Nenek tidak menduga bahwa yang menenun itu bukan Hemado Lena, yang sebenarnya, karena  wajah gadis itu serupa dengan wajah Hemado Lena. Segala keajaiban dan tipu muslihat yang terjadi tidak disadari oleh keluarga Hemado Lena dan nenek Wannyi Hari Juda. Tibalah saat perkawinan mereka dilangsungkan. Pesta perkawinan di rayakan dan di meriahkan oleh rupa-rupa tarian. Banyak orang hadir pada pesta itu. Walaupun yang menjadi penganten wanita sesungguhnya adalah seekor kera yang telah menjelma menjadi manusia yang telah merubah wajahnya seperti Hemado Lena.  Dialah yang sekarang menjadi istri Kire Oli secara resmi.  Hemado Lena  sendiri tak dapat berbuat apa-apa  karena telah disihir.  Setelah pesta perkawinan  telah berakhir  Kire Oli  dan rombongan bersiap-siap  untuk kembali kenegerinya di Ndao.
Pada hari keberangkatannya mereka dengan hormat  memohon diri pada ayah dan ibu Hemado Lena. Si istri masih meminta lagi seorang pembantu kepada ayah dan ibunya yang dipilihnya sendiri.  Ia mengatakan bahwa ia mengingini seorang gadis  yang bersembunyi di loteng rumah  nenek Wannyi Hari Juda, nama gadis itu Hera Alure.
  Gadis tersebut  di turunkan  dengan paksa  dari loteng dan ia pasrah pada nasibnya. Ia menangis mengenangkan nasibnya yang malang. Setelah lepas pantai  angin tidak bertiup  lagi.  Dan perahu diombang-ambingkan ombak kian ke mari sehingga tidak bertambah maju.  Menurut kepercayaan, keadaan perahu yang demikian pasti ada penyebabnya.  Setelah diteliti sebab musababnya ternyata nyonya dan budaknya lah  yang menjadi penyebabnya. Karena itu  nyonya disuruh bernyanyi ; Bunyi lagunya :  “Ku, kahhe-Ku, Kahhe Dakka ngalu, badji dahi, Koko Kowa Kire Oli Ruma Lamodai  o o o”. Tetapi perahu itu tetap tidak bergerak dari tempatnya dan tak dapat maju walaupun ia telah Hoda (bernyanyi) berulang kali. Akhirnya pembantu itu disuruh Hoda (menyanyi). Ia mulai menyanyi dengan sedih katanya : 
“Wo Kire Oli Rumalama dai ee, Tai ei ya, pa lobo rano  ana ya, Dake dee atto are doke botte atto ubu. Hi tao au makke paya rowi ya, hakku mejaddi ya ta do ammu ddau lere kode ma ihi rai Dao”.

Ø  Arti dari Hoda/nyaniannya:
Ø  “Oh Kire Oli, sungguh kejam engkau
Ø  Demi cintamu aku jadi menderita
Ø  Aku sesungguhnya sangat berbahagia
Ø  Dalam rumah gendang, ibu bapak dan nenekku
Ø  Demi cintamu engkau telah membawa aku kemari
Ø  Menjadi seorang hamba sahaya dari seekor binatang
Ø  Kera yang tidak tahu akan dirinya, Aku sangat menderita
Ø  Karena perbuatanmu”.

Setelah pembantu melagukan nyanyiannya, angin  kencang mulai bertiup dan perahu itu berlayar semakin laju. Kira-kira berjalan kurang dari empat jam, pembantu (Hera Alure) membisikkan kepada dewa Luji Liru supaya memerintahkan angin berhenti bertiup, dan perahu itu tinggal tetap di tempat. Jurumudi menentukan lagi nyonya untuk Hoda (menyanyi) tetapi tanpa hasil.  Kemudian budak itu diminta lagi untuk Hoda. Selesai Hoda, perahu berlayar lagi dengan amat cepat. Demikianlah keadaan perahu Kire Oli. Apabila sang nyonya yang disuruh Hoda, perahu tidak berjalan, tetapi ketika si budak menyanyi, perahu berjalan dengan cepat. Setelah dua hari berlayar mereka tiba di pelabuhan Ndao. Dari jauh orang telah melihat kedatangan Kire Oli.  Di negeri Ndao orang telah bersiap-siap menyambut sang Ratu.

Istana Kire Oli dihiasi dengan bunga-bunga  beraneka warna dan keramaian berlangsung secara meriah. Jalan menuju pintu masuk dibentangi dengan tikar-tikar yang indah. Diatas tikar diatur secara rapih deretan-deretan piring dan mangkuk. 
Deretan piring yang diatur di sebelah kanan jalan di untukkan bagi Permaisuri, dan deretan mangkuk di sebelah kiri jalan untuk pengikutnya/pengiringnya.  Hal ini untuk mengetahui  apakah permaisuri itu  berasal dari  keturunan bangsawan ataukah ia seorang rakyat biasa.

Dan terjadilah suatu yang aneh.
Piring-piring yang diinjak sang Ratu semuanya pecah, sedangkan mangkuk-mangkuk yang diinjak/dipijak oleh pengikutnya tidak satu pun  yang pecah. Semua orang yang hadir dalam penyambutan itu menjadi heran, mengapa terjadi demikian. Tiga hari tiga malam diadakan pesta pora.  Kire Oli dan nyonya (kera siluman) tampak gembira  sedang Hera Alure (Hemado Lena-asli) yang di perbudak Ratu, menangis sepanjang hari. Pada suatu hari sang nyonya  menegur, “Hai Hera Alure  mengapa kerjamu hanya menangis saja. Apa yang engkau susahkan. Tidak sadarkah engkau bahwa engkau adalah pelayan?  Apa saja yang kuperintahkan dan dimana saja harus engkau kerjakan.
Tidak perduli apakah engkau dalam keadaan sehat, sakit, susah atau pun senang. Engkau adalah budakku mengerti”.
Hera Alure merasa sangat sakit hati karena bentakan itu. Di Ndao pada waktu itu tengah berlangsung musim padi menguning. Sangat di butuhkan tenaga untuk menghalau burung-burung pipit yang datang menghabiskan padi.  Sudah banyak tenaga yang dikerjakan untuk menjaga padi disawah  Kire Oli, tetapi burung-burung bertambah mengganas.  Maka permaisuri mengusulkan agar Hera Alure di suruh pula menjaga padi di sawah.  Usul itu di setujui Kire Oli dan Hera Alure  pergi menjaga padi di sawah.
Selama tiga hari ia menjaga padi  hampir tidak ada burung pipit yang mengganggu padi Kire Oli.

Pada hari yang keempat timbullah niat jahatnya.
Ia ingin membalas dendam kepada Kire Oli dan Permaisurinya karena perlakuan atas dirinya yang tidak wajar.  Dan ia merasakan betapa rindunya pada orang tuanya dan neneknya  Wennyi Hari Juda di kampung halamannya. Maka di panggilnya segala binatang untuk menghabiskan padi Kire Oli. Demikian tuturnya dengan manteranya sbb : “Wo badda jara, badda kebao, wawi kii, woruha toga, mai kowe ma pe alle ne Kire Oli, Ne Kita Rihi hedui pa ya ne wole pejaga ma are no”. Dan permintaannya, di kabulkan dewa, (Segala kerbau, kuda, kambing, domba, rusa, serta segala binatang menghabiskan  padi itu hanya dalam waktu sehari).

Semuanya lenyap. Pada pagi hari orang-orang  yang telah  bangun dari tidurnya  dan memandang ke arah sawah Kire Oli , mereka mengetahui bahwa tidak ada sebatang padi pun yang tersisa di tengah sawah, maka tersiarlah berita  sampai Kire Oli dan permaisuri bahwa sawahnya telah licin tandus di makan binatang hutan. Hera Alure melarikan diri ke pelabuhan dan mengambil sebatang kayu dan di rubahnya menjadi sebuah perahu kecil.  Ia menumpangi perahu itu dan berlayar menuju negerinya di pulau Sabu. Hera Alure memanggil dewa laut dan dewa angin untuk menolongnya  dalam perjalanan. Sehari saja ia telah tiba  di pulau Sabu.  Di adukannya  segala hal ihwalnya kepada orang tuanya, bahwa dahulu ia telah di tipu oleh sang kera, dan bukannya ia yang dinikahkan  dengan Kire Oli melainkan sang kera itu.
Orang tuanya merasa sangat sedih karena mereka semua di tipu.

Akan segala kejadian/peristiwa yang telah terjadi, Kire Oli  mulai timbul kecurigaan kepada permaisurinya. Ia mulai mengadakan penyeledikan dan menghubungkan beberapa rentetan kejadian seperti perahu tidak mau bergerak maju, kalau sang nyonya Hoda/menyanyi, tetapi kalau pengikutnya/pelayannya Hoda/menyanyi, perahu itu berjalan lagi. Pada waktu penyambutannya  segala piring yang dilewati/diinjak sang ratu semuanya pecah sedangkan mangkuk yang dilewati/diinjak  si budak tidak satupun pecah. Waktu Hera Alure menjaga padi semua burung pipit tidak mengganggu padi tetapi setelah ia lari  segalanya hancur binasa.

Rentetan kejadian-kejadian ini menumbuhkan suatu keyakinan dalam dirinya.  Akhirnya Kire Oli memutuskan untuk berlayar ke Sabu mencari  budak yang telah melarikan diri. Dia akan ke Sabu mengikuti Hera Alure. Jangan-jangan ia mendapat kecelakaan, dan kesalahan akan di timpahkan oleh orang tuanya kepada dia. Sementara itu orang  tua Hemado Lena  ingin mengetahui mengapa anaknya pulang kembali.  Setelah segalanya di ceriterakan, barulah mereka mengerti duduk persoalan sebenarnya dan mereka merasa iba kepada anaknya yang bernasip demikian. Setelah Kire Oli tiba di Sabu ia langsung pergi kerumah keluarga Hemado Lena.

Maka kepada Kire Oli di ceriterakan segala persoalan yang telah terjadi. Di ceriterakan juga bahwa istrinya itu sesungguhnya bukan Hemado Lena yang dulu dipinangnya,  melainkan seekor kera sakti dari hutan Kelara yang telah menjelma. Kera sakti itu adalah istri dewa Luji Liru yang telah di kutuk menjadi seekor kera  dan tinggal di hutan Kelara.  Dialah yang menggagalkan  perkawinan Kire Oli dan Hemado Lena.  Akhirnya Kire Oli meminta maaf kepada kedua orang tua itu, dan ia di perkenankan mengawini Hemado Lena putri mereka yang sesungguhnya. Kire Oli menjadi sangat marah karena merasa telah ditipu oleh kera.  Hemado Lena menceriterakan juga segala yang telah terjadi  di rumah nenek Wanny Hari Juda,  tanpa di sadari oleh seorang pun  kecuali dirinya sendiri.  Tetapi ketika itu ia telah disihir oleh kera, hingga tidak dapat berbuat apa-apa.  Beberapa hari kemudian  setelah perkawinan mereka berlangsung, Kire Oli  pun minta izin  kembali ke negeri Ndao-Rote. Ia ingin mengadakan perhitungan  dengan kera tersebut. Setiba di Ndao, Kire Oli mengasah pedangnya hingga tajam dan ia mengajak  permaisurinya berjalan-jalan. Tiba di dekat sebatang pohon kesambi, Kire Oli menghabiskan nyawa  permaisurinya  dengan sekali ayunan pedangnya. Setelah Kire Oli  mengadakan perhitungan itu, ia menceritakan kepada orang tuanya  bagaimana duduk persoalan yang sebenarnya. Dan orang tuanya menerima baik segala yang dijelaskan olehnya.  Akhirnya Kire Oli pun di perkenankan untuk pergi menjemput istrinya. Kemudian mereka kembali ke negeri Ndao dan sejak saat itu mereka hidup rukun dan damai. (Dep.Dik.Bud, Ceritera Rakyat Daerah Nusa Tenggara Timur, l982, hal.44-53)    

Folklore from Nusa Tenggara Timur - Indonesia

ONCE upon a time, a grandmother and her grand daughter lived in Roti Island, Nusa Tenggara Timur INDONESIA. They had a field and grew some vegetables. The grandmother sold them at the market. On one morning, the grandmother would go to the market. Before she left, she asked her granddaughter to cook. “ Please cook some rice for lunch. But just cook one grain of rice. It’s enough for both of us.” “Why, Grandma?” asked the girl. “Just do what I said.” The grandmother then left for the market. Later, the girl started to cook. However, she felt a grain of rice would not be enough for them. “I think it’s not enough for me and my grandmother.” Then she took two handful of rice. Suddenly, something bad happened to the rice pot. “Oh, no! The rice flowed out of the pot!” shouted the girl. “What should I do?” The rice became rice porridge. It flowed and flowed until it covered the kitchen. Suddenly, the grandmother came home. The girl explained what happened. “You are a naughty girl! Why didn’t you listen to me?” the grandmother was so angry. She hit the girl with a wooden stick. “ Please forgive me, Grandma!” the little girl cried and cried. But the grandmother kept hitting her. Then, an incredible thing happened! The girl turned into a monkey. The monkey then ran away and climbed a tree. The grandmother chased the monkey. From the tree, the monkey said. “Grandmother, I’m a monkey now. I cannot live with you anymore. You are all alone.” Then the monkey climbed up and disappeared. The grandmother was very sad. She regretted what she done to her beloved grand daughter. “ Please come back to me. Please forgive me, my grand daughter!’ but it was too late. The little girl has turned into a monkey and never came home. The people of Roti Island believe this story. And that is why until now; people in Roti Island never hit their children or other people’s child. They are afraid that the child would turn into a monkey. ***Internet.

Hikayat “Lehamik” Manusia Raksasa di Rote

Dipulau Rote terdapat sebuah batu besar yang pernah diinjak oleh “Lehamik,” manusia raksasa. Bekas jari kakinya serba besar. Lebih-lebih bekas tumitnya . Bekas kakinya sangat cekung dan sangat besar sehingga pada musim hujan disitu banyak sekali air tertampung, tempat kerbau-kerbau hutan datang minum kesitu. Lehamik ialah manusia raksasa, yang pernah hidup di Rote dan sekitarnya. Pada tahun berapa Lehamik itu hidup, tidak seorang pun lagi sekarang yang mengetahui. Juga tidak seorang pun dapat mengetahui dengan pasti bahwa benar-benar pernah hidup. Tetapi kini  semua orang dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri adanya batu besar dengan bekas kaki raksasa yang seolah-olah tercetak diatasnya. Tidak seorangpun, akan mengatakan bahwa batu yang cekung itu adalah hasil pahatan manusia, maka orang percaya bahwa itu adalah bekas kaki Lehamik.

Tetapi siapa Lehamik itu tidak seorangpun mengetahuinya. Di Pulau Timor dan pulau Alor juga di dapati bekas kaki yang besar itu. Dengan ini, orang-orang makin yakin bahwa pada suatu ketika dahulu, Lehamik pernah hidup. Kalau kita selalu ingat bahwa tulang-belulang manusia purba itu kebanyakan lebih besar dari pada tulang-tulang kita sekarang ini, maka pernah hidupnya Lehamik dipulau Rote ini bukan suatu kemustahilan. Menurur ceritanya, kecuali bertubuh besar, Lehamik juga seorang yang sakti.
Di ceritakan bahwa manusia raksasa ini hidup di tengah-tengah orang-orang biasa yang kecil-kecil seperti kita sekarang ini. Jadi pada masa hidupnya  Lehamik  merupakan keanehan, karena besarnya. Karena besar dan saktinya ini, orang-orang Rote di zaman itu menjadi khawatir, kalau-kalau pada suatu ketika Lehamik akan menggunakan kesaktiannya dan kekuatannya yang sangat besar itu.

Tentu saja bila ini terjadi, rumah-rumah  akan roboh di tendangnya dan orang-orang akan mati di-injak-injaknya. Karena kesaktiannya orang-orang tentu saja sia-sia jika melawannya, meskipun serentak bersama-sama semua orang. Walaupun Lehamik belum pernah marah dan merusak, namun kekhuatiran orang-orang makin bertambah-tambah.  Mereka berhimpun dan bermufakat akan membunuh Lehamik, orang yang tidak bersalah itu.dengan tipu muslihat. Mereka mengumpulkan uang dan uang itu diberikan kepada istri Lehamik. Istri Lehamik inilah yang di serahi tugas untuk membunuh suaminya. Istri Lehamik orang biasa dan bertubuh kecil.

Karena itu pembunuhannya harus dengan jalan tipu muslihat.  Sayang setelah melihat jumlah uang yang begitu banyak, istri Lehamik itu sampai hati menerima tugas membunuh suaminya, yang sama sekali tidak berdosa itu. Pada suatu hari siasatnya di jalankan. Ia pura-pura mencarikan kutu pada kepala suaminya. Setelah lama maka suaminya tertidur. Ia sebagai istrinya tahu dimana letak kesaktian suaminya itu.  Di kepala Lehamik diantara rambutnya yang sangat lebat itu, tumbuh seberkas ilalang. Berkas ilalang inilah yang menyebabkan ia menjadi sakti.  Setelah istrinya tahu bahwa Lehamik telah benar-benar tertidur, maka dengan sekuat tenaga di cabutinya ilalang itu.  Seketika itu juga Lehamik terkejut dan terbangun. Dia mengamuk kekiri dan kekanan, tetapi kesaktiannya sudah hilang dan kini dia buta. Meskipun demikian dia mengamuk terus menghancurkan apa-apa saja di depannya. Ia mengamuk terus sampai habis tenaganya sama sekali.

Akhirnya karena terlalu lemah ia jatuh tersungkur dan mati. Memang Lehamik pernah mengamuk, tetapi setelah orang berbuat jahat kepadanya, setelah ilalangnya dicabut orang.   Dengan matinya Lehamik, kekuatiran orang-orang lain lenyap sama sekali. Lehamik mengamuk untuk pertama kalinya dan untuk yang terakhir kalinya. Setelah ia mati hari berjalan seperti biasa. Sekali hujan sekali panas, sekali angin bertiup. Bekas kaki-kaki Lehamik lenyap disapu hujan, ditimpa panas. Debu-debu di terbangkan angin, sehingga gambaran bekas kakinya di tanah menjadi pudar. Angin kencang bertiup. Gambaran yang sudah pudar di embusnya dan hilang sama sekali. Akhirnya lenyap dibawa angin. Untung sekali dia pernah menginjak tanah liat yang kemudian menjadi batu, sehingga sekarangpun kita masih menyaksikan bekas kaki Lehamik, manusia raksasa yang pernah hidup di pulau Rote, diatas batu yang pernah diinjaknya. (Gyanto, l958, hal.97-98).
          
Legenda Rumah Roh Dan
Manusia-Buaya di O’Epao-Rote

Ada sebuah keistimewaan pada rumah roh di Batuidu Ibu Kota Kerajaan O’Epao ini, bila di bandingkan dengan rumah-rumah roh di tempat-tempat lain. Istimewanya ialah, bahwa rumah roh Batuidu di simpan juga sebuah kulit buaya. Pada waktu-waktu tertentu kulit buaya ini di keluarkan dari rumah roh untuk  di buatkan pesta adat. Saat yang bahagia ini membuat laki-laki, wanita, dan anak-anak serta seluruh kampung tampak gembira dan berseri-seri menyambut datangnya pesta ini. Ada  seorang tua adat yang di tugaskan setiap setahun sekali  membuka dan masuk mengambil kulit buaya ini. Kulit buaya ini di bawa keluar. Sampai diluar kulit ini disambut oleh orang-orang yang akan mengadakan pesta, dengan sorak dan teriakan-teriakan girang dan gembira. Di luar, kulit ini di bersihkan, dihilangkan debunya. Kemudian orang-orang yang ada disitu menyambutnya dengan menari “kebalai” mengelilingi kulit buaya itu. Mereka bersenang-senang sampai jauh malam. Paginya kulit buaya itu di masukkan lagi kedalam rumah roh dan diambil lagi kelak bila akan ada pesta yang semacam itu lagi pada tahun berikutnya.

Menurut cerita orang tua-tua, dahulu beratus  tahun yang lalu, orang-orang di kerajaan O’Epao itu sudah gemar menari kebalai. Sejak zaman dahulu bila bulan mulai tampak dan sinarnya melalui celah-celah  daun  kelapa sampai kebumi O’Epao, maka orang-orang keluar ketanah lapang akan menghibur diri, menari kebalai bersama-sama dengan kawan-kawannya. Mereka menari sepuas-puasnya untuk menghilangkan kesepiannya yang telah dialaminya selama bulan tidak menampakkan dirinya. Pada suatu malam  terang bulan, pada zaman dahulu, salah seorang penduduk kerajaan O’Epao ini pergi kekebun akan menyadap nira pohon lontarnya. Teman-teman yang lain sedang beramai-ramai menari kebalai di lapangan luas, sebab terang bulan. Tari kebalai ini boleh diikuti oleh siapa saja yang mau. Mereka sudah lama menari.

Lelaki yang memanjat pohon lontar sudah beberapa kali mengiris tangkai mayang lontar yang akan diambil niranya. Dari atas pohon itu dia dapat memandangi laut seluas-luasnya. Ketika ia memandang kelaut, tampaklah olehnya sebuah benda hitam terapung-apung dilaut. Benda itu makin lama makin mendekati pantai dan akhirnya melata dan merayap di daratan. Benda itu kelihatan antara nyata dan tidak. Setelah diperhatikan dengan baik-baik oleh penyadap lontar itu nyatalah bahwa benda yang hitam itu adalah seekor buaya. Buaya itu melata terus menuju serumpun semak. Pengiris lontar itu pun dari atas pohon memperhatikan terus segala gerak-gerik buaya itu. Sampai di rumpun semak itu ia berhenti, dan kulitnya di lepaskan. Dari dalam kulit itu muncullah seorang manusia.  Manusia yang asalnya dari buaya ini tergesa-gesa berdiri dan  kulit buaya yang sudah dilepaskan itu disembunyikan didalam semak-semak. Kulit itu akan di masukinya lagi nanti, bila ia ingin menjadi buaya kembali. Ia terus berjalan meningalkan semak itu menuju ketempat orang-orang yang sedang menari “kebalai”. Penyadap lontar yang mengetahui semuanya ini lekas-lekas turun dari pohon lontarnya  menuju kerumpun semak tempat kulit buaya itu disembunyikan. Kulit buaya itu diambil lalu dibawa pulang kerumahnya. Kemudian ia pergi kelapangan tempat orang-orang yang sedang berkebalai untuk turut pula menari. Setelah sampai di lapangan itu, ia mencari orang yang berasal dari buaya itu. Tetapi dia tidak dapat membedakan orang yang berasal dari buaya ini dengan orang-orang biasa lainnya.
Orang yang berasal dari buaya ini sebetulnya sudah kembali kesemak belukar, tempat kulitnya disembunyikan tadi, sebab sudah larut malam dan juga sudah sangat leleh ia berkebalai dengan orang-orang biasa di O’Epao tersebut. Tetapi tatkala kulitnya tidak dapat dijumpainya lagi ditempatpersembunyiannya, maka dia kembali lagi ketempat orang-orang menari dan turut berkebalai. Karena kulitnya tidak ditemukan lagi, maka orang yang asalnya dari buaya ini  terus menjadi manusia, tidak dapat kembali menjadi buaya lagi dan menjadi warga kerajaan O’Epao.

Setelah beberapa hari maka orang yang menemukan kulit buaya itu melaporkan kejadian yang dialaminya kepada kepala kampungnya. Sebagai bukti perkataannya, di-tunjukkanlah kulit buaya yang didapatnya itu. Sebentar saja rakyat seluruh kerajaan O’Epao sudah mendengar berita yang menggemparkan itu semuanya. Mereka mencari orang yang berasal dari buaya itu, tetapi tidak kunjung mendapatkannya. Manusia buaya itu telah menyelinap menjadi rakyat biasa. Kemudian oleh orang-orang tua di kerajaan itu di putuskan untuk menyimpan kulit buaya itu di dalam rumah roh dan kulit buaya itu menjadi milik kerajaan, milik bersama. Rakyat kerajaan O’Epao sebetulnya ingin bersahabat dengan siapa saja, meskipun sahabat itu berasal dari buaya.
Tetapi rakyat yang ingin bersahabat itu dikecewakan  dengan tidak ditemuinya manusia buaya, orang yang mau dijadikan sahabatnya itu. Meskipun tidak di temui mereka, orang itu diakuinya sebagai sahabat mereka. Untuk membuktikan bahwa rakyat O’Epao menganggap sahabat kepada manusia buaya itu, maka pada waktru-waktu tertentu diadakan pesta untuk menghormati sahabatnya yang hilang tak tentu rimbanya itu.

Betapa mesaranya persahabatan di Indonesia, dapat dilihat antara lain dikerajaan O’Epao ini. Sahabat yang belum pernah dilihat, sahabat yang belum tentu berperangai baik, sahabat yang mungkin mengacau kerajaan itu, tetapi tetap dihormati. Mereka tentu sangat menyesal  dengan hilangnya sahabat mereka. Penduduk yang berperangai Indonesia murni,  belum banyak dicampuri kebohongan-kebohongan dari luar itu, pada waktu yang tertentu menghormati sahabatnya yang hilang itu seperti sekarang ini.  Yang berkebalai, berkebalai terus, yang menari foti masih juga menari, yang lainnya memukul gong, tambur, bitala dan menyanyi. Keanehan-keanehan yang demikian tidak hanya terdapat di kerajaan O’Epao saja, melainnkan pada semua kerajaan di pulau Rote (Roti). Keanehan-keanehan pada tiap kerajaan berlain-lainan. (Gyanto, l958, hal.90-91).

LEGENDA- BATU--TERMANU

Di pantai Kerajaan Termanu ada sebuah batu karang yang menjulang tinggi melebihi tingginya sebatang pohon kelapa dan tak mudah memanjatnya. Batu karang yang tinggi itu dinamai orang “Batu Termanu” karena terletak di kerajaan Termanu. “Apakah Batu Termanu itu istimewa ?” Keistimewan, sebetulnya tidak. Tetapi orang-orang disini sendiri, yang menyebabkan batu itu menjadi istimewa. Menurut kata orang, batu itu dapat mendatangkan hujan.  Dikatakan juga bahwa batu itu berasal dari pulau  Seram- Maluku. Dari Seram, batu itu pergi kepulau Timor. Tetapi di Timor ia sedih sekali, sebab tidak seorang pun yang mau datang membawa “sesajen” kepadanya. Karena tidak tahan menderita kesedihan ini, maka batu itu pindah ke pulau Rote. Mula-mula ia datang kekerajaan Dengka.  Tetapi rakyat kerajaan Dengka ini pun sama halnya dengan rakyat dipulau Timor, tidak mau memberi korban kepada batu itu, lalu batu itu berpindah lagi kekerajaan O’Epao.

Di O’Epao sama halnya dengan rakyat Timor dan rakyat Dengka, akhirnya batu yang tak pernah putus asa itu terus saja mencoba hidupnya, mencari kebahagiaan. Dari itu ia pindah lagi kekerajaan Termanu. Rakyat Termanu berduyun-duyun datang membawa bermacam-macam “sesajen” . Karena cita-citanya telah terlaksana, maka  batu itu menetap terus disini. Sebagai pembalas jasa kepada rakyat Termanu yang mencintainya itu, ia sanggup mendatangkan hujan untuk mengairi sawah, bila rakyat Termanu memintanya. Bila datang musim kemarau, maka salah seorang diantara sekian banyak rakyat Termanu itu datang diiringi berpuluh-puluh kawannya kebatu itu.
Sebelumnya, orang ini berpuasa beberapa hari lamanya. Setelah sampai dibatu itu ia naik kepuncaknya.  Disana akan dijumpai sebatang pohon kecil yang berdaun merah.
Pucuk batang itu lalu dipotong. Maka turunlah hujan yang diminta itu.

Dia turun kembali lalu pulang bersama-sama kawan-kawannya. Pada zaman dahulu, pada saat yang tertentu, di sekitar batu itu diadakan pesta besar-besaran.  Karena dipuncak batu itu ada tumbuh-tumbuhan yang berdaun merah maka dalam pesta itu segala sesuatunya berwarna merah juga. Orang-orangnya berpakaian serba merah, beras yang akan ditanak/dimasak juga beras merah, kerbau yang mau di sembelih disitu harus berbulu merah pula dan segala sesuatunya serba berwarna merah. Pada waktu siang hari batu itu kelihatan indah sekali seperti istana kuno. Menurut cerita orang, pada waktu-waktu tertentu  dibawah Batu Termanu itu terdapat  emas. Oleh karena itu sering banyak orang datang ke Batu Termanu, khusus untuk mencari emas disekitanya. Mereka yang bernasib untung bisa mendapatkannya.  Cerita ini sebenarnya mengatakan bahwa “Batu Termanu” itu ialah lambang kemakmuran kerajaan Termanu. Tugas batu itu tidak berbeda dengan tugas Tugu Pahlawan di Surabaya, Tugu Muda di Semarang, atau Tugu Monas di Jakarta.(Gyanto,l958, hal.67-68). 

Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.