Beberapa Cerita-cerita Tradisional Orang Rote
Oleh: Drs.Simon Arnold-Julian-Jacob
Pengantar
Di pulau Rote (Roti), banyak terdapat ceritera rakyat
dalam berbagai bentuknya seperti antara lain hikayat. Cerita yang kami bukukan ini, adalah baru sebagian
kecil saja, sebagai kelengkapan dalam buku ini. Ceritera dan hikayat ini dituturkan secara lisan (sastra lisan) dari
generasi ke generasi, diantaranya sudah dibukukan.
Kalau diamati, karya sastra
lisan yang
disebut hikayat
itu mempunyai tiga unsur pokok.
Pertama :
unsur rekaan atau fiktif;
Kedua : adanya
unsur kesejarahan ; dan
Ketiga : adanya unsur yang bersifat biografi.
Ketiga
macam unsur ini ada yang dianggap paling menonjol.
Oleh karena itu dapatlah
kita menggolongkan hikayat itu menjadi tiga jenis yaitu :
Hikayat
rekaan. Di dalam hikayat jenis rekaan, terungkap dengan sangat
menonjol hal-hal berikut
:
Pertama berpusat pada istana, seseorang yang di tokohkan, dan tokoh utama ini
didalam ceritanya selalu mendapat kemenangan dan akhirnya nasipnya baik.
Ceritanya selalu menggambarkan percintaan, peperangan serta adanya makluk halus
atau makluk gaib dan jalan ceritanya yang mudah diterka.
Kelihatannya seperti
jenis yang untuk hiburan karena
menggambarkan hal-hal yang hebat dan menarik, tetapi juga ada nasihat untuk pendidikan.
Kedua, Ada Hikayat Sejarah. Hikayat jenis ini biasanya
menampilkan unsur yang dapat dikaitkan dengan nama tempat yang dikenal umum,
atau nama yang dapat dikaitkan dengan tohoh
sejarah. Kemudian nama tempat yang
terdengar aneh, biasanya diterangkan dengan rekaan yang terasa
mengada-ada. Disamping itu biasanya
tidak ada tahun tertentu yang dikemukakan didalam hikayat jenis itu.
Ketiga, Juga
ada Hikayat
Jenis Biografi. Seperti juga yang kedua jenis tadi hikayat jenis ini
selalu menampilkan, nama orang atau nama tempat yang dapat dihubungkan dengan
kenyataan. Bedanya di dalam jenis ini penceritaan lebih dipusatkan kepada satu
orang tertentu saja Baik bagi jenis yang
kedua maupun ketiga, hikayat yang lebih tua umurnya, lebih banyak bersifat rekaan. Hikayat yang lebih muda tampak tidak terlalu banyak rekaan. Oleh
karena itu kalau kita membaca hikayat
yang menggambarkan sejarah suatu
kerajaan ataupun yang menggambarkan biografi
seseorang, tidaklah dapat kita gunakan pengertian moderen mengenai sejarah
dan biografi.
Rekaan
Masa Lalu.
Untuk mengenal
hikayat libih dekat lagi ada beberapa hal yang perlu diingat betul :
Pertama : hikayat adalah rekaan.
Jadi apa yang diungkapkan di dalamnya tidak dapat diukur dengan ukuran yang
nyata, atau ukuran masa kini. Adanya hal-hal yang “tidak masuk akal” bagi orang
zaman sekarang hendaknya dilihat sebagai suatu simbolisme atau cara mengungkapkan terselubung yang digunakan oleh
si pencerita. Itulah sifat rekaan hikayat.
Kedua :Hikayat juga merupakan cerminan
masa lalu. Bahasa yang dipakai pun bahasa daerah/ bahasa lama.
Pilihan kata dan gaya kalimatnya tentu saja berbeda dengan keadaan sekarang.
Bahasa yang dipakai masih lebih bersifat daerah atau Melayu, yang jauh keadaannya
dengan bahasa Indonesia kini.
Oleh karena itu ukuran
kita waktu membaca hikayat,
janganlah disamakan dengan ukuran ketika kita membaca novel modern. Terlepas
dari hal-hal itu, banyak segi pendidikan dan butir kebijakan yang dapat dipetik dari
hikayat kita.
Humor Dalam Karya Sastra
Selain
yang kita sebutkan diatas, pembaca tentu mengetahui sejenis cirita lama yang
bisa disebut dengan nama “Pelipur lara”,
yaitu seperti “Cerita Pak Belalang”, Cerita Pak Kadok”. Dalam
kekayaan sastra Sunda, pembaca tentu pernah mengenal nama “Si Kebayan”.
Cirita-cerita itu secara umum disebut sebagai ‘cerita lucu’, atau ‘cerita
jenaka’. Bagi kita sekarang pertanyaan yang timbul adalah “ (a). Apa beda ‘humor’ dan ‘jenaka’
atau ‘lelucon’.; (b). Apa gunanya
aspek ‘humor’ di dalam kaya sastra itu ?
Humor,
Lelucon, Jenaka dan Anekdot :
James Danandjaya di dalam bukunya
tentang “folklor Indonesia”
membedakan ‘humor’ dan ‘lelucon’. Di dalam ‘lelucon’ dan juga di dalam ‘cerita
jenaka’ (menurut Jumsari Jusug dkk) , lelucon itu timbul karena cerita itu
menampilkan ‘kekurangan’, ‘kebodohan’, atau ‘kedunguan’ orang lain atau kelompok lain. Jadi sasarannya adalah ‘orang lain’.
“Humor” lain lagi. Di dalam humor kelucuan itu
bangkit karena cerita atau tokoh cerita mengemukakan ‘kekurangan yang ada pada dirinya’,
baik yang berupa ‘kedunguannya, kemalangannya, ataupun keluguannya’.
“Aneknot”, menurut Danandjaja menyangkut ‘kisah fiktif lucu’, pribadi seseorang
tokoh atau beberapa tokoh, yang benar-benar ada.
Jadi
ceritanya mungkin saja mengada-ada, tetapi tokoh yang dijadikan cerita memang
betul-betul ada.
Cerita yang bersifat
‘lelucon’
di dalam sastra kita baik yang berbahasa Indonesia maupun yang berbahasa daerah
cukup banyak. Ada yang menggambarkan kebodohan,
lelucon mengenai kalangan agama, atau mengenai kelompok tertentu lainnya.
Akan tetapi cerita yang bersifat humor,
tidak terlalu banyak. Cerita bersifat humor,
umumnya mengisahkan kejenakan akibat
“kecerdikan”
atau kebodohan, kemalangan
atau kemujuran tokoh utamanya. Seringkali tokoh cerita
digambarkan sebagai orang yang sangat bodoh
dan tidak dapat menangkap maksud orang lain sehingga terjadi kesalah-pahaman. Di dalam sastra
Melayu, kita mengenal tokoh ‘Pak Kadok’,
di Jawa ada ‘Pak Dungu’,
di Bali ada ‘I Belog’ dan Sunda ada ‘Si Kebayan’ yang kadang-kadang digambarkan sebagai ‘orang
dungu’.
Menghibur dan Mendidik
Apakah cerita humor itu sekedar menghibur
hati saja ?
Apakah
cerita itu sekedar memancing tawa atau senyum dari kemalangan atau cacat orang
lain? Tampaknya tidak begitu. Di dalam kepustakaan yang disebutkan diatas, Jumsari Jusuf dkk, mengatakan bahwa
walaupun cerita humor itu lucu dan isinya menceritakan ‘kepandiran, kelucuan, atau kemalangan’ tokohnya ada beberapa di
antaranya yang menceritakan ‘kebijaksanaan’ dan ‘kecerdikan’ (walaupun
kadang-kadang disertai “tipu-daya”.
Tampaknya di samping menghibur hati, cerita seperti itu dimaksudkan pula untuk
‘mendidik orang’.
Cerita Humor Sumber
Kekayaan Sastra Kita.
Cerita humor
merupakan sumber kekayaan Sastra Lisan
kita yang belum banyak digali dan diketahui secara luas. Di situ kita dapat
menemukan gambaran masyarakat yang dilukiskan di dalam cerita itu. Tindakan
raja yang dapat ditafsirkan semena-mena di dalam memutuskan perkara, misalnya
akan menghukum mati, apabila
pekerjaan orang tidak memberi hasil. Atau ‘nasihat’
yang tersembunyi bagi pendengar (pembaca) agar jangan serakah/rakus, jangan pandir, yangan berputus asa dan jangan
menipu orang, ada di dalam cerita seperti itu.
Melihat
tersebar dan banyaknya ragam cerita rakyat dan cerita humor itu, kita mendapat
kesan bahwa ‘kaum tua’ kita
mempunyai cara yang baik di dalam memberi
nasihat, yaitu dicampur dengan ‘humor’ agar orang tidak menjadi tersinggung
perasaannya.
Bagi kaum muda, ada
pelajaran yang dapat dipetiknya : cerita humor atau humor di dalam karya sastra
memberi kesan, hadapilah persoalan hidup dengan sungguh-sungguh, tetapi juga
dengan sikap optimis. (Sumber :Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara II,
Dep.Dik Bud, Jakarta, hal.259-263).
Dalam
hal bahasa : J.Harold
Bruvand (dalam bukunya ,”The Sudy of American Folklore” New York
l968) memberi ciri-ciri
tentang Folklore sebagai berikut :
a. Penyebaran secara
lisan yaitu melalui mulut ke mulut yang sering disertai gerakan-gerakan tangan
dan kaki.
b. Bersifat tradisional,
disebarkan relatif tetap atau dalam standar.
c. Ada dalam versi yang
berbeda-beda.
d. Penciptaannya anonim.
e. Mempunyai bentuk
klise seperti misalnya terdapat pada cerita-cerita prosa rakyat (cerita rakyat)
menggunakan kata-kata klise, ungkapan tradisional.
Selain
itu Bruvand mengemukakan
pembagian jenis Folklore yang
terdiri dari pada tiga kelompok besar
yaitu :
1.Folklore lisan (verbal folklore) misalnya bahasa
rakyat, ungkapan-ungkapan tradisional (pribahasa, pepatah), pertanyaan
tradisional (teka-teki, puisi rakyat, cerita rakyat, nyanyian rakyat).
2.Folklore setengah
lisan
(partly verbal Folklore)
misalnya, kepercayaan, tahyul, permainan rakyat (hiburan rakyat) drama rakyat,
tari adat kebiasaan rakyat, upacara-upacara dan pesta-pesta rakyat.
3.Folklore bukan lisan (non verbal Folklore) misalnya
arsitektur rakyat, seni kerajinan tangan, pakaian dan perhiasan rakyat,
obat-obatan rakyat, makanan dan minuman, alat-alat musik, peralatan dan
senjata, mainan, bahasa isyarat dan musik. (Monografi Daerah Jawa Timur jilid
3, Dep.Dikbud RI, Jakarta,l977, hal.58).
Berdasarkan
pada uraian-uraian tersebut diatas, berikut ini dapat kita membaca beberapa cerita/hikayat Rakyat Rote, selain
untuk menambah perbendaharaan cerita-cerita rakyat yang sudah ada, maka
silahkan pembaca akan menggolongkan masuk katagori yang mana
cerita/hikayat-hikayat tersebut, yang kriterianya yang disebutkan diatas.
KARAKTER ORANG ROTE TERGAMBAR DALAM BERBAGAI CERITA RAKYATNYA
Cerita-cerita orang Rote di bawah ini sebenarnya mau
menggambarkan diri orang Rote itu
sendiri, yaitu tentang kecerdikan,
ketangkasan, akal yang luar biasa, kepahlawanan,
kefasikan dalam berbicara,
dalam berbagai hal maupun tipu daya yang
tak
kepalangtanggung, guna mendapatkan keuntungan moriil maupun material dengan
logikanya yang tinggi bukan dengan
fisik, melainkan mempergunakan akal sehat semata,
maupun dengan pengorbanan yang sedikit
memperoleh keuntungan dan kemenangan yang
besar. Hal ini seperti apa yang ditulis oleh Fox dihalaman-halan sebelumnya, ada
kebenarannya.
Berikut ini sedikit dari sekian banyak cerita orang Rote yang
disajikan disini sebagai berikut
Cerita Rote
Tentang “Sangguana”
Kerajaan
Thie adalah salah satu diantara l9 (sembilan belas) Kerajaan di pulau Rote. Pada zaman dahulu pernah
berperang melawan kerajaan Ndana. Kerajaan Ndana ini ialah sebuah pulau yang
terletak disebelah selatan kerajaan Thie ini. Peperangan itu terjadi karena
suatu pembunuhan. Raja Ndana pada waktu itu bernama Takala’a.
Permaisurinya berasal dari Thie. Permaisuri ini bersahabat baik dengan adik
perempuan Takala’a yang bernama Loela’A.
Sangguana membalas dendam
Pada suatu hari, Nalesanggu seorang dari Thie pergi ke-pulau Ndana.
Setelah sampai di Ndana
ia dibunuh oleh raja Takalaa. Istri Nalesanggu di Thie sedang mengandung.
Setelah bersalin anaknya dinamai Sangguana.
Bertahun-tahun kemudian, Sangguana telah menjadi besar. Ia menjadi seorang
pemuda yang bertubuh tegap dan tanpan. Pada
suatu ketika bertanyalah ia kepada ibunya: “Mama,
ayah dimana?” “Ayahmu “Nalesanggu”, ketika ia pergi ke pulau Ndana bererapa tahun yang lalu telah mati dibunuh
oleh Takalaa,
raja Ndana.
Mendengar jawaban ibunya
yang demikian itu, Sangguana kemudian
mengambil parang dan parang itu diasahnya 3
hari 3 malam berturut-turut. Setelah
selesai mengasah parang, maka dipotongnya beberapa pohon pisang. Sekali ayun,
putus semuanya. Kemudian ia bertanya pada ibunya. “Andaikata orang yang di
penggal dengan parang ini apakah akan putus atau tidak?” “Tentu saja putus.”
Lalu dipotongnya
seberkas pelepah lontar, kemudian tanyanya kepada ibunya : “Kalau tulang orang,
putus atau, tidak.” “Tentu putus juga karena parangmu sangat tajam.”
Kemudian ia menyerbu kepulau Ndana membawa seekor kerbau
yang telah dicat merah, putih, hitam yang dikendarainnya sebagai pengganti
perahu.
Orang Ndana belum pernah melihat
kerbau, lebih-lebih kerbau yang berwarna merah, putih, hitam itu. Setelah tiba
di Ndana, oleh Sangguana kerbaunya itu
disuruh berkubang didanau O’Ehendo. Penduduk kerajaan Ndana semua pergi melihat
kerbau itu. Juga semua penjaga-penjaga benteng istana turut juga melihat kerbau
itu.
Istana Ndana tertutup
oleh benteng. Jalan masuk hanya sebuah dan sempit sekali. Orang-orang diistana,
hanya raja, permaisuri dan Loela’A,
saja, semuanya berlari ketempat kubangan
melihat kerbau berwarna itu. Karena isi
istana hanya tinggal 3 orang
saja, maka Sangguana menyerbu kedalam. Raja
Takala’a dibunuh. Permaisuri dan Loelaa disuruh berdiri dipintu gerbang. Oleh Sangguana, istana itu dibakar hingga
musna semuanya. Kemudian ia pergi kepintu gerbang menyusul permaisuri dan
Loela’A. Melihat asap berkepul-kepul
diistana itu, maka rakyat Ndana
yang sedang asik melihat kerbau dikubangan itu, berlarian menuju istana akan
memberikan pertolongan memadamkan api. Karena
pintu gerbang istana sangat sempit, maka mereka masuk seorang demi seorang.
Dibalik pintu gerbang itu, Sangguana menanti dengan parang tajam ditangannya,
sambil memancung seorang demi seorang sampai semua rakyat Ndana habis musnah
terbunuhnya.
Setelah istana menjadi
abu, permaisuri, Loela’A, dan Sangguana mengendarai kerbau sebagai
pengganti perahu kembali ke kerajaan Thie di pulau Rote. Sejak dari peristiwa
itu pulau Ndana menjadi daerah Thie
sampai sekarang. Kecuali Loela’A, tidak ada seorang Ndana-pun hidup.
Loela’A kemudian kawin dengan pemuda Thie.
Anak-anak mereka menamakan dirinya keturunan Ndana, meskipun yang
berdarah Ndana adalah ibunya Loela’A. Sejak terjadinya peristiwa itu pulau
Ndana tidak ditempati seorang jua pun.
Beberapa tahun setelah peristiwa itu terjadi, maka anak raja Kerajaan
Termanu meminang anak raja Thie. Siapa nama-nama mereka sudah tidak diketahui
lagi dengan jelas.
Anak raja Thie menuntut “belis” (mas kawin). Belis yang dituntut anak raja Thie adalah apa saja
yang hidup. Menurut ceritanya, anak raja Termanu dapat menyediakan “belis “ itu. Binatang-binatang yang
dijadikan belis itu banyak yang disembelih untuk pesta
perkawinan. Sepasang rusa yang diberikan juga
oleh anak raja Termanu, di seberangkan kepulau Ndana yang kosong tanpa penghuni /
penduduk itu.
Disana di lepaskan dan
hidup seperti di hutan. Orang tidak usah khawatir rusa itu akan hilang. Sepasang rusa itu hidup dan berkembang biak
makin lama makin banyak dan sekarang rusa itu sebagai penghuni pulau Ndana yang
terutama. Rusa di Ndana banyak sekali.
Siapa saja boleh memburunya tetapi harus dengan
seijin raja Thie. Jika diberikan ijin, pemburu itu harus membayar dengan uang Belanda, 12 golden
kekantor raja Thie.
(Catatan / Usulan penulis) : Pulau
Komodo (di Flores) tempat reptil Raksasa Komodo, jika pada suatu ketika, persediaan makanan Komodo berupa
kijang dan babi hutan telah habis,
yang dapat menyebabkan musnanya binatang Komodo tersebut, maka sebagai
gantinya, mulai dari sekarang dapat memindahkan binatang Komodo itu secara
bertahap ke Pulau Ndana-Rote
yang sangat limpah dengan binatang rusa/kijang, karena pulau ini tidak berpenghuni, sehingga Komodo
ini dapat hidup dengan lestari, aman, tanpa mendapat gangguan dari manusia.
Untuk itu perlu dibentuk
suatu team yang terdiri dari para ahli baik dari Indonesia ataupun dari
lembaga-lembaga Internasional yang berkecimpung dalam Swaka alam, untuk
meneliti lingkungan alam pulau Ndana ini, sebagai suatu alternatif habitat baru untuk binatang purba Komodo yang hampir habis binatang buruannya karena Pulau Ndana
ini sangat kaya dengan rusa/kijang. ”SEMOGA”
Cerita Rakyat
Rote tentang “BE LANA.”
Ada seorang ayah bersama
istrinya, mereka mempunyai dua orang putra.
Pada suatu hari yang kakak mengajak adiknya untuk menjerat ayam hutan.
Ajakan kakaknya disetujui adiknya, oleh sebab itu segala sesuatu yang
diperlukan disiapkan antara lain, lima
utas tali dan sebuah pisau. Persiapan yang dikerjakan kedua anak tersebut
sama sekali di luar pengetahuan orang tuanya, karena keinginan mereka tidak
disetujui. Setelah selesai persiapan, diam-diam keduanya meninggalkan rumah,
berjalan menuju tempat yang dikehendaki. Oleh karena tempat yang dituju agak
jauh, sedang waktu sudah mejelang petang, maka langkahnya dipercepat. Setelah melewati sebuah gunung sampailah
mereka disuatu tempat yang mempunyai semak-belukar. Di situ banyak terdapat ayam hutan. Dengan cepat pula mereka
meneliti tempat-tempat yang biasa dilalui oleh ayam hutan, dan disitulah mereka
mulai memasang jerat-jeratnya.
Oleh karena sudah biasa
dalam hal ini, maka dalam waktu singkat pekerjaan memasang jerat itu selesai. Kemudian kembalilah mereka. Setibanya di
rumah, dan selama di rumah, sekali pun
disibuki dengan beberapa tugas, namun sama
sekali tidak menghalangi pikiran mereka dari jerat-jerat yang dipasang
di sebelah gunung.
Sepanjang malam keduanya
selalu membayangkan jerat-jerat mereka dan selalu mengharapkan agar cepat
siang, supaya ayam-ayam hutan mulai mencari makannya, terutama di tempat-tempat
di mana jerat-jerat mereka dipasang.
Demikianlah keadaan
suasana pikiran kedua anak tersebut hingga tiba saatnya untuk pergi
menyaksikannya.
Setelah hari menjadi
siang, sekalipun disibuki dengan tugas di rumah, pikiran mereka selalu
membayangkan apa nasip mereka, apakah sial atau untung, sambil menanti saat
petang hari untuk keduanya pergi menyaksikan jerat-jerat tersebut. Setelah hari
menjelang petang, keduanya terus saja menghilang dari rumah, tanpa diketahui
oleh kedua orang tuanya. Keduanya mulai
berjalan dengan cepat menuju tempat tersebut, dan berhasil jerat-jerat mereka
sesuai apa yang mereka harapkan.
Namun ternyata jerat
adiknya berhasil menjerat seekor ayam jantan merah, sedang jerat kakaknya berhasil menjerat seekor burung
tekukur. Suasana senang meliputi keduanya, namun karena perasaan
yang lebih besar adalah adiknya, sedangkan kakaknya merasa sedikit kecewa
karena apa yang diharapkan tidak berhasil.
Maka timbullah iri hatinya terhadap adiknya.. Namun sebelum ia mencetuskan iri hatinya terlebih dahulu ia membujuk
adiknya agar ayam ditukar dengan burung
tekukur. Mendengar bujukan pertukaran ini, berkatalah adiknya, “Saya tidak
mau, sebab jerat saya yang mendapat ayam ini dan sayalah yang harus
memilikinya, sedang jerat kakaklah yang mendapat burung tekukur jadi burung
tekukurlah yang menjadi milikmu.” Namun demikian kakaknya terus saja
membujuk adiknya agar ayam ditukar dengan tekukur tetapi adiknya tetap pada
penderiannya semula.
Oleh sebab itu kakaknya lari meninggalkan adiknya,
sehingga adiknya tersesat di jalan. Karena hari telah gelap, terpaksa ia mencari jalan sendiri dan akhirnya ia
tiba pada sebuah rumah di tengah hutan.
Penghuni
dari rumah itu adalah seorang nenek tua bernama Be Lana. Mendengar isak tangis anak kecil, Be Lana keluar dari rumahnya untuk
melihat siapa sebenarnya yang menangis
itu. Ternyata yang dilihatnya adalah seorang
anak kecil yang sedang membawa seekor
ayam jantan merah.
Be Lana merasa berbangga karena
tidak disangka-sangka dan tidak bersusuah payah mencari makanan yang enak,
tetapi makanan yang enak tersebut telah datang sendiri, yaitu anak kecil
tersebut.
Adapun makanan yang
biasa dimakan Be Lana adalah daging manusia terutama daging anak kecil. Dengan bujukan yang halus Be Lana memanggil anak itu masuk
kedalam rumahnya karena hari telah gelap. Anak tersebut tangisnya makin
menjadi-jadi karena pikirannya bahwa pasti yang membujuknya adalah Be
Lana pemakan daging manusia, seperti yang biasa diceriterakan oleh orang
tuanya. Namun tak ada jalan lain yang harus
ditempuhnya melainkan menyerah pada nasibnya.
Akhirnya anak itu masuk
bersama Be Lana ke dalam rumah
tersebut.
Be Lana mendekati anak itu membujuknya agar tidur dan
makan di situ. Nanti besok pagi akan diantar kembali kerumahnya. Untuk memikat hati anak tersebut Be Lana memasak makanan yang enak-enak
untuk diberikan kepada anak tersebut disamping itu ia terus membujuk anak itu
dengan kata-kata halus, pada hal dalam hatinya merasa senang karena anak
tersebut merupakan makanan yang paling enak baginya.
Setelah selesai diberi
makan, maka Be Lana menyuruh anak
tersebut masuk ke dalam sebuah kamar yang telah disiapkannya agar anak tersebut
dapat tidur dan Be Lana mengikat pintu kamar itu dari luar. Sepanjang malam anak itu tak dapat tidur,
karena merasa takut karena ia pasti dibunuh oleh Be Lana dijadikan makanan enak baginya dan di samping itu ia
berusaha mencari jalan agar dapat keluar dari rumah tersebut dan melarikan
diri. Kesusahan anak itu diketahui oleh ayam hutan yang
dibawanya itu. Oleh sebab itu ayam tersebut berkata kepada anak itu, bahwa
janganlah dia takut sebab dia akan
menolongnya asal jangan dibunuh. Mendengar kata-kata dari ayam tersebut, ia
berpikir tak mungkin ayam ini dapat menolongnya.
Namun ayam itu terus
berkata kepadanya bahwa jangan takut dan jangan menangis, yakinlah bahwa saya akan menolongmu. Menjelang siang anak tersebut dikejutkan
karena suara dari Be Lana yang
sedang menggigau,
sambil berkata, “Saya telah memberi engkau makan yang enak, nanti besok pagi
saya akan membunuhmu dan dagingmu kujadikan makanan yang enak”. Mendengar
kata-kata tersebut perasaan takut dan sedih anak itu menjadi-jadi. Anak itu
mulai menangis dengan sedihnya mengenang nasipnya yang malang itu. Tetapi ayam
jantannya selalu saja berkata : “Jangan engkau takut dan menangis, sebab saya
akan menolongmu”. Setelah menjelang pagi, anak itu mendengar Be Lana bangun dari tidurnya dan mulai mengasah pisau dan parangnya. Tidak lama kemudian Be Lana membuka pintu kamar
tersebut dan memindahkannya dari kamar itu ke atas loteng rumahnya.
Setelah itu Be
Lana menyiapkan serapan pagi untuk
anak tersebut, sambil merencanakan agar kebunnya hari itu dapat dibersihkan
oleh orang-orang kampung di sekitarnya. Sesudah Be Lana membereskan semua
pekerjaannya di rumah, maka Be Lana menyampaikan maksudnya kepada orang-orang di
sekitarnya agar kebunnya hari itu dapat
dibersihkan. Maka orang-orang tersebut
mulai membersihkan kebun itu dengan harapan
bahwa anak tersebut akan dibunuh dan dijadikan makanan yang enak.
Sementara itu Be Lana mulai sibuk dengan memasak lebih dahulu makanan yang lain. Anak kecil
yang berada di atas loteng makin merasa
sedih mengenang nasibnya yang malang itu, tetapi ayam jantan yang merah itu
berkata kepadanya : “Ambillah pisaumu
dan lubangi atap rumah ini”.
Anak itu mulai mengikuti perintah ayamnya.
Dengan cepat anak itu
mulai melubangi atap itu, setelah selesai anak itu keluar bersama ayamnya dan
duduk diatas atap rumah tersebut. Lalu
ayam jantan itu berkata kepadanya, “Jika Be
Lana hendak menangkapmu maka engkau memegang leherku erat-erat agar saya dapat menerbangkanmu dari tempat
ini”. Anak itu menjawab, “Baiklah,
terima kasih, saya merasa sangat bersyukur atas bantuanmu”.
Setelah menjelang
siang Be Lana datang hendak mengambil anak itu akan membunuhnya agar
dagingnya dapat dimasak untuk
orang-orang yang mengerjakan kebunnya itu. Setelah dibukanya pintu loteng Be
Lana sangat terkejut dan disertai kata-kata yang kotor karena ternyata apa
yang disangka-sangka tidak terjadi,
ternyata harus terjadi, karena anak tersebut telah menghilang dari loteng dan
dilihatnya hanya sebuh lubang di atas atap rumahnya. Segera Be Lana turun dari loteng dan langsung
berlari ke luar rumah untuk melihat di sekitar rumahnya kalau-kalau anak itu
masih disekitar rumah tersebut. Ternyata
anak itu berada di atas atap rumah bersama ayam jantannya.
Setelah Be Lana melihat anak itu di atas atap
rumahnya, ia merasa bersyukur dan dengan hati yang girang ia langsung naik ke
atas atap rumah untuk menangkap anak itu. Sementara itu, ayam jantan itu berkata, “Peganglah leherku erat-erat karena kita
sekarang hendak terbang”.
Pada saat Be Lana telah dekat, ayam jantan itu
pun berkokok satu kali dan langsung
terbang bersama anak itu. Dengan merasa sangat menyesal dan dengan hati yang
gerang, Be Lana mengejar ayam dan
anak itu sambil berteriak-teriak minta bantuan dari orang-orang yang bekerja di
kebunnya itu. Namun usaha pengejaran itu
sia-sia belaka, karena setiap kali mereka berusaha menaiki pohon
yang dihinggapi ayam jantan itu, tetapi ayam jantan bersama anak itu
diterbangkan ke pohon yang lain.
Akhirnya mereka menjadi
putus asa dan kembali kerumah Be Lana.
Orang-orang itu sangat marah kepada Be
Lana karena mereka harus makan tanpa ada lauk, tetapi kebun dari Be Lana telah selesai dibersihkan. Oleh sebab itu mereka beramai-ramai menangkap Be Lana
lalu dibunuhnya. Setelah Be Lana
meninggal dunia mereka semua merasa lega walaupun hari itu mereka makan tanpa
lauk. Sementara itu ayam jantan tersebut
terus terbang mencari rumah dari anak yang malang itu..
Setelah beberapa kali
terbang berputar-putar diatas kampung
anak itu, tak lama anak itu mengenal rumahnya dan ayam jantan itu pun merendah
dan hinggap di atas sebatang pohon dekat rumah anak itu. Kini mereka melepaskan
lelah sambil mengenang nasib malang yang
lalu dan nasib untung yang mereka capai. Sedang keduanya bercakap-cakap
di atas pohon, terdengarlah suara percakapan mereka oleh kedua orang tuanya.
Kedua orang tuanya ke luar dari rumah mereka dan melihat keatas pohon ternyata
anaknya yang hilang itu telah kembali bersama seekor ayam jantan merah. Dengan rasa girang kedua orang tuanya
menurunkan anaknya bersama ayam jantan itu dari atas pohon, sambil mencium
anaknya yang dikira bahwa anaknya itu telah dimakan oleh Be Lana. Setelah mereka mengantar masuk anaknya dan ayam jantan itu
ke dalam rumah, maka anak itu pun mulai menceriterakan peristiwa yang telah
dialaminya itu.
Kedua orang tuanya merasa gembira dan mengucap terima kasih
kepada ayam jantan itu karena telah menolong meluputkan/melepaskan anaknya dari
genggaman Be Lana.
Ayam jantan merah yang
telah berjasa itu dipeliharanya baik-baik. Dan kedua anak mereka dipanggil dan diberi
nasehat agar kerukunan hidup berkakak-adik harus berkasih sayang satu sama
lainnya, dan tidak boleh berjalan
kemana-mana jika tidak meminta ijin terlebih dahulu kepada orang tuamu. (Ceritera
rakyat daerah Nusa Tenggara Timur, Dep.Dik.Bud, Jakarta,l982,
hal, 61-65).
Cerita Rakyat
Rote-Ndao
Tentang Kire Oli
Pada zaman dahulu kala
antara penduduk di Pulau Sabu dengan
penduduk di pulau Ndao, biasa
terjadi hubungan kawin mawin. Pulau Ndao adalah pulau kecil yang terletak di sebelah
Timur Sabu dan di sebelah Barat Pulau
Rote. Adat kebiasaan suku Ndao, serta budi bahasanya tidaklah jauh berbeda
dengan adat dan kebudayaan suku Sabu. Hingga
masa kini, masih nampak benar
persamaan-persamaan adat dan budaya dari kedua suku bangsa ini. Konon menurut cerita sejarah bahwa suku Ndao yang ada sekarang ini, adalah
suku Sabu yang telah bermukim dan
telah menetap di pulau itu dan sekarang disebut suku Ndao. Tersebutlah pada zaman dahulu bahwa di pulau Ndao
hiduplah seorang pemuda yang bernama Kire
Oli. Pemuda ini berasal dari
keluarga berada. Keluarga Kire Oli mempunyai
harta pusaka. Mereka mempunyai kebun
sirih pinang, kebun kelapa, kebun jeruk, kebun tuak / lontar, dan mereka mempunyai bidang sawah, ladang yang luas, dan kaya domba.
Keluarga ini terpandang
dan di segani dalam masyarakat Ndao, lagi pula mereka mempunyai sebuah perahu
layar yang dapat berlayar ke pulau-pulau lain. Sudah tiba saatnya pemuda ini berumah
tangga, namun hingga umurnya mencapai
kurang lebih tiga puluh tahun ia belum juga menikah. Kedua orang tuanya
berkali-kali menganjurkan kepadanya supaya ia cepat mencari jodoh, namun ia
selalu menolak dan mengatakan, saatnya belum tiba. Pada suatu hari kedua orang
tuanya itu memanggilnya. “Kire Oli
anaku tercinta, kapankah engkau ini ingin berkeluarga. Ayah dan ibu ini sudah
tua dan sedikit waktu lagi akan tiada. Kami
berdua telah rindu ingin melihat engkau berkeluarga.
Ketahuilah olehmu bahwa
kami orang tua akan sangat kecewa apabila anak satu-satunya yakni engkau ini
belum juga menikah sewaktu kami masih hidup.”
Demikianlah kata orang tuanya kepadanya.
Pada suatu malam bulan
purnama Kire Oli mendatangi kedua
orang tuanya dan berkata, “Ayah dan ibu”, “Saya telah lama ingin berkeluarga,
dan telah mencoba mencari seorang wanita pendamping hidupku di negeri Ndao ini,
tetapi tiada seorang pun yang berkenan di hatiku. Rupanya Deo Wata atau Tuhan yang Maha Kuasa menentukan jodoh saya di
seberang laut. Oleh sebab itu saya bermaksud akan berlayar ke pulau-pulau lain
untuk mencari jodoh. Saya akan berangkat dari sini menuju Kalo Kota. Di sana akan mencari jodoh saya, memenuhi hasrat ayah
dan ibu. “Relakanlah saya untuk maksud ini oh ayah dan ibu.”
“Kalau demikian
kehendakmu nak, ayah dan ibu akan merelakan engkau pergi. Pesan ayah dan ibu,
isilah perahumu itu penuh dengan bekal atau muatan. Bila engkau bertemu jodoh
di sana di negeri orang, hati-hatilah memilihnya. Carilah olehmu, “do
namada Koro Iki jangan memilih do namada
kor AE, do badha wa habbo ode maidda mahilo”. Masih banyak lagi
pesan-pesan dari kedua orang tuanya dan semua pesan-pesan itu didengarnya
dengan cermat.. Ia mengisi perahunya dengan bekal dan muatan yang secukupnya
dan kemudian berangkat bersama-sama anak buah perahu.
Di Kolo Kota, Holo
Kataga dan Kebihu Rai Wa, tidak di ketemukan jodoh yang dicari. Dan terakhir
perahu Kire Oli berlabuh di Rai Hawu
atau Sabu, di pelabuhan Boddo.
Untuk menyatakan maksud
hatinya ia menghubungi Mone Ama dan Bangngu Udu di pulau Sabu.
Mone Ama dan Bengngu Udu menerimanya dengan cara
adat Sabu.
Setelah mengetahui
maksud hati Kire Oli, Bangngu dan Deo Roi mengundang semua penduduk baik
tua maupun muda untuk berkumpul di kampung Boddo. Kemudian maksud hati Kire Oli
dijelaskan kepada mereka dalam sebuah pengumuman singkat.
Isi pengumuman itu,
mengharapkan kepada seluruh muda mudi di negeri itu untuk bersedia mengadakan sayembara Petu Huta dengan seorang
pemuda dari tanah seberang (dari negeri Ndao). Demi tujuan ini Deo Rai dan Bangngu mengadakan suatu malam Hiburan Rakyat di Sabu. Acara-acara
yang mengisi malam Hiburan itu antara lain; menyabung ayam, Pehere Jara (lomba Tell Kuda) Pedoa (Sabu dance) serta Tarian Ledo. Pada saat-saat keramaian itulah diadakan
sayembara Petu Huta dengan si pemuda
Kire Oli.
Tujuh hari tujuh malam diadakan sayembara Petu Huta di
Boddo.
Tetapi belum ada seorang
pun yang berkenan di hati Kire Oli. Maka Deo Rai dan Bangngu Udu (pemuka adat
dan penguasa) mengulangi lagi pengumuman tersebut agar semua pemuda pemudi baik
yang kecil maupun yang besar datang mengikuti dalam sayembara tersebut. Siapa
tahu Deo Wata (Tuhan Yang Maha
Kuasa) akan berkenan. Tak lama kemudian datanglah seorang ibu
bersama anak perempuannya. Nama anak itu
Hemado Lena. Ia berumur sembilan tahun.
Setelah diadakan sayembara
Petu Huta, ternyata Hemado Lena-lah yang memenangkan sayembara ini, dan karena itu ia berhak di
kawini oleh pemuda Kire Oli yang
datang dari negeri seberang. Tetapi suatu halangan terjadi, karena Hemado Lena masih belum dewasa untuk suatu usia perkawinan.
Maka diadakanlah mufakat dengan keluarga
Hemado Lena, agar untuk sementara
diadakan upacara Lolela
(pertunangan) sambil menunggu sampai gadis itu mencapai usia dewasa. Setelah tercapai kata sepakat, maka di
langsungkanlah upacara Lolela
tersebut. Lima tahun lagi Kire Oli akan datang dan merampungkan upacara
perkawinan itu.
Segala muatan perahu
yang dibawa dari Ndao di turunkan untuk keluarga Hemado Lena. Beberapa hari kemudian Kire Oli
kembali ke negerinya dengan suka cita besar, karena telah menemui jodohnya
ditanah seberang, di tanah Sabu.
Walaupun Hemado Lena sendiri belum
menangkap makna Petu Huta, keculai
ibu dan bapaknya.
Di rumah keluarga Hemado Lena dipelihara seekor kera betina. Menurut cerita kera
itu ditangkap oleh ayah Hemado Lena di hutan Kelara ketika beliau sedang
berburu. Di Sabu, hutan Kelara
dianggap sebagai hutan keramat hingga sekarang ini. Kera ini menurut cerita bukanlah kera biasa melainkan seekor kera sakti penjelmaan dari istri dewa Lugi Liru yang telah dikutuk
karena pelanggaran, dan telah dibuang di hutan Kelara.
Kera itulah sekarang di pelihara
keluarga Hemado Lena.
Pada waktu upacara Lolela Kire Oli dan Hemado Lena, kera itu turut pula menyaksikannya. Maka timbullah niat jahat dalam
hatinya untuk merusak hubungan perkawinan itu dan ingin pula menggagalkan
perjodohan itu. Lima tahun berlalu dan Kire
Oli bersiap-siap datang untuk melangsungkan perkawinan dengan Hemado Lena.
Kabar tentang pinangan
atas dirinya telah dimakluminya. Oleh sebab itu ia bermaksud akan memperlengkapkan
dirinya dengan bermacam-macam ketrampilan seperti tenun-menenun, teknil ikat
motif dan teknik celup-celupan. Dan ini akan dipelajarinya dari nenenya Wennyi Hari Juda di Aikepaka. Pada
suatu hari ia menghadap orang tuanya katanya, “Ibu dan ayah tercinta, saya
telah besar dan dewasa, tetapi saya merasa bodoh dalam segala hal. Saya
bermaksud pergi kepada nenek di Aikepaka
untuk belajar seni ikat motif, celuo-celupan dan tenun-menenun.
Relakanlah saya, ayah dan ibu demi hari depanku nanti”.
“Benar anakku, apa yang
engkau inginkan, ibu dan ayah merelakan
engkau pergi belajar”. Tetapi ada yang ku-minta pada ayah dan ibu bunuhlah
babi yang paling besar yang terikat di kandang itu, untuk nenek Wannyi Hari Juda di Aikepaka, supaya beliau mencurahkan
kepandaiannya kepada hamba. Niscayalah nenek akan senang mengajarnya”. Atas
permintaan Hemado Lena, maka babi besar itu pun dibunuh.
Dagingnya diantar
sendiri oleh Hemado Lena, dan sejak itu Hemado
Lena dengan resmi belajar pada
neneknya di Aikepaka. Pada waktu di sembelih babi itu, kera jelmaan itu mulai memainkan peranannya.
Ia menghilang dari rumah
dan mengikuti Hemado Lena dari
belakang. Ia senantiasa mengganggu
Hemado Lena di jalan dengan rupa-rupa gangguan. Ia menakut-nakuti Hemado Lena dengan roh-roh
jahat hingga gadis itu takut dan lari cepat-cepat tanpa menghiraukan lagi
daging yang dibawanya. Daging banyak yang jatuh dan dipungut oleh kera dan
dilahapnya. Setelah Hemado tiba, neneknya Wannyi
Hari Juda sedang menenun. Ia menegur sang nenek dan barang-barangnya
diturunkan. Sang nenek melepaskan pekerjaannya dan menyambut cucunya. “Nek! Saya datang kepada nenek untuk belajar
segala ilmu kepandaian dan ketrampilan dari nenek. Ajarilah saya, ya nek”, rengek Hemado Lena.
“Nenek merelakan engkau dan segala sesuatu akan kuturunkan kepadamu. Kaulah
satu-satunya cucu nenek yang manis dan cantik dan sangat nenek sayang”. Setelah itu Hamedo Lena pergi ke tempat
menenun dan menggantikan neneknya menenun.
Begitulah pekerjaan
cucunya setiap hari. Kera yang
mengikuti Hemado Lena dari belakang bersembunyi di atas pohon di belakang rumah
dan mengawasi setiap gerak-gerik Hemado Lena. Pada suatu hari, setelah Hemado
Lena sebulan bekerja pada neneknya, Kire
Oli tiba dari tanah Ndao. Kabar kedatangan Kire Oli dari tanah Ndao
terdengar pula oleh nenek Hemado Lena,
demikian juga oleh si kera. Kali ini Kire
Oli datang menyelesaikan perkawinan
dengan Hemado Lena yang telah dipinang lima tahun yang lampau. Dengan gembira Kire Oli menuju ke rumah Hemado
Lena.
Segala perlengkapan dari
negeri Ndao seperahu penuh diturunkan dan dibawa ke rumah Hemado Lena. Kire Oli amat rindu melihat kekasihnya
yang lima tahun lalu di tinggalkannya masih kecil.
“Ayah dan Ibu tercinta?
Di manakah adikku Hemado Lena? Saya
rindu ingin melihat wajahnya”. Jawab
mereka:” Adikmu saat ini sedang belajar menenun di rumah neneknya Wannyi Hari Juda di Aikkepaka. Sabarlah! Berita kedatanganmu telah
disampaikan ke sana, dan mungkin tak lama lagi dia akan tiba di rumah”. “Tidak,
ayah dan ibu, saya harus menjemputnya sekarang juga”, jawab Kire Oli.
Lalu ia berangkat dengan
seorang anak perahu. Kera ajaib itu telah mengetahui
segalanya-galanya. Ia telah mengetahui bahwa Kire Oli akan datang menjemput Hemado
Lena hari itu dan ia telah siap-siap
dengan segala kesaktian yang ada
padanya untuk merebut Kire Oli dari
tangan Hemado Lena. Tiba-tiba saja kera sakti ini berubah ujutnya menjadi manusia.
Ia berteriak memberi tahu pada Hemado Lena yang sedang asyik menenun. “Kire Oli telah datang! Kire Oli telah datang dari Ndao Wolomanu. Berbahagialah engkau Hemado Lena. Itu... ia telah datang menjemputmu:”. Mendengar
teriakan gadis asal kera itu yang
tiba-tiba saja sudah berada di depannya itu, maka Hemado Lena lari dari tempat tenunannya dan bersembunyi di atas loteng rumah
neneknya. Secepat kilat gadis baru itu
tadi (kera-ajaib jelmaan itu) telah berada di tempat tenun menggantikan Hemado
Lena yang telah lari keatas loteng rumah. Hemado
Lena sendiri telah disihirnya sehingga
tidak dapat berbuat apa-apa. Wajah gadis
asal kera itu hampir serupa dengan Hemado Lena. Bedanya ialah bahwa Hemado Lena mempunyai tanda khusus pada badannya sejak
lahir yakni, dongo moto pa danni ode,
warru pa tanga Erai. Tanda-tanda ini tidak dapat diwujudkan karena itu
merupakan karunia Tuhan bagi Hemado Lena. Gejala keajaiban itu tadi tidak
disadari oleh siapa pun kecuali kera itu sendiri. Begitu Kire Oli tiba, ia langsung membelai
gadis yang sedang asyik menenun. Dikiranya itulah gadis Hemado Lena pujaannya, yang lima tahun lalu dipinangnya. Gadis itu
sangat cantik dan menawan hatinya. “Sungguh asyik adik menenun; berhentilah sejenak agar tidak kecapaian”.
Seperti lasimnya seorang
gadis menegur dengan sombong dan manja ia menjawab ; “ Untuk apa engkau
mengomentari pekerjaanku? Apa hubungan pekerjaanku dengan kedatanganmu?” Kire Oli tidak berkata membalasnya;
tetapi ia tersenyum dan memandang wajah gadis itu dengan pandangan penuh kasih
dan cinta. Mendengar ada suara laki-laki di luar sang nenek menanyakan, “Hemado Lena, siapakah yang berbicara
kepadamu? Kenapa begitu kasar engkau
membalasnya; Belum sempat Hemado Lena membalasnya sang nenek
telah keluar dari dalam rumah. Dan dilihatnya seorang pemuda telah berdiri di dekat Hemado Lena yang sedang menenun. Kire Oli memperkenalkan
diri ; “Saya adalah Kire Oli dari negeri
Ndao, datang untuk menjenguk nenek dan adik Hemado Lena”. “Bicaralah yang sopan dan ramah. Ia datang ke
Sabu adalah karena dirimu”, kata nenek.
Nenek tidak menduga
bahwa yang menenun itu bukan Hemado Lena,
yang sebenarnya, karena wajah gadis itu
serupa dengan wajah Hemado Lena. Segala keajaiban dan tipu muslihat yang
terjadi tidak disadari oleh keluarga Hemado Lena dan nenek Wannyi Hari Juda.
Tibalah saat perkawinan mereka dilangsungkan. Pesta perkawinan di rayakan dan
di meriahkan oleh rupa-rupa tarian. Banyak orang hadir pada pesta itu. Walaupun
yang menjadi penganten wanita sesungguhnya adalah seekor kera yang telah menjelma menjadi manusia yang telah merubah
wajahnya seperti Hemado Lena. Dialah
yang sekarang menjadi istri Kire Oli secara resmi. Hemado Lena
sendiri tak dapat berbuat apa-apa
karena telah disihir. Setelah pesta perkawinan telah berakhir Kire Oli
dan rombongan bersiap-siap untuk
kembali kenegerinya di Ndao.
Pada hari keberangkatannya
mereka dengan hormat memohon diri pada
ayah dan ibu Hemado Lena. Si istri masih meminta lagi seorang pembantu kepada ayah dan ibunya yang dipilihnya sendiri. Ia mengatakan bahwa ia mengingini
seorang gadis yang bersembunyi di loteng
rumah nenek Wannyi Hari Juda, nama gadis
itu Hera Alure.
Gadis tersebut di turunkan
dengan paksa dari loteng dan ia
pasrah pada nasibnya. Ia menangis mengenangkan nasibnya yang malang. Setelah
lepas pantai angin tidak bertiup lagi. Dan perahu diombang-ambingkan ombak kian ke
mari sehingga tidak bertambah maju. Menurut
kepercayaan, keadaan perahu yang demikian pasti ada penyebabnya. Setelah diteliti sebab musababnya ternyata nyonya dan budaknya lah yang menjadi penyebabnya. Karena itu nyonya disuruh bernyanyi ; Bunyi
lagunya : “Ku, kahhe-Ku, Kahhe Dakka
ngalu, badji dahi, Koko Kowa Kire Oli Ruma Lamodai o o o”. Tetapi perahu itu tetap tidak
bergerak dari tempatnya dan tak dapat maju walaupun ia telah Hoda (bernyanyi)
berulang kali. Akhirnya pembantu itu
disuruh Hoda (menyanyi). Ia mulai menyanyi dengan sedih katanya :
“Wo Kire Oli Rumalama
dai ee, Tai ei ya, pa lobo rano ana ya,
Dake dee atto are doke botte atto ubu. Hi tao au makke paya rowi ya, hakku
mejaddi ya ta do ammu ddau lere kode ma ihi rai Dao”.
Ø Arti dari Hoda/nyaniannya:
Ø “Oh Kire Oli, sungguh kejam engkau
Ø Demi cintamu aku jadi menderita
Ø Aku sesungguhnya sangat berbahagia
Ø Dalam rumah gendang, ibu bapak dan nenekku
Ø Demi cintamu engkau telah membawa aku kemari
Ø Menjadi seorang hamba sahaya dari seekor binatang
Ø Kera yang tidak tahu akan dirinya, Aku sangat menderita
Ø Karena perbuatanmu”.
Setelah pembantu
melagukan nyanyiannya, angin kencang
mulai bertiup dan perahu itu berlayar semakin laju. Kira-kira berjalan kurang
dari empat jam, pembantu (Hera Alure)
membisikkan kepada dewa Luji Liru
supaya memerintahkan angin berhenti bertiup, dan perahu itu tinggal tetap di
tempat. Jurumudi menentukan lagi nyonya
untuk Hoda (menyanyi) tetapi tanpa
hasil. Kemudian budak itu diminta
lagi untuk Hoda. Selesai Hoda, perahu berlayar lagi dengan amat cepat. Demikianlah
keadaan perahu Kire Oli. Apabila sang nyonya yang disuruh Hoda, perahu tidak
berjalan, tetapi ketika si budak menyanyi, perahu berjalan dengan cepat.
Setelah dua hari berlayar mereka tiba di pelabuhan Ndao. Dari jauh orang telah
melihat kedatangan Kire Oli. Di negeri
Ndao orang telah bersiap-siap menyambut sang Ratu.
Istana Kire Oli dihiasi
dengan bunga-bunga beraneka warna dan
keramaian berlangsung secara meriah. Jalan menuju pintu masuk dibentangi dengan
tikar-tikar yang indah. Diatas tikar diatur secara rapih deretan-deretan piring dan mangkuk.
Deretan piring yang
diatur di sebelah kanan jalan di
untukkan bagi Permaisuri, dan
deretan mangkuk di sebelah kiri jalan
untuk pengikutnya/pengiringnya. Hal ini
untuk mengetahui apakah permaisuri
itu berasal dari keturunan bangsawan ataukah ia seorang rakyat
biasa.
Dan terjadilah suatu yang aneh.
Piring-piring yang
diinjak sang Ratu semuanya pecah,
sedangkan mangkuk-mangkuk yang diinjak/dipijak oleh pengikutnya tidak satu
pun yang pecah. Semua orang yang hadir
dalam penyambutan itu menjadi heran, mengapa terjadi demikian. Tiga hari tiga
malam diadakan pesta pora. Kire Oli dan
nyonya (kera siluman) tampak
gembira sedang Hera Alure (Hemado Lena-asli)
yang di perbudak Ratu, menangis sepanjang hari. Pada suatu hari sang
nyonya menegur, “Hai Hera Alure mengapa kerjamu hanya menangis saja. Apa yang
engkau susahkan. Tidak sadarkah engkau bahwa engkau adalah pelayan? Apa saja yang kuperintahkan dan dimana saja
harus engkau kerjakan.
Tidak perduli apakah
engkau dalam keadaan sehat, sakit, susah atau pun senang. Engkau adalah budakku mengerti”.
Hera Alure merasa sangat sakit
hati karena bentakan itu. Di Ndao pada waktu itu tengah berlangsung musim padi menguning. Sangat di
butuhkan tenaga untuk menghalau burung-burung pipit yang datang menghabiskan
padi. Sudah banyak tenaga yang
dikerjakan untuk menjaga padi disawah
Kire Oli, tetapi burung-burung bertambah mengganas. Maka permaisuri
mengusulkan agar Hera Alure di
suruh pula menjaga padi di sawah. Usul
itu di setujui Kire Oli dan Hera Alure pergi menjaga padi di sawah.
Selama tiga hari ia
menjaga padi hampir tidak ada burung
pipit yang mengganggu padi Kire Oli.
Pada hari yang keempat timbullah niat jahatnya.
Ia ingin membalas dendam
kepada Kire Oli dan Permaisurinya karena perlakuan atas
dirinya yang tidak wajar. Dan ia
merasakan betapa rindunya pada orang tuanya dan neneknya Wennyi Hari Juda di kampung halamannya. Maka
di panggilnya segala binatang untuk menghabiskan padi Kire Oli. Demikian
tuturnya dengan manteranya sbb : “Wo badda jara, badda kebao, wawi kii, woruha
toga, mai kowe ma pe alle ne Kire Oli, Ne Kita Rihi hedui pa ya ne wole pejaga
ma are no”. Dan permintaannya, di kabulkan dewa, (Segala kerbau, kuda, kambing,
domba, rusa, serta segala binatang menghabiskan
padi itu hanya dalam waktu sehari).
Semuanya lenyap. Pada
pagi hari orang-orang yang telah bangun dari tidurnya dan memandang ke arah sawah Kire Oli , mereka
mengetahui bahwa tidak ada sebatang padi pun yang tersisa di tengah sawah, maka
tersiarlah berita sampai Kire Oli dan
permaisuri bahwa sawahnya telah licin tandus di makan binatang hutan. Hera
Alure melarikan diri ke pelabuhan dan mengambil sebatang kayu dan di rubahnya
menjadi sebuah perahu kecil. Ia menumpangi perahu itu dan berlayar menuju
negerinya di pulau Sabu. Hera Alure memanggil dewa laut dan dewa
angin untuk menolongnya dalam
perjalanan. Sehari saja ia telah tiba di
pulau Sabu. Di adukannya segala hal ihwalnya kepada orang tuanya,
bahwa dahulu ia telah di tipu oleh sang
kera, dan bukannya ia yang dinikahkan
dengan Kire Oli melainkan sang
kera itu.
Orang tuanya merasa
sangat sedih karena mereka semua di
tipu.
Akan segala
kejadian/peristiwa yang telah terjadi, Kire Oli
mulai timbul kecurigaan kepada permaisurinya. Ia mulai mengadakan
penyeledikan dan menghubungkan beberapa rentetan kejadian seperti perahu tidak
mau bergerak maju, kalau sang nyonya Hoda/menyanyi, tetapi kalau
pengikutnya/pelayannya Hoda/menyanyi, perahu itu berjalan lagi. Pada waktu
penyambutannya segala piring yang
dilewati/diinjak sang ratu semuanya pecah sedangkan mangkuk yang
dilewati/diinjak si budak tidak satupun
pecah. Waktu Hera Alure menjaga padi
semua burung pipit tidak mengganggu padi tetapi setelah ia lari segalanya hancur binasa.
Rentetan
kejadian-kejadian ini menumbuhkan suatu keyakinan dalam dirinya. Akhirnya Kire Oli memutuskan untuk berlayar
ke Sabu mencari budak yang telah
melarikan diri. Dia akan ke Sabu mengikuti Hera
Alure. Jangan-jangan ia mendapat kecelakaan, dan kesalahan akan di
timpahkan oleh orang tuanya kepada dia. Sementara itu orang tua Hemado
Lena ingin mengetahui mengapa
anaknya pulang kembali. Setelah
segalanya di ceriterakan, barulah mereka mengerti duduk persoalan sebenarnya
dan mereka merasa iba kepada anaknya yang bernasip demikian. Setelah Kire Oli
tiba di Sabu ia langsung pergi kerumah keluarga Hemado Lena.
Maka kepada Kire Oli di
ceriterakan segala persoalan yang telah terjadi. Di ceriterakan juga bahwa
istrinya itu sesungguhnya bukan Hemado
Lena yang dulu dipinangnya,
melainkan seekor kera sakti dari
hutan Kelara yang telah menjelma. Kera sakti itu adalah istri dewa Luji Liru yang telah di kutuk
menjadi seekor kera dan tinggal di hutan
Kelara. Dialah yang menggagalkan perkawinan Kire Oli dan Hemado Lena. Akhirnya Kire Oli meminta maaf kepada kedua
orang tua itu, dan ia di perkenankan mengawini Hemado Lena putri mereka yang
sesungguhnya. Kire Oli menjadi sangat marah karena merasa telah ditipu oleh kera. Hemado Lena menceriterakan juga segala
yang telah terjadi di rumah nenek Wanny
Hari Juda, tanpa di sadari oleh seorang
pun kecuali dirinya sendiri. Tetapi ketika itu ia telah disihir oleh kera, hingga tidak dapat
berbuat apa-apa. Beberapa hari
kemudian setelah perkawinan mereka
berlangsung, Kire Oli pun minta
izin kembali ke negeri Ndao-Rote. Ia
ingin mengadakan perhitungan dengan kera
tersebut. Setiba di Ndao, Kire Oli mengasah pedangnya hingga tajam dan ia
mengajak permaisurinya berjalan-jalan. Tiba
di dekat sebatang pohon kesambi, Kire Oli menghabiskan nyawa permaisurinya
dengan sekali ayunan pedangnya. Setelah Kire Oli mengadakan perhitungan itu, ia menceritakan
kepada orang tuanya bagaimana duduk
persoalan yang sebenarnya. Dan orang tuanya menerima baik segala yang
dijelaskan olehnya. Akhirnya Kire Oli
pun di perkenankan untuk pergi menjemput istrinya. Kemudian mereka kembali ke
negeri Ndao dan sejak saat itu mereka hidup rukun dan damai. (Dep.Dik.Bud,
Ceritera Rakyat Daerah Nusa Tenggara Timur, l982, hal.44-53)
Folklore
from Nusa Tenggara Timur - Indonesia
ONCE upon a time, a
grandmother and her grand daughter lived in Roti Island, Nusa Tenggara Timur
INDONESIA. They had a field and grew some vegetables. The grandmother sold them
at the market. On one morning, the grandmother would go to the market. Before
she left, she asked her granddaughter to cook. “ Please cook some rice for
lunch. But just cook one grain of rice. It’s enough for both of us.” “Why,
Grandma?” asked the girl. “Just do what I said.” The grandmother then left for
the market. Later, the girl started to cook. However, she felt a grain of rice
would not be enough for them. “I think it’s not enough for me and my
grandmother.” Then she took two handful of rice. Suddenly, something bad
happened to the rice pot. “Oh, no! The rice flowed out of the pot!” shouted the
girl. “What should I do?” The rice became rice porridge. It flowed and flowed
until it covered the kitchen. Suddenly, the grandmother came home. The girl
explained what happened. “You are a naughty girl! Why didn’t you listen to me?”
the grandmother was so angry. She hit the girl with a wooden stick. “ Please
forgive me, Grandma!” the little girl cried and cried. But the grandmother kept
hitting her. Then, an incredible thing happened! The girl turned into a monkey.
The monkey then ran away and climbed a tree. The grandmother chased the monkey.
From the tree, the monkey said. “Grandmother, I’m a monkey now. I cannot live
with you anymore. You are all alone.” Then the monkey climbed up and disappeared.
The grandmother was very sad. She regretted what she done to her beloved grand
daughter. “ Please come back to me. Please forgive me, my grand daughter!’ but
it was too late. The little girl has turned into a monkey and never came home.
The people of Roti Island believe this story. And that is why until now; people
in Roti Island never hit their children or other people’s child. They are
afraid that the child would turn into a monkey. ***Internet.
Hikayat “Lehamik” Manusia Raksasa di Rote
Dipulau Rote terdapat sebuah batu besar yang pernah diinjak oleh “Lehamik,” manusia raksasa.
Bekas jari kakinya serba besar. Lebih-lebih bekas tumitnya . Bekas kakinya
sangat cekung dan sangat besar sehingga pada musim hujan
disitu banyak sekali air tertampung, tempat kerbau-kerbau hutan datang minum
kesitu. Lehamik ialah manusia raksasa, yang pernah hidup di
Rote dan sekitarnya. Pada tahun berapa Lehamik
itu hidup, tidak seorang pun lagi sekarang yang mengetahui. Juga tidak seorang pun dapat mengetahui dengan pasti bahwa benar-benar
pernah hidup. Tetapi kini semua orang
dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri adanya batu besar dengan bekas kaki raksasa
yang seolah-olah tercetak diatasnya. Tidak seorangpun, akan mengatakan
bahwa batu yang cekung itu adalah hasil pahatan manusia, maka orang percaya
bahwa itu adalah bekas kaki Lehamik.
Tetapi siapa Lehamik itu tidak seorangpun
mengetahuinya. Di Pulau Timor dan pulau Alor juga di dapati bekas kaki yang
besar itu. Dengan ini, orang-orang makin yakin bahwa pada suatu ketika dahulu, Lehamik pernah hidup. Kalau kita selalu
ingat bahwa tulang-belulang manusia purba itu kebanyakan lebih besar dari pada
tulang-tulang kita sekarang ini, maka pernah hidupnya Lehamik dipulau Rote ini bukan suatu kemustahilan. Menurur ceritanya, kecuali bertubuh besar, Lehamik juga seorang yang sakti.
Di
ceritakan bahwa manusia raksasa ini hidup di tengah-tengah orang-orang biasa
yang kecil-kecil seperti kita sekarang ini. Jadi pada masa hidupnya Lehamik
merupakan keanehan, karena besarnya.
Karena besar dan saktinya ini, orang-orang Rote di zaman itu menjadi khawatir,
kalau-kalau pada suatu ketika Lehamik
akan menggunakan kesaktiannya dan kekuatannya yang sangat besar itu.
Tentu
saja bila ini terjadi, rumah-rumah akan
roboh di tendangnya dan orang-orang akan mati di-injak-injaknya. Karena
kesaktiannya orang-orang tentu saja sia-sia jika melawannya, meskipun serentak
bersama-sama semua orang. Walaupun Lehamik
belum pernah marah dan merusak, namun kekhuatiran orang-orang makin
bertambah-tambah. Mereka berhimpun dan
bermufakat akan membunuh Lehamik,
orang yang tidak bersalah itu.dengan tipu muslihat. Mereka mengumpulkan uang
dan uang itu diberikan kepada istri
Lehamik. Istri Lehamik inilah
yang di serahi tugas untuk membunuh suaminya. Istri Lehamik orang biasa dan
bertubuh kecil.
Karena
itu pembunuhannya harus dengan jalan
tipu muslihat. Sayang setelah
melihat jumlah uang yang begitu banyak, istri
Lehamik itu sampai hati menerima tugas membunuh
suaminya, yang sama sekali tidak berdosa itu. Pada suatu hari siasatnya di
jalankan. Ia pura-pura mencarikan kutu pada kepala suaminya. Setelah lama maka
suaminya tertidur. Ia sebagai istrinya tahu dimana letak kesaktian suaminya
itu. Di kepala Lehamik diantara rambutnya yang sangat lebat itu, tumbuh seberkas ilalang. Berkas ilalang inilah
yang menyebabkan ia menjadi sakti. Setelah istrinya tahu bahwa Lehamik telah
benar-benar tertidur, maka dengan sekuat tenaga di cabutinya ilalang
itu. Seketika itu juga Lehamik terkejut dan terbangun. Dia
mengamuk kekiri dan kekanan, tetapi kesaktiannya sudah hilang dan kini dia buta. Meskipun demikian dia mengamuk
terus menghancurkan apa-apa saja di depannya. Ia mengamuk terus sampai habis
tenaganya sama sekali.
Akhirnya
karena terlalu lemah ia jatuh tersungkur dan mati. Memang Lehamik pernah
mengamuk, tetapi setelah orang berbuat jahat kepadanya, setelah ilalangnya
dicabut orang. Dengan matinya
Lehamik, kekuatiran orang-orang lain lenyap sama sekali. Lehamik mengamuk untuk pertama kalinya
dan untuk yang terakhir kalinya. Setelah ia mati hari berjalan seperti biasa.
Sekali hujan sekali panas, sekali angin bertiup. Bekas kaki-kaki Lehamik lenyap disapu hujan, ditimpa panas.
Debu-debu di terbangkan angin, sehingga gambaran bekas kakinya di tanah menjadi
pudar. Angin kencang bertiup. Gambaran yang sudah pudar di embusnya dan hilang
sama sekali. Akhirnya lenyap dibawa angin. Untung sekali dia pernah menginjak tanah liat yang kemudian menjadi batu, sehingga sekarangpun kita masih
menyaksikan bekas kaki Lehamik, manusia
raksasa yang pernah hidup di pulau Rote, diatas batu yang pernah
diinjaknya. (Gyanto, l958, hal.97-98).
Legenda Rumah Roh Dan
Manusia-Buaya di O’Epao-Rote
Ada
sebuah keistimewaan pada rumah roh
di Batuidu Ibu Kota Kerajaan O’Epao
ini, bila di bandingkan dengan rumah-rumah roh
di tempat-tempat lain. Istimewanya ialah, bahwa rumah roh Batuidu di simpan juga sebuah kulit buaya. Pada waktu-waktu tertentu kulit buaya ini di keluarkan
dari rumah roh untuk di buatkan pesta adat. Saat yang bahagia ini
membuat laki-laki, wanita, dan anak-anak serta seluruh kampung tampak gembira
dan berseri-seri menyambut datangnya pesta ini. Ada seorang tua
adat yang di tugaskan setiap setahun sekali
membuka dan masuk mengambil kulit
buaya ini. Kulit buaya ini di
bawa keluar. Sampai diluar kulit ini disambut oleh orang-orang yang akan
mengadakan pesta, dengan sorak dan teriakan-teriakan girang dan gembira. Di
luar, kulit ini di bersihkan,
dihilangkan debunya. Kemudian orang-orang yang ada disitu menyambutnya dengan
menari “kebalai” mengelilingi kulit
buaya itu. Mereka bersenang-senang sampai jauh malam. Paginya kulit buaya itu di masukkan lagi
kedalam rumah roh dan diambil lagi kelak bila akan ada pesta yang semacam itu
lagi pada tahun berikutnya.
Menurut cerita orang
tua-tua,
dahulu beratus tahun yang lalu,
orang-orang di kerajaan O’Epao itu
sudah gemar menari kebalai. Sejak
zaman dahulu bila bulan mulai tampak dan sinarnya melalui celah-celah daun
kelapa sampai kebumi O’Epao,
maka orang-orang keluar ketanah lapang akan menghibur diri, menari kebalai bersama-sama dengan
kawan-kawannya. Mereka menari sepuas-puasnya untuk menghilangkan kesepiannya
yang telah dialaminya selama bulan tidak menampakkan dirinya. Pada suatu malam terang bulan, pada zaman dahulu, salah
seorang penduduk kerajaan O’Epao ini pergi kekebun akan menyadap nira
pohon lontarnya. Teman-teman yang lain sedang beramai-ramai menari kebalai di
lapangan luas, sebab terang bulan. Tari kebalai ini boleh diikuti oleh
siapa saja yang mau. Mereka sudah lama menari.
Lelaki yang memanjat pohon lontar sudah beberapa
kali mengiris tangkai mayang lontar yang akan diambil niranya. Dari atas
pohon itu dia dapat memandangi laut seluas-luasnya. Ketika ia memandang kelaut,
tampaklah olehnya sebuah benda hitam terapung-apung dilaut. Benda
itu makin lama makin mendekati pantai dan akhirnya melata dan merayap di
daratan. Benda itu kelihatan antara nyata dan tidak. Setelah
diperhatikan dengan baik-baik oleh penyadap lontar itu nyatalah bahwa benda
yang hitam itu adalah seekor buaya. Buaya
itu melata terus menuju serumpun semak. Pengiris lontar itu pun dari atas
pohon memperhatikan terus segala gerak-gerik buaya itu. Sampai di rumpun semak
itu ia berhenti, dan kulitnya di lepaskan. Dari dalam kulit itu
muncullah seorang manusia. Manusia
yang asalnya dari buaya ini tergesa-gesa berdiri dan kulit buaya yang sudah dilepaskan itu
disembunyikan didalam semak-semak. Kulit itu akan di masukinya lagi
nanti, bila ia ingin menjadi buaya kembali. Ia terus berjalan meningalkan semak
itu menuju ketempat orang-orang yang sedang menari “kebalai”. Penyadap
lontar yang mengetahui semuanya ini lekas-lekas turun dari pohon lontarnya menuju kerumpun semak tempat kulit buaya
itu disembunyikan. Kulit buaya itu diambil lalu dibawa pulang
kerumahnya. Kemudian ia pergi kelapangan tempat orang-orang yang sedang berkebalai
untuk turut pula menari. Setelah sampai di lapangan itu, ia mencari orang
yang berasal dari buaya itu. Tetapi dia tidak dapat membedakan orang yang
berasal dari buaya ini dengan orang-orang biasa lainnya.
Orang yang berasal dari buaya ini sebetulnya sudah
kembali kesemak belukar, tempat kulitnya disembunyikan tadi, sebab sudah larut
malam dan juga sudah sangat leleh ia berkebalai dengan orang-orang biasa di
O’Epao tersebut. Tetapi tatkala kulitnya tidak dapat dijumpainya lagi
ditempatpersembunyiannya, maka dia kembali lagi ketempat orang-orang menari dan
turut berkebalai. Karena kulitnya tidak ditemukan lagi, maka orang yang asalnya
dari buaya ini terus menjadi manusia,
tidak dapat kembali menjadi buaya lagi dan menjadi warga kerajaan O’Epao.
Setelah beberapa hari maka orang yang menemukan
kulit buaya itu melaporkan kejadian yang dialaminya kepada kepala kampungnya.
Sebagai bukti perkataannya, di-tunjukkanlah kulit buaya yang didapatnya itu.
Sebentar saja rakyat seluruh kerajaan O’Epao sudah mendengar berita yang
menggemparkan itu semuanya. Mereka mencari orang yang berasal dari buaya itu,
tetapi tidak kunjung mendapatkannya. Manusia buaya itu telah menyelinap menjadi
rakyat biasa. Kemudian oleh orang-orang tua di kerajaan itu di putuskan untuk
menyimpan kulit buaya itu di dalam rumah roh dan kulit buaya itu menjadi milik
kerajaan, milik bersama. Rakyat kerajaan O’Epao sebetulnya ingin bersahabat
dengan siapa saja, meskipun sahabat itu berasal dari buaya.
Tetapi rakyat yang ingin
bersahabat itu dikecewakan dengan tidak
ditemuinya manusia buaya, orang yang mau dijadikan sahabatnya itu. Meskipun
tidak di temui mereka, orang itu diakuinya sebagai sahabat mereka. Untuk
membuktikan bahwa rakyat O’Epao menganggap sahabat kepada
manusia buaya itu, maka pada waktru-waktu tertentu diadakan pesta untuk
menghormati sahabatnya yang hilang tak tentu rimbanya itu.
Betapa mesaranya
persahabatan di Indonesia, dapat dilihat antara lain dikerajaan O’Epao ini. Sahabat yang belum pernah dilihat, sahabat yang belum
tentu berperangai baik, sahabat yang mungkin mengacau kerajaan itu, tetapi tetap dihormati. Mereka tentu sangat menyesal dengan hilangnya sahabat mereka. Penduduk yang
berperangai Indonesia murni, belum
banyak dicampuri kebohongan-kebohongan dari luar itu, pada waktu yang tertentu
menghormati sahabatnya yang hilang itu seperti sekarang ini. Yang berkebalai,
berkebalai terus, yang menari foti masih juga menari, yang
lainnya memukul gong, tambur, bitala dan menyanyi. Keanehan-keanehan yang
demikian tidak hanya terdapat di kerajaan O’Epao saja,
melainnkan pada semua kerajaan di pulau Rote (Roti). Keanehan-keanehan pada
tiap kerajaan berlain-lainan. (Gyanto,
l958, hal.90-91).
LEGENDA- BATU--TERMANU
Di pantai Kerajaan
Termanu ada sebuah batu karang yang menjulang tinggi melebihi tingginya
sebatang pohon kelapa dan tak mudah memanjatnya. Batu karang yang tinggi itu
dinamai orang “Batu Termanu” karena
terletak di kerajaan Termanu. “Apakah
Batu Termanu itu istimewa ?” Keistimewan, sebetulnya tidak. Tetapi
orang-orang disini sendiri, yang menyebabkan batu itu menjadi istimewa. Menurut
kata orang, batu itu dapat mendatangkan hujan.
Dikatakan juga bahwa batu itu berasal
dari pulau Seram- Maluku. Dari Seram, batu itu pergi kepulau Timor.
Tetapi di Timor ia sedih sekali, sebab tidak seorang pun yang mau datang
membawa “sesajen” kepadanya. Karena tidak tahan menderita
kesedihan ini, maka batu itu pindah ke
pulau Rote. Mula-mula ia datang kekerajaan Dengka. Tetapi rakyat
kerajaan Dengka ini pun sama halnya
dengan rakyat dipulau Timor, tidak mau memberi korban kepada batu itu, lalu
batu itu berpindah lagi kekerajaan O’Epao.
Di O’Epao sama halnya dengan
rakyat Timor dan rakyat Dengka,
akhirnya batu yang tak pernah putus asa itu terus saja mencoba hidupnya,
mencari kebahagiaan. Dari itu ia pindah lagi kekerajaan Termanu. Rakyat Termanu berduyun-duyun datang membawa
bermacam-macam “sesajen” . Karena
cita-citanya telah terlaksana, maka batu
itu menetap terus disini. Sebagai pembalas jasa kepada rakyat Termanu
yang mencintainya itu, ia sanggup mendatangkan hujan untuk mengairi sawah, bila rakyat Termanu memintanya. Bila datang musim kemarau, maka salah seorang
diantara sekian banyak rakyat Termanu itu datang diiringi berpuluh-puluh
kawannya kebatu itu.
Sebelumnya,
orang ini berpuasa beberapa hari
lamanya. Setelah sampai dibatu itu ia naik kepuncaknya. Disana akan dijumpai sebatang pohon kecil yang berdaun merah.
Pucuk batang itu lalu
dipotong. Maka turunlah hujan yang
diminta itu.
Dia turun kembali lalu
pulang bersama-sama kawan-kawannya. Pada zaman dahulu, pada saat yang tertentu,
di sekitar batu itu diadakan pesta
besar-besaran. Karena dipuncak batu
itu ada tumbuh-tumbuhan yang berdaun
merah maka dalam pesta itu segala sesuatunya berwarna merah juga. Orang-orangnya berpakaian serba merah, beras
yang akan ditanak/dimasak juga beras merah, kerbau yang mau di sembelih disitu
harus berbulu merah pula dan segala sesuatunya serba berwarna merah. Pada waktu siang hari batu itu
kelihatan indah sekali seperti istana kuno. Menurut cerita orang, pada
waktu-waktu tertentu dibawah Batu
Termanu itu terdapat emas. Oleh karena itu sering banyak
orang datang ke Batu Termanu, khusus untuk mencari emas disekitanya. Mereka
yang bernasib untung bisa mendapatkannya.
Cerita ini sebenarnya mengatakan bahwa “Batu
Termanu” itu ialah lambang kemakmuran kerajaan Termanu. Tugas batu
itu tidak berbeda dengan tugas Tugu Pahlawan di Surabaya, Tugu Muda di
Semarang, atau Tugu Monas di Jakarta.(Gyanto,l958, hal.67-68).
Penulis : Drs.Simon Arnold
Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.