BAHASA SASTRA LISAN ORANG ROTE (BINI)
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Bahasa Rote Berhukum DM Dan MD
Pulau Rote begitu kecil
(luasnya = 1.890 Km2) namun
bahasa yang dipakai berbeda antara
kerajaan yang satu dengan lainnya (l9
kerajaan), baik kata-katanya maupun dialeknya. Ini disebabkan karena
kelompok-kelompok pendatang yang datang pertama kali ke pulau Rote itu juga,karena :
Ø berbeda-beda adat
istiadat,
Ø asal-usul dan,
Ø bahasanya,
sehingga
mengalami kesulitan dalam berkomunikasi pada awalnya. Mereka saling
mempertahankan bahasanya masing-masing.
Bahasa Rote berhukum,
Ø D M (Diterangkan - Menerangkan) dan juga,
Ø berhukum M D (Menerangkan - Diterangkan) seperti bahasa - bahasa Barat.
Hal ini disebabkan oleh
karena, kedatangan mereka ke Pulau Rote pada awalnya, berasal dari berbagai
pulau yang berbeda-beda pula, baik bahasanya maupun adatnya. Sebagian dari mereka yang datang dari,
Ø Seram atau dari Utara (berhukum D.M)
dan,
Ø sebagian lagi yang datang dari Hindia Belakang atau dari arah Barat
(berhukum M.D).
Karena kedua kelompok
bahasa pendatang ini saling mempertahankan hukum bahasanya masing-masing, maka
mereka lalu menciptakan “Bahasa
Persatuan” mereka, yang merupakan perpaduan berhukum D.M dan MD.
Bahasa Persartuan
inilah yang menjadi bahasa Rote sekarang ini.
Ø
Secara geografis
kerajaan Termanu terletak diantara dua kelompok hukum bahasa ini, maka bahasa
Ø Termanu merupakan perpaduan antara Hukum DM dan MD, yang dapat dimengerti
baik oleh penduduk kerajaan-kerajaan di bagian baratnya maupun
kerajaan-kerajaan di bagian timurnya, maka
dipakailah sebagai “Bahasa Persatuan.” (Gyanto, l958).
Ø Bahasa Rote oleh penduduk Pulau Rote dan penduduk Rote yang mendiami
Pulau Semau, dan yang mendiami wilayah sepanjang pantai Barat dan Utara Pulau
Timor hingga perbatasan Timor Leste.
Bahasa Melayu Kupang sebagian besar, menggunakan bahasa campuran antara bahasa Indonesia
(Melayu) dengan, banyak istilah-istilahkata-kata serta logat yang berasal dari
bahasa Rote. Hal ini disebabkan, sejak awal diperkenalkan bahasa Melayu pada
tahun l700-an oleh guru-guru dan pendeta orang Ambon saat membuka sekolah dan
penyebaran agama Kristen Protestan di Timor dan di Rote, banyak kata-kata
Melayu yang belum dikenal oleh masyarakat, sehingga terpaksa mengambil rujukan
kata-kata dan istilah-istilah bahasa
Rote yang dipakai oleh penduduk Kupang, yang pada saat itu penduduknya
mayoritas adalah orang Rote, dan sebagian besar dari mereka sebagai tuan tanah
di wilayah sekitar kota Kupang.
Walaupun sekarang pengetahuan tentang bahasa
Indonesia sudah merata diantara penduduk/masyarakat, namun kebiasaan memakai kata-kata/istilah-istilah dan logat Rote masih
tetap membudaya hingga sekarang ini.
Bahasa Ritual Dan
Bentuk-Bentuk
Bahasa Dalam Bahasa Roti
James J.Fox, dalam
bukunya Bahasa, Sastra dan Sejarah
Pulau Roti tentang kemahiran
berbicara, kecekatan pikirannya orang Roti,
dikutip sebagai berikut :
1. ....Tradisi histotiografi lisan orang Roti
rumit. Tradisi itu menekankan cara
pengungkapan linguistik, kecekatan verbal dan suatu ketrampilan tinggi dalam berargumentasi dan acuan yang disusun berdasarkan suatu
pengetahuan yang baik tentang nama-nama
tempat. Menurut James Fox, l989,
hal.28, berpendapat bahwa hal ini juga sangat penting bagi cara orang Roti melihat dirinya sendiri
pada masa lampau. Ia mengambil contoh tentang kisah-kisah sejarah Termanu dimaksudkan untuk menjelaskan pembentukan nusak itu, penaklukan wilayahnya,
penyatuan klen-klennya dalam sistem pemerintahan, dan kejayaan serta kegagalan
pemimpin-pemimpinnya . Tema pengikat yang ada dalam hampir semua kisah ini --- pokok yang mereka ingin
gambarkan --- adalah tipu
daya (baca : akal)
yang terus menerus dan tak pernah
gagal dari pimpinan-pimpinan Termanu dan para pengikutnya yang setia.
Semacam kecerdikan yang mengandung tipuan (baca : akal)
adalah suatu sifat yang dikagumi oleh
orang Roti. Pikiran cekatan yang diperlukan
untuk merencanakan tipu daya (baca : akal)
yang berliku-liku atau untuk memanfaatkan
suatu kesempatan yang tersedia dan kemampuan untuk membujuk seseorang dengan cara apa
pun dan meyakinkannya berdasarkan beberapa bukti-bukti yang bertentangan ---
ini semua merupakan beberapa dari sifat
yang dimiliki leluhur pembentuk dinasti
Termanu dan masih terus diwujudkan oleh keturunannya. Mulai dari penipuan (akal) pertama Dae
Langgak (Tuan Tanah) sampai segala macam penaklukan dan kejayaan
yang didapat , tidak dengan kekuatan fisik, tetapi dengan cara berbagai
daya upaya (akal), kisah-kisah sejarah
Termanu didasarkan pada kecerdikan unggul garis keturunan
manek (raja) yang berkuasa. Bahkan kegagalan besar dinasti ini
dikaitkan dengan kecerdikan yang keterlaluan
pula. Kisah-kisah keperkasaan para manek
(raja) dengan kecerdikan menjadi hiburan yang
memikat.
2.
.....Hubungan-hubungan orang Roti dengan Belanda adalah sejak l650. Arsip Belanda selama 300 tahun
tentang pulau Roti juga menunjukkan
adanya sikap yang sama, dalam hal ‘berbicara’ ini. Laporan tahunan VOC tentang Timor dalam abad
ke-l8 penuh dengan catatan-catatan mengenai saling pertikaian (dibaca :saling bergantian) di antara para
penguasa Roti.
3. Pada abad
ke-20 pemerintah kolonial secara tidak resmi menetapkan Roti sebagai pulau ujian. Jika
seorang administrator muda Belanda mampu mengendalikan keributan orang-orang
Roti yang senang berperkara itu, ia akan mendapatkan kenaikan pangkat.
4.
Sebaliknya, orang-orang Roti
“membantu” Belanda dengan menghidupkan kembali pertikaian adat yang
sudah lama untuk setiap administrator yang baru. (Penulis = Belanda, dengan
politik adu domba). Bahkan para pengunjung (Belanda) yang
sesekali datang ke pulau Roti itu terkesan oleh sifat-sifat orang Roti.
5. Sebuah
contoh dari J.Fox, hal.146, bahwa
pada tahun l891 seorang naturalis, Hermanten Kate, dalam
perjalanannya di Indonesia Timur telah mengadakan kunjungan singkat ke Roti. Ia
menulis pengamatannya : “ Hampir ke mana pun kami pergi di Roti ini, selalu ada
saja pertikaian mengenai ini dan itu”. Penduduk asli, yakni orang Roti
dapat mengungkit hal-hal sepele
persis seperti kelakuan nenek-nenek Belanda.
6.
Saya yakin bahwa kegemaran
berbicara inilah yang merupakan sebagian alasannya, karena setiap pertengkaran
tentunya menyediakan bahan yang melimpah untuk
berbicara” (l894 :221). Sebagai ahli
etnografi, untunglah saya tiba di Roti pada larut malam sehingga saya tidak
terlibat dalam pertengkaran sampai keesokan harinya---pagi-pagi sekali.
7.
Bagi orang Roti berbicara
adalah kenikmatan
hidup --- bukan hanya obrolan kosong untuk menghabiskan waktu,
tetapi merupakan suatu sikap untuk berpihak secara formal dalam pertengkaran, perdebatan, dan ketangkasan berbicara yang tak habis-habisnya
atau keinginan untuk saling menyaingi dalam menggunakan ungkapan-ungkapan dengan lancar dan berimbang dalam upacara-upacara.
8.
Pidato, khotbah dan pernyataan retorik merupakan kenikmatan. Tetapi dalam masyarakat berlapis
yang memiliki hierarki tatanan ini ada ketidakleluasan dalam berbicara. Dalam
pertemuan, kaum bangsawan lebih banyak berbicara daripada orang biasa, laki-laki
berbicara lebih banyak dari pada wanita,
dan orang tua birbicara lebih banyak daripada orang muda.
9.
Namun apabila diberikan kesempatan, seperti yang kadang-kadang berbicara terjadi, orang biasa, wanita dan kaum muda pun memperlihatkan kecakapan bicara yang sama tingkatnya.
10. Kurang bicara menunjukkan seseorang sedang bersusah
hati. Berulang kali orang Roti mengatakan bahwa apabila hati mereka kacau atau murung, mereka berdiam diri. Sebaliknya, untuk melibatkan diri
dengan seseorang, diperlukan kesempatan berbicara yang
aktif dan hal ini sering menjurus kepada suatu bentuk pertikaian
(yang bergantian berbicara) yang tampaknya dilakukan demi perdebatan itu sendiri daripada untuk memperoleh suatu kemenangan. (Fox, l989,hal.144).
11. Orang Roti membanggakan dirinya sebagai bangsa
yang fasih,
suka berdebat,
dan suka
bicara, Fox, l989, (hal.74).
12. Ketrampilan mempergunakan bahasa dalam segala
segi sangat dihargai seperti dalam bahasa-bahasa ritual dan percakapan biasa
dalam beberapa katagori yakni:
v Dede’ak (‘bahasa, wicara, dialek, debat’)
bisa diklasifikasikan menjadi suatu variasi bentuk bahasa yang berkaitan secara
pelik, masing-masing dibedakan oleh beberapa
selingan kriteria khas, yakni yang berhubungan dengan pokok, gaya,
konteks, atau penggunaan.
v ‘Bahasa cemooh’ (a’ali-o’olek), biasanya ditandai oleh percakapan tangkas antara dua
orang yang mempergunakan perangkat-perangkat ungkapan penghinaan yang berbeda dari ‘percakapan sehari-hari’.
v Tutui teteek (‘kisah sejarah’) atau ‘kisah
nyata’ atau ‘kisah tegak’. Kisah-kisah itu
merupakan suatu bagian kecil dari satu katagori kisah-kisah yang lebih umum dan
merupakan salah satu dari sejumlah gendre lisan yang saling
berkaitan yang dikenal orang Roti.
Dalam istilah kultur, tutui teteek membentuk kelas
cerita penghubung antara “bini” (‘sajak,’ ‘mantra’) dan tutuik (‘kisah’).
v Masing-masing
kelas ini memiliki ciri, bentuk, gaya dan subyek sendiri yang membedakannya
dari yang lain. Teteek dalam kata majemuk tutui-teteek, adalah bentuk
pengulangan dari tee. Dalam hubungan etimologi yang
sederhana, bentuk tee ini mungkin merupakan
turunan, dengan hilangnya konsonan tengah, dari kata tebe. Tee (dalam
bahasa sehari-hari) dan tebe
(dalam beberapa versi bahasa ritual) menunjukkan apa yang ‘benar, nyata, atau aktual’.
Namun tampaknya orang Roti, atau lebih khusus lagi orang Termanu, menghubungkan
istilah teteek dengan
akar lain dengan bentuk fonologi yang sama, tee, yang dipergunakan untuk mengacu
ke sesuatu yang ‘berdiri, diam, tegak’, adalah sebuah tiang yang
telah ditanam di tanah untuk menandai suatu kedudukan atau batas.
v Melalui
etimologi rakyat ini, terciptalah kaitan simbolik antara apa yang ‘benar’ dan apa yang ‘berdiri tegak
atau tetap di tempat’. Kondisi
atau kualitas inilah yang oleh J.Fox
maksudkan untuk menggambarkannya sebagai ‘berakarnya’ atau, barangkali lebih tepat, ‘tegaknya’ kisah-kisah sejarah itu.
Banyak kisah diceritakan dari nusak-ke
nusak hanya karena
cerita-ceritanya bagus. Tetapi seperti yang di maksud J.Fox ditemukan dalam
mengumpulkan versi-versi kisah yang sama di nusak-nusak (kerajaan-kerajaan) yang berbeda, sebuah kisah yang hanya
merupakan cerita bagus di suatu nusak,
dinusak lain bisa merupakan ‘kisah sesungguhnya’ atau ‘kisah
tegak’. Ia berakar di nusak
itu, dan ada hubungannya dengan kisah-kisah lain yang harus terpancang pada waktu dan tempat dan harus menyusun
kebenarannya sesuai dengan kriteria pembuktian orang Roti.
v Berbeda
dengan kelas bini (syair/mantra) yang mencakup korpus
yang terbatas, tutuik mencakup koleksi cerita yang
seluas-luasnya. Tutuik mencakup,
misalnya, sejumlah besar cerita binatang dan macam cerita lain yang banyak
ragamnya (misalnya cerita tentang setengah manusia, kuda berkepala tujuh, atau
hilangnya kail) yang kesemuanya memiliki varian-varian umum di seluruh
Indonesia.
v Seluruh korpus cerita yang sudah
diterbitkan dan cerita-cerita yang kemudian direkam oleh J.Fox, hal.16, hanya merupakan sebagian dari cerita-cerita yang
beredar di pulau Roti. Meskipun demikian, cerita-cerita yang terkumpul itu
cukup besar jumlahnya. Jika dicoba juga untuk membuat generalisasi tentang
kisah-kisah itu, maka pahlawan yang
sering muncul--- tak perduli manusia atau binatang---adalah tokoh yang cerdik yang mencapai maksudnya
dengan ketangkasan berpikir, bujuk rayu dan tipu daya.
v Pahlawan sebagai ‘penipu’ merupakan tema yang meresap dalam tutuik dan menurut J.Fox, bahwa tema ini mencerminkan suatu citra yang dimiliki orang Roti tentang
dirinya
sendiri.
v Hal ini
menjadi jelas khususnya pada tersebarnya beberapa cerita yang relatif baru,
yakni tentang Abu Nawas.
Koleksi bahasa Indonesia pertama tentang cerita ini, yang berasal dari Arab,
diterbitkan di Jakarta tahun l922 dan sejak
tahun l928 beberapa
kisah pilihan selanjutnya telah dicetak ulang empat belas kali di Balai
Pustaka.
v Tak perduli
bagaimana telah sampai di Roti, cerita-cerita
ini telah mengalami perubahan dalam tradisi lisan Roti. Abu Nawas, penasehat lihai Sultan Harunarrasyid, menjadi Aba Nabas, seorang pemimpin pengadilan orang Roti, dengan pangkat khusus manedope. (Rote = mane atau manek artinya raja; dope = pisau); jadi manedope artinya pemutus perkara (hakim adat).
v Sekarang,
bagi orang Roti, memanggil orang lain sebagai ‘Aba Nabas’ merupakan suatu pujian. Katagori tutuik juga
mencakup seperangkat cerita yang terpisah, tutuik-teteek, yang oleh J.Fox menamakan ‘kisah
sejarah’.
v Bini (sajak, mantera)
dinyanyikan dalam bahasa ritual,
harus selalu disusun dalam paralelisme.
Meskipun sangat mungkin menyusun sajak pendek mengenai masalah apa saja, atau
yang semakin sering terjadi, menciptakan sajak panjang dalam gaya tradisional
yang disesuaikan dengan suatu ritual sekuler, bini terutama sekali dimaksudkan untuk menceritakan suatu
khasanah khusus kisah-kisah mitologis. Kisah-kisah ini menyangkut dasar-dasar
kebudayaan Roti --- asal-usul api dan
pembangunan rumah, perkenalan dengan
kerbau dan padi atau jewawut dan penyebaran seni celup-ikat dan tenun.
v Kisah-kisah itu juga menceritakan tentang
hubungan-hubungan zaman purba antara dewa-dewa langit dan dewa-dewa laut
beserta keturunannya. Dalam mitos Roti adalah tempat pertemuan
makluk-makluk gaib; dan orang-orang
Roti merupakan ahli waris utama dari perjuangan mereka dulu itu. Dengan demikian orang Roti menyatakan
memiliki hubungan dengan makluk-makluk itu dalam bini-bini yang dinyanyikan dalam upacara kematian.
Tetapi genealogi dari makluk gaib yang menyusun khasanah bini membentuk
suatu perangkat asal-usul yang terpisah yang berasal dari berbagai genealogi
dinasti yang membentuk hubungan-hubungan dalam nusak-nusak (kerajaan-kerajaan) itu. Juga, apabila tempat-tempat
disebutkan dalam bini, alusinya adalah suatu perangkat nama ritual yang
konvensional. Siklus mitologi
kisah-kisah dalam bini hanya memiliki hubungan
longgar dan tak langsung dengan kisah-kisah sejarah nusak-nusak itu.
v (kokolak), sebagai gendre rakyat konvensional seperti teka-teki.
v (neneuk) berbeda dari ‘kisah’ (tutuik)
atau subperangkat kisah, yang apabila dihubungkan dengan silsilah khusus,
dianggap sebagai ‘kisah nyata’ (tutui-teteik)
dan berlaku sebagai perjanjian pelaksanaan politik.
v Bahasa ritual terbatas pada dua bentuk bahasa dalam bahasa Roti : ‘sajak, mantra’= bini dan ‘nyanyian’ = sosodak. Meskipun orang Roti sering menganggap
bahasa ritual (seolah-olah) sebagai suatu bahasa yang terpisah, ‘bahasa
leluhur’--- dengan kosa kata yang unik dan aturan ujaran tersendiri--- namun
sebenarnya lebih tepat apabila digambarkan sebagai gaya puitis yang khas pada bini. Berdasarkan definisi pribumi, semua bini adalah
bahasa ritual, tetapi semua nyanyian belum tentu
demikian.
v Nyanyian dalam bahasa ritual sama
dengan nyanyian yang sajak-sajaknya bisa
juga dinyanyikan sebagai bini.
Perbedaannya adalah dalam cara penampilannya. Bini pendek bisa
dibaca atau dinyanyikan (soda) sedangkan bini panjang dinyanyikan
umum (helo) dalam pertemuan seremonial. Namun juga berbeda ini sama
sekali tidak kaku.
v Dalam bahasa ritual, verba soda dan helo membentuk suatu pasangan diadik.
Bahasa ritual harus dipergunakan dalam semua
kesempatan resmi apabila orang-orang atau kelompok-kelompok berkumpul.
(1) Oleh
karena itu ada bini baku menyambut orang asing (tamu),
(2). untuk
perpisahan,
(3).untuk
semua tahap penting dalam masa bercumbu-cumbuan,
(4). untuk
memprakarsai atau melancarkan perundingan belis (mas kawin),
(5). untuk
pengangkatan/pelantikan seorang Tetua,
(6). dalam
upacara potong rambut,
(7). untuk
upacara membangun rumah,
(8). dulu
dalam pesta-pesta tahunan HUS,
(9). untuk
perkawinan, dan
(10).
terutama untuk penguburan atau
(11).
upacara adat lainnya. Meskipun dipergunakan dalam upacara-upacara,, bahasa rirual
bukanlah terutama bahasa keagamaan.
Berlainan
dengan “bahasa khusus” dalam daerah-daerah lain di Indonesia, bahasa ritual itu
bukan merupakan wahana untuk komunikasi dengan roh yang hanya pantas dihubungi
dalam bentuk bahasa (seseo),
bukan pula wahana untuk menyimpan
sejarah leluhur yang diceritakan dalam bahasa sehari-hari dalam bentuk tutui-teteek.
Bahasa ritual adalah sekedar bahasa dalam
interaksi seremonial atau sosial resmi.
Persediaan bini yang akan disajikan dikembangkan
dengan sangat terinci dalam upacara
penguburan, yakni ritual yang paling rumit dalam kehidupan seremonial orang
Roti. Bini dinyanyikan dalam rangka penghormatan terhadap si mati atau
ditarikan dalam suatu tarian lingkaran (kabalai) dengan pimpinan dan
paduan suara yang mengelilinginya. Kumpulan
bini tampaknya diusahakan untuk menegaskan batas semua katagori yang mungkin
ada pada orang-orang mati
1. Dengan
pengecualian bagi mereka yang meninggal karena kekerasan yang tidak
menguntungkan,
2. Ada bini
penguburan
istimewa untuk kaum ningrat,
3. Untuk orang
kebanyakan,
4. Untuk orang
muda keluarga ningrat,
5. Untuk orang
kebanyakan yang kaya;
6. Untuk orang
yang meninggal karena penyakit yang berkepanjangan,
7. Untuk gadis yang meninggal masih perawan murni,
8. Untuk janda
atau anak yatim piatu;
9. Untuk anak
tertua;
10. Untuk anak
yang meninggal segera setelah dilahirkan,
11. Dan lain-lain.
Bini penguburan memiliki format
umum.
Si mati
dibandingkan dengan seorang tokoh
bini dan kemudian silsilah dan jalan hidup stereotip tokoh bini ini diceritakan. Dalam kebanyakan naskah, bini-bini
(sajak, puitis Pulau Roti) ini menjelaskan alasan dan keadaan kematian si tokoh
bini; dalam beberapa bini, si tokoh bini
menggambarkan sakitnya atau memberi peringatan kepada keturunannya; dan kebanyakan bini
berakhir dengan duka cita dan penguburan si tokoh bini. Karena bahasa ritual dibutuhkan dalam segala upacara resmi, ia tidak
bisa menjadi milik khusus suatu kelas atau kalangan pendeta adat di Roti.
Para wanita
terbukti memiliki pengetahuan tentang bahasa ritual yang hampir sama banyak dengan
pria, dan penggunaan aktif bahasa ini oleh mereka terutama diperlukan untuk
bermacam-macam tahap dalam upacara perkawinan. Meskipun kaum muda tidak diharapkan
menghianati sikap sungguh-sungguh dalam masalah ritual, dan kendatipun mereka
menyatakan penolakannya, banyak di antara mereka yang menunjukkan pengetahuan
yang mengejutkan tentang perangkat diad (bait
syair) yang benar dan biasanya telah hafal beberapa bini dan nyanyian
pendek.
Keikutsertaan dalam tarian lingkaran (kabalai) dengan sahut-sahutan antara pemimpin dan paduan suara merupakan suatu
cara yang efektif dalam interaksi sosial. Namun, ada orang-orang yang oleh kalangan luas dianggap sebagai penyair atau penyusun bini yang
mahir. Mereka adalah para manehelo
(pujangga
adat tradisional). Heijmering
dalam bukunya tentang Kehidupan orang Rote, (l843 :355-66), menggambarkan manehelo itu sebagai profesi penyair penggembara yang berkelana
dari nusak ke nusak untuk memberikan pelayanan
ritual, terutama pada upacara kematian.
Sekarang maneholo ini
telah menjadi--- atau bahkan bersaing dengan---para pengkhotbah agama Kristen.
Hampir tanpa
kecuali, para manehelo yang
memberikan lirik bini kepada Heijmering
(Pendeta di di Roti di abad 19) adalah orang-orang yangberpengalaman luas serta
mempunyai kemampuan dalam kegiatan-kegiatan mereka yang lain. Disebutkan bahwa guru ritual Hijmering disaat penilitian di pulau Roti, bernama S.Adulanu (70), adalah Kepala
Bumi (Dae Langak) dalam klen Meno di Termanu. (Fox, l989 : hal.194). Hingga kini, 25 nyanyian doa panjang
yang terdiri dari kira-kira 5000
baris syair telah diterjemahkan oleh J.J.Fox. “Rotinese Ritual
Language: Texts and
Translation”,l972).
Para manehelo biasanya mereka lelaki tua, yang secara pribadi
bersikap iri dan suka meremehkan kemampuan saingannya.
Karena pangkat manehelo tidak
dianugerahkan tetapi merupakan semacam pangkat berdasarkan suatu konsensus yang
longgar, tidak mungkin menghitung jumlah
manehelo di pulau Roti. Berdasarkan cerita rakyat, dahulu para Tetua
bisa menantang satu sama lain dengan mensponsori pertandingan-pertandingan
antar para manehelo
antarwilayah; bahkan sampai batas tertentu, setiap pertemuan seremonial bisa
menjadi suatu pertandingan antar para manehelo.
Dalam memusatkan
perhatian pada struktur, gaya, dan bentuk-bentuk historiografi Roti, bermaksud
menghubungkan bentuk kisah ini
dengan persepsi terhadap masa lampau yang ditampilkannya. Tradisi historiografi
lisan orang Roti rumit. Tradisi ini
menekankan cara pengungkapan linguistik, kecakapan verbal,
dan suatu ketrampilan tinggi
dalam beragumentasi dan acuan yang disusun berdasarkan suatu
pengetahuan yang baik tentang nama-nama tempat. J.J.Fox, berpendapat bahwa hal itu juga sangat penting bagi cara orang Roti melihat dirinya sendiri.
Pada masa lampau kisah-kisah sejarah kerajaan
Termanu dimaksudkan untuk menjelaskan pembentukan nusak (kerajaan) itu, penaklukan
wilayahnya, penyatuan klen-klennya dalam sistem pemerintahan, dan kejayaan
serta kegagalan pimimpin-pemimpinnya. Tema pengikat yang ada dalam hampir semua kisah ini --- pokok yang
mereka ingin gambarkan--- adalah tipu
daya
(baca, akal) yang terus-menerus dan tak pernah gagal dari pimpinan-pimpinan
Termanu dan para pengikutnya yang setia. Semacam kecerdikan yang mengandung tipuan---dalam satu hal sama dengan pengertian Melayu tentang akal (Fox).---adalah suatu sifat yang
dikagumi oleh orang Roti.
Pikiran cekatan yang
diperlukan untuk merencanakan tipu daya yang berliku-liku atau untuk membujuk seseorang
dengan cara apa pun dan meyakinkannya berdasarkan bukti-bukti yang
bertentangan---ini semua merupakan beberapa dari sifat yang dimiliki leluhur
pembentuk dinasti Termanu dan masih terus diwujudkan olerh keturunannya. Mulai
dari penipuan pertama Dae
Langak sampai segala macam penaklukan dan kejayaan yang didapat tidak dengan kekuatan tetapi dengan cara penipuan ( baca : akal) kisah-kisah sejarah Termanu
didasarkan pada kecerdikan unggul
garis keturunan manek (raja) yang
berkuasa. Bahkan kegagalan besar dinasti itu dikaitkan dengan kecerdikan
yang keterlaluan. Dalam kisah-kisah itu, manek-manek Termanu yang berhasil atau pengikut-pengikutnya
dipersonafikasikan sebagai pahlawan penipu (baca : cerdik). Kisah-kisah keperkasaan para manek dengan demikian menjadi hiburan
yang memikat.
Dalam
mendengarkan episode-episode masa lampaunya, khalayak di Termanu terhibur oleh kelakar yang konyol,
kebodohan yang absurd, dan kecerdikan yang
tak kepala tanggung dari beberapa leluhur mereka. Saya (Fox, l986,
hal.30), pernah duduk bersama orang Roti yang tertawa sejadi-jadinya mendengarkan
kebodohan dan ketololan leluhurnya.....dan pada
J.J.Fox, hal.74, menulis : Orang Roti membanggakan dirinya sebagai
bangsa yang fasih,
suka berdebat, dan suka bicara. Ketrampilan mempergunakan bahasa dalam segala
segi sangat dihargai.
Berikut ini
disajikan sastera lisan orang Rote dalam beberapa katagori seperti yang telah
dijelaskan diatas yang bersumber pada buku James
J..J.Fox, berjudul : Bahasa. Sastra dan sejarah, kumpulan karangan mengenai masyarakat pulau Roti, penerbit,
Djambatan, Jakarta, l989, dikutip sebagai berikut :
“Tradisi Lisan Dan Penggunaan Bahasa Roti.”
Menurut Fox di Roti faktor-faktor sejarah telah
menghasilkan situasi linguistik yang beraneka ragam yang dapat diringkas
sebagai berikut :
1. Masing-masing
nusak (kerajaan) di Roti menyatakan memiliki dialek bahasa Roti sendiri.
Meskipun pernyataan ini melebih-lebihkan keragaman linguistik pulau itu, memang
ada variasi dialek yang amat berdekatan di seluruh Roti.
2. Orang Roti
juga memiliki suatu bahasa ritual
yang memerlukan suatu penyusunan frase puitis yang paralel dari semua ujaran dan dipergunakan untuk situasi-situasi
interaksi formal. Sampai batas-batas tertentu, bahasa ritual ini bertindak
sebagai faktor pemersatu yang
mengatasi beberapa kecenderungan kearah diferensiasi dialek.
3. Orang Roti
mempergunakan dan mengenali tiga ragam
bahasa Melayu yang berbesa-beda :
v Bahasa
Melayu tinggi yang dipergunakan untuk menerjemahkan Kitab Injil pada abad
ke-l9.
v Bahasa
Indonesia baku yang kini diajarkan di sekolah-sekolah dan dipergunakan dalam
berurusan dengan pemerintah, dan
v Dialek
bahasa Melayu sehari-hari yang dikenal sebagai Bahasa Kupang yang
telah berkembang di Kupang sejak kota itu didirikan pada abad ke-l7.
Kebudayaan Roti memberikan
perhatian penting terhadap komunikasi verbal yang baik. Sebagai suatu suku
bangsa, orang Roti membanggangkan
dirinya karena memiliki kecakapan berbahasa.
Dalam kehidupan sehari-hari pemakain bahasa ada aturan-aturan bakunya sendiri.
Misalnya, akan dianggap tidak pantas mempergunakan bahasa ritual dalam memperdebatkan
kasus pengadilan, atau mempergunakan bahasa sehari-hari dalam suatu upacara.
Demikian pula, dianggap tidak pantas untuk mempergunakan Bahasa Kupang dalam kantor pemerintah, atau mempergunakan bahasa
Indonesia sehari-hari yang tak “berbunga-bunga” dalam menyampaikan khotbah.
Sebaliknya, penggunaan bahasa ritual
Roti dapat diterima di dalam upacara gereja dan demikian juga
dipergunakan bahasa Indonesia yang berbunga-bunga pada suatu tradisional.
Dalam hal
ini beberapa pokok penting harus ditekankan di sini bahwa, orang Roti memperhatikan bukan sekedar apa yang
dikatakan, tetapi juga bahasa
yang dipergunakan untuk mengatakannya. Meskipun sejak abad ke-l8 orang
Roti telah memiliki benih suatu tradisi literer dalam bahasa Melayu, mereka
telah menyimpan
sejarahnya sendiri dalam tradisi
lisan. Disini akan diberikan suatu kisah kematian dan bini penguburan (sajak, mantra)
seorang anak pertama, berasal dari keluarga ningrat yang meninggal pada umur
kira-kira tiga bulan dari wilayah nusak Termanu. Adapun bayi yang meninggal itu disamakan dengan Dela
Kolik dan Seko Bunak dan bini ini oleh manehelo
(pendeta adat/penyaair/pujangga tradisional) di nyanyikan pada saat upacara penguburan mengisahkan suatu sajak atau bini
yang amat panjang dalam bahasa ritual dengan rentetan
peristiwa-peristiwa dimulai dari awal pernikahan
dan akan berakhir dengan penguburan,
sebagai berikut :
1. Perkawinan
si wanita Pinga Pasa dan Sue Leli dengan lelaki Kolik
Faenama dan Bunak Tunulama;
2. Permulaan kehamilan Pinga Pasa dan Soe Leli dan berbagai ngidamnya,
yang berpuncak pada pencurian sebutit
telur rajawali dan elang, bernama Tetema Taoama dan Balapua
Loniama;
3. Kelahiran bayi, Dela Kolik
dan Seko
Bunak dan penculikannya secara cepat oleh rajawali, Tetema Taoama dan elang
Balapula Loniama;
4. Pencarian rajawali dan elang
oleh Pinga Pasa dan Soe Leli, mula-mula ke bagian timur
pulau Roti (sebagaimana yang diisaratkan oleh
penggunaan beberapa nama diri tertentu), dan kemudian ke bagian paling
barat pulau itu, Delha;
5. Larinya rajawali dan elang ke arah laut,
kemudian ke atas arah matahari dan bulan, dengan demikian berakhirlah
kemungkinan pencarian selanjutnya; dan akhirnya,
6. Kembalinya rajawali dan elang dan
berkumpulnya orang-orang dari penguburan jenasah Dela Kolik dan Seko Bunak.
Catatan : dari angka 1 s/d angka 6
ini adalah nama-nama tokoh yang tergambar dalam bini (sajak, mantra) berikut
nanti. Tanpa memahami lebih dahulu para tokoh-tokoh ini maka akan mengakibatkan
pembaca bingung mengikuti jalan cerita
bini tersebut sehingga tidak dapat dihayati dengan baik pula.
Setiap tokoh (subyek) yang diceritakan selalu
memiliki 2 (dua) nama atau gelaran sbb :
Ø Si Wanita = Pinga
Pasa dan Sue Leli
Ø Si Lelaki = Kolik Faenama dan Bunak Tanulama
Ø Rajawali = Tetema Taoama
Ø Elang =
Balapua Loniama;
Ø Bayi = Delakolik dan Seko Bunak
Yang akan disebut di BINI biasanya hanya nama
gelarannya tapi juga nama tokohnya. Hal ini dirinci demikian untuk tidak
membingunkan para pembaca BINI yang akan disajikan di bawah ini. (Penulis).
Bini (sajak,
mantra) itu menyarankan bahwa mula-mula,
Ø mayat
dibiarkan dimakan burung-burung pemakan bangkai, dan
Ø baru sesudah
itu tulang-tulang si mati dikuburkan.
Meskipun
menurut laporan kebiasaan serupa terdapat juga di beberapa pulau tetangga Roti,
tidak ada bukti tentang penguburan serupa itu dari etnografi masa yang belum
lalu dari pulau itu, juga para manehelo
yang memberikan tafsiran atas teks tidak menyebut-nyebut tentang kemungkinan
ini. Bini (sajak, mantra) ini kini
diperdengarkan dalam suatu upacara penguburan untuk menguburkan mayat
seutuhnya.
Suatu ciri
yang mula-mula membingunkan pada semua teks adalah kebebasan mengganti
bentuk-bentuk tunggal dan jamak. Beberapa manehelo (kepala Suku) terkenal berpendapat bahwa
tunggal dan jamak tidak penting dalam bahasa ritual. Seorang manehelo menganjurkan suatu konvensi,
yang ia sendiri tidak mengikutinya secara ketat dalam pelaksanaannya, yakni
untuk senantiasa memasangkan pronomina tunggal dengan pronomina jamak, suatu ‘pronomina kita’ dengan suatu ‘pronomina kami’, dengan demikian
mengubah pronomina bahasa Roti menjadi sejumlah perangkat diad (bait).
Alasan untuk
variasi tunggal dan jamak adalah bahwa semua nama person, semua nama tempat,
semua benda, tindakan, dan kejadian adalah diad sementara acuannya, seperti dalam
kasus bini-bini (sajak, matra) penguburan yang secara rumit
bersifat alegoris, sering
merupakan suatu peristiwa perseorangan yang tunggal. Oleh karena itu para manehelo tidak menyatakan bahwa suatu
perangkat diad merupakan suatu
kesatuan, atau, kalau tidak, merupakan penyatuan unsur-unsurnya; mereka
beranggapan bahwa suatu perangkat diad
merupakan kedua hal itu. Beberapa manehelo berkeyakinan bahwa
sementara segala sesuatu bisa ‘diterjemahkan” menjadi bahasa ritual, bahasa
ritual itu sendiri tidak bisa “diterjemahkan”.
Pernyataan itu tidak berarti bahwa bahasa ritual tidak bisa dipahami dan
tanpa makna. Maksudnya hanyalah bahwa mereka bisa mengambil contoh-contoh dari
bahasa Indonesia (medium tumpuan bayangan mereka tentang terjemahan) dan
menyusunnya menjadi sajak ritual, tetapi bahasa Indonesia --- sebagai yang diketahui di Roti ---
sama sekali tidak memiliki konvensi bahasa ritual. Perangkat diad
dibentuk secara sembarangan dan dengan demikian kehilangan nilai-nilai ‘metaforisnya’
yang baku namun istimewa. Oleh karena itu, terjemahannya
berikut ini adalah seharafiah.
Sejumlah komentar tentang sifat umum bahasa
ritual adalah :
1.Bahasa ritual adalah suatu bentuk bahasa yang ditingkatkan
dan dikembangkan dan perangkat-perangkat diadnya
merupakan wahana ungkapan yang banyak ragamnya dan sangat kaya.
Terjadinya tidak karena adanya mentalitas suka mengulang-ulang yang sederhana;
2.Semua perangkat diad mengikuti aturan dalam pengertian bahwa setiap perangkat merupakan
suatu unit tradisional yang sudah tetap. Dari simpanan unit inilah bini disusun. Meskipun tidak
menunjukkan hal ini dengan penolong hanya satu teks, bisa dinyatakan bahwa
perangkat dalam Dela Kolik ma Seko Bunak
terulang di teks-teks lain. Perangkat-perangkat itu bukan merupakan hal
yang khas atau terbatas pada bini
ini saja;
3.Bahasa ritual adalah ‘puitis’ dan ‘metaforis’ tetapi
metafor-metafornya secara sistematis disusun dan dikendalikan oleh struktur diad. Ambiguitas dalam
penggunaan unsur-unsur bahasa ritual sering lebih sedikit dibandingkan dengan
penggunaan unsur-unsur yang sama dalam bahasa sehari-hari;
4.Studi sematik atas bahasa
apa pun menimbulkan masalah polisemi, homonimi, dan sinonim. Bahasa ritual
menyajikan pemikiran pribumi yang tersusun rapih tentang bahasa sehari-hari.
Bahasa ritual bisa menawarkan suatu alat untuk memecahkan masalah-masalah dalam
sematik bahasa sehari-hari;
5.Yang terakhir, tampaknya
perangkat-perangkat diad tidak
hanya sekedar secara sistematis berasal dari unsur-unsur dalam bahasa
sehari-hari, tetapi juga secara sistematis berkaitan satu sama lain dalam
lingkungannya.
Pulau-pulau
di Indonesia Timur merupakan daerah puisi lisan yang amat dipelihara. Dalam
beberapa hal Paralelisme kanonik
merupakan istilah yang meluas untuk semua
pembicaraan resmi di muka umum, maupun untuk pujian
dan nyanyian. Dalam
hal lain, ia merupakan ujaran yang lebih terbatas yang dipergunakan untuk ucapan yang bersifat suci atau untuk memanggil roh dan sewaktu-waktu
prerogatif dari golongan pendeta. Paralelisme dalam berbagai bentuk, tak dapat
dipungkiri, merupakan suatu ciri penting dalam tradisi lisan puisi Indonesia
tertentu, tetapi pemunculannya sering suka rela, sporadis, dan kadang-kadang
tunduk pada persyaratan-persyaratan sajak, aliterasi, asonasi dan berbagai
peraturan metrik yang kompleks.
Bahasa ritual Roti dalam bentuk bini seperti peristiwa yang
disebutkan diatas, mulai dari perkawinan, mengidam, kelahiran, kematian,
yang
diucapkan/diungkapkan secara lisan oleh manehelo
pada upacara
penguburan disusun dalam tiga bahasa yaitu, bahasa ritual Roti, dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan Inggris
sebagai berikut :
(2TEKS “BINI” (Syair - Mantra) Yang Amat Panjang Tentang :
“DELA KOLIK MA SEKO BUNAK DALAM
Bahasa Rore,
Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris
Diucapkan
secara Lisan saat upacara Penguburan
oleh manehelo Sbb :
Bini diucapkan dalam 3 bahasa sbb :
Ø Lae (Bahasa Rote)
Ø -Mereka
bilang (Bahasa Indonesia)
Ø The
say.(Bahasa Inggris)
1.---Soku-la Pinga Pasa;
Mereka membawa Pinga Pasa,
They carry Pinga Pasa.
2.---Ma ifa-la So’e Leli.
Dan mereka mengangkat Soe Leli,
And they lift Soe Leli.
3.---De ana sao Kolik Faenama.
Dia mengawini Kolik Faenama,
She marries Kolik Faenama.
4.---Ma tu Bunak Tunulama.
Dan menikah dengan Bunak Tunulama’
And weds Bunak Tunulama.
5.---De tein-na daa-fai
Rahimnya membesar,
Her womb enlarges.
6.---Ma suu-na nggeo-lena.
Dan teteknya menghitam,
And her breasts darken.
7.---Boe-te ana ma-siu dodoki.
Lidahnya mengidamkan yang aneh-aneh,
Her tongue craves for odd bits.
8.---Ma metu-ape uuna.
Dan mulutnya berliur menginginkan rupa-rupa makanan,
And her mouth waters for assorted things.
9.---De ma-siu bote aten.
Lidahnya mengidamkan hati kambing
The tongue craves goat’s liver
10.--Ma metu-ape tena ban.
Dan mulutnya berliur menginginkan paru-paru kerbau
And the mouth waters for buffalo’s lung.
11.---De ala dodo bote-la leu.
Mereka menyembilih kambing,
The slaughter goats
12.---Ma pau tena-la leu.
Mereka menyembelih kerbau,
And stab buffalo.
13.---De hoi-la bote aten.
Mereka ambil hati kambing
They take the goat’s liver.
14.---Ma hoi-la tena ban.
Mereka mengambil paru-paru kerbau,
And take the buffalo’s lung.
15.---De dode seok no hade.
Mereka menanak dan mengaduk nasi,
They cook and mingle rice
16.---De hade lutu bui-nggeo.
Beras berpucuk hitam
Black-tipped grains of rice.
17.---Ma hopo balik no tua.
Dan melarutkan dan mencampurkan gula lontar,
And dissolve and mix lontar sugar.
18.---De tua batu meni-o’ek.
Gula lontar yang keras dan putih,
White rock lontar suger.
19.---De naa te bei boe ma-siu.
Dia makan tetapi lidah tetap mengidam,
She eat sbut still the tongue craves.
20.---Ma ninu te bei boe metuape.
Dan dia minum namun mulut tetap berliur,
And she drinks but still the mouth waters.
21.---De ma-siu fani ana.
Lidahnya mengidamkan tempayak tawon,
The tongue craves bees larva.
22.---Ma metu-ape bupu-ana.
Mulutnya berliur menginginkan tempayak tabuhan,
And the mouth waters for wasps’larvae.
23.---De leni fani-ana mai.
Mereka membawakan tempayak tawon,
They bring bees’larvas.
24.---Ma leni bupu-ana mai.
Dan mereka membawakan tempayak tabuhan,
And they bring wasps’larvas.
25.---De ala dode seok no hade.
Mereka menanak dan mengaduk nasi,
They cook and mingle rice.
26.---Fo hade lutu bui-nggeo,
Beras berpucuk hitam,
Black-tippet grains of rice.
27.---Ma hopo seok no tua,
Dan melarutkan dan mencampur gula lontar
And dissolve and minggle lontar suger.
28.---Fo tua batu meni-o’ek.
Gula lontar yang keras dan putih,
White rock lontar suger.
29.---Te-hu naa bei ma-siu.
Dia makan dan lidahnya masih mengidam,
She eats and the tonguestill craves.
30.---Ma ninu bei metu-ape.
Dan dia minum dan mulutnya masih berliur,
And she drinks and the mouth still waters.
31.---Bo’e-te ma-siu bia keah.
Lidahnya mengidamkan potongan daging penyu,
The tongue craves chunks of turtle (meat).
32.---Na metu-ape lola luik.
Dan mulutnya berliur menginginkan sayatan sapi laut,
And the mouth waters for
strips of (flesh) sea cow
33.---De touk Kolik Faenama.
Si lelaki Kolik Faenama,
The man Kolik Faenama.
34.---Ma taek Bunak Tunulama.
Dan si anak lelaki Banuk Tunulama,
And the boy Bunak Tanulama.
35.---Ana ule sini tua-na.
Ia menggulung sebungkus lontar,
He winds a lontar bundle.
36.---Ma tata pele lelelu kea.
Dan membelah sebuah obor mencari penyu,
And spilts a nanamo torch.
37.---De neu pele lelelu kea.
Ia berkeliling membawa obor mencari penyu,
He goes around to torch-ligth fish for turtle.
38.----Ma neu loti teteo luik.
Ia berkeliling mencari siput laut,
And goes about to search for sea cow.
39.---De leni bia keak mai.
Mereka membawa potongan daging penyu,
They bring chunks of turtle (meat).
40.---Ma leni lola luik mai.
Dan membawa sayatan sapi laut,
And bring strips of sea cow (flesh).
41.---De naa te-hu bei ma-siu.
Dia makan tetapi lidah tetap mengidam,
She eats but still the tongue craves.
42.---Ma ninu te bei metu-ape.
Dan dia minum tapi mulut masih berliur,
And she drinks but still the mouth waters.
43.---De ma-siu tema tolo.
Lidah mengidamkan telur telur elang,
The tongue craves hawk’s egg.
44.---Ma metu-ape pua ana.
Dan mulut berliur menginginkan anak rajawali,
And the mouth waters for an eagle’s child.
45.---Fo Tetema Taoama nai nitas-sa lain.
Tetema Taoama di puncak pohon Nitas
Tetema Taoama on top of the
Nitas-trees.
46.---Fo Taoama Dulu nitan.
Pohon Nitas Taoama Dulu,
Taoama Dulu’s Nitas-trees.
47.---Ma Balapua Loniama Langa.
Dan Balapua Loniama di puncak
pohon Delas
And Balapua Loniama on top of the Delas-tree.
48.---Fo Loniama Langa delan.
Pohon Delas Loniama Langa,
Loniama
Langa’s Delas-tree.
49.---De ana lino tolo nai lai.
Ia melihat sebutir telur di atas,
He spies an egg above.
50.---Ma ana mete ana nai lai.
Dan melihat seorang anak di atas
And sees a child above.
51.---Te-hu masa-kemi kakodek.
Namun pohon itu selicin pohon Kakodek,
But the tree is as slick as a Kakodek.
52.---Ma manga-moi lalanok.
Dan sehalus pohon Lalanok,
And as slippery as a Lalanok-tree.
53.---De ela lima tekek bai dei,
Diperlukan tangan seekor tokek,
It needs the hands of a lizatd.
54.---Ma ela kala kodek bai dei.
Dan dibutuhkan dada seekor kera,
And needs the ahest of a monky.
55.---Fo dei laba kae-nala lain.
Untuk naik dan memanjat ke atas,
To mount and climb upward.
56.---Ma tinga hene-nala lain.
Dan untuk melangkah dan menuju ke atas,
And to step and ascend upward.
57.---De ala dodo doak lon.
Mereka berpikir cermat,
They think carefully.
58.---Ma la ndanda sota lon.
Dan mereka merenung dalam- dalam
And they ponder deeply.
59.---Besak-ka lada hade mamodon-na.
Dan kini dengan padi masak yang enak,
Now with tasty new ripening rice.
60.---Ma lole tua oe-beun-na.
Dan dengan tuak enau yang segar,
And with good freshly tapped lontar juice.
61.---Ala solo neu teke ei-ku’u
telu.
Mereka membeli seekor tokek berkuku tiga,
They buy a tree toed lizard.
62.---Ma upa neu lafo ma-nisi duak.
Dan menyewa seekor tikus bergigi dua,
And hire a two toothed mouse.
63.---Besak-ka kae-nala nitas lain.
Dan kini memanjat pohon Nitas.
And now climb the Nitas-tree.
64.---Ma hene-nala delas lain.
Dan memanjat pohon Delas,
And mount the Delas-tree.
65.---Boe-te ana tete tetema ein.
Ia memotong kaki elang,
He cuts the hawks’s leg.
66.---Ma nggute balapua lidan
Dan menggunting sayap rajawali,
And snips the eagle’s wing.
67.---De tetema na-lai.
Elang melarikan diri,
The hawkflees
68.---Ma balapua tolomu.
Dan rajawali meloloskan dirinya,
And the eagle escapes.
69.---Besak-ka neni tetema tolon.
Kini ia membawa telur elang,
Now he brings the hawk’s egg.
70.---Ma neni balapua anan.
Dan membawa anak rajawali,
And brings the eagle’s child.
71.---De fe Pinga Pasa na’a.
Ia memberikannya kepada Pinga Pasa untuk dimakan.
He gives Pinga Pasa to eat.
72.---Ma fe Soe Leli ninu bo’e.
Dan memberikannya kepada Soe Leli
untuk diminum,
And gives Soe Leli to drink.
73.---Ma ta ma-siu.
Dan lidah tak lagi mengidam,
And the tongue no longer craves.
74.---Do metu-ape sok.
Dan mulut berhenti berliur,
Or the mouth ceases to water.
75.---Besak-ka tein-na nama-sela.
Dan rahimnya makin membesar,
Now her womb grows larger.
76.---Ma suun-na nama-tua.
Dan teteknya semakin besar,
And her breasts grow bigger.
77.---De ana nggeo-lena,
Mereka membesar,
They enlarge.
78.---Ma ana daa-fai
Dan mereka menghitam,
And they darken.
79.---De bongi-na popi-koak.
Dia melahirkan ‘bulu ekor jago’ (anak laki-laki),
She gives birth to “a cock’s (a male child).
80.---Ma lae-na lano manuk.
Dan ia melahirkan “bulu ayam jantan” (seorang laki-laki anak).
And she bears ‘a rooster’s plume” (a man child).
81.---De loke lae Dela Kolik.
Mereka memanggilnya Dela Kolik,
They call him Dela Kolik.
82.---Ma hule lae Seko Bunak.
Dan mereka menamakannya Seko Bunak,
And they name him Seko Bunak.
83.---Faik esa manunin;
Pada suatu hari yang ditentukan.
On one definite day.
84.---Ma ledok dua mateben.
Dan pada suatu fajar kedua tertentu,
And at second certain dawn.
85.---Boe-te inan-na Pinga Pasa.
Pinga Pasa ibunya,
His monther Pinga Pasa.
86.---Ma teon-na Soe Leli’
Dan Soe Leli,
And his aunt Soe Leli.
87.---Iifak Dela Kolik.
Membawa keluar Dela Kolik,
Carries Dela Koli out.
88.---Name uma tisa-tetein.
Dari bawah atap rumah,
From under the thatch of the house.
89.---Ma kokook Seko Bunak.
Dan menimang Seko Bunak,
And cradles Seko Bunak.
90.---Neme lo hedahu-hohonan.
Jauh dari tangga rumah,
Away from the ladder of the home.
91.---Boe-te Tetama Taoama.
Tetema Taoama’
Tetema Taoama.
92.---Nafa-ndlele lololo.
Senantiasa ingat,
Continually remembers
93.---Ma Balapua Loniama.
Dan Balapua Loiniama,
And Balapua Loniama.
94.---Nasa-neda ndanda.
Selalu terkenang,
Constantly recalls.
95.---Neu tolon-na bai.
Telurnya lagi,
Her egg again.
96.---Ma neu anan-na bai.
Dan juga anaknya,
And also her child.
97.---Boe-te ana la Ia memeli mai.
Dia terbang ke bawah dengan cepat,
She flies down quikly.
98.---Ma tena mese-mese mai.
Dan menyambar dengan cepat,
And sweeps down rapidly,
99.---De lau neni Dela Kolik.
Menangkap dan membawa pergi Dela Kolik,
Seizes and carries off Dela Koli.
100.—Ma tenga neni Seko Bunak.
Dan menangkap dan membawa pergi Seko Bunak,
And grasps and carries off Seko Bunak.
101.---Lea nitas-sa lain.
Ke puncak pohon nitas,
Toward the top of a Nitas-tree.
102.---Fo Sepe Ama-li nitan.
Pohon Nitas Sepe Ama-li,
Sepe Ama-Li’s Nitas-tree.
103.---Ma neu delas-sa lain.
Dan ke puncak pohon Dalas,
And to the top og a Delas-tree.
104.---Fo Timu Tongo-Batu delan.
Pohon Dalas Timu Tongo Batu,
Timu Tongo-Batu’s Delas-tree.
105.---De ana mamaman leo mafok.
Dia mengunyahnya bagaikan buah setengah masak,
She chews it like half-ripe plant.
106.---Ma mumumun leo latuk.
Dia menghisapnya bagaikan tumbuhan masak,
And sucks it like a ripe plant.
107.---Boe-te inak-ka Pinga Pasa
Si wanita Pinga Pasa.
The women Pinga Pasa.
108.---Ma fetok-ka Soe Leli,
Dan si gadis Soe Leli,
And the girl Soe Leli.
109.---Ane sue tunga balapua.
Dia memukul-mukul rusuknya dengan sedih,
She strikes her ribs in anguish.
110.---Ma ana lai babako paun.
Dan dia memukuli pahanya,
And she beats her thighs in distress.
111.---De neu tunga balapua.
Dia pergi menyusul elang itu,
She goes to follow thr eagle.
112.---Ma neu sanga tetema.
Dan dia pergi mencari rajawali,
And she goes to seek the hawk.
113.---Fo ela no falik Dela Kolik.
Untuk mengambil kembali Dela Kolik,
To bring back Dela Koli.
114.---Ma no tulek Seko Bunak.
Untuk mengembalikan Seko Bunak,
And to return Seko Bunak.
115.---De neu nitan ma neu ndan.
Dia pergi untuk melihatnya dan untuk menemuinya,
She goes to see him and goes to meet him.
116.---Nai Sepe Ama-Li nitan lain.
Tinggi di pohon Nitas Sepe Ama-Li,
High in Sepe Ama-Li’s Nitas-tree.
117.---Ma nai Timu Tongo-Batu delan lain.
Dan tinggi di pohon Delas Timu Tongo-Batu,
And high in Timu Tongo-Batu’s (Delas-tree).
118.---Boe-te inak-ka Pinga Pasa.
Si wanita Pinga Pasa,
The women Pinga Pasa.
119.---Ma Teon-na Soe Leli.
Dan si bibi Soe Leli,
And his aunt Soe Leli.
120.---Boke ein neu nitas.
Menyepakkan kaki ke pohon Nitas,
Kicks her foot against the Nitas tree.
121.---Ma bapa lima neu delas.
Dan menampar-nampar pohon Delas,
And slaps her hand against the Delas-tree
122.---Fo ela Dela Kolik, ana tuda.
Agar Dela Kolik bisa terjatuh,
That Dela Kolik, he might drop.
123.---Ma Seko Bunak, ana monu,
Agar Seko Bunak bisa terjatuh,
And Seko Bunak, he might drop.
124.---Bo’e-te tetema na-hala.
Kemudian elang menjawab,
Then the hawk answers
125.---Ma balapua na-fada, nae :
Dan Rajawali berbicara, katanya :
And the eagle speaks, saying:
126.---“O sue anam leo bek.
“Betapapun kau sayang anakmu,
Hawever you love your child.
127.---Na au sue anang leo ndiak.
Akupun sayang anaku,
So I love my child
128.---Ma o lai tolom leo bek.
Dan betapapun kau mencintai telurmu,
And however you cherish your egg.
129.---Na au lai tolong leo ndiak bo’e.
Aku pun sayang telurku,
So I love my egg also.
130.---De o mua au-anang-nga so.
Kau telah memakan anakku,
You have eaten my child.
131.---De besak-ia au ua o-anamma.
Kini kumakan anakmu,
Now I eat your child.
132.---Ma o minu au-tolong-nga so.
Dan kau telah meminum telurku
And you have drunk my egg.
133.---De au inu o-tolom-ma bai.”
Jadi kuminum pula telurmu.”
So I drink your egg also.”
134.---Boe-te tetema la seluk.
Kemudian elang terbang sekali lagi,
Then the hawk flies once more.
135.---Ma balapuan lapu bai.
Dan Rajawali terbang kembali,
And the eagle takes wing again..
136.---De neu Taoama Dulu nitan.
Dia pergi ke pohon Nitas Taoama Dulu.
She goes to Taoama Dulu’s Nitas-tree.
137.---Ma neu Loniama Langa delan.
Dan pergi ke pohon Delas Loniama Langa,
And goes to Loniama Langa’s Delas-tree.
138.---Ka neni Dela Kolik.
Mengunyah, sambil membawa, Dela Kolik,
Chewing, while carrying, Dela Kolik.
139.---Ma mumu neni Seko Bunak.
Menghisap, sambil membawa Seko Bunak.
And sucking, while carrying , Seko Bunak.
140.---Dela ala boe tungan .
Mereka mengikutinya,
They go to follow her.
141.---Ma leu sangan.
Dan mereka mencarinya,
They go to seek her.
142.---Te tetema na-helen.
Tetapi elang mencengkeramnya erat-erat,
But the hawk grips him fast.
143.---Ma balapua na-nepen.
Dan rajawali memegangnya kuat-kuat,
And the eagle hold him tight.
144.---De leu ndukun ma losan.
Mereka mencapainya dan mendekatinya,
They reach her and approach her.
145.---Bo’e-te tetema lapu seluk.
Elang terbang sekali lagi,
The hawk takes wing aonce more.
146.---Ma balapua la bai..
Dan rajawali terbang kembali,
And the eagle flies again.
147.---De neu Loma-Loma Langa nitan.
Dia pergi ke pohon Nitas Loma-loma Langa,
She
goes to Loma-Loma Langa’s Nitas –tree.
148.---Ma Pele-Pele Dulu delan.
Dan pohon Delas Pele-Pele Dulu,
And Pele-Pele Dulu’s Delas-tree.
149.---Te inak-ka Pinga Pasa.
Si ibu Pinga Pasa.
The Mother Pinga Pasa.
150.---Ma teok-ka Soe Leli.
Dan bibi Soe Leli,
And the aunt Soe Leli.
151.---Bei boe neu tungan.
Tetap berjalan mengikutinya
Still she goes on following her.
152.---Ma neu sangan.
Dan berjalan mencarinya,
And goes on seeking her.
153.--- De losan ma ndukun.
Dia mendekatinya dan mencapainya,
She approaches her and reachers her.
154.---Bo’e-te tetema lapu seluk.
Tetapi elang terbang sekali lagi,
But the hawk takes wing ance more.
155.---Ma balapua la seluk.
Dan rajawali terbang kembali,
And the eagle flies once more.
156.---Kakaak Dela Kolik.
Senantiasa mengunyak Dela Kolik,
Continuously chewing Dela Kolik.
157.---Ma mumumuk Seko Bunak.
Dan senantiasa menghisap Seko Bunak,
And continuously sucking Seko Bunak
158.---De la Ana Iko neu.
Dia terbang ke Ana Iko (Delha),
She flies to Ana Iko (Delha)
159.---Ma lapu Dela Muli neu.
Dan mengepakkan sayap ke Dela Muli,
And takes wing to Delha Muli (Delha).
160.---Leo ndia te Pinga Pasa boe tungan.
Jadi Pinga Pasa juga mencarinya,
So Pinga Pasa also follows her.
161.---Ma Soe Leli boe sangan.
Dan Soe Leli juga mencarinya,
And Soe Leli also seeks her.
162.---De neu losa Dela Muli.
Dia pergi ke arah Dela Mulik,
She goes toward Dela Muli.
163.---Ma neu nduku Ana Iko.
Dia pergi sampai Ana Iko,
She goes until Ana Iko.
164.---Te tetema ta poin.
Tetapi elang tidak melepaskannya,
But the hawk does not loose him.
165.---Ma balapua ta nggalin.
Dan rajawali tidak menjatuhkannya.
Ang the eagle doe not scatter him.
166.---De tetema la seluk.
Elang terbang sekali lagi,
The hawk flies once more.
167.---Ma balapua lapu bai.
Dan rajawali terbang kembali
And the eagle takes wing again.
168.---De leo sain posin-na neu.
Ke tepi laut berpasir, perginya,
Toward the sea’s sandy adge, she goes.
169.---Ma liun unum-na neu.
Dan ke batu karang samudra,
And toward the ocean’s rocky reef.
170.---Te boe neu tungan.
Dia juga pergi mengikutinya,
She also goes to follow her.
171.---Ma boe neu sangan.
Dan dia juga pergi mencarinya,
And she also goes to seek her.
172.---De neu posi maka-mu.
Dia pergi ke tepian, yang berbunyi bagai gong.
She goes toward the eagle resoundling like a gong.
173.---Ma unu ma-li labun-na.
Dan karang gemuruh bagaikan tambur,
And the reef rumbling like a drum.
174.---Bo’e-te tetema la seluk.
Tetapi elang terbang sekali lagi,
But the hawk flies once more.
175.---Ma balapua lapu bai.
Dan rajawali terbang kembali,
And the eagle takes wing again.
176.---De neu liun sasalin.
Dia pergi menuju samudra pasang,
She goes toward the overflowing ocean.
177.---Ma neu salin loloen.
Dan menuju ke laut surut,
And toward the receding sea.
178.---Bo’e-te inaka Pinga Pasa.
Si ibu Pinga Pasa,
The mother Pinga Pasa.
179.---Ma teon-na Soe Leli.
Dan bibinya Soe Leli,
And his aunt Soe Leli.
180.---Ta neu lena li.
Tak bisa melintasi ombak.
Can not wade the waves.
181.---Ma Ma ta neu ladi nafa.
Dan bisa menyeberangi air pasang.
And can not cross the swell.
182.---De ana falik leo uma mai.
Dia pulang ke rumah.
She returns to the house.
183.---Ma tulek leo mai.
Dan dia kembali ke tempat tinggalnya.
And goes back to the home.
184.---De ana lu mata.
Dia biarkan air mata menetes dari matanya.
She lets drop tears from the eyes.
185.---Ma pinu idu.
Dan ingus dari hidungnya.
And mucus from the nose.
186.---Nai uma ma lo.
Di rumah dan tempat tinggalnya.
In the house and home.
187.---Tunga faik ma nou ledok.
Setiap hari dan setiap fajar.
Each day and every dawn (sun).
188.---Te-hu nai sasalin.
Tetapi di samudra pasang,
But on the overflowing ocean.
189.---Ma nai sain loloen-na.
Dan di laut surut.
And on the receding sea.
190.---Ai ta nai ndia
Tak ada kayu,
There is no stick.
191.---Ma batu ta nai na.
Dan tak ada batu,
Nor is there stone.
192.---De tetema ta sae.
Elang itu tidak beretengger
The hawk does not perch.
193.---Ma balapuan ta luu.
Dan rajawali tidak mengeram,
And the eagle does not brood.
194.---Fo ana kakaa Dela Kolik.
Jadi dia bisa menunyak Dela Kolik.
So she may chew Dela Kolik.
195.---Ma ana mumumu Seko Bunak.
Dan dia bisa menghisap Seko Bunak.
And she may suk Seko Bunak.
196.---Bo’e-te ana la leo lain neu.
Jadi dia terbang ke langit.
So she flies to the heavens.
197.---Ma lapu leo poin neu.
Dan mengepakkan sayap ke zenith
And takes wing to the zenith.
198.---De neu losa bulan nitan.
Dan pergi ke Nitas Bulan,
And goes to the Moon’s Nitas.
199.---Ma neu nduku ledo delan.
Dan ke Delas Matahari.
And goes to the sun’s Delas
200.---Besak-ka ana lino bae.
Kini ia istirahat di sebuah cabang
Now she rests on a branch
2001.---Ma sae ndanak.
Dan bertengger di batang,
And perches on a limb.
202.---De ana kukuta Dela Kolik.
Dia melanjutkan mengunyah Dela Kolik,
She continues to munch Dela Kolik.
203.---Ma mumumu Seko Bunak.
Dan terus menghisap Seko Bunak.
And continues to suck Seko Buynak
204.---De naa na-mada man.
Dia makan untuk mengeringkan lidahnya.
She cats to dry her tongue
205.---Ma ninu na-meti apen-na
Dan minum untuk memuaskan hausnya,
And driks to slake her thirst.
206.---De henu tein-na boe.
Untuk mengisi perutnya.
To fill her stomach.
207.---Ma sofe nutun-na boe.
Dan memuaskan empedalnya,
And to satisfy her gizzard
208.---De ela kada dui manun.
Hanya menyisahkan tulang-tulang ayam
Leaving only chicken bones.
209.---Ma ela kada kalu kapan.
Dan menyisakan urat-urat kerbau.
And leaving only buffalo sinews.
210.---De ana lino na-helen.
Dia istirahat mencengkeramnya,
She rests gripping him.
211.---Ma kuu na-nepen.
Dan mengram memegangnya,
And broods holding him.
212.---Nai bulan nitan lain.
Di puncak Nitas Bulan,
On top of the Moon’s Nitas.
213.---Ma ledo delan-na lain.
Dan di puncak Delas Matahari,
And on top of the Sun’s Delas
214.---Eaik esa manunin .
Pada suatu hari yang ditentukan,
One definite day.
215.---Ma ledo dua mataben
Dan pada fajar dedua tertentu,
And a second certain dawn.
216.---Besak-ka Tetema Taoama.
Kini Tetema Taoama,
Now Tetema Taoama.
217.---Ma balapua Loniama a.
Dan Balapua Loniama.
And Balapua Loniama
218.---Nafa-ndele dae-bafok,
Terkenang bumi,
Remembers the earth.
219.---Ma nasa-neda batu-poin.
Dan teringat dunia,
And recalls world.
220.---De ana la falik.
Dia terbang kembali
She returns hling.
221.---Ma ana lapu tulek.
Dan dia mengepakkan sayapnya,
And she wings her way back
222.---Besak-ka la neni dui.
Dia terbang membawa tulang-tulang ayam,
She flies carrying chicken bones.
223.---Ma lapu neni kalu kapan.
Dan
mengepakkan sayap membawa otot-otoy kerbau
And wings her carrying buffalo (sinews).
224.---Fo Dela Kolik duin.
Tulang-tulang Dela Kolik,
The bones of Dela Kolik.
225.---Ma Seko Bunak kalun.
Dan urat-urat Seko Bunak.
And the sinews of Seko Bunak.
226.---De ana mai Sua-Lai tolok.
Dia sampai di bayangan hitam Sue-Lai,
She comess to Sua-Lai’s shade.
227.---Ma Batu-Hun modok.
Dan di naung hijau Batu Hun,
And to Batu-Hun green shade.
228.---Besak-ka tetema tapa henin.
Kini elang melemparkannya.
Now the hawkthrows him away.
229.---Ma balapuan tuu henin.
Dan rajawali membuangnya,
And the eagle casts him away.
230.---Bo’ema inak-ka Pinga Pasa.
Si ibu Pinga Pasa,.
The mother Pinga Pasa.
231.---Ma teon-na Soe Leli neu.
Dan bibinya Soe Leli.
232.---De tenga do hele nenin.
Mengambil atau memungutnya , membawa,
Takes or picks him,carrying him.
233.—De la-toi dui manun.
Mereka mengubur tulang-tulang ayam,
They bury the chicken bones.
234.---Ma laka-dofu kalu kapan.
Dan mereka menutupi tanah dengan urat-urat kerbau.
And
they cover with earth the buffalo
sinews.
Dengan melihat begitu
panjangnya sebuah bini (sajak, mantera) yang diucapkan seorang maneleo
(pujangga adat) secara lisan, bisa kita bayangkan kecerdasan orang Roti menghapal
bini sebanyak 234 kalimat diluar kepala seperti kemahiran berbahasa bini
(syair/mantra) luar biasa yang disebutkan diatas.
Di antara perangkat diad bahasa ritual Roti terdapat oposisi dualis yang
lazim seperti :
matahari // bulan,
kanan // kiri
langit // bumi jantan //
betina
tanah // air lebih tua //
lebih muda
timur // barat merah //
hijau
bilangan genap // bilangan ganjil dan kata-kata oposisi lainnya.
Terdapat ungkapan-ungkapan orang Roti bersifat aforisme berikut ini menyediakan
semacam gagasan kriteria pribumi yang merupakan alat untuk menyusun unsur-unsur perangkat aforisme.
Contoh : untuk perangkat dae // lain : ‘bumi’ // langit ada
aforisme ini :
- Lain loa dae, dae loa
lain, te-hu Manetua nai lain, de lain loa lena dae :(Artinya :”Langit seluas bumi, bumi seluas langit, tetapi Yang Maha Besar berada
di langit, oleh karenanya langit lebih luas dari bumi”).
- Untuk perangkat, dulu // muli = ‘timur // barat’ ada
aforisme ini : “Dulu nalu muli,
te-hu ledo neme dulu mai, de dulu
bau lena muli” : (Artinya :“Timur sama panjang dengan Barat, tetapi matahari
terbit dari Timur, oleh karenanya Timur jauh lebih besar dari Barat)”.
Dalam suatu upacara
seremonial, sebelum manehelo menjalankan tugasnya membawakan bahasa ritual
“bini” terlebih dahulu disuguhkan minuman keras khas Roti beralkohol tinggi
“sopi” (Rote ‘ala / arak’) terbuat dari hasil sulingan nira pohon lontar yang
biasa disebut “air kata-kata”. Karena setelah meminum beberapa gelas, maka manehelo secara otomatis berbicara dengan kata-kata
leluhur dalam bentuk bini. Juga
dibunyikan gendang atau tambur dengan nada-nada khas/khusus, selama menehelo
menjalankan tugasnya pada saat penguburan mayat.
Penulis: Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.