Dasar-Dasar Hukum Tambahan Tentang
Kelautan dan Perikanan
Selain
dasar-dasar Hukum tersebut di atas, dibawah ini kami mengutip dasar hukum yang disajikan oleh Najmu Laila dalam
Skripsinya berjudul ‘ PENGAKUAN TERHADAP HAK PENANGKAPAN IKAN TRADISIONAL
(TRADITIONAL FISHING RIGTHS) MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL (Januiari 2012)
Sebagai Berikut
1.1. Latar Belakang
Kepentingan-kepentingan
dunia atas hukum laut yang telah terlihat dalam perjalanan sejarah dunia
mencapai puncaknya pada abad ke-20.1 Modernisasi dalam segala bidang kehidupan
seperti tersedianya kapal-kapal yang lebih cepat, bertambah pesatnya
perdagangan dunia, serta kecanggihan teknologi dan informasi, membawa
konsekuensi bertambahnya perhatian yang diarahkan kepada usaha penangkapan ikan
serta kekayaan dari lautan.
1 Chairul
Anwar, Horizon Baru Hukum Laut Internasional: Konvensi Hukum Laut 1982
(Jakarta: Djambatan, 1989), hlm. 6-7.
2 Sampai saat
ini telah diadakan empat kali usaha untuk memperoleh suatu himpunan Hukum Laut
Internasional yang menyeluruh, yaitu:
(1) Konferensi
Kodifikasi Den Haag 1930 (The Hague Codification Conference in 1930) di bawah
naungan Liga Bangsa-Bangsa.
(2)
Konferensi Hukum Laut PBB I tahun 1958 (The UN Conference on the Law of the
Sea) yang menghasilkan empat konvensi penting, yaitu: 1. Konvensi tentang Laut
Teritorial dan Zona Tambahan (The Convention on Territorial Sea and Contiguous
Zone), 2. Konvensi tentang Laut Bebas (The Convention on the High Seas), 3.
Konvensi tentang Landas Kontinen (The Convention on Continental Shelf), dan 4.
Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber-Sumber Hayati di Laut Bebas
(The Convention on Fishing and Conservation of Living Resources of The High
Seas).
(3)
Konferensi Hukum Laut PBB II tahun 1960 (the UN Conference on the Law of the
Sea).
(4) Konferensi
Hukum Laut PBB III di Montego Bay, Jamaika yang menghasilkan Konvensi Hukum
Laut 1982 (UN Convention on The Law of The Sea 1982).
3 Hukum Laut
Internasional merupakan suatu kesatuan perangkat peraturan hukum yang
asas-asasnya berkembang perlahan-lahan mengikuti waktu, setingkat demi
setingkat diterima, dan diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa sejak beberapa
abad yang lampau. Lihat: H.A. Smith, The Law and Custom of the Sea, 2nd ed,
(London: Stevens & Sons Limited, 1954), hlm. 3.
4 Indonesia
telah meratifikasi UNCLOS 1982 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang
Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea, yang diundangkan
pada tanggal 31 Desember 1985. Indonesia (a), Undang-Undang tentang Pengesahan
United Nations Convention on The Law of The Sea, UU No. 17 Tahun 1985.
Dalam
menyikapi berbagai tantangan dan permasalahan di bidang kelautan tersebut,
masyarakat internasional telah mengupayakan serangkaian usaha2 untuk membentuk
satu rezim Hukum Laut Internasional.3 Konferensi terakhir, yaitu Konferensi
Hukum Laut PBB III telah berhasil menghasilkan Konvensi tentang Hukum Laut
Internasional/United Nation Convention on the Law of the Sea (untuk selanjutnya
disebut dengan ”UNCLOS 1982”).4 Salah satunya poin penting dari UNCLOS 1982 bagi
Indonesia adalah diakuinya rezim Negara Kepulauan.
Berdasarkan
Pasal 46 UNCLOS 1982, Negara Kepulauan adalah negara- negara yang seluruhnya
terdiri dari satu atau lebih Kepulauan. Adapun yang dimaksud dengan Kepulauan
ialah sekumpulan pulau-pulau, perairan yang saling bersambung (inter-connecting
waters), dan karakteristik ilmiah lainnya dalam pertalian yang demikian eratnya
sehingga membentuk suatu kesatuan instrinsik geografis, ekonomi, dan politis 3
atau secara historis memang dipandang sebagai demikian.5
5 Selain
definisi tersebut, banyak ahli hukum yang turut memberikan definisi Kepulauan
dan Negara Kepulauan. Secara umum, Kepulauan dapat didefinisikan dengan
kumpulan pulau. Jens Evensen mendefinisikan Kepulauan sebagai, ”a formation of
two or more islands (islets or rocks), which geographically may be considered
as a whole”. Lihat: Mohamed Munavvar, Ocean States: Archipelagic Regimes in the
Law of the Sea (Dordrecht: Martinus Nijhoff, 1995), hlm. 5.
6 Berdasarkan
Pasal 3 UNCLOS 1982, baseline merupakan titik pangkal pengukuran zona-zona
maritim yang terdapat dalam rezim hukum laut untuk membedakan atau menjadi
batas dari zona-zona. Menurut Churchill dan Lowe, “the baselines is the line
from which the outer limits of the territorial sea and other coastal states
zone (the countigious zone, the exclusive fishing zone and the exclusive
economic zone) are measured.” Lihat: R. R. Churcill dan A. V. Lowe, The Law of
The Sea, 3rd ed., (Manchester: Manchester University Press, 1999), hlm.31.
7 Garis
pangkal Kepulauan (archipelagic baseline), atau ada juga yang menyebutnya
sebagai garis pangkal lurus Kepulauan (archipelagic straight baseline) adalah
garis pangkal yang mengelilingi Negara Kepulauan yang ditentukan dari titik
terluar pulau-pulau yang ada dan membentuk suatu wilayah yang terdiri dari
wilayah daratan dan perairan pedalaman. Terdapat 3 cara untuk menarik garis
pangkal, yaitu dengan cara (1) garis pangkal normal (normal baseline), (2)
garis pangkal lurus (straight baseline), dan (3) garis pangkal Kepulauan
(archipelagic baseline). Lihat: Pasal 5, 7, dan 47 UNCLOS 1982.
8 Laut bebas
didefinisikan di dalam pasal 1 UN Conventions on High Seas 1958 sebagai seluruh
bagian dari laut yang tidak termasuk ke dalam laut teritorial atau laut
pedalaman dari sebuah negara. Pada dasarnya laut bebas terbuka untuk seluruh
negara baik negara pantai atau tidak berpantai dan tidak ada satu negara pun
yang dapat mengakui kedaulatannya di atas laut bebas tersebut. Selanjutnya,
laut bebas diatur di dalam Bagian VII, pasal 86 – 120 UNCLOS 1982.
9 Penting
kiranya untuk membedakan perairan wilayah (territorial waters) dan laut wilayah
(territorial sea) mengingat keduanya memberikan hak dan kekuasaan yang berbeda
bagi negara pantai. Perairan wilayah memiliki pengertian yang lebih luas dari
laut wilayah karena di dalamnya tercakup laut wilayah dan perairan pedalaman
(internal atau inland waters). Sedangkan laut wilayah adalah suatu lajur laut
yang terbentang di sepanjang pantai dengan lebar tertentu (sampai dengan 12
mil) diukur dari garis pangkal.
Di perairan
pedalaman, negara memiliki kedaulatan yang penuh atas daerah teritorialnya
tanpa dibatasi oleh apapun, sementara di laut wilayah terdapat pembatasan yaitu
adanya hak lintas damai kapal asing. Lihat: Mochtar Kusumaatmadja, “Nota
Tertulis kepada Panitia Interdep RUU Perairan Wilayah RI perihal Istilah-
Istilah yang Dipergunakan dalam RUU Perairan Wilayah RI,” tanggal 1 Januari
1960, tidak dipublikasikan.
10 Indonesia
telah menetapkan garis pangkal dalam Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008
Tentang Peraturan Pengganti Peraturan Pemerintah 38 Tahun 2002 Tentang Daftar
Koordinat Geografis Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Indonesia (b).
Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Pengganti Peraturan Pemerintah 38 Tahun
2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.
PP No. 37 Tahun 2008.
11
Menurut Pasal 18 ayat (1) UNCLOS 1982, lintas (passage) berarti navigasi
melalui laut teritorial untuk keperluan: (a) melintasi laut tanpa memasuki perairan
pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut (roadstead) atau
fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman; atau (b) berlalu ke atau dari
perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut (roadstead)
atau fasilitas pelabuhan tersebut. Selanjutnya menurut Black‟s Law Dictionary, innocent
passage adalah,“the right of a foreign ship to pass through a country‟s
territorial waters; the right of foreign vessel to travel through a country‟s
maritime belt without paying a toll” Ketentuan lebih lanjut lihat: pasal 18 dan
Pasal 19 UNCLOS 1982.
Negara
Kepulauan menarik garis pangkal (baseline)6 dengan menggunakan metode garis
pangkal Kepulauan (archipelagic baseline).7 Konsekuesi penarikan garis pangkal
dengan cara demikian adalah terjadinya perubahan status bagian-bagian laut yang
tadinya merupakan laut bebas8 menjadi laut wilayah9 Negara Kepulauan.10 Oleh
karena itu, pengakuan terhadap Negara Kepulauan tersebut dibarengi dengan
berbagai pengaturan lain yang memberikan jaminan terhadap hak lintas damai
(right of innocent passage)11 4 Hak Penangkapan Ikan Tradisional –( Najmu Laila )
dan hak lintas melalui alur-alur laut Kepulauan (the right of
archipelagic sealanes passage)12 bagi kapal asing dalam laut pedalaman13 Negara
Kepulauan.14 Selain itu, Negara Kepulauan juga harus menghormati hak-hak
penangkapan ikan tradisional dari negara-negara tetangga dan
perjanjian-perjanjian yang telah ada dengan negara lain.15
12 Pengaturan
mengenai hak lintas alur laut Kepulauan mutatis mutandis sama seperti
pengaturan transit passage di selat. Selanjutnya, Pasal 53 (12) UNLCOS 1982
menyatakan bahwa jika Negara Kepulauan tidak menentukan jalur laut
Kepulauannya, maka archipelagic sea lanes passage dapat dilakukan melalui rute
normal yang digunakan untuk pelayaran internasional. Ketentuan tersebut juga
diasumsikan berlaku bagi pesawat dan kapal selam.
13 Laut
pedalaman (internal seas) yang dimaksud adalah perairan pedalaman dalam arti
yang baru, yakni bagian-bagian laut yang terletak di sebelah sisi dalam dari
garis-garis pangkal Kepulauan tapi pada sisi luar dari garis rendah. Istilah
tersebut berbeda dengan perairan pedalaman (inland waters). Lihat kembali
keterangan dalam catatan kaki nomor 10.
14 Walaupun
pada prinsipnya menurut Hukum Internasional, suatu negara memiliki kedaulatan
mutlak di wilayah perairan pedalaman dan hak lintas damai hanya diberikan di
wilayah laut teritorial, namun sebagai pengecualian pada Negara Kepulauan tetap
diberikan hak lintas alur laut Kepulauan kepada kapal-kapal asing. Lihat: Frans
E. Likadja dan Daniel F. Bessie, Hukum Laut dan Undang-Undang Perikanan
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 38.
15 Hal ini
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 311 (2) UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa,
“this Convention shall not alter the rights and obligations of State Parties
which arise from other agreements compatible with this Convention”.
16 Departemen
Kelautan dan Perikanan, Analisis Kebijakan tentang Pembentukan Badan Hukum,
Keamanan dan Keselamatan Laut (Jakarta: DKP, 2008), hlm. 7.
17
United Nations, The Law of the Sea, Official Text of the United Nations
Convention on the Law of the Sea (New York: United Nations, 1983), Pasal 51
ayat (1).
Hak
Penangkapan Ikan Tradisional (Traditional Fishing Rights) merupakan hak
yang diberikan kepada nelayan-Nelayan Tradisional negara tetangga untuk
melakukan penangkapan ikan secara tradisional di Perairan Kepulauan tertentu
berdasarkan perjanjian bilateral.16 Pengakuan terhadap hak tersebut diakomodir
di dalam Bab IV Pasal 51 ayat (1) UNCLOS 1982 yang menyebutkan:
An
archipelagic State shall respect existing agreements with other States and
shall recognize traditional fishing rights and other legitimate activities of
the immediately adjacent neighbouring States in certain areas falling within
archipelagic waters. The terms and conditions for the exercise of such rights
and activities, including the nature, the extent and the areas to which they
apply, shall, at the request of any of the States concerned, be regulated by
bilateral agreements between them.17
(terjemahan
bebas: ...Negara Kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada dengan negara
lain dan harus mengakui hak penangkapan ikan tradisional dan kegiatan lain yang
sah negara tetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang
berada dalam Perairan Kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan
kegiatan demikian, termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah di mana hak dan
5
kegiatan demikian berlaku, atas permintaan salah satu negara
yang bersangkutan harus diatur dengan perjanjian bilateral antara mereka)
Jika
ditinjau dari rumusan tersebut, dapat dilihat bahwa UNCLOS 1982 hanya mengatur
secara sekilas mengenai Hak Penangkapan Ikan Tradisional (untuk selanjutnya
disebut “HPT”). Adapun ketentuan yang teknis mengenai hak tersebut, seperti
sumberdaya laut apa saja yang boleh ditangkap, dimana kegiatan penangkapan
(fishing ground) harus dilakukan, dan lain sebagainya harus diatur lebih lanjut
di dalam perjanjian bilateral kedua negara.
Adalah
kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa pengakuan atas HPT Nelayan
Tradisional asing merupakan visualisasi dari praktik-prakti negara ke dalam
bentuknya yang baru sebagai Hukum Internasional tertulis dalam wujud UNCLOS
1982. Kenyataan ini menjadi lebih jauh maknanya apabila dikaitkan dengan rezim Negara
Kepulauan. Bagi Indonesia sebagai Negara Kepulauan, pengakomodasian hak-hak
Nelayan Tradisional negara tetangga di perairan Indonesia adalah fakta sejarah
yang secara politis dikaitkan dengan upaya untuk memperoleh dukungan dari
negara tetangga atas perjuangan Indonesia untuk mempersatukan daratan dan
lautan menjadi suatu kesatuan yang utuh berdasarkan konsepsi Wawasan
Nusantara.18 Pengakuan Indonesia atas HPT nelayan dari negara tetangga
merupakan imbal-balik (trade-off)19 sebagai bagian dari strategi untuk
memperoleh pengakuan internasional atas konsepsi Negara Kepulauan.20
18 Wawasan
Nusantara adalah carapandang bangsa dan negara Indonesia berdasarkan falsafah
nasional Pancasila tentang diri dan lingkungannya dalam eksistensi di
tengah-tengah lingkungan yang sarwa-nusantara, berisi dorongan dan rangsangan
untuk mencapai tujuan nasional terkandung dalam UUD 1945. Lihat: Ketetapan MPR
No. IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara mengenai Pola Dasar
Pembangunan Nasional Bab II Sub E, yang ditegaskan kembali di dalam Ketetapan
MPR No. IV/MPR/1978, Bab II.
19 Prinsip
timbal balik seperti itu lazim terjadi dalam setiap proses perundingan
internasional, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral, sebagaimana dikemukakan
oleh Hasjim Djalal, “everyone of us gives something and gaine something.”
Lihat: Hasjim Djalal (a), “The Effect of the Law of the Sea Convention on the
Norm that Govern Ocean Activities”, dalam John M. Van Dyke (ed), Cosensus and
Confrontation, a Workshop of the Law of the Sea Institute, 9 – 13 Januari 1984,
(Honolulu, Hawaii: the United States and the Law of the Sea Covention, 1985),
hlm. 54.
20 Suparman
A. Diraputra, Perlindungan Hukum Kualitas Lingkungan Laut Nusantara (Jakarta:
Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1994/1995), hlm. 38.
21 Adjacent
state adalah negara yang berdampingan dalam satu daratan, sementara oposite
state adalah negara yang berseberangan, yaitu negara tetangga yang terpisah
oleh lautan. I Made Andi Arsana (a), Batas Maritim Antarnegara: Sebuah Tinjauan
Teknis dan Yuridis (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), hlm. 4.
22 S.Y.
Pailah, Archipelagic State: Tantangan dan Perubahan Maritim, cet.1, (Manado:
Klub Studi Perbatasan, 2007), hlm. 8.
Sebagai
Negara Kepulauan, Indonesia mempunyai kewajiban untuk menghormati kegiatan
penangkapan ikan tradisional negara tetangga yang berdampingan (adjacent
state),21 yang secara turun temurun telah dilakukan di daerah perairan yang
berubah menjadi Perairan Nusantara.22 Pengakuan Negara Kepulauan terhadap
hak-hak tersebut 6 Hak Penangkapan Ikan
Tradisional – Najmu Laila
harus dilaksanakan mengingat setelah berlakunya UNCLOS
1982,23 maka perairan yang semula statusnya laut lepas sekarang menjadi
Perairan Kepulauan yang tunduk pada rezim kedaulatan penuh Negara Kepulauan.24
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Indonesia telah melakukan berbagai
perjanjian bilateral dengan negara-negara tetangga yang memuat klasula
pengakuan terhadap HPT, seperti dengan Australia, Malaysia, dan Papua Nugini.
23 UNCLOS
1982 berlaku sejak tanggal 16 November 1994. Hal ini sesuai dengan ketentuan di
dalam Pasal 308 ayat (1) UNCLOS 1982, bahwa konvensi tersebut akan berlaku 12
bulan sejak tanggal didepositkannya instrumen ratifikasi atau aksesi oleh 60 negara.
24 Dewan
Kelautan Indonesia, Laporan Akhir Evaluasi Kebijakan dalam Rangka Konvensi
Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) di Indonesia (Jakarta: Departemen
Kelautan dan Perikanan, 2008), hlm. 16-22.
25 Perjanjian
1982 tersebut ditandatangani di Jakarta pada tanggal 25 Februari 1982 dan telah
disahkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1983. Perjanjian
tersebut memuat pengaturan mengenai HPT pada Bagian V, Pasal 13 dan Pasal 14.
26
Pelaksanaan rezim Hukum Negara Nusantara yang diterapkan oleh Pemerintah
Indonesia akan sangat mempengaruhi hak-hak dan kepentingan-kepentingan yang sah
yang telah secara tradisional dilakukan Indonesia. Hal ini mengingat terdapat
Perairan Nusantara diantara kedua wilayah Malaysia, yaitu Malaysia Barat dan
Malaysia Timur. Oleh karena itu, perjanjian tersebut dibuat untuk menjamin
kelangsungan hak-hak tradisional dan kepentingan-kepentingan Malaysia yang sah
di laut teritorial dan Perairan Nusantara Indonesia yang terletak antara
Malaysia Timur dan Malaysia Barat. Lihat: Konsideran Perjanjian 1982.
27
Lihat: ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) Perjanjian 1982.
Indonesia
telah membuat perjanjian bilateral dengan Malaysia mengenai rezim Hukum Negara
Nusantara dan Hak-Hak Malaysia di Laut Teritorial dan Perairan Nusantara serta
Ruang Udara di atas Laut Teritorial, Perairan Nusantara, dan Wilayah Republik
Indonesia yang terletak di antara Malaysia Timur dan Malaysia Barat (untuk
selanjutnya disebut “Perjanjian 1982”).25 Dalam Perjanjian 1982 tersebut
dinyatakan bahwa Malaysia akan mengakui rezim Negara Kepulauan Indonesia dengan
syarat Indonesia juga mengakui hak-hak tradisional dan kepentingan-kepentingan
Malaysia yang sah di laut teritorial dan Perairan Nusantara Indonesia yang
terletak antara Malaysia Timur dan Malaysia Barat.26
Adapun
yang dimaksud dengan hak-hak tradisional dan kepentingan- kepentingan yang sah
Malaysia yang telah ada di wilayah laut tersebut pada pokoknya meliputi hak
akses dan komunikasi baik di laut maupun di udara bagi kapal-kapal dan pesawat
udara Malaysia untuk tujuan dagang, sipil, dan militer serta HPT Malaysia di
tempat-tempat tertentu di wilayah laut, termasuk hak memasang kabel
telekomunikasi dan pipa-pipa bawah laut.27 Ketentuan-ketentuan yang dirumuskan
dalam perjanjian bilateral tersebut sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 47
ayat (6) UNCLOS yang menentukan bahwa,
“
If a part of the archipelagic waters of an archipelagic State lies between two
parts of an immediately adjacent neighbouring State, existing rights and all
other legitimate interests which the latter State has traditionally exercised
in such waters and all rights stipulated by agreement between those States
shall continue and be respected.” 7
(Terjemahan bebas: “...apabila suatu bagian tertentu dari
Perairan Kepulauan suatu Negara Kepulauan terletak antara dua bagian dari suatu
negara tetangga dekat, maka hak-hak dan kepentingan-kepentingan sah yang
dimiliki oleh negara yang disebutkan terdahulu dan yang telah dimilikinya
secara tradisional dalam perairan demikian serta segala hak yang ditetapkan
dalam suatu perjanjian antara negara-negara tersebut harus tetap berlaku dan
dihormati.”)
Selain
dengan Malaysia, Indonesia juga telah membuat Persetujuan Dasar dengan Papua
Nugini (untuk selanjutnya disebut “PNG”) tentang Pengaturan- Pengaturan
Perbatasan yang mengakui adanya hak-hak tradisional, diantaranya HPT warga
negara masing-masing pihak yang berdasarkan kebiasaan dan dengan cara-cara
tradisional telah menangkap ikan di perairan pihak lain.
28
Persetujuan tersebut kemudian dituangkan lebih lanjut ke dalam Persetujuan
Dasar Batas – Batas Maritim antara Republik Indonesia dan PNG dan Kerjasama
tentang Masalah-Masalah yang Bersangkutan.29 Namun berbeda dengan Malaysia,
perjanjian yang dibuat oleh Indonesia dengan PNG adalah perjanjian yang
memberikan hak secara timbal balik kepada Nelayan Tradisional kedua negara.
Artinya, tidak hanya Nelayan Tradisional PNG saja yang hak-haknya harus
dihormati oleh Indonesia, tetapi juga Nelayan Tradisional Indonesia yang hak-
haknya harus dihormati oleh PNG.
28 Basic
Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the
Government of Papua New Guinea on Borders Agreements (Persetujuan Dasar antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah PNG tentang Pengaturan-Pengaturan
Perbatasan) ditandatangani di Jakarta pada tanggal 17 Desember 1979 dan
diratifikasi oleh Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 1980.
29 Basic
Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the
Government of Papua New Guinea on Borders Agreements (Persetujuan Dasar antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah PNG tentang Batas – Batas Maritim
antara Republik Indonesia dan PNG dan Kerjasama tentang Masalah-Masalah yang
Bersangkutan), tanggal 13 Desember 1980 dan telah diratifikasi oleh Keputusan
Presiden Nomor 21 Tahun 1982. Perjanjian tersebut kemudian diperbaharui pada
tanggal 29 Oktober dan dirafikasi oleh Keputusan Presiden Nomor 66 Tahun 1984.
Terakhir, perjanjian tersebut diperbaharui kembali pada tanggal 11 April 1990
dan dirafikasi oleh Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1990.
30 Indonesian
Voices, “Isu Kritis Batas Wilayah Indonesia,”
http://Indonesianvoices.com/index.php?option=com_content&view=article&id=243:isu-kritis-
batas-wilayah-Indonesia,
diunduh 3 Januari 2012.
Klaim
terhadap hak-hak tradisional penduduk yang berada di perbatasan kedua negara
tidak dapat diabaikan mengingat terdapat kedekatan sosio-kultural masyarakat,
persamaan budaya, dan ikatan keluarga di antara penduduk di kedua sisi
perbatasan yang memang secara faktual tidak dapat disekat-sekat oleh garis
batas negara.
30 Namun demikian, kendati telah ada persetujuan dasar yang
menjadi kerangka hukum pengakuan terhadap HPT masyarakat adat di perbatasan
kedua negara, sampai saat ini belum ada pengaturan lebih lanjut mengenai hal
tersebut seperti hak-hak tradisional seperti apa yang dapat dilakukan, baik
dari segi sifat maupun ruang lingkup berlakunya. Hal inilah yang 8 Hak
Penangkapan Ikan Tradisional – Najmu
Laila
kerap kali menimbulkan permasalahan di daerah perbatasan
kedua negara, bahkan berujung pada jatuhnya korban jiwa.31
31 Salah satu
contoh kasus yang dapat dikemukakan adalah kasus terbunuhnya seorang warga
negara Indonesia oleh tentara PNG atas tuduhan melanggar batas wilayah. Tentara
PNG pada selasa, 8 Agustus 2011 menembak kapal nelayan asal Indonesia yang
diduga memasuki wilayah perairan PNG sehingga menyebabkan seorang nelayan
tewas, yakni Mulyadi dan dua lainnya (Hamid dan Kopal) mengalami luka tembak.
Insiden itu bermula dari patroli PNG yang memergoki kapal nelayan bernama
“Buana Jaya” yang sedang menangkap ikan di sekitar wilayah PNG. Tentara PNG
lalu melepaskan tembakan beruntun ke arah mesin dan lambung kapal yang
bermuatan 10 nelayan. Adapun tujuh orang lainnya yang selamat ditahan oleh polisi
PNG. Antara News (a), “Indonesia Hendaknya Cepat Selesaikan Perjanjian dengan
PNG,”
http://www.antaranews.com/print/1155725106/Indonesia-hendaknya-cepat-selesaikan-perjanjian-
dengan-png, diunduh 29 November 2011.
32
Perlindungan terhadap Nelayan Tradisional diakomodir di dalam Bab 17 Agenda 21
tentang perlindungan global terhadap laut, dengan ketentuan perlunya
berkonsultasi dengan nelayan lokal dan melindungi mereka terhadap sumberdaya.
Selain itu, dalam Conventin on Biological Diversity, Pemerintah diminta untuk
melindungi dan meningkatkan praktik-praktik budaya tradisional dalam
pemanfaatan sumberdaya biologi. Sementara itu, Convention on the Conservation
of Migratory Species of Wild Animals mengijinkan nelayan lokal untuk menangkap
spesies-spesies yang bermigrasi untuk memenuhi kebutuhan subsistensinya.
Selanjutnya, di dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UN
Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) yang berlaku sejak 13
September 2007, terdapat jaminan
terhadap masyarakat adat di seluruh dunia untuk mengklaim wilayah daratan dan
lautan yang telah mereka diami sejak lama jauh sebelum kedatangan para
penjajah. Arif Satria (a), “Mengakui Hak Penangkapan Ikan Tradisional,”
http://kompas.com/kompas-cetak/0505/28/Fokus/1769074.htm, diunduh 3 Desember
2011.
33 Hasjim Djalal (b),
Indonesia and the Law of the Sea (Jakarta: Centre for Strategic and
International Studies, 1995), hlm.17.
Permasalahan tersebut menimbulkan
pertanyaan, apakah HPT merupakan kewajiban semata dari Negara Kepulauan,
sehingga in contrario, merupakan hak dari Nelayan Tradisional negara tetangga
yang berbatasan dengan Negara Kepulauan ataukah hak yang melekat pada diri
Nelayan Tradisional, terlepas nelayan tersebut bertetangga dengan suatu Negara
Kepulauan atau tidak?
Jika dikaitkan dengan Pasal 51 (1)
UNCLOS 1982, jelas merupakan kewajiban Negara Kepulauan untuk menghormati dan
mengakui HPT negara tetangga yang berdampingan langsung dengan Negara Kepulauan
tersebut. Namun jika dirunut kembali di dalam berbagai instrumen Hukum
Internasional dan praktik negara-negara, terdapat legitimasi yang kuat untuk
memberikan perlindungan terhadap Nelayan Tradisional. Bahkan apabila mengacu
kepada Tsamenyi, setidaknya terdapat 17
konvensi internasional yang mendukung pengkuan terhadap hak Nelayan
Tradisional.32
Dalam konteks yang lain, Hasjim Djalal
membedakan antara traditional fishing
rights (HPT) dengan traditional
rights to fish (hak tradisional untuk menangkap ikan). Menurutnya, traditional rights to fish mengacu
kepada hak setiap negara secara tradisional untuk menangkap ikan di laut bebas
tanpa memperhatikan apakah mereka memang pernah atau tidak melaksanakan hak
tersebut. Sementara traditional fishing rights diartikan bagai hak menangkap ikan yang timbul karena di
dalam praktik mereka telah melakukan penansegkapan ikan di daerah-daerah
tertentu. Hal tersebut muncul karena masyarakat nelayan telah melakukan
kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah secara turun temurun dan berlangsung
lama.33 9
Berdasarkan
hal pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebetulnya pengakuan terhadap
HPT tidak hanya merupakan kewajiban bagi Negara Kepulauan. HPT juga dilekatkan
kepada Nelayan Tradisional yang memiliki tradisi atau kegiatan penangkapan ikan
secara turun temurun dan berlangsung lama di suatu daerah tertentu. Contoh
paling nyata terdapat dalam perjanjian antara Indonesia dan Australia yang di
dalamnya memberikan perlindungan terhadap HPT nelayan Indonesia di Australia.34
Australia bukan merupakan
Negara Kepulauan sehingga pemberian hak tersebut lebih didasarkan pada
kenyataan historis beberapa kelompok Nelayan Tradisional Indonesia35 yang
secara turun temurun, telah menangkap atau mencari teripang dan ikan lola di
Perairan Australia, khususnya di Pulau Ashmore (Pulau Pasir).36
34 Di sebelah Selatan,
Indonesia berbatasan dengan Australia. Batas perairan antara Indonesia dengan
Australia meliputi daerah yang sangat luas, terbentang lebih kurang 2.100 mil laut dari selat Torres sampai
perairan P.Chrismas. Lihat: Harmen Batubara (a), “Hak
dan Masalah Penangkapan Ikan Tradisional di Pulau Pasir,” http://www.wilayahpertahanan.com/dialektika-pertahanan/wilayahpertahanan-dialektika-pertahanan/hak-dan-masalah-penangkapan-ikan-
tradisional-di-pulau-pasir, diunduh 10 September 2011.
35 Adapun Nelayan Tradisional Indonesia yang sering berkunjung ke
wilayah perairan Australia, khususnya Pulau Pasir (Ashmore Reef) berasal dari
daerah Pulau Rote, Flores, Buton, Sabu, Timor, Alor, Sulawesi dan Maluku. Lihat: Natasha Ellen
Tanya Stacey (a), “Crossing Borders: Implications of the Memoradum of
Understanding on Bajo Fishing Activity in Northern Australian Waters,”
http://www.environment.gov.au/coasts/mpa/publications/pubs/bajo.pdf,
diunduh 10 September 2011.
36 Keberadaan para nelayan
Indonesia di wilayah Kepulauan Ashmore (pulau Pasir) dan Cartier dapat
dibuktikan dari hasil laporan West Australian Fisheries Department pada tahun
1949. Lihat: D.L. Serventy, “Indonesian Fishing Activity in Australian Seas,”
The Australian Geographer (Nomor 1 Tahun 1952), hlm. 14.
37 Hal tersebut didasarkan pada kesepakatan yang
dihasilkan oleh Indonesia dan Belanda pada Konferensi Meja Bundar yang
dilaksanakan di Den Haag pada tanggal 23 Agustus – 2 November tahun 1949.
Kesepakatan tersebut ditandatangani oleh Pemerintah RI (saat itu Republik
Indonesia Serikat) dan Belanda pada tanggal 27 Desember 1949. Salah satu poin kesepakatan yang dihasilkan dari pertemuan tersebut
adalah bahwa wilayah Negara RI meliputi seluruh bekas daerah Hindia Belanda,
kecuali Papua Barat.
Lihat: M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c.1300, 2nd ed,
(California: Stanford University Press, 1993), hlm. 224-225.
38 Terkait dengan kepemilikan
Pulau Ashmore oleh Australia ini memang terdapat beberapa kontroversi. Pulau
Ashmore, atau yang dikenal oleh orang Indonesia sebagai Pulau Pasir adalah
salah satu pulau terluar di bagian selatan wilayah Indonesia yang letaknya
hanya 70 mil laut dari garis pantai Pulau Rote, Kabupaten Rote Ndao, NTT dan
200 mil dari pantai barat Australia. Pulau
tersebut merupakan tempat hunian nenek moyang asal Pulau Rote (sebagai
buktinya, adanya kuburan-kuburan nenek moyang orang Rote di sana), tempat
melepas lelah setelah menempuh perjalanan semalam suntuk untuk menangkap ikan,
tripang dan lola sebagai nafkah hidup. Namun kemudian sejak tahun 1970-an
kepemilikan pulau itu telah beralih ke Australia dan menamakannya Pulau Ashmore
Lihat: Yosef Sumanto, “Awas Pulau Pasir Lepas dari NKRI,”
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0503/02/opi01.html, diunduh 27 November
2011.
Sebagaimana diketahui, yang ditetapkan
sebagai wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah yang
dahulu menjadi bagian dari wilayah Hindia Belanda.37 Dengan demikian, karena
secara historis tidak pernah masuk sebagai bagian dari Hindia Belanda, maka
walaupun jaraknya lebih dekat ke pulau Rote daripada ke daratan Australia yang
terdekat, Pulau Pasir dan gugusannya masuk ke dalam yurisdiksi wilayah
Australia.38 Oleh karena itu, kesepakatan dibuat bahwa wilayah tersebut masuk
ke dalam yurisdiksi kedaulatan Australia, namun Nelayan Tradisional dari
Indonesia 10 Hak Penangkapan Ikan Tradisional – Najmu Laila
HPT di
kawasan tersebut sepanjang masih sesuai dengan upaya pelestarian sumberdaya
yang ada.39
39 Antara News (b),
“Indonesia-Australia Kaji Sumberdaya Perairan,”
http://www.sumbarprov.go.id/detail_news.php?id=1120,
diunduh 10 September 2011.
40 Memorandum of
Understanding Between The Government of Australia and The Government of The
Republic of Indonesia Regarding The Operations of Indonesian Traditional
Fishermen in Areas of The Australian Exclusive Fishing Zone and Continental
Shelf, ditandatangani di Jakarta pada tanggal 7 November 1974.
41 FAO (Food and Agriculture
Organization) memperkirakan kerugian Indonesia karena illegal fishing mencapai
Rp. 30 triliun/tahun. Dengan
estimasi tingkat kerugian sekitar 25
persen dari total potensi perikanan yang dimiliki Indonesia sebesar 1,6 juta
ton per tahun. Lihat: Interpol Indonesia, “Illegal Fishing di Perairan
Indonesia, Sembilan Kapal Nelayan Asing Ditangkap,”
http://www.interpol.go.id/interpol/news.php?read=81, diunduh tanggal 9 Maret
2009.
42 Salah satu kasus yang
menarik perhatian masyarakat luas adalah ketika Pemerintah Australia menggelar
operasi untuk memberantas Illegal fishing dengan nama ”Clean Water Operation”
yang berlangsung pada tanggal 12-21 April 2005. Dalam operasi tersebut, aparat
keamanan Australia berhasil menangkap 240 nelayan Indonesia. Ironisnya,
berdasarkan informasi yang didapat dari DKP, diantara nelayan-nelayan yang
ditangkap, di dalamnya terdapat Nelayan Tradisional Indonesia. Masalah semakin
mencuat ketika kapten kapal KM Gunung Mas Baru, yang bernama Muhammad Heri,
meninggal dalam masa penahanan di Darwin, Australia pada tanggal 28 April 2005.
Kejadian ini bukan yang pertama, karena tahun 2004, nelayan asal Sikka, Flores,
bernama Manzur La Ibu juga meninggal setelah disekap AL Australia. Lihat:
Akhmad Solihin (a), ”Illegal Fishing” dan ”Traditional Fishing Rights,” Sinar
Harapan, (Edisi 11 Mei 2005).
43 Berita Sore (a),
“Sosialisasi Illegal Fishing Justru Perburuk Keadaan,”
http://beritasore.com/2007/11/29/sosialisasi-illegal-fishing-justru-perburuk-keadaan/,
diunduh 27 November 2011.
Kesepakatan tersebut tertuang di dalam
nota kesepahaman yang dibuat pada tahun 1974 antara Pemerintah Indonesia dan
Pemerintah Australia yang disebut Memorandum of Understanding (MoU) Box (untuk
selanjutnya disebut “MoU Box 1974”).40 Inti dari MoU Box 1974 tersebut adalah
jaminan perlindungan hak Nelayan Tradisional Indonesia di Australia di lima
daerah yaitu Ashmore Reef (Pulau Pasir), Cartier Islet (Pulau Baru), Scott
Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Islet. Di wilayah-wilayah tersebut,
Pemerintah Australia tidak akan menerapkan peraturan perikanannya kepada
Nelayan Tradisional Indonesia.
Namun demikian, kendati telah diatur
dalam sebuah MoU Box 1974, praktik di lapangan menunjukkan sering terjadi
pelanggaran terhadap hak-hak Nelayan Tradisional Indonesia.41 Tidak jarang juga
terjadi berbagai penyimpangan yang terjadi seperti sindikat illegal fishing
berkedok Nelayan Tradisional.42 Hal tersebut membuat Nelayan Tradisional
Indonesia yang asli kesulitan untuk mencari ikan di daerah operasi sebagaimana
yang telah diatur di dalam MoU Box 1974. Apalagi sejak tahun 2002, Australia secara
sepihak melarang Nelayan Tradisional Indonesia menangkap ikan di gugusan Pulau
Pasir dengan alasan konservasi lingkungan.43 Selain itu, ketidakjelasan
pengertian mengenai siapa yang disebut Nelayan Tradisional menyebabkan
perbedaan penafsiran diantara kedua negara.
Berdasarkan ketentuan di dalam MoU Box
1974, yang dimaksud dengan Nelayan Tradisional tersebut adalah nelayan yang
secara tradisional telah melakukan penangkapan 11
ikan
maupun berbagai jenis spesies sedinter (sedentary species)44 di perairan
Australia selama beberapa dekade dengan cara-cara tradisional.45 Dalam
perkembangannya kemudian, fokus penafsiran istilah „tradisional‟ dialihkan dari
yang tadinya mengacu kepada kenyataan secara historis dan cara-cara penangkapan
secara tradisional, menjadi semata-mata didasarkan pada teknologi dan cara
pelayaran yang digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan. Rumusan tersebut
menurut Bruce dan Wilson, tidak tepat oleh karena mengandung kelemahan
konseptual mengenai Nelayan Tradisional.46
44 Berdasarkan pasal 77 ayat
(4) UNCLOS 1982, spesies sedinter adalah,“... organism which, at the
harvestable stage, either are immobile on or under the sea-bed or are immobile
to move except in constant physical contact with the sea-bed or the subsoil.”
45 Hal tersebut diatur secara
implisit di dalam pengertian Nelayan Tradisional menurut Pasal 1 MoU Box 1974.
Lihat juga: Pasal 2 MoU Box 1974.
46 Bruce dan Wilson dalam
Jawahir Thontowi, Hukum Internasional di Indonesia: Dinamika dan Implementasi
Dalam Beberapa Kasus Kemanusiaan, (Yogyakarta: Madyan Press, 2002).
47 Djalal (b), op.cit., hlm.
16.
48 Istilah globalisasi dalam
konsep kultural mulai diperkenalkan pada tahun 1960-an oleh Marshall McLuhan
melalui istilah “global village”. Hasil observasinya menunjukkan bahwa
perkembangan teknologi komunikasi berdampak pada kehidupan sosial-budaya
masyarakat pedesaan. Teknologi komunikasi mampu mempersingkat waktu dan
memperpendek jarak interaksi penduduk dalam melakukan aktivitas ekonomi,
sosial-budaya, politik pada tataran global. Lihat: Djoko Hermantyo, “Dampak
Globalisasi di Negara Kepulauan Tropika,” (makalah disampaikan pada Seminar
Nasional: Pertemuan Ilmiah Tahunan dan Kongres Ikatan Geograf Indonesia (IGI)
di Universitas Indonesia, 14-15 September 2006).
49 Tonnage atau Tonase adalah
besaran volume, dimana satu Register Tonase (RT) menunjukkan suatu ruangan
sebesar 100 club feet atau 1/0,353 m3 atau sama dengan 2,8328 m3. Kita kenal
ada 2 macam register tonase yaitu Brutto Register Tonnage (BRT) dan Netto Register
Tonnage (NRT) atau Gross Tonnage (GT). Brutto Register Tonnage (BRT) sama
dengan Gross Tonnage (GT) adalah isi kotor, yaitu volume total dari semua
ruanganruangan tertutup dalam kapal dikurangi dengan volume dari sejumlah
ruangan-ruangan tertentu untuk keamanan kapal. Sementara Netto Register Tonnage
(NRT) atau Netto
Jika mengacu kepada pendapat Hasyim
Djalal, ada beberapa ketentuan yang dapat dipergunakan untuk menentukan
kategori suatu nelayan memiliki HPT. Pertama, nelayan-nelayan yang bersangkutan
secara tradisional telah menangkap ikan di suatu perairan tertentu. Kedua,
mereka telah menggunakan alat-alat tertentu secara tradisional. Ketiga, hasil
tangkapan mereka secara tradisional adalah jenis ikan tertentu. Keempat
nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan tersebut haruslah nelayan yang
secara tradisional telah melakukan penangkapan ikan di daerah tersebut.47
Namun, ternyata kriteria di atas juga
masih menimbulkan pertanyaan lebih lanjut, misalnya karena seiring dengan
perubahan zaman dan berkembangnya teknologi dan arus globalisasi,48 alat
tangkapan Nelayan Tradisional mengalami perkembangan pula. Dari yang tadinya
hanya menggunakan alat-alat tradisional seperti perahu kayu dengan jala
sederhana menjadi lebih canggih, lengkap dengan sarana navigasi modern. Apakah
nelayan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai Nelayan Tradisional yang lantas
memiliki HPT? Apakah yang dikategorikan Nelayan Tradisional itu sama dengan
nelayan kecil yang kapal penangkap ikannya harus bermesin dalam (inboard) berukuran
di bawah 5 (lima) Gross Tonnage (“GT”),49 atau perahu bercadik yang hanya
menggunakan angin 12 Hak Penangkapan Ikan Tradisional – Najmu Laila
Tonnage (NT), adalah isi
bersih, yaitu isi kotor dikurangi dengan sisi sejumlah ruangan-ruangan yang
berfungsi tidak dapat dipakai untuk mengangkut barang muatan kapal.
50 Dalam kacamata Pemerintah
Australia, Nelayan Tradisional Indonesia di perairan Australia tidak hanya
sekedar mencari makan dan hidup yang layak, tetapi sudah digerakkan oleh
sindikasi illegal fishing yang memakai topeng Nelayan Tradisional. Lihat:
Harmen Batubara (b), “Hak Nelayan Tradisional dan Kerjasama RI – Australia,”
http://politik.kompasiana.com/2010/03/31/hak-nelayan-tradisional-dan-kerjasama-perikanan-ri-
australia/, diunduh 10 September 2011.
51 Bagi nelayan setempat,
penegakan hukum yang keras oleh Australia sering dianggap melanggar rasa
kemanusiaan; sementara bagi Australia, penegakan tersebut disebabkan karena
yang memanfaatkan HPT bukanlah Nelayan Tradisional, tetapi nelayan bermodal dan
bahkan sering memanfaatkannya untuk menyelundupkan orang ke Australia. Lihat:
Harmen Batubara (a), loc.cit.
52 Duta Besar RI untuk
Australia dan Vanuatu, TM Hamzah Thayeb, mengatakan, ke-49 orang nelayan asal
Desa Deka, Kabupaten Ndao, Flores, yang ditangkap otoritas Australia 16 Mei
2007 sepenuhnya merupakan Nelayan Tradisional dengan enam perahu layar tak
bermesin. Mereka dituduh telah melanggar undang-undang tentang manajemen taman
nasional Pulau Ashmore karena menangkap teripang sebagai satwa yang dilindungi.
Lihat: Berita Sore (b), “Nelayan Flores yang Ditahan Australia adalah Nelayan
Tradisional,”
http://beritasore.com/2007/05/24/49-nelayan-flores-yang-ditahan-australia-adalah-nelayan-
tradisional/, diunduh 27 November 2011
53 Merdeka, “Australia
Kembali Tangkap Tiga Perahu Nelayan Tripang Indonesia,”
http://www.merdeka.com/hukum-kriminal/australia-kembali-tangkap-tiga-perahu-nelayan-tripang-
Indonesia-e7wwczd.html, diunduh 27 November 2011.
54 Indo Maritime Institute
(a), “Area Fishing Ground: Nelayan Tradisional Dianaktirikan?”
http://indomaritimeinstitute.org/?p=753, diunduh 10 September 2011.
untuk pergerakannya?
Berbagai pertanyaan tersebut seringkali
menimbulkan keragu-raguan bahkan tidak jarang malah menimbulkan kerugian bagi
Nelayan Tradisional itu sendiri.50 Terjadinya perbedaan pandangan terhadap
kriteria Nelayan Tradisional kerap kali berujung pada ditangkapnya
nelayan-nelayan Indonesia.51 Penangkapan tersebut tidak seluruhnya disebabkan
karena perahu dan kapal nelayan Indonesia menangkap ikan secara ilegal di
perairan negara itu.52 Dalam beberapa kasus, kapal-kapal ikan Indonesia
tersebut justru ditangkap ketika masih berada di perairan Indonesia, seperti
yang menimpa kapal "Harapan Bahagia" asal Probolinggo, Jawa Timur,
yang kemudian diizinkan kembali ke Indonesia setelah kapal dan 10 ABK-nya
sempat ditahan selama sembilan hari.53
Padahal, sudah sepantasnya pengakuan
Australia terhadap hak-hak tradisional nelayan Indonesia itu di dalam MoU Box
1974 tidak dikaitkan dengan penguasaan teknologi pelayaran dan alat tangkap.
Adalah suatu hal yang ironis ketika para nelayan yang sudah turun temurun
menangkap ikan di Australia kehilangan hak-hak tradisionalnya hanya karena saat
ini mereka telah mempergunakan peralatan berlayar yang lebih canggih seperti
perahu bermotor.
Berbagai permasalahan tersebut tentunya
harus disikapi dengan sungguh- sungguh oleh Pemerintah. Terlebih lagi, 60
persen penduduk Indonesia tinggal dan sangat tergantung pada sumberdaya laut
dan perikanan nasional di lebih dari 8.000 desa pesisir.54 Selain itu, sebanyak
85% tenaga yang bergerak di sektor penangkapan ikan masih merupakan Nelayan
Tradisional dan sangat jauh tertinggal dari nelayan negara 13 lain.55
Nelayan-nelayan tersebut berada di bawah garis kemiskinan56 dan jumlahnya
semakin hari semakin menurun.57
55 Di Indonesia, nelayan
penangkap ikan dapat dikategorikan menjadi Nelayan Tradisional, nelayan
semi-tradisional, dan nelayan semi-industri dan industri, dengan komposisi
sebagai berikut: (a) Nelayan Tradisional: Perahu tanpa motor sebanyak 229.337
buah dan perahu motor tempel sebanyak 77.779 buah; (b) Nelayan
semi-tradisional: perahu motor <10 Gross Ton sebanyak 45.049 buah; (c)
Nelayan semi-industri dan industri: kapal motor >10 Gross Ton sebanyak 7.003
buah. Lihat: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap DKP RI, “Perikanan Tangkap
Indonesia: Suatu Pendekatan Filosofis dan Analisis Kebijakan,”
http://www.dkp.go.id/content.php?c=1823, diunduh 10 September 2011.
56 Soerjono Soekanto
mengartikan kemiskinan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup
memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga
tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok
tersebut. Lihat: Soerjono Soekanto (a), Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 320.
57 Menurut data Badan Pusat
Statistik (BPS) tahun 2008, penduduk miskin di Indonesia mencapai 34,96 juta
jiwa dan 63,47 persen diantaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan
pesisir dan pedesaan. Selanjutnya, Kementeriaan Kelautan dan Perikanan (KKP)
menyebutkan bahwa telah terjadi pertumbuhan negatif jumlah nelayan tangkap pada
periode 2004-2008, hingga menyisakan kurang dari 2,8 juta nelayan. Jika
dilakukan perhitungan dalam rentang waktu tersebut, maka ditemukan fakta bahwa
setiap tahun Indonesia kehilangan sebanyak 31 ribu nelayan atau rata-rata 116
nelayan setiap harinya. Lihat: Indo Maritime Institute (a), loc.cit.
58 Akhmad Solihin (b),
“Penyelesaian Sengketa Nelayan Pelintas Batas di Wilayah Perikanan Australia,”
http://ikanbijak.wordpress.com/2008/04/21/penyelesaian-
sengketa-nelayan-
pelintas-batas-di-wilayah-perikanan-australia/), diunduh 27
November 2011.
59 Di dalam Alinea Keempat
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditegaskan
bahwa, tujuan dari Negara Republik Indonesia adalah untuk melindungi seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.
Selama ini, upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah manakala terjadi penangkapan kerap dinilai setengah hati.58
Banyaknya kasus penangkapan nelayan tersebut kian mempertegas ketidakpedulian
Pemerintah atas keselamatan nelayan yang mencari penghidupan di wilayah
perbatasan. Padahal melindungi segenap bangsa Indonesia merupakan amanat
cita-cita luhur berdirinya bangsa ini yang tertuang di dalam pembukaan
konstitusi kita.59
Oleh karena itu, berdasarkan pemaparan
tersebut di atas, Penulis menilai bahwa penting kiranya untuk membahas dan
menganalisis permasalahan- permasalahan yang terjadi terkait dengan HPT di
dalam skripsi yang berjudul, “Pengakuan Terhadap Hak Penangkapan Ikan
Tradisional (Traditional Fishing Rights) Menurut Hukum Laut Internasional.”
1.2. Pokok – Pokok
Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan
hukum yang harus dikaji dan menjadi pokok-pokok permasalahan di dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana pengakuan terhadap HPT menurut Hukum Laut Internasional?
2.
Bagaimana praktik negara-negara dalam memberikan pengakuan terhadap HPT?
3. Bagaimana praktik pengakuan HPT yang
terkait dengan Indonesia?
14 Hak Penangkapan Ikan Tradisional –
Najmu Laila
1.4. Kerangka
Konsepsional
Kerangka konseptual merupakan kerangka
yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan
diteliti. Di dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian definisi operasional
sebagai berikut.
60 Soerjono Soekanto (b),
Pengantar Penelitian Hukum, cet.3, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press), 1986), hlm.132.
61 Menurut Sudikno
Mertokusumo, hak adalah kepentingan yang dilindungi hukum. Hak memberi
kenikmatan dan keleluasaan bagi individu dalam melaksanakannya. Sudikno
Mertokusumo, Mengenai Hukum: Suatu Pengantar (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,
1985), hlm. 41-42.
62 Departemen Kelautan dan
Perikanan, op.cit., hlm. 7.
1.4.1. Hak
Penangkapan Ikan Tradisional
HPT merupakan terjemahan bebas dari
istilah Traditional Fishing Right yang dimaksud di dalam UNCLOS 1982 (dan
konvensi-konvensi hukum laut lainnya) ataupun peraturan-peraturan lain yang
menyebutnya demikian. Hak61 tersebut merupakan hak yang diberikan kepada
Nelayan Tradisional negara tetangga untuk melakukan penangkapan ikan secara
tradisional di Perairan Kepulauan tertentu berdasarkan perjanjian bilateral.
1.4.2. Negara
Kepulauan
Negara Kepulauan adalah negara-negara
yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih Kepulauan. Selanjutnya ditentukan
bahwa yang dimaksud dengan Kepulauan ialah sekumpulan pulau-pulau, perairan
yang saling bersambung (inter-connecting waters) dan karakteristik ilmiah
lainnya dalam pertalian yang demikian eratnya sehingga membentuk suatu kesatuan
instrinsik geografis, ekonomi, dan politis atau secara historis.
dipandang
sebagai demikian.63
63 Lihat: Pasal 46 UNCLOS
1982.
64 Atje Misbach Muhjiddin,
Status Hukum Perairan Kepulauan Indonesia Dan Hak Lintas Kapal Asing, ed.1,
cet. 1, (Bandung: Alumni, 1993), hlm. 12-13.
65 Indonesia (c), Undang-Undang
tentang Perikanan, UU No. 31 Tahun 2004, LN. No. 118 Tahun 2004, TLN. 4433,
Pasal 1 ayat (10) dan Pasal 1 ayat (11).
66 Pengertian ini menimbulkan
ketidakjelasan, karena batasannya tidak ada, apakah batasannya berdasarkan pada
besar atau kecilnya alat tangkap yang digunakan atau berdasarkan besar atau
kecilnya pendapatan dari hasil tangkapan. Lebih dari itu, apakah pengertian
nelayan kecil disini sama dengan pengertian Nelayan Tradisional. Dengan
demikian, batasan atau definisi yang jelas mengenai nelayan kecil harus segera
diperjelas. Tridoyo Kusumastanto, Suhana, dan Akhmad Solihin, “Pembangunan
Perikanan Pasca Undang-Undang Perikanan,” (makalah disampaikan pada Diskusi UU
Perikanan yang di selenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Perikanan
(HIMASEPA), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor, 18 Maret 2006).
67 Indonesia (d),
Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang
Perikanan, UU No. 45 Tahun 2009, LN No. 154 Tahun 2009, TLN. 5073, Pasal 1 ayat
(11).
Terdapat pembatasan yang berhubungan
dengan penggunaan istilah-istilah asas Negara Kepulauan dan Negara Nusantara,
Perairan Kepulauan dan Perairan Nusantara. Istilah Negara Kepulauan merupakan
terjemahan dari “archipelagic state” sedangkan Perairan Kepulauan merupakan
terjemahan dari “archipelagic waters” sebagaimana dipergunakan dalam UNCLOS
1982. Sedangkan istilah Negara Nusantara dan Perairan Nusantara, khusus
dipergunakan bagi prinsip Negara Kepulauan dan Perairan Kepulauan Negara
Indonesia. 64
1.4.3. Nelayan
Tradisional
Nelayan Tradisional yang dimaksud di
dalam penelitian ini dibatasi pada Nelayan Tradisional yang daerah operasinya
berada sampai ke negara-negara tetangga. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan65 tidak mendefinisikan secara jelas siapa yang dimaksud
dengan Nelayan Tradisional. Undang-Undang tersebut hanya memberikan definisi
Nelayan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan,
sementara Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.66 Selanjutnya, di
dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, pengertian Nelayan Kecil dipersempit
dengan memasukkan unsur penggunaan kapal perikanan berukuran paling besar 5 GT,
di samping bahwa nelayan tersebut melakukan penangkapan ikan sebagai mata
pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.67
Terdapat beberapa kriteria yang dapat
digunakan untuk mendefinisikan Nelayan Tradisional. Secara umum, Nelayan
Tradisional adalah nelayan yang hanya mencari ikan untuk kebutuhan hidup
sehari- hari, biasanya nelayan ini dalam usahanya menangkap ikan hanya
berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang sudah ada sejak turun-temurun, baik
mengenai jenis tangkap dan wilayah tangkapannya. Di dalam pasal 1 ayat (8)
Perjanjian 1982, Nelayan Tradisional didefinisikan sebagai nelayan-nelayan yang
sumber utama kehidupan secara langsung melakukan penangkapan ikan tradisional
di Daerah Perikanan yang ditetapkan di dalam perjanjian tersebut. Sedangkan
berdasarkan Pasal 1 MoU Box 16 Hak Penangkapan Ikan Tradisional – Najmu Laila
1974, yang
disebut sebagai Nelayan Tradisional adalah nelayan yang secara tradisional
telah melakukan penangkapan ikan maupun berbagai jenis organisme sedinter
(tidak bergerak) di perairan Australia selama beberapa dekade dengan cara-cara
tradisional.
1.4.4. Perairan
Nusantara Indonesia
Perairan Nusantara Indonesia adalah
seluruh perairan yang berada di bawah kedaulatan Republik Indonesia, yang
menurut Undang-Undang Nomor 4/Ppr. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia
terdiri dari laut teritorial dan perairan pedalaman.68 Adapun menurut UNCLOS
1982, terdiri dari perairan pedalaman,69 Perairan Kepulauan, dan laut
teritorial.70 Kewenangan Indonesia meliputi pula perairan yang berada di bawah
hak-hak berdaulat71 dan jurisdiksi Indonesia berupa Zona Tambahan,72 Landas
Kontinen,73 dan Zona Ekonomi Eksklusif (“ZEE”).74
68 Muhjiddin, op.cit., hlm.
11.
69 Perairan pedalaman (inland
waters) adalah perairan yang berada di sebelah dalam garis pangkal negara
pantai. Di perairan pedalaman tersebut negara memiliki kedaulatan yang penuh
atas daerah teritorialnya tanpa dibatasi oleh apapun.
70 Laut teritorial adalah
zona laut yang berada di sebelah luar garis pangkal negara pantai yang
berdasarkan Pasal 3 UNCLOS 1982 lebarnya dapat ditentukan sampai dengan 12 mil diukur dari garis pangkal negara
pantai.
71 Penting kiranya untuk
dicatat bahwa terdapat perbedaan antara kedaulatan (sovereignity) dan hak
berdaulat (sovereign rights). Kedaulatan berasal dari kata Latin superanus yang
berarti yang teratas. Dengan kata lain, kedaulatan berarti kekuasan yang
tertinggi suatu negara yang tidak berada di bawah kekuasaan lain. Sementara hak
berdaulat adalah hak yang dimiliki oleh negara di wilayah laut yang berada di
luar laut teritorial utuk memanfaatkan sumberdaya alam di wilayah laut
tersebut.
72 Zona Tambahan adalah area
laut yang berdekatan dengan laut teritorial di mana negara memiliki kekuasaan
terbatas, disebut sebagai hak berdaulat atau sovereign rights, untuk
perdagangan, fiskal, sanitasi, dan imigrasi. Lihat: pasal 33 (1) UNCLOS 1982.
73 Berdasarkan Pasal 76 (1)
UNCLOS 1982, Landas Kontinen atau Continental Shelf adalah,”the continental
shelf of a coastal State comprises the seabed and subsoil of the submarine
areas that extend beyond its territorial sea throughout the natural
prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin,
or to a distance of 200 nautical
miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is
measured where the outer edge of the continental margin does not extend up to
that distance.” Menurut UNCLOS 1982, pengaturan tentang sumberdaya hayati dan
non-hayati yang berada di permukaan laut dan di atas dasar laut termasuk ke
dalam rezim ZEE (pasal 55, dan pasal 56 ayat (1)a UNCLOS 1982). Sementara untuk
sumberdaya hayati dan non-hayati yang berada di dasar laut diatur di dalam
rezim Landas Kontinen (pasal 77 ayat (4) UNCLOS 1982).
74 ZEE merupakan area laut
yang berdekatan dengan zona tambahan (kalau ada) atau laut teritorial. Lebar
ZEE tersebut tidak boleh lebih dari 200
mil laut diukur dari garis pangkal yang sama yang digunakan untuk mengukur
lebar laut teritorial. Di ZEE, negara pantai memiliki hak berdaulat untuk
mengeksplorasi dan mengeksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam,
baik hayati maupun non hayati yang berada di permukaan dan di dasar laut serta
melaksanakan kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu, seperti produksi energi dari
air, arus, dan angin, serta yurisdiksi untuk pembuatan dan pemakaian pulau
buatan, instalasi, dan bangunan, riset ilmiah kelautan, serta perlindungan dan
pelestarian lingkungan laut. Mochtar Kusumaatmadja (a) dan Etty R. Agoes,
Pengantar Hukum Internasional, cet.1, (Bandung: PT. Alumni, 2003), hlm. 83.
Hak
Penangkapan Ikan Tradisional –(
Najmu Laila)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.