alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Sabtu, 24 Januari 2015

ISU PERBATASAN DENGAN NEGARA-NEGARA ASEAN DI BELAHAN UTARA NKRI, BISA MENANG ATAU KALAH LAGI?

ISU PERBATASAN DENGAN NEGARA-NEGARA ASEAN
(BELAHAN UTARA  NKRI)
BISA MENANG   ATAU   KALAH LAGI?
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

PENGANTAR

Bahwa Pengukuran dan Pemetaan Garis Perbatasan Perairan NKRI  adalah berdasarkan Hukum Laut Internasional 1982 dengan berpedoman pada pasal-pasal sbb :

LAUT TERITORIAL DAN ZONA TAMBAHAN
BAGIAN 1. KETENTUAN UMUM


Pasal 2, Status hukum laut teritorial, ruang udara di atas laut teritorial dan dasar laut serta tanah di bawahnya.

1. Kedaulatan suatu Negara pantai, selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya dan, dalam hal suatu Negara kepulauan, perairan kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya dinamakan laut teritorial.
2. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya.
3. Kedaulatan atas laut teritorial dilaksanakan dengan tunduk pada ketentuan Konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainnya.

BAGIAN 2. BATAS LAUT TERITORIAL

Pasal 3, Lebar Laut Teritorial
Setiap Negara berhak menetapkan lebar laut teritorialnya hingga suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai dengan Konvensi ini.

Pasal 4, Batas luar laut teritorial
Batas luar laut teritorial adalah garis yang jarak setiap titiknya dari titik yang terdekat garis pangkal, sama dengan lebar laut teritorial.

Pasal 5, Garis pangkal biasa
Kecuali jika ditentukan lain dalam Konvensi ini, garis pangkal biasa untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis air rendah sepanjang pantai sebagaimana terlihat pada peta skala besarnya yang diakui resmi oleh Negara pantai tersebut.

Pasal 6, K a r a n g
Dalam hal pulau yang terletak pada atol atau pulau yang mempunyai karang-karang di sekitarnya, maka garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis air rendah pada sisi karang ke arah laut sebagaimana ditunjukkan oleh tanda yang jelas untuk itu pada peta yang diakui resmi oleh Negara pantai yang bersangkutan.

Pasal 7, Garis pangkal lurus

1. Di tempat-tempat dimana garis pantai menjorok jauh ke dalam dan menikung ke dalam atau jika terdapat suatu deretan pulau sepanjang pantai di dekatnya, cara penarikan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik yang tepat dapat digunakan dalam menarik garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur.
2. Dimana karena adanya suatu delta dan kondisi alam lainnya garis pantai sangat tidak tetap, maka titik-titik yang tepat dapat dipilih pada garis air rendah yang paling jauh menjorok ke laut dan sekalipun garis air rendah kemudian mundur, garis-garis pangkal lurus tersebut akan tetap berlaku sampai dirobah oleh Negara pantai sesuai dengan Konvensi ini.
3. Penarikan garis pangkal lurus tersebut tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari arah umum dari pada pantai dan bagian-bagian laut yang terletak di dalam garis pangkal demikian harus cukup dekat ikatannya dengan daratan untuk dapat tunduk pada rejim perairan pedalaman.
4. Garis pangkal lurus tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut kecuali jika di atasnya didirikan mercu suar atau instalasi serupa yang secara permanen ada di atas permukaan laut atau kecuali dalam hal penarikan garis pangkal lurus ke dan dari elevasi demikian telah memperoleh pengakuan umum internasional.
5. Dalam hal cara penarikan garis pangkal lurus dapat diterapkan berdasarkan ayat 1, maka di dalam menetapkan garis pangkal tertentu, dapat ikut diperhitungkan kepentingan ekonomi yang khusus bagi daerah yang bersangkutan, yang kenyataan dan pentingnya secara jelas dibuktikan oleh praktek yang telah berlangsung lama.
6. Sistem penarikan garis pangkal lurus tidak boleh diterapkan oleh suatu Negara dengan cara yang demikian rupa sehingga memotong laut teritorial Negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif.

Pasal 8, Perairan pedalaman

1. Kecuali sebagaimana diatur dalam bab IV, perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial merupakan bagian perairan pedalaman Negara tersebut.
2. Dalam hal penetapan garis pangkal lurus sesuai dengan cara yang ditetapkan dalam pasal 7 berakibat tertutupnya sebagai perairan pedalaman daerah-daerah yang sebelumnya tidak dianggap demikian, maka di dalam perairan demikian akan berlaku suatu hak lintas damai sebagaimana ditentukan dalam Konvensi ini.
 Dengan Dasar Hukum ini, kini Indonesia telah menyelesaikan  pemetaan dan Garis 
Perbatasan wilayah Perairan NKRI secara syah dan meyakinkan seperti terteta pada berbagai Peta Perbatasan pada halaman-halaman sebelumnya di atas.

Pasal 15, Penetapan garis batas laut teritoria antara negara-negara
yang pantainya berhadapan atau berdampingan

Dalam hal pantai dua Negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu sama lain, tidak satupun di antaranya berhak, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya antara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis tengah yang titiktitiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal dari mana lebar laut teritorial masing-masing Negara diukur.
Tetapi ketentuan di atas tidak berlaku, apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua Negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan di atas

Pasal 16, Peta dan daftar koordinat geografis

1. Garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial sebagaimana ditetapkan sesuai dengan pasal 7, 9 dan 10, atau garis batas yang diakibatkan oleh ketentuan-ketentuan itu dan garis batas yang ditarik sesuai dengan pasal 12 dan 15, harus dicantumkan dalam peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk penetapan garis posisinya. Sebagai gantinya dapat diberikan suatu daftar titik-titik koordinat geografis, yang menjelaskan datum geodetik.
2. Negara pantai harus memberikan pengumuman sebagaimana mestinya mengenai peta atau daftar koordinat geografis tersebut dan mendepositkan satu  copy/turunan setiap peta atau daftar tersebut kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
  
KASUS BLOK AMBALAT
 
Kemudian Timbul Kasus Penyerobotan Negara Tetangga Malaysia terhadap sebuah  pulau atau suatu kawasan milik NKRI,  maka kasus tersebut masuk katagori Penyerobotan Oleh karena kawasan Blok Ambalat adalah milik syah atas kedaulatan Indonesia  yang mau diserobot oleh Malaysia secara tidak syah, dan dilakuklannya dengan cara provokasi dengan mengarahkan Kapal Perang dan Pesawat Militer  memasuki Blok Ambalat, merupakan suatu pelanggaran menurut Hukum Laut Internasional 1982 yang dapat dikenakan sanksi menurut pasal-pasal sbb :  
 
Pasal 19, Pengertian lintas damai

1. Lintas adalah damai sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan Negara pantai. Lintas tersebut harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Konvensi ini dan peratruan hukum internasional lainnya.
2. Lintas suatu kapal asing harus dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban atau Keamanan Negara pantai, apabila kapal tersebut di laut teritorial melakukan salah satu kegiatan sebagai berikut :
(a) setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;
(b) setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun;
(c) setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan Negara pantai;
(d) setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan atau keamanan Negara pantai;
(e) peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara di atas kapal;
(f) peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan dan perlengkapan militer;
(g) bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara bertentangan dengan peraturan perundangundangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter Negara Pantai;
(h) setiap perbuatan pencemaran dengan sengaja dan parah yang bertentangan dengan ketentuan Konvensi ini;
(i) setiap kegiatan perikanan;
(j) kegiatan riset atau survey;
(k) setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap sistem komunikasi atau setiap fasilitas atau instalasi lainnya Negara pantai;
(l) setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan lintas.
 
PERATURAN YANG BERLAKU BAGI KAPAL PERANG DAN
KAPAL PEMERINTAH LAINNYA YANG DIOPERASIKAN UNTUK TUJUAN NON-KOMERSIAL

Pasal 29, Batasan kapal perang

Untuk maksud Konvensi ini “kapal perang” berarti suatu kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu Negara yang memakai tanda luar yang menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut, di bawah komando seorang perwira yang diangkat untuk itu oleh Pemerintah Negaranya dan yang namanya terdapat di dalam daftar dinas militer yang tepat atau daftar serupa, dan yang diawaki oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata reguler.

Pasal 30, Tidak ditaatinya peraturan perundang-undangan Negara pantai oleh kapal perang asing

Apabila sesuatu kapal perang tidak mentaati peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Negara pantai mengenai lintas melalui laut teritorial dan tidak mengindahkan permintaan untuk mentaati peraturan perundang-undangan tersebut yang disampaikan kepadanya, maka Negara pantai dapat menuntut kapal perang itu segera meninggalkan laut teritorialnya.

Pasal 31, Tanggung jawab Negara bendera untuk kerugian yang disebabkan oleh kapal perang atau kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial
 
Negara bendera memikul tanggung jawab internasional untuk setiap kerugian atau kerusakan yang diderita Negara pantai sebagai akibat tidak ditaatinya oleh suatu kapal perang kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial peraturan perundang-undangan Negara pantai mengenai lintas melalui laut teritorial atau ketentuan Konvensi ini atau peraturan hukum internasional

Pasal 111, Hak Pengejaran seketika (hot pursuit)

1. Pengejaran seketika suatu kapal asing dapat dilakukan apabila pihak yang berwenang dari Negara pantai mempunyai alasan cukup untuk mengira bahwa kapal tersebut telah melanggar peraturan perundang-undangan Negara itu. Pengejaran demikian harus dimulai pada saat kapal asing atau salah satu dari sekocinya ada dalam perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial atau zona tambahan negara pengejar, dan hanya boleh diteruskan di luar laut teritorial atau zona tambahan apabila pengejaran itu tidak terputus. Adalah tidak perlu bahwa pada saat kapal asing yang berada dalam laut teritorial atau zona tambahan itu menerima perintah untuk berhenti, kapal yang memberi perintah itu juga berada dalam laut teritorial atau zona tambahan. Apabila kapal asing tersebut berada dalam zona tambahan, sebagaimana diartikan dalam pasal 33, pengejaran hanya dapat dilakukan apabila telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak untuk perlindungan mana zona itu telah diadakan.
2. Hak pengejaran seketika harus berlaku, mutatis mutandis bagi pelanggaran-pelanggaran di zona ekonomi eksklusif atau di landas kontinen, termasuk zona-zona keselamatan disekitar instalasi-instalasi di landas kontinen, terhadap peraturan perundang-undangan Negara pantai yang berlaku sesuai dengan Konvensi ini bagi zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen, termasuk zona keselamatan demikian.
3. Hak pengejaran seketika berhenti segera setelah kapal yang dikejar memasuki laut teritorial Negaranya sendiri atau Negara ketiga.
4. Pengejaran seketika belum dianggap telah dimulai kecuali jika kapal yang mengejar telah meyakinkan diri dengan cara-cara praktis yang demikian yang mungkin tersedia, bahwa kapal yang dikejar atau salah satu sekocinya atau kapal lain yang bekerjasama sebagai suatu team dan menggunakan kapal yang dikejar sebagai kapal induk berada dalam batas-batas laut teritorial atau sesuai dengan keadaannya di dalam zona tambahan atau zona ekonomi eksklusif atau di atas landas kontinen. Pengejaran hanya dapat mulai setelah diberikan suatu tanda visual atau bunyi untuk berhenti pada suatu jarak yang memungkinkan tanda itu dilihat atau didengar oleh kapal asing itu.
5. Hak pengejaran seketika dapat dilakukan hanya oleh kapal-kapal perang atau pesawat udara militer atau kapal-kapal atau pesawat udara lainnya yang diberi tanda yang jelas dan dapat dikenal sebagai kapal atau pesawat udara dalam dinas pemerintah dan berwenang untuk melakukan tugas itu.
6. Dalam hal pengejaran seketika dilakukan oleh suatu pesawat udara :
(a) ketentuan-ketentuan dalam ayat 1 dan 4 harus berlaku mutatis mutandis;
(b) pesawat udara yang memberikan perintah untuk berhenti harus melakukan pengejaran kapal itu secara aktif sampai kapal atau pesawat udara Negara pantai yang dipanggil oleh pesawat udara pengejar itu tiba untuk mengambil alih pengejaran itu, kecuali apabila pesawat udara itu sendiri dapat melakukan penangkapan kapal tersebut. Adalah tidak cukup untuk membenarkan suatu penangkapan di luar laut teritorial bahwa kapal itu hanya terlihat oleh pesawat udara sebagai suatu pelanggar atau pelanggar yang dicurigai, jika kapal itu tidak diperintahkan untuk berhenti dan dikejar oleh pesawat udara itu sendiri atau oleh pesawat udara atau kapal lain yang melanjutkan pengejaran itu tanpa terputus.
7. Pelepasan suatu kapal yang ditahan dalam yurisdiksi suatu Negara dan dikawal ke pelabuhan Negara itu untuk keperluan pemeriksaan di hadapan pejabat-pejabat yang berwenang tidak boleh dituntut semata-mata atas alasan bahwa kapal itu dalam melakukan perjalanannya, dikawal melalui sebagian dari zona ekonomi eksklusif atau laut lepas jika keadaan menghendakinya.
8. Dalam hal suatu kapal telah dihentikan atau ditahan di luar laut teritorial dalam keadaan yang tidak membenarkan dilaksanakannya hak pengejaran seketika, maka kapal itu harus diberi ganti kerugian untuk setiap kerugian dan kerusakan yang telah diderita karenanya.
 
KESIMPULAN
 
1.Bahwa Indonesia telah membuat peta  Garis Batas Perairan NKRI sudah sesuai dengan pasal-pasal UNCLOS 1982 di atas dan nyatanya Indonesia tidak pernah merampas wilayah megara tetangga manapun sehingga menimbulkan sengketa.

2. Bahwa Kedaulatan NKRI  atas Batas Perairan sudah sesuai dengan Peta Perbatasan Indonesia dengan negara tetangga dan telah di deposikan dan diumumkan kepada Sekretaris PBB, seperti terbaca pada halam-halaman lainnya, berarti telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan tidak dapat diganggugugat oleh negara tetangga manapun juga.

3.Bahwa Kapal Perang Malaysia memasuki wilayah kedaulatan Indonesia atas Blok Ambalat  adalah melakukan suatu  tindakan provokasi  untuk berniat  merampas, menguasai Blok Ambalat secara tidak syah dan bertentangan dengan Hukum Laut Internasional 1982 yang harus dikenakan sanksi seperti pasal-pasal yang disebutkan di atas.

4. Bahwa tidak mungkin Indonesia akan kehilangan muka untuk merubah Garis Perbatasan antara negara tetangga yang  telah syah itu.

5. Memang ada klausul bahwa  untuk mengadakan perjanjian Bilateral Perbatasan dengan negara tetangga, namun perundingan tersebut hanya terbatas pada menentukan Batas diluar Garis Batas NKRI yang telah ada di Peta, dan bukan untuk meninjau kembali Garis Batas yang telah ada. Inilah inti persoalannya yang harus dipegang teguh. Indonesia harus menunjukkan ketegasannya kepada Negara Tetangga dan bukannya kita didekte oleh negara tetangga untuk mengikuti kemauanya.

6. Bahwa Politik Santun dan Cinta Damai  dan Serumpun yang diterapkan oleh Presiden SBY, yang terlanjur mengistilahkan Blok Ambalat adalah wilayah Sengketa, yang sesungguhnya bukan, yang penyelesaiannya lewat Meja Perundingan merupakan salah langkah karena kurang memahami pasal-pasal UNCLOS 1982 ini.

7. Diharapkan agar Presiden Joko Widodo, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, bertindak tegas dan perlu mendalami kepemilikan dan kedaulatan NKRI atas Blok Ambalat, dan berani menarik diri dari Meja Perundingan RI – Malaysia yang hingga kini tidak pernah tuntas dengan selalu mengulur-ulur waktu perundingan, dengan harapan untuk dilanjutkan ke Mahkamah Internasional jika tidak terdapat kata sepakat yang memuaskan Malaysia seperti halnya kasus Pulau Lingitan dan Sipadan.
Namun dengan menarik diri dari Meja Perundingan dan jika terjadi Perang RI- Malaysia, maka itu  berarti Indonesia  mempertahankan hak Kedaulatan terhadap Blok Ambalat .Dan segala Resiko ditanggung sepenuhnya oleh Malaysia.

8. Walaupun Indonesia  dan Malaysia sesama anggota ASEAN, namun bila menyangkut  Kedaulatan NKRI, maka perang tidak perlu
diharamkan. Dengan demikian negara lain tidak perlu campur tangan karena masalah ini adalah masalah interen dua negara saja.
9. Wilayah  Blok Ambalat harus dipertahankan hingga tetes darah penghabisan dan Gajang Malaysia. Semua rakyat  akan mendukung dalam bentuk apapun. 

Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.