ISU PERBATASAN DENGAN NEGARA-NEGARA ASEAN
(BELAHAN UTARA NKRI)
BISA MENANG ATAU KALAH LAGI?
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
PENGANTAR
Bahwa Pengukuran
dan Pemetaan Garis Perbatasan Perairan NKRI
adalah berdasarkan Hukum Laut Internasional 1982 dengan berpedoman pada
pasal-pasal sbb :
LAUT TERITORIAL DAN ZONA TAMBAHAN
BAGIAN 1. KETENTUAN UMUM
BAGIAN 1. KETENTUAN UMUM
Pasal 2, Status hukum
laut teritorial, ruang udara di atas laut teritorial dan dasar laut serta tanah di bawahnya.
1. Kedaulatan suatu Negara pantai, selain wilayah daratan dan
perairan pedalamannya dan, dalam hal suatu Negara kepulauan, perairan
kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya
dinamakan laut teritorial.
2. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut teritorial
serta dasar laut dan tanah di bawahnya.
3. Kedaulatan atas laut teritorial dilaksanakan dengan tunduk pada
ketentuan Konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainnya.
BAGIAN 2. BATAS LAUT TERITORIAL
Pasal 3, Lebar Laut
Teritorial
Setiap Negara berhak
menetapkan lebar laut teritorialnya hingga suatu batas yang tidak melebihi 12
mil laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai dengan Konvensi ini.
Pasal 4, Batas luar
laut teritorial
Batas luar laut teritorial adalah
garis yang jarak setiap titiknya dari titik yang terdekat garis pangkal, sama
dengan lebar laut teritorial.
Pasal 5, Garis pangkal
biasa
Kecuali jika ditentukan lain dalam Konvensi ini, garis pangkal
biasa untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis air rendah sepanjang
pantai sebagaimana terlihat pada peta skala besarnya yang diakui resmi oleh
Negara pantai tersebut.
Pasal 6, K a r a n g
Dalam hal pulau yang terletak pada atol atau pulau yang mempunyai
karang-karang di sekitarnya, maka garis pangkal untuk mengukur lebar laut
teritorial adalah garis air rendah pada sisi karang ke arah laut sebagaimana
ditunjukkan oleh tanda yang jelas untuk itu pada peta yang diakui resmi oleh
Negara pantai yang bersangkutan.
Pasal 7, Garis pangkal
lurus
1.
Di tempat-tempat dimana garis pantai menjorok jauh ke dalam dan menikung ke
dalam atau jika terdapat suatu deretan pulau sepanjang pantai di dekatnya, cara
penarikan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik yang tepat dapat
digunakan dalam menarik garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur.
2.
Dimana karena adanya suatu delta dan kondisi alam lainnya garis pantai sangat
tidak tetap, maka titik-titik yang tepat dapat dipilih pada garis air rendah
yang paling jauh menjorok ke laut dan sekalipun garis air rendah kemudian
mundur, garis-garis pangkal lurus tersebut akan tetap berlaku sampai dirobah
oleh Negara pantai sesuai dengan Konvensi ini.
3.
Penarikan garis pangkal lurus tersebut tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari
arah umum dari pada pantai dan bagian-bagian laut yang terletak di dalam garis
pangkal demikian harus cukup dekat ikatannya dengan daratan untuk dapat tunduk
pada rejim perairan pedalaman.
4.
Garis pangkal lurus tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut kecuali jika
di atasnya didirikan mercu suar atau instalasi serupa yang secara permanen ada
di atas permukaan laut atau kecuali dalam hal penarikan garis pangkal lurus ke
dan dari elevasi demikian telah memperoleh pengakuan umum internasional.
5.
Dalam hal cara penarikan garis pangkal lurus dapat diterapkan berdasarkan ayat
1, maka di dalam menetapkan garis pangkal tertentu, dapat ikut diperhitungkan
kepentingan ekonomi yang khusus bagi daerah yang bersangkutan, yang kenyataan
dan pentingnya secara jelas dibuktikan oleh praktek yang telah berlangsung
lama.
6.
Sistem penarikan garis pangkal lurus tidak boleh diterapkan oleh suatu Negara
dengan cara yang demikian rupa sehingga memotong laut teritorial Negara lain
dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif.
Pasal 8, Perairan
pedalaman
1.
Kecuali sebagaimana diatur dalam bab IV, perairan pada sisi darat garis pangkal
laut teritorial merupakan bagian perairan pedalaman Negara tersebut.
2.
Dalam hal penetapan garis pangkal lurus sesuai dengan cara yang ditetapkan
dalam pasal 7 berakibat
tertutupnya sebagai perairan pedalaman daerah-daerah yang sebelumnya tidak
dianggap demikian, maka di dalam perairan demikian akan berlaku suatu hak
lintas damai sebagaimana ditentukan dalam Konvensi ini.
Dengan Dasar Hukum ini, kini Indonesia telah menyelesaikan pemetaan dan Garis
Perbatasan wilayah Perairan NKRI secara syah dan meyakinkan seperti terteta pada berbagai Peta Perbatasan pada halaman-halaman sebelumnya di atas.
Pasal 15, Penetapan garis batas laut teritoria antara negara-negara
yang pantainya berhadapan atau berdampingan
yang pantainya berhadapan atau berdampingan
Dalam
hal pantai dua Negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu sama
lain, tidak satupun di antaranya berhak, kecuali ada persetujuan yang
sebaliknya antara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi
garis tengah yang titiktitiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada
garis-garis pangkal dari mana lebar laut teritorial masing-masing Negara
diukur.
Tetapi
ketentuan di atas tidak berlaku, apabila terdapat alasan hak historis atau
keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial
antara kedua Negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan di atas
Pasal 16, Peta dan daftar koordinat geografis
1.
Garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial sebagaimana ditetapkan
sesuai dengan pasal 7, 9 dan 10, atau garis batas yang diakibatkan oleh
ketentuan-ketentuan itu dan garis batas yang ditarik sesuai dengan pasal 12 dan 15, harus dicantumkan dalam peta dengan skala
atau skala-skala yang memadai untuk penetapan garis posisinya. Sebagai gantinya
dapat diberikan suatu daftar titik-titik koordinat geografis, yang menjelaskan
datum geodetik.
2.
Negara pantai harus memberikan pengumuman sebagaimana mestinya mengenai peta
atau daftar koordinat geografis tersebut dan mendepositkan
satu copy/turunan
setiap peta atau daftar tersebut kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
KASUS BLOK AMBALAT
Kemudian Timbul Kasus Penyerobotan Negara Tetangga Malaysia terhadap sebuah pulau atau suatu kawasan milik NKRI, maka kasus tersebut masuk katagori Penyerobotan Oleh karena kawasan Blok Ambalat adalah milik syah atas kedaulatan Indonesia yang mau diserobot oleh Malaysia secara tidak syah, dan dilakuklannya dengan cara provokasi dengan mengarahkan Kapal Perang dan Pesawat Militer memasuki Blok Ambalat, merupakan suatu pelanggaran menurut Hukum Laut Internasional 1982 yang dapat dikenakan sanksi menurut pasal-pasal sbb :
Pasal 19, Pengertian lintas damai
1.
Lintas adalah damai sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban
atau keamanan Negara pantai. Lintas tersebut harus dilakukan sesuai dengan
ketentuan Konvensi ini dan peratruan hukum internasional lainnya.
2.
Lintas suatu kapal asing
harus dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban atau Keamanan Negara
pantai, apabila kapal tersebut di laut teritorial melakukan salah satu
kegiatan sebagai berikut :
(a)
setiap ancaman atau
penggunaan kekerasan terhadap
kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau
dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum internasional
sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;
(b)
setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun;
(c)
setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang merugikan
bagi pertahanan atau keamanan Negara pantai;
(d)
setiap perbuatan
propaganda yang bertujuan
mempengaruhi pertahanan atau keamanan Negara pantai;
(e)
peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara di atas kapal;
(f)
peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan dan perlengkapan
militer;
(g)
bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara bertentangan
dengan peraturan perundangundangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter
Negara Pantai;
(h)
setiap perbuatan pencemaran dengan sengaja dan parah yang bertentangan dengan
ketentuan Konvensi ini;
(i)
setiap kegiatan perikanan;
(j)
kegiatan riset atau survey;
(k)
setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap sistem komunikasi atau setiap
fasilitas atau instalasi lainnya Negara pantai;
(l)
setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan lintas.
PERATURAN YANG BERLAKU BAGI KAPAL PERANG DAN
KAPAL PEMERINTAH LAINNYA YANG DIOPERASIKAN UNTUK TUJUAN NON-KOMERSIAL
KAPAL PEMERINTAH LAINNYA YANG DIOPERASIKAN UNTUK TUJUAN NON-KOMERSIAL
Pasal 29, Batasan kapal perang
Untuk maksud Konvensi ini “kapal perang” berarti suatu kapal yang
dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu Negara yang memakai tanda luar yang
menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut, di bawah komando seorang perwira
yang diangkat untuk itu oleh Pemerintah Negaranya dan yang namanya terdapat di
dalam daftar dinas militer yang tepat atau daftar serupa, dan yang diawaki oleh awak kapal yang
tunduk pada disiplin angkatan bersenjata reguler.
Pasal 30, Tidak ditaatinya peraturan perundang-undangan Negara
pantai oleh kapal perang asing
Apabila
sesuatu kapal perang tidak mentaati peraturan perundang-undangan yang
dikeluarkan oleh Negara pantai mengenai lintas melalui laut teritorial dan
tidak mengindahkan permintaan untuk mentaati peraturan perundang-undangan
tersebut yang disampaikan kepadanya, maka Negara pantai dapat menuntut kapal
perang itu segera meninggalkan laut teritorialnya.
Pasal 31, Tanggung jawab Negara bendera untuk kerugian yang disebabkan
oleh kapal perang atau kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan
untuk tujuan non-komersial
Negara bendera memikul tanggung jawab internasional untuk setiap kerugian atau kerusakan yang diderita Negara pantai sebagai akibat tidak ditaatinya oleh suatu kapal perang kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial peraturan perundang-undangan Negara pantai mengenai lintas melalui laut teritorial atau ketentuan Konvensi ini atau peraturan hukum internasional
Pasal 111, Hak Pengejaran seketika (hot pursuit)
1.
Pengejaran seketika suatu kapal asing dapat dilakukan apabila pihak yang
berwenang dari Negara pantai mempunyai alasan cukup untuk mengira bahwa kapal
tersebut telah melanggar peraturan perundang-undangan Negara itu. Pengejaran
demikian harus dimulai pada saat kapal asing atau salah satu dari sekocinya ada
dalam perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial atau zona
tambahan negara pengejar, dan hanya boleh diteruskan di luar laut teritorial
atau zona tambahan apabila pengejaran itu tidak terputus. Adalah tidak perlu
bahwa pada saat kapal asing yang berada dalam laut teritorial atau zona
tambahan itu menerima perintah untuk berhenti, kapal yang memberi perintah itu
juga berada dalam laut teritorial atau zona tambahan. Apabila kapal asing tersebut
berada dalam zona tambahan, sebagaimana diartikan dalam pasal 33, pengejaran hanya dapat dilakukan
apabila telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak untuk perlindungan mana zona
itu telah diadakan.
2.
Hak pengejaran seketika harus berlaku, mutatis mutandis bagi
pelanggaran-pelanggaran di zona ekonomi eksklusif atau di landas kontinen,
termasuk zona-zona keselamatan disekitar instalasi-instalasi di landas
kontinen, terhadap peraturan perundang-undangan Negara pantai yang berlaku
sesuai dengan Konvensi ini bagi zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen,
termasuk zona keselamatan demikian.
3.
Hak pengejaran seketika berhenti segera setelah kapal yang dikejar memasuki
laut teritorial Negaranya sendiri atau Negara ketiga.
4.
Pengejaran seketika belum dianggap telah dimulai kecuali jika kapal yang
mengejar telah meyakinkan diri dengan cara-cara praktis yang demikian yang
mungkin tersedia, bahwa kapal yang dikejar atau salah satu sekocinya atau kapal
lain yang bekerjasama sebagai suatu team dan menggunakan kapal yang dikejar sebagai kapal induk
berada dalam batas-batas laut teritorial atau sesuai dengan keadaannya di dalam
zona tambahan atau zona ekonomi eksklusif atau di atas landas kontinen.
Pengejaran hanya dapat mulai setelah diberikan suatu tanda visual atau bunyi
untuk berhenti pada suatu jarak yang memungkinkan tanda itu dilihat atau
didengar oleh kapal asing itu.
5.
Hak pengejaran seketika
dapat dilakukan hanya oleh kapal-kapal perang atau pesawat udara militer atau
kapal-kapal atau pesawat udara lainnya
yang diberi tanda yang jelas dan dapat dikenal sebagai kapal atau pesawat udara
dalam dinas pemerintah dan berwenang untuk melakukan tugas itu.
6.
Dalam hal pengejaran seketika dilakukan oleh suatu pesawat udara :
(a)
ketentuan-ketentuan dalam ayat 1 dan 4 harus berlaku mutatis mutandis;
(b)
pesawat udara yang memberikan perintah untuk berhenti harus melakukan
pengejaran kapal itu secara aktif sampai kapal atau pesawat udara Negara pantai
yang dipanggil oleh pesawat udara pengejar itu tiba untuk mengambil alih
pengejaran itu, kecuali apabila pesawat udara itu sendiri dapat melakukan
penangkapan kapal tersebut. Adalah tidak cukup untuk membenarkan suatu
penangkapan di luar laut teritorial bahwa kapal itu hanya terlihat oleh pesawat
udara sebagai suatu pelanggar atau pelanggar yang dicurigai, jika kapal itu
tidak diperintahkan untuk berhenti dan dikejar oleh pesawat udara itu sendiri
atau oleh pesawat udara atau kapal lain yang melanjutkan pengejaran itu tanpa
terputus.
7.
Pelepasan suatu kapal yang ditahan dalam yurisdiksi suatu Negara dan dikawal ke
pelabuhan Negara itu untuk keperluan pemeriksaan di hadapan pejabat-pejabat
yang berwenang tidak boleh dituntut semata-mata atas alasan bahwa kapal itu
dalam melakukan perjalanannya, dikawal melalui sebagian dari zona ekonomi
eksklusif atau laut lepas jika keadaan menghendakinya.
8.
Dalam hal suatu kapal telah dihentikan atau ditahan di luar laut teritorial
dalam keadaan yang tidak membenarkan dilaksanakannya hak pengejaran seketika,
maka kapal itu harus diberi ganti kerugian untuk setiap kerugian dan kerusakan
yang telah diderita karenanya.
KESIMPULAN
1.Bahwa Indonesia telah membuat peta Garis Batas Perairan NKRI sudah sesuai dengan pasal-pasal UNCLOS 1982 di atas dan nyatanya Indonesia tidak pernah merampas wilayah megara tetangga manapun sehingga menimbulkan sengketa.
2. Bahwa Kedaulatan NKRI atas Batas Perairan sudah sesuai dengan Peta Perbatasan Indonesia dengan negara tetangga dan telah di deposikan dan diumumkan kepada Sekretaris PBB, seperti terbaca pada halam-halaman lainnya, berarti telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan tidak dapat diganggugugat oleh negara tetangga manapun juga.
3.Bahwa Kapal Perang Malaysia memasuki wilayah kedaulatan Indonesia atas Blok Ambalat adalah melakukan suatu tindakan provokasi untuk berniat merampas, menguasai Blok Ambalat secara tidak syah dan bertentangan dengan Hukum Laut Internasional 1982 yang harus dikenakan sanksi seperti pasal-pasal yang disebutkan di atas.
4. Bahwa tidak mungkin Indonesia akan kehilangan muka untuk merubah Garis Perbatasan antara negara tetangga yang telah syah itu.
5. Memang ada klausul bahwa untuk mengadakan perjanjian Bilateral Perbatasan dengan negara tetangga, namun perundingan tersebut hanya terbatas pada menentukan Batas diluar Garis Batas NKRI yang telah ada di Peta, dan bukan untuk meninjau kembali Garis Batas yang telah ada. Inilah inti persoalannya yang harus dipegang teguh. Indonesia harus menunjukkan ketegasannya kepada Negara Tetangga dan bukannya kita didekte oleh negara tetangga untuk mengikuti kemauanya.
6. Bahwa Politik Santun dan Cinta Damai dan Serumpun yang diterapkan oleh Presiden SBY, yang terlanjur mengistilahkan Blok Ambalat adalah wilayah Sengketa, yang sesungguhnya bukan, yang penyelesaiannya lewat Meja Perundingan merupakan salah langkah karena kurang memahami pasal-pasal UNCLOS 1982 ini.
7. Diharapkan agar Presiden Joko Widodo, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, bertindak tegas dan perlu mendalami kepemilikan dan kedaulatan NKRI atas Blok Ambalat, dan berani menarik diri dari Meja Perundingan RI – Malaysia yang hingga kini tidak pernah tuntas dengan selalu mengulur-ulur waktu perundingan, dengan harapan untuk dilanjutkan ke Mahkamah Internasional jika tidak terdapat kata sepakat yang memuaskan Malaysia seperti halnya kasus Pulau Lingitan dan Sipadan.
Namun dengan menarik diri dari Meja Perundingan dan jika terjadi Perang RI- Malaysia, maka itu berarti Indonesia mempertahankan hak Kedaulatan terhadap Blok Ambalat .Dan segala Resiko ditanggung sepenuhnya oleh Malaysia.
8. Walaupun Indonesia dan Malaysia sesama anggota ASEAN, namun bila menyangkut Kedaulatan NKRI, maka perang tidak perlu
diharamkan. Dengan demikian negara lain tidak perlu campur tangan karena masalah ini adalah masalah interen dua negara saja.
9. Wilayah Blok Ambalat harus dipertahankan hingga tetes darah penghabisan dan Gajang Malaysia. Semua rakyat akan mendukung dalam bentuk apapun.
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.