Sengketa Perbatasan
Di saat bangsa
Indonesia dalam suasana memperingati HUT ke-65 RI, kita dikejutkan lagi dengan
kasus perbatasan dengan Malaysia di mana tiga aparatur pengawas sumber daya
kelautan dan perikanan disandera.
Kasus ini
merupakan kasus perbatasan yang kesebelas. Reaksi heroik publik pun muncul
dengan seruan-seruan untuk mengganyang negara tetangga tersebut. Tulisan ini
mengulas kasus-kasus perbatasan selama ini secara singkat dan apa yang harus
pemerintah lakukan ke depan.
Kasus-kasus
perbatasan
Menurut
catatan penulis selama delapan tahun terakhir, telah terjadi sembilan kasus di
perbatasan, baik laut maupun darat.
Pertama, kasus
Pulau Sipadan dan Ligitan (dua pulau terluar kita sebelumnya) di mana oleh
Mahkamah Internasional telah diputuskan menjadi milik Malaysia sejak tahun 2002.
Kedua, kasus
Ambalat yang merupakan upaya Malaysia mengklaim wilayah perairan yang disebut
Blok Ambalat karena pada landas kontinen kawasan tersebut terdapat tambang
mineral strategis. Kasus ini berkaitan dengan kasus pertama karena pada saat kedua
pulau tersebut menjadi milik Malaysia terjadi kekaburan batas maritim di
kawasan itu sehingga negara tetangga ini mencoba memanfaatkan kekaburan itu
sampai akhirnya Indonesia menetapkan titik dasar (base point) baru di Karang
Ungaran (suatu elevasi pasang surut (drying reef). Perundingan pun sampai
sekarang belum selesai.
Ketiga, Kasus
Pulau Mangudu dan Bidadari, pulau terluar di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang
berhubungan dengan investor asing yang berinvestasi secara ilegal di sana.
Keempat, Kasus
Gosong Niger, suatu wilayah konservasi yang coba diklaim sebagai wilayah
Malaysia dalam hal tanda-tanda batas kita jelas sekali di kawasan tersebut.
Kelima, Pulau
Pasir (Ashmore Reef) yang diklaim oleh masyarakat NTT sebagai miliknya walaupun
secara yuridis telah menjadi milik Australia sejak masa pemerintahan Soeharto.
Keenam, kasus
Pulau Miangas yang dikhawatirkan diklaim Filipina, tapi ternyata kekhawatiran
tersebut terlalu berlebihan.
Ketujuh, kasus
Laskar Watania di mana Malaysia melakukan rekrutmen masyarakat perbatasan di
Kalimantan menjadi laskar mereka karena kepentingan survival ekonomi mereka di
kawasan ini.
Kedelapan, kasus
pergeseran batas darat kita secara fisik sekitar hampir satu kilometer masuk ke
wilayah kita alias memperluas wilayah Malaysia.
Kesembilan, Kasus
Pulau Makaroni, Siloinak, dan Kandui (pulau-pulau perbatasan) di Kabupaten
Mentawai, Sumatera Barat, yang dibeli oleh investor asing.
Kesepuluh, Pulau
Jemur di Provinsi Riau yang tahun lalu dicoba diklaim oleh Malaysia, padahal
pulau tersebut berada di belakang pulau terluar kita di kawasan tersebut.
Kesebelas,
kasus terakhir yang masih segar dalam ingatan kita, yaitu penyanderaan aparatur
pengawas sumber daya kelautan dan perikanan perbatasan kita oleh Malaysia
sebagai balasan terhadap penangkapan nelayan Malaysia yang memasuki wilayah
perairan kita secara ilegal.
Fakta-fakta
tersebut mengindikasikan hampir setiap tahun terjadi minimal satu kasus di
perbatasan di mana kasus dengan Malaysia terjadi dengan frekuensi cukup tinggi,
yaitu enam kasus. Dengan frekuensi seperti ini kita patut mengkritisi mengapa
ada kecenderungan Malaysia melakukan hal seperti ini. Yang pasti kita
sepertinya dianggap sepele karena yang bersangkutan tahu betul kelemahan kita. Dengan
kata lain, posisi tawar kita sangat lemah di mata negara ini.
Ambil contoh
sederhana saja, isu-isu tentang tenaga kerja kita yang mencari hidup di sana,
baik yang legal maupun ilegal.
Jika
ditelaah, maka belahan utara NKRI relatif memiliki tingkat kerawanan lebih
tinggi dibandingkan belahan selatan. Mengapa? Karena di belahan utara kita
berhadapan dengan lebih banyak negara di samping relatif berdekatan sehingga
aktivitas ilegal banyak terjadi. Walaupun kedekatan itu sendiri dapat dilihat
sebagai peluang ekonomi kawasan.
Negara-negara
tersebut (8 dari 10 negara yang berhubungan dengan perbatasan laut) antara lain
India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau, dan Papua
Niugini.
Sementara di selatan
kita hanya berhubungan dengan Timor Leste dan Australia. Karena itu, fokus
pengawasan kita seharusnya pada belahan utara. Motivasi kasus-kasus ini
semuanya bersumber dari kepentingan potensi sumber daya alam yang kita sendiri
tidak mampu mengelolanya sehingga dimanfaatkan oleh pihak lain secara ilegal.
Pekerjaan
rumah
Banyak
kritikan di media seolah-olah selama ini pemerintah tidak melakukan apa-apa di
wilayah perbatasan. Apakah memang benar demikian? Rasanya tidak benar kalau
dikatakan pemerintah belum berbuat sama sekali. Bahwa yang dibuat belum
optimal, itu ada benarnya.
Isu
perbatasan sebenarnya mulai mencuat bersamaan dengan lahirnya Departemen
Kelautan dan Perikanan pada tahun 2000. Lima tahun sesudahnya, barulah Susilo
Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla merespons dengan melahirkan kebijakan pertama
perbatasan lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar.
Keluaran dari
perpres ini berupa simbol-simbol negara, seperti disebarkannya marinir-marinir
di pulau terluar, munculnya puskesmas-puskesmas,
dibangunnya
gudang sembako, dibukanya jalur transportasi, dibangunnya sarana bantu
navigasi, pemekaran kecamatan perbatasan, kunjungan pejabat untuk upacara HUT
kemerdekaan seperti dilakukan di Pulau Kisar beberapa hari lalu, sampai
tersedianya data dan informasi kawasan ini yang lengkap.
Walaupun
demikian, harus diakui apa yang telah dilakukan tidak konsisten, bahkan menurun
menurut waktu. Ini menjadi tren umum di negara kita. Selanjutnya, dari 11 kasus
tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga isu utama perbatasan, yaitu :
Ø
delimitasi/demarkasi
(kepastian batas secara fisik),
Ø
penegakan hukum, dan
Ø
kesenjangan pembangunan.
Tugas
pemerintah mengurusi ketiga isu tersebut.
Tentu dengan
adanya pembangunan di perbatasan sebagai prioritas KIB II sampai tahun 2014,
semua isu itu dapat diformulasikan secara terukur melalui program dan kegiatan
setiap instansi, baik pusat maupun daerah, dengan pengawasan yang konsisten
sehingga dampaknya benar-benar terasa. Sekarang tidak perlu lagi seminar dan
workshop tentang isu-isu ini karena semua permasalahan sudah jelas. Aksilah
yang urgen dilakukan.
Aksi yang
penting dilakukan semestinya memfungsikan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan
yang telah dilegalkan sebagai perintah UU No 43/2008 tentang Wilayah Negara
sesuai Perpres No 12/2010 yang diketuai oleh Mendagri. Dengan difungsikannya
kelembagaan ini, maka perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian kawasan ini
dapat lebih fokus di bawah kendali Menko Polhukam termasuk di dalamnya agenda
penamaan pulau yang sampai sekarang belum tuntas. Semoga.
Alex
Retraubun Alumnus PPRA 42 Lemhanas RI; Mantan Dirjen Kelautan, Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan; kini Wakil Menteri
Perindustrian
Aug 26, '10 11:08 PM Alex Retraubun
Penulis :
Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.