ISU
STRATEGIS PEMBANGUNAN KAWASAN PERBATASAN
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Kawasan
perbatasan memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar, serta merupakan wilayah
yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara. Namun demikian,
pembangunan di beberapa wilayah masih tertinggal
dibandingkan
dengan pembangunan di negara tetangga seperti Malaysia.Hal tersebut di atas
menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di
kawasan perbatasan dibandingkan dengan kondisi social ekonomi masyarakat negara
tetangga. Kondisi tersebut berimplikasi terhadap masyarakat perbatasan yang lebih
berorientasi ke negara tetangga sehingga tingkat ketergantungan terhadap negara
tetangga sangat tinggi. Kondisi seperti tersebut mempunyai dampak yang merugikan bagi negara,
karena akan menimbulkan berbagai
kegiatan yang illegal, pengeksploitasian SDA tak terkendali.
1.Perbatasan
Darat
A. Aspek
Pertahanan dan Keamanan, serta Penegakan Hukum
1) Minimnya
sarana dan prasarana
pertahanan dan keamanan
Untuk
memantapkan pengamanan di kawasan perbatasan Indonesia- Malaysia telah dibangun
sarana dan prasarana pengamanan perbatasan yang secara keseluruhan berjumlah 18
pos di Kalbar dan 26 pos di Kaltim. Jumlah ini tentunya sangat tidak
memadai untuk mengawasi dan mengamankan
perbatasan kedua negara sepanjang 2004 kilometer, dimana
setiap pos
rata-rata harus mengawasi garis perbatasan sepanjang + 45 km.Aksesibilitas
menuju pos pengamanan perbatasan sebagian besar dalam
kondisi yang
masih buruk. Selain itu sebagian pos pamtas belum dilengkapi dengan sarana dan prasarana
penunjang yang memadai, seperti alat penerangan/genset, alat komunikasi,
dan alat transportasi. Hal yang sama untuk kawasan perbatasan lainnya
seperti RI-PNG.
2). Banyaknya kasus lintas batas illegal di
kawasan perbatasan (illegal
trading, illegal migration, human trafficking, illegal loging)
Dalam upaya
meningkatkan pertahanan di kawasan perbatasan, TNI secara rutin melaksanakan operasi
pengamanan perbatasan, bakti sosial, penyuluhan, serta pengembangan sarana
dan prasarana pertahanan maupun
keamanan, misalnya pos pengamanan perbatasan. Demikian pula dengan Kepolisian Republik
Indonesia yang secara rutin melakukan upayaupaya penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana dalam rangka pemberantasan
kegiatan ilegal di kawasan perbatasan. Pembangunan pospos pertahanan serta pos polisi
di kawasan perbatasan juga dilakukan untuk menciptakan situasi keamanan
yang kondusif serta meningkatkan pelayanan
terhadap masyarakat. Namun
demikian perlu diakui bahwa penanganan kegiatan ilegal di kawasan perbatasan negara
tampaknya masih menghadapi berbagai tantangan karena luas dan panjangnya
batas negara sehingga kegiatan ilegal
sulit dibendung, terutama pembalakan liar. Jenis-jenis kegiatan illegal lain yang sering terjadi
adalah penyelundupan (barang atau manusia), Perdagangan gelap, termasuk organ
tubuh manusia, Human/Woman
Trafficking,
perambahan hutan dan penangkapan ikan secara liar. Pada umumnya, kegiatan
ilegal di atas diikuti dengan kegiatan lain yang bersifat pelanggaran hukum, seperti:
(1) Penipuan, terutama kepada objek trafficking (wanita dan anak-anak);
(2) Penyalahgunaan dan pemalsuan dokumen:
misal Visa kunjungan untuk bekerja memperoleh upah; (3) Pemalsuan identitas;
ataupun (4) Penyuapan oknum pemerintah/aparat: misal penyuapan oleh PSK dari Batam ke
Malaysia atau Singapura, penyuapan
untuk melakukan pengangkutan kayu ilegal.
Beberapa
faktor yang mempermudah kegiatan ilegal, diantaranya:
- Keuntungan ekonomi tinggi: penjualan
barang/komoditas dengan modal yang lebih rendah, jasa pengiriman TKI, dll.;
- Kemudahan akses ke negara tetangga lewat jalan
“tikus”. Karena
- faktor geografis, perbatasan Kalimantan yang
memungkinkan
- banyaknya “jalur tikus” sehingga memungkinkannya
aktivitas ilegal dan
- dijadikan tempat aman guna melakukan kegiatan ilegal
dan kegiatan
- pelanggaran hukum;
- Keterbatasan jumlah petugas/personil pengawas tidak
sebanding
- dengan luas wilayah perbatasan;
- Keterbatasan sarana-prasarana keamanan dan
pengawasan perbatasan
- serta fasilitas CIQS (beacukai, imigrasi, karantina,
dan keamanan); dan
- Petugas tidak melaksanakan tugas sebagaimana
mestinya, dengan
- kata lain, upaya pencegahan maupun penegakan hukum
terhadap
kegiatan
kegiatan ilegal yang terjadi di kawasan perbatasan masih
lemah.
2) Degradasi
wawasan kebangsaan masyarakat dan gejala
separatisme
dikawasan perbatasan yang mengganggu ketertiban
dan keamanan
Rendahnya
aksesibilitas informasi dan komunikasi, berpotensi terjadinya penurunan wawasan
kebangsaan dan kesadaran politik berbangsa sehingga
berpotensi
terhadap disintegrasi bangsa. Ketergantungan masyarakat perbatasan yang tinggi
terhadap negara tetangga, seperti dalam pemenuhan
kebutuhan
pokok, lapangan kerja, pendidikan, bahkan kesehatan (berobat ke negara tetangga), secara
tidak langsung merupakan ancaman terhadap wawasan kebangsaan.
Anak-anak
buruh perkebunan (warga RI) yang bersekolah di daerah sekitar perkebunan (Malaysia) lebih
mengetahui lagu kebangsaan Malaysia daripada
Indonesia.
Hal ini sangat memprihatinkan, dimana perhatian pemerintah RI terhadap (salah satunya)
pendidikan anak bangsa yang bekerja di Negara tetangga masih kurang. Pada akhir tahun 2007,
terungkap bahwa sejumlah warga Negara Indonesia yang tinggal di wilayah perbatasan
RI-Malaysia di Kalimantan berhasil direkrut oleh pemerintah Malaysia
menjadi Tentara Milisi yang disebut dengan “Askar Watania” (Tentara Tanah
Airku). Sebahagian diantara mereka yang berhasil direkrut tersebut sadar
bahwa mereka adalah warga Negara Indonesia,
namun karena mereka mendapat tawaran pekerjaan dengan gaji yang cukup besar maka
mereka memilih pekerjaan tersebut. Kasus perpindahan wilayah dan
pergantian status kewarganegaraan di daerah perbatasan Kalimantan Barat -
Serawak (Malaysia) perlu diperhatikan dengan serius. Kenyataannya, hampir
seluruh penduduk di desa-desa perbatasan
menggunakan fasilitas pendidikan, kesehatan, listrik, maupun air bersih dari Malaysia tanpa
dipungut biaya atau gratis. Tercatat sejak tahun 1997, 2.000 orang penduduk Kalimantan
Barat secara sadar berpindah tempat
tinggal dan berganti status kewarganegaraan.
Disisi lain,
hubungan antar masyarakat yang belum kondusif, sering menyebabkan terjadinya
gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Kelompok separatis OPM di Papua masih
terus melakukan aktifitasnya, antara
lain dengan pola propaganda, hasutan, teror. perompak dan tekanan masyarakat. Tindakan OPM
tersebut menimbulkan keresahan dan ketakutan
masyarakat.
OPM dan simpatisannya meningkatkan aktifitasnya dengan membangun jaringan di luar
negeri untuk mencari dukungan masyarakat internasional. Ancaman dari kelompok
separatis bersenjata merupakan urusan dalam negeri Indonesia, sehingga perlu
diselesaikan dengan cara-cara yang memperhatikan hak azazi manusia
sebagai nilai-nilai universal yang harus dijunjung. Berdasarkan UU Nomor 3
tahun 2002, TNI bertugas untuk mengatasi
ancaman separatis bersenjata.
B.
Aspek Ekonomi Kawasan
Isu strategis
terkait pengembangan ekonomi kawasan perbatasan darat sebagai berikut:
1) Pengelolaan
sumber daya yang
tidak terkendali dan belum
optimal
Pengelolaan
sumber daya alam belum terkoordinasi antar pelaku sehingga memungkinkan eksploitasi
sumber daya alam yang kurang baik untuk pengembangan daerah dan masyarakat.
Misalnya, kasus illegal logging yang
juga terkait
dengan kerusakan patok-patok batas yang dilakukan untuk meraih keuntungan dalam
penjualan kayu. Depertemen Kehutanan pernah menaksir setiap bulannya sekitar
80.000-100.000 m3 kayu ilegal dari Kalimantan Timur dan sekitar 150.000
m3 kayu ilegal dari Kalimantan barat masuk ke Malaysia (Kompas, Mei 2001).
Penebangan liar ini terus berlangsung
akibat tuntutan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya
kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan
hukum, dan pemutihan kayu yang terjadi
di luar kawasan tebangan. Akibat pencurian SDA ini, kerugian devisa negara mencapai milyaran
Dollar AS.
Selain hutan,
potensi sumberdaya alam di kawasan perbatasan cukup besar
diantaranya
perkebunan (karet, kopi, coklat, kelapa), pertanian (padi, palawija, buah-buahan) dan
pertambangan (batubara, emas, bauksit, dll.). Namun, besarnya potensi ini belum
dikelola secara adil, optimal, dan terkoordinasi serta berkelanjutan
sehingga belum dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat perbatasan.
Faktor keterbatasan akses transportasi, listrik, dan minimnya sarana penunjang
lain, masih menjadi masalah klasik yang sulit dipecahkan. Akibatnya,
potensi yang belum dikelola optimal ini akhirnya menjadi sasaran empuk dan
dimanfaatkan secara ilegal oleh pengusaha
nakal dari negara tetangga. Pemanfaatan
sumberdaya alam yang ilegal dan tidak terkendali (diikuti dengan kebakaran hutan,
pembukaan lahan-lahan eks tebangan yang belum ditanami dan menjadi lahan-lahan
kritis) akan menyebabkan degradasi kualitas lingkungan dan pada akhirnya,
akan mengurangi potensi sumberdaya
alam di masa mendatang. Kegiatan
eksploitasi SDA yang paling fenomenal di kawasan perbatasan darat adalah pembalakan
liar (illegal logging). Praktek pembalakan liar dan eksploitasi hutan yang
tidak mengindahkan kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang
tidak ternilai harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan
kayu senilai milyaran Dollar AS, diantaranya
berupa pendapatan negara setiap tahunnya. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya
nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari
sumber daya hutan.
Menurut data
Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi
optimal telah mencapai 59,6 juta Ha dari 120,35 juta hektare kawasan hutan di
Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta
hektare per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana Sumatera dan
Kalimantan sudah kehilangan hutannya,
maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang sama. Pemberantasan kegiatan
illegal logging dan penanggulangan kerusakan sumberdaya hutan di Indonesia
sesungguhnya menjadi tugas dunia internasional
mengingat hutan Indonesia (salah satunya kawasan konservasi Heart of Borneo di Pulau Kalimantan)
berfungsi melindungi keanekaragaman hayati khas Pulau Kalimantan dan
menjadi Natural World Heritage (warisan alam dunia), Cultural World Heritage
(warisan budaya dunia), serta paruparu dunia.
2) Tingginya
angka kemiskinan dan kesenjangan ekonomi dengan
negara
tetangga di kawasan perbatasan
Fakta yang
terjadi di wilayah perbatasan saat ini adalah belum tuntasnya masalah kemiskinan. Hal ini
merupakan masalah klasik di daerah perbatasan, yang sampai sekarang belum
tuntas ditangani. Pendekatan keamanan
(security) yang diterapkan pada pembangunan masa lalu berdampak pada rendahnya
tingkat kesejahteraan penduduk karena kurangnya pembangunan yang
menitikberatkan pada kesejahteraan. Akibatnya penduduk di perbatasan
cenderung miskin/tertinggal dan terisolasi.
Kehidupan
masyarakat perbatasan yang miskin infrastruktur dan tidak memiliki aksesibilitas yang
baik, pada umumnya sangat dipengaruhi oleh kondisi social ekonomi Negara
tetangga. Kawasan perbatasan Kalimantan contohnya dimana kehidupan social
ekonomi masyarakat pada umumnya berkiblat
ke Negara tetangga yang infrastrukturnya lebih baik. Kesenjangan tersebut disebabkan oleh
akumulasi dari berbagai factor seperti rendahnya mutu manusia, minimnya infrastruktur
pendukung, rendahnya produktivitas masyarakat dan belum optimalnya
pemanfaatan sumber daya alam. Implikasinya
menjadi pemicu tingginya keinginan masyarakat setempat menjadi pelintas batas ke
negara tetangga (contohnya Malaysia ) Mobilitas penduduk di perbatasan darat
relatif tinggi karena adanya motif sosial maupun ekonomi. Secara sosial,
penduduk di sekitar perbatasan kedua
negara masih memiliki hubungan kekerabatan sehingga ada kegiatan saling mengunjungi untuk
silaturahmi dan sebagainya. Mobilitas dapat dilakukan dalam satu hari perjalanan
(ulang-alik) maupun secara sirkuler
(lebih dari
satu hari) untuk keperluan kunjungan wisata ataupun bekerja. Selain motif sosial,
mobilitas penduduk terjadi karena faktor ekonomi. Kondisi infrastruktur yang
lebih baik ataupun pengaruh sosial ekonomi yang lebih kuat di negara tetangga
menyebabkan orientasi masyarakat lebih berkiblat ke negara tetangga.
Bahkan sampai
dengan pengaruh harga dan penggunaan
mata uang, contohnya di perbatasan Kalimantan, beberapa transaksi perdagangan
menggunakan Ringgit Malaysia (RM). Mobilitas penduduk ini tentu saja akan
menimbulkan dampak baik positif maupun
negatif. Dampak positif ini diantaranya, adalah adanya perkembangan ekonomi di
wilayah perbatasan. Sedangkan dampak negatifnya adalah berpotensi tumbuhnya
kegiatan ilegal. Atau bisa jadi kegiatan
ilegal yang mendorong terjadinya mobilitas penduduk. Selain itu, orientasi yang kuat ke
negara tetangga menimbulkan turunnya wawasan kebangsaan. Untuk jangka panjang, adanya
kesenjangan pembangunan dengan Negara tetangga tersebut berpotensi untuk
mengundang kerawanan di bidang politik.
3) Jumlah
penduduk yang mendiami kawasan perbatasan masih relatif jarang
Penyebaran
penduduk di kawasan perbatasan umumnya tidak merata. Penduduk cenderung
terkonsentrasi di ibukota kabupaten atau di pusat pertumbuhan, sementara itu
di penduduk di kawasan perbatasan sangat jarang, bahkan pada lokasi-lokasi
tertentu yang minim infrastrukturnya tidak ada penduduk sama sekali. Akibatnya
memudahkan bagi Negara tetangga untuk
menggeserkan batas wilayah Negara tanpa pengawasan oleh pemerintah maupun
masyarakat.
4)
Ketersediaan sarana dan prasarana pendukung pertumbuhan
ekonomi dan
akses terhadap permodalan dan asset
Sebagian
besar wilayah perbatasan tidak mempunyai infrastruktur yang baik, bahkan beberapa daerah terisolasi
dari pusat kegiatan provinsi. Terbatasnya sarana prasarana dasar (misalnya
transportasi/jasa angkutan darat dan telekomunikasi) dan akses terhadap
modal, pasar, teknologi dan informasi sehingga akan berdampak pada
terhambatnya kegiatan ekonomi masyarakat,
diantaranya masalah peningkatan produksi dan pemasaran. Kesenjangan sarana dan
prasarana wilayah antar kedua wilayah Negara menjadi pemicu orientasi perekonomian
masyarakat ke negara tetangga. Seperti
di Kalimantan,
akses keluar (ke Malaysia) lebih mudah dibandingkan ke ibukota
kecamatan/kabupaten di wilayah Kalimantan. Kesenjangan infrastruktur dan
fasilitas umum di daerah perbatasan, contohnya di perbatasan Indonesia –
Malaysia memotivasi warga berpindah wilayah dan bahkan berganti status
kewarganegaraan menjadi warga Negara Malaysia.
5) Belum
optimalnya pemanfaatan peluang pasar di Negara tetangga
melalui
kerjasama ekonomi dan perdagangan lintas batas
Masyarakat
kawasan perbatasan memiliki hubungan ekonomi lebih erat dengan negara tetangga. Contoh:
Penduduk di Kep. Sangihe dan Talaud lebih banyak berinteraksi dengan
Filipina karena jarak yang lebih dekat ke Mindanao (Filipina) daripada Manado
(Indonesia). Namun, hubungan ekonomi
dengan negara tetangga juga rawan terhadap kegiatan ilegal dan menurunnya wawasan
kebangsaan karena masuknya ideologi dari luar. Adapun perjanjian perdagangan lintas
batas antara pemerintah RI dan RDTL
belum dapat
diimplementasikan karena pihak Timor Leste belum menerbitkan Pas Lintas Batas (PLB)
bagi penduduknya. Di samping itu, pemahaman terhadap ketentuan
perdagangan lintas batas masih rendah
6) Belum
berkembangnya fungsi kota-kota utama kawasan perbatasan sebagai pusat pelayanan
kegiatan ekonomi kawasan perbatasan
Berdasarkan
PP No.26 Tahun 2008 tentang RTRWN dikemukakan bahwa ada 26 PKSN di kawasan
perbatasan, dan ada 12 PKSN terletak di kawasan
perbatasan
darat. Seperti diketahui bahwa PKSN ditetapkan dengan kriteria:
Ø
Pusat perkotaan yang
berpotensi sebagai pos pemeriksaan lintas batas dengan Negara tetangga
Ø
Pusat perkotaan yang
berfungsi sebagai pintu gerbang internasional
yang
menghubungkan dengan Negara tetangga
Ø
Pusat perkotaan yang
merupakan simpul utama transportasi yang
menghubungkan
wilayah sekitarnya
Ø
Pusat perkotaan yang
merupakan pusat pertumbuhan ekonomi yang
dapat
mendorong perkembangan kawasan sekitarnya
Selanjutnya
PKSN dapat berupa pusat pengembangan baru, perlu revitalisasi
dan ada yang
berada pada tahap peningkatan dan pengembangan. Namun demikian dalam kenyataannya
hampir seluruh PKSN baik di kawasan perbatasan darat maupun perbatasan
laut, pengembangan kawasan perbatasan
masih terkendala oleh sarana dan prasarana wilayah seperti minimnya akses darat dan
udara dari dan ke kawasan perbatasan, minimnya
infrastruktur
informasi dan telekomunikasi. Hal ini menyebabkan pengembangan kawasan
perbatasan PKSN berjalan sangat lamban sebagai
pusat
pelayanan ekonomi kawasan perbatasan.
C.
Pelayanan Sosial dasar
Isu strategis
terkait dengan pelayanan social dasar sebagai berikut:
1) Minimnya
sarana dan prasarana pelayanan kesehatan, termasuk air bersih dan sanitasi;
pelayanan pendidikan dasar; dan pelayanan dasar listrik rumah tangga lingkungan
kawasan perbatasan
Derajat
kesehatan, pendidikan, dan keterampilan penduduk di perbatasan umumnya masih rendah
sehingga kualitas SDM relatif tergolong rendah. Sarana prasarana pendidikan dan
kesehatan di perbatasan masih terbatas. Peningkatan pelayan publik terutama
transportasi, informasi, pendidikan dan kesehatan sulit diwujudkan tanpa
adanya insentif (guru, dokter, penyuluh maupun sektor swasta), termasuk sangat
terbatasnya sarana prasarana pendidikan
dan kesehatan. Menurut
catatan Badan Pusat Statistik 2008, Distrik Muara Tami di Papua memiliki 9 SD dengan 68
guru dan 1.463 siswa. Tiap SD seharusnya diisi minimal tujuh guru. Namun, di SD
Inpres itu, ternyata hanya ada dua guru yang mengajar. Kondisi ini sangat
tertinggal jauh dibandingkan distrik tetangganya, Abepura, yang tiap-tiap
SD rata-rata diajar 18 guru. Dengan kondisi pendidikan seperti diatas,
maka tingkat pendidikan masyarakat di kawasan perbatasan relatif rendah.
Persebaran sarana dan prasarana pendidikan
yang tidak dapat menjangkau desa-desa yang letaknya dengan jarak yang berjauhan
mengakibatkan pelayanan pendidikan di kawasan perbatasan tertinggal.
Disamping sarana
pendidikan yang terbatas, minat penduduk
terhadap pendidikan pun masih relatif rendah. Sebagai akibat
rendahnya
tingkat pendidikan dan mudahnya akses informasi yang diterima dari negara tetangga
melalui siaran televisi, radio, dan interaksi langsung dengan penduduk di negara
tetangga, maka orientasi kehidupan seari-hari penduduk di perbatasan lebih mengacu
kepada serawak-Malaysia dibanding
kepada
Indonesia. Kondisi ini tentunya sangat tidak baik terhadap rasa kebangsaan dan potensial
memunculkan aspirasi disintegrasi. Dari sisi kesehatan, budaya hidup
sehat masyarakat di kawasan perbatasan pada umumnya masih belum berkembang.
Hal ini disebabkan rendahnya tingkat
pemahaman terhadap kesehatan dan pencegahan penyakit. Sebelum tahun 1980-an banyak
penduduk yang berobat ke Serawak karena mudah dijangkau dan biayanya lebih murah,
namun saat ini jumlah penduduk yang
berobat ke
Serawak semakin sedikit karena puskesmas sudah tersedia di setiap kecamatan
2) Sebagian
masyarakat perbatasan merupakan komunitas adat
terpencil (
KAT )
Untuk
memberikan gambaran mengenai komunitas adat, berikut diberikan gambaran masyarakat yang
berdomisili di sepanjang kawasan perbatasan RI-PNG dari utara sampai ke selatan
memiliki etnis yang beragam mendiami dataran rendah di bagian selatan
Papua, Etnis Senggi dan Web mendiami daerah perbukitan di bagian utara
Pegunungan Tengah, serta Etnis Muyu yang mendiami daerah-daerah perbukitan
di bagian Selatan Pulau Papua memiliki
mata pencaharian sebagai petani (berkebun) disamping berburu dan meramu sagu sebagai
aktivitas pendukung. Sedangkan Kelompok etnis Ngalum (Wara Smol) yang mendiami
bagian Pegunungan Tengah yang bergunung-gunung
hidup terutama dari kegiatan berkebun dan berburu disamping meramu berbagai
hasil hutan.
Masyarakat
tersebut merupakan komunitas
adat terpencil/terisolasi dan tertinggal karena tidak tersedianya infrastruktur, sarana dan
prasarana pendidikan dan kesehatan dsb yang memadai. Disisi lain, secara
tradisional dalam lingkungan masyarakat adat, struktur penguasaan tanah di Papua
dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu: 1) Tanah ulayat (milik bersama) dari
beberapa marga, suku, keret; 2) Tanah adat (milik bersama/peorangan).
Selanjutnya, ada 3 hal yang terkandung pada penguasaan tanah secara
tradisional: 1) Tanah merupakan karunia Tuhan utk memenuhi kebutuhan hidup; 2)
Tanah sebagai tumpah darah; 3)
Tidak ada
tanah yang tidak bertuan. Pengertian
hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat
hukum adat tertentu atas wilayah tertentu untuk mengambil manfaat dari sumber daya
alam termaksud tanah dalam wilayahnya
bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah
dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat dengan
wilayah yang bersangkutan. Dengan
adanya model atau struktur penguasaan tanah seperti ini, banyak warga PNG yang berdiam di
wilayah Papua maupun sebaliknya tanpa memperhatikan batas-batas negara.
Sebagai contoh, ada ribuan WN-PNG yang berdiam di wilayah RI, seperti di
kampung Warasmol dan Marantikin, kab.
Pegunungan Bintang. Implikasi lain dari adanya hak ulayat adalah terkendalanya proses
pembangunan karena pemerintah tidak dapat menerapkan sistem tata ruang wilayah
tanpa adanya perundingan dengan masyarakat
adat untuk penetapan hak pengelolaan tanah ulayat.
D.
Penguatan Kelembagaan
Isu strategis
mengenai kelembagaan adalah:
1).Lemahnya
koordinasi, integrasi, sinergi dan sinkronisasi ( KISS ) antar sektor dan antar
daerah dalam pengelolaan batas wilayah negara
(
Penjelasannya dapat dilihat pada point mengenai penguatan kelembagaan )
2) Rendahnya
kapasitas fiskal daerah serta minimnya investasi swasta untuk membangunan kawasan
perbatasan
3) Belum
memadai kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan
Belum memadainya
kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan mengingat
penanganannya bersifat lintas administrasi wilayah pemerintahan dan lintas
sektoral, sehingga masih memerlukan koordinasi dari institusi yang secara
hirarkis lebih tinggi, belum tersosialisasikannya
peraturan dan perundang-undangan mengenai pengelolaan kawasan perbatasan,
terbatasnya anggaran pembangunan pemerintah
daerah; masih adanya tarik menarik kewenangan pusat-daerah, misalnya dalam pengelolaan
kawasan konservasi seperti hutan lindung dan
taman
nasional sebagai international inheritance yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat
(Kementerian Kehutanan).
2 Perbatasan Laut
Isu terkait
pengelolaan di kawasan perbatasan laut lebih dominan pada masalah keterbatasan jumlah
personil dan sarana prasarana pendukungnya dalam upaya penegakan hukum, kedaulatan
wilayah dan keamanan di laut. Isu berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi kawasan
perbatasan laut antara lain masih tingginya tingkat kemiskinan, pemanfaatan
sumberdaya alam yang belum optimal serta belum termanfaatkannya alur transportasi
laut sebagai sarana dalam upaya pengembangan
ekonomi wilayah dan mengoptimalkan fungsi PKSN, disamping itu masih ada isu terkait
dengan aksesibilitas yang rendah baik dari segi transportasi, telekomunikasi, dan
listrik). Pelayanan
sosial dasar di kawasan perbatasan isu strategis yang diangkat adalah minimnya sarana dan
prasarana sosial dasar sehingga pelayanan terhadap sarana dan prasarana ini sangat
kurang, misalnya untuk sanitasi lingkungan, air bersih, pendidikan dasar dan
kesehatan, disamping adanya isu komunitas adat yang terpencil di kepulauan
menjadi isu yang cukup strategis untuk diangkat. Lemahnya koordinasi, intregrasi,
sinergi dan sinkronisasi menjadi salah satu isu yang dimunculkan dalam penguatan
kapasitas kelmbagaan pengelolaan kawasan perbatasan laut, disamping ada pula
isu tentang rendahnya pembiayaan pembangunan
yang dialokasikan untuk pembangunan di kawasan perbatasan, serta belum memadainya kapasitas
pemerintah daerah dalampengelolaan kawasan perbatasan.
A. Aspek Peningkatan Keamanan dan Pertahanan
serta
Penegakan Hukum di
Perbatasan Laut
Isu strategis
di Kawasan Perbatasan laut tidak terlepas dari PPKT yang perlu
mendapat
perhatian penuh. Dari sisi pemeliharaan keamanan dan penegakan
hukum,
isu-isu yang timbul di kawasan perbatasan laut dan PPKT secara umum sebagai berikut:
1) Minimnya
sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan di kawasan perbatasan, serta kerjasama
internasional. Minimnya
sarana dan prasarana hankam telah mengakibatkan fungsi hankam sebagai penjaga
teritorial negara tidak berjalan dengan baik. Belum tersedianya sarana dan
prasarana keamanan laut secara terpadu dengan berbagai instansi terkait dan
terbatasnya aparat penegak hokum menyebabkan
seringnya terjadi pelanggaran batas kedaulatan negara oleh pihak asing.
2)
Terbatasnya jumlah personil militer yang mengamankan kawasan
perbatasan.
Terbatasnya
jumlah aparat serta sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan wilayah perbatasan
telah menjadi salah satu permasalahan yang harus ditangani dengan baik, karena
dapat mengakibatkan situasi yang kontra-produktif.
KuantiÃtas dan kualitas personal TNI – AL dan Polisi Laut perlu ditingkatkan,
disamping perlunya kerjasama internacional dibidang pertahanan dan keamanan.
3) Minimnya
sarana prasarana dan aparat penegak hukum di kawasan
perbatasan.
Lokasi
pulau-pulau kecil terluar yang masih terisolir dan yang tidak berpenduduk telah
mengakibatkan pengawasan wilayah tidak dapat dilakukan secara optimal, sehingga
menimbulkan permasalahanpermasalahan yang sangat mengganggu terhadap aspek
keamanan dan ketertiban,
serta kurang optimalnya penanganan wilayah pada aspek hukum. Sebagai contoh:
keterbatasan prasarana dan sarana transportasi dan tinggi gelombang laut yang
mencapai 3 (tiga) meter mengakibatkan pulau sulit dijangkau, seperti P. Miangas dan Marore pada
bulan Agustus-Desember terputus
dari dunia luar.
Wilayah laut
Indonesia yang sangat luas (sekitar 67% dari luas wilayah negara) mengandung kekayaan
sumberdaya hayati, salah satunya adalah sumberdaya ikan yang sangat besar
dengan spesies yang sangat beragam. Namun lemahnya upaya penegakkan hukum
di Indonesia mengakibatkan maraknya
kasus-kasus pencurian ikan oleh nelayan-nelayan lokal maupun nelayan asing di kawasan
perbatasan laut. Dari aspek lingkungan, pengelolaan sumberdaya ikan yang tidak
bertanggung jawab ini akan menghambat
kemajuan sektor perikanan tangkap yang berkelanjutan. Peraturan-peraturan yang
dibuat dalam rangka pengelolaan sumber daya perikanan Indonesia, tidak diimbangi
dengan penerapan sanksi dan penegakkan
hukum yang jelas sehingga kasus-kasus pencurian yang mungkin oleh pelaku-pelaku
yang sama terjadi kembali. Menurut
Kementerian Kelautan dan Perikanan, kegiatan IUU-Fishing ini disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu:
(1) rentang
kendali dan luasnya daerah
pengawasan tidak sebanding dengan kemampuan pengawasan yang ada saat ini;
(2) terbatasnya kemampuan
sarana dan armada pengawasan di laut;
(3) lemahnya
kemampuan SDM nelayan Indonesia dan banyaknya kalangan pengusaha bermental pemburu
rente ekonomi atau broker;
(4) masih lemahnya penegakan
hukum; dan
(5) lemahnya
koordinasi Masih
terjadinya kegiatan-kegiatan ilegal seperti pencurian ikan oleh warga negara asing di sekitar
pulau-pulau kecil terluar akibat dari masih rendahnya perhatian pemerintah
terhadap wilayah perbatasan.
Kawasan
perbatasan laut juga rawan terhadap penyelundupan dan pendatang ilegal (imigran
gelap) serta rawan terhadap intervensi dan okupasi negara lain Selain itu
terjadinya kegiatan-kegiatan ilegal lain, seperti: illegal logging, illegal
mining, penyelundupan senjata, pergerakan teroris, dan perampokan di laut/
perompakan. Contoh:
Banyak nelayan Filipina yang melakukan illegal fishing di perairan P.Miangas,
Perairan Pulau Miangas dan Pulau Marore dan sekaligus merupakan daerah yang
dijadikan jalur strategis bagi pergerakan teroris dan penyelundupan senjata,
barang-barang kebutuhan rumah tangga,
pemasukan
uang dollar palsu, serta perdagangan obat terlarang dari Filipina.
Sedangkan di
provinsi Riau yang berhadapan dengan P. Portland Malaysia (rawan penyelundupan BBM,
illegal logging, tambang, sembako dll.) Penyelundupan manusia, perdagangan
obat terlarang, penyelundupan senjata
ringan, penyebaran aksi terorisme, dan kejahatan internasional lainnya yang melampaui
batas kedaulatan nasional.
Terorisme,
separatisme, dan
kejahatan trans-nasional yang lain dimungkinkan saling berkaitan erat dalam memanfaatkan atau
mengeksploitasi jalur-jalur laut di wilayah perairan Indonesia, sehingga mereka
bisa bergerak dengan bebas untuk memasuki
Indonesia. Ini menunjukkan bahwa keamanan laut tidak hanya strategis dalam hubungan
dan politik internasional, melainkan juga strategis bagi keamanan domestik.
Namun, kemampuan patroli dan pengawasan wilayah laut (baik teritorial maupun
yurisdiksi) negara Indonesia masih sangat lemah sehingga dimanfaatkan
oleh aktor negara maupun aktor bukan negara (non-state actors). Selain
kemampuan patroli dan pengawasan, perlindungan terhadap jalur komunikasi
laut (SLOC, Sea Lanes of Communication)
dan jalur perdagangan laut (SLOT, Sea Lanes of Trade) yang vital bagi perdagangan
internasional, jalur pemasok energi, serta kegiatan ekonomi lainnya belum
optimal. Sebagai contoh di perbatasan Morotai-Filipina, dimana praktik penyelundupan
barang, orang dan pencurian ikan
oleh kapal asing terus berlangsung karena pengamanan di wilayah utara Indonesia itu sangat
lemah.
B. Pertumbuhan Ekonomi Kawasan
Kesenjangan
pembangunan telah menyebabkan perbedaan kondisi masyarakat di wilayah perbatasan laut
dengan negara tetangga. Perbedaan ini merupakan suatu ancaman tersendiri yang akan
berakibat pada lemahnya fungsi perlindungan
masyarakat di perbatasan. Beberapa permasalahan yang muncul berkaitan dengan
pertumbuhan ekonomi di wilayah perbatasan laut adalah:
1) Tingginya
angka kemiskinan pada masyarakat di kawasan
perbatasan.
Kemiskinan
menjadi permasalahan yang terjadi disetiap kawasan perbatasan laut. Hal ini
dapat dilihat dari tingginya jumlah keluarga prasejahtera di kawasan perbatasan
serta kesenjangan social ekonomi dengan
masyarakat di wilayah perbatasan Negara tetangga. Hal ini disebabkan oleh akumulasi
berbagai factor, seperti rendahnya mutu sumberdaya manusia, minimnya
infrastruktur pendukung, rendahnya mutu sumberdaya manusia, rendahnya
produktifitas masyarakat dan belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya alam
dikawasan perbatasan.
Wilayah laut
Indonesia yang sangat luas (sekitar 67% dari luas wilayah negara) mengandung kekayaan
sumberdaya hayati, salah satunya adalah sumberdaya ikan yang sangat besar
dengan spesies yang sangat beragam. Hasil penelitian Badan Riset Kelautan
dan Perikanan (BRKP, 2001) menunjukkan
besarnya potensi sumber daya ikan (6,4 juta ton/tahun) juga disertai oleh tingkat
pemanfaatan yang secara rata-rata sudah cukup tinggi (63,5%). Namun, pemanfaatan
sumber daya ikan di wilayah perairan lepas pantai dan hampir seluruh perairan ZEE
kecuali Laut Arafura, secara umum dapat dikatakan belum dimanfaatkan
secara optimal (DirJen Perikanan, 1994).
Miinimnya
sarana dan prasarana ekonomi (seperti pasar dan prasarana perhubungan),
keterbatasannya kemampuan SDM lokal dalam mengelola potensi SDA yang tersedia,
serta keterbatasan akses berakibat kepada rendahnya pendapatan masyarakat. Kesenjangan pembangunan
dengan negara tetangga terlihat sangat mencolok baik di kawasan perbatasan
darat maupun laut. Diantaranya, wilayah
pesisir timur Sumatera dengan pesisir barat Semenanjung Malaysia dan Singapura; Contoh lain,
kawasan perbatasan Indonesia di Provinsi Sulawesi Utara meliputi Kabupaten
Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan
Talaud) memiliki kesenjangan ekonomi yang cukup besar dibanding dengan Mindanao
Selatan (Filipina), yang mengakibatkan masyarakat di kawasan perbatasan
memiliki ketergantungan ekonomi yang cukup tinggi terhadap Filipina.
2)
Pemanfaatan sumber daya alam di kawasan laut belum optimal dan tidak terkendali
sehingga mengganggu keseimbangan lingkungan
hidup
Eksploitasi
sumberdaya alam secara tidak terkendali, misalnya penebangan
kayu ilegal,
penambangan pasir laut (contoh, di pulau Nipah), serta pencurian ikan oleh
kapal-kapal ikan asing di perairan ZEE. Penambangan pasir laut ini berpotensi
pada hilangnya pulau-pulau tersebut. SDA yang belum dikelola secara
terkoordinasi dan kewenangan yang jelas (serta ditujukan untuk kesejahteraan
rakyat), cenderung dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain secara ilegal dan
tidak terkendali. Akibatnya, kondisi lingkungan di sekitar kepulauan
semakin rusak. Kerusakan lingkungan ini juga diakibatkan oleh pembuangan
limbah dan penambangan pasir, serta penangkapan ikan yang tidak ramah
lingkungan (pengeboman dan pembiusan).
Disamping itu
tingkat abrasi sangat tinggi di PPKT (contoh: Pulau Jiew, Pulau Marore), namun belum
seluruh pulau-pulau kecil yang rawan abrasi ini mendapatkan bangunan perlindungan
pantai kecuali pulau Morotai. Abrasi
juga terjadi di pulau-pulau kecil terluar yang terletak di perairan barat pulau Sumatera
seperti pulau Rusa, pulau Salaut Besar, pulau Simeulucut, pulau Raya, pulau Benggala
dan pulau Rondo di provinsi Aceh akibat
gelombang yang berasal dari Samudera Hindia.
3) Belum
termanfaatkannya potensi alur transportasi laut sebagai
pemicu dalam
pengembangan ekonomi wilayah dan kegiatan ekonomi antar negara.
Pada umumnya
aksesibilitas menuju perbatasan masih sangat minim sehingga perekonomian sulit
berkembang. Sebagai contoh, belum tersedianya sarana dan prasarana laut
yang menghubungkan wilayah perbatasan
daratan (Oepoli dan sekitarnya) dengan pulau-pulau terluar sehingga pengelolaan
terhadap pulau-pulau terluar kurang berjalan dengan
optimal.
Selain itu aksesibilitas terhadap informasi, khususnya bagi penduduk yang berada di
wilayah pedalaman, masih minim. Adapun
perjanjian perdagangan lintas batas antara pemerintah RI dan\ RDTL belum dapat
diimplementasikan karena pihak Timor Leste belum menerbitkan Pas Lintas Batas (PLB)
bagi penduduknya.
Di samping
itu, pemahaman
terhadap ketentuan perdagangan lintas batas masih rendah. Perairan di sekitar
Provinsi Aceh, khususnya Selat Malaka di sebelah timur, merupakan jalur pelayaran
internasional tersibuk di dunia. Dari segi ekonomi, Selat Malaka merupakan salah
satu jalur pelayaran strategis, sama
pentingnya seperti Terusan Suez atau Terusan Panama. Selat Malaka membentuk jalur pelayaran
terusan antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik yang dilintasi oleh 50.000 -
60.000 kapal setiap tahunnya, dimana lebih 30 persen merupakan kapal-kapal
kontainer (Subhan, 2008). Untuk itu perlu dikembangkan pelabuhan-pelabuhan
beserta kawasan industri dan perdagangan
di sekitarnya sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi lintas negara.
Pengembangan
kawasan perlu disertai dengan pemberian berbagai macam fasilitas dan insentif
yang dapat menarik minat investor untuk melakukan kegiatan usaha. Salah
satu strategi yang dilakukan adalah dengan mengembangkan kota Sabang
sebagai PKSN dan kawasan disekitarnya
sebagai Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas/KPBPB (Free Port and Free Trade
Zone/FTZ. Namun demikian pengembangan kawasan perbatasan masih terkendala
oleh sarana dan prasarana wilayah seperti minimnya akses darat dan udara
dari dan ke kawasan perbatasan, minimnya
infrastruktur informasi dan telekomunikasi. Hal ini menyebabkan pengembangan kawasan
perbatasan, khususnya PKSN Sabang sabagai Free Trade Zone berjalan sangat lamban.
4) Rendahnya
aksesibilitas kawasan perbatasan laut akibat minimnya sarana prasarana dasar
wilayah (transportasi, telekomunikasi,
informasi, dan listrik)
Kawasan
perbatasan masih mengalami kesulitan aksesibilitas utamanya kawasan laut menuju
pusat-pusat pertumbuhan. Di Kawasan perbatasan laut sulitnya aksesilibitas
memunculkan kecenderungan masyarakat untuk berinteraksi dengan masayarakat di
wilayah negara tetangga. Minimnya
aksesibilitas dari dan keluar kawasan perbatasan wilayah merupakan salah satu factor
yang turut mendorong orientasi masyarakat yang cenderung berkiblat aktivitas
social ekonominya ke Negara tetangga yang secara jangka panjang
dikhawatirkan akan memunculkan degradasi nasionalisme masyarakat perbatasan.
C.Peningkatan
Pelayanan Sosial Dasar
1) Minimnya
sarana dan prasarana pelayanan kesehatan, termasuk air bersih dan sanitasi
lingkungan di kawasan perbatasan.
Terbatasnya
sarana dan prasarana pelayanan kesehatan (kesehatan termasuk air bersih dan
sanitasi lingkungan) di wilayah pulau perbatasan menyebabkan pulau kecil ini memiliki
aksesibilitas yang rendah dan terisolasi
dan tertinggal dari wilayah sekitarnya. Tingginya biaya transportasi dan frekuensi
kedatangan yang sangat jarang menyebabkan beberapa wilayah di pulau terpencil
cenderung terisolir dan tertinggal. Secara umum tingkat pendidikan
masyarakat beserta kondisi prasarana pendidikan di Kawasan Perbatasan Laut
sangat rendah. Sebagai contoh, di Kabupaten Maluku Tenggara Barat,
sebagian besar penduduk berpendidikan
SD, yaitu sebesar 31,94 persen. Bahkan sebanyak 19,65 persen masyarakat sama
sekali tidak pernah mengenyam pendidikan formal.
Hal ini
disebabkan minat terhadap pendidikan masih relatif rendah, dan sarana dan prasarana
pendidikan yang ada saat ini masih terbatas. Kesenjangan pembangunan pulau-pulau
perbatasan yang terpencil akibat minimnya
fasilitas sosial dan fasilitas umum lainnya telah mengakibatkan tingginya angka kemiskinan
dan jumlah keluarga prasejahtera. Selain itu rendahnya tingkat kesehatan,
pendidikan, dan keterampilan masyarakat yang berimplikasi pada rendahnya
kualitas SDM. Pembangunan di wilayah terpencil relatif membutuhkan biaya
yang besar sehingga kurang mendapat perhatian dari Pemerintah dalam
pengembangan prasarananya karena dinilai
tidak ekonomis, lokasinya jauh dari pusat pertumbuhan (terpencil) serta penduduknya sedikit.
2) Minimnya
Sarana dan Prasarana Pendidikan Dasar
Penyebaran
penduduk di kawasan perbatasan umumnya tidak merata bahkan di pulau-pulau
terluar ada yang tidak berpenghuni dan terpencil. Penduduk cenderung terkonsentrasi
di ibukota kabupaten atau di pusat pertumbuhan, sementara itu di penduduk
di wilayah lain masih sangat sedikit.
Kondisi ini berdampak terhadap penyediaan sarana prasarana pendidikan dasar di kawasan
perbatasan yang minim penduduk yang mengakibatkan kualitas sumberdaya
manusia di wilayah perbatasan laut ini sangat minim.
3) Adanya
Komunitas Adat Terpencil
Dibeberapa
kawasan perbatasan karena lokasinya yang jauh dari pusat pertumbuhan masih banyak
komunitas adat terpencil yang memerlukan perhatian khusus dari pemerintah.
Keterbatasan akses baik akses terhadap sarana prasarana maupun terhadap
pelayanan sosial dasar. Dibutuhkan komintmen bersama dalam membangun
komunitas adat terpencil ini.
D.
Penguatan Kelembagaan
Isu startegis
kelembagaan di kawasan perbatasan laut adalah
1. Lemahnya
koordinasi, integrasi, sinergi dan sinkronisasi ( KISS ) antar sektor dan antar
daerah dalam pengelolaan batas wilayah negara
Kondisi di
kawasan perbatasan yang relatif kurang maju dibandingkan dengan kawasan lainnya
tidak terlepas dari faktor kelembagaan dalam pengelolaan batas wilayah negara dan
kawasan perbatasan (baik kawasan perbatasan
darat maupun laut). Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa masalah-masalah kelembagaan
sebagai berikut:
1. Rencana
pembangunan wilayah pada buku III RPJMN masih bersifat makro (unit analisis pulau
besar) dan belum memberikan orientasi yang kuat bagi pembangunan kawasan sehingga
diperlukan rencana yang lebih
rinci untuk memenuhi kebutuhan pengelolaan kawasan perbatasan.
2.
“Pendekatan sektoral” masih lebih dominan dibandingkan “pendekatan regional” dalam perencanaan
pembangunan nasional, karena factor “lokasi” masih dipandang sebatas
tempat pelaksanaan kegiatan departemen/instansi
tanpa memperhatikan kepentingan pendayagunaan ruang di daerah, akibatnya kegiatan
yang direncanakan sektor tidak saling
bersinergi dalam mengisi dan mendayagunakan ruang di daerah (memunculkan ego sektoral).
3. Bahwa
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional baru memberikan arahan
pemanfaatan
ruang kawasan yang bersifat makro. Sementara itu Rencana rinci RTRWN berupa RTR Kawasan
Strategis Nasional Perbatasan
hingga saat ini belum tersedia (masih berupa Draft Raperpres RTR Kawasan
Perbatasan), sehingga pembangunan kawasan perbatasan belum memiliki acuan yang
kuat dalam implementasinya.
4. Sejak
dicanangkannya penanganan kawasan perbatasan sebagai salah satu arahan kebijakan RPJMN
2005-2009, seluruh K/L memiliki perhatian yang besar terhadap pembangunan
kawasan perbatasan. Hal tersebut terlihat
dari besarnya anggaran sektoral yang dialokasikan bagi pembangunan kawasan
perbatasan baik dalam penguatan pertahanan keamanan maupun pengembangan sosial
ekonomi. Namun demikian menjadi
suatu kenyataan bahwa masing-masing sektor belum bersinergi satu sama lain khususnya
kegiatan yang dampaknya secara signifikan bagi daerah yang menjadi sasaran
kegiatan. Disamping itu beberapa sektor
belum menjalankan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) secara kosisten dalam pembangunan
kawasan perbatasan sehingga cenderung tumpang tindih dengan sektor lainnya.
5. Belum
memadainya kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan
mengingat penanganannya bersifat lintas administrasi wilayah pemerintahan dan
lintas sektoral, sehingga masih memerlukan
koordinasi dari institusi yang secara hirarkis lebih tinggi, belum tersosialisasikannya
peraturan dan perundang-undangan mengenai
pengelolaan kawasan perbatasan, terbatasnya anggaran pembangunan pemerintah
daerah; masih adanya tarik menarik kewenangan pusat-daerah, misalnya
dalam pengelolaan kawasan konservasi
seperti hutan lindung dan taman nasional sebagai international inheritance yang selama
ini menjadi kewenangan pemerintah
pusat (Kementerian Kehutanan).
6.
Pengelolaan kawasan perbatasan belum dilakukan secara terpadu dengan mengintegrasikan seluruh
sektor terkait. Permasalahan beberapa
kawasan perbatasan masih ditangani secara ad hoc, sementara (temporary) dan
parsial serta lebih didominasi oleh pendekatan keamanan (security) melalui
beberapa kepanitiaan (committee),
sehingga belum memberikan hasil yang optimal. Komitekomite kerjasama penanganan
masalah perbatasan yang ada saat ini antara lain General Border Committee
(GBC) RI – Malaysia, Joint Border Committee (JBC) RI – Papua New Guinea;
dan Joint Border Committee RI-Timor
Leste. Namun sejak 17 September 2010 telah terbentuk
lembaga yang
khusus menangani perbatasan, yaitu Badan Nasional Pengelola Perbatasan
(BNPP). Untuk itu sangat diperlukan penguatan kelembagaan BNPP agar dapat berperan
sebagaimana yang diamanatkan.
7. Selama ini
belum ada payung hukum yang jelas mengatur tentang kewenangan pengelolaan
kawasan perbatasan, walaupun ada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
namun tidak secara eksplisit menjelaskan
kewenangan daerah dalam mengelola kawasan perbatasan. Sedangkan kewenangan
pemerintah pusat pada pintu-pintu perbatasan (border gate) yang meliputi
aspek kepabeanan, keimigrasian,
karantina, serta keamanan dan pertahanan (CIQS).
8. Kepastian
hukum bagi suatu instansi dalam operasionalisasi pembangunan di wilayah perbatasan sangat
diperlukan agar peran dan fungsi
instansi tersebut dapat lebih efektif. Contohnya, Perum Perhutani yang ditugasi Pemerintah
untuk mengelola HPH eks PT. Yamaker di perbatasan Kalimantan-Malaysia baru
didasari oleh SK Menhut No. 3766/Kpts-II/1999
tanggal 27 Mei 1999, namun tugas yang dipikul Perhutani meliputi menata kembali
wilayah perbatasan dalam rangka pelestarian
sumber daya alam, perlindungan dan pengamanan wilayah perbatasan dan pengelolaan
hutan dengan sistem tebang pilih. Tugas ini bersifat lintas sektoral dan lintas
wilayah sehingga diperlukan dasar hukum yang lebih tinggi.
9.
Pengelolaan kawasan lindung lintas negara belum terintegrasi dalam program kerja sama
bilateral antara kedua negara, misalnya keberadaan Taman Nasional Kayan
Mentarang yang terletak di Kabupaten Malinau dan Nunukan, di sebelah Utara
Kalimantan Timur, sepanjang perbatasan dengan Sabah Malaysia, seluas 1,35
juta hektare. Taman ini merupakan habitat lebih dari 70 spesies mamalia,
315 spesies unggas dan ratusan spesies
lainnya
10. Kemampuan
diplomasi yang lemah dari delegasi Indonesia sering dimanfaatkan oleh negara
lain, misalnya Malaysia. Dimungkinkan adanya taktik coba-coba dari Malaysia
untuk mencari kelengahan Indonesia.
Taktik ini pernah dicoba dalam mengklaim pulau Ligitan dan Sipadan dan akhirnya sangat
berhasil. Berdasarkan realita, setiap ada sengketa dengan Indonesia, Malaysia
pasti akan menawarkan solusi ke Mahkamah
Internasional karena Malaysia mengetahui diplomasi Indonesia lemah. Untuk itu,
selain perlu memiliki lembaga yang kredibel mengenai batas wilayahnya dengan
negara lain, diperlukan penguatan kapasitas SDM baik secara fisik maupun
mental untuk menjaga keutuhan
NKRI.
2. Rendahnya
pembiayaan pembangunan bagi kawasan perbatasan Rendanya pembiayaan pembangunan bagi
kawasan perbatasan ditandai dengan
minimnya pertumbuhan ekonomi kawasan di Perbatasan. Peningkatan keberpihakan
pemerintah dalam pembiayaan pembangunan, terutama untuk pembangunan sarana dan
prasarana ekonomi di wilayahwilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil
melalui, antara lain, penerapan berbagai
skema pembiayaan pembangunan seperti: pemberian prioritas dana alokasi khusus (DAK),
public service obligation (PSO) dan keperintisan untuk transportasi, penerapan
universal service obligation (USO) untuk telekomunikasi, serta program listrik
masuk desa sangat diperlukan disini.
3. Belum
memadainya kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan Pemerintah daerah ada yang
telah memiliki badan pengelola perbatasan danada yang belum, untuk
daerah yang belum biasanya pengelolaan perbatasan berada di Bappeda, kondisi
ini kedepan perlu
dibuat suatu pedoman pengelolaan
kawasan perbatasan yang sesuai dengan ketentuan dan kebutuhan perkembangan
kawasan perbatasan. Penguatan kapasitas kelembagaan ditingkat daerah sangat
diperlukan dalam upaya pembangunan kawasan perbatasan untuk menjadikan
kawasan perbatasan sebagai beranda
depan Negara.
Sumber : Rencana Induk
Pengelolaan Batas Wilayah Negara & Kawasan Perbatasan 2011-2014
Penulis
: Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.