alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Sabtu, 10 Januari 2015

KERUKUNAN ATAR UMAT BERAGAMA DALAM KONTEKS PLURALISME


MEMPELAJARI USAHA KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA DALAM KONTEKS PLURALISME
Oleh : Drs.simon Arnold Julian Jacob

Masyarakat primitip cenderung hidup dalam situasi terisolasikan, eksklusip dan tertutup, dalam hal demikian perjumpaan dengan agama-agama lain agaknya kurang terjadi. Dalam masyarakat yang kemudian berkembang, lalu-lintas orang melebihi batas antar-negara sehingga mulai terjadi perjumpaan dengan agama-agama yang lain secara terbuka.
Sebenarnya sudah sejak lama terjadi perjumpaan antar agama-agama. Ketika Abraham memasuki negeri Kanaan, monotheisme yang dipercayainya diperhadapkan dengan agama politheisme Kanaan. Demikian juga kita melihat dalam kasus raja Salomo yang memiliki sampai seribu isteri + selir dari berbagai-bagai bangsa dan agama terjadilah perjumpaan antar umat berbeda agama.
Ketika umat Israel ditawan ke Babil terjadi perjumpaan dengan agama dan bangsa Babil dan Parsi, tetapi pertemuan kebangsaan dan keagamaan yang majemuk (plural) makin nyata ketika bangsa-bangsa saling berekspansi dan agama-agama saling menjalankan misi nya. Ketika bangsa Aria dari Persia memasuki India terjadi perjumpaan antara agama Hindu primitip dengan agama Veda dan ketika bangsa Arab memasuki India dimana Islam bertemu dengan Hinduisme, demikian juga ketika Buddhisme masuk ke Tibet, China, Korea dan Jepang maka terjadi perjumpaan dengan agama-agama asli di sana.
Marco Polo membawa berita ke Eropah bahwa di tempat-tempat yang
dikunjunginya temasuk China dan Indonesia, ia menjumpai banyak masyarakat dengan agama-agama yang baru diketahuinya.
Situasi ini mendorong timbulnya di kalangan orang-orang Eropah (abad XVI-XIX) yang umumnya beragama Kristen, gerakan misi yang luar biasa terjadi ketika kolonialisme menjadi tunggangan misi Kristen dimana para misionaris Kristen berjumpa dengan agama-agama lokal, dan kala itu proselitisme menjadi agenda utama mereka.
Situasi ini lebih mencuat ketika dunia mengalami modernisasi di abad ke-XX dimana perjumpaan antara bangsa-bangsa dan agama-agama makin sering terjadi dan sifatnya kompleks dan majemuk, maka terbukalah era Pluralisme khususnya Budaya dan Agama yang tidak terhindarkan yang jelas menghasilkan dampak perbenturan peradaban (clash of civilization) yang sering menghasilkan situasi konflik yang tidak damai dan sering berdarah.
Bangkitnya semangat nasionalisme pada abad ke-XX di negara-negara yang dijajah mendorong disetarakannya budaya dan agama-agama negara-negara itu dengan budaya dan agama para penjajah. Bahkan lebih dari itu, menurut Samuel Huntington dalam bukunya 'The Clash of Civilization' disebut bahwa penolakan terhadap westernisasi bahkan sering menimbulkan sikap dan permusuhan terhadap budaya dan agama para penjajah yang umumnya berasal dari negara-negara Barat terutama Eropah, dan kembalinya penduduk pribumi kepada nilai-nilai lama premordialisme baik budaya maupun agama lokal.

1.PLURALISME AGAMA DI INDONESIA

Umat Kristen di Indonesia saat ini menghadapi pluralisme budaya dan agama, apalagi dalam alam reformasi, pluralisme itu makin menjadi nyata. Dalam hubungan dengan Pluralisme Agama, dalam  tiga dasawarsa terakhir ini sudah dirintis dialog-dialog antar umat beragama yang makin dirasakan perlunya setelah dalam dasawarsa terakhir abad ke-XX pertentangan SARA makin menjadi sengit. Karena itu, pembahasan mengenai soal 'Pluralisme Agama dan Dialog' makin dirasakan perlu untuk diketahui oleh umat Kristen agar kita dapat ikut berbuat sesuatu demi kerukunan kehidupan beragama di Indonesia.
Pada dasawarsa terakhir abad ke-XX, di Indonesia telah terjadi sekitar 200 lebih kerusuhan massal yang banyak di antaranya melibatkan konflik yang berlatar belakang SARA (Suku Agama Ras dan Antar-golongan). Sejak masa kemerdekaan RI di tahun 1945, telah terjadi penghancuran/pembakaran gedung gereja mendekati 1.000 buah dimana hanya 2 buah terjadi pada masa ORLA (1945-1966) dan sisanya terjadi pada masa ORBA dan Reformasi (1966-2008), dan menarik untuk dicatat bahwa dari pengrusakan itu mayoritasnya justru terjadi pada dua dasawarsa terakhir.

Penghancuran/pembakaran bangunan tempat ibadah itu bukan saja dialami oleh Gereja (sekalipun mayoritas), tetapi juga puluhan Mesjid (Di Indonesia Timur), dan belasan Klenteng dan Vihara. Konflik SARA juga menimpa beberapa pesantren aliran Syiah dan khususnya menimpa Jemaat Ahmadyah dan Mesjid mereka dibakar. Lebih-lebih perang massal berkepanjangan yang terjadi di Maluku yang pecah sejak bulan Januari 1999 dan yang riak-riaknya terasa sampai sekarang sempat bergema di Lombok dan di tempat-tempat lain, dan pembakaran kompleks Doulos dan Setia di jantung Ibukota Negara RI menunjukkan dengan jelas konflik berlatar belakang SARA khususnya Agama sangat kental dan telah merengut ratusan jiwa melayang.
Tercabik-cabiknya masyarakat Indonesia atas kelompok-kelompok masyarakat yang berlatar belakang agama itu mendorong banyak tokoh untuk ikut memikirkan usaha-usaha dalam meredakan dan mengurangi konflik berdarah yang menimpa umat beragama itu. Setidak tidaknya sejak tahun 1970-an pihak Departemen Agama RI sudah mengusahakan pertemuan-pertemuan dialog antar umat beragama di Indonesia.
Sekalipun semula terkesan bersifat formalitas, kemudian gayung disambut oleh tokoh-tokoh agama yang ada di Indonesia seperti dari kalangan Kristen Protestan, Kristen Katolik, Islam, Hindu dan Buddha, dan sejak itu makin sering diusahakan pertemuan-pertemuan dialog antar umat beragama, baik yang berskala Nasional maupun yang berskala Internasional. Tokoh-tokoh dari agama Kristen cukup banyak ikut merintis Dialog Antar Agama.

Gereja Roma Katolik sudah memulainya sejak tahun 1960-an sebagai tindak lanjut Konsili Vatikan-II yang membuka perhatian pada agama-agama lain, dan di kalangan Kristen Protestan usaha itu terjadi sebagai gema pembicaraan yang hangat dalam Dewan Gereja Dunia (WCC) di tahun 1970-an yang kemudian diteruskan oleh Persekutuan Gereja Indonesia (PGI)
Harus diakui bahwa prakarsa dialog lebih banyak diikuti oleh teolog-teolog dari kalangan Ekumenis (mainline churches) tetapi kurang bahkan nyaris tidak diusahakan oleh kalangan Injili maupun Pentakosta/ Kharismatik. Perkembangan 'dialog' yang cenderung menuju sinkretisme agama dan sering mengorbankan iman Kristen itu memang memberi andil besar yang menyebabkan banyak juga gereja ekumenis dan kalangan Injili dan Pentakosta/Kharismatik enggan ikut terjun kedalamnya. Tetapi, bisa juga hal ini terjadi karena sikap fundamentalisme vertikalistis yang masih kuat di kalangan gereja-gereja tertentu menyebabkan mereka menjauhi pertemuan-pertemuan demikian yang dianggap bertolak belakang dengan misi PI. Sebagai contoh, pelayanan frontal misi Nehemia yang menolak nama ‘Allah’ cenderung membuka front yang menyebabkan dua penginjilnya dikenai fatwa-mati oleh Forum Ulama di Bandung pada tahun 2001. Kurangnya kesadaran akan dialog antar umat beragama bisa juga terjadi bahwa kekurang pengertian akan perbandingan agama dan dialog, dan hal ini menyebabkan masih banyak gereja- gereja enggan atau berhati-hati dalam ikut serta dalam usaha dialog antar umat beragama. Tetapi, mengingat konflik SARA di Indonesia makin meruncing dengan ekskalasi yang terus meningkat, dialog bukan saja perlu tetapi menjadi mendesak, karena itu menjadi salah satu tugas gereja untuk ikut terjun dalam usaha ini.

2.PLURALISME AGAMA DAN DIALOG

Sejak tengah kedua abad-XX mulai ada penglihatan baru menghadapi Pluralisme yang jelas tidak lagi bisa dihindari, dan mulailah orang melihat Pluralisme sebagai sesuatu yang baik sehingga diberi beberapa pengertian yang lebih positip, seperti:

"pluralisme adalah suatu situasi di mana bermacam-macam agama berinteraksi dalam suasana saling menghargai dan dilandasi kesatuan rohani meskipun mereka berbeda." (Breslauer).
"pluralisme adalah pemahaman akan kesatuan dan perbedaan, yaitu kesadaran mengenai suatu ikatan kesatuan dalam arti tertentu bersama-sama dengan kesadaran akan keterpisahan dan perpecahan kategoris" (Jacob Agus).

Bersamaan dengan berkembangnya ilmu Perbandingan/Sejarah Agama dan makin terbukanya literatur agama-agama yang bisa dipelajari semua orang di seminari teologia maupun universitas, maka terbukalah.

Pluralisme secara demokratis.
Di lingkungan Teologi Orthodoks yang bersifat mistik memang pluralisme agama sudah lama disenangi, di kalangan Roma Katolik, Konsili Vatikan-II (1962-63) telah menumbuhkan sikap yang lebih terbuka pada agama-agama lain, dan di kalangan Kristen Protestan sejak tahun 1970-an Dewan Gereja-Gereja Dunia (WCC) mulai merasakan perlunya membuka dialog dengan agama-agama lain. Ada beberapa pendapat yang berkembang dikalangan pelopor dialog antar-agama di kalangan Kristen: "agama bersifat relatif dan sejarah agama bersifat evolusi sebagai suatu gerakan manusiawi yang universal menuju kesempurnaan ... wahyu dilihat sebagai suatu gerak menuju Yang Mutlak yang tidak pernah dapat dicapai secara sempurna" (Ernst Troeltsch). "keyakinan bahwa Roh Kudus hadir dimana-mana ... dialog yang kritis dimaksudkan untuk merasuk ke dalam diri sendiri dan ke dalam penghayatan agama sendiri ... Tuhan adalah dasar keberadaan (the ground of all being)" (Paul Tillich).

"Semua agama hendaknya dipahami sebagai suatu perjumpaan yang penting dan berubah-ubah antara Yang Ilahi dan manusia ... para misionaris Kristen harus mengambil bagian dalam perjumpaan Yang Ilahi-manusia dalam agama lain dengan maksud untuk membantu perkembangannya yang evolusioner" (Wilfred Cantwell Smith).

"dialog adalah upaya untuk memahami dan menyatakan partikularitas kita bukan hanya dalam kaitan dengan warisan kita sendiri tetapi juga dalam hubungan dengan warisan rohani tetangga-tetangga" (Stanley Samartha). "kebenaran yang dikemukakan baik oleh ajaran Kristen di satu pihak maupun ajaran Hindu di lain pihak adalah universal dan akhirnya sering dianggap sebagai pendirian yang partikular dan terbatas, sedangkan sebetulnya keduanya merupakan perumusan yang memang dibatasi oleh faktor-faktor budaya, mengenai suatu kebenaran yang lebih universal" (Raimundo Panikkar).

3. REAKSI TERHADAP PLURALISME AGAMA

Ciri perbedaan antara Pluralisme dibandingkan dengan kolonialisme pada masa lalu ialah bahwa bila kolonialisme menempatkan pendatang sebagai yang lebih superior dibandingkan bangsa dan agama pribumi yang dianggap inferior, maka Pluralisme menghadirkan perjumpaan dimana setiap bangsa dan agama bertemu dalam suasana sederajat dan seimbang dalam suasana demokratis. Sebagai reaksi terhadap Pluralisme Agama yang makin menekan, setidaknya ada tiga macam reaksi yang timbul, yaitu:
(1)Fundamentalisme yaitu reaksi menolak pluralisme dan memperkukuh posisi sendiri;
(2) Proselitisme yaitu usaha mentobatkan dan usaha memindahkan agama;
(3)Sinkretisme yaitu reaksi kompromis dengan cara mencampur-adukkan kedua keyakinan agama itu.

1. Fundamentalisme
Fundamentalisme adalah suatu reaksi yang menutup diri yang ingin memurnikan ajaran agama dan menolak berhubungan dengan pihak luar, sikap ini sering berakibat kemandegan rohani, eksklusifisme yang menjurus pada sifat absolut/mutlak, bahkan militanisme dan kekejaman agama satu atas agama lain;



2. Proselitisme
Proselitisme terjadi dalam perjumpaan dengan agama-agama lain dimana agama seseorang 'dipaksa' berpindah pada keagamaan yang ditemuinya atau sebaliknya. Disini terjadi trans-budayanisasi, dimana agama sendiri ditinggalkan dan mengikuti sepenuhnya agama pihak lain atau sebaliknya.

3. Sinkretisme
Sinkretisme berusaha untuk mencari hal-hal baik dari agama lain untuk dapat diikuti bersama dengan agama sendiri. Reaksi ini memang lebih bersifat inklusif, dan kerukunan agama berkembang tetapi berkembang kearah yang relatif dan tidak jelas karena identitas semula dan identitas agama lain dicampur-adukkan. Yang jelas memang harus diakui bahwa sifat sinkretisme membawa ke situasi yang kelihatannya lebih akur dan menghindari konflik. Adakalanya seseorang memetik kebaikan dari agama lain dan memasukkan pada agamanya sendiri dan tetap menganut agama sendiri, tetapi ada kalanya kedua agama itu diikuti bersama dan melebur (seperti agama Sikh dan Tridharma);

Ke-tiga reaksi terhadap Pluralisme ini jelas tidak mungkin bisa dihindarkan, karena kita tidak lagi dapat menghindari perjumpaan dengan bangsa, budaya dan agama yang lain dalam alam modern, dan ketiga alternatif itu biasa merupakan reaksi yang terjadi bilamana ada perjumpaan antara bangsa, budaya dan terutama agama yang berbeda. Di samping ketiga bentuk reaksi terhadap Pluralisme ini, ada juga reaksi appresiasi dalam menghadapi Pluralisme yang tidak terbendung. Disini Pluralisme dianggap sebagai kesempatan untuk maju.
Dibalik itu, dalam tiga dasawarsa terakhir ini ada juga appresiasi atas pluralisme yang timbul di kalangan agama-agama. Disini Pluralisme dianggap sebagai kesempatan untuk maju bersama. Sejak tengah kedua abad ke-XX mulai ada penglihatan baru menghadapi Pluralisme yang jelas tidak lagi bisa dibendung maupun dihindari itu, dan mulailah orang melihat Pluralisme sebagai sesuatu yang baik sehingga diberi beberapa pe-ngertian yang lebih positip. Sikap ini ternyata menghasilkan reaksi ke-empat, yaitu:

4. Inklusivisme

Inklusivisme berusaha menggapai kesatuan agama-agama. Berbeda dengan eksklusivisme, disini ada usaha untuk menjadikan agama-agama yang banyak itu sebagai salah satu facet dari agama yang satu, dan berbeda dengan Sinkretisme yang mencampur adukkan agama-agama, disini agama-agama diperas menjadi satu. Usaha inklusivisme ini terlihat dari berbagai pertemuan 'dialog antar agama' yang banyak digelar baik secara nasional maupun internasional. Kuliah kuliah 'Perbandingan Agama' maupun 'Sejarah Agama' makin dipopulerkan dibanyak sekolah agama.
Inklusivisme memang berasal dari reaksi atas sikap eksklusif yang ditunjukkan beberapa kalangan agama, jadi misinya adalah membawa angin perubahan yang lebih inklusif (terbuka) dan mengurangi ekses yang dihasilkan sikap eksklusif (tertutup), tetapi dalam perkembangannya kita melihat bahwa sikap 'Inklusif' yang baik itu kemudian berkembang menjadi suatu 'faham' suatu 'isme' yang disebut 'inklusivisme', dan dalam prakteknya kelihatan pula bahwa banyak pendukung inklusivisme ini juga bersikap 'eksklusif' yang menghasilkan bukan dialog tetapi perdebatan yang panas juga. Faktanya kalangan inklusif juga cenderung menyalahkan yang eksklusif dalam agamanya sendiri, suatu sikap yang tidak inklusif. Disini kita melihat bahwa 'inklusivisme' ternyata tidak selalu dapat dihayati sepenuhnya oleh para pengikutnya sehingga sampai ke dunia internetpun inklusivisme dengan kasat mata bisa dilihat sebagai sikap tidak dewasa sama halnya dengan sikap tidak dewasa yang diperlihatkan fundamentalisme. Kenyataan ini timbul karena banyak dari mereka yang bergairah mempopulerkan inklusivisme berasal dari kalangan yang tergolong sebagai 'liberal' yang pada dasarnya tidak memperlihatkan kesetiaannya kepada iman yang historis, sehingga sikap inklusif yang ditujukan kepada agama-agama lain sulit mereka praktekkan dalam menghadapi kelompok-kelompok konservatif atau fundamentalis dalam agamanya sendiri, sehingga menghasilkan sikap yang eksklusif juga, sesuatu yang semula ingin dihindari karena kurang baik dan tidak benar.

4. PARADIGMA BARU INSKLUSIVISME
Apakah 'dialog' sekedar merupakan ungkapan keterbukaan yang menjadikan seseorang bersikap terbuka (inklusif) untuk mau mendengarkan orang lain ataukah 'dialog' sudah menjadi sesuatu yang terbuka yang telah dimasuki faham lain yang ternyata mengubah faham sendiri sehingga menghasilkan 'pergeseran paradigma iman' menuju suatu 'paradigma baru' atau 'kepercayaan baru' (inklusivisme)? Kelihatannya hal kedua ini telah terjadi di kalangan banyak pengikut 'dialog' antar agama. Dari pemikiran para perintis 'dialog agama', kita melihat ada beberapa 'paradigma baru' yang dijadikan titik tolak 'dialog agama'. Inklusivisme telah menjadi suatu agama yang baru bagi banyak peserta 'dialog' yang pada dasarnya bukan agama yang baru yang 'sinkretis' atau 'sinthesis' tetapi kemudian akan ternyata bahwa itu adalah 'agama lain'. Beberapa paradigma baru dalam dialog agama adalah:

1. Relativisme
Banyak pula teolog 'dialog agama' yang berorientasi liberal/modern yang mempercayai terjadinya 'evolusi agama' dimana agama-agama yang unik sekarang dianggap sekedar sesuatu yang bersifat relatif sesuai dengan tahap perkembangannya dan semuanya pada hakekatnya sama, yang partikularis adalah bagian dari yang universalis, inilah yang disebut sebagai 'Universalisme' (faham mengenai ke'satu'an agama). Agama dianggap berjalan secara evolusioner (evolusi agama) dari keberadaannya yang asli bersumber pada penyembahan 'kekuatan' dasar semesta dan berkembang menurut kemajuan konsepsi manusia dalam merumuskannya secara partikular.

2. Universalime
Paradigma kedua yang mirip dengan yang pertama adalah adanya 'Logika bersama mengenai Yang Satu dan Yang Banyak'. Dari perspektif filsafat dan teologi, logika bahwa suatu sumber realitas dialami dalam pluralitas cara tampaknya oleh teolog tertentu dianggap sebagai cara yang paling memuaskan untuk menjelaskan fakta pluralisme keagamaan, ini bisa disebut sebagai pendekatan yang 'Theosentris'. Sebenarnya pandangn ini didasarkan gagasan 'Veda' Hinduisme mengenai hakekat 'Yang Satu' yang disebut dengan 'banyak nama'. Pandangan mana biasa disebut sebagai 'Universalisme' dan keyakinan me-ngenai 'Yang Satu' disebut 'Monisme.' Monisme adalah faham yang meyakini adanya dasar keberadaan alam semesta yang 'Satu' yang tidak berpribadi (dibedakan dengan mono'theis'me, theis yang berpribadi).
Wilhelm Schmidt (Origin of the Idea of God) mengemukakan dengan bahasa lain bahwa semula manusia mempercayai satu Tuhan (monotheisme) sebagai 'Sebab Utama' (first cause) yang dianggap sebagai 'Tuhan yang Agung' yang universal, tetapi kesadaran ini lama-lama hilang dan berkembang menjadi kesadaran akan 'tuhan-tuhan' yang banyak (politheisme) yang partikular. Paul Tillich menyebut 'Sebab Utama' ini sebagai 'The Ground of All Being.' Pandangan ini bisa kita lihat juga pada pemikiran teolog-teolog seperti Raimundo Panikkar, Stanley Samartha dan Wilfred Cantwell Smith. Dalam buku 'God Has Many Names' karya John Hick, kita dapat menjumpai pengertian yang sama. Agama Kristen hanya dianggap salah satu yang 'partikular' dari yang satu yang 'universal.'
Selanjutnya, faham universal-isme ini diperjelas lagi secara mistik dalam hubungan kesatuan manusia dengan 'Yang Satu' itu.


3. Mistisisme
Mistisisme adalah keyakinan mengenai 'Kesatuan manusia yang sezat dengan Sumbernya.' (yaitu Yang Satu itu). Dalam pengertian Zen Buddhisme dimengerti mengenai penyatuan manusia dengan jati dirinya menuju yang 'tidak ada' (an-atman) yang mirip dengan penyatuan manusia dengan jati dirinya yang 'ada' (atman) yang sezat dengan 'Yang Satu' dalam Hinduisme (atman adalah Brahman).

Paul Tillich seorang teolog existentialist dalam ucapannya yang dikutip pada bagian terdahulu mengajak manusia untuk lebih lanjut ber-alih dari 'theosentris' ke arah 'allah di atas allah' yang disebutnya sebagai 'dasar keberadaan' (the ground of all being). Baginya Roh Kudus dianggap hadir dimana-mana sebagai nafas semesta yang ber-sumber pada dasar keberadaan itu. Mirip dengan Tillich adalah pandangan Wilfred Cantwell Smith yang dalam bukunya 'The Faith of Other Men' menyetarakan konsep 'Kristus yang hidup di dalamku' yang diucapkan Paulus dengan konsep mistik tentang 'Atman' dalam mistisisme/pantheisme Hinduisme.

Dalam Hinduisme memang ada ucapan terkenal yang disebut 'tat twam asi' yang berarti 'engkau adalah realitas itu, engkau adalah Tuhan'. Kenyataan mana dianalogikan dengan konsep 'Atman yang sama dengan Brahman' Hinduisme atau tepatnya 'di dalam manusia Brahman menjadi Atman'. Smith bukan saja menyamakan konsep 'tat twam asi' dengan 'Kristus yang hidup di dalamku' tetapi juga dengan pengertian 'manusia sebagai gambar Allah' (Imago Dei).

Bila paradigma 1 sampai 3 mengungkapkan paradigma baru di kalangan 'dialog agama' secara umum, maka di kalangan teolog Kristen, ada paradigma ke-4 yang merupakan pengejawantahan ketiga paradigma di atas ke dalam kekristenan, yaitu 'usaha menyesuaikan status Yesus dalam kerangka paradigma baru itu.'

4. De-Kristosentrisme
De-Kristosentrisme adalah usaha 'pemikirkan kembali Kristologi'. Karl Barth, sekalipun menyamakan agama Kristen dengan agama-agama lain yang dianggapnya merupakan usaha usaha manusia yang sia-sia untuk mengenal Allah, menyebut tentang Kristologi yang masih 'unik dan eksklusif' dimana hanya melalui wahyu Yesus Kristus manusia didamaikan dengan Allah. Lebih longgar dari Barth, Karl Rahner, seorang teolog Katolik, tetap menegaskan keesklusivan dan universalitas Kristus dan sekaligus menghormati kehendak Allah untuk menyelamatkan yang sifatnya universal dan menganggap pengikut-pengikut agama lain sebagai 'orang-orang Kristen anonim'.
Pemikiran ini kemudian makin menjauh dari pendekatan yang Kristosentris dan beberapa teolog mengemukakan pendapat bahwa 'Yesus bukan dianggap sebagai Kristus yang unik' (de- Kristosentrisme) tetapi hanya sebagai salah satu dari yang banyak itu (avatar). Pandangan yang menurunkan derajat Kristus menjadi sekedar Yesus dikemukakan antara lain oleh Wilfred Cantwell Smith, pandangan mana disambut oleh banyak teolog-teolog liberal/modern yang umumnya menjadi pengikut 'dialog agama', termasuk yang mempopulerkan 'Jesus Seminar.’
Dari ke-empat pradigma baru 'inklusifisme' di atas kita dapat melihat sampai dimana usaha 'dialog yang inklusif' sudah menyeret banyak pengikutnya untuk mengikuti suatu 'agama baru' yang sebenarnya bukan baru tetapi kenyataannya adalah 'agama lain'. Ini dibahas pada bagian selanjutnya.

5. PROSELITISME DALAM BENTUK BARU?

Tidak dapat disangkal bahwa Pluralisme dengan 'dialog agama'nya telah membawa angin segar dalam perjumpaan agama-agama, tetapi melihat beberapa 'paradigma baru' ternyata telah dipromosikan dalam bentuk 'inklusivisme', kita patut mempertanyakan apakah 'dialog kerukunan antar umat beragama' yang dijiwai paradigma baru inklusivisme demikian bersifat 'inklusif' atau membawa pada 'eksklusivisme' baru?
Dialog yang motivasinya baik ternyata telah kita ketahui pada bagian sebelum ini sebagai sarat dipengaruhi paradigma baru relativisme agama yang merupakan reduksionisme yang mencoba untuk 'membesarkan kesamaan dan mengabaikan perbedaan' bahwa ada perbedaan yang azali yang mustahil di pertemukan.

Disadari oleh banyak pihak agama bahwa bila kita melihat paradigma agama-agama yang ada, setidaknya ada tiga faham yang tidak mudah untuk dipertemukan, yaitu antara yang bersifat: (1) Theisme (Ke-Tuhan-an yang berpribadi dan transenden dalam agama wahyu, seperti agama Yahudi, Kristen dan Islam); (2) Monisme (ke-Tuhan-an yang tidak berpribadi dan imanen, seperti agama Hindu dan Tao); (3) Non-Theisme (tidak mempercayai Tuhan yang transenden dan yang 'ada', seperti agama Buddha).

Dialog agama umumnya mengabaikan perbedaan ini demi tujuan kerukunan. Tepat seperti yang disinyalir oleh Harold Coward, bahwa:
"Masalah yang belum terselesaikan untuk semua pendekatan ini ialah penolakan penganut Budha dan Advaita Vedanta terhadap Allah sebagai realitas penghabisan. Para teolog Kristen yang paling terbuka terhadap agama Budha dan agama Hindu, tampaknya hampir dengan sengaja menutup mata terhadap masalah ini" (Pluralisme tantangan bagi agama-agama, h.86).
Lebih dari itu dewasa ini kita menyaksikan kebangkitan New Age dan Okultisme yang luar biasa yang sekarang sudah menempatkan diri dalam kedudukan yang terhormat dimata masyarakat umum (Di dunia Barat, gerakan 'Interfaith' sudah melibatkan tokoh-tokoh Satanic). Karena hal itu, kelihatannya perlu ditambahkan paradigma agama yang ke-empat, yaitu: (4) Demonisme (Ke-tuhan-an transenden yang berlawanan dengan 'Theisme', seperti agama Satanic).
Kita dapat melihat bahwa dialog antar agama 'Theisme' bahkan se-rumpun 'Semitic' saja sudah sukar, apalagi antara agama 'Theisme' dan 'Monisme/Non-Theisme' seperti yang disinyalir Harold Coward. Lebih lagi dialog 'Theisme' dan 'Demonisme' lebih tidak mungkin lagi bahkan mustahil. Memang dalam pemikiran liberalisme rasional, ada kecenderungan kuat 'penolakan terhadap hal-hal yang bersifat transenden dan supranatural', itulah sebabnya dapat dimaklumi bahwa 'dialog-agama' yang banyak didukung kalangan teolog berfaham liberal cenderung menghasilkan penolakan terhadap keberadaan 'Theis' (dan juga realita Demon) yang transenden, suatu pengingkaran akan realita supranatural.

Dari dialog yang belum bisa mempertemukan 'paradigma-paradigma' tentang hakekat 'Yang Satu' itu, tentulah agak sulit bagi kita bila kita mencoba untuk menjadikannya sebagai 'kebenaran universal' dan semua agama (termasuk Demonisme?) dianggap 'jalan-jalan partikular'. Menutup mata terhadap perbedaan hakekat ini tidak akan memecahkan masalah sekalipun kelihatannya menarik bak fatamorgana.

Kita harus jujur mengakui bahwa motivasi yang mengajak 'dialog demi kerukunan agama' adalah usaha yang baik, berguna dan patut didukung, tetapi perlu dihindari sikap reduksionisme yang menutup mata terhadap realita sebenarnya demi kesatuan itu sendiri, sebab kita dapat terjebak kembali pada sikap 'eksklusivisme baru' ata u 'proselitisme baru' yang semula ditolak oleh semangat 'dialog antar agama' itu.
Sebagai contoh, 'Proselitisme' yang dianggap sebagai mentobatkan seseorang agar berpindah agama (semacam kristenisasi atau islamisasi) ditolak di kalangan dialog, tetapi dengan mengarahkan paradigma dialog menuju prinsip keyakinan 'Universalisme' yang bersifat 'Monisme' sebenarnya para pedialog telah melakukan proselitisme gaya baru yaitu mentobatkan seseorang yang beriman 'Theisme' agar berpindah menjadi pengikut agama lain yaitu 'Monisme' (dan/atau Non-Theisme). Ini bukanlah sikap 'inklusif' tetapi 'iman agama inklusif' atau 'inklusivisme', usaha 'monisisasi' dapat juga disebut indentik dan sederajat dengan 'kristenisasi' maupun 'islamisasi' yang mentobatkan orang dengan cara memaksa.
Proselitisme baru bisa juga ber-bentuk usaha untuk mengubah pengertian paradigma agama sendiri dengan paradigma agama lain. Sebagai contoh yang disebutkan terdahulu bahwa Wilfred Cantwell Smith berusaha memberi pengertian 'atman' sebagai 'Kristus yang hidup dalamku'. Ini adalah usaha mengubah pengertian lama Kristen dimana jatidiri yang sudah ada sejak semula yang berperilaku berdosa yang diubah dengan kehadiran Kristus sebagai penolong ketika seseorang baru menjadi percaya, menjadi konsep Atman yang diakui oleh penganutnya sebagai identik dengan Brahman dan adalah ilahi sejak awalnya (tat twam asi). Demikian juga menyamakan konsep manusia 'atman' (tuhan yang imanen) dengan 'Imago Dei' (gambar Tuhan yang transenden) oleh Smith jelas merupakan usaha proselitisme yang tidak sesuai realitas.
Selesai.
Disalin dari :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.