MEMPELAJARI USAHA KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA DALAM KONTEKS
PLURALISME
Oleh : Drs.simon
Arnold Julian Jacob
Masyarakat primitip cenderung hidup dalam
situasi terisolasikan, eksklusip dan tertutup, dalam hal demikian perjumpaan
dengan agama-agama lain agaknya kurang terjadi. Dalam masyarakat yang kemudian
berkembang, lalu-lintas orang melebihi batas antar-negara sehingga mulai
terjadi perjumpaan dengan agama-agama yang lain secara terbuka.
Sebenarnya sudah sejak lama terjadi
perjumpaan antar agama-agama. Ketika Abraham memasuki negeri Kanaan,
monotheisme yang dipercayainya diperhadapkan dengan agama politheisme Kanaan.
Demikian juga kita melihat dalam kasus raja Salomo yang memiliki sampai seribu
isteri + selir dari berbagai-bagai bangsa dan agama terjadilah perjumpaan antar
umat berbeda agama.
Ketika umat Israel ditawan ke Babil
terjadi perjumpaan dengan agama dan bangsa Babil dan Parsi, tetapi pertemuan
kebangsaan dan keagamaan yang majemuk (plural) makin nyata ketika bangsa-bangsa
saling berekspansi dan agama-agama saling menjalankan misi nya. Ketika bangsa
Aria dari Persia memasuki India terjadi perjumpaan antara agama Hindu primitip
dengan agama Veda dan ketika bangsa Arab memasuki India dimana Islam bertemu
dengan Hinduisme, demikian juga ketika Buddhisme masuk ke Tibet, China, Korea
dan Jepang maka terjadi perjumpaan dengan agama-agama asli di sana.
Marco Polo membawa berita ke Eropah
bahwa di tempat-tempat yang
dikunjunginya temasuk China dan
Indonesia, ia menjumpai banyak masyarakat dengan agama-agama yang baru
diketahuinya.
Situasi ini mendorong timbulnya di
kalangan orang-orang Eropah (abad XVI-XIX) yang umumnya beragama Kristen,
gerakan misi yang luar biasa terjadi ketika kolonialisme menjadi tunggangan
misi Kristen dimana para misionaris Kristen berjumpa dengan agama-agama lokal,
dan kala itu proselitisme menjadi agenda utama mereka.
Situasi ini lebih mencuat ketika dunia
mengalami modernisasi
di abad ke-XX dimana perjumpaan antara bangsa-bangsa dan agama-agama makin
sering terjadi dan sifatnya kompleks dan majemuk, maka terbukalah era
Pluralisme khususnya Budaya dan Agama yang tidak terhindarkan yang jelas
menghasilkan dampak perbenturan peradaban (clash of civilization) yang sering
menghasilkan situasi konflik yang tidak damai dan sering berdarah.
Bangkitnya semangat nasionalisme pada
abad ke-XX di negara-negara yang dijajah mendorong disetarakannya budaya dan
agama-agama negara-negara itu dengan budaya dan agama para penjajah. Bahkan
lebih dari itu, menurut Samuel Huntington dalam bukunya 'The Clash of
Civilization' disebut bahwa penolakan terhadap westernisasi bahkan sering
menimbulkan sikap dan permusuhan terhadap budaya dan agama para penjajah yang
umumnya berasal dari negara-negara Barat terutama Eropah, dan kembalinya
penduduk pribumi kepada nilai-nilai lama premordialisme baik budaya maupun
agama lokal.
1.PLURALISME
AGAMA DI INDONESIA
Umat Kristen di Indonesia saat ini
menghadapi pluralisme budaya dan agama, apalagi dalam alam reformasi,
pluralisme itu makin menjadi nyata. Dalam hubungan dengan Pluralisme Agama,
dalam tiga dasawarsa terakhir ini sudah dirintis
dialog-dialog antar umat beragama yang makin dirasakan perlunya setelah dalam
dasawarsa terakhir abad ke-XX pertentangan SARA makin menjadi sengit. Karena
itu, pembahasan mengenai soal 'Pluralisme Agama dan Dialog' makin dirasakan
perlu untuk diketahui oleh umat Kristen agar kita dapat ikut berbuat sesuatu
demi kerukunan kehidupan beragama di Indonesia.
Pada dasawarsa terakhir abad ke-XX, di
Indonesia telah terjadi sekitar 200
lebih kerusuhan massal yang banyak di antaranya melibatkan konflik yang
berlatar belakang SARA (Suku Agama Ras dan Antar-golongan). Sejak masa kemerdekaan
RI di tahun 1945, telah terjadi penghancuran/pembakaran
gedung gereja mendekati 1.000 buah
dimana hanya 2 buah terjadi pada
masa ORLA (1945-1966) dan sisanya terjadi pada masa ORBA dan Reformasi
(1966-2008), dan menarik untuk dicatat bahwa dari pengrusakan itu mayoritasnya
justru terjadi pada dua dasawarsa terakhir.
Penghancuran/pembakaran bangunan
tempat ibadah itu bukan saja dialami oleh Gereja (sekalipun mayoritas), tetapi
juga puluhan Mesjid (Di Indonesia Timur), dan belasan Klenteng dan Vihara. Konflik
SARA juga menimpa beberapa pesantren aliran Syiah dan khususnya menimpa Jemaat
Ahmadyah dan Mesjid mereka dibakar. Lebih-lebih perang massal berkepanjangan
yang terjadi di Maluku yang pecah sejak bulan Januari 1999 dan yang
riak-riaknya terasa sampai sekarang sempat bergema di Lombok dan di
tempat-tempat lain, dan pembakaran kompleks Doulos dan Setia di jantung Ibukota
Negara RI menunjukkan dengan jelas konflik berlatar belakang SARA khususnya
Agama sangat kental dan telah merengut ratusan jiwa melayang.
Tercabik-cabiknya masyarakat Indonesia
atas kelompok-kelompok masyarakat yang berlatar belakang agama itu mendorong
banyak tokoh untuk ikut memikirkan usaha-usaha dalam meredakan dan mengurangi
konflik berdarah yang menimpa umat beragama itu. Setidak tidaknya sejak tahun
1970-an pihak Departemen Agama RI sudah mengusahakan pertemuan-pertemuan dialog
antar umat beragama di Indonesia.
Sekalipun semula terkesan bersifat
formalitas, kemudian gayung disambut oleh tokoh-tokoh agama yang ada di
Indonesia seperti dari kalangan Kristen Protestan, Kristen Katolik, Islam,
Hindu dan Buddha, dan sejak itu makin sering diusahakan pertemuan-pertemuan
dialog antar umat beragama, baik yang berskala Nasional maupun yang berskala
Internasional. Tokoh-tokoh dari agama Kristen cukup banyak ikut merintis Dialog
Antar Agama.
Gereja Roma Katolik sudah memulainya
sejak tahun 1960-an sebagai tindak lanjut Konsili Vatikan-II yang membuka
perhatian pada agama-agama lain, dan di kalangan Kristen Protestan usaha itu
terjadi sebagai gema pembicaraan yang hangat dalam Dewan Gereja Dunia (WCC) di
tahun 1970-an yang kemudian diteruskan oleh Persekutuan Gereja Indonesia (PGI)
Harus diakui bahwa prakarsa dialog
lebih banyak diikuti oleh teolog-teolog dari kalangan Ekumenis (mainline churches)
tetapi kurang bahkan nyaris tidak diusahakan oleh kalangan Injili maupun
Pentakosta/ Kharismatik. Perkembangan 'dialog' yang cenderung menuju
sinkretisme agama dan sering mengorbankan iman Kristen itu memang memberi andil
besar yang menyebabkan banyak juga gereja ekumenis dan kalangan Injili dan
Pentakosta/Kharismatik enggan ikut terjun kedalamnya. Tetapi, bisa juga hal ini
terjadi karena sikap fundamentalisme vertikalistis yang masih kuat di kalangan
gereja-gereja tertentu menyebabkan mereka menjauhi pertemuan-pertemuan demikian
yang dianggap bertolak belakang dengan misi PI. Sebagai contoh, pelayanan
frontal misi Nehemia yang menolak nama ‘Allah’ cenderung membuka front yang
menyebabkan dua penginjilnya dikenai fatwa-mati oleh Forum Ulama di Bandung
pada tahun 2001. Kurangnya kesadaran akan dialog antar umat beragama bisa juga
terjadi bahwa kekurang pengertian akan perbandingan agama dan dialog, dan hal
ini menyebabkan masih banyak gereja- gereja enggan atau berhati-hati dalam ikut
serta dalam usaha dialog antar umat beragama. Tetapi, mengingat konflik SARA di
Indonesia makin meruncing dengan ekskalasi yang terus meningkat, dialog bukan
saja perlu tetapi menjadi mendesak, karena itu menjadi salah satu tugas gereja
untuk ikut terjun dalam usaha ini.
2.PLURALISME
AGAMA DAN DIALOG
Sejak tengah kedua abad-XX mulai ada
penglihatan baru menghadapi Pluralisme yang jelas tidak lagi bisa dihindari,
dan mulailah orang melihat Pluralisme sebagai sesuatu yang baik sehingga diberi
beberapa pengertian yang lebih positip, seperti:
"pluralisme adalah suatu situasi di mana bermacam-macam agama berinteraksi dalam suasana saling menghargai dan dilandasi kesatuan rohani meskipun mereka berbeda." (Breslauer).
"pluralisme adalah suatu situasi di mana bermacam-macam agama berinteraksi dalam suasana saling menghargai dan dilandasi kesatuan rohani meskipun mereka berbeda." (Breslauer).
"pluralisme adalah pemahaman akan kesatuan dan perbedaan, yaitu
kesadaran mengenai suatu ikatan kesatuan dalam arti tertentu bersama-sama
dengan kesadaran akan keterpisahan dan perpecahan kategoris" (Jacob Agus).
Bersamaan dengan berkembangnya ilmu Perbandingan/Sejarah Agama
dan makin terbukanya literatur agama-agama yang bisa dipelajari semua orang di
seminari teologia maupun universitas, maka terbukalah.
Pluralisme
secara demokratis.
Di lingkungan Teologi Orthodoks yang
bersifat mistik memang pluralisme agama sudah lama disenangi, di kalangan Roma
Katolik, Konsili Vatikan-II (1962-63) telah menumbuhkan sikap yang lebih
terbuka pada agama-agama lain, dan di kalangan Kristen Protestan sejak tahun
1970-an Dewan Gereja-Gereja Dunia (WCC) mulai merasakan perlunya membuka dialog
dengan agama-agama lain. Ada beberapa pendapat yang berkembang dikalangan
pelopor dialog antar-agama di kalangan Kristen: "agama bersifat relatif
dan sejarah agama bersifat evolusi sebagai suatu gerakan manusiawi yang
universal menuju kesempurnaan ... wahyu dilihat sebagai suatu gerak menuju Yang
Mutlak yang tidak pernah dapat dicapai secara sempurna" (Ernst Troeltsch).
"keyakinan bahwa Roh Kudus hadir dimana-mana ... dialog yang kritis
dimaksudkan untuk merasuk ke dalam diri sendiri dan ke dalam penghayatan agama
sendiri ... Tuhan adalah dasar keberadaan (the ground of all being)" (Paul
Tillich).
"Semua agama hendaknya dipahami sebagai suatu perjumpaan yang penting dan berubah-ubah antara Yang Ilahi dan manusia ... para misionaris Kristen harus mengambil bagian dalam perjumpaan Yang Ilahi-manusia dalam agama lain dengan maksud untuk membantu perkembangannya yang evolusioner" (Wilfred Cantwell Smith).
"dialog adalah upaya untuk memahami dan menyatakan partikularitas kita bukan hanya dalam kaitan dengan warisan kita sendiri tetapi juga dalam hubungan dengan warisan rohani tetangga-tetangga" (Stanley Samartha). "kebenaran yang dikemukakan baik oleh ajaran Kristen di satu pihak maupun ajaran Hindu di lain pihak adalah universal dan akhirnya sering dianggap sebagai pendirian yang partikular dan terbatas, sedangkan sebetulnya keduanya merupakan perumusan yang memang dibatasi oleh faktor-faktor budaya, mengenai suatu kebenaran yang lebih universal" (Raimundo Panikkar).
3. REAKSI TERHADAP PLURALISME AGAMA
Ciri perbedaan antara Pluralisme dibandingkan
dengan kolonialisme pada masa lalu ialah bahwa bila kolonialisme menempatkan
pendatang sebagai yang lebih superior dibandingkan bangsa dan agama pribumi
yang dianggap inferior, maka Pluralisme menghadirkan perjumpaan dimana setiap
bangsa dan agama bertemu dalam suasana sederajat dan seimbang dalam suasana
demokratis. Sebagai reaksi terhadap Pluralisme Agama yang makin menekan, setidaknya ada tiga macam
reaksi yang timbul, yaitu:
(1)Fundamentalisme yaitu reaksi
menolak pluralisme dan memperkukuh
posisi sendiri;
(2) Proselitisme yaitu usaha mentobatkan dan usaha
memindahkan agama;
(3)Sinkretisme yaitu reaksi kompromis
dengan cara mencampur-adukkan
kedua keyakinan agama itu.
1. Fundamentalisme
Fundamentalisme adalah suatu reaksi
yang menutup diri yang ingin memurnikan ajaran agama dan menolak berhubungan
dengan pihak luar, sikap ini sering berakibat kemandegan rohani, eksklusifisme
yang menjurus pada sifat absolut/mutlak, bahkan militanisme dan kekejaman agama
satu atas agama lain;
2. Proselitisme
Proselitisme terjadi dalam perjumpaan
dengan agama-agama lain dimana agama seseorang 'dipaksa' berpindah pada
keagamaan yang ditemuinya atau sebaliknya. Disini terjadi trans-budayanisasi,
dimana agama sendiri ditinggalkan dan mengikuti sepenuhnya agama pihak lain
atau sebaliknya.
3.
Sinkretisme
Sinkretisme berusaha untuk mencari
hal-hal baik dari agama lain untuk dapat diikuti bersama dengan agama sendiri.
Reaksi ini memang lebih bersifat inklusif, dan kerukunan agama berkembang
tetapi berkembang kearah yang relatif dan tidak jelas karena identitas semula
dan identitas agama lain dicampur-adukkan. Yang jelas memang harus diakui bahwa
sifat sinkretisme membawa ke situasi yang kelihatannya lebih akur dan
menghindari konflik. Adakalanya seseorang memetik kebaikan dari agama lain dan
memasukkan pada agamanya sendiri dan tetap menganut agama sendiri, tetapi ada
kalanya kedua agama itu diikuti bersama dan melebur (seperti agama Sikh dan
Tridharma);
Ke-tiga reaksi terhadap Pluralisme ini
jelas tidak mungkin bisa dihindarkan, karena kita tidak lagi dapat menghindari
perjumpaan dengan bangsa, budaya dan agama yang lain dalam alam modern, dan
ketiga alternatif itu biasa merupakan reaksi yang terjadi bilamana ada
perjumpaan antara bangsa, budaya dan terutama agama yang berbeda. Di samping
ketiga bentuk reaksi terhadap Pluralisme ini, ada juga reaksi appresiasi dalam
menghadapi Pluralisme yang tidak terbendung. Disini Pluralisme dianggap sebagai
kesempatan untuk maju.
Dibalik itu, dalam tiga dasawarsa
terakhir ini ada juga appresiasi atas pluralisme yang timbul di kalangan
agama-agama. Disini Pluralisme dianggap sebagai kesempatan untuk maju bersama.
Sejak tengah kedua abad ke-XX mulai ada penglihatan baru menghadapi Pluralisme
yang jelas tidak lagi bisa dibendung maupun dihindari itu, dan mulailah orang
melihat Pluralisme sebagai sesuatu yang baik sehingga diberi beberapa
pe-ngertian yang lebih positip. Sikap ini ternyata menghasilkan reaksi ke-empat,
yaitu:
4.
Inklusivisme
Inklusivisme berusaha menggapai kesatuan
agama-agama. Berbeda dengan eksklusivisme, disini ada usaha untuk menjadikan
agama-agama yang banyak itu sebagai salah satu facet dari agama yang satu, dan
berbeda dengan Sinkretisme yang mencampur adukkan agama-agama, disini
agama-agama diperas menjadi satu. Usaha inklusivisme ini terlihat dari berbagai
pertemuan 'dialog antar agama' yang banyak digelar baik secara nasional maupun
internasional. Kuliah kuliah 'Perbandingan Agama' maupun 'Sejarah Agama' makin
dipopulerkan dibanyak sekolah agama.
Inklusivisme memang berasal dari
reaksi atas sikap eksklusif yang ditunjukkan beberapa kalangan agama, jadi
misinya adalah membawa angin perubahan yang lebih inklusif (terbuka) dan
mengurangi ekses yang dihasilkan sikap eksklusif (tertutup), tetapi dalam perkembangannya
kita melihat bahwa sikap 'Inklusif' yang baik itu kemudian berkembang menjadi
suatu 'faham' suatu 'isme' yang disebut 'inklusivisme', dan dalam prakteknya
kelihatan pula bahwa banyak pendukung inklusivisme ini juga bersikap
'eksklusif' yang menghasilkan bukan dialog tetapi perdebatan yang panas juga.
Faktanya kalangan inklusif juga cenderung menyalahkan yang eksklusif dalam
agamanya sendiri, suatu sikap yang tidak inklusif. Disini kita melihat bahwa
'inklusivisme' ternyata tidak selalu dapat dihayati sepenuhnya oleh para
pengikutnya sehingga sampai ke dunia internetpun inklusivisme dengan kasat mata
bisa dilihat sebagai sikap tidak dewasa sama halnya dengan sikap tidak dewasa
yang diperlihatkan fundamentalisme. Kenyataan ini timbul karena banyak dari
mereka yang bergairah mempopulerkan inklusivisme berasal dari kalangan yang
tergolong sebagai 'liberal' yang pada dasarnya tidak memperlihatkan
kesetiaannya kepada iman yang historis, sehingga sikap inklusif yang ditujukan
kepada agama-agama lain sulit mereka praktekkan dalam menghadapi
kelompok-kelompok konservatif atau fundamentalis dalam agamanya sendiri,
sehingga menghasilkan sikap yang eksklusif juga, sesuatu yang semula ingin
dihindari karena kurang baik dan tidak benar.
4. PARADIGMA BARU INSKLUSIVISME
Apakah 'dialog' sekedar merupakan
ungkapan keterbukaan yang menjadikan seseorang bersikap terbuka (inklusif)
untuk mau mendengarkan orang lain ataukah 'dialog' sudah menjadi sesuatu yang
terbuka yang telah dimasuki faham lain yang ternyata mengubah faham sendiri
sehingga menghasilkan 'pergeseran paradigma iman' menuju suatu 'paradigma baru'
atau 'kepercayaan baru' (inklusivisme)? Kelihatannya hal kedua ini telah
terjadi di kalangan banyak pengikut 'dialog' antar agama. Dari pemikiran para
perintis 'dialog agama', kita melihat ada beberapa 'paradigma baru' yang
dijadikan titik tolak 'dialog agama'. Inklusivisme telah menjadi suatu agama
yang baru bagi banyak peserta 'dialog' yang pada dasarnya bukan agama yang baru
yang 'sinkretis' atau 'sinthesis' tetapi kemudian akan ternyata bahwa itu
adalah 'agama lain'. Beberapa paradigma baru dalam dialog agama adalah:
1.
Relativisme
Banyak pula teolog 'dialog agama' yang
berorientasi liberal/modern yang mempercayai terjadinya 'evolusi agama' dimana
agama-agama yang unik sekarang dianggap sekedar sesuatu yang bersifat relatif
sesuai dengan tahap perkembangannya dan semuanya pada hakekatnya sama, yang
partikularis adalah bagian dari yang universalis, inilah yang disebut sebagai
'Universalisme' (faham mengenai ke'satu'an agama). Agama dianggap berjalan
secara evolusioner (evolusi agama) dari keberadaannya yang asli bersumber pada
penyembahan 'kekuatan' dasar semesta dan berkembang menurut kemajuan konsepsi
manusia dalam merumuskannya secara partikular.
2. Universalime
Paradigma kedua yang mirip dengan yang
pertama adalah adanya 'Logika bersama mengenai Yang Satu dan Yang Banyak'. Dari
perspektif filsafat dan teologi, logika bahwa suatu sumber realitas dialami
dalam pluralitas cara tampaknya oleh teolog tertentu dianggap sebagai cara yang
paling memuaskan untuk menjelaskan fakta pluralisme keagamaan, ini bisa disebut
sebagai pendekatan yang 'Theosentris'. Sebenarnya pandangn ini didasarkan
gagasan 'Veda' Hinduisme mengenai hakekat 'Yang Satu' yang disebut dengan
'banyak nama'. Pandangan mana biasa disebut sebagai 'Universalisme' dan
keyakinan me-ngenai 'Yang Satu' disebut 'Monisme.' Monisme adalah faham yang
meyakini adanya dasar keberadaan alam semesta yang 'Satu' yang tidak berpribadi
(dibedakan dengan mono'theis'me, theis yang berpribadi).
Wilhelm Schmidt (Origin of the Idea of
God) mengemukakan dengan bahasa lain bahwa semula manusia mempercayai satu
Tuhan (monotheisme) sebagai 'Sebab Utama' (first cause) yang dianggap sebagai
'Tuhan yang Agung' yang universal, tetapi kesadaran ini lama-lama hilang dan
berkembang menjadi kesadaran akan 'tuhan-tuhan' yang banyak (politheisme) yang
partikular. Paul Tillich menyebut 'Sebab Utama' ini sebagai 'The Ground of All
Being.' Pandangan ini bisa kita lihat juga pada pemikiran teolog-teolog seperti
Raimundo Panikkar, Stanley Samartha dan Wilfred Cantwell Smith. Dalam buku 'God
Has Many Names' karya John Hick, kita dapat menjumpai pengertian yang sama.
Agama Kristen hanya dianggap salah satu yang 'partikular' dari yang satu yang
'universal.'
Selanjutnya, faham universal-isme ini
diperjelas lagi secara mistik dalam hubungan kesatuan manusia dengan 'Yang Satu'
itu.
3. Mistisisme
Mistisisme adalah keyakinan mengenai
'Kesatuan manusia yang sezat dengan Sumbernya.' (yaitu Yang Satu itu). Dalam
pengertian Zen Buddhisme dimengerti mengenai penyatuan manusia dengan jati
dirinya menuju yang 'tidak ada' (an-atman) yang mirip dengan penyatuan manusia
dengan jati dirinya yang 'ada' (atman) yang sezat dengan 'Yang Satu' dalam
Hinduisme (atman adalah Brahman).
Paul Tillich seorang teolog existentialist dalam ucapannya yang dikutip pada bagian terdahulu mengajak manusia untuk lebih lanjut ber-alih dari 'theosentris' ke arah 'allah di atas allah' yang disebutnya sebagai 'dasar keberadaan' (the ground of all being). Baginya Roh Kudus dianggap hadir dimana-mana sebagai nafas semesta yang ber-sumber pada dasar keberadaan itu. Mirip dengan Tillich adalah pandangan Wilfred Cantwell Smith yang dalam bukunya 'The Faith of Other Men' menyetarakan konsep 'Kristus yang hidup di dalamku' yang diucapkan Paulus dengan konsep mistik tentang 'Atman' dalam mistisisme/pantheisme Hinduisme.
Dalam Hinduisme memang ada ucapan terkenal yang disebut 'tat twam asi' yang berarti 'engkau adalah realitas itu, engkau adalah Tuhan'. Kenyataan mana dianalogikan dengan konsep 'Atman yang sama dengan Brahman' Hinduisme atau tepatnya 'di dalam manusia Brahman menjadi Atman'. Smith bukan saja menyamakan konsep 'tat twam asi' dengan 'Kristus yang hidup di dalamku' tetapi juga dengan pengertian 'manusia sebagai gambar Allah' (Imago Dei).
Paul Tillich seorang teolog existentialist dalam ucapannya yang dikutip pada bagian terdahulu mengajak manusia untuk lebih lanjut ber-alih dari 'theosentris' ke arah 'allah di atas allah' yang disebutnya sebagai 'dasar keberadaan' (the ground of all being). Baginya Roh Kudus dianggap hadir dimana-mana sebagai nafas semesta yang ber-sumber pada dasar keberadaan itu. Mirip dengan Tillich adalah pandangan Wilfred Cantwell Smith yang dalam bukunya 'The Faith of Other Men' menyetarakan konsep 'Kristus yang hidup di dalamku' yang diucapkan Paulus dengan konsep mistik tentang 'Atman' dalam mistisisme/pantheisme Hinduisme.
Dalam Hinduisme memang ada ucapan terkenal yang disebut 'tat twam asi' yang berarti 'engkau adalah realitas itu, engkau adalah Tuhan'. Kenyataan mana dianalogikan dengan konsep 'Atman yang sama dengan Brahman' Hinduisme atau tepatnya 'di dalam manusia Brahman menjadi Atman'. Smith bukan saja menyamakan konsep 'tat twam asi' dengan 'Kristus yang hidup di dalamku' tetapi juga dengan pengertian 'manusia sebagai gambar Allah' (Imago Dei).
Bila paradigma 1 sampai 3
mengungkapkan paradigma baru di kalangan 'dialog agama' secara umum, maka di
kalangan teolog Kristen, ada paradigma ke-4 yang merupakan pengejawantahan
ketiga paradigma di atas ke dalam kekristenan, yaitu 'usaha menyesuaikan status
Yesus dalam kerangka paradigma baru itu.'
4.
De-Kristosentrisme
De-Kristosentrisme adalah usaha
'pemikirkan kembali Kristologi'. Karl Barth, sekalipun menyamakan agama Kristen
dengan agama-agama lain yang dianggapnya merupakan usaha usaha manusia yang
sia-sia untuk mengenal Allah, menyebut tentang Kristologi yang masih 'unik dan
eksklusif' dimana hanya melalui wahyu Yesus Kristus manusia didamaikan dengan
Allah. Lebih longgar dari Barth, Karl Rahner, seorang teolog Katolik, tetap
menegaskan keesklusivan dan universalitas Kristus dan sekaligus menghormati
kehendak Allah untuk menyelamatkan yang sifatnya universal dan menganggap
pengikut-pengikut agama lain sebagai 'orang-orang Kristen anonim'.
Pemikiran ini kemudian makin menjauh
dari pendekatan yang Kristosentris dan beberapa teolog mengemukakan pendapat
bahwa 'Yesus bukan dianggap sebagai Kristus yang unik' (de- Kristosentrisme)
tetapi hanya sebagai salah satu dari yang banyak itu (avatar). Pandangan yang
menurunkan derajat Kristus menjadi sekedar Yesus dikemukakan antara lain oleh
Wilfred Cantwell Smith, pandangan mana disambut oleh banyak teolog-teolog
liberal/modern yang umumnya menjadi pengikut 'dialog agama', termasuk yang mempopulerkan
'Jesus Seminar.’
Dari ke-empat pradigma baru
'inklusifisme' di atas kita dapat melihat sampai dimana usaha 'dialog yang
inklusif' sudah menyeret banyak pengikutnya untuk mengikuti suatu 'agama baru'
yang sebenarnya bukan baru tetapi kenyataannya adalah 'agama lain'. Ini dibahas
pada bagian selanjutnya.
5. PROSELITISME DALAM BENTUK BARU?
Tidak dapat disangkal bahwa Pluralisme
dengan 'dialog agama'nya telah membawa angin segar dalam perjumpaan
agama-agama, tetapi melihat beberapa 'paradigma baru' ternyata telah
dipromosikan dalam bentuk 'inklusivisme', kita patut mempertanyakan apakah
'dialog kerukunan antar umat beragama' yang dijiwai paradigma baru inklusivisme
demikian bersifat 'inklusif' atau membawa pada 'eksklusivisme' baru?
Dialog yang motivasinya baik ternyata
telah kita ketahui pada bagian sebelum ini sebagai sarat dipengaruhi paradigma
baru relativisme agama yang merupakan reduksionisme yang mencoba untuk
'membesarkan kesamaan dan mengabaikan perbedaan' bahwa ada perbedaan yang azali
yang mustahil di pertemukan.
Disadari oleh banyak pihak agama bahwa bila kita melihat paradigma agama-agama yang ada, setidaknya ada tiga faham yang tidak mudah untuk dipertemukan, yaitu antara yang bersifat: (1) Theisme (Ke-Tuhan-an yang berpribadi dan transenden dalam agama wahyu, seperti agama Yahudi, Kristen dan Islam); (2) Monisme (ke-Tuhan-an yang tidak berpribadi dan imanen, seperti agama Hindu dan Tao); (3) Non-Theisme (tidak mempercayai Tuhan yang transenden dan yang 'ada', seperti agama Buddha).
Disadari oleh banyak pihak agama bahwa bila kita melihat paradigma agama-agama yang ada, setidaknya ada tiga faham yang tidak mudah untuk dipertemukan, yaitu antara yang bersifat: (1) Theisme (Ke-Tuhan-an yang berpribadi dan transenden dalam agama wahyu, seperti agama Yahudi, Kristen dan Islam); (2) Monisme (ke-Tuhan-an yang tidak berpribadi dan imanen, seperti agama Hindu dan Tao); (3) Non-Theisme (tidak mempercayai Tuhan yang transenden dan yang 'ada', seperti agama Buddha).
Dialog agama umumnya mengabaikan
perbedaan ini demi tujuan kerukunan. Tepat seperti yang disinyalir oleh Harold
Coward, bahwa:
"Masalah yang belum terselesaikan
untuk semua pendekatan ini ialah penolakan penganut Budha dan Advaita Vedanta
terhadap Allah sebagai realitas penghabisan. Para teolog Kristen yang paling
terbuka terhadap agama Budha dan agama Hindu, tampaknya hampir dengan sengaja
menutup mata terhadap masalah ini" (Pluralisme tantangan bagi agama-agama,
h.86).
Lebih dari itu dewasa ini kita menyaksikan
kebangkitan New Age dan Okultisme yang luar biasa yang sekarang sudah
menempatkan diri dalam kedudukan yang terhormat dimata masyarakat umum (Di
dunia Barat, gerakan 'Interfaith' sudah melibatkan tokoh-tokoh Satanic). Karena
hal itu, kelihatannya perlu ditambahkan paradigma agama yang ke-empat, yaitu:
(4) Demonisme (Ke-tuhan-an transenden yang berlawanan dengan 'Theisme', seperti
agama Satanic).
Kita dapat melihat bahwa dialog antar
agama 'Theisme' bahkan se-rumpun 'Semitic' saja sudah sukar, apalagi antara
agama 'Theisme' dan 'Monisme/Non-Theisme' seperti yang disinyalir Harold
Coward. Lebih lagi dialog 'Theisme' dan 'Demonisme' lebih tidak mungkin lagi
bahkan mustahil. Memang dalam pemikiran liberalisme rasional, ada kecenderungan
kuat 'penolakan terhadap hal-hal yang bersifat transenden dan supranatural',
itulah sebabnya dapat dimaklumi bahwa 'dialog-agama' yang banyak didukung
kalangan teolog berfaham liberal cenderung menghasilkan penolakan terhadap
keberadaan 'Theis' (dan juga realita Demon) yang transenden, suatu pengingkaran
akan realita supranatural.
Dari dialog yang belum bisa
mempertemukan 'paradigma-paradigma' tentang hakekat 'Yang Satu' itu, tentulah
agak sulit bagi kita bila kita mencoba untuk menjadikannya sebagai 'kebenaran
universal' dan semua agama (termasuk Demonisme?) dianggap 'jalan-jalan
partikular'. Menutup mata terhadap perbedaan hakekat ini tidak akan memecahkan
masalah sekalipun kelihatannya menarik bak fatamorgana.
Kita harus jujur mengakui bahwa motivasi yang mengajak 'dialog demi kerukunan agama' adalah usaha yang baik, berguna dan patut didukung, tetapi perlu dihindari sikap reduksionisme yang menutup mata terhadap realita sebenarnya demi kesatuan itu sendiri, sebab kita dapat terjebak kembali pada sikap 'eksklusivisme baru' ata u 'proselitisme baru' yang semula ditolak oleh semangat 'dialog antar agama' itu.
Kita harus jujur mengakui bahwa motivasi yang mengajak 'dialog demi kerukunan agama' adalah usaha yang baik, berguna dan patut didukung, tetapi perlu dihindari sikap reduksionisme yang menutup mata terhadap realita sebenarnya demi kesatuan itu sendiri, sebab kita dapat terjebak kembali pada sikap 'eksklusivisme baru' ata u 'proselitisme baru' yang semula ditolak oleh semangat 'dialog antar agama' itu.
Sebagai contoh, 'Proselitisme' yang
dianggap sebagai mentobatkan seseorang agar berpindah agama (semacam
kristenisasi atau islamisasi) ditolak di kalangan dialog, tetapi dengan
mengarahkan paradigma dialog menuju prinsip keyakinan 'Universalisme' yang
bersifat 'Monisme' sebenarnya para pedialog telah melakukan proselitisme gaya
baru yaitu mentobatkan seseorang yang beriman 'Theisme' agar berpindah menjadi
pengikut agama lain yaitu 'Monisme' (dan/atau Non-Theisme). Ini bukanlah sikap
'inklusif' tetapi 'iman agama inklusif' atau 'inklusivisme', usaha 'monisisasi'
dapat juga disebut indentik dan sederajat dengan 'kristenisasi' maupun
'islamisasi' yang mentobatkan orang dengan cara memaksa.
Proselitisme baru bisa juga ber-bentuk
usaha untuk mengubah pengertian paradigma agama sendiri dengan paradigma agama
lain. Sebagai contoh yang disebutkan terdahulu bahwa Wilfred Cantwell Smith
berusaha memberi pengertian 'atman' sebagai 'Kristus yang hidup dalamku'. Ini
adalah usaha mengubah pengertian lama Kristen dimana jatidiri yang sudah ada
sejak semula yang berperilaku berdosa yang diubah dengan kehadiran Kristus
sebagai penolong ketika seseorang baru menjadi percaya, menjadi konsep Atman
yang diakui oleh penganutnya sebagai identik dengan Brahman dan adalah ilahi
sejak awalnya (tat twam asi). Demikian juga menyamakan konsep manusia 'atman'
(tuhan yang imanen) dengan 'Imago Dei' (gambar Tuhan yang transenden) oleh
Smith jelas merupakan usaha proselitisme yang tidak sesuai realitas.
Selesai.
Disalin dari :
Disalin dari :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.