Sebuah ilustrasi
sebagai contoh
Menarik penganut
agama lewat Budaya Melalui
Atraksi Seni-Budaya & Pesta Sekaten Di Jawa”
Oleh:Drs.Simon-Arnold-Julian-Jacob
A.
Pandangan hidup orang Jawa (Abangan)
Awalnya orang Jawa pada
umumnya hidup dalam suasana mistis, dekat dengan Tuhan percaya akan super
nature atau Devine Ground.
Orang Jawa adalah orang
yang religius. Sejarah membuktikan bahwa sebelum
Islam datang ke Jawa sudah mempunyai perhatian yang besar terhadap
agama baik agama yang telah mempunyai bentuk
maupun yang berujud fenomena.
Hampir setiap kerajaan selalu tidak meninggalkan tempat-tempat pemujaan. Misalnya saja Candi Brobudur, Mendut, Prambanan, dan
lain-lain.
Pada zaman
kerjaan-kerajaan Islam dibangun
tempat-tempat ibadah (masjid) yang
sampai saat ini masih dapat kita saksikan.
Misalnya saja masjid
Demak, Cirebon, Solo, Jogjakarta dan lain-lain. Kesemuanya itu menjadi bukti
bahwa orang Jawa termasuk orang yang memiliki perhatian besar terhadap agama.
Dalam
literatur-literatur Jawa, agama selalu disebut-sebut dan dijadikan pedoman oleh
para penulisnya untuk memberi pelajaran
kepada pembaca. Misalnya saja dalam Bhagawat Gita terdapat pelajaran Weda yang diwejangkan oleh Sri
Kresna kepada Harjuna, yaitu pelajaran tentang tanggung jawab seorang ksatria
dalam menumpas kejahatan.
Dalam Babad Tanah Jawa
versi R. Tanoyo orang Jawa diterangkan
bahwa raja-raja Jawa (Kediri dan Mojopahit) adalah keturunan dewa-dewa.
Tetapi dewa-dewa itu semua adalah keturunan Sayid Anwar putra
kedua Nabi Sis. Sedang putra pertamanya bernama
Sayid Anwar yang menurut katanya menurunkan orang-orang Arab termasuk
N.Idris, N.Nuh, N.Ibrahim, N..Ismail dan seterusnya sampai menurunkan tokoh di
Jawa yang lain yaitu Maulana Iskak dan seterusnya sampai kepada Panembahan
Senopati – pendiri dinasti Mataram II (Islam). Di sini selain terdapat pikiran sinkretis, juga terdapat pikiran
untuk men-sahkan bahwa orang Jawa khususnya para raja-rajanya adalah keturunan
tokoh-tokoh yang dekat dengan Tuhan (agama, baik Islam maupun Hindu).
Dalam Babad Tanah Jawa
versi lain (Dr.Soewito Santoso) kita selalu menjumpai bahwa bila seseorang ingin mencapai sesuatu
mesti mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dalam karya-karya
Ranggawarsito misalnya dalam Kala Tida, Sabda Jati dan lain-lain banyak
terdapat ajaran-ajaran (piwulang) yang mengandung ajaran Tuhan. Dalam Certini dapat kita
temukan nasehat-nasehat She Amongrogo kepada Ken Tambangraras yang berisi
ajaran-ajaran tentang syari’at, Tarekat,
Hakekat, dan Ma’rifat. Dan masih banyak lagi hampir seluruhnya berisi ajaran yang berasal dari Tuhan
meskipun bentuk dan ujudnya barangkali belum seperti yang dikehendaki oleh
Islam.
B.
Dalam adat istiadat Jawa.
Kita juga akan menemukan
bahwa orang Jawa selalu ingin dekat dan berhubungan dengan Tuhan. Misalnya saja
sejak dalam kandungan tujuh bulan orang tua sudah mengadakan selamatan “motoni”
, kemudian upacara bayi (lahir) puputan, dan seterusnya. Lalu dalam hidup
sehari-hari selalu dipenuhi berbagai
upacara setiap akan melakukan usaha besar. Kemudian kalau mati, upacara
kematian, tujuh hari, 40 hari dan seterusnya.
Dalam ungkapan-ungkapan
sehari-sehari kita temukan ungkapan-ungkapan yang menunjukkan dekat dengan Tuhan seperti ‘Singnglakoni
trimo, nanging sing momong ora trimo, “Agama ngemong aji” “Bagjo cilakaning
manungso pinasti ing Pangeran” dan lain-lain.
Semuanya menunjukkan
bahwa orang Jawa dekat dengan Tuhan.
C. Orang Jawa memiliki rasa bangga yang kuat terhadap
kebudayaan nenek moyang (khususnya kebudayaan Kraton).
Sebenarnya perasaan
bangga terhadap kebudayaan nenek moyang itu tidak hanya monopoli orang Jawa ,
tetapi rasa bangga yang dimiliki oleh orang Jawa sangat kuat dan menonjol. Hal
ini barangkali karena banyaknya peninggalan-peninggalan yang sangat mereka
kagumi seperti Candi-candi Brobudur (peninggalan Smaratungga dari dinasti Cailidra),
Prambanan, Mendut, dan lain-lain pada zaman Hindu-Budha, masjid-masjid dan
istana-istana pasa zamnan kerajaan Islam yang penuh karya seni yang sistritik.
Selain peninggalan yang berujud fisik terdapat juga peninggalan yang berujud
kerangka-kerangka yang berisi pelajaran-pelajaran, filsafat hidup, kisah-kisah
kepahlawanan maupun ceritera-ceritera pemujaan sang raja atau calon raja.
Misalnya saja karya-karya pada zaman Kediri seperti, Bharatayuda (Empu
Sedah/1130 - 1157), Harwangsa, Gatotkacasraya, Smaradana (Empu Dharmaja),
Negarakergama (Empu Prapanca/ l305) untuk mengagungkan nama Erlagga.
Pada zaman kerajaan
Islam buku-buku (serat) Wulangreh (Paku Buwono IV /l809 ?), Wedatama
(Mangkunegoro IV), Serat Centini (l914) dan lain-lain merupakan buku-buku
tersebut selain pelajaran-pelajaran yang banyak menceriterakan kehebatan,
kepahlawanan dan keutamaan para raja, calon raja atau pangeran-pangeran dan
juga tokoh-tokoh. Misalnya saja Ken Arok, sebelum menjadi raja, Joko Tingkir,
Sutawijaya (Penembahan Senopati), R.Mas Sujono (Sultan Hamengkubowono I) dan
lain-lain. Bahkan dalam Wedatama menyusun Mangkunegoro IV menganjurkan untuk
mencontoh terhadap cara hidup Pangeran Senopati (Wong Agung Ing Ngeksi Gondo)
agar mendapat keutamaan dan kemulyaan.
Semuanya itu menyebabkan
orang Jawa merasa bangga terhadap kebudayaan nenek moyang, khususnya kepada
kebudayaan kraton, yang hal itu menimbulkan kerinduan kepada kebudayaan masa
lampau. Hal itu pula yang menjadi salah satu sebab timbulnya aliran kebatinan.
D.
Sikap Hidup yang feodalistis
Orang Jawa (abangan =
masyarakat biasa) mempunyai sikap hidup feodalistis. Mereka sangat hormat
dengan “keluarga Pangeran” (orang-orang yang bertitel Raden R.A., Raden Mas,
GPH, dst), terhadap abdi dalam terlebih-lebih terhadap “Ingkang Sinuhun) = Sri
Sultan.
Sikap ini sampai saat ini
masih sangat terasa misalnya saja pada
lingkungan pemerintahan di Prop.DIY= Daerah Istimewa Yogyakarta, kita juga
dapat melihat pada setiap upacara tertentu bila “Ingkang Sinuhun” atau wakilnya
hadir selalu diadakan penyambutan dengan sangat meriah.
Kita juga dapat melihat
di masyarakat (Jawa abangan) orang
sangat memperhatikan tingkatan-tingkatan bahasa. Bila ‘wong cilik’=
orang kebanyakan, berbicara dengan ‘wong priyai”= bangsawan, selalu
mempergunakan tingkatan ‘kromo” atau “kromo inggil”. Sebaliknya “wong priyai”
akan mempergunakan “ngoko” terhadap “wong cilik. Selain itu penggunaan
tingkatan-tingkatan tersebut juga berlaku antara “yang muda” kepada “yang tua”,
yang derarajatnya lebih rendah dengan yang deratnya lebih tinggi dan
sebaliknya.
Di kalangan masyarakat
Jawa (abangan/priyai) tingkatan (ungguh-ungguh) itu sangat diperhatikan. Orang
yang tidak mempergunakan “kromo” terhadap orang lebih tinggi tingkat derajatnya
(orang tua, guru, kiyahi atasan) dianggap kurang sopan (ora ngerti toto-kromo, ungguh-ungguh).
Akhir-akhir ini kita
sering menyaksikan pesta perkawinan yang memakai adat dan tata cara “kejawen”
dengan berpakaian seperti para raja/pangeran (pria) dan meniru putri-putri
kraton (putri).
Musik yang dipakai
selama pesta adalah gending-gending Jawa, MC juga dengan mempergunakan bahasa
Jawa yang meniru-niru bahasa Ki Dalang. Bahkan ada juga menyelenggarakan
perkawinan dengan tata cara kejawen dengan lengkap. Mulai dari pemilihan jodoh,
pembentukan panitia, upacara tujuh hari, menjelang tiga hari, tuwuhan dan
seterusnya. Semuanya itu merupakan refleksi dari pandangan dan sikap hidup yang
feodalistis di samping rasa bangga dengan kebudayaan nenek moyang yang berpusat
pada kebudayaan
kraton.
E. Dakwah kepada
orang Abangan
Keberhasilan para
da’I zaman dulu (para wali) dalam
meng-Islam-kan penduduk Jawa (walaupun baru pada tingkat pengakuan) adalah
menunjukkan tepatnya pendekatan yang dipakai. Pemilihan cara pendekatan itu
memang melalui perundingan yang matang. Dalam suatu permusyarawatan, Sunan
Kalijaga berpendapat (mengusulkan) bahwa untuk memperkembangkan agama Islam,
adat istiadat Jawa seperti slametan (selamatan), sesaji dan juga kegemaran
orang Jawa seperti wayang supaya dibiarkan jalan terus tetapi bersamaan dengan
itu supaya diisi ajaran-ajaran ke-Islaman, (jadi dengan cara “tut wuri hani
seni”).
Pendapat S.Kalijaga ini
dikhawatirkan oleh S.Ampel, kalau adat-istiadat semacam ini dibiarkan berjalan
terus, maka mungkin adat-istiadat itu akan dianggap sebagai ajaran Islam oleh
orang-orang di kemudian hari. Tetapi pendapat S.Ampel itu di jawab oleh
S.Kudus, bahwa pada suatu ketika akan ada orang Islam yang menyempurnakannya.
Pandangan S.Kalijaga ini
selain didukung oleh S.Kudus juga didukung oleh S.Bonang, S.Muria dan S.Gunung
Jati. Sementara itu dalam kelompok S.Ampel terdapat S.Giri dan S.Drajad.
Umar Hasyim menerangkan
bahwa golongan Tuban (kelompok S.Kalijaga) berpendirian :
- Membiarkan dulu adat-istiadat yang sukar dirubah dan
menghindarkan cara-cara radikal.
- Adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan mudah
dirobah segera dihilangkan.
- Menggunakan metode “tut wuri handayani” dan tut wuri
hangiseni”, yaitu mengikuti dari belakang sambil memasukkan ajaran Islam.
- Menghindarkan konfrontasi secara langsung dengan
masyarakat.
- Boleh merobah adat yang tidak sesuai dengan ajaran
Islam, tetapi dengan cara bijaksana agar masyarakat tidak lari (menjauh)
dari para da’I (wali).
Bila kita mengamati
sejarah hidup para wali, kita akan dapat memahami mengapa S.Kalijaga sangat
toleran kepada adat-istiadat Jawa dan menghindarkan konfrontasi, sementara
S.Giri sangat keras (mula-mula) terhadap
adat-istiadat yang berbau Hindu, Budha, animistis dan dinamistis? Hal ini barangkali karena S.Kalijaga adalah
seorang Jawa asli yaitu putra dari Ki Tumenggung Wilatika (Bupati Tuban) yang
disamping memahami adat-istiadat Jawa
dapat menangkap perasaan-perasaan
orang Jawa. Sementara S. Giri adalah seorang Arab putra Maulana
Ishak dari Pasai Aceh, meskipun dari
pihak ibu beliau keturunan dari raja Blambangan. Namun biasanya sebagaimana
watak orang Arab, pengaruh seorang ayah lebih dominan daripada pengaruh ibu
(yang orang Jawa). Oleh karena itu dapat dipahami bila S.Giri terkenal sebagai seorang wali
yang radikal.
Aliran yang menganut
S.Giri ini kemudian dikenal sebagai “golongan putih” atau “Islam putihan”,
sedang aliran Tuban (pengikut S.Kalijaga) dikenal sebagai “aliran abangan”.
Dalam pada itu kita
melihat bahwa pelaksanaan da’wah di tanah Jawa memang terdapat hal-hal seperti
yang digariskan oleh S.Kalijaga. Misalnya saja banyak bentuk lakon-lakon wayang
yang dimasuki unsur-unsur Islam. Misalnya saja tentang Kalimusodo. Menurut
aslinya berasal dari Kalimahhosyada yang
berarti “jamu atau alat sakti yang dahsyat dari Kali”, dan kali adalah Durga
istri Sakti Batara Syiwa. Tetapi ceritera yang berkembang di Jawa tidak
demikian. Dalam lakon tersebut diceritakan bahwa Yudhistira yang memegang kitab
Kalimasada tidak bisa sebelum dapat menafsirkan isi kitab tersebut. Karena itu ia
mengembara dan sampai di Jawa bertemu S.Kalijaga yang mampu menafsirkan Kitab Kalimasada tersebut.
Yaitu bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul Allah. Dan
Yudhistira setelah mengucapkan kedua kalimah syahadat tersebut lalu mati. Dan
dimakamkan di Demak.
Contoh lain misalnya
tentang adanya Punokawan. Menurut penuturan Ki Musa Al Mahfudz bahwa Punokawan
itu “memperagakan dan mengbdikan fungsi,
watak, tugas konsepsional Walisanga dan para mubaligh.
Pengubahan lakon Serat
Kalimasada oleh para penyair agama Islam (para wali) itu mengandung dua
maksud/harapan :
Pertama, bahwa orang Jawa (yang diwakili oleh
Yudhistiro) tidak akan dapat menikmati hidup bahagia tanpa memeluk agama Islam
yang dimulai dengan persaksian mengucapkan kedua kalimat syahadad
tersebut; Barangkali tema ini diambil
dari ayat : 132 S.Al Baqarah yang artinya :…maka janganlah kamu sekalian mati
kecuali dalam keadaan Islam (berserah diri).
Kedua, dengan ceritera tersebut diharapkan agar
orang Jawa bersedia memeluk agama Islam (mengikuti prabu Yudhistiro), dan
dengan kalimah syahadat (jimat kalimusodo) tersebut akan dapat mengalahkan hawa
nafsunya (yang dalam wayang diwakili oleh Kurawa). Dan dengan mengalahkan hawa
nafsu (Kurawa) maka orang Jawa akan mendapat kebahagiaan.
Cara-cara lain yang
dipakai oleh para wali dalam rangka berda’wah dengan pendekatan budaya ini
adalah : Dengan menciptakan gending-gending (gong) Maskumambang dan Mijil serta
mengarang cerita-cerita anak-anak oleh S.Kudus. Menciptakan
gending-gending/gong Sinom dan Kianti oleh S.Muria. Menciptakan gending
Asmaradana dan Rucung serta permainan anak-anak seperti Julungan/jetungan,
Jamuran, Gendi-gerit, Gula-ganti, Cublak-cublak Suweng, Ilir-ilir, Padang
bulan. S.Drajat menciptakan gending Pangkur.
F. Sejarah Perayaan Sekaten
Sementara para
pujangga dan pejabat kerajaan-kerajaan Islam terus berusaha mencari cara-cara
baru untuk terus menyebarkan ajaran Islam.
Diciptakan pula “sekaten”
dalam rangka memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. (Maulud Nabi)
yang sampai kini masih dapat kita saksikan di Yogyakarta, Solo dan Cirebon.
Dalam buku Titi
Asri yang disalin dan disusun oleh Sapardal Hardasukarta dengan dibantu oleh
Mas Ngabehi Mlayadimeja (Mantriwiyogo) di Kraton Surakarta dan atas petunjuk
Kiyahi Demang Gunastika ke II abdi dalem panewu di Kraton Surakarta,
diterangkan bahwa asal mula adanya gamelan Sekaten tersebut sejak zaman
Glagahwangi, Demak bersamaan dengan masuknya agama Islam. Gamelan tersebut
ditempatkan dan mainkan di halaman masjid setiap bulan Maulud mulai tanggal 6
sampai tanggal l2 bulan Maulud.
Dalam rangka
perayaan tersebut diperdengarkan gending-gending yang menjadi kesenangan orang
Jawa, sehingga orang-orang dari segala pelosok berdatangan untuk mendengarkan
(gending-gending=gong) sekaten tersebut. Gending-gending yang diperdengarkan
tersebut semuanya mengandung pesan keagamaan.
Misalnya saja
gending yang pertama kali adalah gending rambu yang berasal dari kalimat
“Rabbul ‘alamina” yang isinya pujian kepada Allah SWT yang menguasai seluruh
alam, kemudian gending Salatun yang mengandung pesan kepada pendengar agar suka
menyembah kepada Tuhan, dan seterusnya.
Disamping itu,
dalam rangka perayaan Sekaten tersebut terdapat orang-orang yang menyukai sirih
lengkap dengan kembang kantil. Barang siapa yang memakan sirih, menurut
kepercayaan akan awet muda. Selanjutnya di sana juga terdapat nasi uduk (nasi
santan kelapa) yang rasanya gurih. Semuanya itu mengandung pesan-pesan
tertentu, misalnya daun sirih (Jawa= :suruh) mempunyai makna “menyuruh” (mengundang-Jawa
Timur tonjok).
Maksudnya dengan
“sekaten” orang banyak diundang untuk
mendengarkan pesan-pesan keagamaan dan khutbah-khutbah tentang ajaran Islam
untuk kemudian memeluknya dan melaksanakan rukun-rukunnya.
Rasa daun sirih
yang enak/manis itu mengandung makna bahwa masuknya ke dalam Islam itu tidak
dengan paksaan.
Selanjutnya barang
siapa yang mengunyah siri tadi berarti menerima Islam ( suruhan) dan
memasukkannya ke dalam hati. Orang yang telah menerima Islam akan bahagia
karena itu dia akan awet muda. Adapun kembang “kantil” mengandung makna arti kemantil-kantil
maksudnya tidak mau berpisah dengan agama Islam yang telah dipeluknya. Demikian
pula dengan nasi uduk yang mempunyai pesan tertentu.
Pada akhir
perayaan “sekaten” yaitu tanggal 12 Maulud di serambi Masjid Agung Jogjakarta dibacakan
riwayat hidup dan perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. yang didengarkan oleh segenap
kerabat Kraton dan semua pengunjung, untuk kemudian dicontoh dan dijadikan
cermin dalam hidupnya.
Demikianlah da’wah
para da’I zaman dahulu yang ditujukan kepada masyarakat Jawa yang mempunyai
kepercayaan yang animistis, dinamistis yang memeluk agama Hindu-Budha serta
hidup dalam suasana mistis, dengan segala adat-istiadat Jawanya.
Perayaan Sekaten
di Yogyakarta, sudah puluhan tahun berlangsung dan tetap menjadi perhatian
masyarakat. Bukan terbatas pada nilai spiritrualnya tetapi telah menjadi
tradisi budaya yang kian memiliki keunikannya. Biasanya perayaan ini
diselenggarakan dalam bentuk Pasar Malam dan berlangsung selama sebulan di
alun-alun utara Kraton Yogyakarta. Sejak zaman Sunan Kalijaga, Sekaten itu
berlangsung di Indonesia.
Pemilihan tokoh
Sunan Kalijaga, karena dialah salah seorang dari sembilan wali yang sudah
mendalami agama Hindu, memahami watak dan kepribadian orang Jawa. Kecintaannya
terhadap gamelan, bagi orang Jawa,
seakan begitu mendarah-daging.
Karena itu Sunan memrakarsi membunyikan
gamelan untuk memikat masyarakat.
Gamelan itu
ditempatkan di panggung gamelan yang disebut pagongan yang terletak di halaman
Masjid Besar. Dihiasi berbagai bunga. Menunggu saat gamelan keluar, atau
gamelan masuk, biasanya merupakan perhatian tersendiri.
Ada yang bahkan
sampai menginap untuk menyaksikannya. Inilah kepercayaan yang masih bisa kita
tampaki. Sekaten, memang bukan cuma milik
Kraton Yogyakarta dan Keraton Solo. Setidaknya di tiga pusat kebudayaan
Jawa yang diwakili oleh Keraton Solo,
Cirebon dan Yogyakarta, perayaan Sekaten
menjadi tontonan rakyat dan masih ditradisikan. Inilah siar agama Islam
itu.
Banyak orang menunggu kehadiran Sekaten, sebab
dari sana banyak orang percaya akan berkah dan rezeki. Kehadiran Sekaten tidak begitu saja.
Sejak lama pula
didahului dengan pasar malam. Di sini, penyelenggara memang berupaya memadu. Di
satu sisi perayaan itu sendiri berbau spiritual dan tradisional.
Sedang pasar malam
lebih banyak disentuh budaya modern dan selalu dituntut oleh perkembangan
zaman. Dan perayaan semacam ini, agaknya akan terus berlangsung hingga kapan
pun. Kalau tahun ini tak sempat menyaksikan, tahun depan masih ada kesempatan
buat anda.
G. Kesimpulan :
Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik
kesimpulan :
1. Dalam menda’wah
Islam di Indonesia kita tidak dapat menyamakan sumua suku bangsa dengan
menggunakan metode dan pendekatan yang sama.
2.
Suku Jawa adalah suku bangsa yang besar dan di
antara mereka itu orang-orang yang tingkatan keagamaannya rendah (Abangan)
merupakan jumlah yang terbesar. Karena itu kelompok ini perlu mendapat perhatian
yang serius.
3.
Suku Jawa ini adalah suku yang telah memiliki kebudayaan yang sudah
mapan karena itu dalam berda’wah perlu memperhatikan pandangan hidup,
nilai-nilai budaya yang telah dimilikinya.
4.
Para da’I yang akan berda’wah kepada suku ini perlu memahami pandangan
hidup, sikap hidup, nilai-nilai budaya yang ada pada mereka dan dengan
menggunakan apa-apa yang telah mereka miliki itu sebagai pangkal berbijak dalam
berda’wah, yaitu dengan metode “tut wuri hangiseni”.
5. Pengalihan
kepercayaan dari Agama Hindu menjadi penganut ajaran Islam berlangsung dengan
cara damai,
tanpa paksaan.
(Sumber : Kumpulan kliping- Seni Budaya Jawa—penulis, Drs.Simon Arnold Julian
Jacob;--Tahun l994).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.