alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Selasa, 06 Januari 2015

MENARIK__PENGANUT__AGAMA__LEWAT__BUDAYA__DI--JAWA

Sebuah ilustrasi sebagai contoh
Menarik penganut agama lewat Budaya Melalui
Atraksi Seni-Budaya &  Pesta Sekaten Di Jawa”
Oleh:Drs.Simon-Arnold-Julian-Jacob

A.  Pandangan hidup orang Jawa (Abangan)

Awalnya orang Jawa pada umumnya hidup dalam suasana mistis, dekat dengan Tuhan percaya akan super nature atau Devine Ground.
Orang Jawa adalah orang yang religius. Sejarah membuktikan bahwa sebelum Islam datang ke Jawa  sudah  mempunyai perhatian yang besar terhadap agama  baik agama yang telah mempunyai bentuk maupun yang berujud fenomena. Hampir setiap kerajaan selalu tidak meninggalkan  tempat-tempat pemujaan. Misalnya saja Candi Brobudur, Mendut, Prambanan, dan lain-lain.
Pada zaman kerjaan-kerajaan Islam dibangun tempat-tempat ibadah (masjid) yang sampai saat ini masih dapat kita saksikan.
Misalnya saja masjid Demak, Cirebon, Solo, Jogjakarta dan lain-lain. Kesemuanya itu menjadi bukti bahwa orang Jawa termasuk orang yang memiliki perhatian besar terhadap agama.
Dalam literatur-literatur Jawa, agama selalu disebut-sebut dan dijadikan pedoman oleh para  penulisnya untuk memberi pelajaran kepada pembaca. Misalnya saja dalam Bhagawat Gita terdapat  pelajaran Weda yang diwejangkan oleh Sri Kresna kepada Harjuna, yaitu pelajaran tentang tanggung jawab seorang ksatria dalam menumpas kejahatan.

Dalam Babad Tanah Jawa versi R. Tanoyo orang Jawa  diterangkan bahwa raja-raja Jawa (Kediri dan Mojopahit) adalah keturunan dewa-dewa. Tetapi  dewa-dewa  itu semua adalah keturunan Sayid Anwar putra kedua Nabi Sis. Sedang putra pertamanya bernama  Sayid Anwar yang menurut katanya menurunkan orang-orang Arab termasuk N.Idris, N.Nuh, N.Ibrahim, N..Ismail dan seterusnya sampai menurunkan tokoh di Jawa yang lain yaitu Maulana Iskak dan seterusnya sampai kepada Panembahan Senopati – pendiri dinasti Mataram II (Islam). Di sini selain terdapat  pikiran sinkretis, juga terdapat pikiran untuk men-sahkan bahwa orang Jawa khususnya para raja-rajanya adalah keturunan tokoh-tokoh yang dekat dengan Tuhan (agama, baik Islam maupun Hindu).
Dalam Babad Tanah Jawa versi lain (Dr.Soewito Santoso) kita selalu menjumpai  bahwa bila seseorang ingin mencapai sesuatu mesti mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dalam karya-karya Ranggawarsito misalnya dalam Kala Tida, Sabda Jati dan lain-lain banyak terdapat  ajaran-ajaran  (piwulang) yang mengandung  ajaran Tuhan. Dalam Certini dapat kita temukan nasehat-nasehat She Amongrogo kepada Ken Tambangraras yang berisi ajaran-ajaran  tentang syari’at, Tarekat, Hakekat, dan Ma’rifat. Dan masih banyak lagi hampir seluruhnya  berisi ajaran yang berasal dari Tuhan meskipun bentuk dan ujudnya barangkali belum seperti yang dikehendaki oleh Islam.

B.  Dalam adat istiadat Jawa.

Kita juga akan menemukan bahwa orang Jawa selalu ingin dekat dan berhubungan dengan Tuhan. Misalnya saja sejak dalam kandungan tujuh bulan orang tua sudah mengadakan selamatan “motoni” , kemudian upacara bayi (lahir) puputan, dan seterusnya. Lalu dalam hidup sehari-hari  selalu dipenuhi berbagai upacara setiap akan melakukan usaha besar. Kemudian kalau mati, upacara kematian, tujuh hari, 40 hari dan seterusnya.
Dalam ungkapan-ungkapan sehari-sehari kita temukan ungkapan-ungkapan yang menunjukkan  dekat dengan Tuhan seperti ‘Singnglakoni trimo, nanging sing momong ora trimo, “Agama ngemong aji” “Bagjo cilakaning manungso pinasti ing Pangeran” dan lain-lain.
Semuanya menunjukkan bahwa orang Jawa dekat dengan Tuhan.

C.  Orang Jawa memiliki rasa bangga yang kuat terhadap kebudayaan nenek moyang (khususnya kebudayaan Kraton).

Sebenarnya perasaan bangga terhadap kebudayaan nenek moyang itu tidak hanya monopoli orang Jawa , tetapi rasa bangga yang dimiliki oleh orang Jawa sangat kuat dan menonjol. Hal ini barangkali karena banyaknya peninggalan-peninggalan yang sangat mereka kagumi seperti Candi-candi Brobudur (peninggalan Smaratungga dari dinasti Cailidra), Prambanan, Mendut, dan lain-lain pada zaman Hindu-Budha, masjid-masjid dan istana-istana pasa zamnan kerajaan Islam yang penuh karya seni yang sistritik. Selain peninggalan yang berujud fisik terdapat juga peninggalan yang berujud kerangka-kerangka yang berisi pelajaran-pelajaran, filsafat hidup, kisah-kisah kepahlawanan maupun ceritera-ceritera pemujaan sang raja atau calon raja. Misalnya saja karya-karya pada zaman Kediri seperti, Bharatayuda (Empu Sedah/1130 - 1157), Harwangsa, Gatotkacasraya, Smaradana (Empu Dharmaja), Negarakergama (Empu Prapanca/ l305) untuk mengagungkan nama Erlagga.
Pada zaman kerajaan Islam buku-buku (serat) Wulangreh (Paku Buwono IV /l809 ?), Wedatama (Mangkunegoro IV), Serat Centini (l914) dan lain-lain merupakan buku-buku tersebut selain pelajaran-pelajaran yang banyak menceriterakan kehebatan, kepahlawanan dan keutamaan para raja, calon raja atau pangeran-pangeran dan juga tokoh-tokoh. Misalnya saja Ken Arok, sebelum menjadi raja, Joko Tingkir, Sutawijaya (Penembahan Senopati), R.Mas Sujono (Sultan Hamengkubowono I) dan lain-lain. Bahkan dalam Wedatama menyusun Mangkunegoro IV menganjurkan untuk mencontoh terhadap cara hidup Pangeran Senopati (Wong Agung Ing Ngeksi Gondo) agar mendapat keutamaan dan kemulyaan.
Semuanya itu menyebabkan orang Jawa merasa bangga terhadap kebudayaan nenek moyang, khususnya kepada kebudayaan kraton, yang hal itu menimbulkan kerinduan kepada kebudayaan masa lampau. Hal itu pula yang menjadi salah satu sebab timbulnya aliran kebatinan.

D.  Sikap Hidup yang feodalistis

Orang Jawa (abangan = masyarakat biasa) mempunyai sikap hidup feodalistis. Mereka sangat hormat dengan “keluarga Pangeran” (orang-orang yang bertitel Raden R.A., Raden Mas, GPH, dst), terhadap abdi dalam terlebih-lebih terhadap “Ingkang Sinuhun) = Sri Sultan.
Sikap ini sampai saat ini masih sangat terasa misalnya saja  pada lingkungan pemerintahan di Prop.DIY= Daerah Istimewa Yogyakarta, kita juga dapat melihat pada setiap upacara tertentu bila “Ingkang Sinuhun” atau wakilnya hadir selalu diadakan penyambutan dengan sangat meriah.
Kita juga dapat melihat di masyarakat (Jawa abangan) orang  sangat memperhatikan tingkatan-tingkatan bahasa. Bila ‘wong cilik’= orang kebanyakan, berbicara dengan ‘wong priyai”= bangsawan, selalu mempergunakan tingkatan ‘kromo” atau “kromo inggil”. Sebaliknya “wong priyai” akan mempergunakan “ngoko” terhadap “wong cilik. Selain itu penggunaan tingkatan-tingkatan tersebut juga berlaku antara “yang muda” kepada “yang tua”, yang derarajatnya lebih rendah dengan yang deratnya lebih tinggi dan sebaliknya.
Di kalangan masyarakat Jawa (abangan/priyai) tingkatan (ungguh-ungguh) itu sangat diperhatikan. Orang yang tidak mempergunakan “kromo” terhadap orang lebih tinggi tingkat derajatnya (orang tua, guru, kiyahi atasan) dianggap kurang sopan (ora ngerti toto-kromo, ungguh-ungguh).
Akhir-akhir ini kita sering menyaksikan pesta perkawinan yang memakai adat dan tata cara “kejawen” dengan berpakaian seperti para raja/pangeran (pria) dan meniru putri-putri kraton (putri).
Musik yang dipakai selama pesta adalah gending-gending Jawa, MC juga dengan mempergunakan bahasa Jawa yang meniru-niru bahasa Ki Dalang. Bahkan ada juga menyelenggarakan perkawinan dengan tata cara kejawen dengan lengkap. Mulai dari pemilihan jodoh, pembentukan panitia, upacara tujuh hari, menjelang tiga hari, tuwuhan dan seterusnya. Semuanya itu merupakan refleksi dari pandangan dan sikap hidup yang feodalistis di samping rasa bangga dengan kebudayaan nenek moyang yang berpusat pada kebudayaan kraton.

E. Dakwah kepada orang Abangan

Keberhasilan para da’I  zaman dulu (para wali) dalam meng-Islam-kan penduduk Jawa (walaupun baru pada tingkat pengakuan) adalah menunjukkan tepatnya pendekatan yang dipakai. Pemilihan cara pendekatan itu memang melalui perundingan yang matang. Dalam suatu permusyarawatan, Sunan Kalijaga berpendapat (mengusulkan) bahwa untuk memperkembangkan agama Islam, adat istiadat Jawa seperti slametan (selamatan), sesaji dan juga kegemaran orang Jawa seperti wayang supaya dibiarkan jalan terus tetapi bersamaan dengan itu supaya diisi ajaran-ajaran ke-Islaman, (jadi dengan cara “tut wuri hani seni”).
Pendapat S.Kalijaga ini dikhawatirkan oleh S.Ampel, kalau adat-istiadat semacam ini dibiarkan berjalan terus, maka mungkin adat-istiadat itu akan dianggap sebagai ajaran Islam oleh orang-orang di kemudian hari. Tetapi pendapat S.Ampel itu di jawab oleh S.Kudus, bahwa pada suatu ketika akan ada orang Islam yang menyempurnakannya.
Pandangan S.Kalijaga ini selain didukung oleh S.Kudus juga didukung oleh S.Bonang, S.Muria dan S.Gunung Jati. Sementara itu dalam kelompok S.Ampel terdapat S.Giri dan S.Drajad.
Umar Hasyim menerangkan bahwa golongan Tuban (kelompok S.Kalijaga) berpendirian :
  1. Membiarkan dulu adat-istiadat yang sukar dirubah dan menghindarkan cara-cara radikal.
  2. Adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan mudah dirobah segera dihilangkan.
  3. Menggunakan metode “tut wuri handayani” dan tut wuri hangiseni”, yaitu mengikuti dari belakang sambil memasukkan ajaran Islam.
  4. Menghindarkan konfrontasi secara langsung dengan masyarakat.
  5. Boleh merobah adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, tetapi dengan cara bijaksana agar masyarakat tidak lari (menjauh) dari para da’I (wali).
Bila kita mengamati sejarah hidup para wali, kita akan dapat memahami mengapa S.Kalijaga sangat toleran kepada adat-istiadat Jawa dan menghindarkan konfrontasi, sementara S.Giri sangat keras (mula-mula)  terhadap adat-istiadat yang berbau Hindu, Budha, animistis dan dinamistis?  Hal ini barangkali karena S.Kalijaga adalah seorang Jawa asli yaitu putra dari Ki Tumenggung Wilatika (Bupati Tuban) yang disamping memahami adat-istiadat Jawa  dapat menangkap perasaan-perasaan  orang Jawa. Sementara S. Giri adalah seorang Arab putra Maulana Ishak  dari Pasai Aceh, meskipun dari pihak ibu beliau keturunan dari raja Blambangan. Namun biasanya sebagaimana watak orang Arab, pengaruh seorang ayah lebih dominan daripada pengaruh ibu (yang orang Jawa). Oleh karena itu dapat dipahami  bila S.Giri terkenal sebagai seorang wali yang radikal.
Aliran yang menganut S.Giri ini kemudian dikenal sebagai “golongan putih” atau “Islam putihan”, sedang aliran Tuban (pengikut S.Kalijaga) dikenal sebagai “aliran abangan”.

Dalam pada itu kita melihat bahwa pelaksanaan da’wah di tanah Jawa memang terdapat hal-hal seperti yang digariskan oleh S.Kalijaga. Misalnya saja banyak bentuk lakon-lakon wayang yang dimasuki unsur-unsur Islam. Misalnya saja tentang Kalimusodo. Menurut aslinya berasal dari  Kalimahhosyada yang berarti “jamu atau alat sakti yang dahsyat dari Kali”, dan kali adalah Durga istri Sakti Batara Syiwa. Tetapi ceritera yang berkembang di Jawa tidak demikian. Dalam lakon tersebut diceritakan bahwa Yudhistira yang memegang kitab Kalimasada tidak bisa sebelum dapat menafsirkan isi kitab tersebut. Karena itu ia mengembara dan sampai di Jawa bertemu S.Kalijaga yang  mampu menafsirkan Kitab Kalimasada tersebut. Yaitu bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul Allah. Dan Yudhistira setelah mengucapkan kedua kalimah syahadat tersebut lalu mati. Dan dimakamkan di Demak.
Contoh lain misalnya tentang adanya Punokawan. Menurut penuturan Ki Musa Al Mahfudz bahwa Punokawan itu “memperagakan  dan mengbdikan fungsi, watak, tugas konsepsional Walisanga dan para mubaligh.
Pengubahan lakon Serat Kalimasada oleh para penyair agama Islam (para wali) itu mengandung dua maksud/harapan :

Pertama, bahwa orang Jawa (yang diwakili oleh Yudhistiro) tidak akan dapat menikmati hidup bahagia tanpa memeluk agama Islam yang dimulai dengan persaksian mengucapkan kedua kalimat syahadad tersebut;  Barangkali tema ini diambil dari ayat : 132 S.Al Baqarah yang artinya :…maka janganlah kamu sekalian mati kecuali dalam keadaan Islam (berserah diri).
Kedua, dengan ceritera tersebut diharapkan agar orang Jawa bersedia memeluk agama Islam (mengikuti prabu Yudhistiro), dan dengan kalimah syahadat (jimat kalimusodo) tersebut akan dapat mengalahkan hawa nafsunya (yang dalam wayang diwakili oleh Kurawa). Dan dengan mengalahkan hawa nafsu (Kurawa) maka orang Jawa akan mendapat kebahagiaan.
Cara-cara lain yang dipakai oleh para wali dalam rangka berda’wah dengan pendekatan budaya ini adalah : Dengan menciptakan gending-gending (gong) Maskumambang dan Mijil serta mengarang cerita-cerita anak-anak oleh S.Kudus. Menciptakan gending-gending/gong Sinom dan Kianti oleh S.Muria. Menciptakan gending Asmaradana dan Rucung serta permainan anak-anak seperti Julungan/jetungan, Jamuran, Gendi-gerit, Gula-ganti, Cublak-cublak Suweng, Ilir-ilir, Padang bulan. S.Drajat menciptakan gending Pangkur.

F. Sejarah Perayaan Sekaten

Sementara para pujangga dan pejabat kerajaan-kerajaan Islam terus berusaha mencari cara-cara baru untuk terus menyebarkan ajaran Islam.
Diciptakan pula sekaten” dalam rangka memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. (Maulud Nabi) yang sampai kini masih dapat kita saksikan di Yogyakarta, Solo dan Cirebon.
Dalam buku Titi Asri yang disalin dan disusun oleh Sapardal Hardasukarta dengan dibantu oleh Mas Ngabehi Mlayadimeja (Mantriwiyogo) di Kraton Surakarta dan atas petunjuk Kiyahi Demang Gunastika ke II abdi dalem panewu di Kraton Surakarta, diterangkan bahwa asal mula adanya gamelan Sekaten tersebut sejak zaman Glagahwangi, Demak bersamaan dengan masuknya agama Islam. Gamelan tersebut ditempatkan dan mainkan di halaman masjid setiap bulan Maulud mulai tanggal 6 sampai tanggal l2 bulan Maulud.
Dalam rangka perayaan tersebut diperdengarkan gending-gending yang menjadi kesenangan orang Jawa, sehingga orang-orang dari segala pelosok berdatangan untuk mendengarkan (gending-gending=gong) sekaten tersebut. Gending-gending yang diperdengarkan tersebut semuanya mengandung pesan keagamaan.
Misalnya saja gending yang pertama kali adalah gending rambu yang berasal dari kalimat “Rabbul ‘alamina” yang isinya pujian kepada Allah SWT yang menguasai seluruh alam, kemudian gending Salatun yang mengandung pesan kepada pendengar agar suka menyembah kepada Tuhan, dan seterusnya.
Disamping itu, dalam rangka perayaan Sekaten tersebut terdapat orang-orang yang menyukai sirih lengkap dengan kembang kantil. Barang siapa yang memakan sirih, menurut kepercayaan akan awet muda. Selanjutnya di sana juga terdapat nasi uduk (nasi santan kelapa) yang rasanya gurih. Semuanya itu mengandung pesan-pesan tertentu, misalnya daun sirih (Jawa= :suruh) mempunyai makna “menyuruh” (mengundang-Jawa Timur tonjok).
Maksudnya dengan “sekaten”  orang banyak diundang untuk mendengarkan pesan-pesan keagamaan dan khutbah-khutbah tentang ajaran Islam untuk kemudian memeluknya dan melaksanakan rukun-rukunnya.

Rasa daun sirih yang enak/manis itu mengandung makna bahwa masuknya ke dalam Islam itu tidak dengan paksaan.
Selanjutnya barang siapa yang mengunyah siri tadi berarti menerima Islam ( suruhan) dan memasukkannya ke dalam hati. Orang yang telah menerima Islam akan bahagia karena itu dia akan awet muda. Adapun kembang “kantil”  mengandung makna arti kemantil-kantil maksudnya tidak mau berpisah dengan agama Islam yang telah dipeluknya. Demikian pula dengan nasi uduk yang mempunyai pesan tertentu.
Pada akhir perayaan “sekaten” yaitu tanggal 12 Maulud di serambi Masjid Agung Jogjakarta dibacakan riwayat hidup dan perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. yang didengarkan oleh segenap kerabat Kraton dan semua pengunjung, untuk kemudian dicontoh dan dijadikan cermin dalam hidupnya.
Demikianlah da’wah para da’I zaman dahulu yang ditujukan kepada masyarakat Jawa yang mempunyai kepercayaan yang animistis, dinamistis yang memeluk agama Hindu-Budha serta hidup dalam suasana mistis, dengan segala adat-istiadat Jawanya.
Perayaan Sekaten di Yogyakarta, sudah puluhan tahun berlangsung dan tetap menjadi perhatian masyarakat. Bukan terbatas pada nilai spiritrualnya tetapi telah menjadi tradisi budaya yang kian memiliki keunikannya. Biasanya perayaan ini diselenggarakan dalam bentuk Pasar Malam dan berlangsung selama sebulan di alun-alun utara Kraton Yogyakarta. Sejak zaman Sunan Kalijaga, Sekaten itu berlangsung di Indonesia.
Pemilihan tokoh Sunan Kalijaga, karena dialah salah seorang dari sembilan wali yang sudah mendalami agama Hindu, memahami watak dan kepribadian orang Jawa. Kecintaannya terhadap gamelan, bagi orang  Jawa, seakan begitu  mendarah-daging.
 Karena itu Sunan memrakarsi membunyikan gamelan untuk memikat masyarakat.
Gamelan itu ditempatkan di panggung gamelan yang disebut pagongan yang terletak di halaman Masjid Besar. Dihiasi berbagai bunga. Menunggu saat gamelan keluar, atau gamelan masuk, biasanya merupakan perhatian tersendiri.
Ada yang bahkan sampai menginap untuk menyaksikannya. Inilah kepercayaan yang masih bisa kita tampaki. Sekaten, memang bukan cuma milik  Kraton Yogyakarta dan Keraton Solo. Setidaknya di tiga pusat kebudayaan Jawa  yang diwakili oleh Keraton Solo, Cirebon dan Yogyakarta, perayaan Sekaten  menjadi tontonan rakyat dan masih ditradisikan. Inilah siar agama Islam itu.
 Banyak orang menunggu kehadiran Sekaten, sebab dari sana banyak orang percaya akan berkah dan rezeki.  Kehadiran Sekaten tidak begitu saja.
Sejak lama pula didahului dengan pasar malam. Di sini, penyelenggara memang berupaya memadu. Di satu sisi perayaan itu sendiri berbau spiritual dan tradisional.
Sedang pasar malam lebih banyak disentuh budaya modern dan selalu dituntut oleh perkembangan zaman. Dan perayaan semacam ini, agaknya akan terus berlangsung hingga kapan pun. Kalau tahun ini tak sempat menyaksikan, tahun depan masih ada kesempatan buat anda.

G. Kesimpulan :

Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan :
1.    Dalam menda’wah Islam di Indonesia kita tidak dapat menyamakan sumua suku bangsa dengan menggunakan metode dan pendekatan yang sama.
2.    Suku Jawa adalah suku bangsa yang besar dan di antara mereka itu orang-orang yang tingkatan keagamaannya rendah (Abangan) merupakan jumlah yang terbesar. Karena itu kelompok ini perlu mendapat perhatian yang serius.
3.    Suku Jawa ini adalah suku yang telah memiliki kebudayaan yang sudah mapan karena itu dalam berda’wah perlu memperhatikan pandangan hidup, nilai-nilai budaya yang telah dimilikinya.
4.    Para da’I yang akan berda’wah kepada suku ini perlu memahami pandangan hidup, sikap hidup, nilai-nilai budaya yang ada pada mereka dan dengan menggunakan apa-apa yang telah mereka miliki itu sebagai pangkal berbijak dalam berda’wah, yaitu dengan metode “tut wuri hangiseni”.
5.    Pengalihan kepercayaan dari Agama Hindu menjadi penganut ajaran Islam berlangsung dengan cara damai, tanpa paksaan.

(Sumber : Kumpulan kliping- Seni Budaya Jawa—penulis, Drs.Simon Arnold Julian Jacob;--Tahun l994).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.