MODEL PENDIDIKAN YANG
MENGHASILKAN INTELEKTUAL BERMUTU--
Oleh:Drs.Simon--Arnold--JUlian--Jacob
Sistem Pendidikan Modern
Pembangunan Indonesia
memerlukan orang-orang pintar (cendikiawan-intelektual) yang bertanggung jawab,
penuh dedikasi, bijaksana, jujur, ulet, berpikiran maju, berwibawa, menguasai
segala permasalah yang timbul atau akan timbul dengan solusi yang tepat,
disiplin, memiliki manajemen
yang baik menguasai bidang-bidang seperti bidang politik, sosial budaya,
ekonomi, keamanan, hukum dll, berani, dan tegas.
Orang-orang demikian tentu
ditunjang dengan dasar pendidikan
yang kuat. Oleh karena itu pendidikan menjadi sangat penting yang menghasilkan inteletual yang bermutu.
Tujuan dari pendidikan adalah, menjadikan seseorang menjadi jati drinya dan mandiri dalam berbagai
peri kehidupannya. Maka secara sepintas disajikan secuil pengetahuan tentang bagaimana persyaratan suatu bentuk pendidikan yang dianggap bermutu, selanjutnya ikuti uraian
dibawah ini.
Pendidikan (Lat.; educare = mengantar ke luar). Proses
membimbing manusia dari kegelapan kebodohan ke kecerahan pengetahuan. Dalam
arti luas, pendidikan baik yang formal meliputi segala hal yang memperluas pengetahuan
manusia tentang dirinya sendiri, dan tentang dunia di mana mereka hidup.
Menurut
caranya, pendidikan terbagi menjadi 3 macam ; .
- Dresur, yakni pendidikan yang berdasarkan paksaan;
dilakukan pada kanak-kanak yang umumrnya belum 1 tahun;
- Latihan, dimaksudkan
untuk membentuk kebiasaan; dilakukan sedapat-dapatnya secara sadar oleh
anak didik;
- Pendidikan, dimaksudkan untuk membentuk kata hati; anak didik
yang diajar berbuat menurut kesanggupan sendiri, dan menentukan kelakuan
sendiri atas tanggung jawab sendiri pula.
Pendidikan dilakukan sampai saat anak didik sanggup
menanggungjawab sendiri akan segala yang dilakukannnya.
Pada
saat itulah pendidikan dianggap selesai.
Hakikat
dan tujuan pendidikan erat hubungannya dengan tanggapan hidup pendidik, demikian pula cara-cara
melakukan pendidikan dalam praktek.
Tanggapan hidup pendidikan menjadi dasar
bagi cara dan tujuan pendidikan
yang diberikannya.
Yang
pertama-tama bertanggung jawab tentang
pendidikan bagi seorang anak ialah,
- orang tuanya,
- kemudian keluarga,
- masyarakat, dan
- akhirnya negara.
Dalam hubungan ini sangat penting artinya bagi
pendidikan, ialah organisasi, surat kabar, dan media massa umumnya, buku
bacaan, perpustakaan dll.
Beberapa
segi dalam pendidikan :
- Pendidikan intelektual,
meliputi pengajaran pelbagai pengetahuan dan kepandaian yang perlu bagi
perkembangan akal;
- Pendidikan jasmani,
agar badan tumbuh secara sehat dan menjadi kuat;
- Pendidikan kesusilaan,
mengajarkan mana yang baik dan mana
yang buruk, dan agar
berbuat menurut
norma-norma baik-buruk tersebut;
- Pendidikan keindahan,
agar dapat menghargai nilai-nilai
keindahan yang terdapat di alam dan kehidupan, khususnya kesenian;
- Pendidikan sosial,
agar dapat menghargai dan menerima nilai-nilai hidup bersama orang lain.
Dalam praktek pendidikan segi-segi tersebut tidak dapat dipisahkan yang satu dari yang
lain, sehingga dengan demikian jiwa anak didik berkembang dalam keselarasan.
Pendidikan
dapat diwujudkan dalam berbagai cara; cara-cara posetif antara lain :
- memberi teladan baik,
- latihan untuk membentuk kebiasaan;
- memberi perintah;
- memberi pujian dan hadiah;
- menyalurkan hasrat berbuat hingga menjadi kreativitas;
Cara-cara
negatif antara lain :
- mengadakan pelbagai larangan;
- celaan dan teguran,
- hukuman.
(Sumber
: Insklopedi Indonesia(EI) Edisi Khusus,
Buku 5 : 2627).
Sedang pada sisi yang lain, tujuan pendidikan adalah membentuk manusia “Intellectual” (intelektual) atau Cendekiawan
adalah seseorang yang tidak saja mempunyai kemampuan nalar (reasoning power) yang tertarik kepada hal-hal rohani (things
of mind), ia juga
mempunyai kemampuan berfikir bebas.
Berfikir
bebas dalam arti mencakup :
- pengamatan yang cermat terhadap gejala-gejala
disuatu lingkungan,
- pemahaman tentang sebab gejala-gejala itu dan
korelasinya dengan gejala-gejala lainnya dan,
- kemudian merumuskan suatu kesimpulan yang dapat
dikomunikasikan kepada orang lain dengan bahasa yang jelas.
Para
intelektual ini umumnya berasal dari lulusan Perguruan Tinggi. Sedikit sekali yang
bukan berasal dari lulusan Perguruan Tinggi atau Lembaga Pendidikan Formal.
Sekalipun sudah memperoleh kemampuan berfikir bebas
dengan mendapat latihan yang sistimatis dan terarah dalam Lembaga Pendidikan
formal yang umumnya Westernized, tetapi banyak dari si intelektual kita hampir tak mungkin menghindari
kekuatan kebudayaan sendiri sebagai pembentuk dunia perasaan dan
pemikiran masa lampau di mana ia telah mengalami sosialisasi dalam kehidupan kebudayaan
lingkungannya.
Jadi sulit baginya menghindari kekuatan yang membentuk
jaringan-jaringan nilai, norma-norma yang meliputi pandangan hidupnya yang
mendasar. Tetapi walaupun demikian tidak mengurangi kualitas sebagai intektual.
Malah Sultan Takdir Alisyahbana menyerang
para inteletual yang ada ikatan tradisional dengan “bangsa kita berabad-abad
katanya :
- kurang memakai otaknya,
- kurang egois,
- kurang materialistis.
- dalam hal intelek berabad-abad bangsa kita, parasiteren
hidup seperti benalu pada masa yang silam”.
Kata-kata ini diucapkan pada tahun tigapuluhan, tetapi
masih aktuil untuk tahun tujuhpuluhan hingga sekarang ini.
Sekalipun Koentjaraninggrat
menegaskan “modernisasi” tidak memerlukan westernisasi dan hal ini banyak dibenarkan banyak orang.
Selanjutnya
Koentjaraninggrat berkata :
- “unsur-unsur yang bermula berasal dari kebudayaan Barat
itu dapat kita tiru,
- kita ambil alih,
- kita adaptasi,
- kita beli dengan tak usah menjadi seperti orang
Barat........pakaian--sistem
sekolahan, --teknologi dan
sebagainya.” (Koentjaraninggrat, Kebudayaan
Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta, l974, hal.135)
Suatu ironi para intektual kita (Indonesia umumnya) bersifat pasif, selalu tertinggal, (kalau ikut, belum dengan posisi yang
orisinil) sehingga sejak awal perkembangannya hingga kini tetap didominir kalangan
inteletual Barat. Ada kesan seakan-akan para intelektual kita mempunyai sifat statis, enggan berubah. Dalam hal ini
para intelektual kita sering menyalahkan faktor-faktor lingkungan sebagai
penghambat kreativitas mereka, misalnya
:
1. faktor-faktor
kultur,
2. faktor
sikap penguasa dan,
3. faktor
lembaga pendidikan sebagai keseluruhannya.
Pada hal kalau diteliti faktor penyebab terpenting terletak
pada diri mereka
sendiri, hanya hal ini kurang disadari.
Pada hal persyaratan untuk
berfikir secara terbuka bagi intelektual adalah, keterbukaan untuk
melihat kelemahan sendiri, terutama dalam sifat dan pikirannya.
Hal tersebut
merupakan sikap dan pola berpikir intelektual kita juga yaitu :
1. Dalam hal filsafatnya, logikanya sudah
banyak menerima pengaruh pendidikan Barat, sedangkan dihatinya
masih dipengaruhi oleh kebudayaan
tradisionalnya sebagai akibat pengalaman sosialisasi, sehingga sulit
dihindari kekuatan yang menentukan jaringan nilai dan norma-norma
yang meliputi pandangan hidup yang mendasar.
·
Dilengkapi
dengan sifat humanismenya
maka dalam pandangan filsafat intelektual, yaitu asal
sesuatu tersebut masih masuk akal dan tidak bertentangan dengan sistym
religi/aspek religi, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan
yang lama dari masyarakatnya, maka ia masih akan menerimanya.
·
Ia
berusaha berdiri di atas obyektivitasnya rasio, tetapi tidak
mengabaikan kehidupan budaya, adat, religi daripada
masyarakatnya.
·
Keadaan
inilah yang sering menimbulkan keraguan dalam sikap hidupnya
terhadap segala masalah yang dihadapinya.
·
Bagaimanapun
argumennya,
para
intelek mereka yang sedang membangun, tidak dapat menutup mata terhadap
misi yang dipercayakan kepada mereka oleh masyarakat, yakni memakai intelek
mereka yang terlatih itu untuk rakyatnya.
·
Memang
sangat perlu akan adanya pola pikiran dan sikap yang baru di kalangan intelek
yaitu, berfikir bebas, tapi tak perlu menjadi seperti orang
Barat. Ia ingin netral dari ekstrimnya logika dan ekstrimnya
sistem kebudayaan yang dianut.
2.
Dalam etika, para intelek, tidak banyak
menghendaki perubahan tradisi aslinya, asal, misalnya sifat
kaku akibat adanya stratifikasi sosial (dalam kalangan
bangsawan/priyai, antara rakyat desa dengan kota), orientasi ke atas, dan
sikap-sikap tradisi maupun tingkah-laku religi tidak berlebih-lebihan. Kewajaran
bergaul sesama manusia yang sederajat dengan kewajaran adat sopan santun
adalah merupakan hal yang masih disenangi. Tetapi menghilangkan sama sekali
etik pergaulan adalah tidak dikehendakinya. Hanya para intelek tersebut sudah
tidak mau mengkaitkan etika masyarakat dengan soal-soal kegaiban
(mitos, magi dsb) memang mereka lebih bebas dalam etika ini dalam batas-batas
yang wajar.
3.
Memang sejarahnya kaum intelektual mulai
lahir setelah pemerintah jajahan Belanda melaksanakan “etische politiek”terhadap bangsa Indonesia.
·
Untuk
rakyat hanya cukup diberi pendidikan sampai “Volk school” sampai
dengan kelas III dengan tujuan agar bisa menggantikan tenaga-tenaga rendahan
bangsa Belanda yang mahal.
·
Selanjutnya
bagi anak-anak pegawainya yang loyal dengan pangkat terendah mantri polisi dan
anak-anak bangsawan dapat bersekolah di HIS
yang mengajarkan bahasa Belanda dengan lama pendidikan 7 tahun.
·
Bila
lulus dapat diteruskan ke MULO
terus ke AMS dan bisa
meneruskan ke Perguruan Tinggi di negeri Belanda atau Perguruan Tinggi di
Indonesia jurusan Teknik, Kedokteran, Hukum yang didirikan pada tahun l920.
·
Tetapi
para lulusan Perguruan Tinggi ini yaitu para intelektual bangsa Indonesia
banyak yang menjabat pada pemerintah Belanda.
4.
Tetapi Belanda sangat berhati-hati menempatkannya,
khawatir akan menjadi senjata bumerang bagi dirinya.
· Karenanya para
intelektual tersebut diberi jabatan pelaksana saja, bukan yang bersifat
memutuskan.
· Di samping para
intelektual bangsa Indonesia tersebut banyak pula kaum Aristokrat pribumi
yang telah lebih dahulu bekerja pada Belanda.
· Ada pula glongan
intelektual yang tidak bekerja pada pemerintah Belanda, tetapi golongan
ini bersama-sama dengan para pimpinan Islam merupakan kesatuan yang banyak mempelopori
kebangkitan dan perjuangan Nasional.
· Di dalam zaman
penjajahan Belanda dan Jepang kaum intelektual selalu
diawasi ketat oleh penguasa-penguasa penjajah tersebut. Penyusun konsep
Pembukaan UUD l945 sampai sebagai penggerak dari revolusi.
Selain menghadapi Belanda,
ternyata krisis politik dan militer melanda Republik muda ini, Idealisme romantis
revolusi nasional waktu Orde Lama ternyata tidak memberi
tempat yang bermanfaat kepada tenaga intelektual yang berfikir dan berpendapat
bebas.
Pada
masa Orde
Baru yang berorientasi kepada Pembangunan Bangsa, kaum intelektual
diberi peranan aktif dalam semua segi prosedurnya sejak dari pengumpulan data,
merencanakan, menyusun program sampai dengan ke-implementasinya dan evaluasinya
dalam fokus pembangunan di bidang ekonomi. 15 dari 22 menteri dalam Kabinet
Presiden Soeharto (kecuali Presiden dan Wakil Presiden) adalah teknokrat/Profesor
adalah juga intelektual. Penyiapan REPELITA I sampai dengan V kaum
intelektual memegang peranan penting.
Sekarang
ini dalam dunia pendidikan dikenal istilah “Pembelajaran Kontekstual dan Kecakapan Hidup”
suatu gambaran proses dan hasil belajar dalam kurikulum berbasis Kompetensi.
Pengertian dalam
kelompok ‘Kecakapan
Hidup’,
antara lain memuat:
1. pengertian-pengertian
kompentensi dan hasil belajar,
2. jenjang kompetensi,
3. kecakapan hidup, dan
4. jenis kecakapan hidup
serta,
5. empat pilar
pendidikan dari UNESCO.
Kompetensi
merupakan
:
1. pengetahuan,
2. ketrampilan, dan
3. nilai-nilai dasar
yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan
terus-menerus,
4. memungkinkan
seseorang menjadi kompeten.
Dalam
arti memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan
sesuatu.
Hasil belajar
merupakan uraian untuk menjawab pertanyaan : “Apa yang harus :
1. digali,
2. dipahami, dan
3. dikerjakan siswa”.
Hasil
belajar merefleksikan keluasan, kedalaman dan kompleksitas (secara bergradasi)
dan digambarkan secara jelas serta dapat diukur dengan teknik-teknik penilaian
tertentu.
Perbedaan
antara Kompetensi dengan hasil belajar terdapat pada batasan dan
patokan-patokan kinerja siswa yang dapat diukur.:
1. Kecakapan Hidup adalah Kecakapan yang dimiliki seseorang
untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa
tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi
sehingga akhirnya mampu mengatasinya.
2. ‘Kecakapan Hidup’ juga memiliki arti suatu kepandaian, kemahiran,
kesanggupan atau kemampuan yang ada pada diri seseorang untuk menempuh
perjalanan hidup atau untuk menjalani kehidupan.
‘Kecakapan hidup’ dapat
dipilah menjadi ‘lima jenis’ yaitu :
1.
‘Kecakapan personal’ (personal skill), yang mencakup
kecakapan mengenal diri (self
awareness) dan ‘kecakapan berpikir rasional’ (thingking skill). Kecakapan kesadaran diri pada
dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa, anggota
masyarakat dan warga negara, serta menyadari dan menyukuri kelebihan dan
kekuarangan yang dimiliki, sekaligus menjadikannya sebagai modal dalam
meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungan.
2.
‘Kecakapan
sosial’ (social skill).
Kecakapan interpersonal (interpesonal skill) mencakup antara lain kecakapan komunikasi
dengan empati ( communication skill) dan kecakapan bekerjasama
(collaboration skill).
3.
‘Kecakapan akademik’ (academic skill). Kecakapan Akademik (academic
skill) yang seringkali disebut berpikir
ilmiah pada dasarnya merupakan pengembangan dari ‘kecakapan berpikir rasional’.
Kemampuan berpikir rasional masih bersifat umum dari kecakapan akademik/keilmuan. Kecakapan
akademik mencakup antara lain kecakapan melakukan identifikasi variabel
dan menjelaskan hubungannya pada suatu fenomena tertentu, merumuskan hipotetis
terhadap suatu rangkaian kejadian, serta merancang dan melaksanakan penelitian
untuk membuktikan suatu gagasan atau keingintahuan.
4.
‘Kecakapan vokasional’ (vocational skill). Sering disebut
pula dengan kecakapan kejuruan, artinya kecakapan yang dikaitkan dengan
bidang pekerjaan yang terdapat di masyarakat.
5.
Pada pengelompokan yang lain, dicantumkan juga ‘kecakapan
lingkungan’ (environmental skill) yaitu
kecakapan berdialog secara baik dengan lingkungan alam sekitarnya, untuk
menikmati keindahannya dan menjaga kerusakan-kerusakan karena ulahnya sendiri
atau oleh manusia lainnya, serta kemampuan untuk menjaga diri dari pengaruhnya.
Sedang yang dimaksud
dengan ‘Pembelajaran
Kontekstual’, antaranya memuat pengertian-pengertian :
1.
constructivisme,
2.
multiple
intelligence,
3. contextual learning,
4. quantum learning,.
Yang dirangkum dalam
istilah PAKIEMM singkatan dari Pendekatan
1.
Aktif,
2.
Kreatif,
3.
Inovatif,
4.
Efektif,
5.
Menyenangkan dan,
6.
Mencerahkan.
Bahwa
Reformasi pendidikan telah bergulir
sejalan dengan perubahan tatanan kehidupan baik dalam lingkup nasional maupun
internasional. Dalam lingkup nasional ditandai dengan kebijakan
otonomi daerah, yang didalamnya tercakup sektor pendidikan.
Dalam
lingkup internasional ditandai dengan derasnya informasi (dalam konteks
ini, ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya yang mengglobal, yang harus
diantisipasi dalam bidang pendidikan).
Kecenderungan
pendidikan dalam skala global, mengarah pada kecakapan hidup yang
dicanangkan oleh UNESCO sebagai ‘empat pilar pendidikan’ yaitu :
1.
‘Learn To Know’ : Pembelajar
memiliki keingintahuan yang tinggi dan trampil mencari tahu sumber informasi,
mengolahnya dan menyimpulkannya, (academic skill melalui kecerdasan linguistic,
logical-mathematical, visual-spacial dan
naturalistic).
2.
Learn To Do : Pembelajar memiliki kemampuan berbuat
sesuai dengan pengetahuannya, (vicational skill melalui
kecerdasan bodily-kinestetic).
3.
Learn To Be : Pembelajar memiliki
kepribadian yang tangguh, (personal skill sebagai akibat
terasahnya kecerdasan intrapersonal, emotional dan spiritual).
4. Learn To Live
Together
: Pembelajar memilki kemampuan hidup bersama (social skill sebagai
akibat terasahnya kecerdasan interpersonal).
Kelompok pengertian
‘Pembelajaran Kontekstual’ adalah
1.
Teori Multiple Intelligency; menurut Dr.Howard Gandener
mengidentifikasi beberapa kecerdasan
yang luas antara lain :
1.
Linguistic
Intelligence
: Kemampuan membaca, menulis, dan berkomunikasi dengan kata-kata;
2.
Logical-Mathematical
Intelligence:
Kemampuan berpikir (menalar) dan menghitung, berpikir logis dan sistimatis;
3.
Vicual-SpacialIntelligence:-Kemampuan-berpikir
menggunakan gambar, mengvisualisasikan hasil masa depan, membayangkan berbagai
hal dalam mata pikiran;
4.
Musical Intelligence : Kemampuan
menggubah atau mencipta musik, dapat bernyanyi dengan baik, atau memahami dan
mengekspresi musik serta menjaga ritme;
5.
Bodily-Kenesthetic
Intelligence : Kemampuan
menggunakan tubuh secara trampil untuk memecahkan masalah, menciptakan produk
atau mengemukakan gagasan dan emosi;
6.
Interpersonal (Social Intelligence) : Kemampuan bekerja
secara efektif dengan orang lain, dan memperlihatkan empati dan pengertian,
memperhatikan motivasi dan tujuan bersama;
7.
Intrapersonal
Intelligence
: kemampuan menganalisis diri dan merenungkan diri, mampu merenung dalam kesunyian, menilai
prestasi seseorang, meninjau prilaku seseorang dan perasaan-perasaan
terdalamnya, membuat rencana dan
menyusun tujuan yang hendak dicapai, mengenal diri sendiri;
8.
Naturalistic
Intelligence
: Kemampuan mengenal fauna dan flora. Mengadakan pemilahan-pemilahan runut
dalam dunia kealaman, dan menggunakan kemampuan itu secara produktif;
9.
Selain
itu, Danah Zohar memperkenalkan pula satu kecerdasan lagi yang
disebut : Spiritual Intelligence :
Kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan
kearifan di luar ego, atau jiwa sadar,. Inilah kecerdasan yang kita gunakan
untuk mengetahui nilai-nilai dan secara kreatif menemukan nilai-nilai.
2.
Skema.
Secara rinci Piaget
mengungkapkan bagaimana pengetahuan ini terbentuk dalam teorinya yang disebut “teori adaptasi intelek”. Dalam pikiran orang ada struktur
pengetahuan awal ( struktur kognitif), yang
disebut “skema” . ‘Skema’
ini berperan sebagai suatu filter dan fasilitator bagi ide-ide dan
pengalaman-pengalaman baru. Melalui pengalaman baru, ‘skema’ dapat
dikembangkan dan diubah. Skema dikembangkan melalui proses asimilasi.
Dengan proses ini seseorang mengintegrasikan
persepsi atau pengalaman baru kedalam ‘skema’ yang sudah ada dalam pikirannya. Bila dalam
proses itu, pengalaman baru itu tidak dapat diasimilasikan dengan skema
tersebut, maka ‘skema’ harus dirubah. Proses ini disebut “akomodasi”. Perubahan dilakukan sampai terjadi “equilibrium”
atau “keseimbangan.”
Piaget membedakan adanya tiga
macam pengetahuan : (a). pengetahuan fisis, (b).
matematis-logis, dan (c). sosial.
Pengetahuan fisis adalah pengetahuan
akan sifat-sifat fisis suatu obyek atau kejadian seperti : bentuk, besar,
kekasaran, berat dan bagaimana benda-benda itu beritegrasi. Pengetahuan fisis
ini didapatkan dari abstraksi langsung suatu obyek.
Pengetahuan matematis-logis adalah pengetahuan yang dibentuk dengan berpikir
tentang pengalaman dengan suatu obyek atau kejadian tertentu. Pengetahuan
ini didapatkan dari abstraksi berdasarkan koordinasi, relasi, atau penggunaan
obyek. Pengetahuan itu harus dibentuk dari perbuatan berpikir seseorang
terhadap benda itu. Jadi pengetahuannya
tidak didapat langsung dari abstraksi bendanya. Misalnya konsep
bilangan.
Pengetahuan sosial adalah pengetahuan
yang didapat dari kelompok budaya dan sosial yang secara bersama menyetujui
sesuatu. Pengetahuan ini dibentuk dari interaksi seseorang dengan orang
lain. (Piaget l971 dalam
Suparno, 2001)
3.Quantum
Learning :
Adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan landasan filosofi E = mc2
dalam arti belajar dengan mengoptimalkan potensi diri (m) dan kecepatan tinggi (c), akan tetapi situasinya
nyaman dan menyenangkan sehingga menjadi cahaya yang mencerahkan (E).
Quantum
learning (QL) mempunyai visi menciptakan
lulusan yang kuat fisiknya, besar jiwanya, dan terdidik pikirannya. Pada dasarnya QL adalah interaksi yang mempercepat belajar
a) Dengan musik,
b). Mewarnai lingkungan;
c). Menyusun bahan ajar yang sesuai,
d). Efektifitas penyajian dan
e).Pelibatan siswa
secara aktif.
4.Pembelajaran
kontekstual (Costextual
Learning) : adalah konsep belajar yang membantu guru,
- mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan
situasi dunia nyata siswa dan,
- mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka
sehari-hari,
- dengan melibatkan tujuh komponen utama
pembelajaran
efektif yaitu : Konstruktivisme,
bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modelling), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment).
Dalam praktek
pembelajaran “kontekstual”, ada lima elemen yang harus diperhatikan :
1. Pengaktifan
pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge);
2.
Pemerolehan pengetahuan baru (acguiring knoeledge) dengan cara mempelajari secara
keseluruhan kemudian memperhatikan detailnya;
3.
Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) yaitu
dengan cara menyusun konsep sementara (hipotesis), melakukan sharing
kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validasi) dan
atas dasar tanggapan itu, merevisi konsep tersebut dan mengembangkannya.
4.
Mempraktekan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying
knowledge),
5.
Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.
Dalam wacana lain,
dikatakan “kontekstual” berangkat dari :
1.
percobaan
konkret,
2.
kemudian
mengobservasi dan,
3.
merefleksi
sehingga terbentuk konsep abstrak dan generalisasi, dan akhirnya,
4.
menerapkan
konsep tersebut dalam konkret yang baru.
5. PAKIEMM
Dalam petunjuk kegiatan belajar mengajar KBK, pendekatan pembelajaran
diistilahkan dengan “Pendekatan Aktif, Kreatif, Inovatif, Efektif, Menyenangkan, Mencerahkan” disingkat “(PAKIEMM)” dijelaskan sebagai berikut :
- Aktif, membentuk
pengetahuan sesuai dengan teori konstruktivisme;
- Kreatif, memanipulasi (produk atau proses, konkret atau
abstrak) menjadi sesuatu yang baru;
- Inovatif, berkarya atau berpikir secara original, yang dapat
diterapkan dalam kehidupan;
- Efektif, tepat menuju tujuan yang jelas;
- Menyenangkan, dan
- Mencerahkan sesuai dengan Quantum Learning.
Pada
akhirnya, ‘pembelajaran’ adalah ‘proses ‘
- pembentukan kebiasaan berpikir,
- bersikap dan,
- bertindak dalam mengadapi perjalanan hidup.
Dalam
wacana lain, dapat dikatakan pembelajaran adalah ‘learn how to learn’, yaitu,
- learn to
know,
- learn to do,
- learn to be,
- learn to
live together.
Demikianlah pengetahuan awal secara garis besar yang
perlu dipahami, sebagai latar belakang dalam melaksanakan ‘pembelajaran kontekstual’
agar tercapai ‘kecakapan hidup’. (Drs.Mohammad Soleh, M.Ed, Bahan
Ceramah, Jakarta, Mei 2003)
Reformasi pendidikan telah bergulir, sejalan dengan
perubahan tatanan kehidupan baik dalam lingkup nasional maupun internasional.
Dalam lingkup nasional, ditandai dengan
kebijakan otonomi daerah, yang didalamnya tercakup sektor pendidikan.
Dalam lingkup internasional ditandai dengan
derasnya arus informasi (dalam konteks ini, ilmu pengetahuan dan teknologi
serta budaya) yang mengglobal, yang harus diantisipasi dalam bidang pendidikan.
Sementara itu,
penelitian internasional, telah memaparkan hasil pendidikan dari berbagai
negara, misalnya dalam Tema :
1. Indeks Pembangunan Manusia, (IPM);
2. Indeks Daya Saing, (IDS);
3. Indeks Pencapaian Teknologi, (IPT);
4. Third International Mathematics and,
5. Science Studies.
Dalam hal ini posisi Indonesia sangat
terpuruk
:
1. IPM 102/163,
2. IDS 37/57,
3. IPT 60/63,
4. Maths 34/38,
5. Sciense 32/38.
Demikian
juga penelitian nasional, menunjukkan mutu hasil belajar siswa sangat
rendah..Dalam nuansa tersebut, sejalan dengan kebijaksanaan otonomi daerah,
Departemen Pendidikan Nasional mulai benah diri, antara lain dengan dirancang
ulang VISI, MISI, TUJUAN DAN STRATEGI PENDIDIKAN.
Salah satu kebijaksanaan mendasar yang paling menyentuh
sekolah adalah dikembangkannya gagasan MBS
dengan didahului MPMBS, dan KBK. Secara singkat dapat dikatakan,
paradigma pendidikan bergeser dari,
- “schooling” (persekolahan) ke-
- “learning” (pembelajaran).
“Managemen
schooling” lebih berorientasi pada melaksanakan aturan/kebijakan yang telah
digariskan, khususnya pada kurikulum dan ujian nasional (input-output
analysis-education production function).
“Managemen learning” lebih berorientasi pada memberdayakan partisipasi dari seluruh stake holder dalam rangka
melaksanakan proses yang menuju pada output
(dampak belajar) tidak sekedar output
(hasil belajar).
Karena itu, kurikulum harus fleksibel dalam hal isi,
proses dan penilaian pembelajaran, namun dalam hal ketercapaian hasil belajar
harus standar yaitu berupa ‘kompetensi’ yang menuju ‘kecakapan hidup’.
- Salah satu “ciri
schooling”
adalah mengutamakan target penyelesaian kurikulum dan menghasilkan
ketamatan (selesai sekolah).
- Sedangkan “ciri learning” adalah mengutamakan ketuntasan
belajar menghasilkan kelulusan (kompeten/cakap).
Standar Kompetensi
memuat kompetensi yang harus dicapai siswa,.
1. Penilaian Berbasis Kelas memuat petunjuk melakukan penilaian ketercapaian
kompetensi dengan proses autentic assessment (tes, kinerja, produk dan
portofolio).
2. Kegiatan Belajar
Mengajar
memuat petunjuk proses pembelajaran kontekstual dalam rangka menuju
ketercapaian kompetensi.
3. Pengolahan Kurikulum
Berbasis Sekolah
memuat petunjuk managemen partisipatif (MBS/MPMBS) dalam mendukung proses
pembelajaran, dan proses penilaian, dalam rangka pencapaian komptensi.
‘Konpetensi
Lulusan’ :
Merupakan pernyataan tentang pengetahuan,
ketrampilan, sikap dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir
dan bertindak setelah siswa menyelesaikan suatu jenjang pendidikan tertentu
diharapkan memiliki kemampuan paling tidak
seperti berikut :
- Meyakini, memahami, dan menjalankan ajaran agama
yang diyakini dalam kehidupan;
- Memahami dan menjalankan hak dan kewajiban untuk
berkarya dan memanfaatkan lingkungan secara bertanggungjawab;
- Berpikir secara logis, kritis, kreatif, inovatif,
memecahkan masalah, serta berkomunikasi melalui berbagai media;
- Menyenangi dan menghargai seni;
- Menjalankan pola hidup bersih, bugar, dan sehat;
- Berpartisipasi dalam kehidupan sebagai cermin dan
bangga terhadap bangsa dan tanah air.
Sedangkan
dalam Kompetensi
Lintas Kurikulum diharapkan :
- Siswa sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa menyadari
bahwa setiap orang mempunyai hak untuk dihargai dan merasa aman.
- Dalam kaitan ini siswa memahami hak-hak dan
kewajibannya serta menjalankannya secara bertanggungjawab;
- Siswa menggunakan bahasa untuk memahami,
mengembangkan, dan mengkomunikasikan gagasan dan informasi serta untuk
berinteraksi dengan orang lain;
- Siswa memilih, memadukan, dan menerapkan
konsep-konsep dan teknik-teknik numerik dan spasial serta mampu mencari
dan menyusun pola, struktur dan hubungan;
- Siswa menyadari kapan/apa teknologi dan informasi
yang diperlukan, ditemukan dan diperolehnya dari berbagai sumber dan mampu
menilai, menggunakan, dan berbagai informasi dengan orang lain;
- Siswa memahami dan menghargai dunia fisik, makluk
hidup, dan teknologi, dan mempunyai pengetahuan, ketrampilan dan
nilai-nilai untuk mengambil keputusan yang tepat;
- Siswa memahami konteks budaya, geografi dan sejarah,
serta memiliki pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai untuk
berpartisipasi aktif dalam kehidupannya, serta berinteraksi dan
berkontribusi dalam masyarakat dan budaya global;
- Siswa memahami dan berpartisipasi dalam kegiatan
kreatif di lingkungannya untuk saling menghargai karya artistik, budaya
dan intelektual serta menerapkan nilai-nilai luhur untuk meningkatkan
kematangan pribadi menuju masyarakat beradab;
- Siswa menunjukkan kemampuan berpikir konsekuen,
berpikir lateral, memperhitungkan peluang dan potensi, serta menghadapi
berbagai kemungkinan;
- Siswa menunjukkan motivasi dan percaya diri dalam
belajar, serta mampu bekerja mandiri sekaligus dapat bekerja sama.
Bahwa
tujuan dan manfaat pendidikan adalah untuk mencetak
kaum intektual dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang handal dan
berkualitas demi pembangunan bangsa dan negara Indonesia.
Pertanyaannya
: Bagaimana dengan sisetem pendidikan kita dewasa ini,
sudahkah mencetak inteletual yang
mandiri dan bertanggung jawab baik pada dirinya sendiri maupun kepada
pembangunan bangsa dan negara?
****(Penulis :
Drs.Simon Arnold Julian Jacob).
Pendidikan Dasar, Kuantitas Vs Kualitas
Salah satu konsesus dunia dalam bidang pendidikan adalah :
Menjamin 100 persen anak bisa menyelesaikan pendidikan dasarnya
selambat-lambatnya tahun 2015, (MDGs
2015). Tingkat pendidikan dasar gerakan Education For All (EFA) juga
bertujuan meningkatkan keadilan mendapatkan pendidikan bagi anak perempuan,
kelompok yang kurang beruntung, dan peningkatan kualitas hasil pendidikan.
Independent Evaluation Group
(IEG), sebuah lembaga penelitian di bawah Bank
Dunia, menjadikan tema kualitas
hasil pendidikan dasar ini sebagai isu utama, dalam laporan From Schooling Acces to Learning Outcomes;
An Unfinished Agenda, 2006.
Penekanan terhadap kualitas hasil pendidikan dasar dimunculkan
sebagai isu utama dalam arahan pembangunan pendidikan dasar dunia ke depan.
Sebab, perolehan keterampilan dan pengetahuan dasar seperti membaca, dan berhitung sesuai
standar merupakan asset berharga untuk membebaskan individu dari jeritan
lingkaran kemiskinan yang tak berkesudahan.
Dilema Kebijakan
Dalam konteks Indonesia, krisis
ekonomi tahun 1997 menurunkan
capaian angka partisipasi murni pendidikan dasar terutama pada keluarga
miskin pedesaan yang pada tahun l988
mencapai 99,6 persen (BPS
l998).
Pemerintah lalu mengintervensi suplai dengan membangun
gedung-gedung sekolah dua shift, dan program guru kontrak.
Adapun intervensi sisi demand dilakukan melalui :
1. Program pengurangan biaya sekolah,
beasiswa dan,
2. Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Dalam APBN 2007, jumlah anggaran
pendidikan untuk semua program mencapai
Rp.90,01 triliun (sekitar 11,8 persen), masih jauh dari amanat UUD
Amandemen, yaitu 20 persen dari
APBN.
(Penulis : Anggaran Pendidikan sebesar 11,8%
saja, sudah banyak bocornya, apalagi
20% menurut UU Amandemen—tidak akan
terbayangkan)?
Guna menjamin kemajuan dibidang
lainnya, maka anggaran pendidikan yang ditetapkan 20% menurut Undang-Undang, mungkin dalam penerapannya dengan sistem
selang-seling, yaitu misalnya diberlakukan selama 3-4 tahun, kemudian diturunkan lagi menjadi misalnya 13%, sehingga kelebihan yang 7% itu dimanfaatkan atau dianggarkan
lagi kesektor non pendidikan, sehingga
bidang-bidang lainnya tidak tertinggal (keseimbangan anggaran dalam pembangunan).
Dengan demikian anggaran
pendidikan tidak selamannya harus tetap 20%,
setiap tahun anggaran, mengingat sektor-sektor lainpun harus diperhatikan,
seperti bidang Pertahanan Keamanan, sarana dan prasarana Kelautan
dan Perikanan, Perhubungan laut, sarana jalan dan jembatan di pedesaan,
penanggulangan kemiskinan dll.
Jika anggaran pendidikan
sepanjang tahun ditetapkan 20% dari
anggaran APBN, maka akan terjadi kekurangan dana pada sektor lainnya, sehingga
terpaksa harus berhutang ke luar negeri, yang pada akhirnya juga menjadi beban
APBN. (Penulis)***
Meski program JPS-Bidang
Pendidikan berperan besar memulihkan tingkat daftaran SD, krisis yang
belum sepenuhnya pulih menyisihkan sejumlah angka putus SD. Penelitian terkini
menyebutkan, meski tidak bersekolahnya anak-anak usia pendidikan dasar adalah jauhnya
jarak sekolah dengan rumah, factor
kemiskinan rumah tangga, tetap menjadi kontribusi utama (Elvindri dan Davy 2006).
Jangan lupa, program EFA juga
mengamanatkan perbaikan kualitas output pendidikan
(outcome learning), terutama bagi anak-anak keluarga miskin.
Rendahnya kualitas pendidikan menjadi akar masalah rendahnya kualitas
hasil pendidikan.
Gaung pemantauan kualitas
pendidikan dasar jarang diperdengarkan
Pemerintah Indonesia.
Program subsidi bertarget cukup
memberi kontribusi positif kepada perbaikan kualitas hasil belajar anak-anak
dari kelompok
warga miskin dengan anak-anak kelompok warga lainnya.
Selain itu, perbaikan, manajemen
sekolah- introduksi program peningkatan kualitas guru dan, monitoring evaluasi hasil pembelajaran,
kepada pimpinan sekolah, juga menjadi syarat keberhasilan program. Pengawasan
yang lebih ketat terhadap kemajuan hasil belajar siswa per grup karakteristik
social ekonomi juga akan menjadi poin penting program.
Relasi Komplementer
Sebenarnya, relasi kualitas-kualitas, yang selama ini diterima sebagai relasi subtitusi, dapat diubah
menjadi relasi yang bersifat komplementer. Peningkatan kualitas yang menjadi
program berkesinambungan dan memakan
waktu tetap mengharuskan siswa hadir di sekolah.
Program monitoring
pembelajaran tidak akan bisa berjalan,
apalagi mencapai hasil jika siswa
tiba-tiba drop-out.
Selanjutnya hukum demand akan berlaku dengan sendirinya.
Saat standar kualitas telah tercapai, dengan sendirinya diharapkan kualitas
akan terjaga.
Hal inilah yang menjadi factor
penjelas, mengapa sekolah swasta favorit tidak pernah sepi peminat. Bahkan pada
beberapa kasus, orang tua kaya kini harus mengantre untuk mendaftarkan anak
yang masuk SD, 2-3 tahun ke depan.
Hal sebaliknya, banyak orang tua kurang beruntung. Ada
gaumnya, anak mereka sekolah atau tidak, setelah itu nasib mereka tidak
berubah. (Davy Hendri, Dosen Jurusan
Ekonomi Islam IAIN Imam Bonjol, Padang, Kompas,30 Juli 2007)..
Berbagai Analisis dari
Para Ahli berbagai bidang tentang kualitas pendidikan terhadap
modernisasi dapat dikuti pada Bab.-Bab terakhir dan mengambil Provinsi
Nusa Tengga Timur sebagai suatu sample kemiskinan di Indonesia akibat dari rendahnya tingkat pendidikan. (Penulis).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.