alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Selasa, 20 Januari 2015

MENGUKUR KEMISKINAN

Mengukur Kemiskinan

Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Pengertian Kemiskinan

Ø  Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan, pakaian, tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup.
Ø  Kemiskinan juga berarti  tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara.
Ø  Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnja melihatnya dari segi moral dan ekslusif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah “negara berkembang”biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang miskin”.

Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya
mencakup :
Ø  Gambaran kekuarangan materi, yang biasanya mencakup kebuituhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan.Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
Ø  Gambaran tentang kebutuhan sosial termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan infprmasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskian, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi
Ø  Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Maka ‘memadai” disini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia

Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat di dunia bekembang, ada bukti tentang kehadiran kemiskinan di setiap region.
Ø  Di negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan kaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota dan ghetto yang miskin.
Ø  Kemiskinan dapat dilihat sebagai kondisi kolektif masyarakat miskin, atau kelompok orang-orang miskin, dan dalam pengertian ini keseluruhan negara kadang-kadang dianggap miskin.
Untuk menghindari stigma ini, negara-negara ini biasanya disebut sebagai negara berkembang.
(Sumber : Wikipedia -Internet) Antônio Milena/ABr

Menanggulangi Kemiskinan Desa (Gregorius Sahdan)—Maret 2005

Ada desa-desa dimana posisi penduduk pedesaan,  ibarat orang yang
selamanya berdiri terendam dalam air sampai ke leher, sehingga ombak yang
kecil sekalipun sudah cukup menenggelamkan mereka (Tawney, 1931)
Ø  Kemiskinan terus menjadi masalah fenomennal sepanjang  sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah sebuah negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan.
Ø  Dalam negara yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan.
Ø  Kemiskinan telah membuat :
       ---jutaan anak-anak tidak  bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas,
            ---kesulitan membiayai kesehatan,
            ---kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi,
            ---kurangnya akses ke pelayanan publik,
            ---kurangnya lapangan pekerjaan,
            ---kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga,
            ---menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah,
            ---kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas.
Kemiskinan menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, savaty life (James  C.Scott,1981), mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan bagi  tengkulak lokal dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan. Para buruh tani desa bekerja sepnjang hari, tetapi mereka menerima upah sangat sedikit.


Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk :

(1) Memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan;
(2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum;
(3) Hak rakyat untuk  memperoleh rasa aman
(4) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau;
(5) Hak rakyat untuk memperoleh akses kebutuhan pendidikan;
(6) Hak rakyat untuk memperoleh keadilan;
(7) Hak rakyat untuk  berpartisipasi dalam  pengambilan keputusan publik dan pemerintahan;
(8) Hak rakyat untuk memperoleh akses kebutuhan kesehatan;
(9)Hak rakyat untuk berinovasi;
(10) Hak rakyat  menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan;
(11) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik.

Kemiskinan menjadi alasan yang sempurna rendahnya Human Developmen Index (HDI), Index Pembangunan Manusia Indonesia.

Secara menyeluruh kualitas manusia Indonesia relatif masih sangat rendah, dibandingkan dengan kualitas manusia di negara-negara lain di dunia.  Berdasarkan Human Development Report 2004 yang menggunakan data tahun 2002, angka Human Development Index (HDI) Indonesia adalah 0,692.
Angka Index tersebut merupakan komposit dari,
---angka harapan hidup saat lahir sebesar 66,6 tahun,
---angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 87,9 persen,
---kombinasi angka partisipasi kasar jenjang pendidikan tinggi sebesar 65 persen dan Pendapatan Domistik Bruto per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity) sebesar US$ 3230, HDI Indonesia hanya menempati urutan  ke 111 dari 177 negara (Kompas, 2004).

Pendek kata, kemiskinan merupakan persoalan yang maha kompleks dan kronis.
Karena sangat kompleks dan kronis, maka,’ cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan analisis yang tepat, melibatkan semua komponen permasalahan; dan  diperlukan strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan dan tidak bersifat temporer.

Sejumlah variabel dapat dipakai untuk melacak persoalan kemiskinan, dan
dari variabel ini dihasilkan serangkaian strategi dan kebijakan
penaggulangan kemiskinan yang tepat sasaran dan berkesinambungan.
Ø  Dari dimensi pendidikan misalnya, pendidikan yang rendah dipandang sebagai penyebab kemiskinan.
Ø  Dari dimensi kesehatan, randahnya mutu kesehatan masyarakat menyebabkan terjadinya kemiskinan.
Ø  Dari dimensi ekonomi, kepemilikan alat-alat produksitif yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya ketrampilan, dilihat sebagai alasan mendasar mengapa terjadi kemiskinan.
Ø  Faktor kultur dan struktural juga kerap kali dilihat sebagai elemen penting yang menentukan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Tidak ada yang salah dan keliru dengan pendekatan tersebut, tetapi dibutuhkan keterpaduan antara berbagai faktor penyebab kemiskinan yang sangat banyak dengan indikator-indikator yang jelas, sehingga kebijakan penganggulangan kemiskinan tidak bersifat temporer, tetapi permanen dan berkelanjutan.

Selama tiga dekade, upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan penyediaan kebutuhan dasar seperti,
Ø  pangan, 
Ø  pelayanan kesehatan dan pendidikan,
Ø  perluasan kesempatan kerja,
Ø  pembangunan pertanian, pemberian dan bergulir melalui sistem kredit,
Ø  pembangunan prasarana dan pendampingan,
Ø  penyuluhan sanitasi dan sebagainya.
Dari serangkaian cara dan strategi penanggulangan kemiskinan tersebut,  semuanya beroriantasi material, sehingga keberlanjutannya sangat tergantung  pada ketersediaan anggaran dan komitmen pemerintah. Di samping itu, tidak adanya tatanan pemerintah yang demokratis, menyebabkan rendahnya akseptabilitas dan inisiatif masyarakat untuk menanggulangi kemiskinan dengan cara mereka sendiri.

Konsep  Dan Indikator Kemiskinan

Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Misalnya ada pendapat yang mengatakan bahwa, kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam satu masyarakat atau yang mengatakan bahwa kemiskinan merupakan ketakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap  sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan terekploitasi (kemiskinan struktural). Tetapi pada  umumnya, ketika orang berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan  pengertian ini, maka seseorang masuk dakam katagori miskin apabila tidak mempu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak, ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi.

Memang definisi ini sangat bermanfaat untuk mempermudah membuat indikator orang miskin, tetapi definisi ini sangat kurang memadai karena;
Tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; dapat menjerumuskan ke kesimpulan yang salah bahwa menagnggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan  bahan makanan yang memadai; tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontraproduktif. BAPPENAS (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat.

Hak-hak dasar masyarakat desa anatara lain, 
Ø  terpenuhinya kebutuhan pangan,
Ø  kesehatan, pendidikan,
Ø  pekerjaan,
Ø  pemenuhan air bersih,
Ø  pertanahan,
Ø  sumberdaya alam dan lingkungan hidup,
Ø  rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan,
Ø  hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, BAPPENAS
menggunakan beberapa pendekatan utama antar lain;
Ø  pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach),
Ø  pendekatan pendapatan (income approach),
Ø  pendekatan kemampuan dasar (human capability aproach) dan,
Ø  pendekatan objective and subjective.
Pendekatan kebutuhan dasar melihat kemiskinan sebagai suatu
ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga, dan masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain,
Ø  pangan, sandang,
Ø  papan,
Ø  pelayanan kesehatan,
Ø  pendidikan,
Ø  penyediaan air bersih dan sanitasi.
Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh, rendahnya penguasaan asset, dan alat alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian (terbatasnya alat-alat perlengkapan pertanian)  atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat.
Pendekatan ini menentukan secara rigit standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan  kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterlambatan kemapuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan.
Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sidiri (Joseph F.Stepanek, (ed) 1985).

Dari pendekatan-pendekatan tersebut, indikator utama kemiskinan dapat
dilihat dari;

(1) kurangnya pangan, sandang, dan perumahan yang tidak layak;
(2)  terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif;
(3) kurangnya kemampuan membaca dan menulis;
(4) kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup;
(5) kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan ekonomi;
(6) ketidakberdayaan  atau daya tawar yang rendah;
(7) akses terhadap ilmu pengetahuan;
(8) dan sebagainya.

Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stock pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita atau ibu.
Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya mengkonsumsi 1571 kalori per hari. Kekurangan asupan kalori yaitu kurang dari 2200 kalori per hari, masing dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan rendah (BPS,2004) Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mendapatkan layanan kesehatan dasar,  kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat dan kurangnya layanan kesehatan  reproduksi; jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di
PUSKESMAS.

Demikian juga persalinan oleh tenaga kesehatan pada penduduk miskin, hanya sebesar 39,1 persen dibandingkan 82,3 persen pada penduduk kaya.
 Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,74 persen (2001) penduduk, dan hanya sebagian kecil   diantaranya penduduk miskin. Terbatasnya akses dan  rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendiidikan  yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung
Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumah tangga.
Terbatasnya akses pelayanan perumahan dan sanitasi. Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering, kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan pemukiman yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai. Terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air.

Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah.

Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian. Memburuknya kondisi linggkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam.
Masyarakat miskin yang tinggal di daerah pedesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan, dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumber daya alam sebagai sumber penghasilannya. Rendahnya rasa aman. Data yang dihimpun UNSFIR menggambarkan bahwa dalam waktu 3 tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik dengan korban 10.700 orang, dan lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi. Meskipun jumlah pengungsi cenderung menurun, tetapi  pada tahun 2001 diperkirakan masih ada lebih dari 850.000 pengungsi di berbagai daerah kionflik.

Lemahnya partisipasi.

Berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya partisipasi mereka dalam pengambiloan keputusan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga  disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka. Besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi. Menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumahtangga miskin di perkotaan rata-rata mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumahtangga miskin di pedesaan adalah 4,8 orang.

Dari berbagai definisi  tersebut di atas, maka indikator utama kemiskinan  lainnya adalah  :

(1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan.
(2) terbatsnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan;
(3) terbatasnyaakses dan rendahnya mnutu layanan pendidikan;
(4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha;
(5)  lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah;
(6) terbatasnya akses pelayanan perumahan dan sanitasi;
(7) terbatasnya akses terhadap air bersih;
(8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguiasaan tanah
(9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam,
(10) lemahnya jaminan rasa aman;
(11) lemahnya partisipasi;
(12) besarnyambeban kependudukan yanjg disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga;
(13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya
jaminan sosial terhadeap masyarakat.
Kenyataan membuktikan bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan dengan sangat sederhana, karena tidak  hanya berhubungan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan material, tetapi juga sangat berkaitan dengan dimensi kehidupan manusia lainnya. Karenanya, kemiskinan hanya dapat ditanggulangi apabila dimensi-dimensi lain itu diperhitungkan.

Menurut  Bank Dunia, (2003), penyebab dasar kemiskinan adalah

(1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal;
(2)  terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana;
(3) kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor;
(4) adanya perbedaan kesempatan kerja di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung
(5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan anatara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern
(6) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat
(7) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkungannya;
(8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good govenance)
(9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan

A. Miskin.

Seperti disebutkan di atas Penyebab kemiskinan banyak dihubungkan
dengan :
Ø  penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin;
Ø  penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga;
Ø  penyebab sub-budaya ("subcultural"), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar;
Ø  penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi;
Ø  penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari “kemalasan”, namun di Amerika Serikat (negera terkaya per kapita di dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai [pekerja miskin]; yaitu, orang yang tidak [sejahtera] atau rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati atas [garis kemiskinan]. Diskusi mengenai miskin sebagai tanda dan struktur data keterbelakangan di pertengahan tahun ’70-an dengan terlihatnya “pemiskinan absolute” yang sesuai untuk itu, mendapatkan dimensi baru.“Miskin realatif” dimengerti sebagai “kesenjangan kemakmukmuran” antara Negara berkembang dan Negara industri dan di dalam Negara berkembang sendiri antara daerah-daerahnya serta antara lapisan social (distribusi pendapatan).

Mantan Presiden Bank Dunia, D.McNamara, mendefenisikan “kemiskinan absolute” dalam pidatonya di Nairobi tahun 1973 sebagai berikut :

Kemiskinan absolute ditandai oleh keadaan persyaratan hidup yang tidak manusiawi seperti penyakit, buta aksara, kekurangan makan, dan keterlantaran sehingga korban “kemiskinan absolute” ini tidak pernah dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia yang paling mendasar”. Ratusan juta manusia di Negara berkembang menderita dalam “kondisi hidup yang tidak manusiawi”; sepertiga sampai setengah dari 2 miliar manusia di Negara berkembang kelaparan atau menderita kekurangan makan, 20% - 25% anak-anak di Negara berkembang meninggal dunia sebelum mencapai umur 5 tahun; yang tidak meninggal akan mengalami hidup dalam kemiskinan, otak mereka menjadi rusak, badan mereka menjadi cacat, dan daya tahan hidup mereka menjadi  lemah akibat kekurangan makan; Harapan hidup manusia di Negara berkembang 20 tahun lebih pendek daripada di Negara industri. 

Dengan kata lain, hidup manusia di Negara berkembang diperpendek 30% dari usia yang dapat dicapainya.
Sejak lahir, manusia-manusia ini telah divonis mati lebih dini;  800 juta manusia buta aksara dan anak-anak mereka walaupun semakin diperluasnya sector pendidikan akan tetap buta aksara. Keadaan ini akan semakin memburuk dan menentukan nasib 40% manusia di Negara berkembang. Data-data kuantitatif untuk mengukur miskin di Dunia Ketiga tidak lagi diteliti sejak akhir tahun ’70-an, dan angka-angka yang ada dianggap sangat tidak pasti. Tahun 1980 jumlah “miskin absolute” (di definisikan  dengan “konsumsi kalori per hari kurang dari 2.250 satuan”) untuk Asia (tanpa Cina, Jepang dan Timur Tengah) diperkirakan sekitar 40% penduduk (350—450 juta). Bank Dunia melaporkan jumlah “kemiskinan absolute” di seluruh dunia sebanyak 700 juta—1 miliar manusia dan selama tahun 80’an jumlah tersebut semakin meningkat.  Tahun 1985 sebanyak 21 dari 35 negara berkembang dengan pendapatan rendah yang diteliti, telah ditemukan bahwa penggunaan kalori per kepala menjadi lebih kecil dibandingkan 20 tahun lalu. Berbagai lembaga berusaha memberi deferensiasi lanjut untuk menentukan batas kemiskinan—merupakan pertanyaan untuk sebuah politik yang terarah untuk memerangi miskin. 

IDA mengembangkan lima inti “indicator kemiskinan absolute dan
menentukan batas kemiskinan secara kuantitatif sebagai berikut :
1.    Pendapatan per kapita 150 US$;
2.    Pemakaian kalori setiap hari 2.160—2.670;
3.    Harapan hidup di bawah 55 tahun;
4.    Kematian anak-anak lebih dari 33 per seribu;
5.    Tingkat kelahiran lebih dari 25 per seribu.
Lebih sederhana adalah Physical Quality of Life Index (POLI) dengan indicator harapan hidup, kematian anaka-anak, dan tingkat buta aksara.

ILO membuat 2 batasan kemiskinan, yaitu :
Ø  Disamakan dengan pendapatan rata-rata seseorang buruh tidak terdidik di sebuah pabrik besar dari indusrti pengolahan di India (sangat miskin) dan disamakan dengan pendapatan yang besarnya 1 Rupee per hari (miskin sekali). Nilai pendapatan di Negara berkembang lainnya dapat dihitung dengan bantuan harga dari  “sekeranjang barang” yang khas.
Ø  Karena perkiraan miskin yang berkaitan dengan “pendapatan absolute” dan berhubungan dengan “kekayaan”, sebuah studi terbaru Bank Dunia menyebutkan food adequacy standards sebagai indicator penting untuk mengukur kemiskinan. Manusia yang mengalami kemiskinan absolute adalah mereka yang harus menggunakan lebih dari 70% pendapatannya untuk membeli bahan makanan dan seringkali menderita lapar (batas kalori 2.250).
Manusia yang harus menggunakan lebih dari 80% pendapatannya untuk membeli bahan makanan dan terancam kekurangan makan yang berat diklasifikasikan sebagai ultra miskin. (Dieter Nohlen (ed), Kamus Dunia Ketiga, Penerbit Gramedia, Jakrta1994, hal.451-452).

B. Pembangunan dengan sistem Tricle Down Effect.

Semula banyak ahli berpendapat bahwa proses pembangunan maupun menyebarkan hasilnya secara otomatis kepada penduduk dengan pendapatan yang berlaianan tingkat.
Mula-mula kelompok penduduk berpendapatan tinggi akan memetik hasil pembangunan lebih cepat dan lebih banyak dibandingkan dengan kelompok penduduk dengan tingkat pendapatan lebih rendah. Naiknya pendapatan dari kelompok penduduk berpenghasilan tinggi dianggap perlu untuk mobilisasi dana tabungan dan pemupukan modal.  Kemampuan menabung dianggap erat berhubungan dengan tingkat pendapatan. Semakin tinggi pendapatan seseorang semakin besar pula kemampuannya menabung.
Berkat tabungan maka kemampuan investasi meningkat dan pembangunan bisa berlangsung lebih cepat. Peningkatan pembangunan memungkinkan pemerataan hasil pembangunan yang lebih luas  sehingga bisa menjangkau kelompok penduduk berpendapatan rendah. Perkembangan meluasnya  pembagian pendapatan ini dikenal dengan “tricle down effect”.Dalam perkembangan pembangunan seperti ini maka bagian pendapatan nasional yang diterima kelompok penduduk berpenghasilan tinggi, lebih besar daripada kelompok penduduk berpenghasilan rendah sehingga terbentang jurang yang melebar antara penduduk berpendapatan tinggi dengan kelompok penduduk berpendapatan rendah dalam bentuk huruf U yang terlentang horizontal.

Apabila tingkat pendapatan semakin naik, maka jurang perbedaan antara  pendapatan kelompok berpendapatan  pada “kaki atas” huruf U dengan, kelompok berpendapatan rendah pada “kaki bawah” huruh U ini berangsur-angsur akan mengecil. (Emil Salim, Rencana Pewmbangunan dan Pemerataan Pembvangunan, Yayasan Idayu-Jakarta 1980 hal.45). Proses pemerataan pembangunan ini bisa dipercepat dengan diterapkannya kebijaksanaan perpajakan dan subsidi yang mengalihkan sebagian hasil pendapatan kelompok penduduk berpenghasilan tinggi kepada kelompok penduduk berpenghasilan rendah. Maka secara teoritis kebijaksanaan pembangunan serupa ini, akan mencapai pemerataan pembangunan yang akhirnya menjangkau penduduk di bawah garis kemiskinan Pola berfikir ini oleh banyak ahli juga diterapkan dalam hubungan ekonomi antara Negara maju dengan Negara berkembang. Dalam ekonomi dunia, maka kebebasan berusaha mendorong kemajuan yang pesat di Negara maju.  Pembangunan di Negara maju akan menaikkan permintaan bahan mentah yang dihasilkan Negara berkembang, sehingga berlangsunglah proses penyebaran (spread effect) pembangunan dari Negara maju ke Negara berkembang.

Proses penyebaran pembangunan akan dipercepat apabila,
Negara berkembang belajar dari pengalaman Negara  industri sebelum mereka maju. Ikhtiar perlu dipusatkan kepada pembangunan prasarana social dan ekonomi, peningkatan teknologi di bidang pertanian dan industri ekspor. Transformasi social dan psikologi yang menyertai proses pembangunan Negara berkembang bisa mengikuti pengalaman Negara industri. Hanya dalam tiga hal pokok terdapat perbedaan penting dalam kondisi lingkungan Negara berkembang sekarang  dibandingkan dengan keadaan Negara industri sebelum maju, yaitu,
Ø  dalam tekanan penduduk yang besar;
Ø  perkembangan teknologi yang tinggi dan
Ø  situasi politik yang berlaianan dan lebih kompleks.

Untuk mengatasi akibat dari perbedaan kondisi lingkungan ini, maka
Negara maju perlu memberi bantuan luar negeri kepada Negara
berkembang.  
Pola berfikir pembangunan dengan “tricle down effect”, dan  “spread effect” ini diperkuat oleh Laporan Komisi Pembangunan Internasional, atau lebih dikenal dengan Komisi Pearson, kepada Bank Dunia dalam tahun 1969.  Inti pokok saran rekomendasi Komisi Pearson adalah agar Negara industri meningkatkan dana bantuan sesuai dengan laju pertumbuhan produk nasional Negara maju masing-masing, sehingga bantuan resmi (official development assistance) dari pemerintah Negara maju perlu ditingkatkan dari 0,38% dari Produk Nasional Bruto (1968) menjadi  0,70% di tahun 1975. Bantuan ini perlu dikaitkan dengan sasaran pembangunan Negara berkembang dan dilaksanakan dalam hubungan kerja multilateral antara berbagai Negara pemberi bantuan dengan Negara penerima bantuan.
Sementara pola berfikir pembangunan serupa ini berkembang, maka di kalangan pemikir pembangunan Negara berkembang berlangsung  pemikiran ulang, tentang kebijaksanaan pembangunan memperbaiki nasib mereka di bawah garis kemiskinan. Hal ini dirangsang oleh kekecewaan banyak ahli dan politisi Negara berkembang terhadap hasil pembangunan selama decade tahun enam puluhan yang tidak mencapai sasarannya, baik sasaran pengalihan 0,70% dari Produk Nasional Bruto Negara industri kepada Negara berkembang. Teori “tricle down effect” dan “spresd effect” dari pola pembangunan yang diterapkan di Negara berkembang dirasa tidak berhasil memecahkan masalah pengangguran, kemiskinan dan pembagian pendapatan yang tidak merata, baik di dalam Negara berkembang  masing-masing maupun antara Negara maju dengan Negara berkembang. (Emil Salim, : 47, mengutip dari Lord Pearson, Patners in Development, Yew York, Praeger, 1969, dan Menhas, B.S., The Current Development Debate,, Huston, Texas, February, 1977.

Khusus mengenai pembagian hasil pembangunan dirasakan bahwa pola pembangunan yang dianut tidak mampu memecahkan ketimpangan yang dirasakan tumbuh semakin besar. 
Oleh karena itu lahirlah gagasan baru yang mengusahakan pembangunan dan pemerataan hasil pembangunan, menurut pola yang berlainan (undifferentiated growth) dengan apa yang pernah ditempuh Negara industri di masa lampau.
Gagasan baru muncul di berbagai lapangan sebagai reaksi dan kekecewaan terhadap hasil pembangunan selama dasa warsa enam puluhan. Di tahun 1972 Konferensi PBB untuk Lingkungan Hidup di Stocholm mengecam pola pembangunan yang hanya mengindahkan tingkat pertumbuhan material, tanpa memperdulikan pengaruh pembangunan kepada lingkungan hidup yang semakin cemar dan kepada satu-satunya bumi kita yang semakin rakus dikuras.   Sehingga dirasa perlu mengusahakan pembangunan yang sekaligus mengembangkan lingkungan hidup dan menyelamatkan bumi dari pengrusakan manusia. Negara berkembang menyambut baik gagasan ini, bahkan melangkah lebih maju dan mengembangkan pandangan bahwa  “kemiskinan” ialah salah satu sebab pokok “pengrusakan dan pencemaran lingkungan.”  Karena itu, maka pengembangan lingkungan hidup, baru mencakup ikhtiar menghapuskan kemiskinan 
(Catatan Penulis : Terdapat Bab tersendiri tentang Masalah Ilingkungan Hidup yang dibahas secara mendalam,  Lihat Bab Terakhir). Fikiran ini kemudian lebih menggema dalam Sidang Khusus PBB untuk pembangunan (1974) meletuskan :

“Deklarasi Pembentukan Orde Ekonomi Internasional Baru

Untuk mengoreksi kegoncangan dan ketidakadilan yang ada dan meniadakan jurang yang semakin lebar terbentang antara Negara-negara maju dengan Negara-negara berkembang.  Sejak itu di berbagai sidang internasional semangat Orde Ekonomi Internasional Baru selalu berhadapan dengan pandangan fikiran Negara-negara maju, dan terjadi selalu konflik dalam kepentingan memperoleh bagian yang lebih besar dari pendapatan ekonomi dunia bagi Negara berkembang melalui dana bantuan yang lebih banyak dialihkan ke Negara berkembang dan syarat investasi serta syarat perdagangan yang lebih menguntungkan Negara berkembang. Arus berpikir ini diperkuat oleh perhatian Bank Dunia kepada nasib mereka di bawah garis kemiskinan.

Di bawah pimpinan Robert S.McNamara, Presiden Bank Dunia, lembaga ini telah memelopori orientasi bantuan kepada penduduk miskin, menanggulangi secara sungguh-sungguh penderitaan penduduk di bawah garis kemiskinan. Gagasan pembangunan dengan pemerataan ini telah melahirkan pula teori dan analisa kebijakasanaan yang berlainan sekali dengan apa yang dikenal di lima puluhan dan enam puluhan. Secara lebih khusus lagi, gagasan pembangunan dengan pemerataan, lebih diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan pokok (basic needs) bagi penduduk di bawah garis kemiskinan. Garis fikiran ini dicetuskan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO)--(1976) yang melihat perlu dikaitkan kebijaksanaan penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan dan pemenuhan kebutuhan pokok.

Kebutuhan pokok tidak bisa dipenuhi, jika pendapatan terlalu rendah akibat  kemiskinan. Dan kemiskinan bergandengan erat dengan pengangguran. Sehingga ketiga sasaran ini perlu diusahakan bersama, membuka lapangan kerja, meningkatkan pertumbuhan dan pemenuhan kebutuhan pokok. Belum sampai kering tinta tulisan para ahli mengenai cara  pendekatan kebutuhan pokok dalam menanggulangi kemiskinan, akhir-akhir ini telah lahir pula gagasan yang lebih berani dari lebih maju melihat pemerataan sebagai kegiatan yang harus mendahului pembangunan.

Sehingga urutannya menjadi pemerataan dulu, baru kemudian pembangunan. Jika Bank Dunia melontarkan ungkapan “Redistribution with Growth”, maka Prof Irma Adelman memperkenalkan ungkapan “Redistribution before Growth”.(Adelman :1978). Menurut Adelman maka pemerataan hasil pembangunan sangat bergantung pada : Pemerataan penguasaan faktor produksi penting (critical asset of production), sehingga diperlukan redistribusi asset-asset produksi sebelum proses pembangunan dimulai.
Dalam hubungan ini menjadi penting usaha landreform dan penyebaran pendidikan untuk pembentukan modal manusia (human capital). Baru dengan pemerataan asset-asset produk ini, terutama di kalangan penduduk miskin, dapat diharapkan pendobrakan keadaan, bagi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Secara umum kentaralah perkembangan fikiran menaggulangi kemiskinan melalui tiga jalur. Gagasan membangun dulu, dan pemerataan kelak menyusul berkat “trickle down effect” dan “spead effect” pembangunan sehingga akhirnya mencakup mereka yang miskin. Gagasan pembangunan dengan pemerataan sehingga kedua-duanya berjalan seiring. Gagasan pemerataan dulu baru kemudian membangun.

Selain itu terdapat dua golongan besar pemikir pembangunan dan praktisis
pembangunan mengenai pelaksanaan proses pemerataan dan
pemberantasan kemiskinan negara-negara terbelakang adalah :
1.    Adalah golongan yang disebut “price mechanistis”. Golongan ini menganggap pemerataan dan pemberantasan kemiskinan dapat dilaksanakan melalui;
1.      Suatu strategi pertumbuhan ekonomi dengan rangkaian kebijaksanaan harga yang tepat (harga relative factor-faktor produksi terutama modal dan buruh, nilai tukar uang terhadap uang luar negeri dan harga “public utilities”).
2.      Penetapan harga-harga ini adalah sedemikian rupa sehingga distorsi dalam alokasi sumber-sumber  dapat dihindarkan.
3.      Sementara itu di bidang fiskal dilakukan kebijaksanaan perpajakan yang relative progresif dan penyediaan pengeluaran-pengeluaran untuk kesejahteraan dan bantuan-bantuan kepada golongan miskin dan lemah.
4.      Keseluruhan strategi dan  kebijaksanaan ini diselenggarakan dalam, konteks kelembagaan masyarakat yang ada, struktur social yang ada  dan permintaan efektif yang ada.
5.      Artinya,  stelsel ekonomi yang berorientasi ekspor yang memutar “ujung jadi pangkal”, tetapi dipertahankan.
6.      Pembiayaan pengeluaran-pengeluaran yang bertujuan redistribusi seperti pengeluaran-pengeluaran untuk kesejahteraan, subsidi dan bantuan-bantuan untuk golongan miskin dan lemah dilakukan dari hasil pertumbuhan (redistribution from growth).
7.      Strategi sesungguhnya merupakan perkembangan yang bersifat korektif terhadap strategi pertumbuhan murni, yang menganggap “perembesan ke bawah” akan terjadi dengan sendirinya.
8.      Kesenjangan sosial-ekonomi yang melebar pada strategi pertumbuhan awal, dianggap sekedar sebagai “biaya sementara” yang akan terkorelasi secara otomatis bilamana tingkat pertumbuhan sudah cukup tinggi secara  berkesinambung.
9.      Strategi pertumbuhan  yang berkesinambung, setelah kegagalan teori merembes ke bawah”, sudah memasukkan unsur-unsur pemerataan dan pengurangan kemiskinan di dalam program dan tujuannya,  sekarang sudah naik pangkat dan disebut sebagai strategi “pertumbuhan Plus” (growth-plus strategy)  Strategi dalam konteks “Trilogi Pembangunan” yang sekarang dijalankan di Indonesia termasuk dalam katagori the growth-plus strategy.
10.  Dalam hal ini ada kemajuan sedikit, tetapi strategi ini tidak akan membawa massa miskin kita berangkat dari kemiskinannya.
11.  Usaha pengembangan koperasi dalam strategi growth-plus ini sulit meningkat secara efektif, karena kendala system social-ekonomi dan strutur kekuasaan yang tidak mendukung.
2.    Adalah golongan yang disebut golongan transformis.
Golongan ini menganggap bahwa proses pemerataan dan pengurangan kemiskinan hanya mungkin dilaksanakan secara efektif jikalau pra-kondisi social yang mutlak perlu, diwujudkan terlebih dahulu, yaitu yang menyangkut :
Ø  perombakan kelembagaan masyarakat yang ada,
Ø  struktur social yang ada dan
Ø  permintaan efektifitas yang ada.
Sementara itu pertumbuhan ekonomi yang mengiringinya adalah suatu pertumbuhan ekonomi di mana komposisi (composition) dan isi (content) output yang tumbuh berbeda dari yang  terdapat dalam growth-plus strategy. Disini output sebagian besar terdiri dari wage-goods dan pertumbuhan wage-goods mendominasi pertumbuhan output. Juga disini output merupakan hasil proses yang dilandasi perombakan terlebih dahulu dalam pemilikan dan pengusahaan alat-alat produksi.
 
Ia  beroriantasi kepada padat karya yaitu yang  mempunyai kandungan tenaga kerja yang tinggi. Strategi ini jauh berbeda dalam komposisi dan isi output dibanding strategi growth plus di mana secara ralatif banyak output terdiri dari non-wage goods (artinya untuk memenuhi  kebutuhan orang-orang yang bukan miskin) dan output itu terdiri dari output yang sangat sedikit sekali kandungan tenaga kerjanya.  Kebijakan penentuan harga relative factor produksi dalam pandangan golongan transformists ini, ditentukan oleh ketentuan optimisasi social yang memihak kepada rakyat. Dalam proses  seperti ini selain pertumbuhan berlainan sifatnya dari pertumbuhan dalam strategi growth-plus tetapi juga redistribusi bukan dilakukan dari pertumbuhan (redistribution from growth) seperti yang dilakukan dalam strategi  growth-plus, tetapi redistribusi dilakukan bersama pertumbuhan (redistribution with growth).

 Perubahan strutur produksi yang menggiringnya seperti yang dijelaskan di atas, menjamin redistribusi berlangsung bersama dengan pertumbuhan .Oleh karena strategi yang dikemukakan oleh golongan trasformisis bertujuan transformasi dalam arti kata yang sebenarnya maka alokasi sumber-sumber akan ditujukan sebagian kepada keperluan massa rakyat. Hal ini jelas berbeda dengan terdapat dalam strategi Growth-plus di mana sumber-sumber oleh golongan yang sudah mapan dan non-miskin, sehingga jumlah segala macam pengeluaran dan bantuan yang betul-betul ke golongan miskin adalah dalam bentuk tetesan yang sangat kecil sekali, apalagi kalau dihitung secara per kapita 

Sulit kiranya, atau bahkan tidak mungkin golongan miskin akan mendapat porsi anggaran belanja yang besar dalam strategi growth-plus, karena tuntutan golongan kaya terhadap sumber-sumber dan dana-dana adalah sedemikian rupa  sehingga porsi yang tinggal untuk golongan miskin  menjadi relative sangat kecil.  Ditambah dengan tidak adanya kekuatan politik golongan miskin, komposisi terhadap sumber-sumber selalu secara mutlak berlebihan dan dimenangkan oleh golongan kaya dalam suasana strategi growth-plus itu. Pengembangan koperasi mensyaratkan transformasi social ekonomi, agar “ujung tidak diputar jadi pangkal” seperti yang terjadi pada system ekonomi kolonial atau neo-kolonial.
Hal ini jelas sulit untuk terselenggara secara efektif dalam strategi growth-plus. (Adi Sasono,Koperasi Di Dalam Orde Ekonomi Indonesia,Penerbit UI
Press,l985,:200-202).

Sedang menurut Hotman M.Siahaan & Tjahjo Purnomo M, dikutip sbb:

”Bahwa di tahun empatpuluhan, banyak para ahli pembangunan, terutama para ahli ekonomi” berpendapat, pertumbuhan ekonomi merupakan syarat mutlak bagi terciptanya suatu stabilitas politik. Diam-diam diasumsikan, tercapainya suatu keadaan ekonomi yang baik akan menghasilkan  suatu masyarakat yang tidak mempersoalkan masalah-masalah politik, apalagi masalah demokrasi. Dibalik pendapat sedemikian itu pula sebenarnya muncul konsep welfare state, suatu negara kesejahteraan yang menganggap makin sejahtera suatu masyarakat, maka stabilitas politik—atau bahkan suatu kehidupan demokrasi—akan terjamin. Ada suatu yang transparan di dalam pendapat sedemikian itu, yakni kemiskinan—terutama kemiskinan ekonomi,-- sumber terjadinya instabilitas politik,  sehingga pertumbuhan ekonomi merupakan satu-satunya cara untuk mengurangi instabilitas politik itu. Kalau pertumbuhan  ekonomi begitu penting perannya dalam menciptakan stabilitas politik, maka seharusnya dibuktikan, di dalam masyarakat atau negara yang pertumbuhan ekonominya cepat, akan makin cepat pula terjadinya proses stabilitas politik. Di dalam masyarakat di mana keadaan ekonominya makin membaik, maka seharusnya masyarakat akan makin tidak menginginkan terjadinya kegoncangan-kogoncangan politik.

Pendapat sedemikian itu tak sepenuhnya diterima.

Banyak para ahli menyangsikan, dan berpendapat asumsi yang mengatakan ada hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan stabilitas politik tidak sepenuhnya dapat dibuktikan. Argumentasinya, karena di dalam kenyataanya, golongan masyarakat yang mengalami pertumbuhan ekonomi, justru menjadi faktor destabilizing forces, yang sama dengan mereka yang mengalami kemorosotan ekonomi. Dengan kata lain, golongan orang kaya baru (the new have) di dalam masyarakat ternyata  menjadi kelas yang pemberang, mudah marah, dan sering menjadi inspirasi dari kekuatan revolusioner. Sebaliknya, mereka yang mernjadi kelas miskin baru, juga berpenyakit sama, yaitu menjadi  pemberang dan mudah marah.

Adapun alasan mengapa antara mereka yang mengalami kemerosotan ekonomi mempunyai karakteristik yang sama yang menghasilkan destabilizing forces itu, karena kedua-duanya mengalami apa yang disebut dislokasi sosial, mengalami declasse, yaitu tercerabut dari akar kelas sosialnya secara mendadak, baik mereka yang terangkat ke atas, maupun mereka yang terjerembab ke bawah.
Bagi mereka yang terangkat ke atas, ternyata menjadi kelas berang, karena aspirasi sosial politik mereka meningkat dengan cepat seiring dengan peningkatan kehidupan ekonominya, sementara sistem yang ada selalu terlambat untuk memenuhi tuntutan aspirasi yang meningkat itu. Sedangkan bagi mereka golongan yang terjerembab—golongan yang juga disebut sebagai orang-orang “miskin baru”—menjadi mudah marah dan berang, bisa dimaksudkan, karena sistem yang ada itu dirasakan tidak adil, yang membuat mereka menjadi golongan yang kehilangan banyak.

Karenanya, tidak cukup kuat untuk mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang membaik akan juga menghasilkan suatu stabilitas politik di dalam masyarakat.  Sebab baik mereka yang “memperoleh”, maupun mereka yang “merugi” sebagai akibat pertumbuhan ekonomi, sama-sama memiliki potensi yang “dapat mengganggu stabilitas politik”. Tetapi adakah sebuah negara yang membangun yang tidak mengutamakan pertumbuhan ekonomi? Adakah negara yang baru membangun, terutama negara yang melepaskan diri dari  belenggu kolonialisme yang tidak mengumandangkan demokrsi? Sejak W.W.Rustow mengemukakan gagasan tentang 5 tahap pertumbuhan masyarakat, ternyata banyak negara yang baru merdeka pada tahun limapuluhan dan enampuluhan yang mengacu  program pembangunanya kedalam kerangka Rostow tersebut, dan menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi ala

Keynesian, yang menganggap :
Bagaimanapun, suatu program pembangunan  ekonomi yang menghasilkan pertumbuhan yang cepat yang juga sekaligus menciptakan kesenjangan sosial yang membesar pada akhirnya akan mengahasilkan  suatu  proses  penetesan kebawah, dimana dari mereka yang berlebih akan diambil, dan  bagi mereka yang kekuarangan akan  diberi. Proses mengambil dan memberi itu akan tercipta, bila ada suatu sistem politik yang stabil. Dengan kata lain, proses penetesan rezeki dari atas ke bawah akan lancar, bila sistem ekonomi yang ada itu dijamin oleh suatu sistem politik yang stabil dan demokrasi, sehingga pemegang kekuasaan politik akan mampu membagi rezeki yang ada secara lebih adil kepada semua golongan rakyat. Namun, semua itu sangat tergantung kepada paradigma pembangunan macam apakah yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Sebab di dalam kenyataannya, strategi pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi, memiliki mekanisme yang menempatkan rezeki dari “atas ke bawah” itu.

Di dalam istilah yang lebih umum, strategi pembangunan sedemikian itu dinamakan production centered development approach, yang di dalam prakteknya, strategi sedemikian ini ternyata memberikan kepercayaan yang
berlebihan kepada birokrasi pemerintah guna memegang kepemimpinan di dalam penyelenggaraan program-program pembangunan. Strategi
pembangunan berwawasan produksi dan pertumbuhan ini melihat peningkatan  kesejahteraan masyarakat sebagai suatu proses yang berjalan dengan sendirinya, sebagai fungsi dari peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui proses mekanisme “tetesan ke bawah”.  Atau dengan rumusan lain, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan akan “merembes dari “pusat” ke “pinggiran”, dari sektor “modern” ke sektor “tradisonal,” dari “ kota” ke “desa” dari yang “berlebih” ke yang “kekurangan”.  

Asumsi “dualisme difusionis” sedemikian itu di dalam kenyataannya sangat membuka peluang ke arah terciptanya semacam “kolonialisme internal” yaitu suatu kenyataan  di mana pembangunan nasional pada tingkat pertama ditandai oleh berkembangnya kesenjangan distribusi spasial kekuasaan dan privelege pusat, yang secara politik mendomonasi daerah pinggiran sebagai “koloni”-nya. Di dalam hubungan domonasi-domonasi demikian itu, kelompok-kelompok elite yang menguasai lembaga-lembaga pusat, senantiasa berusaha
mempertahankan, dan  meningkatkan kekuasaan, serta privelege mereka, dengan secara politik menempatkan daerah-daerah pinggiran sebagai bagian integral dari ekonomi dan politik nasional, yakni dengan melembagakan sistem stratifikasi yang berlaku untuk seluruh kawasan suatu masyarakat negara. 
Dalam sistem stratifikasi yang demikian, penduduk daerah pinggiran menempati status sosial yang rendah, sementara sebagian besar status sosial yang tinggi berada di tangan “orang-orang pusat”.Selanjutnya, di dalam masyarakat pinggiran, selalu terdapat suatu lapisan elite “komprador” ekonomi dan politik yang menguasai hampir semua segi kehidupan untuk kepentingan-kepentingan elite di tingkat pusat. Atau dengan rumusan lain, sementara kelompok elite penggiran menempatkan diri dalam posisi subordinasi dari kelompok elite pusat, lapisan paling bawah masyarakat pinggiran mensubordinasikan diri mereka, bukan kepada lapisan elite pusat melainkan kepada lapisan elite pinggiran. Melalui struktur dominasi subordinasi yang demikian inilah stabilitas  keseluruhan struktur dominasi  regional dipelihara. (Sumber : Hotmat M. Siahaan & Tjahjo
Purnomo W,  Sosok Demokrasi Ekonomi Indonesia, Surabaya Post, Penerbit
Yayasan Keluarga Bhakti, Surabaya, 1993, hal.1-5).

Paradigma pembangunan menawarkan berbagai rumusan upaya penanggulangan kemiskinan yang paling sesuai atau paling tidak, mendekati kondisi kemiskinan yang sebenarnya.  Pendekatan empiris sebagai pedoman dalam penanggulangan kemiskinan bersumber dari pengalaman pelaksanaan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan sebelumnya.Dalam kerangka perencanaan pembangunan, upaya
penanggulangan kemiskinan perlu ditempatkan dalam bingkai proses perubahan struktur (transformasi struktural) yang sedang berlangsung dalam masyarakat sebagai hasil dari pembangunan. Pembangunan yang dipandang sebagai suatu proses transformasi pada dasarnya akan membawa perubahan dalam proses :
1.      alokasi sumber-sumber ekonomi,
2.      proses distribusi manfaat, dan
3.      proses akumulasi yang membawa pada peningkatan produksi, pendapatan dan, kesejahteraan.
Dalam proses tersebut Putaran kegiatan ekonomi akan menghasilkan surplus yang menjadi sumber peningkatan kesejahteraan, kemudian hasil pembangunan tersebut akan dinikmati oleh masyarakat secara merata.  Proses transformasi tersebut dalam kerangka teoritik dikenal sebagai proses alamiah atau natural. 
Dalam kerangka teoritik pula proses tersebut mensyaratkan dipenuhinya 3 (tiga) asumsi dasar :
1.      Peran serta atau partisipasi penuh (full employment) artinya, semua faktor-faktor produksi dan setiap pelaku ekonomi ikut serta dalam kegiatan ekonomi;
2.      Homogenitas artinya semua pelaku ekonomi memiliki faktor produksi dan mempunyai kesempatan berusaha dan kemampuan menghasilkan atau produktifitas yang sama;
3.      Rasionalitas, prinsip efisiensi atau bekerjanya mekanisme pasar artinya, interaksi antar pelaku pembangunan terjadi dalam keseimbangan, sehingga imbalan yang diterima oleh pelaku pembangunan seimbang dengan pengorbanan yang telah dikeluarkannya.


Tetapi dalam kerangka empirik pula, asumsi ini tidak selalu, bahkan sulit untuk dapat dipenuhi.
Ø  Ini berarti bahwa tidak semua pelaku ekonomi, ikut serta dalam proses pembangunan dan, tidak setiap penduduk menikmati peningkatan pendapatan sebagai hasil dari proses pembangunan tersebut.
Ø  Pelaku pembangunan yang tidak memiliki sumber daya dan tidak mempunyai akses dalam pembangunan, akan menganggur.
Ø  Karena menganggur, maka tidak berpendapatan  yang kemudian menyebabkan miskin 
Ø  Keadaan ini disebut adanya “Masalah Dalam Pembangunan”. 
Tiga masalah utama pembangunan ekonomi adalah :
1.    Pengangguran,
2.    Ketimpangan, baik antar golongan penduduk, antar sektor kegiatan sosial ekonomi maupun antar daerah, serta,
3.    Kemiskinan.
Ketiga masalah tersebut saling bertalian.

C. Kemiskinan dapat dibedakan
Kemiskinan dapat dibedakan dalam 3 (tiga) pengertian yaitu :
1.    Kemiskinan absolut,
2.    Kemiskinan relatif atau kemiskinan struktural,
3.    Kemiskinan kultural.

Penjelasannya :
1). Kemiskinan absolute.
Seseorang dikatakan miskin secara absolut apabila tingkat pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Rendahnya tingkat pendapatan ini terutama di sebabkan oleh keterbatasan sarana dan prasarana fisik dan kelangkaan modal atau miskin karena sebab alami (natural).
2). Kemiskinan relatif,
Ø Adalah pendapatan seseorang yang sudah diatas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibanding pendapatan masyarakat sekitarnya.
Ø Kemiskinan relatif ini erat kaitannya dengan masalah pembangunan yang bersifat struktural, yakni kebijaksanaan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan pendapatan.
3). Kemiskinan kultural, mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang (di sebabkan oleh faktor budaya), tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupannya, meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya.

Kemiskinan menurut pakar lainnya adalah :
A.
1.    Ekonomi : Keadaan ekonomi, ditandai ketidakmampuan membeli berbagai barang dan jasa yang merupakan kebutuhan pokok. Dalam arti lain; suatu titik di mana tidak mungkin dilakukan pengendalian efisiensi secara fisik
2.    Sosiologi : Suatu keadaan geografi sosial di mana penduduk hidup sangat  di bawah garis kemiskinan (Poverty line); artinya tidak mampu membeli kebutuhan-kebutuhan hidup yang sangat penting.
B.Seebohm Rowntry (seorang sarjana Inggris) membagi kemiskinan atas :
1.      primary poverty; kemiskinan karena kekurangan penghasilan;
2.      secondary poverty; kemiskinan yang disebabkan oleh berbagai pengeluaran istimewa (misalnya : biaya pengobatan, minuman keras dan sebagainya); padahal penghasilan sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup penting.
C. Saygya, membagi kemiskinan atas 3 lapisan.
1.    Miskin sekali; penghasilan setara dengan 188 kg  beras/tahun/orang;
2.    Miskin; penghasilan setara dengan 246 kg beras/tahun/orang;
3.    Cukup; penghasilan setara dengan 408 kg beras/tahun/orang.
(Sumber : Insklopedi Indonesia : 1734, bersumber dari Prisma, April 1978)

Langkah awal dalam usaha menanggulangi kemiskinan dan memeratakan pembangunan adalah:
1. Mengenali pokok-pokok permasalahan yang dihadapi,
2. Tantangan dan kendala yang ada, serta
3. Peluang yang tersedia.
Pengenalan terhadap pokok-pokok permasalahan kemiskinan perlu dibatasi menjadi 2 (dua) arah yaitu :
1.      Penduduk Miskin
2.      Desa Tertinggal.

Bahwa pembangunan yang berorientasi  pada masyarakat,
Ø  Memberikan kesempatan kepada setiap anggota  masyarakat  untuk ikut serta dalam proses pembangunan  dengan mendapatkan  kesempatan yang sama dan menikmati  hasil  pembangunan tersebut sesuai kemampuannya.
Ø  Syarat  dari keikutsertaan seluruh  anggota masyarakat, selain peluang  dan akses yang sama, juga menyangkut kemampuan masyarakat  untuk berperan serta,
Ø  Konsekuensinya, masyarakat harus  berdaya untuk berperan serta, dalam pembangunan.

D. Pemberdayaan Masyarakat

Maka adalah sebuah keharusan memulai konsep pembangunan tersebut dengan apa yang dinamakan dengan  pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat sendiri, merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat, lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Konsep  pemberdayaan masyarakat sebagai suatu pemikiran, sekali lagi, tidak dapat  dilepaskan dari pada paradigma pembangunan yang berpusat  pada rakyat.
Paradigma pembangunanan yang memberikan  kedaulatan  kepada rakyat untuk menentukan pilihan kegiatan yang paling sesuai bagi kemajuan diri mereka masing-masing. Menurut pendekatan ini, setiap upaya pembangunan perlu diarahkan pada penciptaan suatu lingkungan yang memungkinkan masyarakat untuk menikmati kehidupan yang jauh lebih baik, dan sekaligus memperluas pilihan yang dapat dilakukan oleh setiap anggota masyarakat. 

Pemikiran ini pada dasarnya menempatkan masyarakat atau rakyat sebagai pusat perhatian dan sekaligus sebagai pelaku utama pembangunan.
Pandangan tersebut muncul sebagai tanggapan atas keadaan kesenjangan yang muncul di dalam masyarakat. Sementara menyangkut  pelaku-pelaku di dalamnya, pemberdayaan senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu, masyarakat yang belum berkembang sebagai pihak yang harus diberdayakan. Sementara itu, dengan menggunakan  sudut pandang  yang berbeda, kesimpulan tentang upaya  pemberdayaan masyarakat pada dasarnya mempunyai arah yang sama, atau paling tidak, mirip satu sama lain.
Langkah itu pada intinya bermuara pada :
1.      perubahan yang dilakukan secara bertahap (gradual);
2.      konsisten (consistent) dan,
3.      terus-menerus (sustaninable).
Pada setiap pemberdayaan baik yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha maupun pihak yang peduli kepada masyarakat, upaya itu harus dipandang sebagai sebuah  pemacu untuk menggerakkan kegiatan ekonomi rakyat.

Selanjutnya, berbagai upaya tersebut menurut (DR Gunawan
Sumodininggrat, 1997 : 5),  paling tidak harus memuat lima pokok.

1.    Bantuan dana sebagai modal usaha;
2.    Pembangunan prasarana sebagai pendukung pengembangan kegiatan sosial ekonomi rakyat; Penyediaan sarana untuk memperlancar pemasaran hasil produksi barang dan jasa masyarakat;
3.    Pelatihan bagi aparat dan masyarakat, dan penguatan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat.
4.    Setiap bantuan yang diberikan kepada masyarakat, suatu saat harus digantikan dengan tabungan yang dihimpun dari surplus usaha.
5.    Pengertian mekanisme pembentukan modal meskipun dengan bahasa yang sangat sederhana perlu ditanamkan sejak dini, kepada  seluruh masyarakat sebagai pelaku ekonomi. 

Dalam kerangka pemikiran itu, upaya pemberdayaan dapat dilihat dari tiga sisi.
1.    Pemberdayaan, dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Setiap anggota masyarakat secara alamiah memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Itu berarti  bahwa setiap anggota masyarakat dapat memanfaatkan  potensi yang dimiliki menuju kehidupan yang lebih baik.
2.    Pemberdayaan, untuk memperkuat potensi ekonomi atau daya  yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam rangka memperkuat potensi ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses terhadap  sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan pasar.
3.    Pemberdayaan, melalui pengembangan ekonomi rakyat, berarti  upaya melindungi untuk  mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta menciptakan kebersamaan dan kemitraan antara yang sudah maju dengan yang belum berkembang.

Secara khusus perhatian harus diberikan dengan pemihakan dan pemberdayaan masyarakat melalui,
Ø  Pembangunan ekonomi rakyat,
yaitu Ekonomi usaha kecil termasu   koperasi, agar tidak makin tertinggal jauh dan justru dapat memanfaatkan momentum globalisasi bagi pertumbuhannya.
Ø  Secara konkret, pemberdayaan masyarakat diupayakan melalui pembangunan ekonomi rakyat.
Ø  Sementara itu, pembangunan ekonomi rakyat harus diawali dengan usaha pengentasan penduduk miskin, yang masih menjadi  salah satu problem utama kita.
Ø  Usaha penanggulangan kemiskinan harus berpusat pada upaya mendorong percepatan perubahan struktur ekonomi rakyat sehingga memperkuat kedudukan dan peran ekonomi rakyat dalam perekonomian nasional.

E. Perubahan Struktur
Perubahan struktur ini meliputi proses perubahan dari :
1.      Ekonomi tradisional ke ekonomi modern,
2.      Dari ekonomi yang lemah ke ekonomi yang tangguh,
3.      Dari ekonomi subsisten ke ekonomi pasar, dan
4.      Dari kedudukan ketergantungan kepada kedudukan kemandirian.
Dengan memahami pembangunan sebagai perubahan struktur maka perlu :
1.      upaya peningkatan kemampuan masyarakat,
2.      penguasaan teknologi, dan
3.      pemupukan modal yang benar merupakan kunci dari pengembangan ekonomi rakyat yang tumbuh berkembang. Proses pemupukan modal yang benar muncul dari dalam sendiri, yakni dari masyarakat, oleh masyarakat, untuk dinikmati masyarakat. 
Dalam pengertian tersebut setiap anggota masyarakat  disyaratkan berperanserta dalam :
1.      proses pembangunan (full employment),
2.      mempunyai kemampuan sama ( equal productivity), dan
3.      bertindak rasional (efficient).
Perubahan struktur yang diharapkan dan diupayakan adalah 
Proses yang berlangsung secara alamiah, yaitu yang menghasilkan, akan menikmati. Begitu pula sebaliknya yang menikmati,  adalah yang menghasilkan.
Proses ini diarahkan agar berkesinambungan dan menumbuhkan kemandirian usaha.  Kemandirian usaha diwujudkan melalui penciptaan akumulasi modal yang bersumber dari peningkatan surplus yang dihasilkan, dan pada gilirannya dapat menciptakan pendapatan yang memadai. 

Kelebihan pendapatan yang diperoleh merupakan sumber-sumber
pendorong pertumbuhan usaha:
1.      baik pembangunan prasarana,
2.      pengembangan penelitian,
3.      peningkatan kemampuan sumber daya manusia,
4.      penyempurnaan teknik produksi, serta
5.      insentif untuk menerapkan teknologi baru sehingga memacu peningkatan produktivitas secara berkesinambungan.
Kerangka berpikir di atas dilandasi oleh pemikiran Nurkse, yang mensinyalir bahwa : “ a poor country is poor, because it is poor” (negara miskin itu
miskin, karena dia miskin)”.
Ia menjelaskan bahwa kemiskinan diawali oleh :
1.      faktor eksternal/struktural (ketidaksempurnaan pasar, pembangunan di bawah standar, dan keterbelakangan) dan,
2.      faktor internal pelaku pembangunan (kurangnya modal), yang kemudian menyebabkan rendahnya produktivitas.
3.      rendahnya produktvitas menyebabkan pendapatan riil yang rendah, yang mengakibatkan rendahnya tingkat tabungan, dan kemudian berujung pada rendahnya investasi.
4.      Alur tersebut kemudian kembali lagi pada titik awal, yaitu kurangnya modal, yang selanjutnya berputar ke alur di atas.
Untuk memecahkan permasalahan kemiskinan tersebut tak ada jalan lain :
1.    Selain memutus tali lingkaran-lingkaran kemiskinan tersebut.
2.    Usaha pemecahan masalah tersebut harus mampu mengatasi permasalahan internal (minimnya modal), sekaligus masalah eksternal atau struktur yang dihadapi oleh pelaku pembangunan.
(Nurkse, Ragnar, “Problems of Capital Formation in Underdeveloped Countries,
basil Blackwell, Oxford, l953, yang di kutip DR Gunawan Sumodiningrat,
“Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat, PT, Bina Rena

Pariwara, Jakarta, 1997 : 4-9)”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.