Mengukur Kemiskinan
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Pengertian Kemiskinan
Ø Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk
dipunyai seperti makanan, pakaian, tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini
berhubungan erat dengan kualitas hidup.
Ø Kemiskinan juga berarti tidak adanya akses
terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan
mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara.
Ø Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini
secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnja melihatnya dari segi
moral dan ekslusif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang
telah mapan. Istilah “negara berkembang”biasanya digunakan untuk merujuk kepada
negara-negara yang miskin”.
Kemiskinan
dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya
mencakup :
Ø Gambaran
kekuarangan materi, yang biasanya
mencakup kebuituhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan
kesehatan.Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan
barang-barang dan pelayanan dasar.
Ø Gambaran
tentang kebutuhan sosial termasuk
keterkucilan sosial, ketergantungan dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi
dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan infprmasi. Keterkucilan
sosial biasanya dibedakan dari kemiskian, karena hal ini mencakup
masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang
ekonomi
Ø Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan
kekayaan
yang memadai. Maka ‘memadai” disini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian
politik dan ekonomi di seluruh dunia
Meskipun kemiskinan yang paling parah
terdapat di dunia bekembang, ada bukti tentang kehadiran kemiskinan di setiap
region.
Ø
Di
negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan kaum tuna wisma
yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota dan ghetto yang miskin.
Ø
Kemiskinan dapat
dilihat sebagai kondisi kolektif masyarakat miskin, atau kelompok orang-orang
miskin, dan dalam pengertian ini keseluruhan negara
kadang-kadang dianggap miskin.
Untuk
menghindari stigma ini, negara-negara ini biasanya disebut sebagai negara
berkembang.
(Sumber :
Wikipedia -Internet) Antônio Milena/ABr
Menanggulangi Kemiskinan Desa (Gregorius Sahdan)—Maret
2005
Ada desa-desa
dimana posisi penduduk pedesaan, ibarat
orang yang
selamanya berdiri
terendam dalam air sampai ke leher, sehingga ombak yang
kecil sekalipun
sudah cukup menenggelamkan mereka (Tawney, 1931)
Ø
Kemiskinan terus menjadi masalah fenomennal
sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah sebuah negara
yang salah memandang dan mengurus
kemiskinan.
Ø
Dalam
negara yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar,
selain persoalan kemiskinan.
Ø
Kemiskinan
telah membuat :
---jutaan anak-anak tidak bisa
mengenyam pendidikan yang berkualitas,
---kesulitan membiayai kesehatan,
---kurangnya tabungan dan tidak
adanya investasi,
---kurangnya akses ke pelayanan
publik,
---kurangnya lapangan pekerjaan,
---kurangnya jaminan sosial dan
perlindungan terhadap keluarga,
---menguatnya arus urbanisasi ke
kota, dan yang lebih parah,
---kemiskinan menyebabkan jutaan
rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas.
Kemiskinan menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, savaty life (James
C.Scott,1981), mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan
bagi tengkulak lokal dan menerima upah
yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan. Para buruh tani desa
bekerja sepnjang hari, tetapi mereka menerima upah sangat sedikit.
Kemiskinan
telah membatasi hak rakyat untuk :
(1)
Memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan;
(2) Hak rakyat untuk memperoleh
perlindungan hukum;
(3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman
(4) Hak rakyat untuk memperoleh akses
atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau;
(5)
Hak rakyat untuk memperoleh akses kebutuhan pendidikan;
(6) Hak
rakyat untuk memperoleh keadilan;
(7)
Hak rakyat untuk berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan publik dan
pemerintahan;
(8) Hak
rakyat untuk memperoleh akses kebutuhan kesehatan;
(9)Hak
rakyat untuk berinovasi;
(10)
Hak rakyat menjalankan hubungan
spiritualnya dengan Tuhan;
(11) Hak rakyat untuk berpartisipasi
dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik.
Kemiskinan
menjadi alasan yang sempurna rendahnya Human Developmen Index (HDI), Index
Pembangunan Manusia Indonesia.
Secara menyeluruh kualitas manusia
Indonesia relatif masih sangat rendah, dibandingkan dengan kualitas manusia di
negara-negara lain di dunia. Berdasarkan
Human Development Report 2004 yang
menggunakan data tahun 2002, angka
Human Development Index (HDI) Indonesia adalah 0,692.
Angka Index tersebut merupakan komposit dari,
---angka
harapan hidup saat lahir sebesar 66,6 tahun,
---angka
melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 87,9 persen,
---kombinasi
angka partisipasi kasar jenjang pendidikan
tinggi sebesar 65 persen dan Pendapatan
Domistik Bruto per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli
(purchasing power parity) sebesar
US$ 3230, HDI Indonesia hanya menempati
urutan ke 111 dari 177 negara (Kompas, 2004).
Pendek kata,
kemiskinan merupakan persoalan yang maha kompleks dan kronis.
Karena sangat kompleks dan kronis, maka,’ cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan analisis yang tepat,
melibatkan semua komponen permasalahan; dan diperlukan strategi
penanganan yang tepat, berkelanjutan dan tidak bersifat temporer.
Sejumlah variabel dapat dipakai untuk melacak persoalan
kemiskinan, dan
dari variabel ini dihasilkan serangkaian strategi dan
kebijakan
penaggulangan kemiskinan yang tepat sasaran dan
berkesinambungan.
Ø
Dari dimensi pendidikan misalnya, pendidikan yang rendah dipandang
sebagai penyebab kemiskinan.
Ø
Dari dimensi kesehatan, randahnya mutu kesehatan
masyarakat menyebabkan terjadinya kemiskinan.
Ø
Dari dimensi ekonomi, kepemilikan alat-alat
produksitif yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya ketrampilan,
dilihat sebagai alasan mendasar mengapa terjadi kemiskinan.
Ø
Faktor kultur dan struktural juga kerap kali
dilihat sebagai elemen penting yang menentukan tingkat kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat.
Tidak ada yang
salah dan keliru dengan pendekatan tersebut, tetapi dibutuhkan keterpaduan antara
berbagai faktor penyebab kemiskinan yang sangat banyak dengan indikator-indikator
yang jelas, sehingga kebijakan penganggulangan kemiskinan tidak bersifat
temporer, tetapi permanen dan berkelanjutan.
Selama tiga dekade, upaya penanggulangan kemiskinan
dilakukan dengan penyediaan kebutuhan dasar seperti,
Ø
pangan,
Ø
pelayanan kesehatan dan pendidikan,
Ø
perluasan kesempatan kerja,
Ø
pembangunan pertanian, pemberian dan bergulir
melalui sistem kredit,
Ø
pembangunan prasarana dan pendampingan,
Ø
penyuluhan sanitasi dan sebagainya.
Dari serangkaian cara dan strategi
penanggulangan kemiskinan tersebut,
semuanya beroriantasi material,
sehingga keberlanjutannya sangat tergantung
pada ketersediaan anggaran dan komitmen pemerintah. Di samping itu,
tidak adanya tatanan pemerintah yang demokratis, menyebabkan rendahnya
akseptabilitas dan inisiatif masyarakat untuk menanggulangi kemiskinan dengan
cara mereka sendiri.
Konsep Dan Indikator Kemiskinan
Konsep
tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketakmampuan
memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan
berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Misalnya ada pendapat yang mengatakan bahwa, kemiskinan
terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam satu masyarakat atau
yang mengatakan bahwa kemiskinan
merupakan ketakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu
pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan
terekploitasi (kemiskinan struktural).
Tetapi pada umumnya, ketika orang
berbicara tentang kemiskinan, yang
dimaksud adalah kemiskinan material.
Dengan pengertian ini, maka
seseorang masuk dakam katagori miskin
apabila tidak mempu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup
secara layak, ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi.
Memang definisi ini sangat bermanfaat untuk mempermudah
membuat indikator orang miskin, tetapi definisi ini sangat kurang memadai
karena;
Tidak cukup untuk
memahami realitas kemiskinan; dapat menjerumuskan ke kesimpulan yang salah
bahwa menagnggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai; tidak bermanfaat
bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor,
bahkan bisa kontraproduktif. BAPPENAS (2004) mendefinisikan kemiskinan
sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan
perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan
kehidupan yang bermartabat.
Hak-hak dasar masyarakat desa anatara lain,
Ø
terpenuhinya kebutuhan pangan,
Ø
kesehatan, pendidikan,
Ø
pekerjaan,
Ø
pemenuhan air bersih,
Ø
pertanahan,
Ø
sumberdaya alam dan lingkungan hidup,
Ø
rasa aman dari perlakuan
atau ancaman tindak kekerasan dan,
Ø
hak untuk berpartisipasi
dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini,
BAPPENAS
menggunakan beberapa pendekatan utama antar lain;
Ø
pendekatan kebutuhan dasar (basic
needs approach),
Ø
pendekatan pendapatan (income approach),
Ø
pendekatan kemampuan dasar (human
capability aproach) dan,
Ø
pendekatan objective and subjective.
Pendekatan kebutuhan dasar melihat kemiskinan sebagai
suatu
ketidakmampuan
(lack of capabilities) seseorang,
keluarga, dan masyarakat
dalam
memenuhi kebutuhan minimum, antara lain,
Ø
pangan, sandang,
Ø
papan,
Ø
pelayanan kesehatan,
Ø
pendidikan,
Ø
penyediaan air bersih dan sanitasi.
Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan
disebabkan oleh, rendahnya penguasaan asset, dan alat alat produktif seperti
tanah dan lahan pertanian (terbatasnya alat-alat perlengkapan pertanian) atau perkebunan, sehingga secara langsung
mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat.
Pendekatan ini
menentukan secara rigit standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk
membedakan kelas sosialnya. Pendekatan
kemampuan dasar menilai kemiskinan
sebagai keterlambatan kemapuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi
minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya
kemungkinan bagi orang miskin
terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga
disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the
welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus
dipenuhi agar keluar dari kemiskinan.
Pendekatan
subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin
sidiri (Joseph F.Stepanek, (ed) 1985).
Dari pendekatan-pendekatan tersebut, indikator utama
kemiskinan dapat
dilihat dari;
(1) kurangnya pangan, sandang, dan
perumahan yang tidak layak;
(2) terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif;
(3)
kurangnya kemampuan membaca dan menulis;
(4)
kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup;
(5)
kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan ekonomi;
(6)
ketidakberdayaan atau daya tawar yang
rendah;
(7) akses
terhadap ilmu pengetahuan;
(8)
dan sebagainya.
Terbatasnya
kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stock pangan yang terbatas, rendahnya
asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita atau
ibu.
Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya
mengkonsumsi 1571 kalori per hari. Kekurangan
asupan kalori yaitu kurang dari 2200
kalori per hari, masing dialami oleh 60
persen penduduk berpenghasilan rendah (BPS,2004) Terbatasnya akses dan
rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mendapatkan layanan
kesehatan dasar, kurangnya pemahaman
terhadap perilaku hidup sehat dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi; jarak fasilitas layanan kesehatan
yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan
yang mahal. Di sisi lain, utilisasi
rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat
miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di
PUSKESMAS.
Demikian juga persalinan oleh tenaga
kesehatan pada penduduk miskin,
hanya sebesar 39,1 persen
dibandingkan 82,3 persen pada penduduk kaya.
Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk
sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,74
persen (2001) penduduk, dan hanya
sebagian kecil diantaranya penduduk
miskin. Terbatasnya akses dan
rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan biaya
pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendiidikan yang mahal,
kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya
pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung
Terbatasnya kesempatan kerja dan
berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta
lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan
seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumah tangga.
Terbatasnya akses
pelayanan perumahan dan sanitasi.
Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan,
pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering, kesulitan
memperoleh perumahan dan lingkungan pemukiman yang sehat dan layak. Dalam satu
rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi
yang kurang memadai. Terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama
disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber
air.
Lemahnya
kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah.
Masyarakat miskin menghadapi masalah
ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam
penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat
dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota
keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian. Memburuknya kondisi
linggkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat
terhadap sumber daya alam.
Masyarakat
miskin yang tinggal di daerah pedesaan, kawasan pesisir,
daerah pertambangan, dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumber
daya alam sebagai sumber penghasilannya. Rendahnya rasa aman. Data yang
dihimpun UNSFIR menggambarkan bahwa
dalam waktu 3 tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik dengan korban 10.700 orang, dan lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi. Meskipun
jumlah pengungsi cenderung menurun, tetapi
pada tahun 2001 diperkirakan
masih ada lebih dari 850.000 pengungsi
di berbagai daerah kionflik.
Lemahnya
partisipasi.
Berbagai
kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja (PHK) secara
sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan
kurangnya dialog dan lemahnya partisipasi mereka dalam pengambiloan keputusan.
Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik
mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang
memungkinkan keterlibatan mereka. Besarnya beban kependudukan yang
disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang
mendorong terjadinya migrasi. Menurut
data BPS, rumahtangga miskin
mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumahtangga miskin di
perkotaan rata-rata mempunyai anggota 5,1
orang, sedangkan rata-rata anggota rumahtangga miskin di pedesaan adalah 4,8 orang.
Dari berbagai definisi
tersebut di atas, maka indikator utama kemiskinan lainnya adalah :
(1) terbatasnya kecukupan dan mutu
pangan.
(2) terbatsnya akses dan rendahnya mutu
layanan kesehatan;
(3) terbatasnyaakses dan rendahnya mnutu
layanan pendidikan;
(4) terbatasnya kesempatan
kerja dan berusaha;
(5)
lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah;
(6) terbatasnya akses pelayanan
perumahan dan sanitasi;
(7) terbatasnya akses
terhadap air bersih;
(8) lemahnya kepastian
kepemilikan dan penguiasaan tanah
(9) memburuknya kondisi lingkungan hidup
dan sumber daya alam,
(10)
lemahnya jaminan rasa aman;
(11)
lemahnya partisipasi;
(12)
besarnyambeban kependudukan yanjg disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga;
(13)
tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas
dalam pelayanan publik, meluasnya
korupsi dan rendahnya
jaminan
sosial terhadeap masyarakat.
Kenyataan membuktikan bahwa kemiskinan
tidak bisa didefinisikan dengan sangat sederhana, karena tidak hanya berhubungan dengan kemampuan memenuhi
kebutuhan material, tetapi juga sangat berkaitan dengan dimensi kehidupan
manusia lainnya. Karenanya, kemiskinan
hanya dapat ditanggulangi apabila dimensi-dimensi lain itu diperhitungkan.
Menurut Bank Dunia, (2003), penyebab dasar kemiskinan
adalah
(1)
kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal;
(2)
terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana;
(3) kebijakan pembangunan yang bias
perkotaan dan bias sektor;
(4) adanya perbedaan kesempatan kerja di
antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung
(5) adanya perbedaan sumber daya manusia
dan perbedaan anatara sektor ekonomi (ekonomi
tradisional versus ekonomi modern
(6) rendahnya
produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat
(7) budaya hidup yang dikaitkan dengan
kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkungannya;
(8) tidak
adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good govenance)
(9) pengelolaan sumber
daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan
A. Miskin.
Seperti disebutkan di atas Penyebab kemiskinan banyak
dihubungkan
dengan :
Ø penyebab individual, atau patologis, yang melihat
kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si
miskin;
Ø penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga;
Ø penyebab sub-budaya ("subcultural"), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan
sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar;
Ø penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk
perang, pemerintah, dan ekonomi;
Ø penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur
sosial.
Meskipun diterima
luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari “kemalasan”, namun di Amerika Serikat
(negera terkaya per kapita di dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang
diistilahkan sebagai [pekerja miskin];
yaitu, orang yang tidak [sejahtera] atau rencana bantuan publik, namun masih
gagal melewati atas [garis kemiskinan].
Diskusi mengenai miskin sebagai
tanda dan struktur data keterbelakangan di pertengahan tahun ’70-an dengan terlihatnya “pemiskinan absolute” yang sesuai untuk
itu, mendapatkan dimensi baru.“Miskin
realatif” dimengerti sebagai “kesenjangan kemakmukmuran” antara Negara
berkembang dan Negara industri dan di dalam Negara berkembang sendiri antara
daerah-daerahnya serta antara lapisan social (distribusi pendapatan).
Mantan Presiden Bank Dunia, D.McNamara, mendefenisikan
“kemiskinan absolute” dalam pidatonya di Nairobi tahun 1973 sebagai berikut :
Kemiskinan absolute ditandai oleh keadaan persyaratan hidup yang tidak manusiawi seperti
penyakit, buta aksara, kekurangan makan,
dan keterlantaran sehingga korban “kemiskinan absolute” ini tidak pernah dapat
memenuhi kebutuhan hidup manusia yang paling mendasar”. Ratusan juta manusia di
Negara berkembang menderita dalam “kondisi
hidup yang tidak manusiawi”; sepertiga sampai setengah dari 2 miliar manusia di Negara berkembang
kelaparan atau menderita kekurangan makan, 20%
- 25% anak-anak di Negara berkembang meninggal dunia sebelum mencapai umur 5 tahun; yang tidak meninggal akan
mengalami hidup dalam kemiskinan, otak mereka menjadi rusak, badan mereka
menjadi cacat, dan daya tahan hidup mereka menjadi lemah akibat kekurangan makan; Harapan hidup manusia di Negara berkembang 20 tahun lebih pendek daripada di
Negara industri.
Dengan kata lain, hidup manusia di Negara berkembang
diperpendek 30% dari usia yang dapat dicapainya.
Sejak lahir, manusia-manusia
ini telah divonis mati lebih dini; 800
juta manusia buta aksara dan
anak-anak mereka walaupun semakin diperluasnya sector pendidikan akan tetap buta aksara. Keadaan ini akan semakin
memburuk dan menentukan nasib 40%
manusia di Negara berkembang. Data-data kuantitatif untuk mengukur miskin di Dunia Ketiga tidak lagi diteliti sejak akhir
tahun ’70-an, dan angka-angka yang
ada dianggap sangat tidak pasti. Tahun 1980 jumlah “miskin absolute”
(di definisikan dengan “konsumsi kalori
per hari kurang dari 2.250 satuan”)
untuk Asia (tanpa Cina, Jepang dan Timur Tengah) diperkirakan sekitar 40% penduduk (350—450 juta). Bank Dunia
melaporkan jumlah “kemiskinan absolute”
di seluruh dunia sebanyak 700 juta—1 miliar manusia dan selama tahun 80’an jumlah tersebut semakin
meningkat. Tahun 1985 sebanyak 21 dari 35 negara berkembang dengan pendapatan
rendah yang diteliti, telah ditemukan bahwa penggunaan kalori per kepala
menjadi lebih kecil dibandingkan 20
tahun lalu. Berbagai lembaga berusaha memberi deferensiasi lanjut untuk
menentukan batas kemiskinan—merupakan pertanyaan untuk sebuah politik yang
terarah untuk memerangi miskin.
IDA
mengembangkan lima inti “indicator kemiskinan absolute dan
menentukan batas kemiskinan secara kuantitatif sebagai
berikut :
1.
Pendapatan per kapita 150 US$;
2.
Pemakaian kalori setiap hari 2.160—2.670;
3.
Harapan hidup di bawah 55 tahun;
4.
Kematian anak-anak lebih dari 33 per seribu;
5.
Tingkat kelahiran lebih
dari 25 per seribu.
Lebih
sederhana adalah Physical Quality of Life Index (POLI) dengan indicator harapan
hidup, kematian anaka-anak, dan tingkat buta aksara.
ILO
membuat 2 batasan kemiskinan, yaitu :
Ø
Disamakan dengan pendapatan rata-rata
seseorang buruh tidak terdidik di sebuah pabrik besar dari indusrti pengolahan
di India (sangat miskin) dan
disamakan dengan pendapatan yang besarnya 1
Rupee per hari (miskin sekali). Nilai pendapatan di Negara
berkembang lainnya dapat dihitung dengan bantuan harga dari “sekeranjang
barang” yang khas.
Ø
Karena perkiraan miskin yang berkaitan dengan
“pendapatan absolute” dan
berhubungan dengan “kekayaan”,
sebuah studi terbaru Bank Dunia
menyebutkan food adequacy standards
sebagai indicator penting untuk mengukur kemiskinan. Manusia yang
mengalami kemiskinan absolute adalah
mereka yang harus menggunakan lebih dari 70%
pendapatannya untuk membeli bahan makanan dan seringkali menderita lapar (batas
kalori 2.250).
Manusia yang harus menggunakan lebih
dari 80% pendapatannya untuk membeli
bahan makanan dan terancam kekurangan makan yang berat diklasifikasikan sebagai
ultra miskin. (Dieter Nohlen (ed), Kamus Dunia Ketiga, Penerbit Gramedia, Jakrta1994,
hal.451-452).
B.
Pembangunan dengan sistem Tricle Down Effect.
Semula
banyak ahli berpendapat bahwa proses pembangunan maupun menyebarkan hasilnya
secara otomatis kepada penduduk dengan pendapatan yang berlaianan tingkat.
Mula-mula kelompok penduduk
berpendapatan tinggi akan memetik hasil pembangunan lebih cepat dan lebih
banyak dibandingkan dengan kelompok penduduk dengan tingkat pendapatan lebih
rendah. Naiknya pendapatan dari kelompok penduduk berpenghasilan tinggi
dianggap perlu untuk mobilisasi dana tabungan dan pemupukan modal. Kemampuan menabung dianggap erat berhubungan
dengan tingkat pendapatan. Semakin tinggi pendapatan seseorang semakin besar
pula kemampuannya menabung.
Berkat tabungan
maka kemampuan investasi meningkat dan pembangunan bisa berlangsung lebih
cepat. Peningkatan pembangunan memungkinkan pemerataan hasil pembangunan yang lebih luas sehingga bisa menjangkau kelompok penduduk
berpendapatan rendah. Perkembangan meluasnya
pembagian pendapatan ini dikenal dengan “tricle down effect”.Dalam
perkembangan pembangunan seperti ini maka bagian pendapatan nasional yang
diterima kelompok penduduk berpenghasilan tinggi, lebih besar daripada kelompok
penduduk berpenghasilan rendah sehingga terbentang jurang yang melebar antara penduduk berpendapatan tinggi dengan
kelompok penduduk berpendapatan rendah
dalam bentuk huruf U yang
terlentang horizontal.
Apabila tingkat
pendapatan semakin naik, maka jurang perbedaan antara pendapatan kelompok berpendapatan pada “kaki
atas” huruf U dengan, kelompok
berpendapatan rendah pada “kaki bawah”
huruh U ini berangsur-angsur akan
mengecil. (Emil Salim, Rencana
Pewmbangunan dan Pemerataan Pembvangunan, Yayasan Idayu-Jakarta 1980 hal.45). Proses
pemerataan pembangunan ini bisa dipercepat dengan diterapkannya kebijaksanaan
perpajakan dan subsidi yang
mengalihkan sebagian hasil pendapatan kelompok penduduk berpenghasilan tinggi
kepada kelompok penduduk berpenghasilan rendah. Maka secara teoritis
kebijaksanaan pembangunan serupa ini, akan mencapai pemerataan pembangunan yang
akhirnya menjangkau penduduk di bawah garis kemiskinan Pola berfikir ini oleh
banyak ahli juga diterapkan dalam hubungan ekonomi antara Negara maju dengan
Negara berkembang. Dalam ekonomi dunia, maka kebebasan berusaha mendorong
kemajuan yang pesat di Negara maju.
Pembangunan di Negara maju akan menaikkan permintaan bahan mentah yang
dihasilkan Negara berkembang, sehingga berlangsunglah proses penyebaran (spread
effect) pembangunan dari Negara maju ke Negara berkembang.
Proses
penyebaran pembangunan akan dipercepat apabila,
Negara berkembang
belajar dari pengalaman Negara industri
sebelum mereka maju. Ikhtiar perlu dipusatkan kepada pembangunan
prasarana social dan ekonomi, peningkatan teknologi di bidang pertanian dan
industri ekspor. Transformasi social dan psikologi yang menyertai proses pembangunan
Negara berkembang bisa mengikuti pengalaman Negara industri. Hanya dalam tiga
hal pokok terdapat perbedaan penting dalam kondisi lingkungan Negara berkembang
sekarang dibandingkan dengan keadaan
Negara industri sebelum maju, yaitu,
Ø
dalam tekanan penduduk
yang besar;
Ø
perkembangan teknologi yang tinggi dan
Ø
situasi politik yang
berlaianan dan lebih kompleks.
Untuk mengatasi akibat dari perbedaan kondisi lingkungan
ini, maka
Negara maju perlu memberi bantuan luar negeri kepada
Negara
berkembang.
Pola berfikir
pembangunan dengan “tricle down effect”, dan
“spread effect” ini diperkuat oleh Laporan Komisi Pembangunan
Internasional, atau lebih dikenal dengan Komisi
Pearson, kepada Bank Dunia dalam tahun 1969. Inti pokok saran rekomendasi Komisi Pearson adalah agar Negara
industri meningkatkan dana bantuan sesuai dengan laju pertumbuhan produk
nasional Negara maju masing-masing, sehingga bantuan resmi (official
development assistance) dari
pemerintah Negara maju perlu ditingkatkan dari 0,38% dari Produk Nasional Bruto (1968) menjadi 0,70% di tahun 1975. Bantuan ini perlu dikaitkan dengan sasaran pembangunan Negara
berkembang dan dilaksanakan dalam hubungan kerja
multilateral antara berbagai Negara pemberi bantuan dengan Negara penerima
bantuan.
Sementara pola
berfikir pembangunan serupa ini berkembang, maka di kalangan pemikir
pembangunan Negara berkembang berlangsung
pemikiran ulang, tentang
kebijaksanaan pembangunan memperbaiki nasib mereka di bawah garis kemiskinan.
Hal ini dirangsang oleh kekecewaan banyak ahli dan politisi Negara berkembang
terhadap hasil pembangunan selama decade tahun
enam puluhan yang tidak mencapai sasarannya, baik sasaran pengalihan 0,70% dari Produk Nasional Bruto Negara
industri kepada Negara berkembang. Teori
“tricle
down effect” dan “spresd effect” dari pola pembangunan
yang diterapkan di Negara berkembang dirasa tidak berhasil memecahkan masalah pengangguran, kemiskinan dan pembagian pendapatan yang tidak merata,
baik di dalam Negara berkembang
masing-masing maupun antara Negara maju dengan Negara berkembang. (Emil Salim, : 47,
mengutip dari Lord Pearson, Patners in
Development, Yew York, Praeger, 1969, dan Menhas, B.S., The Current Development Debate,, Huston, Texas,
February, 1977.
Khusus
mengenai pembagian hasil pembangunan dirasakan bahwa pola pembangunan yang
dianut tidak mampu memecahkan ketimpangan yang dirasakan tumbuh semakin
besar.
Oleh karena itu lahirlah gagasan baru
yang mengusahakan pembangunan dan pemerataan hasil pembangunan, menurut pola
yang berlainan (undifferentiated growth) dengan apa yang pernah ditempuh Negara
industri di masa lampau.
Gagasan baru muncul di berbagai
lapangan sebagai reaksi dan kekecewaan terhadap hasil pembangunan selama dasa
warsa enam puluhan. Di tahun 1972
Konferensi PBB untuk Lingkungan Hidup di Stocholm mengecam pola pembangunan
yang hanya mengindahkan tingkat pertumbuhan material, tanpa memperdulikan
pengaruh pembangunan kepada lingkungan hidup yang semakin cemar dan kepada
satu-satunya bumi kita yang semakin rakus dikuras. Sehingga
dirasa perlu mengusahakan pembangunan yang sekaligus mengembangkan lingkungan
hidup dan menyelamatkan bumi dari pengrusakan manusia. Negara berkembang
menyambut baik gagasan ini, bahkan melangkah lebih maju dan mengembangkan
pandangan bahwa “kemiskinan” ialah salah
satu sebab pokok “pengrusakan dan pencemaran lingkungan.” Karena itu, maka pengembangan lingkungan
hidup, baru mencakup ikhtiar menghapuskan kemiskinan
(Catatan
Penulis : Terdapat Bab tersendiri tentang Masalah Ilingkungan Hidup yang
dibahas secara mendalam, Lihat Bab
Terakhir). Fikiran ini kemudian lebih menggema dalam Sidang Khusus PBB
untuk pembangunan (1974) meletuskan
:
“Deklarasi Pembentukan Orde Ekonomi Internasional Baru”
Untuk mengoreksi kegoncangan dan ketidakadilan yang ada dan
meniadakan jurang yang semakin lebar terbentang antara Negara-negara maju
dengan Negara-negara berkembang. Sejak
itu di berbagai sidang internasional semangat Orde Ekonomi Internasional
Baru selalu berhadapan dengan pandangan fikiran Negara-negara maju, dan terjadi
selalu konflik dalam kepentingan memperoleh bagian yang lebih besar dari
pendapatan ekonomi dunia bagi Negara berkembang melalui dana bantuan yang lebih
banyak dialihkan ke Negara berkembang dan syarat investasi serta syarat perdagangan
yang lebih menguntungkan Negara berkembang. Arus berpikir ini diperkuat
oleh perhatian Bank Dunia kepada nasib mereka di bawah garis kemiskinan.
Di bawah pimpinan
Robert S.McNamara, Presiden Bank Dunia, lembaga ini telah memelopori orientasi
bantuan kepada penduduk miskin, menanggulangi secara sungguh-sungguh
penderitaan penduduk di bawah garis kemiskinan. Gagasan pembangunan dengan
pemerataan ini telah melahirkan pula teori dan analisa kebijakasanaan yang
berlainan sekali dengan apa yang dikenal di lima puluhan dan enam puluhan.
Secara lebih khusus lagi, gagasan pembangunan dengan pemerataan, lebih diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan pokok (basic
needs) bagi penduduk di bawah garis kemiskinan. Garis fikiran ini
dicetuskan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO)--(1976) yang melihat perlu dikaitkan kebijaksanaan penciptaan
lapangan kerja, pertumbuhan dan pemenuhan kebutuhan pokok.
Kebutuhan pokok
tidak bisa dipenuhi, jika pendapatan terlalu rendah akibat kemiskinan. Dan kemiskinan bergandengan erat
dengan pengangguran. Sehingga ketiga sasaran ini perlu diusahakan bersama,
membuka lapangan kerja, meningkatkan pertumbuhan dan pemenuhan kebutuhan pokok.
Belum sampai kering tinta tulisan para ahli mengenai cara pendekatan kebutuhan pokok dalam menanggulangi
kemiskinan, akhir-akhir ini telah lahir pula gagasan yang lebih berani dari
lebih maju melihat pemerataan sebagai kegiatan yang harus mendahului
pembangunan.
Sehingga
urutannya menjadi pemerataan dulu, baru kemudian pembangunan. Jika Bank Dunia
melontarkan ungkapan “Redistribution with Growth”, maka
Prof Irma Adelman memperkenalkan ungkapan “Redistribution before Growth”.(Adelman
:1978). Menurut
Adelman maka pemerataan hasil
pembangunan sangat bergantung pada : Pemerataan penguasaan faktor produksi penting
(critical
asset of production),
sehingga diperlukan redistribusi asset-asset produksi sebelum proses pembangunan dimulai.
Dalam hubungan ini menjadi penting
usaha landreform dan penyebaran pendidikan untuk pembentukan modal
manusia (human capital). Baru dengan pemerataan asset-asset produk ini, terutama di
kalangan penduduk miskin, dapat diharapkan pendobrakan keadaan, bagi mereka
yang hidup di bawah garis kemiskinan. Secara umum kentaralah
perkembangan fikiran menaggulangi kemiskinan melalui tiga jalur. Gagasan
membangun dulu, dan pemerataan kelak menyusul berkat “trickle down effect”
dan “spead
effect” pembangunan sehingga akhirnya mencakup mereka yang miskin.
Gagasan pembangunan dengan pemerataan sehingga kedua-duanya berjalan seiring.
Gagasan pemerataan dulu baru kemudian membangun.
Selain
itu terdapat dua golongan besar pemikir pembangunan dan praktisis
pembangunan
mengenai pelaksanaan proses pemerataan dan
pemberantasan
kemiskinan negara-negara terbelakang adalah :
1. Adalah golongan yang disebut “price mechanistis”. Golongan ini menganggap pemerataan dan pemberantasan kemiskinan dapat
dilaksanakan melalui;
1. Suatu strategi pertumbuhan ekonomi dengan rangkaian kebijaksanaan harga
yang tepat (harga relative factor-faktor produksi terutama modal dan buruh,
nilai tukar uang terhadap uang luar negeri dan harga “public utilities”).
2.
Penetapan harga-harga ini adalah sedemikian
rupa sehingga distorsi dalam alokasi sumber-sumber dapat dihindarkan.
3.
Sementara itu di bidang fiskal dilakukan
kebijaksanaan perpajakan yang relative progresif dan penyediaan
pengeluaran-pengeluaran untuk kesejahteraan dan bantuan-bantuan kepada golongan
miskin dan lemah.
4.
Keseluruhan strategi dan kebijaksanaan ini diselenggarakan dalam,
konteks kelembagaan masyarakat yang ada, struktur social yang ada dan permintaan efektif yang ada.
5.
Artinya,
stelsel ekonomi yang berorientasi ekspor yang memutar “ujung jadi
pangkal”, tetapi dipertahankan.
6.
Pembiayaan pengeluaran-pengeluaran yang
bertujuan redistribusi seperti pengeluaran-pengeluaran untuk kesejahteraan,
subsidi dan bantuan-bantuan untuk golongan miskin dan lemah dilakukan dari
hasil pertumbuhan (redistribution from growth).
7.
Strategi sesungguhnya merupakan perkembangan
yang bersifat korektif terhadap strategi pertumbuhan murni, yang menganggap
“perembesan ke bawah” akan terjadi dengan sendirinya.
8.
Kesenjangan sosial-ekonomi yang melebar pada
strategi pertumbuhan awal, dianggap sekedar sebagai “biaya sementara” yang akan
terkorelasi secara otomatis bilamana tingkat pertumbuhan sudah cukup tinggi
secara berkesinambung.
9.
Strategi pertumbuhan yang berkesinambung, setelah kegagalan “teori
merembes ke bawah”, sudah memasukkan unsur-unsur pemerataan dan pengurangan
kemiskinan di dalam program dan tujuannya,
sekarang sudah naik pangkat dan disebut sebagai strategi “pertumbuhan
Plus” (growth-plus strategy)
Strategi dalam konteks “Trilogi Pembangunan” yang sekarang dijalankan di
Indonesia termasuk dalam katagori the growth-plus strategy.
10.
Dalam hal ini ada kemajuan sedikit, tetapi
strategi ini tidak akan membawa massa miskin kita berangkat dari kemiskinannya.
11.
Usaha pengembangan koperasi dalam strategi
growth-plus ini sulit meningkat secara efektif, karena kendala system
social-ekonomi dan strutur kekuasaan yang tidak mendukung.
2. Adalah golongan yang disebut golongan
transformis.
Golongan ini menganggap bahwa proses
pemerataan dan pengurangan kemiskinan hanya mungkin dilaksanakan secara efektif
jikalau pra-kondisi social yang mutlak perlu, diwujudkan terlebih dahulu, yaitu
yang menyangkut :
Ø perombakan
kelembagaan masyarakat yang ada,
Ø struktur
social yang ada dan
Ø permintaan
efektifitas yang ada.
Sementara itu pertumbuhan ekonomi yang
mengiringinya adalah suatu pertumbuhan ekonomi di mana komposisi (composition)
dan isi (content) output yang tumbuh
berbeda dari yang terdapat dalam
growth-plus strategy. Disini output sebagian besar terdiri dari wage-goods dan
pertumbuhan wage-goods mendominasi pertumbuhan output. Juga disini output merupakan hasil proses
yang dilandasi perombakan terlebih dahulu dalam pemilikan dan pengusahaan
alat-alat produksi.
Ia
beroriantasi kepada padat karya yaitu yang mempunyai kandungan tenaga kerja yang tinggi.
Strategi ini jauh berbeda dalam komposisi dan isi output dibanding strategi growth
plus di mana secara ralatif banyak output terdiri dari non-wage
goods
(artinya untuk memenuhi
kebutuhan orang-orang yang bukan miskin) dan output itu terdiri dari output
yang sangat sedikit sekali kandungan tenaga kerjanya. Kebijakan penentuan harga relative factor
produksi dalam pandangan golongan transformists ini, ditentukan oleh ketentuan
optimisasi social yang memihak kepada rakyat. Dalam proses seperti ini selain pertumbuhan berlainan
sifatnya dari pertumbuhan dalam strategi growth-plus tetapi juga redistribusi
bukan dilakukan dari pertumbuhan (redistribution from growth) seperti yang
dilakukan dalam strategi growth-plus,
tetapi redistribusi dilakukan bersama pertumbuhan (redistribution with growth).
Perubahan strutur produksi yang menggiringnya
seperti yang dijelaskan di atas, menjamin redistribusi berlangsung bersama
dengan pertumbuhan .Oleh karena strategi yang dikemukakan oleh golongan
trasformisis bertujuan transformasi dalam arti kata yang sebenarnya maka
alokasi sumber-sumber akan ditujukan sebagian kepada keperluan massa rakyat.
Hal ini jelas berbeda dengan terdapat dalam strategi Growth-plus di mana
sumber-sumber oleh golongan yang sudah mapan dan non-miskin, sehingga jumlah
segala macam pengeluaran dan bantuan yang betul-betul ke golongan miskin adalah
dalam bentuk tetesan yang sangat kecil sekali, apalagi kalau dihitung secara
per kapita
Sulit kiranya, atau bahkan tidak
mungkin golongan miskin akan mendapat porsi anggaran belanja yang besar dalam
strategi growth-plus, karena tuntutan golongan kaya terhadap sumber-sumber dan
dana-dana adalah sedemikian rupa
sehingga porsi yang tinggal untuk golongan miskin menjadi relative sangat kecil. Ditambah dengan tidak adanya kekuatan politik
golongan miskin, komposisi terhadap sumber-sumber selalu secara mutlak
berlebihan dan dimenangkan oleh golongan kaya dalam suasana strategi
growth-plus itu. Pengembangan koperasi mensyaratkan transformasi social
ekonomi, agar “ujung tidak diputar jadi pangkal” seperti yang terjadi pada
system ekonomi kolonial atau neo-kolonial.
Hal ini jelas sulit untuk
terselenggara secara efektif dalam strategi growth-plus. (Adi Sasono,Koperasi
Di Dalam Orde Ekonomi Indonesia,Penerbit UI
Press,l985,:200-202).
Sedang menurut Hotman M.Siahaan & Tjahjo Purnomo
M, dikutip sbb:
”Bahwa di
tahun empatpuluhan, banyak para ahli pembangunan, terutama para ahli ekonomi”
berpendapat, pertumbuhan ekonomi merupakan syarat mutlak bagi terciptanya suatu
stabilitas politik. Diam-diam diasumsikan, tercapainya suatu keadaan ekonomi
yang baik akan menghasilkan suatu
masyarakat yang tidak mempersoalkan masalah-masalah politik, apalagi masalah
demokrasi. Dibalik pendapat sedemikian itu pula sebenarnya muncul konsep
welfare state, suatu negara kesejahteraan yang menganggap makin sejahtera suatu
masyarakat, maka stabilitas politik—atau bahkan suatu kehidupan demokrasi—akan
terjamin. Ada suatu yang transparan di dalam pendapat sedemikian itu, yakni
kemiskinan—terutama kemiskinan ekonomi,-- sumber terjadinya instabilitas
politik, sehingga pertumbuhan ekonomi
merupakan satu-satunya cara untuk mengurangi instabilitas politik itu. Kalau
pertumbuhan ekonomi begitu penting
perannya dalam menciptakan stabilitas politik, maka seharusnya dibuktikan, di
dalam masyarakat atau negara yang pertumbuhan ekonominya cepat, akan makin
cepat pula terjadinya proses stabilitas politik. Di dalam masyarakat di mana
keadaan ekonominya makin membaik, maka seharusnya masyarakat akan makin tidak
menginginkan terjadinya kegoncangan-kogoncangan politik.
Pendapat
sedemikian itu tak sepenuhnya diterima.
Banyak para ahli menyangsikan, dan
berpendapat asumsi yang mengatakan ada hubungan antara pertumbuhan ekonomi
dengan stabilitas politik tidak sepenuhnya dapat dibuktikan. Argumentasinya,
karena di dalam kenyataanya, golongan masyarakat yang mengalami pertumbuhan
ekonomi, justru menjadi faktor destabilizing forces, yang sama dengan mereka
yang mengalami kemorosotan ekonomi. Dengan kata lain, golongan orang kaya baru
(the new have) di dalam masyarakat ternyata
menjadi kelas yang pemberang, mudah marah, dan sering menjadi inspirasi
dari kekuatan revolusioner. Sebaliknya, mereka yang mernjadi kelas miskin baru,
juga berpenyakit sama, yaitu menjadi
pemberang dan mudah marah.
Adapun alasan mengapa antara mereka
yang mengalami kemerosotan ekonomi mempunyai karakteristik yang sama yang
menghasilkan destabilizing forces itu, karena kedua-duanya mengalami apa yang
disebut dislokasi sosial, mengalami declasse, yaitu tercerabut dari akar kelas
sosialnya secara mendadak, baik mereka yang terangkat ke atas, maupun mereka
yang terjerembab ke bawah.
Bagi mereka yang terangkat ke atas,
ternyata menjadi kelas berang, karena aspirasi sosial politik mereka meningkat
dengan cepat seiring dengan peningkatan kehidupan ekonominya, sementara sistem
yang ada selalu terlambat untuk memenuhi tuntutan aspirasi yang meningkat itu.
Sedangkan bagi mereka golongan yang terjerembab—golongan yang juga disebut
sebagai orang-orang “miskin baru”—menjadi mudah marah dan berang, bisa
dimaksudkan, karena sistem yang ada itu dirasakan tidak adil, yang membuat
mereka menjadi golongan yang kehilangan banyak.
Karenanya, tidak cukup kuat untuk
mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang membaik akan juga menghasilkan suatu
stabilitas politik di dalam masyarakat.
Sebab baik mereka yang “memperoleh”, maupun mereka yang “merugi” sebagai
akibat pertumbuhan ekonomi, sama-sama memiliki potensi yang “dapat mengganggu
stabilitas politik”. Tetapi adakah sebuah negara yang membangun yang tidak
mengutamakan pertumbuhan ekonomi? Adakah negara yang baru membangun,
terutama negara yang melepaskan diri dari
belenggu kolonialisme yang tidak mengumandangkan demokrsi? Sejak W.W.Rustow mengemukakan gagasan tentang
5 tahap pertumbuhan masyarakat,
ternyata banyak negara yang baru merdeka pada tahun limapuluhan dan enampuluhan
yang mengacu program pembangunanya
kedalam kerangka Rostow tersebut,
dan menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi ala
Keynesian, yang menganggap :
Bagaimanapun, suatu program
pembangunan ekonomi yang menghasilkan
pertumbuhan yang cepat yang juga sekaligus menciptakan kesenjangan sosial yang
membesar pada akhirnya akan mengahasilkan
suatu proses penetesan kebawah, dimana dari mereka yang
berlebih akan diambil, dan bagi mereka
yang kekuarangan akan diberi. Proses
mengambil dan memberi itu akan tercipta, bila ada suatu sistem politik yang
stabil. Dengan kata lain, proses penetesan rezeki dari atas ke bawah akan
lancar, bila sistem ekonomi yang ada itu dijamin oleh suatu sistem politik yang
stabil dan demokrasi, sehingga pemegang kekuasaan politik akan mampu membagi
rezeki yang ada secara lebih adil kepada semua golongan rakyat. Namun, semua
itu sangat tergantung kepada paradigma pembangunan macam apakah yang dianut
oleh negara yang bersangkutan. Sebab di dalam kenyataannya, strategi
pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi, memiliki mekanisme yang
menempatkan rezeki dari “atas ke bawah” itu.
Di dalam istilah yang lebih umum,
strategi pembangunan sedemikian itu dinamakan production centered development
approach, yang di dalam prakteknya, strategi sedemikian ini ternyata memberikan
kepercayaan yang
berlebihan kepada birokrasi pemerintah
guna memegang kepemimpinan di dalam penyelenggaraan program-program
pembangunan. Strategi
pembangunan berwawasan produksi dan
pertumbuhan ini melihat peningkatan
kesejahteraan masyarakat sebagai suatu proses yang berjalan dengan
sendirinya, sebagai fungsi dari peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat melalui proses mekanisme “tetesan ke bawah”. Atau dengan rumusan lain, peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan akan “merembes dari “pusat” ke “pinggiran”, dari
sektor “modern” ke sektor “tradisonal,” dari “ kota” ke “desa” dari yang
“berlebih” ke yang “kekurangan”.
Asumsi “dualisme difusionis”
sedemikian itu di dalam kenyataannya sangat membuka peluang ke arah terciptanya
semacam “kolonialisme internal” yaitu suatu kenyataan di mana pembangunan nasional pada tingkat
pertama ditandai oleh berkembangnya kesenjangan distribusi spasial kekuasaan
dan privelege pusat, yang secara politik mendomonasi daerah pinggiran sebagai
“koloni”-nya. Di dalam hubungan domonasi-domonasi demikian itu,
kelompok-kelompok elite yang menguasai lembaga-lembaga pusat, senantiasa
berusaha
mempertahankan, dan meningkatkan kekuasaan, serta privelege
mereka, dengan secara politik menempatkan daerah-daerah pinggiran sebagai
bagian integral dari ekonomi dan politik nasional, yakni dengan melembagakan
sistem stratifikasi yang berlaku untuk seluruh kawasan suatu masyarakat
negara.
Dalam sistem stratifikasi yang
demikian, penduduk daerah pinggiran menempati status sosial yang rendah,
sementara sebagian besar status sosial yang tinggi berada di tangan
“orang-orang pusat”.Selanjutnya, di dalam masyarakat pinggiran, selalu terdapat
suatu lapisan elite “komprador” ekonomi dan politik yang menguasai hampir semua
segi kehidupan untuk kepentingan-kepentingan elite di tingkat pusat. Atau
dengan rumusan lain, sementara kelompok elite penggiran menempatkan diri dalam
posisi subordinasi dari kelompok elite pusat, lapisan paling bawah masyarakat
pinggiran mensubordinasikan diri mereka, bukan kepada lapisan elite pusat
melainkan kepada lapisan elite pinggiran. Melalui struktur dominasi subordinasi yang demikian inilah stabilitas keseluruhan struktur dominasi regional dipelihara. (Sumber : Hotmat M. Siahaan &
Tjahjo
Purnomo W, Sosok Demokrasi
Ekonomi Indonesia, Surabaya Post, Penerbit
Yayasan Keluarga Bhakti, Surabaya, 1993, hal.1-5).
Paradigma
pembangunan menawarkan berbagai rumusan upaya penanggulangan kemiskinan yang paling
sesuai atau paling tidak, mendekati kondisi kemiskinan yang sebenarnya. Pendekatan empiris sebagai pedoman dalam
penanggulangan kemiskinan bersumber dari pengalaman pelaksanaan berbagai
program penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan sebelumnya.Dalam
kerangka perencanaan pembangunan, upaya
penanggulangan
kemiskinan perlu ditempatkan dalam bingkai proses perubahan struktur
(transformasi struktural) yang sedang berlangsung dalam masyarakat sebagai
hasil dari pembangunan. Pembangunan yang dipandang sebagai suatu
proses transformasi pada dasarnya akan membawa perubahan dalam proses :
1.
alokasi sumber-sumber ekonomi,
2.
proses distribusi manfaat, dan
3.
proses akumulasi yang membawa pada
peningkatan produksi, pendapatan dan, kesejahteraan.
Dalam proses tersebut Putaran kegiatan
ekonomi akan menghasilkan surplus yang menjadi sumber peningkatan
kesejahteraan, kemudian hasil pembangunan tersebut akan dinikmati oleh
masyarakat secara merata. Proses
transformasi tersebut dalam kerangka teoritik dikenal sebagai proses alamiah
atau natural.
Dalam
kerangka teoritik pula proses tersebut mensyaratkan dipenuhinya 3 (tiga) asumsi dasar :
1.
Peran serta atau
partisipasi penuh (full employment) artinya, semua faktor-faktor
produksi dan setiap pelaku ekonomi ikut serta dalam kegiatan ekonomi;
2.
Homogenitas artinya
semua pelaku ekonomi memiliki faktor produksi dan mempunyai kesempatan berusaha
dan kemampuan menghasilkan atau produktifitas yang sama;
3.
Rasionalitas, prinsip
efisiensi atau bekerjanya mekanisme pasar artinya, interaksi antar pelaku
pembangunan terjadi dalam keseimbangan, sehingga imbalan yang diterima oleh
pelaku pembangunan seimbang dengan pengorbanan yang telah dikeluarkannya.
Tetapi
dalam kerangka empirik
pula, asumsi ini tidak selalu, bahkan sulit untuk dapat dipenuhi.
Ø
Ini berarti bahwa tidak semua pelaku ekonomi,
ikut serta dalam proses pembangunan dan, tidak setiap penduduk menikmati
peningkatan pendapatan sebagai hasil dari proses pembangunan tersebut.
Ø
Pelaku pembangunan yang tidak memiliki sumber
daya dan tidak mempunyai akses dalam pembangunan, akan menganggur.
Ø
Karena menganggur, maka tidak
berpendapatan yang kemudian menyebabkan
miskin
Ø
Keadaan ini disebut adanya “Masalah Dalam
Pembangunan”.
Tiga
masalah utama pembangunan ekonomi adalah :
1.
Pengangguran,
2.
Ketimpangan, baik antar golongan penduduk,
antar sektor kegiatan sosial ekonomi maupun antar daerah, serta,
3.
Kemiskinan.
Ketiga masalah tersebut saling
bertalian.
C.
Kemiskinan dapat dibedakan
Kemiskinan dapat dibedakan dalam 3 (tiga) pengertian yaitu :
1.
Kemiskinan absolut,
2.
Kemiskinan relatif atau kemiskinan
struktural,
3.
Kemiskinan kultural.
Penjelasannya :
1). Kemiskinan absolute.
Seseorang dikatakan
miskin secara absolut
apabila tingkat pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau sejumlah
pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, antara lain
kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan
untuk bisa hidup dan bekerja. Rendahnya tingkat pendapatan ini terutama di
sebabkan oleh keterbatasan sarana dan prasarana fisik dan kelangkaan modal atau
miskin karena
sebab alami (natural).
2). Kemiskinan relatif,
Ø Adalah
pendapatan seseorang yang sudah diatas garis kemiskinan, namun relatif lebih
rendah dibanding pendapatan masyarakat sekitarnya.
Ø Kemiskinan relatif ini erat
kaitannya dengan masalah pembangunan yang bersifat struktural, yakni kebijaksanaan pembangunan yang belum
menjangkau seluruh masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan pendapatan.
3). Kemiskinan kultural, mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang
(di sebabkan oleh faktor budaya),
tidak mau
berusaha untuk
memperbaiki tingkat kehidupannya, meskipun ada usaha dari pihak luar untuk
membantunya.
Kemiskinan
menurut pakar lainnya adalah :
A.
1.
Ekonomi : Keadaan
ekonomi, ditandai ketidakmampuan membeli berbagai barang dan jasa yang
merupakan kebutuhan pokok. Dalam arti lain; suatu titik di mana tidak mungkin
dilakukan pengendalian efisiensi secara fisik
2.
Sosiologi : Suatu
keadaan geografi sosial di mana penduduk hidup sangat di bawah garis kemiskinan (Poverty line); artinya tidak mampu
membeli kebutuhan-kebutuhan hidup yang sangat penting.
B.Seebohm
Rowntry
(seorang sarjana Inggris) membagi kemiskinan atas :
1.
primary
poverty;
kemiskinan karena kekurangan penghasilan;
2.
secondary
poverty;
kemiskinan yang disebabkan oleh berbagai pengeluaran istimewa (misalnya : biaya
pengobatan, minuman keras dan sebagainya); padahal penghasilan sebenarnya cukup
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup penting.
C.
Saygya, membagi kemiskinan atas 3 lapisan.
1.
Miskin sekali; penghasilan setara dengan 188 kg
beras/tahun/orang;
2.
Miskin;
penghasilan setara dengan 246 kg
beras/tahun/orang;
3.
Cukup;
penghasilan setara dengan 408 kg
beras/tahun/orang.
(Sumber :
Insklopedi Indonesia : 1734, bersumber dari Prisma, April 1978)
Langkah
awal dalam usaha menanggulangi kemiskinan dan memeratakan pembangunan adalah:
1. Mengenali pokok-pokok permasalahan
yang dihadapi,
2. Tantangan dan
kendala yang ada, serta
3. Peluang yang
tersedia.
Pengenalan terhadap pokok-pokok permasalahan kemiskinan
perlu dibatasi menjadi 2 (dua)
arah yaitu :
1. Penduduk Miskin
2. Desa Tertinggal.
Bahwa pembangunan yang berorientasi pada masyarakat,
Ø
Memberikan kesempatan
kepada setiap anggota masyarakat untuk ikut serta dalam proses
pembangunan dengan mendapatkan kesempatan yang sama dan menikmati hasil
pembangunan tersebut sesuai kemampuannya.
Ø
Syarat dari keikutsertaan seluruh anggota masyarakat, selain peluang dan akses yang sama, juga menyangkut
kemampuan masyarakat untuk berperan
serta,
Ø
Konsekuensinya,
masyarakat harus berdaya untuk berperan
serta, dalam pembangunan.
D. Pemberdayaan
Masyarakat
Maka adalah
sebuah keharusan memulai konsep pembangunan tersebut dengan apa yang dinamakan
dengan pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan
masyarakat sendiri, merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat, lewat
perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Konsep pemberdayaan masyarakat sebagai suatu
pemikiran, sekali lagi, tidak dapat
dilepaskan dari pada paradigma pembangunan yang berpusat pada rakyat.
Paradigma
pembangunanan yang memberikan
kedaulatan kepada rakyat untuk
menentukan pilihan kegiatan yang paling sesuai bagi kemajuan diri mereka
masing-masing. Menurut pendekatan ini, setiap upaya pembangunan perlu diarahkan
pada penciptaan suatu lingkungan yang memungkinkan masyarakat untuk menikmati
kehidupan yang jauh lebih baik, dan sekaligus memperluas pilihan yang dapat
dilakukan oleh setiap anggota masyarakat.
Pemikiran ini pada dasarnya menempatkan masyarakat atau
rakyat sebagai pusat perhatian dan sekaligus sebagai pelaku utama pembangunan.
Pandangan tersebut muncul sebagai
tanggapan atas keadaan kesenjangan yang muncul di dalam masyarakat. Sementara
menyangkut pelaku-pelaku di dalamnya,
pemberdayaan senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu,
masyarakat yang belum berkembang sebagai pihak yang harus diberdayakan.
Sementara itu, dengan menggunakan sudut
pandang yang berbeda, kesimpulan tentang
upaya pemberdayaan masyarakat pada
dasarnya mempunyai arah yang sama, atau paling tidak, mirip satu sama lain.
Langkah
itu pada intinya bermuara pada :
1.
perubahan yang dilakukan secara bertahap (gradual);
2.
konsisten (consistent) dan,
3.
terus-menerus (sustaninable).
Pada setiap pemberdayaan baik yang
dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha maupun pihak yang peduli kepada
masyarakat, upaya itu harus dipandang sebagai sebuah pemacu untuk menggerakkan kegiatan ekonomi rakyat.
Selanjutnya,
berbagai upaya tersebut menurut (DR
Gunawan
Sumodininggrat, 1997 : 5), paling tidak harus memuat lima pokok.
1.
Bantuan dana sebagai modal usaha;
2.
Pembangunan prasarana sebagai pendukung
pengembangan kegiatan sosial ekonomi rakyat; Penyediaan sarana untuk
memperlancar pemasaran hasil produksi barang dan jasa masyarakat;
3.
Pelatihan bagi aparat dan masyarakat, dan
penguatan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat.
4.
Setiap bantuan yang diberikan kepada
masyarakat, suatu saat harus digantikan dengan tabungan yang dihimpun dari
surplus usaha.
5.
Pengertian mekanisme pembentukan modal
meskipun dengan bahasa yang sangat sederhana perlu ditanamkan sejak dini,
kepada seluruh masyarakat sebagai pelaku
ekonomi.
Dalam
kerangka pemikiran itu, upaya pemberdayaan dapat dilihat dari tiga sisi.
1.
Pemberdayaan, dengan
menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang.
Setiap anggota masyarakat secara alamiah memiliki potensi yang dapat
dikembangkan. Itu berarti bahwa setiap
anggota masyarakat dapat memanfaatkan
potensi yang dimiliki menuju kehidupan yang lebih baik.
2.
Pemberdayaan, untuk
memperkuat potensi ekonomi atau daya
yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam rangka memperkuat potensi ini,
upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat
kesehatan, serta akses terhadap
sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi,
lapangan kerja dan pasar.
3.
Pemberdayaan, melalui
pengembangan ekonomi rakyat,
berarti upaya melindungi untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak
seimbang, serta menciptakan kebersamaan dan kemitraan antara yang sudah maju
dengan yang belum berkembang.
Secara khusus perhatian harus diberikan dengan pemihakan
dan pemberdayaan masyarakat melalui,
Ø Pembangunan ekonomi
rakyat,
yaitu Ekonomi usaha
kecil termasu koperasi, agar tidak makin tertinggal jauh
dan justru dapat memanfaatkan momentum globalisasi bagi pertumbuhannya.
Ø Secara konkret,
pemberdayaan masyarakat diupayakan melalui pembangunan ekonomi rakyat.
Ø Sementara itu,
pembangunan ekonomi rakyat
harus diawali dengan usaha pengentasan penduduk miskin, yang masih menjadi salah satu problem utama kita.
Ø Usaha penanggulangan kemiskinan harus berpusat pada upaya mendorong percepatan perubahan struktur ekonomi rakyat sehingga
memperkuat kedudukan dan peran ekonomi
rakyat dalam perekonomian nasional.
E. Perubahan Struktur
Perubahan struktur ini meliputi proses perubahan dari :
1. Ekonomi tradisional ke ekonomi modern,
2. Dari ekonomi yang lemah ke ekonomi yang tangguh,
3. Dari ekonomi subsisten ke ekonomi pasar, dan
4. Dari kedudukan ketergantungan kepada kedudukan kemandirian.
Dengan memahami pembangunan sebagai perubahan struktur
maka perlu :
1.
upaya peningkatan kemampuan masyarakat,
2.
penguasaan teknologi, dan
3.
pemupukan modal yang benar merupakan kunci
dari pengembangan ekonomi rakyat yang tumbuh berkembang. Proses pemupukan modal
yang benar muncul dari dalam sendiri, yakni dari masyarakat, oleh masyarakat,
untuk dinikmati masyarakat.
Dalam
pengertian tersebut setiap anggota masyarakat
disyaratkan berperanserta dalam :
1.
proses pembangunan (full employment),
2.
mempunyai kemampuan sama ( equal productivity),
dan
3. bertindak
rasional (efficient).
Perubahan struktur yang diharapkan dan diupayakan
adalah
Proses yang
berlangsung secara alamiah, yaitu
yang menghasilkan, akan menikmati. Begitu pula sebaliknya yang menikmati, adalah yang menghasilkan.
Proses ini
diarahkan agar berkesinambungan dan menumbuhkan kemandirian usaha. Kemandirian usaha diwujudkan melalui
penciptaan akumulasi modal yang bersumber dari peningkatan surplus yang
dihasilkan, dan pada gilirannya dapat menciptakan pendapatan yang memadai.
Kelebihan
pendapatan yang diperoleh merupakan sumber-sumber
pendorong
pertumbuhan usaha:
1.
baik pembangunan prasarana,
2.
pengembangan penelitian,
3.
peningkatan kemampuan sumber daya manusia,
4.
penyempurnaan teknik produksi, serta
5. insentif untuk menerapkan teknologi baru sehingga memacu peningkatan
produktivitas secara berkesinambungan.
Kerangka berpikir di atas dilandasi
oleh pemikiran Nurkse, yang
mensinyalir bahwa : “ a poor country is poor, because it is poor”
(negara miskin itu
miskin, karena
dia miskin)”.
Ia menjelaskan bahwa kemiskinan diawali oleh :
1. faktor
eksternal/struktural (ketidaksempurnaan
pasar, pembangunan di bawah standar, dan keterbelakangan) dan,
2. faktor internal pelaku
pembangunan (kurangnya modal), yang kemudian menyebabkan rendahnya produktivitas.
3. rendahnya produktvitas menyebabkan pendapatan riil yang rendah, yang mengakibatkan rendahnya
tingkat tabungan, dan kemudian berujung pada rendahnya investasi.
4. Alur tersebut kemudian kembali lagi pada titik awal, yaitu kurangnya modal,
yang selanjutnya berputar ke alur di atas.
Untuk
memecahkan permasalahan kemiskinan tersebut tak ada jalan lain :
1.
Selain memutus tali lingkaran-lingkaran
kemiskinan tersebut.
2.
Usaha pemecahan masalah tersebut harus mampu
mengatasi permasalahan internal (minimnya
modal), sekaligus masalah eksternal atau struktur yang dihadapi oleh pelaku
pembangunan.
(Nurkse,
Ragnar, “Problems of Capital Formation in Underdeveloped Countries,
basil
Blackwell, Oxford, l953, yang di kutip DR Gunawan Sumodiningrat,
“Pembangunan
Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat, PT, Bina Rena
Pariwara,
Jakarta, 1997 : 4-9)”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.