1. Yang Tidak Dimiliki Orang Miskin Dan,
Kebijakan Untuk Pemerataan
Oleh : Drs.Simon
Arnold Julian Jacob
Dalam rangka
pemerataan pembangunan, maka berbagai peralatan kebijaksanaan bisa dipakai
untuk menaikkan kelompok penduduk miskin ke atas
garis kemiskinan
untuk memperoleh hasil yang efektif dari penerapan kebijaksanaan adalah,
pentingnya memahami cici-ciri dan
keadaan kelompok
kelompok penduduk
miskin yang ingin dijangkau dengan peralatan
kebijaksanaan ini.
Hal-hal yang tidak
dimiliki penduduk miskin ialah :
- mutu tenaga kerja yang tinggi;
- jumlah
modal yang memadai;
- luas
tanah dan sumber alam yang cukup;
- ketrampilan
dan keahlian yang cukup tinggi;
- kondisi
fisik jasmaniah dan rohaniah yang tidak cukup baik;
- kurangnya
kondisi lingkungan hidup yang memungkinkan perubahan dan kemajuan.
- Semakin
dalam, orang tenggelam dalam jurang kemiskinan, semakin banyak dan
meningkat pula mutu berbagai factor tersebut diperlukan untuk keluar dari
jurang kemiskinan.
Dalam hubungan inilah
menjadi penting penerapan kebijaksanaan pemerataan yang dituju untuk “mendobrak
kelemahan” dan “kekurangan” kelompok penduduk miskin ini adalah :
1.
Melalui mekanisme pasar,
berbagai langkah kebijaksanaan bisa diambil
tertuju pada kelompok penduduk miskin ini, seperti kebijaksanaan mekanisme
penerapan harga dasar bagi beberapa bahan pertanian padi, palawija, dan
lain-lain, subsidi pupuk dan obat-obatan untuk kegiatan program BIMAS, operasi
pasar mengendalikan bahan-bahan kebutuhan pokok.
2.Kebijaksanaan perkreditan,
seperti,
1. kredit mini,
2. kredit investasi
kecil,
3. kredit modal kerja
permanent,
4. kredit candak kulak,
5.
kredit kelayakan, atau sekarang lebih dikenal dengan sebutan, Kredit UMKM
(Usaha Menengah, Kecil, dan Mikro) dari Perbankan serta,
Dana Konpensasi Kenaikan Harga BBM (DKKH-BBM-1 Oktober 2005 dan 23 Mei 2008)
: Bantuan Langsung Tunai BLT/Sumnagan Langsung Tunai (SLT) ialah alat-alat
kebijaksanaan mendongkrak kekurangan modal/konsumsi penduduk miskin. Masalah
kenaikan harga BBM dan pembagian BLT/SLT
menjadi polimik nasional oleh banyak kalangan dimana-mana tempat, mulai dari demo mahasiswa, politisi, media massa, intelktual, kalangan
DPR, pejabat pemerintahan seperti Bupati, hingga Kepala Desa/Lurah dan RT. Namun, ibarat pepatah kuno : “Biar anjing
menggonggong, kafilah tetap berlalu.”Pemerintah tetap menjalankan apa yang
telah diputuskannya sendiri.” Siapa yang bisa menentang pemerintah, adalah sama
dengan ingin membenturkan kepalanya sendiri ke beton/ke batu karang. Kalau
hancur kepalanya ya…ditanggung sendiri. Kira-kira begitu kesannya?
3.Kebijaksanaan kesejahteraan sosial, seperti :
---program pembangunan SD Inpres,
---bantuan jamban keluarga,
---Pusat Kesehatan Masyarakat,
---program Asistensi Keluarga Miskin,
---pemugaran desa, perbaikan kampung,
---pengembangan fasilitas mandi-cuci-kakus (MCK),
merupakan usaha pembangunan sosial bagi si miskin.
4.Kebijaksanaan pembukaan lapangan kerja, dengan,
---memanfaatkan Kredit perbankan (UMKM) – KUR (Kredit
Usaha Rakyat)
---program padat karya,
---transmigrasi, pemukiman kembali penduduk di tempat
baru,
---program kerja antar daerah,
---program pangan untuk kerja (Padat Karya),
---diharapkan dapat meningkatkan banyaknya lapangan kerja
menyerap pengangguran yang umumnya miskin ini.
5.Kebijaksanaan pengembangan industri kecil melalui,
---ikhtiar pengaitan industri lemah dengan industri kuat;
---pembangunan “kawasan industri mini”,
---program Bimbingan Industri Kecil,
---diusahakan agar kelompok penduduk miskin dapat diserap
oleh kegiatan kecil ini.
Ciri-ciri pokok berbagai
kebijaksanaan ini ialah:
Memberi fasilitas dan rangsangan material bagi perbaikan hidup kelompok
penduduk miskin.Sejalan dengan ini,
namun belum banyak diterapkan di Indonesia ialah menggunakan rangsangan moral
bagi usaha, mendorong aktifitas mengurangi jumlah penduduk di bawah garis
kemiskinan Inovasi pemberian bantuan “paket
peralatan pertanian petani standart” tradisional yang dijelaskan pada bagian
lain, yang akan mampu meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman pangan,
sehingga akan meningkatkan pendapatan kelompok penduduk petani miskin.
Dan kisah sukses
penduduk miskin melepaskan diri dengan kekuatan sendiri dari belenggu
kemiskinan, perlu memperoleh penghargaan khusus dari pemerintah dan masyarakat,
sehingga mendorong lebih banyak lagi kegiatan serupa itu. Jika sudah berkembang
sekarang ini, berbagai putra teladan, guru teladan dan lain-lain, perlu
dikembangkan pula dimasa-masa mendatang
apa yang disebut : “Pendobrak Kemiskinan Teladan” kepada mereka yang
paling berhasil mengeluarkan diri sendiri
atau dari penduduk dari bawah garis kemiskinan. Apabila kegawatan
kemiskinan terlalu besar seperti halnya di Propinsi Nusa Tenggara Timur,
sebagai suatu sample kemiskinan di Indonesia, maka langkah kebijaksanaan
menggunakan rangsangan material dan moral saja tidak cukup. Untuk ini
Pemerintah perlu, terjun langsung menanggulangi sendiri masalah
kemiskinan. Penduduk miskin langsung
diladeni mengatasi kekurangan gizinya, penyakit-penyakitnya. Keadaan lingkungan
pemukiman langsung ditangani perbaikannya.
Dalam melakukan
sendiri usaha pengurangan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan, perusahaan
milik Negara (BUMN) bisa memegang peran aktif.
Dalam
hubungan ini:
1.
Badan Urusan Logistik (BULOG),
2.
Pertamina,
3.
Pabrik pupuk PUSRI,
4.
Pabrik Semen Gresik,
5.
Perusahaan angkutan Negara di bidang kereta api, laut, darat dan udara
dan lain-lain bisa menjalankan usaha mengatasi kekurangan kelompok penduduk
miskin ini.
6.
Program pembangunan perumahan rakyat oleh Perumas ialah contoh dari
peranan Perusahaan Negara mengisi kebutuhan perumahan bagi penduduk miskin atau
tak mampu.
Berbagai pembangunan proyek Instruksi Presiden mencerminkan peranan
Pemerintah sebagai,
1. konsumen,
2. prudusen, atau
3. investor.
Pemerintah sendiri aktif :
Terjun membeli, membangun dan menanam modal dalam berbagai kegiatan yang
dianggap penting bagi rakyat kecil. Pemerintah sebagai konsumen yang terbesar
didukung oleh anggaran pembangunan dan pendapatan negara yang besar, Lembaga
pemerintah dapat aktif mendorong kemajuan kelompok penduduk miskin ini. Ini
tersimpul dalam Keputusan Presiden No.14 tahun l979 dsb. tentang Pelaksanaan
Anggaran Belanja Negara ( APBN).
Delapan
Jalur Pemerataan
Sungguhpun
berbagai langkah kebijaksanaan ini penting dan perlu, namun dirasakan belum
cukup untuk mengisi delapan jalur dan mengurangi jumlah penduduk di bawah garis
kemiskinan. Bahwa Pemerintah sejak Pelita III, telah
menempatkan sasaran pertama dalam “Tilogi Pembangunan”, sasaran pemerataan yang
kemudian dijabarkan dalam “delapan jalur pemerataan” yakni :
- Pemerataan
kebutuhan pokok rakyat banyak, khususnya untuk pangan, sandang dan
perumahan;
- Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan
pelayanan kesehatan;
- Pemerataan
pembagian pendapatan;
- Pemerataan
kesempatan kerja;
- Pemerataan kesempatan berusaha;
- Pemerataan
berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan wanita;
- Pemerataan
penyebaran pembangunan dan,
- Pemerataan
kesempatan memperoleh keadilan.
Jelas
menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan yang dapat diukur dari tingkat laju
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, akan menciptakan titik rawan terhadap
Ketahanan Nasional, jikalau tidak diimbangi oleh adanya pemerataan menuju
tercapainya keadilan social.
Sistem
REPELITA Tidak diterapkan lagi setelah Era Revormasi 1998
Sejak
lengsernya Presiden Soehato dari tampuk
pemerintahan pada tahun 1998, dan dijabat Habibie, Gusdur, Megawati Soekarno
Putri, dan kemudian SBY, tidak lagi menerapkan program REPELITA (Rencana
Pembangunan Lima Tahun), sehingga pembangunan sekarang kurang terarah, tidak
terencana, seperti pada masa Soeharto. (Kata banyak Orang, tetapi bukan semua orang, memberi kesan bahwa
Keadaan Ekonomi di era Soeharto, lebih
baik dari Era sesudahnya saat ini).-
Penulis. Seharusnya setiap pergantian pimpinan nasional,
penggantinya perlu mempelajari program pembangunan dari pejabat lama, untuk
memahami kemajuan maupun hambatan, sehingga mencarikan solusi yang lebih baik
di era pemerintahannya. Inilah kenyataannya sekarang, terkesan ibarat : “Ganti Koki Ganti Masakan”, yang
menyebabkan program pembangunan yang berlangsung sepertinya, tidak
berkesinambungan. atau Pembangunan yang tidak berestafet.
Enam
Sukses, Sebagai Tolok Ukur Kinerja Gubernur
Prioritas
pada sasaran pemerataan tersebut, secara operasional juga telah digariskan
sebagai “tolok-ukur” keberhasilan kepemimpinan seorang Gubernur Kepala Daerah,
yang kemudian dikenal dengan istilah :
“Enam
sukses” ialah :
- Sukses
dalam produksi pangan,
- Sukses dalam Inpres Desa Teringgal,
- Sukses
dalam pengembangan koperasi,
- Sukses
dalam pelaksanaan Keppres 14A/1980, (Pembangunan di Pedesaan)
- Sukses dalam program kependudukan (KB,
Transmigrasi),
- Sukses
untuk meningkatkan ekspor no-migas.
Dari
“enam sukses” tolok-ukur keberhasilan seorang Gubernur/Kepala Daerah tersebut
di atas, jelaslah kiranya bahwa koperasi yang
tumbuh dan berkembang di suatu daerah, merupakan salah satu “tolok-ukur”
yang dinilai bagi seorang Gubernur. Yang dimaksud dengan sukses dalam
pengembangan koperasi, jelas bukan hanya diartikan adanya usaha atau fasilitas
yang disediakan oleh Pemerintah daerah, tetapi juga berarti memberikan
kesempatan secara lebih luas agar supaya koperasi mampu berkembang dan turut
serta berperan dalam kegiatan ekonomi rakyat di daerah, sehingga perimbangan kekuatan ekonomi lebih
serasi, tidak hanya dikuasai oleh golongan ekonomi kuat, kelompok masyarakat
bermodal besar dan bersifat padat modal, yang kurang mampu menyerap kesempatan
kerja lebih luas. Tumbuh dan berkembangnya koperasi diharapkan, tidak saja akan
mampu memperluas kesempatan berusaha maupun kesempatan bekerja, tetapi juga
akan mampu mengurangi kesenjangan distribusi pendapatan, perbedaan yang
menyolok antara kelompok masyarakat kaya dan miskin, tetapi sekaligus juga
menciptakan pasaran produk domistik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di
dalam negeri.
Melalui
wadah koperasi produksi, kualitas hasil
produksi domistik dapat lebih ditingkatkan dan dibakukan, dengan harga yang
terjangkau oleh masyarakat, oleh karena koperasi juga diharapkan mampu menjadi
pusat-pusat latihan untuk meningkatkan ketrampilan, keahlian dan cara-cara
bekerja yang lebih efektif dan efisien. Semua usaha tersebut di atas, jelas
akan mampu menciptakan kondisi ketahanan ekonomi nasional terhadap pengaruh resesi
dunia, sekaligus memperkuat kondisi ketahanan nasional. Banyak dari langkah
kebijaksanaan ini tertuju pada anggota
masyarakat yang mampu menghimpun diri dalam organisasi perusahaan
ataupun organisasi kemasyarakatan.
Berbagai
organisasi (pengusaha) ini berada dalam
sector formal yang dapat dijangkau jaringan kebijaksanaan Pemerintah, sehingga
dapat memperoleh santunan, pelayanan Pemerintah.
Tetapi sebaliknya terhadap kelompok
penduduk miskin, lebih-lebih mereka yang berada di bawah garis kemiskinan, yang
berdiam di pulau-pulau kecil dan terpencil atau di pedalaman dan jauh dari
aktivitas perkotaan yang tidak/kurang mendapat pelayanan, yang umumnya tidak
terorganisasi kemasyarakatannya, sehingga tidak masuk jaringan fasilitas
santunan, pelayanan dan kebijaksanaan Pemerintah, sehingga menjadi miskin.
Karena itu lahirlah
dalam masyarakat dua lingkungan yaitu :
- Penduduk
miskin yang hidup dalam lingkungan tradisional tanpa kemajuan dan
perubahan berarti, serta
- Penduduk
lainnya yang hidup dalam lingkungan “modern” dengan laju pertumbuhan
penting. (yaaa…perbedaannya selangit).
Sekarang ini sedang
dicoba proyek percontohan perbaikan perkampungan--kota, mencakup sekaligus :
- Perkembangan lingkungan fisik berupa
perbaikan jalan kaki, fasilitas mandi-cuci-kakus, pompa air minum,
pemugaran rumah, selokan, pemugaran rumah, rekagatra (land scaping);
2. Pengembangan diri
individu penduduk miskin, melalui pendidikan non-formal, latihan ketrampilan
dan lain-lain;
3. Pengembangan usaha masyarakat, berupa kursus-kursus
bersama, ikhtiar koperasi dan lain-lain.
2. Patokan Garis Kemiskinan—Ukuran-ukuran—Tingkat Kemiskinan
Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, menurut
Mantan
Presiden Bank Dunia, D.Mc Namara, mendefenisikan
kemiskinan absolute
dalam pidatonya di Nairobi tahun 1973 sebagai berikut :
“Kemiskinan absolute ditandai oleh keadaan persyaratan
hidup yang tidak manusiawi seperti penyakit, buta aksara, kekurangan makan, dan
keterlantaran sehingga korban kemiskinan absolute ini tidak pernah dapat
memenuhi kebutuhan hidup manusia yang paling mendasar”.
Ratusan
juta manusia di Negara berkembang menderita :
Dalam
kondisi hidup yang tidak manusiawi; sepertiga sampai setengah dari 2 miliar
manusia di Negara berkembang kelaparan / menderita kekurangan makan;
-20%
- 25% anak-anak di Negara berkembang meninggal dunia sebelum mencapai umur 5
tahun yang tidak meninggal akan mengalami hidup dalam kemiskinan, otak mereka menjadi rusak, badan mereka
menjadi cacat, dan daya tahan hidup mereka menjadi lemah akibat kekurangan makan harapan hidup
manusia di Negara berkembang 20 tahun lebih pendek daripada di Negara industri.
Dengan kata lain, hidup manusia di
Negara berkembang diperpendek 30% dari usia yang dapat dicapainya. Sejak lahir,
manusia-manusia ini telah divonis mati lebih dini; 800 juta manusia buta aksara dan anak-anak
mereka walaupun semakin diperluasnya sector pendidikan akan tetap buta aksara
Keadaan
ini akan semakin memburuk dan menentukan nasib 40% manusia di Negara
berkembang. Data-data kuantitatif untuk mengukur miskin di Dunia Ketiga tidak
lagi diteliti sejak akhir tahun ’70-an, dan angka-angka yang ada dianggap
sangat tidak pasti. Tahun 1980 jumlah miskin absolute (di definisikan dengan konsumsi kalori per hari kurang dari 2.250
satuan) untuk Asia (tanpa Cina, Jepang dan Timur Tengah) diperkirakan sekitar 40%
penduduk (350—450 juta). Bank Dunia melaporkan jumlah kemiskinan absolute di
seluruh dunia sebanyak 700 juta—1 miliar manusia dan selama tahun 80’an jumlah
tersebut semakin meningkat. Tahun 1985
sebanyak 21 dari 35 negara berkembang dengan pendapatan rendah yang diteliti,
telah ditemukan bahwa penggunaan kalori per kepala menjadi lebih kecil
dibandingkan 20 tahun lalu. Berbagai lembaga berusaha memberi deferensiasi
lanjut untuk menentukan batas kemiskinan—merupakan pertanyaan untuk sebuah
politik yang terarah untuk memerangi miskin.
IDA mengembangkan lima inti “indicator
kemiskinan absolute dan
menentukan batas kemiskinan secara kuantitatif sebagai
berikut :
·
Pendapatan
per kapita 150 US$;
·
Pemakaian
kalori setiap hari 2.160—2.670;
·
Harapan
hidup di bawah 55 tahun;
·
Kematian
anak-anak lebih dari 33 per seribu;
·
Tingkat kelahiran lebih dari 25 per seribu.
Lebih
sederhana adalah Physical Quality of Life Index (POLI) dengan indicator harapan
hidup, kematian anaka-anak, dan tingkat buta aksara
ILO
membuat 2 batasan kemiskinan, yaitu :
Disamakan
dengan pendapatan rata-rata seseorang buruh tidak terdidik di sebuah pabrik
besar dari indusrti pengolahan di India (sangat miskin) dan disamakan dengan
pendapatan yang besarnya 1 Rupee per hari (miskin sekali). Nilai pendapatan di
Negara berkembang lainnya dapat dihitung dengan bantuan harga dari “sekeranjang barang” yang khas.
Karena
perkiraan miskin yang berkaitan dengan pendapatan absolute dan berhubungan
dengan kekayaan, sebuah studi terbaru Bank Dunia menyebutkan food adequacy
standards sebagai indicator penting untuk mengukur kemiskinan. Manusia yang
mengalami kemiskinan absolute adalah mereka yang harus menggunakan lebih dari 70%
pendapatannya untuk membeli bahan makanan dan seringkali menderita lapar (batas
kalori 2.250). Manusia yang harus
menggunakan lebih dari 80% pendapatannya untuk membeli bahan makanan dan
terancam kekurangan makan yang berat diklasifikasikan sebagai ultra miskin. (Dieter Nohlen (ed), Kamus Dunia Ketiga, Penerbit Gramedia, Jakrta1994,
hal.451-452).
Tingkat kemiskinan ini memiliki suatu batas di bawah mana
manusia hidup dalam kemelaratan.
Batas ini dikenal dengan “garis kemiskinan” ( poverty line) dan ditentukan oleh
kebutuhan hidup yang minimal perlu dipenuhi bagi kehidupan yang sederhana.
Garis
kemiskinan ini banyak dipengaruhi tingkat pendapatan rata-rata per jiwa
penduduk dan ruang lingkup sosial budaya
masyarakat. Sungguhpun demikian dengan
menyadari hal ini, para ahli ekonomi merasa perlu untuk bekerja dengan dua
macam garis kemiskinan bagi keperluan perencanaan,
yaitu US$ 59 dan US$ 75---per jiwa penduduk. Maka besar
penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan ini memberi petunjuk mengenai
kegawatan masalah pembagian pendapatan yang dihadapi negara satu dengan negara lainnya.
Untuk
memahami tingkat kepincangan dalam pembagian pendapatan suatu negara, perlulah
membagi penduduk dalam kelompok-kelompok sebagai berikut :
1.Kelompok
penduduk dengan pendapatan tinggi yang merupakan 20% dari jumlah penduduk;
2.Kelompok
penduduk dengan pendapatan menengah yang merupakan 40% dari jumlah penduduk;
3.Kelompok
penduduk dengan pendapatan rendah yang merupakan 40% dari jumlah penduduk.
Tingkat
kepincangan pembagian pendapatan (income
inequality rate) suatu negara lazimnya diukur menurut besarnya bagian
pendapatan nasional yang dinikmati oleh kelompok penduduk dengan pendapatan
rendah yang merupakan 40% dari jumlah penduduk dan dikenal dengan kelompok
rendah 40%. Apabila bagian pendapatan nasional bagi kelompok rendah 40% adalah 17%
atau lebih maka tingkat kepincangan pembagian pendapatan tergolong rendah. Apabila
bagian pendapatan nasional bagi kelompok rendah 40% terletak antara 12%---17%
maka ia digolongkan dalam tingkat kepincangan pembagian pendapatan nasional
berada di bawah 12% maka ia digolongkan
dalam tingkat kepincangan pembagian pendapatan yang tinggi.
Dalam
masa dekade pembangunan yang lampau maka tingkat kepincangan
pembagian
pendapatan dari banyak negara semakin turun sehingga semakin buruk.
Bagian
dari pendapatan nasional yang dinikmati kelompok rendah 40% dalam masa itu
mengalami penurunan, sungguhpun secara keseluruhan produksi nasional
menunjukkan kenaikan. Jika kita perinci lebih lanjut kelompok rendah 40% ini
dalam kelompok yang lebih kecil maka diperoleh kelompok rendah 20% dan kelompok
terendah 20%. Bagian yang diterima kelompok yang terendah 20% di banyak negara
terletak di bawah 10%. Bilamana pembagian pendapatan dari kelompok rendah 40%
ini menurun, maka pukulan utama diderita oleh bagian kelompok terendah 20% yang
mengalami penurunan dari bagian pendapatan yang sudah rendah.
Tingkat
kepincangan pembagian pendapatan untuk masing-masing negara dapat diukur dengan
menggunakan ratio konsentrasi gini yang mempunyai nilai antara 0 dan 1. Bila
pembagian pendapatan merata sempurna, maka ratio gini ialah 0. Sebaliknya bila pembagian
pendapatan sempurna pincang, ratio gini ialah 1. Maka
pembagian pendapatan yang bergerak ke jurusan yang semakin pincang akan
tercermin pada ratio gini yang naik dan bergerak dari 0 ke jurusan 1.
(Emil Salim, 1980 : 19-21).
Selanjutnya, yang dijadikan patokan “garis kemiskinan” ialah, kebutuhan hidup
menimum yang meliputi 9 bahan pokok, yaitu kebutuhan sehari-hari. Masing-masing
Propinsi sesuai dengan tingkat “harga sembilan bahan kebutuhan pokok” ini,
memiliki “garis kemiskinan” tingkat nasional.
Berdasarkan
perhitungan “garis
kemiskinan” yang ada per-Propinsi diteliti pendapatan per-kapita
per-Kecamatan.
Maka
tingkat kemiskinan daerah terdiri atas
empat kelas yaitu :
- Daerah miskin
sekali,
ialah daerah-daerah, apabila pendapatan per-kapita berada di bawah 75 %
dari nilai kebutuhan 9 bahan pokok tingkat Propinsi.
- Daerah miskin, ialah daerah-daerah yang pendapatan per-kapita berada antara 75 %
- 125 % dari nilai kebutuhan 9 bahan pokok tingkat Propinsi.
- Daerah hampir
miskin, ialah daerah
yang pendapatan per-kapita antara 125 % - 200 % dari nilai kebutuhan 9 bahan
pokok tingkat Propinsi.
- Daerah
tidak miskin; Apabila pendapatan penduduk per-kapita lebih tinggi dari 200
% nilai
kebutuhan 9 bahan pokok
maka daerah itu dinyatakan tidak miskin.
Penggolongan
tingkat kemiskinan daerah menurut kelas ini
diuji pula dengan ukuran-ukuran (variabel) yang diduga erat hubungannya
dengan tinggi rendahnya pendapatan per-kapita.
Terdapat
ukuran-ukuran lain dalam mengukur
tingkat kemiskinan suatu komunitas pada suatu wilayah agraris di pedesaan,
yang dianggap lebih obyektif jika
ditinjau dari segi-segi yang menyangkut subyek, obyek, kondisi, maupun
lingkungan hidup di sekitarnya.
Ukuran-ukuran
ini antara lain ialah :
1.
Jumlah
anak per penduduk
2.
Jumlah
anak per-kepala keluarga
3.
Jumlah rumah permanen dan semi permanen
4.
Panjang jalan yang dapat ditempuh dengan kenderaan roda 4
5.
Luas
pemilikan tanah
6.
Luas Panen
7.
Luas
pemilikan rumah
8.
Produktivitas
tanah
9.
Jumlah
nilai tanah
10. Tanah rusak
11. Kepadatan penduduk
12. Tingkat pengangguran
13. Realisasi IPEDA (Pajak PBB).
14. Jumlah dan jenis peralatan pertanian, yang
dimiliki petani tradisional
15. “Kalender kerja petani berjadwal tetap”
menyangkut jumlah jam kerjanya dilahan pertaniannya, dan tahap-tahap penanaman
sepanjang tahunnya dll.
Apakah
hal ini dilakukan petani atau tidak, karena sangat menentukan total hasil
produksi yang bisa dihasilkan dalam setahun dll. Rendahnya produksi dan
produktivitas tanaman pangan oleh para petani tradisional di pedesaan
menyebabkan kemiskinan adalah :
Minimnya
jenis dan jumlah alat pertanian yang dimiliki dalam menggarap lahan
pertaniannya, (teknologi pertaniannyannya masih bersifat primitif) disamping
tidak/kurang tersedianya bibit unggul dalam memperbaiki mutu tanaman yang
dihasilkan. Dengan demikian penggarapan lahan pertanian tidak efektif dan
efisien. Kekurangan akan alat pertanian tersebut adalah awal timbulnya factor
kemiskinan, karena minim hasil produksinya.
Untuk
penanggulangan kemiskinan, maka bantuan berupa pemberian “Seperangkat Alat
Pertanian Terpadu Sederhana (SAPTS)” tepat guna, berdaya guna dan berhasil
guna, kepada petani tradisonal di pedesaan dimanapun, adalah, merupakan “upaya
awal petani keluar dari kemiskinan”, disamping factor-faktor stimulan lainnya.
Selama
ini perhatian pemerintah ditujukan hanya kepada, rendahnya
output produksi petani yang dihasilkan,
tetapi pemerintah tidak pernah mengetahui dengan pasti factor penyebab
utamanya. Seperti diketahui bahwa umumnya
petani tradisional dalam menggarap lahan pertaniannya, hanya dengan
sebuah parang atau kampak, (contohnya di Prov. Nusa Tenggara Timur atau NTT),
guna menebas belukar atau bahagian dari kawasan hutan untuk berladang, dan
kemudian api sebagai alat pembersih ladang dengan cara membakar, adalah suatu
pola primitif yang berlangsung di era modernisasi hingga kini, dan setelah
tingkat kesuburan lahan berkurang, akan berpindah ke lahan baru dengan pola
serupa.
Hal ini dilaksanakan untuk menambah areal perladangan untuk dapat
mengumpulkan hasil yang cukup untuk hidup sekeluarga, adalah masuk akal,
walupun dipihak lain berdampak merusak
lingkungan alam/hidup.. Tetapi bila kepada petani berpindah-pindah ini diberi bantuan berupa seperangkat “alat
pertanian” yang sifatnya tepatguna, berdayaguna dan berhasilguna daripada hanya
sebuah parang saja, maka akan mendidik mereka sebagai petani menetap, dan
dengan “seperangkat alat pertanian yang memadai”, akan memudahkan petani untuk mengolah
tanahnya lebih intensif sepanjang tahun, kemudian dengan upaya diversifikasi
tanaman pangan dengan menerapkan ‘Panca Usaha Tani’ yang dianjurkan pemerintah,
hasil yang diperoleh akan lebih beragam jenisnya maupun jumlahnya, sehingga
tidak kekurangan bahan makanan dan kelaparan.
Karena
itu enam factor penting “awal”keluar
dari kemiskinan, adalah
- Bantuan
subsidi “seperangkat alat pertanian standar tepatguna sederhana”baik jenis maupun jumlahnya
kepada para petani,
- Penyediaan subsidi “bibit unggul” dan, pupuk buatan
serta,
- Diikuti
dengan penyuluhan yang intensif.
- Pemberian modal kerja kepada Usaha Kecil dan
Menengah
- Pendidikan
murah bagi kaum miskin
- Biaya kesehatan gratis bagi kaum miskin dll.
Pemberian bantuan peralatan kerja kepada petani ini,
adalah identik dengan ‘investasi pemerintah’ kepada petani, dan yakinlah bahwa
akan terjadi ‘kejutan peningkatan’ produksi dan produktivitas selang 3-4 tahun
kedepan, setelah peralatan tersebut tiba ditangan petani.
Pertanyaannya adalah : berapa “jenis” dan “jumlah” “alat
pertanian” yang
dibutuhkan petani untuk meningkatkan produksi dan
produktivitas hasil pangannya yang dianggap paling memadai untuk keluar dari
kekurangan pangan? Untuk menjawab pertanyaan ini, dijelaskan pada bagian-bagian
lainnya.berikutnya yakni suatu contoh
perhitungan kebutuhan primer akan peralatan kerja untuk petani tradisional di
Nusa Tenggara Timur, yang memiliki kondisi lahan yang unik dan spesifik.
Bahwa ukuran-ukuran batas kemiskinan tersebut di atas
dianggap :lebih obyektif dan dapat diterapkan untuk mengetahui tingkat-tingkat
kemiskinan, ketimbang berpatokan pada ukuran “kebutuhan hidup per kapita”
semata. Oleh karena itu, perlu dijabarkan lebih lanjut, karena ukuran-ukuran
ini lebih banyak memasukan berbagai unsur kemiskinan yang
dipertimbangkan
sebagai “katagori miskin” yang perlu
dirumuskan dalam bentuk “Angka”. Dengan
mengetahui variabel yang mempengaruhi tingkat kemiskinan daerah, maka
kebijaksanaan pemerataan bisa bersifat lebih terarah. Perbedaan pendapatan
per-kapita terdapat antara daerah yang satu dengan daerah lain.
Apabila di tahun l975, contoh pendapatan rata-rata penduduk tingkat :
1. Nasional ditaksir
sekitar US$ 190 per jiwa setahun, maka daerah,
2. Nusa Tenggara Timur,
mencatat US$.55, (terendah).
3. Maluku US$.106,-
dan
4.
Nusa Tenggara Barat UD$.160,- per-kapita setahun.
Pengaruh lainnya adalah :
1.
Sumber alam yang terbatas,
2.
Keadaan lingkungan hidup yang kurang menguntungkan,
3.
Keringnya musim kemarau,
4. Terbatasnya prasarana angkutan merupakan faktor-faktor yang mengekang ruang gerak
pengembangan daerah itu.
Dan sekaligus ini memberi petunjuk bahwa daerah-daerah ini memerlukan
penanganan khususnya dalam rangka kebijaksanaan pemerataan
pembangunan, dengan ikhtiar usaha yang mencakup :
- Pengembangan
sumber daya manusia (human
resources developme)
- Pengembangan lingkungan hidup meningkatkan daya
dukung alam,
- Membangun prasarana angkutan. Tiga kegiatan ini adalah srtategis dalam mengatasi kemiskinan di daerah.(Emil Salim, Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan
- Pendapatan,Yayasan Idayu, Jakarta, l980, hal.75-82).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.