alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Selasa, 20 Januari 2015

YANG TIDAK DIMILIKI ORANG MISKIN DAN PATOKAN GARIS KEMISKINAN DIUKUR DARI TINGKAT KEMISKINAN

1. Yang Tidak Dimiliki Orang Miskin Dan,
Kebijakan Untuk Pemerataan
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Dalam rangka pemerataan pembangunan, maka berbagai peralatan kebijaksanaan bisa dipakai untuk menaikkan kelompok penduduk miskin ke atas
garis kemiskinan untuk memperoleh hasil yang efektif dari penerapan kebijaksanaan adalah, pentingnya  memahami cici-ciri dan keadaan kelompok
kelompok penduduk miskin yang ingin dijangkau dengan peralatan
kebijaksanaan ini.
Hal-hal yang tidak dimiliki penduduk miskin ialah :
  1. mutu tenaga kerja yang tinggi;
  2. jumlah modal yang memadai;
  3. luas tanah dan sumber alam yang cukup;
  4. ketrampilan dan keahlian yang cukup tinggi;
  5. kondisi fisik jasmaniah dan rohaniah yang tidak cukup baik;
  6. kurangnya kondisi lingkungan hidup yang memungkinkan perubahan dan kemajuan.
  7. Semakin dalam, orang tenggelam dalam jurang kemiskinan, semakin banyak dan meningkat pula mutu berbagai factor tersebut diperlukan untuk keluar dari jurang kemiskinan.
Dalam hubungan inilah menjadi penting penerapan kebijaksanaan pemerataan yang dituju untuk “mendobrak kelemahan” dan “kekurangan” kelompok penduduk miskin ini adalah :
1.        Melalui mekanisme pasar, berbagai langkah kebijaksanaan bisa diambil tertuju pada kelompok penduduk miskin ini, seperti kebijaksanaan mekanisme penerapan harga dasar bagi beberapa bahan pertanian padi, palawija, dan lain-lain, subsidi pupuk dan obat-obatan untuk kegiatan program BIMAS, operasi pasar mengendalikan bahan-bahan kebutuhan pokok.
    2.Kebijaksanaan perkreditan, seperti,
1.      kredit mini,
2.      kredit investasi kecil,
3.      kredit modal kerja permanent,
4.      kredit candak kulak,
5.      kredit kelayakan, atau sekarang lebih dikenal dengan sebutan, Kredit UMKM (Usaha Menengah, Kecil, dan Mikro) dari Perbankan serta,
Dana Konpensasi Kenaikan Harga BBM (DKKH-BBM-1 Oktober 2005 dan 23 Mei 2008) : Bantuan Langsung Tunai BLT/Sumnagan Langsung Tunai (SLT) ialah alat-alat kebijaksanaan mendongkrak kekurangan modal/konsumsi penduduk miskin. Masalah kenaikan harga BBM dan pembagian BLT/SLT  menjadi polimik nasional oleh banyak kalangan dimana-mana tempat,  mulai dari demo mahasiswa,  politisi, media massa, intelktual, kalangan DPR, pejabat pemerintahan seperti Bupati, hingga Kepala Desa/Lurah dan RT.  Namun, ibarat pepatah kuno : “Biar anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.”Pemerintah tetap menjalankan apa yang telah diputuskannya sendiri.” Siapa yang bisa menentang pemerintah, adalah sama dengan ingin membenturkan kepalanya sendiri ke beton/ke batu karang. Kalau hancur kepalanya ya…ditanggung sendiri. Kira-kira begitu kesannya?

3.Kebijaksanaan kesejahteraan sosial, seperti :
---program pembangunan SD Inpres,
---bantuan jamban keluarga,
---Pusat Kesehatan Masyarakat,
---program Asistensi Keluarga Miskin,
---pemugaran desa, perbaikan kampung,
---pengembangan fasilitas mandi-cuci-kakus (MCK), merupakan usaha pembangunan sosial bagi si miskin.
4.Kebijaksanaan pembukaan lapangan kerja, dengan,
---memanfaatkan Kredit perbankan (UMKM) – KUR (Kredit Usaha Rakyat) 
---program padat karya,
---transmigrasi, pemukiman kembali penduduk di tempat baru,
---program kerja antar daerah,
---program pangan untuk kerja (Padat Karya),
---diharapkan dapat meningkatkan banyaknya lapangan kerja menyerap pengangguran yang umumnya miskin ini.
5.Kebijaksanaan pengembangan industri kecil melalui,
---ikhtiar pengaitan industri lemah dengan industri kuat;
---pembangunan “kawasan industri mini”,
---program Bimbingan Industri Kecil,
---diusahakan agar kelompok penduduk miskin dapat diserap oleh kegiatan kecil ini.
Ciri-ciri  pokok berbagai kebijaksanaan ini ialah:
Memberi fasilitas dan rangsangan material bagi perbaikan hidup kelompok penduduk miskin.Sejalan dengan ini, namun belum banyak diterapkan di Indonesia ialah menggunakan rangsangan moral bagi usaha, mendorong aktifitas mengurangi jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan Inovasi pemberian bantuan “paket peralatan pertanian petani standart” tradisional yang dijelaskan pada bagian lain, yang akan mampu meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman pangan, sehingga akan meningkatkan pendapatan kelompok penduduk petani miskin.

Dan kisah sukses penduduk miskin melepaskan diri dengan kekuatan sendiri dari belenggu kemiskinan, perlu memperoleh penghargaan khusus dari pemerintah dan masyarakat, sehingga mendorong lebih banyak lagi kegiatan serupa itu. Jika sudah berkembang sekarang ini, berbagai putra teladan, guru teladan dan lain-lain, perlu dikembangkan pula dimasa-masa mendatang  apa yang disebut : “Pendobrak Kemiskinan Teladan” kepada mereka yang paling berhasil mengeluarkan diri sendiri  atau dari penduduk dari bawah garis kemiskinan. Apabila kegawatan kemiskinan terlalu besar seperti halnya di Propinsi Nusa Tenggara Timur, sebagai suatu sample kemiskinan di Indonesia, maka langkah kebijaksanaan menggunakan rangsangan material dan moral saja tidak cukup. Untuk ini Pemerintah perlu, terjun langsung menanggulangi sendiri masalah kemiskinan.  Penduduk miskin langsung diladeni mengatasi kekurangan gizinya, penyakit-penyakitnya. Keadaan lingkungan pemukiman langsung ditangani perbaikannya.
Dalam melakukan sendiri usaha pengurangan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan, perusahaan milik Negara (BUMN) bisa memegang peran aktif.

Dalam hubungan ini:
1.    Badan Urusan Logistik (BULOG),
2.    Pertamina,
3.    Pabrik pupuk PUSRI,
4.    Pabrik Semen Gresik,
5.    Perusahaan angkutan Negara di bidang kereta api, laut, darat dan udara dan lain-lain bisa menjalankan usaha mengatasi kekurangan kelompok penduduk miskin ini.
6.    Program pembangunan perumahan rakyat oleh Perumas ialah contoh dari peranan Perusahaan Negara mengisi kebutuhan perumahan bagi penduduk miskin atau tak mampu.
Berbagai pembangunan proyek Instruksi Presiden mencerminkan peranan Pemerintah sebagai,
1.      konsumen,
2.      prudusen, atau
3.      investor.
Pemerintah sendiri aktif :
Terjun membeli, membangun dan menanam modal dalam berbagai kegiatan yang dianggap penting bagi rakyat kecil. Pemerintah sebagai konsumen yang terbesar didukung oleh anggaran pembangunan dan pendapatan negara yang besar, Lembaga pemerintah dapat aktif mendorong kemajuan kelompok penduduk miskin ini. Ini tersimpul dalam Keputusan Presiden No.14 tahun l979 dsb. tentang Pelaksanaan Anggaran Belanja Negara ( APBN).

Delapan Jalur Pemerataan

Sungguhpun berbagai langkah kebijaksanaan ini penting dan perlu, namun dirasakan belum cukup untuk mengisi delapan jalur dan mengurangi jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan.   Bahwa Pemerintah sejak Pelita III, telah menempatkan sasaran pertama dalam “Tilogi Pembangunan”, sasaran pemerataan yang kemudian dijabarkan dalam “delapan jalur pemerataan” yakni :
  1. Pemerataan kebutuhan pokok rakyat banyak, khususnya untuk pangan, sandang dan perumahan;
  2. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan;
  3. Pemerataan pembagian pendapatan;
  4. Pemerataan kesempatan kerja;
  5. Pemerataan  kesempatan berusaha;
  6. Pemerataan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya  bagi generasi muda dan wanita;
  7. Pemerataan penyebaran pembangunan dan,
  8. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
Jelas menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan yang dapat diukur dari tingkat laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, akan menciptakan titik rawan terhadap Ketahanan Nasional, jikalau tidak diimbangi oleh adanya pemerataan menuju tercapainya keadilan social.

Sistem REPELITA Tidak diterapkan lagi setelah Era Revormasi 1998

Sejak lengsernya  Presiden Soehato dari tampuk pemerintahan pada tahun 1998, dan dijabat Habibie, Gusdur, Megawati Soekarno Putri, dan kemudian SBY, tidak lagi menerapkan program REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun), sehingga pembangunan sekarang kurang terarah, tidak terencana, seperti pada masa Soeharto. (Kata banyak Orang,  tetapi bukan semua orang, memberi kesan bahwa Keadaan Ekonomi  di era Soeharto, lebih baik dari Era sesudahnya saat ini).- Penulis. Seharusnya setiap pergantian pimpinan nasional, penggantinya perlu mempelajari program pembangunan dari pejabat lama, untuk memahami kemajuan maupun hambatan, sehingga mencarikan solusi yang lebih baik di era pemerintahannya. Inilah kenyataannya sekarang, terkesan ibarat : Ganti Koki Ganti Masakan”, yang menyebabkan program pembangunan yang berlangsung sepertinya, tidak berkesinambungan. atau Pembangunan yang tidak berestafet.

Enam Sukses, Sebagai Tolok Ukur Kinerja Gubernur
Prioritas pada sasaran pemerataan tersebut, secara operasional juga telah digariskan sebagai “tolok-ukur” keberhasilan kepemimpinan seorang Gubernur Kepala Daerah, yang kemudian dikenal dengan istilah :


“Enam sukses” ialah :
  1. Sukses dalam produksi pangan,
  2. Sukses dalam Inpres Desa Teringgal,
  3. Sukses dalam pengembangan koperasi,
  4. Sukses dalam pelaksanaan Keppres 14A/1980, (Pembangunan di Pedesaan)
  5. Sukses  dalam program kependudukan (KB, Transmigrasi),
  6. Sukses untuk meningkatkan ekspor no-migas.

Dari “enam sukses” tolok-ukur keberhasilan seorang Gubernur/Kepala Daerah tersebut di atas, jelaslah kiranya bahwa koperasi yang  tumbuh dan berkembang di suatu daerah, merupakan salah satu “tolok-ukur” yang dinilai bagi seorang Gubernur. Yang dimaksud dengan sukses dalam pengembangan koperasi, jelas bukan hanya diartikan adanya usaha atau fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah daerah, tetapi juga berarti memberikan kesempatan secara lebih luas agar supaya koperasi mampu berkembang dan turut serta berperan dalam kegiatan ekonomi rakyat di daerah,  sehingga perimbangan kekuatan ekonomi lebih serasi, tidak hanya dikuasai oleh golongan ekonomi kuat, kelompok masyarakat bermodal besar dan bersifat padat modal, yang kurang mampu menyerap kesempatan kerja lebih luas. Tumbuh dan berkembangnya koperasi diharapkan, tidak saja akan mampu memperluas kesempatan berusaha maupun kesempatan bekerja, tetapi juga akan mampu mengurangi kesenjangan distribusi pendapatan, perbedaan yang menyolok antara kelompok masyarakat kaya dan miskin, tetapi sekaligus juga menciptakan pasaran produk domistik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di dalam negeri.

Melalui wadah koperasi produksi,  kualitas hasil produksi domistik dapat lebih ditingkatkan dan dibakukan, dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat, oleh karena koperasi juga diharapkan mampu menjadi pusat-pusat latihan untuk meningkatkan ketrampilan, keahlian dan cara-cara bekerja yang lebih efektif dan efisien. Semua usaha tersebut di atas, jelas akan mampu menciptakan kondisi ketahanan ekonomi nasional terhadap pengaruh resesi dunia, sekaligus memperkuat kondisi ketahanan nasional. Banyak dari langkah kebijaksanaan ini tertuju pada anggota  masyarakat yang mampu menghimpun diri dalam organisasi perusahaan ataupun organisasi kemasyarakatan. 

Berbagai organisasi (pengusaha) ini  berada dalam sector formal yang dapat dijangkau jaringan kebijaksanaan Pemerintah, sehingga dapat memperoleh santunan, pelayanan Pemerintah. 
Tetapi sebaliknya terhadap kelompok penduduk miskin, lebih-lebih mereka yang berada di bawah garis kemiskinan, yang berdiam di pulau-pulau kecil dan terpencil atau di pedalaman dan jauh dari aktivitas perkotaan yang tidak/kurang mendapat pelayanan, yang umumnya tidak terorganisasi kemasyarakatannya, sehingga tidak masuk jaringan fasilitas santunan, pelayanan dan kebijaksanaan Pemerintah, sehingga menjadi  miskin.

Karena itu lahirlah dalam masyarakat dua lingkungan yaitu :
  1. Penduduk miskin yang hidup dalam lingkungan tradisional tanpa kemajuan dan perubahan berarti, serta
  2. Penduduk lainnya yang hidup dalam lingkungan “modern” dengan laju pertumbuhan penting. (yaaa…perbedaannya selangit).
Sekarang ini sedang dicoba proyek percontohan perbaikan perkampungan--kota, mencakup sekaligus :
  1.  Perkembangan lingkungan fisik berupa perbaikan jalan kaki, fasilitas mandi-cuci-kakus, pompa air minum, pemugaran rumah, selokan, pemugaran rumah, rekagatra (land scaping);
2.    Pengembangan diri individu penduduk miskin, melalui pendidikan non-formal, latihan ketrampilan dan lain-lain;
3.    Pengembangan usaha masyarakat, berupa kursus-kursus bersama, ikhtiar koperasi dan lain-lain.

2. Patokan Garis Kemiskinan—Ukuran-ukuran—Tingkat Kemiskinan

Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, menurut Mantan
Presiden Bank Dunia, D.Mc Namara, mendefenisikan kemiskinan absolute
dalam pidatonya di Nairobi tahun 1973 sebagai berikut :
“Kemiskinan absolute ditandai oleh keadaan persyaratan hidup yang tidak manusiawi seperti penyakit, buta aksara, kekurangan makan, dan keterlantaran sehingga korban kemiskinan absolute ini tidak pernah dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia yang paling mendasar”. 

Ratusan juta manusia di Negara berkembang menderita :
Dalam kondisi hidup yang tidak manusiawi; sepertiga sampai setengah dari 2 miliar manusia di Negara berkembang kelaparan / menderita kekurangan makan;
-20% - 25% anak-anak di Negara berkembang meninggal dunia sebelum mencapai umur 5 tahun yang tidak meninggal akan mengalami hidup dalam kemiskinan,  otak mereka menjadi rusak, badan mereka menjadi cacat, dan daya tahan hidup mereka menjadi  lemah akibat kekurangan makan harapan hidup manusia di Negara berkembang 20 tahun lebih pendek daripada di Negara industri.  Dengan kata lain, hidup manusia di Negara berkembang diperpendek 30% dari usia yang dapat dicapainya. Sejak lahir, manusia-manusia ini telah divonis mati lebih dini;  800 juta manusia buta aksara dan anak-anak mereka walaupun semakin diperluasnya sector pendidikan akan tetap buta aksara

Keadaan ini akan semakin memburuk dan menentukan nasib 40% manusia di Negara berkembang. Data-data kuantitatif untuk mengukur miskin di Dunia Ketiga tidak lagi diteliti sejak akhir tahun ’70-an, dan angka-angka yang ada dianggap sangat tidak pasti. Tahun 1980 jumlah miskin absolute (di definisikan  dengan konsumsi kalori per hari kurang dari 2.250 satuan) untuk Asia (tanpa Cina, Jepang dan Timur Tengah) diperkirakan sekitar 40% penduduk (350—450 juta). Bank Dunia melaporkan jumlah kemiskinan absolute di seluruh dunia sebanyak 700 juta—1 miliar manusia dan selama tahun 80’an jumlah tersebut semakin meningkat.  Tahun 1985 sebanyak 21 dari 35 negara berkembang dengan pendapatan rendah yang diteliti, telah ditemukan bahwa penggunaan kalori per kepala menjadi lebih kecil dibandingkan 20 tahun lalu. Berbagai lembaga berusaha memberi deferensiasi lanjut untuk menentukan batas kemiskinan—merupakan pertanyaan untuk sebuah politik yang terarah untuk memerangi miskin.

IDA mengembangkan lima inti “indicator kemiskinan absolute dan
menentukan batas kemiskinan secara kuantitatif sebagai berikut :

·         Pendapatan per kapita 150 US$;
·         Pemakaian kalori setiap hari 2.160—2.670;
·         Harapan hidup di bawah 55 tahun;
·         Kematian anak-anak lebih dari 33 per seribu;
·         Tingkat kelahiran lebih dari 25 per seribu.
Lebih sederhana adalah Physical Quality of Life Index (POLI) dengan indicator harapan hidup, kematian anaka-anak, dan tingkat buta aksara

ILO membuat 2 batasan kemiskinan, yaitu :

Disamakan dengan pendapatan rata-rata seseorang buruh tidak terdidik di sebuah pabrik besar dari indusrti pengolahan di India (sangat miskin) dan disamakan dengan pendapatan yang besarnya 1 Rupee per hari (miskin sekali). Nilai pendapatan di Negara berkembang lainnya dapat dihitung dengan bantuan harga dari  “sekeranjang barang” yang khas.
Karena perkiraan miskin yang berkaitan dengan pendapatan absolute dan berhubungan dengan kekayaan, sebuah studi terbaru Bank Dunia menyebutkan food adequacy standards sebagai indicator penting untuk mengukur kemiskinan. Manusia yang mengalami kemiskinan absolute adalah mereka yang harus menggunakan lebih dari 70% pendapatannya untuk membeli bahan makanan dan seringkali menderita lapar (batas kalori 2.250). Manusia yang harus menggunakan lebih dari 80% pendapatannya untuk membeli bahan makanan dan terancam kekurangan makan yang berat diklasifikasikan sebagai ultra miskin. (Dieter Nohlen (ed), Kamus Dunia Ketiga, Penerbit Gramedia, Jakrta1994, hal.451-452).

Tingkat kemiskinan ini memiliki suatu batas di bawah mana manusia hidup dalam kemelaratan. 
Batas ini dikenal dengan “garis kemiskinan” ( poverty line) dan ditentukan oleh kebutuhan hidup yang minimal perlu dipenuhi bagi kehidupan yang sederhana.
Garis kemiskinan ini banyak dipengaruhi tingkat pendapatan rata-rata per jiwa penduduk dan ruang lingkup sosial  budaya masyarakat.  Sungguhpun demikian dengan menyadari hal ini, para ahli ekonomi merasa perlu untuk bekerja dengan dua macam garis kemiskinan  bagi keperluan perencanaan, yaitu US$ 59 dan US$ 75---per jiwa penduduk. Maka besar penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan ini memberi petunjuk mengenai kegawatan masalah pembagian pendapatan yang dihadapi negara  satu dengan negara lainnya.

Untuk memahami tingkat kepincangan dalam pembagian pendapatan suatu negara, perlulah membagi penduduk dalam kelompok-kelompok sebagai berikut :
1.Kelompok penduduk dengan pendapatan tinggi yang merupakan 20% dari jumlah penduduk;
2.Kelompok penduduk dengan pendapatan menengah yang merupakan 40% dari jumlah penduduk;
3.Kelompok penduduk dengan pendapatan rendah yang merupakan 40% dari jumlah penduduk.

Tingkat kepincangan pembagian pendapatan (income inequality rate) suatu negara lazimnya diukur menurut besarnya bagian pendapatan nasional yang dinikmati oleh kelompok penduduk dengan pendapatan rendah yang merupakan 40% dari jumlah penduduk dan dikenal dengan kelompok rendah 40%. Apabila bagian pendapatan nasional bagi kelompok rendah 40% adalah 17% atau lebih maka tingkat kepincangan pembagian pendapatan tergolong rendah. Apabila bagian pendapatan nasional bagi kelompok rendah 40% terletak antara 12%---17% maka ia digolongkan dalam tingkat kepincangan pembagian pendapatan nasional berada di bawah 12% maka ia digolongkan  dalam tingkat kepincangan pembagian pendapatan yang tinggi.

Dalam masa dekade pembangunan yang lampau maka tingkat kepincangan
pembagian pendapatan dari banyak negara semakin turun sehingga semakin buruk.
Bagian dari pendapatan nasional yang dinikmati kelompok rendah 40% dalam masa itu mengalami penurunan, sungguhpun secara keseluruhan produksi nasional menunjukkan kenaikan. Jika kita perinci lebih lanjut kelompok rendah 40% ini dalam kelompok yang lebih kecil maka diperoleh kelompok rendah 20% dan kelompok terendah 20%. Bagian yang diterima kelompok yang terendah 20% di banyak negara terletak di bawah 10%. Bilamana pembagian pendapatan dari kelompok rendah 40% ini menurun, maka pukulan utama diderita oleh bagian kelompok terendah 20% yang mengalami penurunan dari bagian pendapatan yang sudah rendah.

Tingkat kepincangan pembagian pendapatan untuk masing-masing negara dapat diukur dengan menggunakan ratio konsentrasi gini yang mempunyai nilai antara 0 dan 1. Bila pembagian pendapatan merata sempurna, maka ratio gini ialah  0. Sebaliknya bila pembagian pendapatan  sempurna pincang, ratio gini ialah 1. Maka pembagian pendapatan yang bergerak ke jurusan yang semakin pincang akan tercermin pada ratio gini yang naik dan bergerak dari 0 ke jurusan 1. (Emil Salim, 1980 : 19-21). Selanjutnya, yang dijadikan patokan “garis kemiskinan” ialah, kebutuhan hidup menimum yang meliputi 9 bahan pokok, yaitu kebutuhan sehari-hari. Masing-masing Propinsi sesuai dengan tingkat “harga sembilan bahan kebutuhan pokok” ini, memiliki “garis kemiskinan” tingkat nasional.
Berdasarkan perhitungan “garis kemiskinan” yang ada per-Propinsi diteliti pendapatan per-kapita per-Kecamatan.

Maka tingkat kemiskinan daerah terdiri atas  empat kelas yaitu :

  1. Daerah miskin sekali, ialah daerah-daerah, apabila pendapatan per-kapita berada di bawah 75 % dari nilai kebutuhan 9 bahan pokok tingkat Propinsi.
  2. Daerah miskin, ialah daerah-daerah yang  pendapatan per-kapita berada antara 75 % - 125 % dari nilai kebutuhan 9 bahan pokok tingkat Propinsi.
  3. Daerah hampir miskin, ialah daerah yang pendapatan per-kapita antara 125 % - 200 % dari nilai kebutuhan 9 bahan pokok tingkat Propinsi.
  4. Daerah tidak miskin; Apabila pendapatan penduduk per-kapita lebih tinggi dari 200 % nilai kebutuhan 9 bahan pokok maka daerah itu dinyatakan tidak miskin.
Penggolongan tingkat kemiskinan daerah menurut kelas ini  diuji pula dengan ukuran-ukuran (variabel) yang diduga erat hubungannya dengan tinggi rendahnya pendapatan per-kapita.
Terdapat ukuran-ukuran  lain dalam mengukur tingkat kemiskinan suatu komunitas pada suatu wilayah agraris di pedesaan,  yang dianggap lebih obyektif  jika ditinjau dari segi-segi yang menyangkut subyek, obyek, kondisi, maupun lingkungan hidup di sekitarnya.

Ukuran-ukuran ini antara lain ialah :

1.      Jumlah anak per penduduk
2.      Jumlah anak per-kepala keluarga
3.      Jumlah rumah permanen dan semi permanen
4.      Panjang jalan yang dapat ditempuh dengan kenderaan roda 4
5.      Luas pemilikan tanah
6.      Luas Panen
7.      Luas pemilikan rumah
8.      Produktivitas tanah
9.      Jumlah nilai tanah
10.  Tanah rusak
11.  Kepadatan penduduk
12.  Tingkat pengangguran
13.  Realisasi IPEDA (Pajak PBB).
14.  Jumlah dan jenis peralatan pertanian, yang dimiliki petani tradisional
15.  “Kalender kerja petani berjadwal tetap” menyangkut jumlah jam kerjanya dilahan pertaniannya, dan tahap-tahap penanaman sepanjang tahunnya dll.

Apakah hal ini dilakukan petani atau tidak, karena sangat menentukan total hasil produksi yang bisa dihasilkan dalam setahun dll. Rendahnya produksi dan produktivitas tanaman pangan oleh para petani tradisional di pedesaan menyebabkan kemiskinan  adalah :
Minimnya jenis dan jumlah alat pertanian yang dimiliki dalam menggarap lahan pertaniannya, (teknologi pertaniannyannya masih bersifat primitif) disamping tidak/kurang tersedianya bibit unggul dalam memperbaiki mutu tanaman yang dihasilkan. Dengan demikian penggarapan lahan pertanian tidak efektif dan efisien. Kekurangan akan alat pertanian tersebut adalah awal timbulnya factor kemiskinan, karena minim hasil produksinya.

Untuk penanggulangan kemiskinan, maka bantuan berupa pemberian “Seperangkat Alat Pertanian Terpadu Sederhana (SAPTS)” tepat guna, berdaya guna dan berhasil guna, kepada petani tradisonal di pedesaan dimanapun, adalah, merupakan “upaya awal petani keluar dari kemiskinan”, disamping factor-faktor stimulan lainnya.
Selama ini perhatian pemerintah ditujukan hanya kepada, rendahnya output produksi petani yang  dihasilkan, tetapi pemerintah tidak pernah mengetahui dengan pasti factor penyebab utamanya. Seperti diketahui bahwa umumnya  petani tradisional dalam menggarap lahan pertaniannya, hanya dengan sebuah parang atau kampak, (contohnya di Prov. Nusa Tenggara Timur atau NTT), guna menebas belukar atau bahagian dari kawasan hutan untuk berladang, dan kemudian api sebagai alat pembersih ladang dengan cara membakar, adalah suatu pola primitif yang berlangsung di era modernisasi hingga kini, dan setelah tingkat kesuburan lahan berkurang, akan berpindah ke lahan baru dengan pola serupa. 

Hal ini dilaksanakan  untuk menambah areal perladangan untuk dapat mengumpulkan hasil yang cukup untuk hidup sekeluarga, adalah masuk akal, walupun dipihak lain  berdampak merusak lingkungan alam/hidup.. Tetapi bila kepada petani berpindah-pindah ini  diberi bantuan berupa seperangkat “alat pertanian” yang sifatnya tepatguna, berdayaguna dan berhasilguna daripada hanya sebuah parang saja, maka akan mendidik mereka sebagai petani menetap, dan dengan “seperangkat alat pertanian yang memadai”,  akan memudahkan petani untuk mengolah tanahnya lebih intensif sepanjang tahun, kemudian dengan upaya diversifikasi tanaman pangan dengan menerapkan ‘Panca Usaha Tani’ yang dianjurkan pemerintah, hasil yang diperoleh akan lebih beragam jenisnya maupun jumlahnya, sehingga tidak kekurangan bahan makanan dan kelaparan.

Karena itu enam  factor penting “awal”keluar dari kemiskinan, adalah
  1. Bantuan subsidi “seperangkat alat pertanian standar tepatguna sederhana”baik  jenis maupun jumlahnya kepada para petani,
  2. Penyediaan  subsidi “bibit unggul” dan, pupuk buatan serta,
  3. Diikuti dengan penyuluhan yang intensif.
  4. Pemberian modal kerja kepada Usaha Kecil dan Menengah
  5. Pendidikan murah bagi kaum miskin
  6. Biaya kesehatan gratis bagi kaum miskin dll.
Pemberian bantuan peralatan kerja kepada petani ini, adalah identik dengan ‘investasi pemerintah’ kepada petani, dan yakinlah bahwa akan terjadi ‘kejutan peningkatan’ produksi dan produktivitas selang 3-4 tahun kedepan, setelah peralatan tersebut tiba ditangan petani.
Pertanyaannya adalah : berapa “jenis” dan “jumlah” “alat pertanian” yang
dibutuhkan petani untuk meningkatkan produksi dan produktivitas hasil pangannya yang dianggap paling memadai untuk keluar dari kekurangan pangan? Untuk menjawab pertanyaan ini, dijelaskan pada bagian-bagian lainnya.berikutnya yakni  suatu contoh perhitungan kebutuhan primer akan peralatan kerja untuk petani tradisional di Nusa Tenggara Timur, yang memiliki kondisi lahan yang unik dan spesifik.

Bahwa ukuran-ukuran batas kemiskinan tersebut di atas dianggap :lebih obyektif dan dapat diterapkan untuk mengetahui tingkat-tingkat kemiskinan, ketimbang berpatokan pada ukuran “kebutuhan hidup per kapita” semata. Oleh karena itu, perlu dijabarkan lebih lanjut, karena ukuran-ukuran ini lebih banyak memasukan berbagai unsur kemiskinan yang 
dipertimbangkan sebagai “katagori miskin”  yang perlu dirumuskan dalam bentuk “Angka”.  Dengan mengetahui variabel yang mempengaruhi tingkat kemiskinan daerah, maka kebijaksanaan pemerataan bisa bersifat lebih terarah. Perbedaan pendapatan per-kapita terdapat antara daerah yang satu dengan daerah lain.
Apabila di tahun l975, contoh pendapatan rata-rata penduduk tingkat :
1.      Nasional ditaksir sekitar US$ 190 per jiwa setahun, maka daerah,
2.      Nusa Tenggara Timur, mencatat US$.55, (terendah).
3.      Maluku US$.106,- dan
4.      Nusa Tenggara Barat UD$.160,- per-kapita setahun.

Pengaruh lainnya adalah :
1.      Sumber alam yang terbatas,
2.      Keadaan lingkungan hidup yang kurang menguntungkan,
3.      Keringnya musim kemarau,
4.  Terbatasnya prasarana angkutan merupakan faktor-faktor yang mengekang ruang gerak pengembangan daerah itu.
Dan sekaligus ini memberi petunjuk bahwa daerah-daerah ini memerlukan
penanganan khususnya dalam rangka kebijaksanaan pemerataan
pembangunan, dengan ikhtiar usaha yang mencakup :
  1. Pengembangan sumber daya manusia (human resources developme)
  2. Pengembangan lingkungan hidup meningkatkan daya dukung alam,
  3. Membangun prasarana angkutan. Tiga kegiatan ini adalah srtategis dalam mengatasi kemiskinan di daerah.(Emil Salim, Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan 
  4. Pendapatan,Yayasan Idayu, Jakarta, l980, hal.75-82).



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.