Motivasi Awal Menuju Modernisasi Dengan Penerapan,
RUMUS : “M B M B”
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Disini kami membuat suatu rumus sederhana yang dapat menjadikan suatu
bangsa atau seseorang dapat memajukan
dirinya, apabila menerapkan rumus
tersebut sebagai berikut :
RUMUS
M = “Melihat”
B = “Berminat”
M = “Mencontoh/Meniru”
B = “Berbuat Seperti”
Untuk memodernisasi diri sendiri, baik sebagai perorangan
maupun suatu bangsa, maka, budaya tiru-meniru dalam segala lapangan atau sektor
dari kebudayaan orang/bangsa lain,
adalah kunci awal mencapai suatu kemajuan yang lebih baik dari keadaannya sekarang
atau sebelumnya.
Pertanyaannya :
Mengapa bangsa-bangsa atau negara-negara lain sudah maju,
namun banyak sekali negara yang belum maju? Padahal mereka juga telah menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi, Sumber
Daya Alam (SDA), serta Sumber Daya Manusia (SDM).
Jawabannya adalah.:
Karena di antara mereka, yang sudah “Melihat” tetapi
“tidak Berminat”, atau tidak “Mencontoh/Memiru”, apalagi “Berbuat Seperti” Apa, yang dilakukan oleh orang/negara yang sudah
maju itu. Maka untuk memajukan dirinya
perlu mengikuti penjelasan rumus sederhana tersebut dibawah ini yaitu :
RUMUS : “(M B M B)”
·
(M) =“MELIHAT” = memperhatikan, berpikir, mengamati, mempelajari,
meneliti, menekuni, mendiskusikannya;
·
(B) = “BERMINAT” = termotivasi,
menaruh perhatian, berkemauan, timbul hasrat dan berkeinginan untuk memiliki, disertai
dorongan psikologis untuk maju;
·
(M) = “MENCONTOH/MENIRU” = meniru, berjiwa kreatif, inovasi, mencoba
membuat konsep, merancang, merekayasa apa yang dilihat, dengan
penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi,
·
(B) = “BERBUAT SEPERTI” APA YANG DILIHATNYA =
melakukan, mengerjakan, membuat, mengolah, berproduksi, lalu menghasilkan
seperti apa yang dilihatnya, baik serupa
maupun lebih modern.
Ini merupakan suatu proses yang berawal dari “melihat, mengamati sesuatu” (Fisik
dan Non Fisik), hingga pada akhirnya dapat “menghasilkan sesuatu menjadi kenyataan
seperti apa yang Dilihatnya.” Kita di Indonesia, telah banyak “melihat”
berbagai kemajuan hasil-hasil dari berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa-bangsa
lain, tetapi banyak daripadanya, kita kurang “berminat”,”tidak
mencontoh/meniru”, apalagi “berbuat seperti” apa yang kita Lihat. Oleh
karena itu, kita selalu ketinggalan, dengan negara-negara tetangga, apalagi
dibandingkan dengan bangsa-bangsa Barat.
Contoh : “Melihat hingga Berbuat
Seperti”:
Dalam dunia Agama/Kepercayaa misalnya, ketika
kaum muslim dari seluruh dunia naik haji ke Mekah, di Arab Saudi (Timur Tengah)
“Melihat” berbagai bangunan Ibadah yang megah dan indah. Lalu “timbul minatnya/hasrat”
untuk memiliki juga bangunan-bangunan ibadah seperti itu. Setelah kembali ke
tanah air, mereka “mencontoh/meniru”
bangunan-bangunan ibadah itu, seperti yang dilihatnya di Tanah Suci Mekah. Kemudian
mereka mulai “Membangun/Berbuat Seperti” bangunan-bangunan ibah yang dilihatnya
tersebut. Oleh karena itu bangunan-bangunan tempat ibadah muslim yang ada di Indonesia
maupun di negara-negara lainnya, banyak hampir/sama, atau serupa dengan
bangunan-bangunan ibadah di Mekah (Timur Tengah). Sebenarnya kitapun bisa
berbuat lebih banyak lagi, hal-hal lainnya seperti yang pernah kita lihat.
RUMUS : “M B M B”
·
“Melihat” (M), lalu
·
“Berminat” (B), kemudian
·
“Mencontoh/Meniru” (M), dan terakhir
·
“Berbuat (B) Seperti” apa yang Dilihatnya,
·
Atau bila perlu “Berbuat Lebih Baik” dari apa yang
“Dilihatnya” itu.
(Ini adalah Rumus
atau Langkah Awal Sederhana menuju
Modernisasi).
Tetapi dalam kenyataannya, kebanyakan orang, hanya “Melihat”
sesuatu (benda fisik atau non fisik apa saja bentuknya) tetapi hanya sekedar
ingin tahu saja, dan mungkin berminat juga, tetapi tidak dilaksanakan (Dicontoh)
apalagi “Berbuat Seperti” yang “Dilihatnya” itu. Keadaan seperti contoh
sederhana ini, mengakibatkan seseorang maupun suatu bangsa/negara tidak pernah
maju, apalagi dikatakan modern. Kondisi seperti ini hanya menjadikan Indonesia sebagai “Negara konsumen” belaka, dan tidak pernah menjadi “ Negara produsen”
(“Berbuat Seperti” itu). Bahwa
kebudayaan dunia sekarang ini adalah berawal dari “sifat tiru-meniru” dan
menimba ilmu dan teknoloigi dari kebudayaan bangsa-bangsa lainnya dan
memanfaatkannya untuk kesejahteraan rakyat”..Kita memiliki banyak tamatan
seperti, Sarjana
Elektronik/Teknilk, dll misalnya, namun tidak pernah menghasilkan secara
massal misalnya “Hand Pone” yang hanya terdiri dari serangkaian beberapa mili
meter (mm) kabel atau beberapa lempengan logam yang sangat kecil, yang tersusun
dalam sebuah kotak kecil, ataupun membuat “radio Made In Indonesia” dan masih
banyak contoh lainnya lagi.
Contoh lainnnya : Kita banyak memiliki ahli dibidang Pertambangan, tetapi
mengapa hingga kini Hasil Tambang di
perut bumi Indonesia, dikuasai oleh Bangsa Barat? Apakah kita hanya
dijadikan sebagai penonton saja? Apakah
Intelektual kita masih Bodoh soal
Pertambangan? Namun kenyataannya lebih
banyak tenaga kita yang di operasikan di
lokasi-lokasi pertambangan tersebut. Kapan Bangsa Indonesia Bisa Mandiri untuk
mengurus kekayaan Alamnya sendiri sesuai amanah
Pasal 33 UUD 1945?
Ya… akabat dari hanya “Melihat” saja, tetapi tidak pernah Mencoba
“Berbuat Seperti” apa yang
“Dilihatnya”. Karena itu Indonesia masih tertinggal jauh, jika dibandingkan
dengan negara-negara tetangga, apalagi dibanding dengan bangsa-bangsa Barat.
Akibatnya Indonesia lebih banyak sebagai “konsumen” belaka, “(Importir)”
sehingga terpaksa barang-barang impor produksi luar negeri membanjiri
Indonesia.
Contoh lain misalnya, Jepang, Korea, Cina, Taiwan, dll telah bangkit
sebagai negara-negara “produsen”
barang-barang elektronik, mobil dll, yang semula meniru produk-poroduk
negara-nagara Barat, yang akhirnya mereka membuat lebih canggih dari
barang-barang yang ditiru itu, dan malahan menjadi negara eksportir ke
negara-negara Barat. (Ini sebagai akibat dari setelah mereka “Melihat”, lalu “Berminat”, mencoba “Mencontoh/Meniru” kemudian “Berbuat Seperti Apa yang mereka Lihat—(Rumus
MBMB)”. Kesimpulan singkatnya adalah, bahwa kita (Indonesia) lebih banyak berstatus sebagai ‘penonton’,
tetapi tidak pernah sebagai ‘pemain
utama dilapangan’, diberbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang nota
bene telah kita kuasai juga. Karena itu, Indonesia masih tergolong sebagai “negara
tradisional” dan belum memasuki “era modernisasi” dalam arti yang sesungguhnya. Kata Pepatah
Kuno : Keadaan Indonesia saat ini masih seperti
ibarat : “Katak Dbawah
Tempurung”.
Intelektual, Tetapi Berbudaya Tradisional
Banyak orang, tetapi tidak semua orang, mengartikan bahwa “Individulisme”
itu sebagai mementingkan diri sendiri, yang sebenarnya awal sejarahnya
berkonotasi sebagai “setiap orang berlumba-lumba menjadi orang nomor satu dalam
sesuatu bidang tertentu”. Inilah menjadi kebanggaan tersendiri bagi yang
bersangkutan. Dengan demikian setiap orang memacu dirinya—termotivasi, untuk menciptakan—menemukan sesuatu yang baru, dan bermanfaat untuk
banyak orang. Orang-orang semacam ini
menyukai “tantangan” apapun bentuknya, lalu berusaha untuk mengatasinya dengan
menerapkan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki dalam segala kehidupannya
Dalam sejarah bangsa–bangsa Eropa, kita banyak mengenal tokoh-tokoh
misalnya nama-nama besar para pengeliling dunia yang menemukan benua-benua baru
untuk menjalani hidup barunya, para penemu berbagai teknologi, dengan munculnya
revolusi industri dll. Masing-masing orang ingin menjadi nomor satu dalam sesuatu bidang adalah
sifat utama orang Barat dalam memajukan dirinya.
Di Indonesia, masih mengandalkan
‘Persatuan kelompok’ (kekerabatan tradisional) yang paling dominan
seperti terlihat pada sistem “gotong royong” bahwa, segala sesuatu kebutuhanya
dipenuhi melalui kerja sama kelompok kekerabatan, dan sistem seperti ini
disebut “solidaritas mekanis”
Jika ingin maju, maka setiap
individu dari kelompok, harus melepaskan ikatan komunitas yang bersifat
“solidaritas mekanis” menjadi “solidaritas organis” dimana masing-masing
individu sudah mulai melakukan kegiatan “berspesialisasi” dan”
berdifirensiasi”. Indonesia banyak
memiliki kaum intelektual, baik tamatan dalam negeri maupun luar negeri.
Juga banyak menghasilkan pimpinan-pimpinan nasional yang berasal dari kaum intelektual ini. Namun
tidak sedikit dari mereka yang pola pikirnya,
masih dipengaruhi oleh pola-pola tradisional, sehingga dalam
banyak keputusannya atau tindakannya tidak selalu menggambarkan
ketegasan yang obyektif, selalu abu-abu. Hal ini dijelaskan pada bagian
lainnya.Terdapat istilah di Jawa dimasa lalu : “Makan tidak makan, kita
kumpul”. Itulah contoh karakter “budaya pedalaman/ daratan/agraris” kita.
Budaya ‘pedalaman-agraris’ ini umumnya segala sesuatunya sangat bergantung pada inisiatip dan kemampuan orang yang ditokohkan
misalnya “raja”, tokoh adat, maupun tokoh agama. Rakyat akan menunggu, “Apa titah raja”, maka pihak rakyat akan melaksanakannya tanpa
pamrih. Malahan segala petuah tokohnya dipakai sebagai “pegangan hidupnya”. Ya…
pola ini mematikan kreatifitas
masyarakat yang diwariskan hingga kini. Walaupun banyak diantara mereka
memiliki inisiatif yang luar biasa, tetapi tidak berani mengemukakan, karena
takut “salah” atau nanti dianggap “menggurui “sang raja/tokohnya”, adalah
haram. Sedang karakter “budaya bahari”
atau budaya pantai lebih “dinamis” dan
menantang, mengajar kita berani menghadapi ganasnya arus dan gelombang laut,
antara mati dan hidup, tetapi berpeluang
untuk mengenal dunia luar dari dekat dan memberi kesempatan untuk meraih
berbagai keuntungan dan manfaat
daripadanya.
Budaya tradisional kita dalam sistem kekerabatan yang bersifat “solidaritas
“Mekanis”diakui sangat berpengaruh hingga kini, dimana tua-tua adat atau
kepala suku begitu berperan dalam kelompoknya, menyebabkan anggota-anggota
kekerabatan, tidak inovatif atau
kreatif, walaupun ada berpeluang untuk itu. Tindakan mereka akan dicap sebagai
“melawan adat”, adalah haram. Pola inipun dibawah ke-bidang Politik,
terutama dalam pemilihan Pimpinan Nasional dimana tidak pernah mencalonkan
“Generasi Muda” sebagai Capres atau
Wapres hingga dewasa ini, walaupun kaum muda sekarang ini tidak kalah
peranannya seperti kaum tua atau tokoh-tokoh tua di bidang politik.
Hal ini disebabkan oleh karena di Indonesia pengaruh budaya
tradisional yang bersifat Solidaritas
Mekanis tetap dipertahankan dan masih
dominan, dimana kaum tua masih berperan sebagai penentu dalam berbagai segi kehidupan
bermasyarakat termasuk di bidang politik,
adalah hak mereka. Dengan demikian tidak ada harapan bagi kaum
muda untuk berpeluang memegang jabatan tertinggi misalnya sebagai presiden
sekalipun. Oleh karena itu perlu ada Perubahan pola pikir kaum intelektual kita yakni dari pola pikir tradisional menmjadi
pola pikir modern yang lebih dinamis dan progresif dalam segala hal dimasyarakat. Padahal untuk menjadi lebih modern
diperlukan masyarakat yang memiliki sifat “solidaritas organis” yang
disyaratkan harus, “berspesialisasi” dan “berdiferensiasi” dalam segala
usaha dan lapangan pekerjaannya. Disini adat-istiadat sudah mulai longgar dan
individu telah memiliki kebebasan untuk memajukan dirinya sendiri.
“Kemiskinan” yang terjadi sekarang ini, oleh karena terlalu berpola pada
usaha-usaha yang diwariskan nenek moyangnya tanpa bervariasi. Jika ia seorang petani, maka yang diharapkan
adalah hasil taninya saja, tanpa memandang pada sektor lain, yang memberi
harapan tambahan. Sebagai petani tradisional, peralatannya pun sangat
sederhana, tanpa penerapan teknologi yang memadai, sehingga produksi dan
produktivitasnya pun belum maksimal.
Akibatnya jika terjadi “kegagalan panen” karena berbagai sebab,
maka akan “menyerah pada nasip”, dan
mungkin dianggap sebagai “takdir dan pasrah”. Untuk itu, maka marilah kita
padukan dua pola aktivitas dengan dua budaya yaitu
·
budaya daratan/pedalaman/agraris dan,
·
budaya bahari atau budaya pesisir
Artinya bukan saja, kita panen di darat, tetapi juga panen di laut lepas.
Istilah-istilah ini sebagai suatu “simbol”
yang berdimensi banyak, dapat diterjemahkan
lebih banyak lagi. Sejarah tentang, “budaya bahari” berubah menjadi, “budaya daratan/pedalaman/
agraris”, akan kami sajikan berikut ini,
dimana akibat historisnya berpengaruh hingga Indonesia memperoleh kemerdekaannya
dan dirasakan hingga sekarang.
Marilah kita terinspirasi oleh
cara-cara kerja bangsa-bangsa Barat.
Indonesia negara kaya-raya, tetapi ibarat :
·
Tikus mati diatas lumbung.
·
Kita kaya raya, tetapi mengapa kita
harus berhutang dan miskin.
Potensi laut, potensi perut buminya, potensi hutan, potensi hasil
perkebunan, hasil buminya, panorama alamnya, potensi sumber daya manusianya,
jumlah penduduknya dan sebagainya. Jika dikelola dengan sungguh-sungguh, maka
Indonesia tidak morat-marit seperti sekarang ini. Indonesia lebih suka meminjam keluar negeri,
ketimbang menggali dan memanfaatkan sumber daya alam yang kaya raya tak
terbatas, malahan yang mengambil keuntungan adalah pihak asing.
Setiap Tahun Anggaran selalu meminjam (HG=Harap Gampang) (berutang dengan
nilai dollarAS) tetapi ibarat “Pinjam Kambing, kembali Gajah”), oleh karena
kurs dollar AS saat pelunasan sudah berlipat kali ganda jika dibanding dengan
kurs saat peminjaman. Jadi sama dengan kita menyerahkan sebagian besar dari
kekayaan Indonesia kepada pihak asing, tanpa nalar rasional atau hanya bekerja
keras untuk kepentingan pemodal luar negeri yang hanya duduk manis di
kantor/negaranya.. (Kebodohan?). Seperti pengalaman sekarang ini,
bahwa berbagai potensi alam atau Sumber
Daya Alam kita lebih banyak diserahkan pengelolaannya atau malahan di jual
kepada orang asing atau dikuasai orang asing,(privatisasi) dan hal ini memberi
petunjuk, bahwa kita kurang percaya diri sendiri (PD=Percaya Diri) dalam mengelola potensi
kita sendiri. Akibatnya orang
asinglah yang lebih beruntung dari kita sendiri. Budaya pinjaman luar negeri ini kapan baru
berakhir? Apakah menunggu sampai kucing keluar tanduk?
Semua ini akibat dari :
·
“Budaya SU” (Salah Urus), dan
·
“Budaya HG” (Harap Gampang),
·
“KKN” (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme).
Dengan memanfaatkan jabatan dan kekuasaan yang ada dapat menyebabkan
seseorang menjadi orang kaya-raya mendadak, dengan cara “KKN” (Koropsi, Kolusi
dan Nipotisme), dan bukan karena hasil
usaha dan prestasi atau, bekerja keras seperti digambarkan di atas.
Kita ibarat sekarang ini saling “berebut tulang”, sedang “orang luar” yang
mengambil “dagingnya”. (Karena kebodohan)?
Mengapa Indonesia tidak begitu cepat berkembang jika dibandingkan dengan
negara-negara tetangga kita. Salah satu faktor utamanya adalah kurang berminat
atau peduli dengan sejarah bangsa sendiri maupun bangsa-bangsa lainnya, tentang
perkembangan suatu masyarakat dan pembangunan yang dihadapinya.
Seperti kata Presiden Soekarno “Jangan Lupa Sejarah.” Dengan berbekal berbagai sejarah, kita dapat
mengevaluasinya dan berusaha menemukan jalan yang lebih baik (Sinergi) untuk suatu kemajuan. Tentang
sejarah dan perjuangan raja-raja zaman Hindu dalam mempersatuakan wilayah Nusantara maupun
“keruntuhannya” oleh kekuasaan penjajahan Kolonial Belanda, terutama raja-raja
di “Jawa” akan diuraikan sejarahnya secara singkat sebagai berikut.
Penulis : Des.Simon
Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.