Perantau Asal pulau Rote
Ogah Pulang Kampung
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian
Jacob
Pengantar
Para perantau asal Pulau Rote saat ini umumnya sbb :
Ø Tidak mengenal lagi keluarganya
maupun silsilah kekerabatannya yang berada di pulau Rote.
Ø Tidak mengenal lagi dimana bekas rumah dan bekas kuburan kakeknya atau leluhurnya
Ø Tidak mengenal lagi dimana letak dan
luas tanah warisan leluhurnya di kampungnya.
Ø Rumah orang tuanya tanpa penghuni lagi karena semuanya pergi merantau, dan
ketika orang tuanya semuanya mati, biasanya dibiarkan kosong, dan lama kelamaan
runtuh dan tanpa bekas lagi
Ø Para perantau umumnya tidak pernah membangun rumahnya sendiri dikampung
halamannya, sehingga tidak memiliki daya tariknya untuk sesekali pergi
berlibur.
Ø Tidak pernah berivestasi dalam bentuk apapun di kampungnya.
Ø Ketika telah memiliki keturunan di
rantau, tidak pernah berlibur dengan anak cucunya untuk menjenguk keluarganya
di Rote
Ø Para perantau, lebih mementingkan perhitungan ekonomisnya lebih daripada
sifat kekeluargaannya di Rote, dimana
pertimbangannya daripada membuang biaya yang dipakai berlibur ke Rote, lebih baik untuk keperluan
keluarga seperti sekolah dan kebutuhan hidup lainnya.
Ø Karena lama merantau rasa rindu dan kangen kampung sudah pudar.
Ø Para perantau juga tidak pernah lagi berkomunikasi dengan kekerabatannya
dan keluarganya di kampung, sehingga dapat dikatakan putus hubungan keluarga
secara fisik.
Ø Yang paling parah, para perantau sendiri
tidak tahu dimana letak Pulau Rote itu.
Ø Tanah sawah dan kebunnya, ketika merantau diserahkan digarap oleh
keluarganya atau oleh penyakapnya, ketika dia mati, tanah-tanah tersebut secara langsung atau
tidak langsung menjadi milik penyakapnya. Dengan demikian hilang haknya atas
tanah-tanah tersebut.
Ø Tanah-tanah warisan yang ditinggalkan, yang diawasi oleh keluarganya, saat
ini mereka telah menjualnya, baik sebagian atau seluruhnya karena kebutuhan
hidup, kepihak lain (pihak pendatang) yang terkadang semula hanya sebagai gadai, tetapi karena tidak bisa ditebus maka akhirnya jatuh kepada
pelepas uang, tanpa hak dan tanpa
persertujuan pewaris di rantau.
Ø Para perantau umumnya pola berpikirnya
bahwa dia sudah tidak cocok lagi
berdomisili di Rote, oleh karena dianggap sebagai kampung yang tidak
cocok dengan karier dan jabatannya lagi.
Ø Walaupun mereka tinggal di Kupang (Timor) yang begitu dekat di Rote hanya 4 jam pelayaran dengan Fery dan 1,5 jam dengan fery cepat, tetapi
banyak diantara mereka belum pernah menginjakkan
kakinya di negeri leluhurnya, apalgi mereka yang di Jawa atau di Indonesia
Bagian Barat lebih tidak mustahil lagi.
Ø Selama ini tidak terdapat suatu motifasi tertentu baik dari pihak keluarganya sendiri maupun
dari Pemerintah Kabupaten Rote Ndao, ataupun organisias keluarga Rote di rantau
untuk memberi semangat kepada warga rantau untuk sesekali pulang kampung di
Rote.
Ø Namun ada seorang Rote Drs.ECW
Nellooe, pernah pulang Rote saat menyerahkan sumbangan seperangkat komputer
untuk SMU Negeri di Ba’a Rote. Dia menghimbau kepada para perantau asal Rote,
untuk pulang kampung dan mengatakan “MAI FALI
YEEE, (Mari kita pulangeee) MAMA HALA ITA FALI YEE (Mama panggil kita
pulangeee); BOLELEBO ITA NUSA LE MALOLE (Bolelebo, Negeri/Pulau Rote Kita Lebih
Baik).”
Ø Nelloe
mengatakan orang Rote yang merantau
lebih banyak dari yang tinggal di Rote, banyak diantara mereka sudah sukses,
dan menghimbau untuk Ikut membangun Rote.
Ø To’o
& Te’o, mari kita buka
dompet ramai-ramai untuk membangun Rote tercinta. Kalau bukan kita, siapa lagi
dan kalau bukan sekarang kapan lagi. “SEMOGA”
Sekilas Penjelasan
dan Gambaran Perantau Asal Pulau Rote sbb :
Gerson Poyk &
perantau lainnya :
Mereka adalah contoh dari sekian ratus ribu perantau asal
pulau Rote (Roti) Nusa Tenggara Timur, yang telah sukses ditanah orang, tetapi
tidak pernah pulang menengok keluarga dan kampung kelahirannya di pulau Rote,
Nusa Tenggara Timur.
Jangankan pulang,
berkirim surat dengan keluarga di kampung pun tidak pernah dilakukannya,
apalagi mengirim sesuatu sebagai tanda ingat dan kasih-sayang.
Dapat dikatakan, nyaris
para perantau itu, tak pernah berkomunikasi dengan pihak keluarganya di kampung
kelahirannya. Sehingga terkesan seolah-olah jika seseorang asal pulau Rote
telah melangkahkan kakinya meninggalkan tanah leluhur mereka (pulau Rote),
kedaerah seberang dimana saja, entah untuk mencari ilmu, bekerja mencari nafkah
atau tujuan lainnya, maka kepergiannya
itu berati :
“Pergi dan tidak untuk kembali lagi ke-Pulau
Rote”.
Ini Kenyataannya demikian.
Berbagai alasan yang sering dikemukakan para perantau
Rote : adalah antara lain :
a.
Alasan ekonomis; biaya pejalanan berlibur ke-kampung sangat besar
apalagi bermukim di luar NTT seperti di Bali, Jawa dan di Indonesia Bagian
Barat lainnya. Biaya sebesar itu dianggap
lebih berguna jika dipakai untuk biaya anak sekolah, keperluan hidup rumah
tangga, menabung sebagai uang jaga-jaga jika terjadi sesuatu terhadap keluarga
mereka.
b.
“Ketidak tahuan”. Karena telah lama merantau, melahirkan keturunannya di
daerah rantau, ketika orang tuanya sudah
tiada, maka generasi berikutnya tidak lagi mengenal kampung asalnya, apalagi
kepada sanak keluarga orang tuannya di kampung mereka di Rote.
c.
Terkadang lebih parah lagi, Nama dan letak pulau Rote
sendiri tidak diketahuinya.
d.
“Ikatan Batinnya
Kurang”. Walaupun ia masih mengenal keluarganya di Rote, namun karena
jarang pulang, ikatan batinnya makin lama makin jauh sehingga niat liburnya ke
kampunya dirasa tidak begitu penting lagi (merasa asing di kampung sendiri).
e.
“Harta Warisan”.
Masalah harta peninggalan/warisan orang tua ;
biasanya menjadi masalah yang sangat pelik dan kebanyakan menjadi
penyebab permusuhan dengan keluarga yang mengurusnya yang tinggal di kampung (di Rote).
f.
Walaupun ada kerinduan untuk menengok kampungnya di Rote,
namun tidak memiliki dana/ongkos.
g.
Mereka yang tinggal di kampung, merasa selama ini
harta-harta tersebut dipelihara dan diawasinya dengan bersusah payah, tetapi
dipihak lain para pewaris yang tinggal dirantau tidak pernah memperhatikan
kebutuhan mereka, maupun dalam hal berkomunikasi, dan tiba-tiba muncul ke Rote,
lalu menuntut hak warisnya dengan kurang
bijaksana (terkadang memicu keributan antar mereka). Jika tidak bijaksana dari
pewaris perantau tadi, apalagi dengan cara-cara kekerasan ataupun sampai
menyinggung perasaan keluarganya yang di kampung, maka tidak segan-segan mereka
bertindak dengan kekerasan dan bisa jatuh korban diantara keduannya.
h.
“Tanpa Keluarga dan Tanpa rumah”. Keluarga dan rumah di
kampungnya (Rote) juga sudah tidak ada lagi. Biasanya ada keluarga-keluarga
yang lebih dahulu merantau dan sudah jadi. Lalu anak-anak dari pihak keluarga
lainnya di kampung menyusul dan tinggal bersama mereka dan biasanya ikut
membiayai sekolahnya hingga tamat, bekerja dan berkeluarga. Di kampung, hanya
tinggal orang-orang usia tua semuanya dan pada suatu ketika tentu akan meninggal
dunia semuanya. Kini rumah orang tua mereka tanpa penghuni setelah ditinggal
mati, karena para pewaris semuanya merantau dan memperoleh pekerjaan yang
menjamin hidupnya lebih layak, maka tidak mungkin ia akan kembali ke-kampung.
Akhirnya mereka menitipkan rumah dan harta orang tuanya kepada tetangga, sekedar mengawasinya saja.
Karena rumah tidak pernah dihuni dan tertutup terus, maka lama kelamaan ramuan
rumah itu menjadi lapuk dan akhirnya roboh dengan sendirinya dan sekarang tinggal
puing-puing berserakan. Karena lama pihak perantau tidak juga menengok bekas
rumahnya, juga harta peninggalannya, maka yang terjadi adalah harta-harta
mereka diambil orang atau yang bertetangga. Yang paling memprihatinkan adalah
bahwa hampir para perantau yang telah
succes di tanah rantau, tidak pernah membangun rumahnya di kampung halanannya
di Rote, apalagi merehap rumah orang tuanya. Oleh karena itu para perantau ini
enggan berlibur ke kampungnya karena
disana rumah-rumah orang tuanmya kebanyakan rumah tradisional sehingga kurang memperhatikan sanitasi, sehingga para
perantau merasa tidak cocok lagi untuk ditempati saat berlibur. Hal ini
sebenarnya kesalahan para perantau tersebut yang tidak peduli lagi dengan
keluarganya di kampung. Yang lebih parah
lagi para pejabat di Kabupaten Rote Ndao di Ba’a, yang semula mendapat tugas mutasi dari Kupang, lebih banyak kontrak rumah di Ba’a,
dan hampir semuanya tidak pernah membangun rumahnya sendiri di Rote. Mereka
umumnya setelah pensiun tetap tinggal di
Kupang, bukan pulang ke Rote.
i.
Masalah batas tanah pekarangan, kebon, sawah dan
ladangnya, saat orang tua mereka sama-sama masih hidup, biasanya diberi tanda
batas dengan pohon-pohon hidup tertentu, atau setumpuk onggokan batu, atau
hanya berupa pagar-pagar kayu yang tidak dapat bertahan lama. Karena dengan
berjalannya waktu, pada suatu ketika pohon-pohon pembatas itu mati, atau
tumpukan batu-batas tadi diambil orang untuk dijual kepada proyek-proyek
pembangunan dewasa ini, atau pun pagar-pagar darurat kini telah roboh dan di jadikan
kayu api, tanpa menggantinya lagi dengan pagar atau pembatas baru. Kini lahan
pekarangan, ladang dan sawah, menjadi lahan tanpa pembatas lagi, sehingga
seluruh lokasi disekitar itu sekarang nampak menjadi satu.Tidak mengetahui lagi
batas kepemilikan secara nyata dan akurat antara seseorang dengan orang/pihak
lain disebelah-menyebelahnya lagi.. Hal
ini menjadi masalah besar karena
pemilik lahan tidak tahu pasti lagi dimana lokasi tanahnya.
j.
Dikampungnya sendiri, tiada ada tanah tempat berpijak.. Karena keturunan pewaris tidak ditempat atau jauh di rantau maka ketika
ia sesekali pulang kampung, ia sendiri bingung dimana letak batas tanah haknya
sebenarnya dari harta peninggalan neneknya dan berapa luasnya. Dan siapa yang
mengawsasinya semuanya tidak diketahuinya lagi. Mereka yang dari dulu tinggal
dikampung mengambil kesempatan untuk memperluas tanahnya dengan mengambil tanah
bekas milik tetangganya. Karena kini telah hilang bekas tanda-tanda batas
tanahnya, maka ia sendiri tidak berani menunjuk dimana sebenarnya letak tanah hak warisnya karena takut terjadi
sesuatu pertikaian yang membawa resiko permusuhan yang dapat membawa korban
jiwa. Inilah awal hilangnya hak waris oleh si perantau itu. Perlu di ketahui bahwa
Di Pulau Rote, pada umumnya belum pernah di lakukan pengukuran atas tanah untuk
pembuatan Sertifikat. Jadi pemilikan
hanya berdasarkan hukum adat dan kepercayaan saja dan tanpa selembar surat
sebagai bukti hak. Ini merupakan persoalan yang paling berat bagi para perantau
asal Pulau Rote. Seandai kata para perantau juga tetap menuntut haknya atas
tanah-tanah peninggalan neneknya dengan para tetangganya saat ini, tentu
memerlukan waktu yang tidak pendek, memerlukan biaya yang besar untuk mengurus
kesana-kemari dengan para tetangga, Kepala Desa, Kecamatan, dan berbagai pihak
terkait. Waktu yang diperlukan untuk penyelesaian ini tidak kurang dari tiga sampai enam bulan lamanya. Dipihak lain ia terikat oleh tugas dan
pekerjaannya didaerah rantaunya, tidak memungkinkan ia berlama-lama di pulau
Rote untuk pengurusan harta peninggalannya berbulan-bulan lamanya. Justru
disinilah kendala utamanya, maka hingga kini dapat dikatakan tidak seorang
perantau asal Pulau Rote pun yang pulang kampung hanya untuk mengurus harta
pusakanya. Dengan adanya kesulitan ini maka kini para perantau bersikap sebagai
berikut :
v Menyerahkan seluruh harta pusakannya kepada keluarga terdekat yang tinggal di kampung untuk mengawasinya. Hal
ini jika batas-batas tanah, dan lokasinya masih diketahui dengan pasti. Bila
tanah-tanah tersebut menghasilkan, maka biasanya direlakan untuk dinikmati
oleh keluarga yang mengawasi harta-harta
tersebut. Sedang bila ada Pajak PBB nya biasanya dibebankan kepada yang
menikmati hasil kebun tersebut di Rote.
v Karena telah lama merantau beberapa generasi sebelumnya, menyebabkan tidak
diketahuinya lagi harta pusaka nenek moyangnya. Oleh karena itu, golongan ini
tidak memperdulikan lagi segala urusan menyangkut harta pusaka yang menjadi
haknya karena tidak diketahui seecara pasti. Mereka beranggapan tidak
memiliki hak apa pun lagi di Pulau Rote,
sehingga tidak ada sesuatu yang perlu diurus.
v Ada golongan perantau lain yang
karena sudah sukses di tempat rantau dan tidak mungkin kembali ke kampungnya
lagi, maka ia rela melepaskan haknya atas harta-pusakanya kepada
keluarga-keluarganya yang tinggal di kampung, walaupun pelepasan itu tanpa
didukung dengan alat bukti hukum apa pun.
v Ada golongan perantau lainnya, yang terdiri dari beberapa keluarga yang
masih sedarah, seketurunan dan sekekerabatan, ingin pergi kekampung untuk
mendokumentasikan hak-hak atas tanah mereka, namun karena terbentur waktu dan
biaya, maka niatnya tidak pernah terlaksana, dan pada akhirnya persoalannya
dibiarkan menggantung begitu saja.
v Bagi mereka yang memiliki banyak bidang tanah baik berupa ladang atau
sawah, maka lahan-lahan ini biasanya
dibiarkan diurus oleh para penyakap/penggarap yang sejak dulu dipercayakannya.
Resikonya ketika mereka, para pewaris di rantau pada suatu saat meninggal semuanya,
maka sudah pasti menjadi milik para ex penggarapnya, jika dikemudian hari tidak
ada tuntutan hukum dari pihak pewaris.
v Ada golongan perantau lain, kini
berbondong-bondung pulang kampung dengan terbentuknya Kabupaten Rote-Ndao,
(2002) dimana memberi peluang untuk berkembang, baik dibidang sosial ekonomi,
juga dalam bidang-bidang lainnya yang
memberi prospek yang lebih baik dimasa depan. Sarana transportasi dan
komunikasi semakin lancar yang menyebabkan lalu-lintas dan mutasi barang dan
manusia juga lancar. Dengan terbentuknya Kabupaten Rote Ndao, yang memungkinkan
semakin pesatnya pembangunan, memberi peluang untuk meningkatkan produktivitas
lahan pertanian, karena memiliki peluang pasar yang menjanjikan, sehingga
mendorong para perantau pulang kampung untuk kembali mengurus tanah-tanah hak
milik mereka dan berpeluang membuka
usaha disana.
Perantau-perantau yang demikian itu pada akhirnya disebut
“Perantau
Bermerek/Berlabel Rote”, tetapi tidak memiliki tanah air, di kampung
halamannya sendiri”.
Mungkin ia berpikir, buat apa aku ke Rote karena :
a.
Di sana (Rote) tanpa keluarga dan tanpa tanah untuk
berpijak.
b.
Orang Rote layaknya seperti bangsa Yahudi, perantau di
berbagai benua; ketika timbul kerinduannya kembali ke tanah perjanjian, tanah
nenek moyangnya, ternyata telah diduduki bangsa-bangsa lain. Akibatnya ia
merebut kembali tanah nenek moyangnya dengan darah dan air mata lewat perang yang
tidak pernah berakhir.
c.
Gejala-gejala serupa ini, sudah mulai nampak bagi para perantau asal pulau Rote.
d.
Tanah-tanah yang memiliki nilai ekonomis tinggi mulai
beralih ketangan-tangan non pribumi yang
juga sekaligus telah menguasai lapangan
ekonomi disana.
e.
Dikhawatirkan tanah-tanah suku yang berstatus miliki
banyak pewarisnya (pemilikan kolektif) itu yang di jual dengan harga murah di
bawah tangan tanpa persetujuan pewaris lainnya (yang dirantau) ke pihak luar, kelak akan menjadi masalah besar karena banyak
diantaranya adalah tanah waris yang pewarisnya berada di rantau.
f.
Pengalihan tanah-tanah ke pihak luar oleh keluarga yang
tinggal di Rote, karena kebutuhan hidupnya. Terkadang, berawal dilakukan dengan
sistem gadai saja, tetapi karena
tidak dapat ditebus maka akhirnya menjadi milik pelepas uang. Cara demikian
selalu terjadi.
g.
Kelak dimasa mendatang, masalah tanah di Rote akan merupakan kasus yang
sangat rawan, yaitu muncul
setelah terbentuknya Kabupaten Rote-Ndao (UU.No.9 Tahun 2002, tertanggal 10
April 2002).
h.
Mencegah hal-hal tersebut diatas maka sebaiknya para
pewaris perantau pulang menengok kampungnya dan sekaligus amankan harta
warisnya dengan arif dan bijaksana bersama keluarga yang menunggunya, sebelum timbul kasus seperti yang disebutkan
diatas dan sebelum terlambat.
i.
“ Kampung ke
duanya”. Merasa diri orang kota di daerah rantau, kalau kembali ke kampung
(Rote) rasanya tidak pas lagi. Ia telah menemukan kampungnya yang ke dua
dirantau karena itu segala daya dan upaya dikerahkan untuk memampukan dirinya
semaksimal mungkin dalam segala hal, untuk hidup layak disana dan tidak
mengandalkan apapun miliknya di kampungnya atau di Rote lagi.
“Karena Profesi”. Ada sebagian besar perantau yang masih cinta
dengan kampung halamannya dan masih membayangkan lingkungan alamnya, teman
sekolah sepermainan, suka-dukanya, kemesraan bersama keluarga, kenangan manis
maupun pahit semasa kecil dulu dan sebagainya. Namun karena kedudukannya, pekerjaannya,
profesinya, tidak mungkin ditinggalkan
lalu pulang kampung.
“Motifasi”.
Pulau
Rote adalah pulau yang tidak dapat menjanjikan kekayaan,
kepangkatan/jabatan,
kepandaian, kepada penduduknya. Semuanya itu hanya diperoleh di luar pulau
Rote. Maka berbondong-bondong warganya
merantau kenegeri orang dan akhirnya apa yang diharapkan menjadi
kenyataan. Di pulau Timor misalnya hampir di sepanjang pantai pulau Timor
sampai wilayah Timor-Timur dihuni oleh orang Rote. Mereka memiliki tanah
pertanian sawah dan ladang yang luas, banyak memiliki hewan ternak dan hidup dengan berkecukupan. Banyak
diantara turun-temurunnya yang tidak pernah menginjakkan kakinya di pulau Rote,
meski hanya dalam 4 jam pelayaran
dengan kapal Feri dari Bolok, Kupang---Rote. Maka benar apa yang disinyalir
oleh Drs.E.C.W.Neloe, Direktur Utama Bank Mandiri saat
meresmikan Gedung Laboratorium Komputer, Perpustakaan, Sekolah Menengah Umum
(SMUU I) yang disumbangnya di Ba’a,
ibu kota Kabupaten Rote-Ndao mengatakan, keberadaan
orang Rote yang merantau lebih banyak dari orang Rote yang tinggal di Rote. Dan
katanya banyak dari mereka sudah sukses.
MAI FALIYEEE = MARI PULANGEEE
Rupanya salah satu
perantau Rote yang leluhurnya berasal
dari Kerajaan Korbafo Kecamatan Pantai Baru pulau Rote yang sangat sukses dalam
kariernya baik di tingkat Nasional maupun Internasional. Ia adalah Drs.E.C.W.Neloe, Direktur Utama Bank Mandiri, sebagai
pelopor / merintis jalan pergi melihat
pulaunya yang kini telah ditingkatkan statusnya menjadi Kabubupaten Rote-Ndao
(UU.no.9 Tahun 2002, tertanggal l0 April 2002). Neloe ke Rote
guna meresmikan Gedung Laboratorium Komputer, Perpustakaan, Sekolah Menengah
Umum Negeri (SMUN) I di Kecamatan Lobalain (Ba’a) Kabupaten Rote-Ndao merupakan
sumbangan pribadinya. Dalam kata
sambutannya saat peresmian itu ia menyatakan, “ Saat ini keberadaan orang Rote
yang ada di luar pulau Rote jauh lebih banyak ketimbang orang Rote yang ada di
pulau Rote sendiri.” Kalau saya tak salah, kata Neloe, “Orang
Rote yang di luar sangat banyak, dan kebanyakan mereka sudah sukses”. Jadi untuk membangun Rote, kita harus “pulang” “( Rote =Mai Fali) = Mari Pulang.” Jangan
diartikan pulang secara fisik. Tetapi juga pulang secara “Non Fisik.” Mereka
pasti mau, karena mereka juga mencintai Rote; mereka mau membangun Rote.
Harapan yang sama juga disampaikan oleh masyarakat Rote sendiri. Mereka minta
agar orang Rote yang kini sukses di negeri orang lain agar mengikuti jejak Neloe,
memberi perhatian yang besar demi pembangunan Kabupaten Rote-Ndao. “Jika bukan anda, siapa lagi dan bukan
sekarang kapan lagi.” “Mari Kita Buka Dompet Rame-Rame” untuk membangan kampung
sendiri. Perlu
diketahui di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, terdapat perkumpulan “Keluarga Besar Rote,”
Kegiatan mereka biasanya mengadakan arisan keliling antar keluarga sebulan
sekali. Kegiatan lainnya seperti
kehadirannya saat ada kematian, perkawinan, Natalan bersama, ataupun
pesta-pesta keluarga “Hari Ulang Tahun”
dan lain-lain. Peluang kumpul-kumpul seperti ini, dapat dimanfaatkan untuk mengumpulkan sumbangan bagi pembangunan di Rote.
Kemiskinan.
Tentang penyebab Kemiskinan di Desa Tertinggal adalah, tentang jumlah dan jenis
peralatan pertanian yang dimiliki petani.
Jika dapat diusahakan
sumbangan ke Rote bukan berbentuk dana atau uang tetapi fisik barang/benda yang
benar-benar dibutuhkan untuk meningkatkan hasil pertanian tanaman pangannya,
pembangunan bendungan air untuk persawahan, berbagai bibit-bibit unggul (padi,
kacang-kacangan, holtukultura), perbaikan sumber-sumber mata air, penghijauan,
pembuatan waduk-waduk penampung air hujan (danau buatan) di kaki-kaki
bukit/gunung. Pembangunan infrastrutur/fasilitas pelayanan, membuka jalan-jalan
baru ke desa terisolir, pembangunan balai-balai pertemuan desa, membentuk
lembaga-lembaga kesenian dengan pemberian alar-alat perangkat musik gong,
Sasando, alat-alat tenun ikat, penanaman tanaman yang mendukung bahan untuk
pewarna tenunan. Dan berlumba-lumba tiap-tiap nusak (ex kerajaan) membangun
sarana pariwisata maupun atraksi budaya untuk menarik wisatawan berkunmjung ke
daerahnya.
Perlu dibentuk sebuah Yayasan Pembangunan Peduli Kabupaten
Rote-Ndao, yang mengkoordinir dalam pengumpulan maupun mendistribusikan
sumbangan-sumbangan guna proyek-proyek Swadaya Masyarakat. Pengurus adalah Tokoh yang berwibawa, jujur,
banyak memiliki sumber-sumber dana dari donatur baik dari dalam maupun dari
Luar Negeri. Yayasan ini memiliki kantor pelaksana penyaluran dana di Rote yang
dapat menyusun berbagai rencana pembangunan dengan bekerja sama dengan Bupati
dan berbagai instansi terkait hingga ke tingkat Kecamatan. Orang yang duduk di
sini pun adalah orang yang jujur, berpengalaman, memiliki hubungan luas, giat
bekerja.
Mereka bisa dari Purna
Bakti baik sipil maupun militer yang berpengalaman luas. Hidup mereka sudah
mapan sehingga tidak bergantung pada dana yang dikelolanya selain hanya sebagai biaya operasi. Bisa juga mereka yang
ada di Rote, di Kupang maupun dari Luar NTT lainnya yang dipandang memiliki
kemampuan dan tidak KKN. Lembaga
Peduli Rote-Ndao ini, harus berbentuk Yayasan yang
disyahkan oleh Notaris sehingga memiliki kekuatan hukum dan memiliki
tanggungjawab yang pasti.
Kalau banyak diantara
tokoh-tokoh asal Rote berjuang untuk Kemerdekaan RI, maka saat ini diperlukan
Tokoh-tokoh yang siap membangun kampung halamannya Kabupaten Rote-Ndao. Kami
usulkan pelopor pengumpulan dana adalah Bapak
Drs.E.C.W.Neloe maupun
tokoh-tokoh lainnya di tingkat pusat Jakarta. Melalui beliau-beliau ini
diharapkan dapat menarik simpatisan-simpatisan donatur baik dari warga Rote
Perantauan maupun pihak lainnya. Guna
mengejar ketertinggalan Rote dalam bidang sarana pembangunan maka target Rp.500 Milyar adalah memadai. Di
pantai Nemberala
sebagai pantai berselancar tingkat dunia melebihi pantai-pantai di Bali, dimasa depan memiliki prospek
yang sangat cerah sebagai salah satu obyek pariwisata, maka perlu di bangun Hotel berbintang disana. Hanya
dengan bekerja keras dan penuh kesadaran target tersebut pasti terlewati. Motto:
“ Jika bukan Anda, Siapa lagi, dan bukan sekarang kapan lagi.” “Mai Faliyeee = Mari Pulangeee”; “ To’o (Paman) – Te’o (Bibi) !!! Mari Kotong Buka Dompet Rame-Rame.”
Catatan : Fenomena-gejala-gejala
nasip perantau yang disebutkan diatas, bukan saja dialamai oleh orang suku Rote
(Roti) saja, tetapi juga oleh hampir semua perantau dari suku-suku lainnya di
Indonesia. Mereka menghadapi masalah
yang sama, tentang kesulitan pulang kampung, harta warisan, keluarga, juga
dialami oleh mereka. Ini merupakan suatu Masalah
Nasional perlu dibicarakan di forum-forum bergengsi oleh berbagai pakar,
ilmuan, Lembaga Perguruan Tinggi dan
para akademis lainnya. “SEMOGA” Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.