alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Jumat, 02 Januari 2015

SEKILAS MENGENAL BUDAYA LONTAR & HUBUNGAN BELANDA DENGAN ORANG ROTE DAN ORANG SABU

SEKILAS  MENGENAL  BUDAYA  LONTAR,
PULAU ROTE & PULAU SABU DI NTT
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Budaya Lontar

Propinnsi Nusa Tenggara Timur memiliki 15 Kabupaten dan 1 Kota, sangat kaya akan seni-budayanya yang unik dan menarik untuk diketahui, namun pada bagian ini kami hanya menyajikan sedikit informasi tentang  “dua buah pulau kecil” dibusur luar yang memiliki “sumber kehidupan” yang sangat berbeda, “unik dan spesifik”,  jika dibandingkan dengan pulau-pulau lain di Nusa Tenggara Timur bahkan di seluruh Indonesia, yaitu masyarakatnya dikenal dengan julukan:
1.      “No Eating People” atau,
2.       Live No Eating”,
 yang hidupnya sangat bergantung pada Pohon Lontar (Palm tree).
Mengenai hal ini kita dapat ikuti karya seorang Belanda yaitu G.E.Rumphius (1741) yang dikutip oleh James J.Fox dalam bukunya “Panen Lontar” (1996 :111) sebagai berikut :
Ø  Bukti-bukti dari abad 17 (ketujuh belas) dan 18 (delapan belas) mengenai “perekonomian lontar” di pulau-pulau Rote dan Sabu ini sudah jelas dan tidak dapat disangkal.
Ø  Sebuah laporan dari abat ke-18 yang menguraikan tentang penggunaan lontar di Pulau Sabu, merupakan uraian paling terperinci yang pernah ditulis mengenai cara produksi ini.
Ø  Laporan dari tahun 1660, telah melukiskan bahwa “Pulau Rote” penuh dengan “sejumlah besar pohon-pohon sadapan” (groote quantiteijt tijfferboomen)  dan ternyata, keterangan yang paling awal mengenai pohon lontar itu, menyebut “Rote” sebagai satu pulau di wilayah Hindia Belanda yang penduduknya sudah menggunakan “nira”  dan “sirup lontar sebagai makanan sehari-hari”.
Jilid pertama dari karya utama G.E.Rumphius, Het Amboinsche Kruyboek, yang ditulis menjelang akhir abat ke-17 (tetapi baru diterbitkan pada tahun 1741), memberikan ikhtisar yang tepat mengenai “penggunaan lontar di Pulau Rote”.

Waupun Timor juga disebut, tetapi dari keseluruhannya jelas, bahwa yang dimaksud Rumphius terutama  “Rote”. Salah satu bagian dari uraian klasik yang diterjemahkan dari Bahasa Belanda kuno, dikutip sebagai berikut : Penduduk Java, Bali, Timor dan Rotthe menggunakan Sura (nira lontar) yang disadap, lebih banyak untuk gula daripada minuman, pertama-tama dimasak menjadi sirup (disebut Gula) yang kemudian dibiarkan kering di dalam bakul-bakul dan piring kecil.  Tetapi di Timor dan Rotthe, lebih banyak dipakai sebagai “minuman” (disebut tua) dan disana kehidupan mereka sangat tergantung pada “minuman” itu, Mengatakan bahwa “minuman” itu merupakan “minuman dan makanan”; untuk kebutuhan sehari-hari, mereka mencampurnya dengan air, dan menjadi “sehat dan gemuk” dari minuman itu; mereka menyimpannya di dalam tempat-tempat yang dibuat dari daun Sariboe (lontar) digantung di rumah-rumah mereka, dan siapa saja yang datang, boleh minum dan menghilangkan dahaga, bahkan sebelum menegur siapa pun, ini adalah sopan-santun dan adat di negeri itu. (Rumphius 1741; Jilid 1, bk.8, bab 9, hal.51).

Ø  Sejak pertengahan abad ke-17, ‘Rote’ sudah mempunyai reputasi yang membangkitkan minat Batavus Drystubble.
Ø   Meskipun penduduk Sawu lebih tergantung pada lontar, tetapi  dalam kepustakaan tidak pernah terkenal seperti Rote.
Ø  Bagi “Kompeni Belanda” dan pemerintah penjajahan Belanda yang harus berurusan  dengan penduduk kedua pulau itu, “pohon lontar” merupakan “lambang dari perekonomian” mereka.
Ø  Sebagai lambang dari cara kehidupan baik penduduk Rote maupun Sawu, pohon lontar telah berhasil mengalabui perbedaan yang besar di antara kedua penduduk itu.
(James J.Fox, Panen Lontar, SH Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal.129 – dan 153)

 LATAR BELAKANG SOSIAL HUBUNGAN ANTARA
PENDUDUK ROTI DAN SAWU  DENGAN BELANDA

Apabila membandingkan penduduk Rote dan Sawu dalam hubungannya dengan kekuasaan “Eropa”, pertama-tama akan tampak beberapa perbedaan sosial di antara penduduk kedua pulau itu.
Menurut buku  James J.Fox -1996 : 112, Sebagian perbedaan ini adalah akibat dari pada hubungan antara pulau-pulau ini dengan Persatuan Dagang Hindia  Belanda (VOC) pada masa lampau. Akan tetapi kebanyakan juga disebabkan oleh faktor lain. Baik penduduk pulau Rote maupun Sawu telah mengalami proses penyesuaian ‘ekologi’ yang ‘sangat mencolok’, dalam arti bahwa keadaan ‘ekonomi’ dari kedua pulau itu merupakan varian dari suatu bentuk yang sama.
Namun, pada dasarnya penduduk Rote dan Sawu sangat berbeda, dalam :
Ø  bahasa dan,
Ø  kebudayaan,
Ø  dalam organisasi sosial,
Ø  alam pranata politik, dan
Ø  dalam praktek keagamaan,
penduduk kedua pulau ini masih sangat berbeda. Dari ‘perbedaan’ tersebut, satu-satunya perbedaan yang dianggap sebagai latar belakang bagi suatu pembahasan adalah faktor “lokasi yang strategis”.
Pulau Rote terletak di seberang ujung sebelah Barat Pulau Timor dan jelas terlihat dari daerah pantai Timor. Sedangkan Pulau Sawu terletak beberapa ratus kilometer dari Timor di tengah-tengah lautan yang sampai dewasa ini  masih dianggap sangat berbahaya bagi pelayaran,  terutama pada musim angin barat. Karena letaknya, pada abad ke-17, Pulau Rote dengan sendirinya terlibat dalam perebutan daerah Timor, dan, beberapa daerah di Pulau Rote menjadi sasaran penyerbuan pada awal hubungan dengan Belanda.  Oleh karena letak yang terpencil, bagi kekuatan-kekuatan luar yang saling bertentangan itu,  Sawu adalah tempat yang tidak strategis bagi Belanda. Oleh karena itu Pulau Sawu aman, karena dianggap sebagai pulau kecil yang tidak berharga.
Baik Sawu maupun Rote tidak mempunyai hasil-hasil yang penting untuk perdagangan dan bagi Persekutuan Dagang Hindia Belanda, kedua pulau itu hanya merupakan “tenaga kerja dan persediaan pangan”.
Ø  Pulau-pulau tersebut relatif kecil,
Ø  Hutannya pun sudah ditebang dan,
Ø  Padat penduduknya.
Berbeda dengan Timor, pulau tersebut (Rote) tidak mempunyai daerah pedalaman yang dapat digunakan sebagai tempat perlindungan bagi penduduk yang merasa terancam.
Kedua pulau itu sangat terbuka ke arah laut dan sulit mempertahankan diri dari serangan luar. Meskipun demikian menurut sejarah, dari pertengahan abat ke -17 sampai pertengahan abat ke-18, penduduk Rote pernah mencoba (walupun tidak berhasil) mengadakan perlawanan terhadap campur tangan Belanda . Di Pulau Sawu, campur tangan Belanda tidak berarti, sehingga niat untuk berontak tidak ada.   Sebagai bahan perbandingan dengan Rote, dalam masa itu tidak ada catatan mengenai perlawanan penduduk Sawu terhadap Belanda. Hubungan dengan Belanda yang pertama-tama telah menimbulkan berbagai pola di dalam kedua pulau itu.

Dengan  sikap selalu sedia dan siap bertindak, karena menyangka bahwa setiap perlawanan timbul karena hasutan dari Portugis, maka Belanda dengan cepat  dan efektif mengakhiri permusuhannya di Pulau Rote Pada pertengahan abat ke-18 mereka berhasil mengadakan perdamaian di antara berbagai kerajaan kecil di pulau itu. Sesudah tahun 1756, walaupun terjadi perselisihan mengenai perbatasan, tetapi tidak terjadi peperangan dan hanya sekali-sekali timbul perselisihan antara daerah-daerah setempat. Sebaliknya di Pulau Sawu, selama abat ke-19, terus menerus terjadi peperangan, dan baru abat ke-20 semua peperangan dapat dihentikan. Keterlibatan Belanda yang berbeda-beda di setiap pulau itu juga mengakibatkan perpecah-belahnya Rote,  tetapi di lain pihak, mempersatukan  Pulau Sawu.

Melalui proses rumit dan tidak direncanakan yang berlangsung dari abat ke-17 sampai abat ke-19,  Belanda telah membagi Rote menjadi 18 daerah setengah otonom/kerajaan. Pada abat ke-20, usaha untuk memberikan suatu bentuk kesatuan kepada pulau itu (Rote) , sama sekali gagal. Pembagian sebelumnya yang disetujui oleh adat kebiasaan sebelumnya, sudah terbentuk dengan kuat, sehingga tidak bisa dihilangkan oleh proses rasionalisasi pemerintahan. Bahkan sekarang ini, 18 daerah (kerajaan) itu  tetap merupakan pembagian yang dipertahankan oleh setiap orang Rote.
Di Sawu, persatuan tercapai dalam proses peperangan dan permusuhan setempat; menjelang akhir abat ke-19, kerajaan Seba, yang beruntung karena letak pelabuhannya yang strategis dan hubungannya khusus dengan Belanda, memperluas wilayahnya meliputi hampir sebagian dari seluruh pulau Sabu. Pada abat ke-19, ketika Belanda menyatakan raja Seba sebagai Raja Sawu, segera diterima oleh sebagian besar penduduk Sawu.  Namun akan sangat menyesatkan, bila dianggap bahwa letak strategis dari kedua pulau itu yang mempengaruhi keterlibatan Belanda.

Perbedaan sosial dan kebudayaan di kedua pulau itu juga ikut mempengaruhi.
Untuk memahami garis besar keterlibatan Belanda, harus ditinjau lebih luas perbedaan yang mencolok antara penduduk Rote dan Sawu. Garis perbatasan yang membagi rangkaian pulau-pulau busur luar ini kedalam dua golongan bahasa Austonesia, terletak di pantai barat Pulau Rote. Bahasa Sawu dan Ndao, termasuk dalam golongan bahasa Sumba – Bima, sedangkan, Bahasa Rote termasuk kedalam golongan bahasa Timor-Ambon. Dari perbedaan bahasa, pola-pola sosial dan kebudayaan serta cerita rakyat yang asli, dapat diperkirakan sejarah asal penduduk kedua pulau itu dari berbagai wilayah Indonesia.  Bahasa dan adat kebiasaan di Pulau Sawu menunjukkan ke arah Indonesia bagian barat; sedangkan Bahasa dan adat kebiasaan Rote menunjukkan ke arah kepulauan Maluku dan pulau lainnya di sebelah timur.  Dari beberapa hal yang diketaui, Sawu yang sekarang ini sebagian besar berasal dari Pulau Sumba dan sekitarnya; sedangkan, Bukti-bukti di Rote menunjukkan perpindahan yang lebih rumit dari berbagai suku bangsa dari Timor yang bahasanya saling berhubungan.
Perbedaan-perbedaan kebudayaan, khususnya perbedaan bahasa di Rote, jelas sudah ada sebelum kedatangan orang Eropa di wilayah itu.  Dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang dipupuk oleh kebijakan Belanda itu di Rote sudah jauh lebih besar daripada perbedaan yang terdapat di Sawu, dan hal itu sendiri merupakan faktor yang penting dalam awal hubungan dengan Belanda. Namun, yang membedakan antara penduduk Rote dan Sawu bukan hanya bahasanya yang berlainan.
Cara bahasa digunakan di kedua pulau itu pun sangat penting.
Pola dan penilaian bicara menunjukkan kebudayaan yang sangat berbeda.  Di Sawu dan Raijua hanya terdapat satu bahasa, dengan ucapan yang agak berbeda antara daerah yang satu dengan yang lainnya.  Sedangkan bahasa-bahasa daerah di pulau Rote sangat berbeda dan sangat penting dalam kebudayaan. Karena adanya perubahan yang terus menerus, penentuan yang tepat dari bahasa-bahasa di Timor juga berbeda-beda. Berdasarkan fonologi dan sintaksis yang beraneka ragam serta ciri-ciri semantik. Dapat disusun suatu bagan penggolongan dari bahasa-bahasa tersebut. Seorang ahli linguistik Belanda J.C.G.Jonker, pernah mengadakan penelitian “bahasa Roti” (1889) di Pulau Rote menggolongkan bahasa-bahasa daerah di pulau itu (Rote) kedalam sembilan bahasa. (kutipan catatan kaki tentang hal ini yang berbunyi sbb :

…… “Keterangan yang pertama mengenai bahasa yang bermacam-macam di Rote ditulis oleh seorang Rote, D.P.Manafe, pada tahun 1889; ia menyimpulkan bahwa ada 9 bahasa daerah di Rote, dan pembagian inilah yang dipakai oleh Jonker dalam kamusnya (1908).  Harus diketahui, bahwa bagi orang Rote, sembilan  adalah suatu angka mutlak dan sesungguhnya setiap perhitungan selalu mencakup sembilan hal :
Ø  Ada sembilan (9)  “benih” dalam pemujaan pertanian,
Ø  Sembilan kepala keluarga,
Ø  Sembilan putra leluhur dari rembulan dan sebagainya)”….
Namun, orang-orang Rote sendiri selalu dengan tegas mengatakan bahwa 18 kerajaan yang terdapat di pulau itu masing-masing mempunyai “bahasa” sendiri.Dalam kenyataan orang Rote sendiri “merasa bangga” dengan adanya “perbedaan itu.

Mereka menggunakan hal-hal yang kecil seperti,
Ø  perbedaan cara berbicara dan,
Ø  gaya pakaian daerah,
Ø  nuansa dalam hukum adat, serta
Ø  upacara adat untuk menonjolkan bahwa kehidupan sosial dan politik mereka “berbeda-beda”.
Sikap ini mencerminkan “perbedaan dalam penerimaan budaya”  dari penduduk Sawu tampaknya menerima budaya dari penduduk Rote dan Sawu.

Di kalangan penduduk Rote sendiri perbedaan itu cenderung,
  1. untuk ditojolkan dan,
  2. dibesar-besarkan;
sedangkan penduduk Sawu, tampaknya menerima kesamaan dasar dalam cara hidup mereka dan merasa heran bila sebenarnya ada perbedaan di pulau Sawu. Penduduk Sawu yang menurut sejarahnya berasal dari berbagai daedah kepulauan itu, cenderung mengabaikan perbedaan kecil diantara mereka dan berhasil bekerjasama dalam usahanya. Sebaliknya, usaha orang  Rote, untuk bekerjasama di antara mereka seringkali berakhir dengan pertengkaran. Bagi orang Rote, bicara adalah suatu daya tarik dalam kehidupan dan, perdebatan merupakan sesuatu yang sangat menyenangkan.
Fokus kebudayaan ini bukan merupakan sesuatu yang baru terjadi di akhir-akhir ini. Dari abat ke-17 telah tercatat dalam “daftar komentar Belanda”, bahwa,
1.      suka berbicara” dan,
2.      “suka bertengkar” adalah “ciri-ciri dari orang Rote”, dan
3.      bahkan mengesankan bagi orang yang kebetulan mengunjungi pulau itu.
Pada tahun 1891, misalnya, seorang naturalis Belanda Hermanten Kate, dalam perjalanannya ke pulau-pulau di sebelah timur, mengadakan kunjungan singkat ke Rote dan mengatakan ;
Ø  Hampir di setiap tempat yang kami kunjungi di Pulau Rote, terjadi pertengkaran.
Ø  Orang pribumi, yaitu orang Rote, bicara “melantur” mengenai, “soal yang tidak berarti” seperti “seorang nenek Belanda tua”.
Ø  saya kira hal itu disebabkan karena “sifatnya yang suka bicara”,
Ø  “setiap pertengkaran tentunya memberikan bahan untuk bicara”.
Ø  Sikap orang Rote terhadap bahasa dan ketrampilan bicara itu, dengan berbagai cara, tercermin dalam susunan politik di pulau itu.
Salah satu laporan Belanda yang paling awal mengenai Rote, pada tahun 1656  telah menyebutkan sejumlah daerah setempat, yang kemudian muncul dan resmi diakui oleh Komponi sebagai daerah yang mempunyai kekuasaan sendiri dan dikepalai oleh keturunan “dinasti” tertentu. Dari catatan yang berikutnya, jelas bahwa pada waktu tiba di pulau itu (Rote), Belanda menghadapi pemimpin-pemimpin setempat yang berkuasa atas daerah-daerah  yang diperebutkan. Mereka ini disebut sebagai “wakil/Fettor” dan kemudian “raja/Manek”.  Perkembangan politik dari daerah-daerah di Rote dan Sawu ini dapat diteliti dengan menggunakan keterangan Belanda yang khusus atau dari cerita rakyat. Dari segi pandangan orang Rote, kerajaan-kerajaan itu merupakan suatu wadah “pengadilan”.
Menurut adat kebiasaan, tiap “pengadilan” dikepalai oleh seorang “raja” dan dihadiri oleh “wakil dan orang tua-tua dari setiap marga”. Bagi orang Rote, pengadilan dan kerajaan mempunyai arti yang sama dan keduanya disebut dengan satu istilah yaitu “nusak’.
Delapan belas (18) nusak/kerajaan di Pulau Rote itu, masing-masing dibedakan, tidak hanya oleh bahasanya yang khusus,  tetapi juga oleh hukum adat yang berbeda.
Setiap pengadilan mempunyai hukum tersendiri, dan masing-masing pengadilan memberikan forum untuk berbicara”, sehingga dalam proses pengadilan, orang Rote dapat memperlihatkan “kemampuannya untuk berbicara”. Akibatnya, sejarah orang Rote ada kalanya merupakan “kasus-kasus pengadilan yang tidak ada akhirnya.”

Dalam surat-surat awalnya,
Gubernur Jenderal di Batavia selalu memperingatkan pejabat Komponi di Kupang, agar jangan terlibat dalam “pertengkaran penduduk Rote yang tiada hentinya”itu.
Namun kalau hal ini hampir tidak mungkin dilakukan. Suatu bagian yang besar dari laporan mengenai Pulau Rote dari abat ke-18, yang terdapat dalam :
Ø  buku tahunan Kompeni “Timor Book”,
Ø  terdiri dari keterangan mengenai perkara perselisihan di Rote.
Tampaknya penduduk Rote dengan cepat dapat menarik Belanda ke dalam jaringan politik pulau itu sendiri, dan dapat mengambil cara-cara pengadilan yang baru, yang mula-mula diperkenalkan oleh orang Belanda untuk kepentingan mereka sendiri.
Menjelang akhir abat ke-19 dan awal abat ke-20, pemerintah penjajah Belanda, berdasarkan tradisi yang tidak resmi, menjadikan pulau Rote sebagai “ pangkalan percobaan” yakni :
Ø  Bila seorang pejabat muda (Belanda) yang dapat “bertahan terhadap penduduk Rote yang suka berperkara itu”, akan dinaikan pangkatnya.
Ø  Sebaliknya, penduduk Rote yang membantu Belanda dengan menghidupkan kembali perkara yang lama untuk menyambut setiap pejabat yang baru.

Ø  Tanpa disadari, Belanda telah membiarkan kegemaran berbicara penduduk Rote itu, untuk menciptakan atau menimbulkan pemecah-belahan yang terus menerus diantara mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.