SEKILAS MENGENAL
BUDAYA LONTAR,
PULAU
ROTE & PULAU SABU DI NTT
Oleh
: Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Budaya Lontar
Propinnsi
Nusa Tenggara Timur memiliki 15
Kabupaten dan 1 Kota, sangat kaya
akan seni-budayanya yang unik dan menarik untuk diketahui, namun pada bagian
ini kami hanya menyajikan sedikit informasi tentang “dua buah pulau kecil” dibusur luar yang
memiliki “sumber kehidupan” yang sangat berbeda, “unik dan spesifik”, jika dibandingkan dengan pulau-pulau lain di
Nusa Tenggara Timur bahkan di seluruh Indonesia, yaitu masyarakatnya dikenal
dengan julukan:
1. “No Eating People” atau,
2. Live No
Eating”,
yang hidupnya sangat bergantung pada
Pohon Lontar (Palm tree).
Mengenai hal ini kita dapat ikuti karya seorang Belanda yaitu G.E.Rumphius (1741) yang dikutip oleh James
J.Fox dalam bukunya “Panen Lontar”
(1996 :111) sebagai berikut :
Ø Bukti-bukti dari abad 17
(ketujuh belas) dan 18 (delapan
belas) mengenai “perekonomian lontar” di pulau-pulau Rote dan Sabu ini sudah
jelas dan tidak dapat disangkal.
Ø Sebuah laporan dari abat ke-18
yang menguraikan tentang penggunaan lontar di Pulau Sabu, merupakan uraian
paling terperinci yang pernah ditulis mengenai cara produksi ini.
Ø Laporan dari tahun 1660, telah
melukiskan bahwa “Pulau Rote” penuh
dengan “sejumlah besar pohon-pohon sadapan” (groote quantiteijt tijfferboomen)
dan ternyata, keterangan yang paling awal mengenai pohon lontar itu,
menyebut “Rote” sebagai satu pulau
di wilayah Hindia Belanda yang penduduknya sudah menggunakan “nira” dan “sirup lontar sebagai makanan sehari-hari”.
Jilid pertama dari karya utama G.E.Rumphius,
Het Amboinsche Kruyboek, yang
ditulis menjelang akhir abat ke-17
(tetapi baru diterbitkan pada tahun 1741),
memberikan ikhtisar yang tepat mengenai “penggunaan
lontar di Pulau Rote”.
Waupun Timor juga disebut, tetapi dari keseluruhannya jelas, bahwa yang
dimaksud Rumphius terutama “Rote”.
Salah satu bagian dari uraian klasik yang diterjemahkan dari Bahasa Belanda
kuno, dikutip sebagai berikut : “Penduduk Java, Bali, Timor dan Rotthe menggunakan Sura (nira lontar) yang disadap, lebih banyak
untuk gula daripada minuman, pertama-tama dimasak menjadi sirup (disebut Gula) yang kemudian dibiarkan kering di dalam
bakul-bakul dan piring kecil. Tetapi di Timor dan
Rotthe, lebih banyak dipakai sebagai “minuman”
(disebut tua) dan disana kehidupan mereka
sangat tergantung pada “minuman” itu, Mengatakan bahwa “minuman” itu merupakan “minuman
dan makanan”; untuk kebutuhan
sehari-hari, mereka mencampurnya dengan air, dan menjadi “sehat dan gemuk” dari
minuman itu; mereka menyimpannya di dalam tempat-tempat yang dibuat dari daun
Sariboe (lontar) digantung di rumah-rumah mereka, dan siapa saja yang datang,
boleh minum dan menghilangkan dahaga, bahkan sebelum menegur siapa pun, ini
adalah sopan-santun dan adat di negeri itu. (Rumphius 1741; Jilid 1, bk.8, bab 9, hal.51).
Ø Sejak
pertengahan abad ke-17, ‘Rote’ sudah
mempunyai reputasi yang membangkitkan minat Batavus Drystubble.
Ø Meskipun penduduk Sawu lebih tergantung pada
lontar, tetapi dalam kepustakaan tidak
pernah terkenal seperti Rote.
Ø Bagi “Kompeni Belanda” dan pemerintah
penjajahan Belanda yang harus berurusan
dengan penduduk kedua pulau itu, “pohon lontar” merupakan “lambang dari
perekonomian” mereka.
Ø Sebagai
lambang dari cara kehidupan baik penduduk Rote maupun Sawu, pohon lontar telah berhasil mengalabui
perbedaan yang besar di antara kedua penduduk itu.
(James J.Fox, Panen
Lontar, SH Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal.129 – dan 153)
LATAR BELAKANG SOSIAL HUBUNGAN ANTARA
PENDUDUK ROTI DAN SAWU DENGAN
BELANDA
Apabila membandingkan penduduk Rote
dan Sawu dalam hubungannya dengan kekuasaan “Eropa”, pertama-tama akan
tampak beberapa perbedaan sosial di antara penduduk kedua pulau itu.
Menurut buku James J.Fox -1996 : 112, Sebagian perbedaan ini adalah akibat dari
pada hubungan antara pulau-pulau ini dengan Persatuan Dagang Hindia Belanda (VOC)
pada masa lampau. Akan tetapi kebanyakan juga disebabkan oleh faktor lain. Baik
penduduk pulau Rote maupun Sawu telah mengalami proses penyesuaian ‘ekologi’
yang ‘sangat mencolok’, dalam arti bahwa keadaan ‘ekonomi’ dari kedua pulau itu
merupakan varian dari suatu bentuk yang sama.
Namun, pada dasarnya
penduduk Rote dan Sawu sangat berbeda, dalam :
Ø bahasa
dan,
Ø kebudayaan,
Ø dalam
organisasi sosial,
Ø alam
pranata politik, dan
Ø dalam
praktek keagamaan,
penduduk kedua pulau ini masih sangat berbeda. Dari ‘perbedaan’ tersebut,
satu-satunya perbedaan yang dianggap sebagai latar belakang bagi suatu
pembahasan adalah faktor “lokasi
yang strategis”.
Pulau Rote terletak di seberang
ujung sebelah Barat Pulau Timor dan jelas terlihat dari daerah pantai Timor.
Sedangkan Pulau Sawu terletak
beberapa ratus kilometer dari Timor di tengah-tengah lautan yang sampai dewasa
ini masih dianggap sangat berbahaya bagi
pelayaran, terutama pada musim angin
barat. Karena letaknya, pada abad ke-17, Pulau Rote dengan sendirinya
terlibat dalam perebutan daerah Timor, dan, beberapa daerah di Pulau Rote
menjadi sasaran penyerbuan pada awal hubungan dengan Belanda. Oleh karena letak yang terpencil, bagi kekuatan-kekuatan luar yang saling
bertentangan itu, Sawu adalah tempat yang tidak strategis bagi
Belanda. Oleh karena itu Pulau Sawu aman, karena
dianggap sebagai pulau kecil yang tidak berharga.
Baik Sawu
maupun Rote tidak mempunyai hasil-hasil yang penting untuk perdagangan dan bagi
Persekutuan Dagang Hindia Belanda,
kedua pulau itu hanya merupakan “tenaga kerja dan persediaan pangan”.
Ø Pulau-pulau
tersebut relatif kecil,
Ø Hutannya pun sudah ditebang dan,
Ø Padat
penduduknya.
Berbeda
dengan Timor, pulau tersebut (Rote) tidak mempunyai daerah pedalaman yang dapat
digunakan sebagai tempat perlindungan bagi penduduk yang merasa terancam.
Kedua pulau itu sangat terbuka ke arah laut dan sulit mempertahankan diri
dari serangan luar. Meskipun demikian menurut sejarah, dari pertengahan abat ke
-17 sampai pertengahan abat ke-18, penduduk Rote pernah mencoba (walupun tidak berhasil) mengadakan perlawanan
terhadap campur tangan Belanda . Di Pulau Sawu, campur tangan Belanda tidak
berarti, sehingga niat untuk berontak tidak ada. Sebagai bahan perbandingan dengan Rote, dalam masa itu tidak ada catatan
mengenai perlawanan penduduk Sawu terhadap Belanda. Hubungan dengan Belanda yang pertama-tama telah
menimbulkan berbagai pola di dalam kedua pulau itu.
Dengan sikap selalu sedia dan siap
bertindak, karena menyangka bahwa setiap perlawanan timbul karena hasutan dari Portugis, maka Belanda dengan cepat dan
efektif mengakhiri permusuhannya di Pulau Rote
Pada pertengahan abat ke-18 mereka
berhasil mengadakan perdamaian di antara berbagai kerajaan kecil di pulau itu.
Sesudah tahun 1756, walaupun terjadi
perselisihan mengenai perbatasan, tetapi tidak terjadi peperangan dan hanya
sekali-sekali timbul perselisihan antara daerah-daerah setempat. Sebaliknya di Pulau Sawu, selama abat ke-19, terus menerus terjadi peperangan,
dan baru abat ke-20 semua peperangan
dapat dihentikan. Keterlibatan Belanda yang berbeda-beda di setiap pulau itu juga mengakibatkan
perpecah-belahnya Rote, tetapi di lain pihak, mempersatukan Pulau Sawu.
Melalui proses rumit dan
tidak direncanakan yang berlangsung dari abat ke-17 sampai abat ke-19, Belanda telah membagi Rote menjadi 18 daerah setengah otonom/kerajaan. Pada abat ke-20,
usaha untuk memberikan suatu bentuk kesatuan kepada pulau itu (Rote) , sama sekali gagal. Pembagian
sebelumnya yang disetujui oleh adat kebiasaan sebelumnya, sudah terbentuk
dengan kuat, sehingga tidak bisa dihilangkan oleh proses rasionalisasi
pemerintahan. Bahkan sekarang ini, 18 daerah
(kerajaan) itu tetap merupakan pembagian
yang dipertahankan oleh setiap orang Rote.
Di Sawu, persatuan tercapai
dalam proses peperangan dan permusuhan setempat; menjelang akhir abat ke-19, kerajaan Seba, yang beruntung karena letak pelabuhannya yang strategis dan
hubungannya khusus dengan Belanda, memperluas wilayahnya meliputi hampir
sebagian dari seluruh pulau Sabu. Pada abat ke-19, ketika Belanda menyatakan
raja Seba sebagai Raja Sawu, segera diterima oleh sebagian besar penduduk Sawu.
Namun akan sangat menyesatkan, bila dianggap bahwa letak strategis dari
kedua pulau itu yang mempengaruhi keterlibatan Belanda.
Perbedaan sosial dan kebudayaan di kedua pulau itu juga ikut mempengaruhi.
Untuk memahami garis besar keterlibatan Belanda, harus ditinjau lebih luas
perbedaan yang mencolok antara penduduk Rote dan Sawu. Garis perbatasan yang membagi rangkaian pulau-pulau busur
luar ini kedalam dua golongan bahasa Austonesia, terletak di pantai barat Pulau
Rote. Bahasa Sawu dan Ndao, termasuk dalam golongan bahasa Sumba – Bima,
sedangkan, Bahasa Rote termasuk kedalam golongan bahasa Timor-Ambon. Dari
perbedaan bahasa, pola-pola sosial dan kebudayaan serta cerita rakyat yang
asli, dapat diperkirakan sejarah asal penduduk kedua pulau itu dari berbagai
wilayah Indonesia. Bahasa dan adat kebiasaan di Pulau Sawu menunjukkan ke arah Indonesia
bagian barat; sedangkan Bahasa dan
adat kebiasaan Rote menunjukkan ke
arah kepulauan Maluku dan pulau lainnya di sebelah timur. Dari beberapa hal
yang diketaui, Sawu yang sekarang ini sebagian besar berasal dari Pulau Sumba
dan sekitarnya; sedangkan, Bukti-bukti
di Rote menunjukkan perpindahan yang
lebih rumit dari berbagai suku bangsa dari Timor yang bahasanya saling
berhubungan.
Perbedaan-perbedaan
kebudayaan, khususnya perbedaan bahasa di Rote, jelas sudah ada sebelum
kedatangan orang Eropa di wilayah itu. Dapat disimpulkan
bahwa perbedaan yang dipupuk oleh kebijakan Belanda itu di Rote
sudah jauh lebih besar daripada perbedaan yang terdapat di Sawu, dan hal itu
sendiri merupakan faktor yang penting dalam awal hubungan dengan Belanda. Namun, yang membedakan antara penduduk Rote dan Sawu
bukan hanya bahasanya yang berlainan.
Cara bahasa digunakan di kedua pulau itu pun sangat penting.
Pola dan penilaian bicara menunjukkan kebudayaan yang sangat berbeda. Di Sawu dan Raijua hanya
terdapat satu bahasa, dengan ucapan yang agak berbeda antara daerah yang satu
dengan yang lainnya. Sedangkan bahasa-bahasa
daerah di pulau Rote sangat berbeda
dan sangat penting dalam kebudayaan. Karena adanya perubahan yang terus menerus, penentuan yang tepat dari
bahasa-bahasa di Timor juga berbeda-beda. Berdasarkan fonologi dan sintaksis
yang beraneka ragam serta ciri-ciri semantik. Dapat disusun suatu bagan
penggolongan dari bahasa-bahasa tersebut. Seorang ahli linguistik Belanda J.C.G.Jonker, pernah mengadakan
penelitian “bahasa Roti” (1889) di Pulau Rote menggolongkan bahasa-bahasa daerah di pulau itu (Rote) kedalam
sembilan bahasa. (kutipan catatan kaki
tentang hal ini yang berbunyi sbb :
…… “Keterangan yang pertama mengenai bahasa yang bermacam-macam di Rote ditulis oleh seorang Rote, D.P.Manafe, pada tahun 1889; ia menyimpulkan bahwa ada 9 bahasa daerah di Rote, dan pembagian
inilah yang dipakai oleh Jonker
dalam kamusnya (1908). Harus diketahui, bahwa bagi orang Rote, sembilan adalah suatu angka
mutlak dan sesungguhnya setiap perhitungan selalu mencakup sembilan hal :
Ø Ada sembilan (9) “benih” dalam pemujaan pertanian,
Ø Sembilan
kepala keluarga,
Ø Sembilan putra leluhur dari rembulan dan sebagainya)”….
Namun, orang-orang Rote sendiri selalu dengan tegas mengatakan bahwa 18 kerajaan yang terdapat di pulau itu
masing-masing mempunyai “bahasa” sendiri.Dalam kenyataan orang Rote sendiri “merasa bangga” dengan adanya “perbedaan” itu.
Mereka menggunakan
hal-hal yang kecil seperti,
Ø perbedaan
cara berbicara dan,
Ø gaya
pakaian daerah,
Ø nuansa
dalam hukum adat, serta
Ø upacara adat untuk menonjolkan bahwa kehidupan sosial dan politik mereka “berbeda-beda”.
Sikap ini mencerminkan “perbedaan dalam penerimaan budaya” dari penduduk Sawu tampaknya menerima budaya
dari penduduk Rote dan Sawu.
Di kalangan penduduk
Rote sendiri perbedaan itu cenderung,
- untuk
ditojolkan dan,
- dibesar-besarkan;
sedangkan
penduduk Sawu, tampaknya menerima kesamaan dasar dalam cara hidup mereka dan
merasa heran bila sebenarnya ada perbedaan di pulau Sawu. Penduduk Sawu yang
menurut sejarahnya berasal dari berbagai daedah kepulauan itu, cenderung
mengabaikan perbedaan kecil diantara mereka dan berhasil bekerjasama dalam
usahanya. Sebaliknya, usaha orang Rote,
untuk bekerjasama di antara mereka seringkali berakhir dengan pertengkaran. Bagi orang Rote, bicara adalah
suatu daya tarik dalam kehidupan dan, perdebatan merupakan sesuatu yang sangat
menyenangkan.
Fokus kebudayaan ini bukan merupakan sesuatu yang baru terjadi di
akhir-akhir ini. Dari abat ke-17
telah tercatat dalam “daftar komentar
Belanda”, bahwa,
1. “suka berbicara” dan,
2.
“suka bertengkar” adalah “ciri-ciri dari orang Rote”, dan
3.
bahkan mengesankan bagi orang yang
kebetulan mengunjungi pulau itu.
Pada tahun 1891, misalnya,
seorang naturalis Belanda Hermanten Kate,
dalam perjalanannya ke pulau-pulau di sebelah timur, mengadakan kunjungan
singkat ke Rote dan mengatakan ;
Ø Hampir di setiap tempat yang kami kunjungi di Pulau Rote, terjadi
pertengkaran.
Ø Orang
pribumi, yaitu orang Rote, bicara “melantur” mengenai, “soal yang tidak berarti” seperti “seorang nenek
Belanda tua”.
Ø saya kira hal itu disebabkan karena “sifatnya
yang suka bicara”,
Ø “setiap pertengkaran tentunya memberikan
bahan untuk bicara”.
Ø Sikap orang Rote terhadap bahasa dan ketrampilan
bicara itu, dengan berbagai cara, tercermin dalam susunan politik di pulau
itu.
Salah satu laporan Belanda yang
paling awal mengenai Rote, pada
tahun 1656 telah menyebutkan sejumlah daerah
setempat, yang kemudian muncul dan resmi diakui oleh Komponi sebagai daerah
yang mempunyai kekuasaan sendiri dan dikepalai oleh keturunan “dinasti”
tertentu. Dari catatan yang berikutnya, jelas
bahwa pada waktu tiba di pulau itu (Rote), Belanda menghadapi pemimpin-pemimpin
setempat yang berkuasa atas daerah-daerah
yang diperebutkan. Mereka ini disebut sebagai “wakil/Fettor”
dan kemudian “raja/Manek”. Perkembangan politik dari daerah-daerah di Rote dan Sawu ini dapat diteliti
dengan menggunakan keterangan Belanda yang khusus atau dari cerita rakyat. Dari segi pandangan orang Rote, kerajaan-kerajaan itu
merupakan suatu wadah “pengadilan”.
Menurut adat kebiasaan, tiap “pengadilan” dikepalai oleh seorang “raja” dan
dihadiri oleh “wakil dan orang tua-tua dari setiap marga”. Bagi orang Rote, pengadilan dan kerajaan mempunyai arti
yang sama dan keduanya disebut dengan satu istilah yaitu “nusak’.
Delapan belas (18) nusak/kerajaan di Pulau Rote itu, masing-masing dibedakan, tidak hanya
oleh bahasanya yang khusus, tetapi juga oleh hukum
adat yang berbeda.
Setiap pengadilan mempunyai hukum tersendiri, dan masing-masing pengadilan
memberikan forum untuk “berbicara”,
sehingga dalam proses pengadilan, orang Rote dapat memperlihatkan “kemampuannya untuk berbicara”. Akibatnya,
sejarah orang Rote ada kalanya merupakan “kasus-kasus pengadilan yang tidak ada
akhirnya.”
Dalam surat-surat
awalnya,
Gubernur Jenderal di Batavia selalu memperingatkan pejabat Komponi di
Kupang, agar jangan terlibat dalam “pertengkaran penduduk Rote yang tiada
hentinya”itu.
Namun kalau hal ini hampir tidak mungkin dilakukan. Suatu bagian yang besar
dari laporan mengenai Pulau Rote dari abat ke-18, yang terdapat dalam :
Ø buku
tahunan Kompeni “Timor Book”,
Ø terdiri dari keterangan mengenai perkara perselisihan di Rote.
Tampaknya penduduk Rote dengan cepat dapat menarik Belanda ke dalam jaringan
politik pulau itu sendiri, dan dapat mengambil cara-cara pengadilan yang baru,
yang mula-mula diperkenalkan oleh orang Belanda untuk kepentingan mereka
sendiri.
Menjelang akhir abat ke-19 dan
awal abat ke-20, pemerintah penjajah
Belanda, berdasarkan tradisi yang tidak resmi, menjadikan pulau Rote sebagai “ pangkalan percobaan” yakni :
Ø Bila seorang pejabat muda (Belanda) yang dapat “bertahan terhadap penduduk
Rote yang suka berperkara itu”, akan dinaikan pangkatnya.
Ø Sebaliknya, penduduk Rote yang membantu Belanda dengan menghidupkan kembali
perkara yang lama untuk menyambut setiap pejabat yang baru.
Ø Tanpa disadari, Belanda telah membiarkan kegemaran berbicara penduduk Rote
itu, untuk menciptakan atau menimbulkan pemecah-belahan yang terus menerus
diantara mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.