SEJARAH BELANDA MENDUDUKI KUPANG -TIMOR
DAN MENGUASAI
RAJA-RAJA DI NTT
Pada saat
permulaan Belanda menduduki Kupang terdapat 2 kerajaan, yaitu Kerajaan Helong (Kupang) dengan
rajanya yang bernama Naikopan, yang kemudian diganti oleh menantunya bernama Bissing-Lissing
yang berasal dari Belu, dan kerajaan Amarasi, dengan rajanya bernama Nai Nafi Rasi
(Ama Rasi) yang juga berasal
dari Belu.
Kemudian timbul
kerajaan-kerajaan baru pada sekitar l650-l655 sebagai pengungsian dari pedalaman pulau Timor, ke Kupang
yaitu :
- Kerjaan
Sonbai Kecil, suatu cabang dari Sonbai yang menetap di sekitar Bakunase.
- Kerajaan Funai
(dari Amanuban), menetap disekitar O’epura/Pola.
3.
Kerajaan
Amabi O’efeto, dan Amabi Niki-Niki (Tambaring) dari Amanuban yang menetap
berturut-turut di Biloto, sekitar Babau, Liliba dan di kampung Bonipoi (Kupang).
- Kerajaan
Tabenu (dari Mollo) menetap di Baumata, kemudian di Mantasi. Mereka datang
ke Kupang bersama-sama dengan rakyat pengikut-pengikutnya.
Bersama ‘Raja’
Helong, keempat ‘Raja yang baru ini bersatu dengan Belanda. Mereka kelimanya
merupakan 5 ‘Raja’ yang setia kepada “Kompeni’ dan dalam tahun l659 sebagai balas jasa, 3 orang ‘Raja’ : Sonbai Kecil, Kupang dan
Amabi dibawa ke Batavia (Jakarta) guna
melihat dan menyaksikan kekuatan dan kekayaan VOC Belanda.
Perlawan
Rakyat Nusa Tenggara Timur, Terhadap
Penjajah Hindia Belanda
Sebelum
Kemerdekaan Republik Indonesia 1945
1. Perlawanan Rakyat di Timor Terhadap Belanda.
Perlawanan Rakyat
Amarasi
Raja
Amarasi yang kian hari kian menjadi kuat, tetap memusuhi Belanda dan senantiasa
mengganggu kedudukan Belanda di Kupang. Ia memperluas kerajaannya dengan
menduduki wilayah Kupang, sehingga raja Kupang tinggal memiliki sebidang tanah
kecil, untuk tempat kediamannya dan di sanalah sementara itu Portugis, kemudian
Belanda bercokol.
Dalam
tahun l656 Belanda
mengirim suatu expedisi untuk menyerang Amarasi, tetapi gagal. Tentara Belanda
dipukul mundur dan Kupang diserang terus menerus. Serangan Amarasi itu dibantu
pula oleh serangan Sonbai dari Utara, menyebabkan Belanda pada waktu itu mempertimbangkan
untuk memindahkan benteng pertahanannya ke-pulau Rote, tetapi hal itu tidak pernah
dilaksanakan.
Pada tahun l749
raja Amarasi beserta Raja Amfoang dan Amanuban dari pedalaman Timor, sambil bersekutu
dengan Portugis Hitam dibawah pimpinan Letnan Jederal Gasper da Costa menyerang
Kupang.
Pasukan
ini yang berkekuatan sekitar 40.000
orang di musnakan dalam pertempuran di Penfui (kini menjadi Bandara Udara El
Tari Kupang) oleh Belanda di bawah komando Kapten Mardijker Frans Mone Kana.
Ia dibantu oleh Maredijkers dari Solor, Rote, Sabu, dan orang-orang Timor
dari ke-5 kerajaan sekitar Kupang. Dengan kekalahan total ini berakhirlah
kekuasaan Portugis Hitam dibagian daratan selatan pulau Timor.
Raja
Amarasi, Don Alfonso ditangkap dan dipenjarakan di Kupang. Sekembalinya ke
Amarasi, raja ini tetap membangkang dan tetap bermusuhan dengan Belanda.
Dan tahun
l752 Belanda sekali
lagi menyerang dan menundukkan Amarasi di Banteo atau Pahluman. Bagian kerajaan
yang diperolehnya dari raja Helong, dirampas kembali oleh Belanda dan
dibagi-bagikan kepada keempat raja yang baru,
di sekitar Kupang, yang tetap setia kepadanya.
Kerajaan
Sonbai di Mutis menurut tulisan P.Midelkoop
(seorang Misionaris Belanda di Timor (1922) sudah ada sebelum tiba orang-orang Portugis
dan Belanda di Timor.
Menurut I.Toto,
seorang ahli sejarah Timor,
·
Raja
Liurai Sonbai yang pertama yang berasal dari Belu bernama Nai Laban.
·
Ia
diganti oleh Nai Nati dan
·
Nai Nati
diganti oleh Naik Faluk,
·
Berikutnya
oleh Nai Lele dan
·
Sesudah
itu oleh Nai Tiklua, inilah yang mulai bergelar Sonbai turun-temurun.
Karena
mendapat kesulitan dari Portugis, Sonbai berpindah ke Bijela dan akhirnya ke Bileli. Di Bijeli-lah Sonbai mulai terus menerus
berhadapan dengan Belanda.
·
Pertama
kalinya Boab Sonbai ditangkap oleh Belanda di Bijeli dan dikirim ke Kupang dan dibuang
ke Batavia, di mana ia meninggal dunia tahun l785.
·
Pada
kedua kalinya selama pemerintah Sobe Sonbai II terjadi pemberontakan Bijeli pada
tahun l823 dipimpin
oleh Kono Oematan atas hasutan dan dengan bantuan Belanda. Sobe Sonbai
mengadakan pertahanan dalam sebuah gua di Kauniki. Belanda dibawah pimpinan Residen
Hazaert mulai mengepung Sonbai dari
jurusan laut.
Pada antara tahun l812-l8l8,
Residen Hazaert mendatangkan orang-orang
Rote dan,
·
menempatkan
mereka di sepanjang pantai mulai dari Oepaha (Amarasi) Samili, mengitari teluk Kupang,
·
Terus
menyusur pantai utara sampai ke
pelabuhan Atapupu.di perbatasan dengan Timor Timur.
·
Wilayah
pantai yang diduduki oleh orang-orang Rote yang di datangkan dari pulau Rote ini
disebut wilayah “ Zes Palen Gebiet”.
Amfoang
kemudian berpisah dari Sonbai dan segera diakui Belanda. Kemudian Pitai dan Takaep
juga melepaskan diri dari Sonbai. Amanuban, Mambait, Molo, Takaep, Amarasi
berulang kali bersama-sama atau
sendiri-sendiri menyerang kedudukan Belanda dan wilayah “Zes
Palen Gebiet,” yang
diduduki orang
Rote.
·
Pada
tahun 1822 melancarkan suatu serangan untuk menundukkan Amanuban, tetapi
tidak berhasil.
·
Pada tahun l828
Residen
Hazaert dengan 3000
orang untuk menangkap Sone Sonbait II di gua ‘Nefo’ tetapi gagal.
·
Pada
tahun l836 Sonbai dengan dibantu oleh Amanuban, Amfoang dan Amarasi
menyerang kedudukan Belanda di Kupang. Belanda membalas. Dicobanya terdahulu
menundukkan Amarasi.
Pada
tahun l843 usahanya berhasil dan memutuskan
untuk menempatkan di Amarasi seorang Posthouder, namun baru dalam tahun l847 maksud tersebut dapat dilaksanakan,
berhubung keamanannya tidak terjamin.
·
Pitai menyerang pantai Pariti yang diduduki oleh orang-orang Rote
(Termanu).
·
Dengan
mempergunakan 2 kapal perang yaitu, “Celebes” dan “Lancier,” Belanda berhasil mengangkut l.300 laskar dari pulau Rote
dan menyerang Pitai
dan dalam tempo beberapa hari saja ibu kota Takaep dibakar habis oleh laskar-laskar Rote.
·
Berhasillah taktik Belanda
mempergunakan serdadu-serdadu
dari Rote dan untuk kekuatan pertahanan Belanda
terus mempertahankan orang-orang Rote yang
ditempatkan di wilayah “Zes Palen Gebiet.”
·
Atas jasa Laskar Rote
yang membantu Belanda, maka diberikan seluruh Pantai Timor 7 pal dari pantai = 10,5 km ke darat, hingga Atapupu di perbatasan dengan Timor
Portugis. menjadi milik orang Rote dan mereka dibebaskan dari semua jenis
pajak-pajak. Pusat lokasi mereka adalah di daerah Mardeka di jalan A.Yani Kupang sekarang ini. Kewajiban
Laskar Rote menduduki pantai-pantai Timor, guna menjaga serangan-serangan dari
tentara Portugis, maupun dari orang-orang Timor terhadap kedudukan Belanda.
·
Seperti diketahui
juga, sepanjang pantai pulau Timor sampai wilayah Timor Timur (Negara Timor
Leste) dihuni oleh orang Rote. Dalam perjuangan integrasi Timor Timur dengan Indonesia
dikenal pejuang Timor Timur bernama Korbafo, yang berasal dari Pulau Rote. Marga
Korbafo ini termasuk marga-marga Rote lainnya yang ditempatkan pemerintah Belanda
di bagian utara pantai Timor yang berbatasan dengan Timor Portugis saat itu
sebagai penjaga perbatasan.
·
Ada istilah yang mengatakan “dimana ada pohon lontar
disitu ada orang Rote” (sebagai penyadap nira lontar yang handal untuk
kehidupan sehari-harinya}, dan “dimana ada tanah yang kaya sumber airnya, disitu ada orang Rote” (mengerjakan sawah)
dan kebun kelapa. Dengan demikian dimana terdapat pohon lontar dan sumber mata
air di Pulau Timor untuk persawahan, pasti disana ada orang Rotenya. Hal ini
dapat disaksikan hingga sekarang.
·
Menurut Prof. DR James Fox (
seorang penulis Inggris) dalam bukunya tentang
orang Rote berjudul “The Harvest of the Palam”(1975)
menyatakan, bahwa dalam usaha menghalau
orang-orang Portugis dari belahan Barat pulau Timor pada pertengahan abat ke- l9 yang lalu, Kompeni Hindia
Belanda telah menyewa laskar-laskar yang diambil dari berbagai Nusak di pulau Rote. Setelah perang usai, Kompeni
memberikan seluruh dataran sepanjang pantai Timor bagian Barat dan Utara sejauh
7 pal ( l0,5 Km) ke
darat, dihitung dari daerah pasang surut, kepada para laskar Rote. Secara amat singkat Fox menyebutkan bahwa
pada akhir abat ke-l9
seusai perang melawan orang Portugis terjadilah
migrasi orang Rote yang hidup dari penyadapan
lontar dan bersawah tadah hujan,
dalam usahanya memanfaatkan rimba lontar dan dataran aluvial pantai di
pulau Timor, dengan menyusul para laskar asal Rote yang telah menguasai
kawasan 7 pal
sebagai miliknya. Kata James Fox :
“ For a time, the humorous remark
circulated among the Rotenese that “TIMOR”
was an acrinym which stood for the Indonesian saying: “Tanah Ini Milik Orang Rote”
(Sumber : James Fox; 1975 : 148) - (Pdt.Drs.Max Jacob, MTH, Pendidikan dan
Modernisasi, l992, hal,4).
·
Seperti diketahui
juga, sepanjang pantai pulau Timor sampai wilayah Timor Timur (Negara Timor
Leste) dihuni oleh orang Rote. Dalam perjuangan integrasi Timor Timur dengan Indonesia
dikenal pejuang Timor Timur bernama Korbafo, yang berasal dari Pulau Rote. Marga
Korbafo ini termasuk marga-marga Rote lainnya yang ditempatkan pemerintah Belanda
di bagian utara pantai Timor yang berbatasan dengan Timor Portugis saat itu
sebagai penjaga perbatasan.
·
Pada
tahun l847 Sonbai menyerang Babau. Belanda membalas serangan
itu. Pada tahun itu juga Belanda menyerang Camplong dibawah pimpinan Kapten
Mardijker,
De Rooy dengan kekuatan 3000 orang.
·
Pada
tanggal 30 Nopember l847
itu juga Manbait menyerang desa Nunkurus yang diduduki orang-orang Rote (Dengka).
·
Sesudah
pemerintahan Residen Sluyter beberapa tahun kemudian dibawah pimpinan Residen Baron van
Lynden dengan pasukan sekitar 4000 orang bersenjatakan 2 pucuk meriam menyerang Sonbai.
·
Ia dapat
menawan mantu Sonbai dengan 80
orang serdadunya, tetapi tidak berhasil menangkap Sonbai. Belanda lalu
menjalankan poletik isolasi yang lain.
Dalam tahun l854, Belanda
menandatangani “Timor Traktat” tentang pembagian pulau Timor antara Belanda dan
Portugis yang mulai dinyatakan berlaku pada tahun l859.
Dengan pembagian
wilayah ini, Belanda dapat memusatkan seluruh kekuatannya untuk menghancurkan Sonbai.
Tetapi usahanya baru berhasil dalam tahun l905 ketika dengan jalan penipuan.
Sone
Sonbai III ditangkap di Kauniki, dibawah ke Kupang dan dibuang ke Sumba. Kemudian ia diangkut kembali ke Kupang dan
meninggal dunia tahun l922. Untuk menjaga, agar makamnya tidak dijadikan
tempat keramat oleh pengikut-pengikutnya, maka jenazah Sonbai dimakamkan di
sekitar benteng Concordia (pekuburan orang Belanda). Dengan tertawannya Keiser
Sonbai III, maka selesailah perjuangan kemerdekaan bersenjata dari pada Raja
Sonbai di Timor.
2. Perlawanan
Rakyat Belu
Terhadap Belanda
Dalam
tulisan orang-orang Portugis, dikisahkan bahwa kerajaan Wehale-lah yang paling
berkuasa di Belu Selatan. Sambil bersekutu dengan Sultan Talo dari Sulawesi, Raja Wehale
mengusir Portugis dari wilayahnya. Untuk menunjukkan kejengkelannya terhadap
kekuasaan Portugis, ia menjadi penganut agama Islam.
Dengan bantuan raja-raja lain yang tetap memeluk agama
Katolik pasukan Portugis di bawah pimpinan Francisco Fernandez mendarat di Mena (Insana
Utara) dan pada tanggal 26
Mei l642 sesudah pertempuran yang hebat, kerajaan Wehale ditundukkan dan
dikuasai oleh Portugis, hingga saat kekuasaan atas kerajaan Wewiku (Wehale)
dialihkan ke tangan Belanda dengan penandatanganan kontrak dengan Comisaris
Tinggi VOC yang bernama Paravicini dalam tahun l756. Di samping itu kemudian masih tercatat dalam
sejarah Belu beberapa pemberontakan terhadap penjajah Belanda/Jepang antara
lain :
1.
Dalam tahun l884 pasukan Timor Gemeenschap Dawan dari distrik Lidak menggempur
pasukan Belanda di Tukuneno (Lidak) di bawah Pimpinan Meo Abekun Natun. Kepala Pasukan
Belanda Lt.
Hendrik Glabeeck
van der Does gugur dalam pertempuran ini. Kuburan dari Letnan tersebut
masih dapat dilihat di Atapupu.
2. Dalam tahun l908 terjadi pula pertempuran
yang hebat antara pasukan-pasukan Timor Gemeenschap Dawan (Timor) di bawah pimpinan Meo Moruk Pah Sunan di tempat bernama Rotirai
(Lidak). Korban jatuh sebelah menyebelah pihak.
3. Dalam
tahun l9l0 terjadi
pertempuran yang dilakukan oleh orang Timor Gemeenschap Dawan di bawah pimpinan
Meo Asa
Natun, di tempat bernama Tabean (Lidak), yang menyebabkan pasukan Belanda
terhalang untuk memasuki wilayah pedalaman Belu. Adapun segenap penduduk
Distrik Lidak bagian Swapraja-swapraja Belu Tassi-Fetto adalah terdiri dari
suku bangsa Dawan (Timor), sama seperti suku bangsa di wilayah Kabupaten TTU (Timor Tengah Utara)
, TTS (Timor Tengah Selatan) , dan Kupang sekarang ini.
4. Dalam
tahun l913 terjadi
pertempuran antara pasukan suku bangsa Tetun terhadap pasukan-pasukan Belanda di
Nanet (Distrik Naitimu), di bawah pimpinan raja Naitimu sendiri, Kau Siberu.
5.
Dalam tahun l916 terjadi pertempuran antara pasukan Belanda di tempat
bernama Weliman (Distrik Wewiku), di bawah pimpinan Loro (Raja) Wewiku, Nahak MaroE Rai.
6. Patriot-patriot
Belu Gemeenschap Buna (Lamaknen) dalam bulan September l942 menyerang dengan hebatnya pasukan Belanda
dan Australia di tempat bernama Orel (Lamaknen
Selatan), yaitu suatu tempat di perbatasan Timor Portugis, di bawah pimpinan
pahlawan-pahlawan Mali Tale dan Mali Hedak. Seorang Perwira Belanda dan seorang perwira
Australia gugur bersama puluhan rakyat Timor Timor Portugis. Setelah Belanda
(NICA) kembali dalam tahun l945,
kedua patriot Belu tersebut dijatuhi hukuman mati, tetapi sebelum hukuman dapat dijalankan, dalam tahun l950 kedua patriot dapat
dibebaskan oleh Pemerintah RI cq, TNI (Pasukan
Siliwangi) yang mendarat di pulau Timor.
7. Dalam
tahun l943 Pasukan Belu
di Wewiku di bawah pimpinan Meo Nahale Amerika, menggempur pasukan Jepang. Akibatnya Nahale
Amerika mati, karena kepalanya dipancung di Atapupu oleh tentara Jepang. (Sumber :I.H.Doko, l973, hal.54-55).
3. Perlawanan Rakyat Alor
Terhadap Belanda
Wilayah Onderafdeling Alor yang secara resmi
ditetapkan dengan Staadblad (LN) l929 No.l96),
berada dahulu sebagian di bawah kekuasaan Portugis dan baru sejak 6 Agustus l851 dimasukkan
seluruhnya ke dalam kekuasaan Belanda. Kekuasaan Portugis sebenarnya hanya
terbatas pada pengibaran bendera, pada beberapa daerah pesisir, misalnya di Kui,
Mataru, Batulolong, Kolana dan Blagar.
Juga kekuasaan Belanda pada awal menduduki Alor, hanya terbatas pada
pengakuan atas penguasaan yang berada di pesisir sebagai raja-raja dan
penempatan seorang Posthouder di Alor-Kecil, yang terletak di pintu teluk Kabola
pada tahun l861.
Menurut catatan Posthouder Morgenstern, tertanggal 3 Juli l909 penduduk di pegunungan itu tidak
mengakui mereka yang di pantai sebagai raja, tetapi hanya sebagai perantara
dalam perdagangan tukar-menukar ataupun sebagai juru-bahasa antara mereka
dengan Kompeni Belanda ketika masa Gubernur Jenderal Van Heutz ditetapkan, agar daerah-daerah
di luar Jawa (Buitengewesten) lebih erat dimasukkan
dalam kekuasaan Pemerintah Belanda, maka dirasakan sangat perlu, supaya
kekuasaan dan wibawa raja-raja di daerah pesisir atas penduduk di pegunungan
pulau Alor itu lebih dikukuhkan, bila perlu dengan bantuan kekuatan senjata Belanda
itu.
Maka
terjadilah disana-sini pemberontakan dari rakyat Alor melawan kekuasaan
raja-raja diwilayah pantai yang dibantu oleh pasukan bersenjata Belanda itu.
Pada
tanggal 31 Juli l9l0
mendaratlah di Alor Kecil 3 pasukan ‘marchhausse’ dari Kupang di bawah pimpinan
Letnan Adelberg.
Alor
Kecil adalah tempat kedudukan Posthouder Meulamans dengan pasukan polisi
bersenjata.
Pasukan Letnan Adelberg
menjelajahi seluruh pulau Alor sebagai ‘machtvertoon’/memamerkan
kekuatan.
Pada
tanggal 21 Agustus l9l0
di desa Kewaai, distrik Lembur, pasukan itu tiba-tiba diserang oleh rakyat dari
Afenlaga dan Afenbaka dengan mempergunakan busur dan panah, tetapi dibalas oleh
pasukan Belanda sehingga banyak meninggalkan korban.
Pada
tahun l9l3 suatu
pasukan Belanda harus dikirim ke pulau Pantar untuk mengamankan pulau tersebut
dari pasukan pemberontak..
Banyak
korban jatuh di pihak Belanda diantaranya seorang dokter, seorang sersan dan 5
anggota pasukan, yang kubur-kuburnya hingga saat ini masih terdapat di Blangmerang.
Pada
permulaan tahun l9l4 rakyat Atimelang
di distrik Lembur mengadakan pemberontakan yang diikuti oleh rakyat Kalong distrik
Probur di kerajaan Kui.
Dalam
tahun l9l5 rakyat
suku Maupui kerajaan Pureman memberontak. Rakyat menolak kerja rodi dan
membayar pajak. Seorang Kapitan dari distrik Mademang terbunuh. Suatu pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan de Croo
tiba di tempat pemberontakan, dan akhirnya tertangkapnya beberapa pemberontak.
Pada
tanggal 4 dan 5 Agustus
l9l5 di-ibu kota Kui, Lerabaing banyak diserang oleh satu pasukan rakyat
sebanyak l50 orang dari suku Kemelelang.
Banyak
penduduk Lerabaing banyak terbunuh dan
luka-luka. Toko-toko Cina dan istana
habis terbakar. Kemudian datang pasukan Belanda ketempat pemberontakan dan
mandapat bantuan pasukan dari Kupang. Pasukan pemberontak dipukul mundur dan banyak meninggalkan
korban.
Pada Januari l9l6 terjadi pemberontakan
di jasirah Kabola dipelopori oleh seorang ahli waris mahkota kerajaan Alor
Besar, Lawono menentang raja Alor yang
baru saja diangkat Belanda yaitu raja Bala Nampira dari Dulolong. Sementara
suasana dapat diamankan dengan tertangkapnya Lawono serta tokoh pengikutnya.
Tetapi
pada April l9l6
timbul pula pemberontakan ke–II kali ini dipimpin oleh Bura, juga seorang ahli
waris mahkota kerajaan Alor Besar.
Rakyat
pegunungan dari desa-desa Oa, Nihing, Ananibang distrik Oa, ikut serta dalam
pemberontakan itu.
Pada
tanggal 25 dan 26 Maret
l9l6 rumah Kapitan Beleng Kalabahi diserang dan dibakar habis. Kapitan
Beleng luka parah dan 4
pengikutnya terbunuh.
Tujuan
membakar istana raja guna melepaskan Lawono
gagal, oleh segera bertindaknya pasukan Belanda. Dalam pertempuran itu 68 meninggal di pihak
pemberontak dan pimpinan pemberontak di tawan diantaranya Bura, yang kemudian
dijatuhi hukuman penjara l0
tahun.
Pada
bulan Mei tahun itu juga terjadi pula pemberontakan di pulau Pantar dan disusul
pemberontakan yang berlangsung di Kamengmi dalam kerajaan Kolana distrik
Taramana.
Pemberontakan
terjadi oleh karena tindakan kejam dari Kapitan Jonas dari distrik tersebut dalam usaha
memaksakan rakyat membayar pajak dan bekerja rodi.
Tujuan
pemberontakan ini adalah pertama-tama menghancurkan satu brigade pasukan Belanda yang terdiri dari 20 orang bersama
dengan ‘Gezaghebber’ yang pada waktu itu sedang
berbivak di Kamengmi.
Maksud
itu diketahui terlebih dahulu oleh pasukan Belanda, sehingga mengadakan
serangan balasannya pada malam itu yang dipimpin oleh sersan Veenendal,
sehingga pemberontak lari kepegunungan dan meninggalkan mayat tidak kurang dari
30 mayat.
Kamengmi diduduki
dan keamanan dipulihkan pada bulan Juni l9l8.
Pada
bulan Juni l9l8 itu
juga terjadi pula perang Kolwi atau Fungwati di kerajaan Alor melawan rajanya
yang bernama Bala Nampira dan setahun kemudian disusul dengan perang Manet
(Mataru) di kerajaan Kui melawan raja Kui dengan pimpinan seorang ‘Sultan’ wanita
yang bernama Maleilehi.
Perang ini pada hakekatnya adalah perlawanan rakyat suku Abui atau Berawahing
atau Beni yang mendiami kedua wilayah menentang Belanda.
Didahului
dengan tidak bersedianya rakyat Fungwati membayar pajak pada Kompeni, hal mana
dituruti pula oleh rakyat Manet dari suku yang sama. Raja Alor, Bala Nampira
yang mengunjungi daerah Fungwati dibunuh dan kepalanya dipancung dan
disembunyikan.
Suatu
pasukan di bawah pimpinan Lt.Muller berangkat ke tempat pertempuran. Desa Kolwi dengan
pertahanannya hebat dibakar habis, sedang banyak orang yang mati atau melarikan
diri dan mengadakan suatu pertahanan dalam sebuah gua, yang sangat sukar
dicapai.
Sesudah
suaminya tertawan ‘Sultan Maleilehi mengundurkan diri ke Manet dan menyusun
kekuatan.
Untuk
mendapatkan kepala dari raja Nampira yang dibunuh, dikirim pula suatu expedisi
yang kuat. Sesudah beberapa hari pasukan Belanda itu mencoba menaklukan Gua
tempat orang-orang Fungwati itu bertahan, tetapi tidak berhasil, maka digalilah
suatu lubang yang tembus ke dalam gua dari atasnya. Sesudah itu disiramlah 12 blik minyak tanah ke
dalam gua itu lalu dibakar.
Api yang
menyala masuk ke dalam gua itu membikin rakyat Fungwati laki-laki, perempuan,
anak-anak yang bertahan dalam gua itu semuanya mati lemas, karena asap atau pun
terbakar.
Hanya
seorang-orang tua yang kebetulan berada di ujung paling menjorok ke dalam dari
gua itu hidup dan menceriterakan kisah perjuangan yang sangat mengerikan itu.
Sesudah
gua itu dimasuki oleh tentara Belanda, maka di antara mayat-mayat yang
bergelimpangan dan bertumpuk bagaikan puing reruntuhan ditemuilah kepala raja
Nampira itu tersimpan dalam sebuah anyaman baru, pada suatu tempat yang aman.
Dengan hati-hati dan dengan penuh kehormatan adat, kepala Raja Bala Nampira diusung ke
luar untuk dikuburkan bersama jasadnya di Dulolong, tempat pemakaman raja Alor.
Sementara
itu api pemberontakan merambat ke Manet di bawah pimpinan “Sultan” Maleilehi.
Komponi mengalihkan serangan-serangannya ke sana. Rakyat terbunuh, kampung
dibakar, akhirnya yang gagah berani dapat dipatahkan. Ia ditangkap dalam
keadaan berbaring di tengah-tengah mayat pengikutnya dan membuat diri seperti
pula sudah mati, dimasukkan ke penjara Kalabahi lalu dibuang ke Kupang dan hilang untuk
selama-lamanya. Perjuangan rakyat Alor melawan penjajah berjalan terus.
Pada
bulan Maret l942 pada saat pendaratan Jepang,
pasukan KNIL
dari detasemen di Kalabahi mengadakan pemberontakan. Para opsir dan onderopsir
bangsa Belanda dapat melarikan diri tetapi anggota-anggota pemerintah sipil dan
para rohaniwan Belanda ditangkap dan di penjarakan. Diantaranya yang dibunuh
adalah Pendeta
Dekuana yang berasal dari Ni’i O’en-E’a Hun-Kerajaan Ringgou pulau Rote.
Serentak
pecah pula pemberontakan rakyat kekapitanan Lembur yang di dalam waktu singkat
meluas kekapitanan Welai dan Mataru, yang berbatasan.
Pemberontakan
rakyat ini telah dapat dipatahkan secara kejam oleh tentara Jepang yang
didatangkan dari Kupang. Kepala desa Manet dan Builola (Mataru), temukung Atimelang,
Kepala Desa Dikingpea dan dukun Thomas Atalang yang semuanya berasal dari
kapitaan Lembur ditembak mati di muka umum di Kalabahi. Sedang Temukung (Kepala
Desa) Welai pada keesokan harinya dipancung kepalanya, juga di hadapan umum.
Tetapi baru saja tentara Jepang itu kembali ke Kupang, pemberontakan mulai pula dikobarkan
oleh pengikut-pengikut para pahlawan yang telah terbunuh itu. Pemberontakan
kedua ini dapat diselesaikan oleh pasukan kepolisian yang segera dibentuk di
Kalabahi dari bekas-bekas anggota KNIL yang sebagian didatangkan dari Kupang oleh
Pemerintah “Minsebu”
Jepang. (Sumber : I.H.Doko).
4. Perlawanan Rakyat Flores
Terhadap Belanda
Usaha
Belanda untuk menduduki Larantuka gagal, oleh karena kota ini dipertahankan
mati-matian oleh orang-orang Portugis Hitam di bawah pimpinan keluarga d’Orney dengan
rajanya yang berasal dari keluarga Diaz Viera da Codinho. Dari sana mereka melancarkan pengaruhnya ke daratan
pulau Timor dengan memusatkan kekuatan di Lifao, di sekitar Oekusi sekarang.
Kekuasaan Portugis Hitam (orang-orang Flores dan Timor pribumi) ini merupakan
suatu kekuatan yang terus menerus mengganggu kekuasaan Belanda.
·
Golongan
ini yang dipimpin oleh keluarga da Costa-d’Ornay memperjuangkan kemerdekaan
untuk Timor, tetapi langsung di bawah mahkota Portugis di Lisabon.
·
D’Ornay dari Larantuka (Flores) melalui
perkawinannya dengan da Costa dari Noilmuti (Timor) melahirkan suatu keluarga
yang terkenal dengan nama da Costa-d’Ornay yang memimpin seterusnya kaum Portugis Hitam
melawan Portugis Putih (tentara Portugis asli) dan Belanda.
·
Costa-d’Ornay
mendapatkan bantuan dari raja-raja Timor seperti dari Kaeser Sonbai dan
raja-raja Amfoang, Amanatun, Insana, Amarasi.
·
Dalam perang
Penfui pada tahun l749
misalnya Letnal Jenderal Gasper da Costa, pimpinan Portugis Hitam dibantu oleh raja Amfoang Don Bastino,
yang tewas bersama Gasper da Costa di antara desa Penfui-Baumata (Timor).
·
Raja
Miomafo, Don
Bernando ditawan dan raja Amarasi, Don Alfonso, yang juga ditawan
dipenjarakan, tetapi kemudian diangkat pula menjadi raja sesudah memasuki agama
Protestan.
Seperti
dikatakan golongan Portugis Hitam ini pun memerangi Portugis Putih.
Oleh Prof.C.R.Boxer, guru besar sejarah
Portugis pada Universitas London dalam bukunya “The fidalgos in the Far East” dikisahkan, bahwa
·
Gubernur
Portugis Putih, Guerreiro yang pada tahun l700 diangkat sebagai gubernur untuk pulau-pulau Timor
dan Solor tidak dapat mendarat di Larantuka, pusat kekuasaan Portugis Hitam. Ia
terpaksa mendarat di Lifao, tetapi segera ia dikepung oleh Portugis Hitam.
·
Gubernur Guerreiro mempergunakan tangan besi namun perjuangan
antara Portugis putih dan Portugis Hitam yang dipimpin oleh da Costa-d’Ornay
berjalan terus, dan memuncak dalam tahun l722, ketika Guerreiro diganti oleh Antonio
d’Albuquerque Coelho, seorang peranakan Portugis-Brazilia yang bertindak lebih
keras lagi dari gebernur yang terdahulu.
Semuanya
tidak berhasil. Pemberontakan yang dipimpin oleh Dominggos da Costa berjalan terus dengan hebatnya
sampai pada tahun l769;
orang-orang Portugis Putih dipukul mundur dari Lifao dan semuanya lari ke Timor
Dili (Timor-Timur/Timor Leste) sampai sekarang ini.
Penaklukan Ende
Sementara
itu pengaruh Islam di Flores menjadi bertambah besar. Di Ende, timbul suatu
kekuatan Islam yang adalah terdiri dari campuran orang-orang Makassar dan
lain-lain golongan pelaut yang beragama Islam. Mereka memusatkan diri dalam perdagangan
budak yang mereka ambil terutama dari pulau Sumba.
Belanda
tahun l793 mengadakan
kontrak dengan raja Ende, namun kegiatan mereka dalam merampok dan perdagangan
budak makin meningkat dan tidak menghiraukan, malah bermusuhan dengan Belanda.
Pada
tahun l838 Belanda
mengirim suatu ekspedisi yang diperkuat dengan orang-orang Sabu. Suatu
pertempuran yang cukup seru berlangsung. Akhirnya raja Ende menyerah dan
mengakui kekuasaan Belanda.
Nipa Do, pimpinan perang Watuapi.
Mula timbulnya perang Watuapi.
Peperangan
rakyat Flores Tengah Utara melawan Komponi Belanda yang berlangsung dari bulan Agustus
l9l6 a/d bulan Pebruari l9l7
dan dikenal dengan perang/pemberontakan Watuapi dan Tana-Rea tercatat dalam
satu memori penyerahan jabatan dari Controler Onderafdeling Ende, J.F.Strock
sebagai berikut :
“Sesudah
Belanda menduduki daerah dan seluruh pelosok Onderafdeling Ende dan Ngada, dan
sesudah membentuk sistem pemerintahan yang didasarkan pada adat dengan
mangangkat pemuka-pemuka masyarakat dan tua-tua adat yang berpengaruh sebagai raja
Kepala
Haminte dan kepala-kepala kampung, maka
tenaga rakyat pun mulai dikerahkan untuk bekerja rodi di jalan-jalan dengan
kekerasan untuk membayar pajak yang sangat memberatkannya. Dengan sendirinya
timbullah perasaan-perasaan yang tidak puas dari rakyat dan pemuka-pemuka
masyarakat Tana-Rea yang mengakibatkan pecahnya peperangan Watuapi.
Pada
suatu waktu Nipa Do, Kepala Haminte WolowaE mendapat perintah dari raja
Tana-Rea untuk memimpin rakyat melakukan pekerjaan pada jalan raya Ende-Bajawa
yang di mulai dari desa Ngalumere. Pekerjaan pada trayek itu, adalah sangat
sulit, karena pada beberapa tempat menemui jurang-jurang yang sangat terjal
hingga ke-laut.
Mandor-mandor
jalan dan anggota-anggota tentara Belanda yang mengawasi pekerjaan, adalah
sangat kejam dan tidak mengenal rasa perikemanusiaan.
Para pekerja dicambuk dan dianiaya, bila saja
terlambat dalam menjalankan pekerjaannya yang berat dan berbahaya itu.
Semua itu
disaksikan dengan mata kepala sendiri oleh Nipa Do dan kepala-kepala kampung yang
lainnya, sehingga menimbulkan rasa jengkel dan dengki kepada penguasa Belanda.
Sesudah kepala-kepala kampung itu bersama-sama dengan kepala Haminte Nipa Do di
kampung WolowaE untuk mengadakan mupakat memulailah suatu pemberontakan
terhadap Belanda. Nipa Do diangkat dan diberi kuasa penuh sebagai “Panglima
Tertinggi” dengan menghubungi daerah-daerah tetangga, agar bersama
mengadakan perlawanan yang serentak. Kepa Biu, seorang pembantunya diangkat
sebagai panglima perang untuk pantai selatan, sedang Laja Dhosa dan Deru Gore berturut-turut diangkat
sebagai panglima wilayah sebelah timur.
Ketiganya
harus menyiapkan dalam waktu singkat; bedil, obat bedil dan alat-alat senjata
apapun yang dapat dipakai dan membuat kota-kota batu sebagai benteng pertahanan
di masing-masing wilayahnya; juga diputuskan dalam musyawarah itu, bahwa Panglima
Deru Gore dari wilayah sebelah
timur harus menyerbu Nangapanda, pusat kekuatan tentara Belanda dan memutuskan
jaringan-jaringan telpon, setelah mendengar berita telah terbunuhnya seorang
pedagang Cina oleh Nipa Do.
Ditetapkan
juga, bahwa hanya kampung Watuapi yang menyatakan perang kepada Belanda dan
sebagai bukti nanti, maka semua surat-surat pajak rakyat Tana-Rea, disertai
dengan pernyataan, bahwa rakyat Watuapi tidak bersedia lagi membayar pajak dan
bekerja rodi.
Teknik siasat perang
Pasukan
rakyat disiapkan dalam beberapa jenis pertahanan yaitu :
1.
Pasukan jerat
dengan tugas memasang jerat atau batu gulingan pada jalan-jalan sempit.
- Pasukan panah
dengan tugas menyiapkan alat panah tangan dan panah-panah otomatis (wao-peu)
pada jalan-jalan yang menguntungkan.
- Pasukan kuda
dan tombak khusus untuk WolowaE, karena di sana terdapat padang-padang
yang luas dan rata, di mana penunggang kuda yang bersenjatakan tombak
dapat beroperasi dengan leluasa.
Sesudah semuanya menerima komando untuk menjalankan disiplin yang kuat, dan
hanya taat dan tunduk pada perintah Nipa Do, dengan semboyan, “lebih baik mati
di medan perang daripada mati di jalan raya di bawah penjajah Belanda,” maka kembalilah
sekaliannya ke kampung halaman masing-masing untuk mengadakan persiapan
secermat-cermatnya.
Setelah
selesai segala persiapan, maka mulailah Nipa Do mencari alasan untuk memulaikan
pemberontakan.
Seorang
pedagang Cina di WolowaE dibunuh, karcis-karcis pajak dari kampung Watuapi dikumpul
dan dikembalikan kepada raja Tana-Rea, rakyat dari Nipa Do dan Kepa Biu tidak
kembali lagi ke tempat pekerjaan rodi di jalan-jalan raya Ende-Bajawa.
Semua ini sebagai isyarat, bahwa Deru Gore
harus mulai menyerang asrama militer Belanda di Nangpanda,.
Serangan
dari Gore berlangsung dengan tiba-tiba pada tengah malam bulan Agustus l9l6. Dengan panah-panah
api pasukan rakyat membakar habis asrama militer Belanda.
Didalamnya
terang nyala api kebakaran, anggota-anggota pasukan bedil dan panah rakyat.
Korban di pihak pasukan Belanda besar dan sisanya yang dapat meluputkan diri,
lari dalam keadaan kucar-kacir ke pasukan induknya di Ende.
Kawat-kawat
telpon ke jurusan Ende dan Bajawa sudah diputuskan. Setelah menyelesaikan
tugasnya pasukan Deru Gore segera mengundurkan diri kembali ke kampung Kamubheka
untuk mempersiapkan dan memperkuat diri guna membantu Nipo Do di Watuapi; oleh
karena teriakan-teriakan pasukan Deru Gore yang hanya menyebut-nyebut nama Watuapi
dan Nipa Do,
jelaslah kepada pasukan Belanda, bahwa pusat pemberontakan adalah Watuapi di
bawah pimpinan Nipa
Do.
Pengaturan Medan Pertempuran di Kotawake
Kepa Biu,
panglima pantai selatan, sekembali ke tempat pertahanannya di WolowaE selatan
telah menetapkan kampung Kotawake sebagai benteng pertahanan.
Dibuatlah
pagar-pagar batu yang tebal, sedang pasukannya dilengkapi dengan bedil, panah
tangan dan panah otomatis, batu gulingan, ali-ali.
Pilihan
tempat pertahanan itu adalah sangat strategis karena :
1
Jalan
harus menyusur sungai sepanjang lebih kurang 200 meter.
- Bagian barat
dari sungai itu bertebing sangat terjal, sehingga mudah dijagai oleh pasukan gulingan batu dan
pasukan panah.
- Pada sebelah
timur dari sungai itu terbentang suatu padang kecil, sehingga ditumbuhi
pohon-pohon besar yang lebat.
- Sedang, pada
sebelah utara telah dibuat pagar-pagar batu untuk tempat pertahanan
pasukan bedil.
Kepada Wani Koda, kepala Kampung Ute, yang menjadi salah seorang
pembantunya diinstruksikan untuk :
a.
Menerima
tentara Belanda dengan sangat ramah-tamah.
b.
Menipu
tentara Belanda dengan berita, bahwa menurut kebiasaan, pasukan Nipa Do
bersembunyi di atas-atas pohon yang rimbun dan dari sanalah menyerang musuh
dengan bedil dan panahnya. Oleh karena itu bila pasukan Belanda tiba di tepi
sungai sebelah timur dan ada tembakan atau peluncuran anak panah, siramilah
pohon-pohon yang rimbun itu dengan peluru, pasti pasukan Nipo Do
banyak yang akan mati tertembak.
c.
Membiarkan
tentara Belanda secara leluasa menuju Kotawake dan WolowaE. Pasukan rakyat Ute segera
membagikan dirinya dalam 3
kelompok.
Kelompok
I, mengikuti pasukan Belanda dari belakang, lalu mengadakan pertahanan di
kampung Mudusika untuk menghadang pasukan Belanda, bila ia sebentar terpaksa
mengundurkan diri dari benteng pertahanan Kotawake. Kelompok II, mengikuti
terus pasukan Belanda dan mengadakan pertahanan di kampung berikutnya dengan
tugas yang sama.
Kelompok
III, di bawah pimpinan Wani Koda sendiri
mengikuti pasukan Belanda sampai ke perbatasan Korawake dan menghadangnya bila
ia mundur oleh serangan hebat yang dilancarkan oleh Kepa Biu dari Kotawake,
atau mengadakan serangan dari belakang pada waktu pertempuran berlangsung di Kotawake.
Demikianlah
siasat pertempuran diatur secara teliti dan dengan semboyan,
·
“lebih
baik mati di medan perang,
·
daripada mati di jalan raya dijajah Belanda”
maka
pasukan Kepa Biu menunggu-nunggu serangan balasan Belanda.
Hari yang
dinanti-nantikan pada tanggal l7 Agustus l9l7.
Sepasukan tentara Belanda berjumlah 300 orang berangkat menuju WolowaE dengan maksud terlebih dahulu
mengejar Kepa Biu yang sudah secara terang-terangan bergabung dengan pasukan
pemberontak Nipa
Do.
Sesuai
perjanjian, Wani Koda melaksanakan segala keputusan yang harus dijalankan
terhadap pasukan Belanda, antara lain dengan menunjukkan sikap seolah-olah ia
sangat bersimpati kepada Belanda. Pasukan Belanda maju ke Kotawake dikirimlah
oleh pasukan Belanda seorang pengintai untuk memeriksa keadaan sekitarnya.
Tiba-tiba ia berhadapan dengan Kepa Biu sendiri, yang sedang mengadakan suatu
pengadangan. Si pengintip dengan sombongnya berkata., “Kau Kepa Biu, kau berani melawan tentara
Belanda? Ayo menyerah saja!” Kalau tidak kau dengan seluruh rakyatmu akan
dihancurkan oleh Kompeni.”
Baru saja
ia mengucapkan kata-kata itu, dan baru saja terdengar suara Kepa Biu yang
berkata,”Kami akan bertempur, kami lebih baik
mati dari pada bekerja rodi di jalan untuk penjajah!” sebuah peluru dari
seorang pengawal Kepa Biu yang bersembunyi, tepat mengena kepala pengintip itu
dan segera roboh ke tanah. Mendengar tembakan itu, maka sesuai dengan apa yang
telah disarankan oleh Wani Koda, pasukan Belanda menyiram hutan itu dengan
tembakan-tembakan senapan yang gencar dan terus menerus.
Banyak
pelurunya habis, tanpa ada korban seorang pun. Pasukan Belanda maju menelusuri
sungai.
Pasukan
bedil dan panah Kepa Biu mulai menyerangnya dari utara dan barat, sedang batu
guling dari tebing sebelah barat bergemuruh menuju sungai dibarengi dengan anak
panah yang meluncur dengan tidak berkeputusan.
Sedang Belanda
menaruh seluruh perhatiannya atas serangan-serangan yang datang dari utara dan
barat, datang pula serangan tiba-tiba dari sebelah selatan di bawah pimpinan Wani
Koda.
Pasukan Belanda
terjepit dari segala jurusan. Dengan susah payah dan meninggalkan korban yang
tidak sedikit ia dapat meloloskan diri dari himpitan serangan Kepa Biu dari utara dan Wani Koda dari selatan.
Segera Wani Koda
mengundurkan diri secara teratur kembali ke kampung Ute untuk menerima secara
ramah-tamah kedatangan pasukan Belanda yang mengundurkan diri itu. Sementara
itu pasukan Kepa Biu terus mengejar pasukan Belanda dari sebelah utara dan
kepada Wani Koda disampaikan berita, bahwa pada malam itu akan diadakan pula
serangan umum. Untuk itu Wani Koda harus memberi makan minum sebanyak-banyaknya
kepada pasukan Belanda yang sudah sangat payah dan letih itu.
Pada
tengah malam pasukan Belanda yang tidak mencurigai sedikit pun itikat dari Wani
Koda dan rakyatnya, ada yang sudah mabuk dan separuhnya sudah tidur nyenyak.
Datanglah
serangan yang tiba-tiba dari Kepa Biu, dibantu oleh Wani Koda dan terjadilah penyembelihan yang tak ada
taranya. Pada keesokan harinya sesudah pasukan Kepa Biu menarik diri kembali ke
Kotawake, rakyat kampung Ute membantu Belanda mengumpulkan mayat-mayat
serdau-serdadu Belanda yang bergelimpangan dan dalam sebuah lubang besar
dikuburkan sekitar 200 mayat di tempat yang bernama Malasera.
Selesai
penguburan ini tentara sisa Belanda itu kembali ke Nangapanda dengan rasa hina
dan terpukul.
(Penulis : ***Demi dokumen sejarah,
tempat penguburan ini perlu digali kembali untuk diteliti kebenaran sejarahnya)***.
Pertempuran
di Wagha
Pasukan
rakyat dengan Nipa
Do sebagai Panglima Tertingginya makin
memiliki rasa percaya diri atas kemampuannya dan terus mempersiapkan
diri menanti serangan tentara Belanda yang pasti akan diulangi lagi dengan
kekuatan yang lebih besar. Kali ini dengan serangan-serangan melalui bagian
utara. Oleh Laja
Dhosa, Panglima sektor utara, sesudah perundingan WolowaE segera telah
dipersiapkan :
1.
Pasukan bedil berjumlah l50 orang di Wagha;
2.
Pasukan kuda dan tombak sejumlah 300 orang
bertempat di dataran Bega.
3.
Pasukan
ali-ali sejumlah 50
orang bertempat di sepanjang sungai-sungai kecil di dataran Bega.
4.
Pasukan
panah dan jerat sejumlah 50
orang disepanjang jalan yang akan dilalui oleh pasukan Belanda.
5.
Pasukan
wanita yang mencari ‘ondo’ untuk meracuni sumber-sumber air, agar tidak dapat
dipergunakan oleh pasukan Belanda
6.
Di
setiap pertahanan dibuatkan kubu dan tembok-tembok batu yang dihiasi dengan
sebilah papan yang ditaburi dengan darah ayam, sebagai lambang kekuatan rakyat
yang membaja dalam pertahanan.
Sesudah Belanda
mengalami kekalahan pahit di sektor selatan melawan Kepa Biu di Kotawake, maka kali ini ia
menyiapkan pula suatu tentara yang kuat untuk menyerang Watuapi dari sebelah
utara, melalui wilayah Laja Dhosa. Tentara Belanda mempergunakan Raja Iju
yaitu Raja Muda Tana-Rea sebagai petunjuk jalan. Beberapa desa dilalui dengan
di sana-sini terus menerus diganggu oleh pasukan rakyat.
Di
kampung Wolosampi misalnya, pasukan rakyat, bertahan dengan hebatnya dengan
akibat desa Wolosampi dibakar habis oleh tentara Belanda.
Pasukan rakyat menarik diri dan memusatkan kekuatannya di Wagha yang telah
diperkuatkan dengan pasukan bedil dari Deru Gore, panglima sektor timur .
Pada waktu memasuki kampung Wagha, pasukan Belanda disambut dengan
tembakan-tembakan bedil dan panah oleh pasukan
rakyat yang dipimpin sendiri oleh Panglima Laja Dhosa.
Pasukan
kuda yang bersenjatakan tombak menyerang ke tengah-tengah musuh, yang
mengakibatkan Tentara Belanda kebingungan dan menjadi cerai-berai. Apalagi
sesudah ternyata, bahwa semua mata air di sekitar kampung itu telah diracuni,
sehingga beberapa anggota tentara yang meminum airnya menjadi sakit, lalu mati.
Tak ada
jalan lain lagi bagi Belanda dari pada mengundurkan diri jauh ke belakang
dengan meninggalkan korban besar, hampir separoh dari pasukan tewas.
Diusahakannya dengan susah payah untuk kembali ke Nangapanda guna meminta
bantuan dan menyusun kekuatan baru, tetapi sementara dalam pengunduran itu,
pasukan Belanda terus menerus diserang oleh pasukan Laja Dhosa dan Deru Gore.
Belanda sudah mengalami sendiri betapa hebatnya pertahanan Watuapi,
sehingga sesudah menderita kekalahan hebat di sektor selatan dan utara,
dicobanya sekarang untuk menyerang Watuapi dari sebelah barat. Disusunlah suatu
pasukan yang kuat yang bertugas menyerang Watuapi dari sebelah barat. Tentara Belanda
tiba tanpa halangan di Soba, sebuah kampung di Ngada Timur dan pada keesokan
harinya mulailah ia menyerang Watuapi.
Watuapi diduduki Belanda
Pasukan Nipa
Do dibantu oleh pasukan Dhedhu Wati dari Lambo dan pasukan Rea Sape dari Mbay.
Ketiganya memukul mundur tentara Belanda kembali ke Soba, dengan menderita
kerugian besar. Ketiga pasukan kembali ke tempat pertahanannya, untuk menyusun
kekuatan.
Dua
minggu kemudian tiba suatu pasukan bantuan Belanda yang besar, yang terdiri
dari sekitar 300
orang dari Ende di Soba.
Serangan Belanda
yang kedua ini berhasil mematahkan pertahanan Dhedhu Wati; malahan dapat
menangkapnya bersama 2
orang hulu balangnya. Dengan tertangkap Dhedhu Wati, maka pasukan Lambo
kehilangan pimpinan dan patahlah semangat juangnya. Belanda sekarang dapat
dengan leluasa menyerang Watuapi dari beberapa jurusan.
Dhedhu
Wati dengan 2 orang hulu balangnya dipaksa Belanda untuk berjalan di muka
tentara Belanda melalui jalan yang sangat berbahaya meliwati kampung Ratedao.
Meskipun
mereka menolaknya dengan keras, karena tidak bersedia untuk dipakai sebagai
alat untuk menghianati kawan-kawannya namun mereka dipaksa dan diseret untuk
berjalan dimuka pasukan musuh. Namun
tekad ketiganya tetap kuat; mereka lebih baik mati dari pada merugikan
perjuangan saudara-saudaranya. Setibanya pada suatu padang di atas gunung
bernama Warikeo, Dhedhu Wati dengan
sengaja menunjuk jalan yang salah untuk memperlambat sampainya tentara Belanda di
Watuapi
Karena
itu pasukan Belanda harus bermalam di tengah hutan di dekat sebuah jurang yang
terjal dan dalam.
Kepala
pasukan mulai mencurigai itikat jahat Dhedhu Wati. Diadakan pemeriksaan dengan
disertai berbagai bujukan, tapi kemudian dengan pukulan dan ancaman.
Semua
usaha Belanda sia-sia adanya. Dhedhu Wati dan kawan-kawannya tetap tidak
bersedia memberitahukan jalan yang tepat menuju Watuapi, malahan tambah
mengeluarkan ejekan-ejekan, “Kalau
tuan-tuan berani, bunuh sajalah kami, agar menjadi bukti bagi turunan kami
betapa jahat dan bengisnya teantara Belanda.”
Kepala
pasukan Belanda naik darah dan tanpa ampun menembak mati Dhedhu Wati
dan seorang kawannya.
Kawannya
yang seorang lagi, yaitu Dhodo Dhu berhasil meloloskan diri dengan membuang
diri kedalam jurang yang berada di
sebelahnya.
Tubuhnya
tersangkut pada dahan-dahan pohon yang berada di bawah, dan ia tiba dengan selamat di dasar jurang,
meskipun tentara Belanda menembaknya terus-menerus dari atas.
Keesokan
harinya pasukan Belanda meneruskan perjalanannya tanpa petunjuk jalan menuju Watuapi,
yang sedang dijaga oleh pasukan Laja
Dhosa.
Laja
Dhosa yang memusatkan seluruh pertahanannya di sebelah timur Watuapi, sama
sekali tidak menyangka, bahwa Belanda akan menyerang dari sebelah barat.
Tiba-tiba saja pasukan Belanda telah memasuki Watuapi dari tempat yang tidak
dijaga; seluruh kampung serta seluruh persediaan makanan habis dibakar. Laja Dhosa
terperdaya, sehingga harus mengundurkan diri ke pegunungan.
Watuapi dapat
diduduki, tetapi semangat juang rakyat tetap bernyala-nyala, hal mana terbukti
dengan serangan-serangan balasan yang diadakan setiap malam. Pasukan Belanda
makin diperkuat di Watuapi dan untuk mengamankan diri dari serangan-serangan
malam yang bertubi-tubi datangnya dari utara dan selatan diadakanlah
pembersihan secara besar-besaran. Rumah, kebun dan hewan rakyat disekitar Watuapi habis
dibakar.
Siapa
saja yang diketemui di wilayah itu dibunuh. Pasukan rakyat siang malam dikejar
terus menerus. Sesudah Watuapi diduduki
maka daerah pantai Utara mendapat giliran pembersihan. Pasukan rakyat
mengalihkan tempat-tempat pertahanan ke Ngada Timur.
Untuk itu
perlu Kepa Biu di WolowaE selatan diserang
untuk kedua kalinya agar dapat menembus jalan ke tempat pertahanan Nipa Do
yang baru. Atas perintah Nipa Do, Kepa Biu telah menyiapkan pertahanannya di Koli Luja,
sebuah kampung di atas bukit Luja yang dikelilingi dengan tebing-tebing yang
terjal dan jurang-jurang yang mengerikan.
Hanya ada
satu jalan yang sempit dan kecil, yang dalam masa perang dapat dijaga dengan
kuat
Di
sekeliling kampung disediakan batu-batu besar yang terikat kuat dengan tali
temali, serta tersusun dalam barisan-barisan melilit bukit tersebut sebagai
senjata penting pemusnah yang berada di kaki bukit Luja itu.
Pertempuran di Koli Luja
Pasukan Belanda
memulai ekspedisinya dari Watuapi dan tiba pada keesokan harinya di Koli Luja.
Pada saat mereka hendak memasuki kampung Koli Luja dari jalan biasa, maka
pasukan rakyat mulai beraksi dan pasukan
Belanda terpaksa mundur dan mengadakan perkemahan pada kaki bukit Luja.
Sementara
tentara Belanda berteduh, mulailah pasukan rakyat menyerang mereka dari atas
bukit. Batu besar-besar berderu turun dan anak panah dan peluru bedil
bertubi-tubi ditembakan ke arah musuh.
Pasukan Belanda
menyingkir, tetapi bertekad untuk menduduki kampung Luja itu dengan menempuh
jalan dan daya apa pun.
Seorang
kuli dipaksa mendaki bukit itu dari sebelah belakang, untuk merintis jalan bagi
pasukan Belanda.
Dengan
memanjat dan berpegang pada akar-akar kayu ia berhasil dengan susah payah
mencapai puncak bukit Luja itu; jalan telah dirintis dan sepasukan kecil
tentara Belanda yang bersenjata lengkap, mengikuti jalan itu dan menyerang
pasukan rakyat Luja dengan tiba-tiba dari belakang, malahan membakar habis
rumah-rumah dan persediaan makanan, senjata dan hewan-hewan rakyat. Patahlah
pertahanan rakyat Koli Luja.
Dalam
tempo 2 minggu Belanda
memasuki WolowaE dan mulai mengadakan pembersihan yang kejam. Kampung, gudang
makanan, hewan, kebun-kebun rakyat dibakar habis.
Atas
bujukan seorang kawan yang ternyata menjadi mata-mata Belanda, “bahwa bila
menyerah akan diberikan pengampunan dan diberi kedudukan yang tinggi,” maka Kepa Biu terpengaruh dan
datang ke Ngapanda untuk menyerahkan diri kepada raja Tana-Rea. Raja Tana-Rea
menyerahkan kepada tentara Belanda dan sesudah beberapa hari ditahan, ia
diangkut ke Ende bersama istri dan beberapa kawannya. Untuk mengelabui mata
para pejuang, agar mau menyerahkan diri.
Kepa Biu
dan kawan-kawannya diperlakukan dengan sangat ramah- tama oleh Belanda, tetapi
sesudah tawanan-tawanan dari WolowaE utara dan timur dan Ngada timur tiba di Ende,
maka mulailah diadakan pemeriksaan dan penjatuhan hukuman.
Kepa Biu
dijatuhi hukuman seumur hidup dan dibuang ke luar Flores dan hilang tanpa
bekas. Istrinya dikembalikan ke WoloaE dan oleh raja Tana-Rea ia pernah
diangkat sebagai kepala kampung WolowaE. Oleh bujukan manis Belanda, demikian
pun oleh penghianatan beberapa kawan seperjuangan, kekuatan pasukan rakyat
makin berkurang. Banyak pemimpin, karena terpengaruh oleh kemewahan material
yang diberikan Belanda, datang menawarkan diri untuk bekerja sama dengan Belanda,
malahan bila perlu menghianati kawan seperjuangan.
Belanda
menjanjikan harta serta kedudukan tinggi bagi barang siapa yang dapat
menunjukkan tempat persembunyian Nipa Do, Laja Dhosa dan Daru Gore, atau
pun membujuk mereka untuk menyerahkan diri kepada Belanda. Akhirnya sesudah
mendengar kabar, bahwa pemimpin-pemimpin rakyat sudah ditawan semuanya, maka Laja Dhosa
pun, yang sudah dikejar kian kemari dan mengalami kelaparan dan berbagai
penderitaan datang menyerah diri pada tentara Belanda di Wagha. Beberapa waktu
kemudian disusul pula dengan penyerahan diri Deru Gore; kedua panglima ini terjebak
oleh siulan manis dan janji muluk-muluk pihak Belanda, yang menyatakan tidak
akan mengambil sesuatu tindakan apa pun
terhadap mereka yang menyerahkan diri dengan suka rela. Tinggallah Nipa Do
seorang diri mengembara dan dikejar kian kemari.
Nipa Do dikhianati
Seorang
tawanan di Ende, bekas kepala kampung dari Haminte WolowaE bernama BiaE DhaE
menyatakan kesanggupannya untuk menangkap Nipa Do. Ia segera dibebaskan dan
dikembalikan ke kampungnya dengan membawa sepucuk surat untuk kepala pasukan di
Watuapi dan Wagha. Ia akan diangkat menjadi Kepala Haminte WolowaE bila
berhasil menangkap Nipa Do. Sekembalinya di kampung, maka pertama-tama ia
mengajak semua penduduk untuk kembali kerumah dan kampung halamannya
masing-masing. Juga segera ia melaporkan diri kepada kepala Pasukan Belanda dan
memberitahukan cara dan siasatnya untuk menangkap Nipa Do. Dicarinya 3 orang
anggota keluarga dan pengikut setia Nipa Do diantara tawanan Belanda di Wagha.
Ketiga
orang itu disuruhnya mencari tempat kediaman Nipa Do dan menyampaikan pesan BiaE
DhaE dengan ditambah keterangan, bahwa BiaE DhaE ingin secara pribadi
mengunjungi dan membicarakan di bawah empat mata syarat-syarat yang akan
dimajukan kepada Belanda. Meskipun dengan agak ragu-ragu, Nipa Do menerima
ajakan BiaE DhaE dan bersedia mengadakan perundingan di kampung Kawa, yang
terletak di lereng gunung.
Hal ini
disampaikan oleh ketiga pesuruh kepada BiaE DhaE, karena takut akan mengalami
kegagalan, ketiganya disuruh kembali kepada Nipa Do dengan pernyataan, “Nipa Do
tidak perlu takut; BiaE DhaE menjamin keselamatan tubuh dan nyawanya, asal saja
perundingan itu dapat dilakukan di kampung Nusa, di hadapan istrinya pada jam
tengah malam.” Nipa Do menerimanya, dan sementara itu BiaE DhaE telah
melaporkan hal ini kepada Belanda dengan permintaan, agar pada pagi hari buta,
sesudah kokok ayam pertama, kampung Nusa dan khusus rumah tempat Nipa Do
berada, dikepung rapat-rapat oleh pasukan Belanda yang kuat dan bersenjata
lengkap. Nipa Do turun dari tempat persembunyiannya dan berangkat menuju Nusa.
Di WolowaE ia masih sempat beristirahat untuk menemui sanak saudaranya. Sesudah
ia tiba di Nusa, maka pada tengah malam itu juga tiba di disana BiaE DhaE.
Dimulailah
pembicaraan antar keduanya. BiaE DhaE
terus menerus memuji-muji keberanian Nipa Do yang telah mengalahkan dan
telah menjadikan Belanda bertekuk lutut kepadanya dan meminta agar diadakan
perdamaian. Nipa Do akan diangkat menjadi raja Tana-Rea dan raja Kaka Dupa yang
lama akan dilepaskannya. Demikian asyik dan ramah-tamanya mereka berbicara, sehingga tanpa disadari
hari sudah hampir pagi, kokok ayam pertama terdengar, dan tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh gerak langkah yang ramai
di sekeliling rumah tempat mereka berunding. Nipa Do telah terkepung dan masuk
perangkap.
Kepala
Belanda masuk kedalam rumah dan dengan nada yang keras dan ganas bertanya, “Mana
Nipa Do!” Dengan tenang Nipa Do menjawab, “Sayalah Nipo Do!” Ia ditangkap,
diikat dengan rantai baja dan dinyatakan, bahwa pada pagi itu juga ia akan
diangkut ke Ende untuk menghadap pembesar Belanda di sana. “Saya tidak mengenal
pembesar lain selain nenek moyangku sendiri,” jawab Nipa Do dengan berani.
Mendengar kata-kata itu Kepala pasukan Belanda segera mengangkat bedilnya dan
menembak Nipa Do di kepalanya.
Sebelum
ia menghembuskan nafasnya yang terakhir, ia masih mengucapkan kata-kata dalam
bahasa Daerah yang berarti, “ Cepat atau Lambat, Tanah Airku pasti Merdeka.” Belanda memerintahkan
untuk membakar jenasahnya, tetapi atas permintaan BiaE DhaE maksud itu diurungkan, dan Nipa
Do dikuburkan oleh penduduk kampung Nusa, di mana hingga kini, makamnya masih
dapat dilihat berupa suatu tumpukan batu biasa.
(Penulis
: Dimanakah makamnya, buatkanlah “Tugu Pahlawan
Flores” ini oleh Pemda setempat).
Berakhirlah
sejarah perjuangan Nipa Do yang gagah perkasa. Salah seorang pembantunya RaE
Sape, Kepala adat Mbay masih meneruskan perlawanannya terhadap Belanda, tetapi
akhirnya sesudah pertempuran di beberapa tempat dan terus-menerus dikejar-kejar
oleh tentara Belanda, maka RaE Sape pun, pada waktu melihat anak-istrinya
disiksa secara kejam oleh Belanda, ia datang menyerahkan diri dan sesudah
ditawan beberapa lama di Ngada, dibuang ke Kupang.
Demikianlah
sekelumit sejarah perjuangan rakyat terhadap penjajah Belanda di Flores. Masih
banyak ‘Nipa
Do’ terdapat di Nusa Bunga,
misalnya di Manggarai, di Sikka dan lain-lainnya, yang dapat menambah semarak
dan memberi keharuman yang menyegarkan pada sejarah perjuangan Bangsa
Indonesia, khususnya di Nusa Tenggara Timur.
5. Perlawanan Rakyat Di
Sumba
Terhadap Belanda
Perlawanan
raja-raja Sumba terhadap penjajah Belanda adalah sebagai berikut :
a. Belanda mengadakan kontak pertama dengan Raja
Mangili, tetapi hanya di atas kertas. Raja tetap berdaulat dan tetap mengadakan
‘strandroof’ dan menjalankan perdagangan budak. Sebuah kapal Inggris karam
dalam tahun l838 di
Lamboya. Kapal itu dirampok seluruhnya sedangkan anak buah kapal dibawa ke
pedalaman sebagai budak. Pada tahun l845 dibuat lagi kontrak baru, disusul pula pada tahun l862, tetapi semuanya
tidak ada gunanya..
b. Pada tanggal 31 Agustus l866 seorang Controleur Belanda, Roos ditempatkan
di Kambaniru. Raja yang berkuasa pada saat itu adalah raja Lewa, Umbu Tunggu di
Sumba Tengah, yang telah menaklukan kerajaan-kerajaan yang lain sampai ke
pelabuhan Waingapu. Ia mempunyai satu pasukan tetap dan merupakan musuh yang
terbesar dari Belanda. Selama hidupnya ia tidak pernah bertemu dan menerima
Pemerintahan Belanda. Oleh karena pelabuhan Waingapu terletak dalam wilayahnya,
maka setiap kapal yang berlabuh harus membayar pajak berlabuh dan bea pelabuhan
kepadanya; kemudian ia mengharuskan setiap pedagang kuda membayar bea expor
untuk setiap ekor kuda yang dikirim ke luar. Pedagang kuda pun di kenakan pajak
rumput. Kota Waingapu terus menerus diancam untuk dikepung dan dibakar. Sampai
ia meninggal dunia tahun l892
dan diganti oleh kemanakannya, Bidi Taoe, Lewa tetap menjadi musuh utama dari
Belanda. Dengan bantuan Gubernur
Makassar yang mengirim satu pasukan Belanda dengan kapal perang “Java”, Kapten van Dyk,
controleur Waingapu dalam tahun l90l menyerang Lambanapu, tempat kediaman Raja Lewa. Raja Bidi
Taoe dapat meloloskan diri dari kepungan
Belanda dan meneruskan perjuangan. Belanda mengirim bala bantuan dari Jawa,
tetapi tidak berhasil menangkap Raja
Lewa dan keadaan perang berlangsung hingga tahun l906.
c. Pada tahun l906 Memboro diserang oleh Belanda
di bawah pimpinan Letnan Rynders. Raja Oemboe Karai meloloskan diri dari kepungan Belanda dan melanjutkan
perjuangannya dengan perang gerilya di gunung-gunung. Namun kerajaan Memboro
dapat diduduki dan sesudah kemudian raja menyerah, ditempatkanlah seorang
posthouder di Memboro. Usaha Belanda menempatkan seorang Letnan dan satu
pasukan di Waikabubak mendapat tantangan yang hebat dari raja dan rakyat
kerajaan Lauli. Pasukan Belanda diserang dan Letnan de Neve luka parah dan meninggal
dunia.
d. Di Massu dan Karera (Sumba Timur) keadaan
bagi Belanda pun sukar sulit. Raja-raja
kedua kerajaan melalui perang gerilya terus menerus menghantam kedudukan Belanda.
Sesudah Kota Kenangga di Massu dikepung dan ditaklukan oleh Belanda barulah
keadaan Sumba Timur menjadi lebih cerah bagi Belanda..
Demikianlah
beberapa cukilan dari perjuangan untuk kemerdekaan dari raja dan rakyat di
kepulauan Nusa Tenggara Timur yang merupakan hasrat yang menyala-nyala untuk
meruntuhkan kekuasaan Belanda.
Pemberontakan
terjadi di Timor, Belu, Alor, Rote, Flores, dan Sumba namun pemberontakan itu
tidak berhasil menumbangkan kekuasaan penjajah.
Sebabnya,
terang bukan karena para pemimpinnya kurang berani. Sebab yang utama, ialah
karena antara kita belum ada persatuan nasional.
Semua pemberontakan masih bersifat lokal/kedaerahan dan terpisah-pisah satu
dari lainnya. Akibatnya penjajah, di samping keunggulan senjatanya yang paling
ampuh; mangadu dombakan kita dengan kita, menjalankan poletik memecah-belah
kita dengan kita, lalu tetap berkuasa. (Sumber : I.H.Doko, Perjuangan
Kemewrdekaan Indonesia di Nusa Tenggara Timur, PN.Balai Pustaka,Jakt
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
USULAN
PENULIS : Pemda Provinsi NTT, menjadi Sponsor Pembuatan Film
Dokumenter Perjuangan Rakyat NTT
terhadap Para Penjajah (Portugis, Belanda, dan Jepang) berdasarkan Tulisan di
Buku ini. Hubungi Produser Film di Jakarta, untuk menjajaki
Pembuatan Film tersebut. Hal ini dikarenakan anggapan selama ini oleh sementara
para penulis Sejah, seolah-olah Rakyat NTT tidak punya andil dalam perjuangan
Kemerdekaan RI selama ini. Hal ini dikarenakan “Tidak ada buku Sejarah NTT’
yang diangkat selama ini”secara
Nasional.
Bagaimana Pendapat Bapak Gubernur NTT,
tentang Usulan Ini?
Kapan Actionnya.
(Penulis : Drs.Simon Arnold Julian
Jacob—Alamat : Jln.Jambon I, No.414J, RT.10 – RW.03 – Kricak – Jogjakarta, Telp.0274.588160
– HP.082135680644)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.