alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Rabu, 14 Januari 2015



SEJARAH BELANDA MENDUDUKI KUPANG -TIMOR
DAN MENGUASAI  RAJA-RAJA DI NTT

Pada saat permulaan Belanda menduduki Kupang terdapat 2 kerajaan, yaitu Kerajaan Helong (Kupang) dengan rajanya yang bernama Naikopan, yang kemudian diganti oleh menantunya bernama Bissing-Lissing yang berasal dari Belu, dan kerajaan Amarasi, dengan rajanya bernama Nai Nafi Rasi (Ama Rasi) yang juga berasal dari Belu.
Kemudian timbul kerajaan-kerajaan baru pada sekitar l650-l655 sebagai pengungsian dari pedalaman pulau Timor, ke Kupang yaitu :
  1. Kerjaan Sonbai Kecil, suatu cabang dari Sonbai yang menetap di sekitar Bakunase.
  2. Kerajaan Funai (dari Amanuban), menetap disekitar O’epura/Pola.
3.    Kerajaan Amabi O’efeto, dan Amabi Niki-Niki (Tambaring) dari Amanuban yang menetap berturut-turut di Biloto, sekitar Babau, Liliba dan di kampung Bonipoi (Kupang).
  1. Kerajaan Tabenu (dari Mollo) menetap di Baumata, kemudian di Mantasi. Mereka datang ke Kupang bersama-sama dengan rakyat pengikut-pengikutnya.
Bersama ‘Raja’ Helong, keempat ‘Raja yang baru ini bersatu dengan Belanda. Mereka kelimanya merupakan 5 ‘Raja’ yang setia kepada “Kompeni’ dan dalam  tahun l659 sebagai balas jasa, 3 orang ‘Raja’ : Sonbai Kecil, Kupang dan Amabi dibawa ke Batavia (Jakarta)  guna melihat dan menyaksikan kekuatan dan kekayaan VOC Belanda.

Perlawan Rakyat  Nusa Tenggara Timur, Terhadap Penjajah Hindia Belanda
Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia 1945

1. Perlawanan Rakyat di Timor Terhadap Belanda.
Perlawanan Rakyat  Amarasi

Raja Amarasi yang kian hari kian menjadi kuat, tetap memusuhi Belanda dan senantiasa mengganggu kedudukan Belanda di Kupang. Ia memperluas kerajaannya dengan menduduki wilayah Kupang, sehingga raja Kupang tinggal memiliki sebidang tanah kecil, untuk tempat kediamannya dan di sanalah sementara itu Portugis, kemudian Belanda bercokol.
Dalam tahun l656 Belanda mengirim suatu expedisi untuk menyerang Amarasi, tetapi gagal. Tentara Belanda dipukul mundur dan Kupang diserang terus menerus. Serangan Amarasi itu dibantu pula oleh serangan Sonbai dari Utara, menyebabkan Belanda pada waktu itu mempertimbangkan untuk memindahkan benteng pertahanannya ke-pulau Rote, tetapi hal itu tidak pernah dilaksanakan.
Pada tahun l749 raja Amarasi beserta Raja Amfoang dan Amanuban dari pedalaman Timor, sambil bersekutu dengan Portugis Hitam dibawah pimpinan Letnan Jederal Gasper da Costa menyerang Kupang.
Pasukan ini yang berkekuatan sekitar 40.000 orang di musnakan dalam pertempuran di Penfui (kini menjadi Bandara Udara El Tari Kupang) oleh Belanda di bawah komando Kapten Mardijker Frans Mone Kana.
Ia dibantu oleh Maredijkers dari Solor, Rote, Sabu, dan orang-orang Timor dari ke-5 kerajaan sekitar Kupang. Dengan kekalahan total ini berakhirlah kekuasaan Portugis Hitam dibagian daratan selatan pulau Timor.
Raja Amarasi, Don Alfonso ditangkap dan dipenjarakan di Kupang. Sekembalinya ke Amarasi, raja ini tetap membangkang dan tetap bermusuhan dengan Belanda.
Dan tahun l752 Belanda sekali lagi menyerang dan menundukkan Amarasi di Banteo atau Pahluman. Bagian kerajaan yang diperolehnya dari raja Helong, dirampas kembali oleh Belanda dan dibagi-bagikan kepada keempat raja yang baru,  di sekitar Kupang, yang tetap setia kepadanya.
Kerajaan Sonbai  di Mutis menurut tulisan P.Midelkoop (seorang Misionaris Belanda di Timor (1922) sudah ada sebelum tiba orang-orang Portugis dan Belanda di Timor.
Menurut I.Toto, seorang ahli sejarah Timor,
·         Raja Liurai Sonbai yang pertama yang berasal dari Belu bernama Nai  Laban.
·         Ia diganti oleh Nai Nati dan
·         Nai Nati diganti oleh Naik Faluk,
·         Berikutnya oleh Nai Lele dan
·         Sesudah itu oleh Nai Tiklua, inilah yang mulai bergelar Sonbai turun-temurun.
Karena mendapat kesulitan dari Portugis, Sonbai berpindah ke Bijela dan akhirnya ke Bileli.  Di Bijeli-lah Sonbai mulai terus menerus berhadapan dengan Belanda.
·         Pertama kalinya Boab Sonbai ditangkap oleh Belanda di Bijeli dan dikirim ke Kupang dan dibuang ke Batavia, di mana ia meninggal dunia tahun l785.
·         Pada kedua kalinya selama pemerintah Sobe Sonbai II terjadi pemberontakan Bijeli pada tahun l823 dipimpin oleh Kono Oematan atas hasutan dan dengan bantuan Belanda. Sobe Sonbai mengadakan pertahanan dalam sebuah gua di Kauniki. Belanda dibawah pimpinan Residen Hazaert  mulai mengepung Sonbai dari jurusan laut.

Pada antara tahun l812-l8l8, Residen Hazaert mendatangkan orang-orang
Rote dan,
·         menempatkan mereka di sepanjang pantai mulai dari Oepaha (Amarasi) Samili,  mengitari teluk Kupang,
·         Terus menyusur pantai utara  sampai ke pelabuhan Atapupu.di perbatasan dengan Timor Timur.
·         Wilayah pantai yang diduduki oleh orang-orang Rote yang di datangkan dari pulau Rote ini disebut wilayah “ Zes Palen Gebiet”.
Amfoang kemudian berpisah dari Sonbai dan segera diakui Belanda. Kemudian Pitai dan Takaep juga melepaskan diri dari Sonbai. Amanuban, Mambait, Molo, Takaep, Amarasi berulang kali  bersama-sama atau sendiri-sendiri menyerang kedudukan Belanda dan wilayah “Zes Palen Gebiet,” yang diduduki orang Rote.
·         Pada tahun 1822 melancarkan suatu serangan untuk menundukkan Amanuban, tetapi tidak berhasil.
·          Pada tahun l828 Residen Hazaert dengan 3000 orang untuk menangkap Sone Sonbait II di gua ‘Nefo’ tetapi gagal.
·         Pada tahun l836 Sonbai dengan dibantu oleh Amanuban, Amfoang dan Amarasi menyerang kedudukan Belanda di Kupang. Belanda membalas. Dicobanya terdahulu menundukkan Amarasi.

Pada tahun l843 usahanya berhasil dan memutuskan untuk menempatkan di Amarasi seorang Posthouder, namun baru dalam tahun l847 maksud tersebut dapat dilaksanakan, berhubung keamanannya tidak terjamin.
·         Pitai menyerang pantai Pariti yang diduduki oleh orang-orang Rote (Termanu).
·         Dengan mempergunakan 2 kapal perang yaitu,  “Celebes dan “Lancier,” Belanda berhasil mengangkut l.300 laskar dari pulau Rote dan menyerang Pitai dan dalam tempo beberapa hari saja ibu kota Takaep dibakar habis oleh laskar-laskar Rote.
·         Berhasillah taktik Belanda mempergunakan serdadu-serdadu dari Rote dan untuk kekuatan pertahanan Belanda terus  mempertahankan orang-orang Rote yang ditempatkan di wilayah “Zes Palen Gebiet.”
·         Atas jasa Laskar Rote yang membantu Belanda, maka diberikan seluruh Pantai Timor 7 pal dari pantai = 10,5 km ke darat,  hingga Atapupu di perbatasan dengan Timor Portugis. menjadi milik orang Rote dan mereka dibebaskan dari semua jenis pajak-pajak. Pusat lokasi mereka adalah di daerah Mardeka di jalan A.Yani Kupang sekarang ini. Kewajiban Laskar Rote menduduki pantai-pantai Timor, guna menjaga serangan-serangan dari tentara Portugis, maupun dari orang-orang Timor terhadap kedudukan Belanda.

·         Seperti diketahui juga, sepanjang pantai pulau Timor sampai wilayah Timor Timur (Negara Timor Leste) dihuni oleh orang Rote. Dalam perjuangan integrasi Timor Timur dengan Indonesia dikenal pejuang Timor Timur bernama Korbafo, yang berasal dari Pulau Rote. Marga Korbafo ini termasuk marga-marga Rote lainnya yang ditempatkan pemerintah Belanda di bagian utara pantai Timor yang berbatasan dengan Timor Portugis saat itu sebagai penjaga perbatasan. 
·         Ada istilah  yang mengatakan “dimana ada pohon lontar disitu ada orang Rote” (sebagai penyadap nira lontar yang handal untuk kehidupan sehari-harinya}, dan “dimana ada tanah yang kaya sumber airnya,  disitu ada orang Rote” (mengerjakan sawah) dan kebun kelapa. Dengan demikian dimana terdapat pohon lontar dan sumber mata air di Pulau Timor untuk persawahan, pasti disana ada orang Rotenya. Hal ini dapat disaksikan hingga sekarang.  

·         Menurut Prof. DR James Fox ( seorang penulis  Inggris) dalam bukunya tentang orang Rote  berjudul “The Harvest of the Palam”(1975) menyatakan, bahwa dalam  usaha menghalau orang-orang Portugis dari belahan Barat pulau Timor pada pertengahan abat ke- l9 yang lalu, Kompeni Hindia Belanda telah menyewa laskar-laskar yang diambil dari berbagai Nusak  di pulau Rote. Setelah perang usai, Kompeni memberikan seluruh dataran sepanjang pantai Timor bagian Barat dan Utara sejauh 7 pal ( l0,5 Km) ke darat, dihitung dari daerah pasang surut, kepada para laskar Rote.  Secara amat singkat Fox menyebutkan bahwa pada akhir abat ke-l9 seusai  perang melawan orang Portugis terjadilah migrasi orang Rote yang hidup dari penyadapan  lontar dan bersawah tadah hujan,  dalam usahanya memanfaatkan rimba lontar dan dataran aluvial pantai di pulau Timor, dengan  menyusul  para laskar asal Rote yang telah menguasai kawasan 7 pal sebagai miliknya. Kata James Fox : “ For a time, the humorous remark circulated among the Rotenese that “TIMOR” was an acrinym which stood for the Indonesian saying: “Tanah Ini Milik Orang Rote(Sumber : James Fox; 1975 : 148) - (Pdt.Drs.Max Jacob, MTH, Pendidikan dan Modernisasi, l992, hal,4).
·         Seperti diketahui juga, sepanjang pantai pulau Timor sampai wilayah Timor Timur (Negara Timor Leste) dihuni oleh orang Rote. Dalam perjuangan integrasi Timor Timur dengan Indonesia dikenal pejuang Timor Timur bernama Korbafo, yang berasal dari Pulau Rote. Marga Korbafo ini termasuk marga-marga Rote lainnya yang ditempatkan pemerintah Belanda di bagian utara pantai Timor yang berbatasan dengan Timor Portugis saat itu sebagai penjaga perbatasan. 

·         Pada tahun l847 Sonbai  menyerang Babau. Belanda membalas serangan itu. Pada tahun itu juga Belanda menyerang Camplong dibawah pimpinan Kapten Mardijker, De Rooy dengan kekuatan 3000 orang.
·         Pada tanggal 30 Nopember l847 itu juga Manbait menyerang desa Nunkurus yang diduduki orang-orang Rote (Dengka).
·         Sesudah pemerintahan Residen Sluyter beberapa tahun kemudian dibawah pimpinan Residen Baron van Lynden dengan pasukan sekitar 4000 orang bersenjatakan 2 pucuk meriam  menyerang Sonbai.
·         Ia dapat menawan mantu Sonbai dengan 80 orang serdadunya, tetapi tidak berhasil menangkap Sonbai. Belanda lalu menjalankan poletik isolasi yang lain.

Dalam tahun l854, Belanda menandatangani “Timor Traktat” tentang pembagian pulau Timor antara Belanda dan Portugis yang mulai dinyatakan berlaku pada tahun  l859.

Dengan pembagian wilayah ini, Belanda dapat memusatkan seluruh kekuatannya untuk menghancurkan Sonbai. Tetapi usahanya baru berhasil dalam tahun l905 ketika dengan jalan penipuan.
Sone Sonbai III ditangkap di Kauniki, dibawah ke Kupang dan dibuang ke Sumba.  Kemudian ia diangkut kembali ke Kupang dan meninggal dunia tahun l922.  Untuk menjaga, agar makamnya tidak dijadikan tempat keramat oleh pengikut-pengikutnya, maka jenazah Sonbai dimakamkan di sekitar benteng Concordia (pekuburan orang Belanda). Dengan tertawannya Keiser Sonbai III, maka selesailah perjuangan kemerdekaan bersenjata dari pada Raja Sonbai di Timor.

2. Perlawanan  Rakyat Belu
Terhadap Belanda

Dalam tulisan orang-orang Portugis, dikisahkan bahwa kerajaan Wehale-lah yang paling berkuasa di Belu Selatan. Sambil bersekutu dengan Sultan Talo dari Sulawesi, Raja Wehale mengusir Portugis dari wilayahnya. Untuk menunjukkan kejengkelannya terhadap kekuasaan Portugis, ia menjadi penganut agama Islam.
Dengan bantuan raja-raja lain yang tetap memeluk agama Katolik pasukan Portugis di bawah pimpinan Francisco Fernandez mendarat di Mena (Insana Utara) dan pada tanggal 26 Mei l642 sesudah pertempuran yang hebat, kerajaan Wehale ditundukkan dan dikuasai oleh Portugis, hingga saat kekuasaan atas kerajaan Wewiku (Wehale) dialihkan ke tangan Belanda dengan penandatanganan kontrak dengan Comisaris Tinggi VOC yang bernama Paravicini dalam tahun l756. Di samping itu kemudian masih tercatat dalam sejarah Belu beberapa pemberontakan terhadap penjajah Belanda/Jepang antara lain :
1.    Dalam tahun l884 pasukan Timor Gemeenschap Dawan dari distrik Lidak menggempur pasukan Belanda di Tukuneno (Lidak) di bawah Pimpinan Meo Abekun Natun. Kepala Pasukan Belanda Lt. Hendrik Glabeeck van der Does gugur dalam pertempuran ini. Kuburan dari Letnan tersebut masih dapat dilihat di Atapupu.
2.    Dalam tahun l908 terjadi pula pertempuran yang hebat antara pasukan-pasukan Timor Gemeenschap Dawan (Timor)  di bawah pimpinan Meo Moruk Pah Sunan di tempat bernama Rotirai (Lidak). Korban jatuh sebelah menyebelah pihak.
3.    Dalam tahun l9l0 terjadi pertempuran yang dilakukan oleh orang Timor Gemeenschap Dawan di bawah pimpinan Meo Asa Natun, di tempat bernama Tabean (Lidak), yang menyebabkan pasukan Belanda terhalang untuk memasuki wilayah pedalaman Belu. Adapun segenap penduduk Distrik Lidak bagian Swapraja-swapraja Belu Tassi-Fetto adalah terdiri dari suku bangsa Dawan (Timor), sama seperti suku bangsa  di wilayah Kabupaten TTU (Timor Tengah Utara) , TTS (Timor Tengah Selatan) , dan Kupang sekarang ini.
4.    Dalam tahun l913 terjadi pertempuran antara pasukan suku bangsa Tetun terhadap pasukan-pasukan Belanda di Nanet (Distrik Naitimu), di bawah pimpinan raja Naitimu sendiri, Kau Siberu.
5.    Dalam tahun l916 terjadi pertempuran antara pasukan Belanda di tempat bernama Weliman (Distrik Wewiku), di bawah pimpinan Loro (Raja) Wewiku, Nahak MaroE Rai.
6.    Patriot-patriot Belu Gemeenschap Buna (Lamaknen) dalam bulan September l942 menyerang dengan hebatnya pasukan Belanda dan Australia di tempat bernama Orel  (Lamaknen Selatan), yaitu suatu tempat di perbatasan Timor Portugis, di bawah pimpinan pahlawan-pahlawan Mali Tale dan Mali Hedak. Seorang Perwira Belanda dan seorang perwira Australia gugur bersama puluhan rakyat Timor Timor Portugis. Setelah Belanda (NICA) kembali dalam tahun l945, kedua patriot Belu tersebut dijatuhi hukuman mati, tetapi sebelum  hukuman dapat dijalankan, dalam tahun l950 kedua patriot dapat dibebaskan oleh Pemerintah RI cq, TNI (Pasukan Siliwangi) yang mendarat di pulau Timor.
7.    Dalam tahun l943 Pasukan Belu di Wewiku di bawah pimpinan Meo Nahale Amerika, menggempur pasukan Jepang. Akibatnya Nahale Amerika mati, karena kepalanya dipancung di Atapupu oleh tentara Jepang. (Sumber :I.H.Doko, l973, hal.54-55).

3. Perlawanan Rakyat Alor

Terhadap Belanda


Wilayah Onderafdeling Alor yang secara resmi ditetapkan dengan Staadblad (LN) l929 No.l96), berada dahulu sebagian di bawah kekuasaan Portugis dan baru sejak 6 Agustus l851 dimasukkan seluruhnya ke dalam kekuasaan Belanda. Kekuasaan Portugis sebenarnya hanya terbatas pada pengibaran bendera, pada beberapa daerah pesisir, misalnya di Kui, Mataru, Batulolong, Kolana dan Blagar.
Juga kekuasaan Belanda pada awal menduduki Alor, hanya terbatas pada pengakuan atas penguasaan yang berada di pesisir sebagai raja-raja dan penempatan seorang Posthouder di Alor-Kecil, yang terletak di pintu teluk Kabola pada tahun l861.
Menurut catatan Posthouder Morgenstern, tertanggal 3 Juli l909 penduduk di pegunungan itu tidak mengakui mereka yang di pantai sebagai raja, tetapi hanya sebagai perantara dalam perdagangan tukar-menukar ataupun sebagai juru-bahasa antara mereka dengan Kompeni Belanda ketika masa Gubernur Jenderal Van Heutz ditetapkan, agar daerah-daerah di luar Jawa  (Buitengewesten) lebih erat dimasukkan dalam kekuasaan Pemerintah Belanda, maka dirasakan sangat perlu, supaya kekuasaan dan wibawa raja-raja di daerah pesisir atas penduduk di pegunungan pulau Alor itu lebih dikukuhkan, bila perlu dengan bantuan kekuatan senjata Belanda itu.

Maka terjadilah disana-sini pemberontakan dari rakyat Alor melawan kekuasaan raja-raja diwilayah pantai yang dibantu oleh pasukan  bersenjata Belanda itu.
Pada tanggal 31 Juli l9l0 mendaratlah di Alor Kecil 3 pasukan ‘marchhausse’ dari Kupang di bawah pimpinan Letnan Adelberg.
Alor Kecil adalah tempat kedudukan Posthouder Meulamans dengan pasukan polisi bersenjata.
Pasukan Letnan Adelberg menjelajahi seluruh pulau Alor sebagai  ‘machtvertoon’/memamerkan kekuatan.
Pada tanggal 21 Agustus l9l0 di desa Kewaai, distrik Lembur, pasukan itu tiba-tiba diserang oleh rakyat dari Afenlaga dan Afenbaka dengan mempergunakan busur dan panah, tetapi dibalas oleh pasukan Belanda sehingga banyak meninggalkan korban.
Pada tahun l9l3 suatu pasukan Belanda harus dikirim ke pulau Pantar untuk mengamankan pulau tersebut dari pasukan pemberontak..
Banyak korban jatuh di pihak Belanda diantaranya seorang dokter, seorang sersan dan 5 anggota pasukan, yang kubur-kuburnya hingga saat ini masih terdapat di Blangmerang.

Pada permulaan tahun l9l4 rakyat Atimelang di distrik Lembur mengadakan pemberontakan yang diikuti oleh rakyat Kalong distrik Probur di kerajaan Kui.
Dalam tahun l9l5 rakyat suku Maupui  kerajaan Pureman  memberontak. Rakyat menolak kerja rodi dan membayar pajak. Seorang Kapitan dari distrik Mademang terbunuh.  Suatu pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan de Croo tiba di tempat pemberontakan, dan akhirnya tertangkapnya beberapa pemberontak.
Pada tanggal 4 dan 5 Agustus l9l5 di-ibu kota Kui, Lerabaing banyak diserang oleh satu pasukan rakyat sebanyak l50 orang dari suku Kemelelang.
Banyak penduduk Lerabaing  banyak terbunuh dan luka-luka. Toko-toko Cina  dan istana habis terbakar. Kemudian datang pasukan Belanda ketempat pemberontakan dan mandapat bantuan pasukan dari Kupang. Pasukan pemberontak  dipukul mundur dan banyak meninggalkan korban.
Pada Januari l9l6 terjadi pemberontakan di jasirah Kabola dipelopori oleh seorang ahli waris mahkota kerajaan Alor Besar, Lawono menentang raja Alor  yang baru saja diangkat Belanda yaitu raja Bala Nampira dari Dulolong. Sementara suasana dapat diamankan dengan tertangkapnya Lawono serta tokoh pengikutnya.
Tetapi pada April l9l6 timbul pula pemberontakan ke–II kali ini dipimpin oleh Bura, juga seorang ahli waris mahkota kerajaan Alor Besar.
Rakyat pegunungan dari desa-desa Oa, Nihing, Ananibang distrik Oa, ikut serta dalam pemberontakan itu.
Pada tanggal 25 dan 26 Maret l9l6 rumah Kapitan Beleng Kalabahi diserang dan dibakar habis. Kapitan Beleng luka parah dan 4 pengikutnya terbunuh.
Tujuan membakar istana raja  guna melepaskan Lawono gagal, oleh segera bertindaknya pasukan Belanda. Dalam pertempuran itu 68 meninggal di pihak pemberontak dan pimpinan pemberontak di tawan diantaranya Bura, yang kemudian dijatuhi hukuman penjara l0 tahun.
Pada bulan Mei tahun itu juga terjadi pula pemberontakan di pulau Pantar dan disusul pemberontakan yang berlangsung di Kamengmi dalam kerajaan Kolana distrik Taramana.
Pemberontakan terjadi oleh karena tindakan kejam dari Kapitan Jonas dari distrik tersebut dalam usaha memaksakan rakyat membayar pajak dan bekerja rodi.
Tujuan pemberontakan ini adalah pertama-tama menghancurkan satu brigade pasukan  Belanda yang terdiri dari 20 orang bersama dengan  ‘Gezaghebber’ yang pada waktu itu sedang berbivak di Kamengmi.
Maksud itu diketahui terlebih dahulu oleh pasukan Belanda, sehingga mengadakan serangan balasannya pada malam itu yang dipimpin oleh sersan Veenendal, sehingga pemberontak lari kepegunungan dan meninggalkan mayat tidak kurang dari 30 mayat.
Kamengmi diduduki dan keamanan dipulihkan pada bulan Juni l9l8.
Pada bulan Juni l9l8 itu juga terjadi pula perang Kolwi atau Fungwati di kerajaan Alor melawan rajanya yang bernama Bala Nampira dan setahun kemudian disusul dengan perang Manet (Mataru) di kerajaan Kui melawan raja Kui dengan pimpinan seorang ‘Sultan’ wanita yang bernama Maleilehi. Perang ini pada hakekatnya adalah perlawanan rakyat suku Abui atau Berawahing atau Beni yang mendiami kedua wilayah menentang Belanda.
Didahului dengan tidak bersedianya rakyat Fungwati membayar pajak pada Kompeni, hal mana dituruti pula oleh rakyat Manet dari suku yang sama. Raja Alor, Bala Nampira yang mengunjungi daerah Fungwati dibunuh dan kepalanya dipancung dan disembunyikan.

Suatu pasukan di bawah pimpinan Lt.Muller berangkat ke tempat pertempuran. Desa Kolwi dengan pertahanannya hebat dibakar habis, sedang banyak orang yang mati atau melarikan diri dan mengadakan suatu pertahanan dalam sebuah gua, yang sangat sukar dicapai.
Sesudah suaminya tertawan ‘Sultan Maleilehi mengundurkan diri ke Manet dan menyusun kekuatan.
Untuk mendapatkan kepala dari raja Nampira yang dibunuh, dikirim pula suatu expedisi yang kuat. Sesudah beberapa hari pasukan Belanda itu mencoba menaklukan Gua tempat orang-orang Fungwati itu bertahan, tetapi tidak berhasil, maka digalilah suatu lubang yang tembus ke dalam gua dari atasnya. Sesudah itu disiramlah 12 blik minyak tanah ke dalam gua itu lalu dibakar.
Api yang menyala masuk ke dalam gua itu membikin rakyat Fungwati laki-laki, perempuan, anak-anak yang bertahan dalam gua itu semuanya mati lemas, karena asap atau pun terbakar.
Hanya seorang-orang tua yang kebetulan berada di ujung paling menjorok ke dalam dari gua itu hidup dan menceriterakan kisah perjuangan yang sangat mengerikan itu.
Sesudah gua itu dimasuki oleh tentara Belanda, maka di antara mayat-mayat yang bergelimpangan dan bertumpuk bagaikan puing reruntuhan ditemuilah kepala raja Nampira itu tersimpan dalam sebuah anyaman baru, pada suatu tempat yang aman. Dengan hati-hati dan dengan penuh kehormatan adat, kepala Raja Bala Nampira diusung ke luar untuk dikuburkan bersama jasadnya di Dulolong, tempat pemakaman raja Alor.

Sementara itu api pemberontakan merambat ke Manet di bawah pimpinan “Sultan” Maleilehi. Komponi mengalihkan serangan-serangannya ke sana. Rakyat terbunuh, kampung dibakar, akhirnya yang gagah berani dapat dipatahkan. Ia ditangkap dalam keadaan berbaring di tengah-tengah mayat pengikutnya dan membuat diri seperti pula sudah mati, dimasukkan ke penjara Kalabahi lalu dibuang ke Kupang dan hilang untuk selama-lamanya. Perjuangan rakyat Alor melawan penjajah berjalan terus.
Pada bulan Maret l942 pada saat pendaratan Jepang, pasukan KNIL dari detasemen di Kalabahi mengadakan pemberontakan. Para opsir dan onderopsir bangsa Belanda dapat melarikan diri tetapi anggota-anggota pemerintah sipil dan para rohaniwan Belanda ditangkap dan di penjarakan. Diantaranya yang dibunuh adalah Pendeta Dekuana yang berasal dari Ni’i O’en-E’a Hun-Kerajaan Ringgou pulau Rote.
Serentak pecah pula pemberontakan rakyat kekapitanan Lembur yang di dalam waktu singkat meluas kekapitanan Welai dan Mataru, yang berbatasan.
Pemberontakan rakyat ini telah dapat dipatahkan secara kejam oleh tentara Jepang yang didatangkan dari Kupang. Kepala desa Manet dan Builola (Mataru), temukung Atimelang, Kepala Desa Dikingpea dan dukun Thomas Atalang yang semuanya berasal dari kapitaan Lembur ditembak mati di muka umum di Kalabahi. Sedang Temukung (Kepala Desa) Welai pada keesokan harinya dipancung kepalanya, juga di hadapan umum. Tetapi baru saja tentara Jepang itu kembali ke Kupang, pemberontakan mulai pula dikobarkan oleh pengikut-pengikut para pahlawan yang telah terbunuh itu. Pemberontakan kedua ini dapat diselesaikan oleh pasukan kepolisian yang segera dibentuk di Kalabahi dari bekas-bekas anggota KNIL yang sebagian didatangkan dari Kupang oleh Pemerintah “Minsebu” Jepang. (Sumber : I.H.Doko).

4. Perlawanan Rakyat Flores

Terhadap Belanda


Usaha Belanda untuk menduduki Larantuka gagal, oleh karena kota ini dipertahankan mati-matian oleh orang-orang Portugis Hitam di bawah pimpinan keluarga d’Orney dengan rajanya yang berasal dari keluarga Diaz Viera da Codinho. Dari sana  mereka melancarkan pengaruhnya ke daratan pulau Timor dengan memusatkan kekuatan di Lifao, di sekitar Oekusi sekarang. Kekuasaan Portugis Hitam (orang-orang Flores dan Timor pribumi) ini merupakan suatu kekuatan yang terus menerus mengganggu kekuasaan Belanda.
·         Golongan ini yang dipimpin oleh keluarga da Costa-d’Ornay memperjuangkan kemerdekaan untuk Timor, tetapi langsung di bawah mahkota Portugis di Lisabon.
·         D’Ornay dari Larantuka (Flores) melalui perkawinannya dengan da Costa dari Noilmuti (Timor) melahirkan suatu keluarga yang terkenal dengan nama da Costa-d’Ornay yang memimpin seterusnya kaum Portugis Hitam melawan Portugis Putih (tentara Portugis asli) dan Belanda.
·         Costa-d’Ornay mendapatkan bantuan dari raja-raja Timor seperti dari Kaeser Sonbai dan raja-raja Amfoang, Amanatun, Insana, Amarasi.
·         Dalam perang Penfui pada tahun l749 misalnya Letnal Jenderal Gasper da Costa, pimpinan Portugis Hitam dibantu oleh raja Amfoang Don Bastino, yang tewas bersama Gasper da Costa di antara desa Penfui-Baumata (Timor).
·         Raja Miomafo, Don Bernando ditawan dan raja Amarasi, Don Alfonso, yang juga ditawan dipenjarakan, tetapi kemudian diangkat pula menjadi raja sesudah memasuki agama Protestan.

Seperti dikatakan golongan Portugis Hitam ini pun memerangi Portugis Putih.
Oleh Prof.C.R.Boxer, guru besar sejarah Portugis pada Universitas London dalam bukunya “The fidalgos in the Far East” dikisahkan, bahwa
·         Gubernur Portugis Putih, Guerreiro yang pada tahun l700 diangkat sebagai gubernur untuk pulau-pulau Timor dan Solor tidak dapat mendarat di Larantuka, pusat kekuasaan Portugis Hitam. Ia terpaksa mendarat di Lifao, tetapi segera ia dikepung oleh Portugis Hitam.
·         Gubernur Guerreiro mempergunakan tangan besi namun perjuangan antara Portugis putih dan Portugis Hitam yang dipimpin oleh da Costa-d’Ornay berjalan terus, dan memuncak dalam tahun l722, ketika Guerreiro diganti oleh Antonio d’Albuquerque Coelho, seorang peranakan Portugis-Brazilia yang bertindak lebih keras lagi dari gebernur yang terdahulu.
Semuanya tidak berhasil. Pemberontakan yang dipimpin oleh Dominggos da Costa berjalan terus dengan hebatnya sampai pada tahun l769; orang-orang Portugis Putih dipukul mundur dari Lifao dan semuanya lari ke Timor Dili (Timor-Timur/Timor Leste) sampai sekarang ini.

 Penaklukan Ende

 Sementara itu pengaruh Islam di Flores menjadi bertambah besar. Di Ende, timbul suatu kekuatan Islam yang adalah terdiri dari campuran orang-orang Makassar dan lain-lain golongan pelaut yang beragama Islam. Mereka memusatkan diri dalam perdagangan budak yang mereka ambil terutama dari pulau Sumba.
Belanda tahun l793 mengadakan kontrak dengan raja Ende, namun kegiatan mereka dalam merampok dan perdagangan budak makin meningkat dan tidak menghiraukan, malah bermusuhan dengan Belanda.
Pada tahun l838 Belanda mengirim suatu ekspedisi yang diperkuat dengan orang-orang Sabu. Suatu pertempuran yang cukup seru berlangsung. Akhirnya raja Ende menyerah dan mengakui kekuasaan Belanda.

Nipa Do, pimpinan perang Watuapi.
Mula timbulnya perang Watuapi.

Peperangan rakyat Flores Tengah Utara melawan Komponi Belanda yang berlangsung dari bulan Agustus l9l6 a/d bulan Pebruari l9l7 dan dikenal dengan perang/pemberontakan Watuapi dan Tana-Rea tercatat dalam satu memori penyerahan jabatan dari Controler Onderafdeling Ende, J.F.Strock sebagai berikut :
“Sesudah Belanda menduduki daerah dan seluruh pelosok Onderafdeling Ende dan Ngada, dan sesudah membentuk sistem pemerintahan yang didasarkan pada adat dengan mangangkat pemuka-pemuka masyarakat dan tua-tua adat yang berpengaruh sebagai raja 
Kepala Haminte dan kepala-kepala kampung,  maka tenaga rakyat pun mulai dikerahkan untuk bekerja rodi di jalan-jalan dengan kekerasan untuk membayar pajak yang sangat memberatkannya. Dengan sendirinya timbullah perasaan-perasaan yang tidak puas dari rakyat dan pemuka-pemuka masyarakat Tana-Rea yang mengakibatkan pecahnya peperangan Watuapi.

Pada suatu waktu Nipa Do, Kepala Haminte WolowaE mendapat perintah dari raja Tana-Rea untuk memimpin rakyat melakukan pekerjaan pada jalan raya Ende-Bajawa yang di mulai dari desa Ngalumere. Pekerjaan pada trayek itu, adalah sangat sulit, karena pada beberapa tempat menemui jurang-jurang yang sangat terjal hingga ke-laut.
Mandor-mandor jalan dan anggota-anggota tentara Belanda yang mengawasi pekerjaan, adalah sangat kejam dan tidak mengenal rasa perikemanusiaan.
 Para pekerja dicambuk dan dianiaya, bila saja terlambat dalam menjalankan pekerjaannya yang berat dan berbahaya itu.
Semua itu disaksikan dengan mata kepala sendiri oleh Nipa Do dan kepala-kepala kampung yang lainnya, sehingga menimbulkan rasa jengkel dan dengki kepada penguasa Belanda. Sesudah kepala-kepala kampung itu bersama-sama dengan kepala Haminte Nipa Do di kampung WolowaE untuk mengadakan mupakat memulailah suatu pemberontakan terhadap Belanda. Nipa Do diangkat dan diberi kuasa penuh sebagai “Panglima Tertinggi” dengan menghubungi daerah-daerah tetangga, agar bersama mengadakan perlawanan yang serentak. Kepa Biu, seorang pembantunya diangkat sebagai panglima perang untuk pantai selatan, sedang Laja Dhosa dan Deru Gore berturut-turut diangkat sebagai panglima wilayah sebelah timur.

Ketiganya harus menyiapkan dalam waktu singkat; bedil, obat bedil dan alat-alat senjata apapun yang dapat dipakai dan membuat kota-kota batu sebagai benteng pertahanan di masing-masing wilayahnya; juga diputuskan dalam musyawarah itu, bahwa Panglima Deru Gore dari wilayah sebelah timur harus menyerbu Nangapanda, pusat kekuatan tentara Belanda dan memutuskan jaringan-jaringan telpon, setelah mendengar berita telah terbunuhnya seorang pedagang Cina oleh Nipa Do.
Ditetapkan juga, bahwa hanya kampung Watuapi yang menyatakan perang kepada Belanda dan sebagai bukti nanti, maka semua surat-surat pajak rakyat Tana-Rea, disertai dengan pernyataan, bahwa rakyat Watuapi tidak bersedia lagi membayar pajak dan bekerja rodi.

Teknik siasat perang

Pasukan rakyat disiapkan dalam beberapa jenis pertahanan yaitu :
1.    Pasukan jerat dengan tugas memasang jerat atau batu gulingan pada jalan-jalan sempit.
  1. Pasukan panah dengan tugas menyiapkan alat panah tangan dan panah-panah otomatis (wao-peu) pada jalan-jalan yang menguntungkan.
  2. Pasukan kuda dan tombak khusus untuk WolowaE, karena di sana terdapat padang-padang yang luas dan rata, di mana penunggang kuda yang bersenjatakan tombak dapat beroperasi dengan leluasa.
Sesudah semuanya menerima komando untuk menjalankan disiplin yang kuat, dan hanya taat dan tunduk pada perintah Nipa Do, dengan semboyan, “lebih baik mati di medan perang daripada mati di jalan raya di bawah penjajah Belanda,” maka kembalilah sekaliannya ke kampung halaman masing-masing untuk mengadakan persiapan secermat-cermatnya. 
Setelah selesai segala persiapan, maka mulailah Nipa Do mencari alasan untuk memulaikan pemberontakan.
Seorang pedagang Cina di WolowaE dibunuh, karcis-karcis pajak dari kampung Watuapi dikumpul dan dikembalikan kepada raja Tana-Rea, rakyat dari Nipa Do dan Kepa Biu tidak kembali lagi ke tempat pekerjaan rodi di jalan-jalan raya Ende-Bajawa.
 Semua ini sebagai isyarat, bahwa Deru Gore harus mulai menyerang asrama militer Belanda di Nangpanda,.
Serangan dari Gore berlangsung dengan tiba-tiba pada tengah malam bulan Agustus l9l6. Dengan panah-panah api pasukan rakyat membakar habis asrama militer Belanda.
Didalamnya terang nyala api kebakaran, anggota-anggota pasukan bedil dan panah rakyat. Korban di pihak pasukan Belanda besar dan sisanya yang dapat meluputkan diri, lari dalam keadaan kucar-kacir ke pasukan induknya di Ende.
Kawat-kawat telpon ke jurusan Ende dan Bajawa sudah diputuskan. Setelah menyelesaikan tugasnya pasukan Deru Gore segera mengundurkan diri kembali ke kampung Kamubheka untuk mempersiapkan dan memperkuat diri guna membantu Nipo Do di Watuapi; oleh karena teriakan-teriakan pasukan Deru Gore yang hanya menyebut-nyebut nama Watuapi dan Nipa Do, jelaslah kepada pasukan Belanda, bahwa pusat pemberontakan adalah Watuapi di bawah pimpinan Nipa Do.

Pengaturan Medan Pertempuran di Kotawake

Kepa Biu, panglima pantai selatan, sekembali ke tempat pertahanannya di WolowaE selatan telah menetapkan kampung Kotawake sebagai benteng pertahanan.
Dibuatlah pagar-pagar batu yang tebal, sedang pasukannya dilengkapi dengan bedil, panah tangan dan panah otomatis, batu gulingan, ali-ali.
Pilihan tempat pertahanan itu adalah sangat strategis karena :
1     Jalan harus menyusur sungai sepanjang lebih kurang 200 meter.
  1. Bagian barat dari sungai itu bertebing sangat terjal, sehingga mudah  dijagai oleh pasukan gulingan batu dan pasukan panah.
  2. Pada sebelah timur dari sungai itu terbentang suatu padang kecil, sehingga ditumbuhi pohon-pohon besar yang lebat.
  3. Sedang, pada sebelah utara telah dibuat pagar-pagar batu untuk tempat pertahanan pasukan bedil.
Kepada Wani Koda, kepala Kampung Ute, yang menjadi salah seorang pembantunya diinstruksikan untuk :
a.    Menerima tentara Belanda dengan sangat ramah-tamah.
b.    Menipu tentara Belanda dengan berita, bahwa menurut kebiasaan, pasukan Nipa Do bersembunyi di atas-atas pohon yang rimbun dan dari sanalah menyerang musuh dengan bedil dan panahnya. Oleh karena itu bila pasukan Belanda tiba di tepi sungai sebelah timur dan ada tembakan atau peluncuran anak panah, siramilah pohon-pohon yang rimbun itu dengan peluru, pasti pasukan Nipo Do banyak yang akan mati tertembak.
c.    Membiarkan tentara Belanda secara leluasa menuju Kotawake dan WolowaE. Pasukan rakyat Ute segera membagikan dirinya dalam 3 kelompok.
Kelompok I, mengikuti pasukan Belanda dari belakang, lalu mengadakan pertahanan di kampung Mudusika untuk menghadang pasukan Belanda, bila ia sebentar terpaksa mengundurkan diri dari benteng pertahanan Kotawake. Kelompok II, mengikuti terus pasukan Belanda dan mengadakan pertahanan di kampung berikutnya dengan tugas yang sama.
Kelompok III, di bawah pimpinan Wani Koda  sendiri mengikuti pasukan Belanda sampai ke perbatasan Korawake dan menghadangnya bila ia mundur oleh serangan hebat yang dilancarkan oleh Kepa Biu dari Kotawake, atau mengadakan serangan dari belakang pada waktu pertempuran berlangsung di Kotawake.
Demikianlah siasat pertempuran diatur secara teliti dan dengan semboyan,
·         “lebih baik mati di medan perang,
·          daripada mati di jalan raya dijajah Belanda”
maka pasukan Kepa Biu menunggu-nunggu serangan balasan Belanda.
Hari yang dinanti-nantikan pada tanggal l7 Agustus l9l7. Sepasukan tentara Belanda berjumlah 300 orang berangkat menuju WolowaE dengan maksud terlebih dahulu mengejar Kepa Biu yang sudah secara terang-terangan bergabung dengan pasukan pemberontak Nipa Do.
Sesuai perjanjian, Wani Koda melaksanakan segala keputusan yang harus dijalankan terhadap pasukan Belanda, antara lain dengan menunjukkan sikap seolah-olah ia sangat bersimpati kepada Belanda. Pasukan Belanda maju ke Kotawake dikirimlah oleh pasukan Belanda seorang pengintai untuk memeriksa keadaan sekitarnya. Tiba-tiba ia berhadapan dengan Kepa Biu sendiri, yang sedang mengadakan suatu pengadangan. Si pengintip dengan sombongnya berkata., “Kau Kepa Biu, kau berani melawan tentara Belanda? Ayo menyerah saja!” Kalau tidak kau dengan seluruh rakyatmu akan dihancurkan oleh Kompeni.”

Baru saja ia mengucapkan kata-kata itu, dan baru saja terdengar suara Kepa Biu yang berkata,”Kami akan bertempur, kami lebih baik  mati dari pada bekerja rodi di jalan untuk penjajah!” sebuah peluru dari seorang pengawal Kepa Biu yang bersembunyi, tepat mengena kepala pengintip itu dan segera roboh ke tanah. Mendengar tembakan itu, maka sesuai dengan apa yang telah disarankan oleh Wani Koda, pasukan Belanda menyiram hutan itu dengan tembakan-tembakan senapan yang gencar dan terus menerus.
Banyak pelurunya habis, tanpa ada korban seorang pun. Pasukan Belanda maju menelusuri sungai.
Pasukan bedil dan panah Kepa Biu mulai menyerangnya dari utara dan barat, sedang batu guling dari tebing sebelah barat bergemuruh menuju sungai dibarengi dengan anak panah yang meluncur dengan tidak berkeputusan.
Sedang Belanda menaruh seluruh perhatiannya atas serangan-serangan yang datang dari utara dan barat, datang pula serangan tiba-tiba dari sebelah selatan di bawah pimpinan Wani Koda.
Pasukan Belanda terjepit dari segala jurusan. Dengan susah payah dan meninggalkan korban yang tidak sedikit ia dapat meloloskan diri dari himpitan serangan Kepa Biu  dari utara dan Wani Koda dari selatan.

Segera Wani Koda mengundurkan diri secara teratur kembali ke kampung Ute untuk menerima secara ramah-tamah kedatangan pasukan Belanda yang mengundurkan diri itu. Sementara itu pasukan Kepa Biu terus mengejar pasukan Belanda dari sebelah utara dan kepada Wani Koda disampaikan berita, bahwa pada malam itu akan diadakan pula serangan umum. Untuk itu Wani Koda harus memberi makan minum sebanyak-banyaknya kepada pasukan Belanda yang sudah sangat payah dan letih itu.
Pada tengah malam pasukan Belanda yang tidak mencurigai sedikit pun itikat dari Wani Koda dan rakyatnya, ada yang sudah mabuk dan separuhnya sudah tidur nyenyak.
Datanglah serangan yang tiba-tiba dari Kepa Biu, dibantu oleh Wani Koda  dan terjadilah penyembelihan yang tak ada taranya. Pada keesokan harinya sesudah pasukan Kepa Biu menarik diri kembali ke Kotawake, rakyat kampung Ute membantu Belanda mengumpulkan mayat-mayat serdau-serdadu Belanda yang bergelimpangan dan dalam sebuah lubang besar dikuburkan sekitar 200 mayat di tempat yang bernama Malasera.
Selesai penguburan ini tentara sisa Belanda itu kembali ke Nangapanda dengan rasa hina dan terpukul.
(Penulis : ***Demi dokumen sejarah, tempat penguburan ini perlu digali kembali untuk diteliti kebenaran  sejarahnya)***.

Pertempuran di Wagha

Pasukan rakyat dengan Nipa Do sebagai Panglima Tertingginya makin  memiliki rasa percaya diri atas kemampuannya dan terus mempersiapkan diri menanti serangan tentara Belanda yang pasti akan diulangi lagi dengan kekuatan yang lebih besar. Kali ini dengan serangan-serangan melalui bagian utara. Oleh Laja Dhosa, Panglima sektor utara, sesudah perundingan WolowaE segera telah dipersiapkan :
1.     Pasukan bedil berjumlah l50 orang di Wagha;
2.     Pasukan kuda dan tombak sejumlah 300 orang bertempat di dataran Bega.
3.    Pasukan ali-ali sejumlah 50 orang bertempat di sepanjang sungai-sungai kecil di dataran Bega.
4.    Pasukan panah dan jerat sejumlah 50 orang disepanjang jalan yang akan dilalui oleh pasukan Belanda.
5.    Pasukan wanita yang mencari ‘ondo’ untuk meracuni sumber-sumber air, agar tidak dapat dipergunakan oleh pasukan Belanda
6.    Di setiap pertahanan dibuatkan kubu dan tembok-tembok batu yang dihiasi dengan sebilah papan yang ditaburi dengan darah ayam, sebagai lambang kekuatan rakyat yang membaja dalam pertahanan.
Sesudah Belanda mengalami kekalahan pahit di sektor selatan melawan Kepa Biu di Kotawake, maka kali ini ia menyiapkan pula suatu tentara yang kuat untuk menyerang Watuapi dari sebelah utara, melalui wilayah Laja Dhosa. Tentara Belanda mempergunakan Raja Iju yaitu Raja Muda Tana-Rea sebagai petunjuk jalan. Beberapa desa dilalui dengan di sana-sini terus menerus diganggu oleh pasukan rakyat.
Di kampung Wolosampi misalnya, pasukan rakyat, bertahan dengan hebatnya dengan akibat desa Wolosampi dibakar habis oleh tentara Belanda.
Pasukan rakyat menarik diri dan memusatkan kekuatannya di Wagha yang telah diperkuatkan dengan pasukan bedil dari Deru Gore, panglima sektor timur .
Pada waktu memasuki kampung Wagha, pasukan Belanda disambut dengan tembakan-tembakan bedil dan panah oleh pasukan  rakyat yang dipimpin sendiri oleh Panglima Laja Dhosa.
Pasukan kuda yang bersenjatakan tombak menyerang ke tengah-tengah musuh, yang mengakibatkan Tentara Belanda kebingungan dan menjadi cerai-berai. Apalagi sesudah ternyata, bahwa semua mata air di sekitar kampung itu telah diracuni, sehingga beberapa anggota tentara yang meminum airnya menjadi sakit, lalu mati.
Tak ada jalan lain lagi bagi Belanda dari pada mengundurkan diri jauh ke belakang dengan meninggalkan korban besar, hampir separoh dari pasukan tewas. 
Diusahakannya dengan susah payah untuk kembali ke Nangapanda guna meminta bantuan dan menyusun kekuatan baru, tetapi sementara dalam pengunduran itu, pasukan Belanda terus menerus diserang oleh pasukan Laja Dhosa dan Deru Gore.
Belanda sudah mengalami sendiri betapa hebatnya pertahanan Watuapi, sehingga sesudah menderita kekalahan hebat di sektor selatan dan utara, dicobanya sekarang untuk menyerang Watuapi dari sebelah barat. Disusunlah suatu pasukan yang kuat yang bertugas menyerang Watuapi dari sebelah barat. Tentara Belanda tiba tanpa halangan di Soba, sebuah kampung di Ngada Timur dan pada keesokan harinya mulailah ia menyerang Watuapi.

Watuapi diduduki Belanda

Pasukan Nipa Do dibantu oleh pasukan Dhedhu Wati dari Lambo dan pasukan Rea Sape dari Mbay. Ketiganya memukul mundur tentara Belanda kembali ke Soba, dengan menderita kerugian besar. Ketiga pasukan kembali ke tempat pertahanannya, untuk menyusun kekuatan.
Dua minggu kemudian tiba suatu pasukan bantuan Belanda yang besar, yang terdiri dari sekitar 300 orang dari Ende di Soba.
Serangan Belanda yang kedua ini berhasil mematahkan pertahanan Dhedhu Wati; malahan dapat menangkapnya bersama 2 orang hulu balangnya. Dengan tertangkap Dhedhu Wati, maka pasukan Lambo kehilangan pimpinan dan patahlah semangat juangnya. Belanda sekarang dapat dengan leluasa menyerang Watuapi dari beberapa jurusan.
Dhedhu Wati dengan 2 orang hulu balangnya dipaksa Belanda untuk berjalan di muka tentara Belanda melalui jalan yang sangat berbahaya meliwati kampung Ratedao.
Meskipun mereka menolaknya dengan keras, karena tidak bersedia untuk dipakai sebagai alat untuk menghianati kawan-kawannya namun mereka dipaksa dan diseret untuk berjalan  dimuka pasukan musuh. Namun tekad ketiganya tetap kuat; mereka lebih baik mati dari pada merugikan perjuangan saudara-saudaranya. Setibanya pada suatu padang di atas gunung bernama Warikeo,  Dhedhu Wati dengan sengaja menunjuk jalan yang salah untuk memperlambat sampainya tentara Belanda di Watuapi
Karena itu pasukan Belanda harus bermalam di tengah hutan di dekat sebuah jurang yang terjal dan dalam.
Kepala pasukan mulai mencurigai itikat jahat Dhedhu Wati. Diadakan pemeriksaan dengan disertai berbagai bujukan, tapi kemudian dengan pukulan dan ancaman.
Semua usaha Belanda sia-sia adanya. Dhedhu Wati dan kawan-kawannya tetap tidak bersedia memberitahukan jalan yang tepat menuju Watuapi, malahan tambah mengeluarkan  ejekan-ejekan, “Kalau tuan-tuan berani, bunuh sajalah kami, agar menjadi bukti bagi turunan kami betapa jahat dan bengisnya teantara Belanda.”
Kepala pasukan Belanda naik darah dan tanpa ampun menembak mati Dhedhu Wati dan seorang kawannya.
Kawannya yang seorang lagi, yaitu Dhodo Dhu berhasil meloloskan diri dengan membuang diri kedalam jurang  yang berada di sebelahnya.
Tubuhnya tersangkut pada dahan-dahan pohon yang berada di bawah,  dan ia tiba dengan selamat di dasar jurang, meskipun tentara Belanda menembaknya terus-menerus dari atas.
Keesokan harinya pasukan Belanda meneruskan perjalanannya tanpa petunjuk jalan menuju Watuapi, yang sedang dijaga  oleh pasukan Laja Dhosa.
Laja Dhosa yang memusatkan seluruh pertahanannya di sebelah timur Watuapi, sama sekali tidak menyangka, bahwa Belanda akan menyerang dari sebelah barat. Tiba-tiba saja pasukan Belanda telah memasuki Watuapi dari tempat yang tidak dijaga; seluruh kampung serta seluruh persediaan makanan habis dibakar. Laja Dhosa terperdaya, sehingga harus mengundurkan diri ke pegunungan.
Watuapi dapat diduduki, tetapi semangat juang rakyat tetap bernyala-nyala, hal mana terbukti dengan serangan-serangan balasan yang diadakan setiap malam. Pasukan Belanda makin diperkuat di Watuapi dan untuk mengamankan diri dari serangan-serangan malam yang bertubi-tubi datangnya dari utara dan selatan diadakanlah pembersihan secara besar-besaran. Rumah, kebun dan hewan rakyat disekitar Watuapi habis dibakar.
Siapa saja yang diketemui di wilayah itu dibunuh. Pasukan rakyat siang malam dikejar terus menerus. Sesudah Watuapi  diduduki maka daerah pantai Utara mendapat giliran pembersihan. Pasukan rakyat mengalihkan tempat-tempat pertahanan ke Ngada Timur.
Untuk itu perlu  Kepa Biu di WolowaE selatan diserang untuk kedua kalinya agar dapat menembus jalan ke tempat pertahanan Nipa Do yang baru. Atas perintah Nipa Do, Kepa Biu telah menyiapkan pertahanannya di Koli Luja, sebuah kampung di atas bukit Luja yang dikelilingi dengan tebing-tebing yang terjal dan jurang-jurang yang mengerikan.
Hanya ada satu jalan yang sempit dan kecil, yang dalam masa perang dapat dijaga dengan kuat
Di sekeliling kampung disediakan batu-batu besar yang terikat kuat dengan tali temali, serta tersusun dalam barisan-barisan melilit bukit tersebut sebagai senjata penting pemusnah yang berada di kaki bukit Luja itu.

Pertempuran di Koli Luja


Pasukan Belanda memulai ekspedisinya dari Watuapi dan tiba pada keesokan harinya di Koli Luja. Pada saat mereka hendak memasuki kampung Koli Luja dari jalan biasa, maka pasukan rakyat mulai beraksi  dan pasukan Belanda terpaksa mundur dan mengadakan perkemahan pada kaki bukit Luja.
Sementara tentara Belanda berteduh, mulailah pasukan rakyat menyerang mereka dari atas bukit. Batu besar-besar berderu turun dan anak panah dan peluru bedil bertubi-tubi ditembakan ke arah musuh.
Pasukan Belanda menyingkir, tetapi bertekad untuk menduduki kampung Luja itu dengan menempuh jalan dan daya apa pun.
Seorang kuli dipaksa mendaki bukit itu dari sebelah belakang, untuk merintis jalan bagi pasukan Belanda.
Dengan memanjat dan berpegang pada akar-akar kayu ia berhasil dengan susah payah mencapai puncak bukit Luja itu; jalan telah dirintis dan sepasukan kecil tentara Belanda yang bersenjata lengkap, mengikuti jalan itu dan menyerang pasukan rakyat Luja dengan tiba-tiba dari belakang, malahan membakar habis rumah-rumah dan persediaan makanan, senjata dan hewan-hewan rakyat. Patahlah pertahanan rakyat Koli Luja.
Dalam tempo 2 minggu Belanda memasuki WolowaE dan mulai mengadakan pembersihan yang kejam. Kampung, gudang makanan, hewan, kebun-kebun rakyat dibakar habis.
Atas bujukan seorang kawan yang ternyata menjadi mata-mata Belanda, “bahwa bila menyerah akan diberikan pengampunan dan diberi kedudukan  yang tinggi,” maka Kepa Biu terpengaruh dan datang ke Ngapanda untuk menyerahkan diri kepada raja Tana-Rea. Raja Tana-Rea menyerahkan kepada tentara Belanda dan sesudah beberapa hari ditahan, ia diangkut ke Ende bersama istri dan beberapa kawannya. Untuk mengelabui mata para pejuang, agar mau menyerahkan diri.
Kepa Biu dan kawan-kawannya diperlakukan dengan sangat ramah- tama oleh Belanda, tetapi sesudah tawanan-tawanan dari WolowaE utara dan timur dan Ngada timur tiba di Ende, maka mulailah diadakan pemeriksaan dan penjatuhan hukuman.
Kepa Biu dijatuhi hukuman seumur hidup dan dibuang ke luar Flores dan hilang tanpa bekas. Istrinya dikembalikan ke WoloaE dan oleh raja Tana-Rea ia pernah diangkat sebagai kepala kampung WolowaE. Oleh bujukan manis Belanda, demikian pun oleh penghianatan beberapa kawan seperjuangan, kekuatan pasukan rakyat makin berkurang. Banyak pemimpin, karena terpengaruh oleh kemewahan material yang diberikan Belanda, datang menawarkan diri untuk bekerja sama dengan Belanda, malahan bila perlu menghianati kawan seperjuangan.
Belanda menjanjikan harta serta kedudukan tinggi bagi barang siapa yang dapat menunjukkan tempat persembunyian Nipa Do, Laja Dhosa dan Daru Gore, atau pun membujuk mereka untuk menyerahkan diri kepada Belanda. Akhirnya sesudah mendengar kabar, bahwa pemimpin-pemimpin rakyat sudah ditawan semuanya, maka Laja Dhosa pun, yang sudah dikejar kian kemari dan mengalami kelaparan dan berbagai penderitaan datang menyerah diri pada tentara Belanda di Wagha. Beberapa waktu kemudian disusul pula dengan penyerahan diri Deru Gore; kedua panglima ini terjebak oleh siulan manis dan janji muluk-muluk pihak Belanda, yang menyatakan tidak akan mengambil sesuatu tindakan apa pun  terhadap mereka yang menyerahkan diri dengan suka rela. Tinggallah Nipa Do seorang diri mengembara dan dikejar kian kemari.

Nipa Do dikhianati


Seorang tawanan di Ende, bekas kepala kampung dari Haminte WolowaE bernama BiaE DhaE menyatakan kesanggupannya untuk menangkap Nipa Do. Ia segera dibebaskan dan dikembalikan ke kampungnya dengan membawa sepucuk surat untuk kepala pasukan di Watuapi dan Wagha. Ia akan diangkat menjadi Kepala Haminte WolowaE bila berhasil menangkap Nipa Do. Sekembalinya di kampung, maka pertama-tama ia mengajak semua penduduk untuk kembali kerumah dan kampung halamannya masing-masing. Juga segera ia melaporkan diri kepada kepala Pasukan Belanda dan memberitahukan cara dan siasatnya untuk menangkap Nipa Do. Dicarinya 3 orang anggota keluarga dan pengikut setia Nipa Do diantara tawanan Belanda di Wagha.
Ketiga orang itu disuruhnya mencari tempat kediaman Nipa Do dan menyampaikan pesan BiaE DhaE dengan ditambah keterangan, bahwa BiaE DhaE ingin secara pribadi mengunjungi dan membicarakan di bawah empat mata syarat-syarat yang akan dimajukan kepada Belanda. Meskipun dengan agak ragu-ragu, Nipa Do menerima ajakan BiaE DhaE dan bersedia mengadakan perundingan di kampung Kawa, yang terletak di lereng gunung.
Hal ini disampaikan oleh ketiga pesuruh kepada BiaE DhaE, karena takut akan mengalami kegagalan, ketiganya disuruh kembali kepada Nipa Do dengan pernyataan, “Nipa Do tidak perlu takut; BiaE DhaE menjamin keselamatan tubuh dan nyawanya, asal saja perundingan itu dapat dilakukan di kampung Nusa, di hadapan istrinya pada jam tengah malam.” Nipa Do menerimanya, dan sementara itu BiaE DhaE telah melaporkan hal ini kepada Belanda dengan permintaan, agar pada pagi hari buta, sesudah kokok ayam pertama, kampung Nusa dan khusus rumah tempat Nipa Do berada, dikepung rapat-rapat oleh pasukan Belanda yang kuat dan bersenjata lengkap. Nipa Do turun dari tempat persembunyiannya dan berangkat menuju Nusa. Di WolowaE ia masih sempat beristirahat untuk menemui sanak saudaranya. Sesudah ia tiba di Nusa, maka pada tengah malam itu juga tiba di disana BiaE DhaE.

Dimulailah pembicaraan antar keduanya. BiaE DhaE  terus menerus memuji-muji keberanian Nipa Do yang telah mengalahkan dan telah menjadikan Belanda bertekuk lutut kepadanya dan meminta agar diadakan perdamaian. Nipa Do akan diangkat menjadi raja Tana-Rea dan raja Kaka Dupa yang lama akan dilepaskannya. Demikian asyik dan ramah-tamanya  mereka berbicara, sehingga tanpa disadari hari sudah hampir pagi, kokok ayam pertama terdengar, dan tiba-tiba mereka dikejutkan  oleh gerak langkah yang ramai di sekeliling rumah tempat mereka berunding. Nipa Do telah terkepung dan masuk perangkap.
Kepala Belanda masuk kedalam rumah dan dengan nada yang keras dan ganas bertanya, “Mana Nipa Do!” Dengan tenang Nipa Do menjawab, “Sayalah Nipo Do!” Ia ditangkap, diikat dengan rantai baja dan dinyatakan, bahwa pada pagi itu juga ia akan diangkut ke Ende untuk menghadap pembesar Belanda di sana. “Saya tidak mengenal pembesar lain selain nenek moyangku sendiri,” jawab Nipa Do dengan berani. Mendengar kata-kata itu Kepala pasukan Belanda segera mengangkat bedilnya dan menembak Nipa Do di kepalanya.
Sebelum ia menghembuskan nafasnya yang terakhir, ia masih mengucapkan kata-kata dalam bahasa Daerah yang berarti, “ Cepat atau Lambat, Tanah Airku pasti Merdeka.” Belanda memerintahkan untuk membakar jenasahnya, tetapi atas permintaan BiaE DhaE maksud itu diurungkan, dan Nipa Do dikuburkan oleh penduduk kampung Nusa, di mana hingga kini, makamnya masih dapat dilihat berupa suatu tumpukan batu biasa.
(Penulis : Dimanakah makamnya, buatkanlah “Tugu Pahlawan Flores” ini oleh Pemda setempat).

Berakhirlah sejarah perjuangan Nipa Do yang gagah perkasa. Salah seorang pembantunya RaE Sape, Kepala adat Mbay masih meneruskan perlawanannya terhadap Belanda, tetapi akhirnya sesudah pertempuran di beberapa tempat dan terus-menerus dikejar-kejar oleh tentara Belanda, maka RaE Sape pun, pada waktu melihat anak-istrinya disiksa secara kejam oleh Belanda, ia datang menyerahkan diri dan sesudah ditawan beberapa lama di Ngada, dibuang ke Kupang.
Demikianlah sekelumit sejarah perjuangan rakyat terhadap penjajah Belanda di Flores. Masih banyak ‘Nipa Do’  terdapat di Nusa Bunga, misalnya di Manggarai, di Sikka dan lain-lainnya, yang dapat menambah semarak dan memberi keharuman yang menyegarkan pada sejarah perjuangan Bangsa Indonesia, khususnya di Nusa Tenggara Timur.

5. Perlawanan Rakyat Di Sumba

Terhadap Belanda

Perlawanan raja-raja Sumba terhadap penjajah Belanda adalah sebagai berikut :
a.  Belanda mengadakan kontak pertama dengan Raja Mangili, tetapi hanya di atas kertas. Raja tetap berdaulat dan tetap mengadakan ‘strandroof’ dan menjalankan perdagangan budak. Sebuah kapal Inggris karam dalam tahun l838 di Lamboya. Kapal itu dirampok seluruhnya sedangkan anak buah kapal dibawa ke pedalaman sebagai budak. Pada tahun l845 dibuat lagi kontrak baru, disusul pula pada tahun l862, tetapi semuanya tidak ada gunanya..
b.  Pada tanggal 31 Agustus l866 seorang Controleur Belanda, Roos ditempatkan di Kambaniru. Raja yang berkuasa pada saat itu adalah raja Lewa, Umbu Tunggu di Sumba Tengah, yang telah menaklukan kerajaan-kerajaan yang lain sampai ke pelabuhan Waingapu. Ia mempunyai satu pasukan tetap dan merupakan musuh yang terbesar dari Belanda. Selama hidupnya ia tidak pernah bertemu dan menerima Pemerintahan Belanda. Oleh karena pelabuhan Waingapu terletak dalam wilayahnya, maka setiap kapal yang berlabuh harus membayar pajak berlabuh dan bea pelabuhan kepadanya; kemudian ia mengharuskan setiap pedagang kuda membayar bea expor untuk setiap ekor kuda yang dikirim ke luar. Pedagang kuda pun di kenakan pajak rumput. Kota Waingapu terus menerus diancam untuk dikepung dan dibakar. Sampai ia meninggal dunia tahun l892 dan diganti oleh kemanakannya, Bidi Taoe, Lewa tetap menjadi musuh utama dari Belanda.  Dengan bantuan Gubernur Makassar yang mengirim satu pasukan Belanda dengan kapal perang “Java”, Kapten van Dyk, controleur Waingapu dalam tahun l90l menyerang Lambanapu, tempat kediaman Raja Lewa. Raja Bidi Taoe dapat meloloskan diri  dari kepungan Belanda dan meneruskan perjuangan. Belanda mengirim bala bantuan dari Jawa, tetapi tidak berhasil menangkap  Raja Lewa dan keadaan perang berlangsung hingga tahun l906.
c.  Pada tahun l906 Memboro diserang oleh Belanda di bawah pimpinan Letnan Rynders. Raja Oemboe Karai meloloskan diri  dari kepungan Belanda dan melanjutkan perjuangannya dengan perang gerilya di gunung-gunung. Namun kerajaan Memboro dapat diduduki dan sesudah kemudian raja menyerah, ditempatkanlah seorang posthouder di Memboro. Usaha Belanda menempatkan seorang Letnan dan satu pasukan di Waikabubak mendapat tantangan yang hebat dari raja dan rakyat kerajaan Lauli. Pasukan Belanda diserang dan Letnan de Neve luka parah dan meninggal dunia.
d.  Di Massu dan Karera (Sumba Timur) keadaan bagi Belanda  pun sukar sulit. Raja-raja kedua kerajaan melalui perang gerilya terus menerus menghantam kedudukan Belanda. Sesudah Kota Kenangga di Massu dikepung dan ditaklukan oleh Belanda barulah keadaan Sumba Timur menjadi lebih cerah bagi Belanda..
Demikianlah beberapa cukilan dari perjuangan untuk kemerdekaan dari raja dan rakyat di kepulauan Nusa Tenggara Timur yang merupakan hasrat yang menyala-nyala untuk meruntuhkan  kekuasaan Belanda.
Pemberontakan terjadi di Timor, Belu, Alor, Rote, Flores, dan Sumba namun pemberontakan itu tidak berhasil menumbangkan kekuasaan penjajah.
Sebabnya, terang bukan karena para pemimpinnya kurang berani. Sebab yang utama, ialah karena antara kita belum ada persatuan nasional.
Semua pemberontakan masih bersifat lokal/kedaerahan dan terpisah-pisah satu dari lainnya. Akibatnya penjajah, di samping keunggulan senjatanya yang paling ampuh; mangadu dombakan kita dengan kita, menjalankan poletik memecah-belah kita dengan kita, lalu tetap berkuasa. (Sumber : I.H.Doko, Perjuangan Kemewrdekaan Indonesia di Nusa Tenggara Timur, PN.Balai Pustaka,Jakt

Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

USULAN PENULIS :  Pemda Provinsi NTT,  menjadi Sponsor Pembuatan Film Dokumenter  Perjuangan Rakyat NTT terhadap Para Penjajah (Portugis, Belanda, dan Jepang) berdasarkan Tulisan di Buku ini. Hubungi Produser Film di Jakarta, untuk menjajaki Pembuatan Film tersebut. Hal ini dikarenakan anggapan selama ini oleh sementara para penulis Sejah, seolah-olah Rakyat NTT tidak punya andil dalam perjuangan Kemerdekaan RI selama ini. Hal ini dikarenakan “Tidak ada buku Sejarah NTT’ yang diangkat  selama ini”secara Nasional.
Bagaimana Pendapat Bapak Gubernur NTT, tentang Usulan Ini?
Kapan Actionnya.
(Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob—Alamat : Jln.Jambon I, No.414J, RT.10 – RW.03 – Kricak – Jogjakarta, Telp.0274.588160 – HP.082135680644)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.