SEJARAH INJIL MASUK TORAJA
Posted
on 3 Desember 2012 under Uncategorized
Baptisan pertama di Makale Baptisan
pertama yang dilakukan di Toraja dilaksanakan oleh Pendeta bantu Jonathan
Kelling (1861-1922) yang bertugas di Bonthain
datang ke Makale membaptis 20 pemuda pada tanggal 16 Maret 1913 di Ma’kale yaitu W. Batjo, Jan Buto’ (Ma’kale), P. Karoma’
(Gandangbatu), Oktavianus
Karre’ (Tangti, Mengkendek),
P. Karre Mangontan
(Tokesan), Johannes Lamba’ (Awa’), E. Lebu’ (Gandangbatu), Pil Onggo
(Pa’buaran), Alexander
Rantealo (Ma’kale), S. Rasut, Romon, Benyamin Roeroek (Awa’), Pither
Roeroek (Tangti, Mengkendek),
H. Saba’ (Madandan) M. Sakung (Tapparan),
D. soemoele (Awa’), M. Tempang (Uluwai),
Isak Tondok (Lemo), Karel Tuppang (Manggau, Ma’kale), Lukas Tuppa
(Gandangbatu). Anak-anak
yang dibaptis terlebih dahulu mendapatkan
pendidikan atau pengajaran (sama dengan katekisasi) dari guru Ndun dan
S. Sipasulta
selama setahun. Namun sebelum memasuki
katekisasi di sekolah yang dilaksanakan sesudah jam sekolah diawali
dengan memberi ala kadarnya
mengenai Agama Kristen, kemudian ditanyakan apakah mereka mau pindah
masuk Kristen?
Hal ini dilakukan oleh Pdt. J. Kelling dan guru-guru Landschapsschool.
(SSZ.63-64).
sumber: http://m.facebook.com/groups/113226944767?view=permalink&id=10151547077619768&_rdr
Mau Tahu Sejarah Siar Injil di Toraja? Yuk Ke Monumen Ini
RAKYAT SULSEL (Selasa ,
19/Maret/2013 18:00)
Penulis
|
:
|
Jayadi
|
Editor
|
:
|
Mulyadi Abdillah
|
TANA TORAJA,
RAKYATSULSEL.COM
– Bupati Tana Toraja Theofilus Allorerung meresmikan monumen Pekabaran Injil
Dirk Cornelis Prins Buisun Burake, Kec. Makale Selasa (19/3). Peresmian Monumen
Pekabaran Injil DC Prins sebagai bukti sejarah bahwa pada 100 tahun yang lalu
siar Injil mulai dilakukan ditempat itu.
Dari sejarah yang ada,
agama Kristen mulai masuk di Toraja pada tanggal 16 Maret, seratus tahun yang
lalu, ditandai dengan di baptisnya 20 orang oleh Pdt. Jonathan Kelling dari
Indische Kerk (Gereja Protestan Hindia), seorang pendeta yang saat itu bertugas
dikabupaten Bantaeng.
Setelah pembaptisan
pertama, agama Kristen mulai berkembang didaerah ini, apalagi setelah dibukanya
Pusat Pelayanan Resort Makale. Tempat tersebut pada jamannya, digunakan sebagai
poliklinik, asrama pendidikan, tempat ibadah dan sekaligus sebagai tempat
tinggal Dirk Cornelis Prins bersama keluarga.
Pusat Pelayanan yang terletak
di Buisun Burake itu mulai digunakan pada tahun 1917. Sayang tiga tahun
kemudian, saat DC Prins bersama keluarganya pulang kekampung halamannya tempat
tersebut dibakar oleh masyarakat. Namun oleh warga gereja, tempat tersebut
dianggap sebagai Gereja pertama di Toraja.
Untuk itulah diatas tempat
itu dibangun sebuah monumen Pekabaran Injil oleh Pemerintah Daerah.
“Tempat ini merupakan
sejarah bagi pekabaran injil di Toraja. Semoga dengan diresmikannya tempat ini
dapat difungsikan oleh masyarakat setempat maupun luar sebagai tempat menimbah
ilmu, khusus menyangkut sejarah pekabaran injil di Toraja,” kata Bupati saat
meresmikan tempat itu
SEKILAS
GEREJA TORAJA
Gereja Toraja adalah hasil dan kelanjutan dari pelaksanaan hakekat
gereja pada umumnya yaitu misi. Dan kehadirannya dalam konteks tertentu adalah
wujud kehadiran gereja Tuhan yang esa. Cikal bakalnya di mulai dengan kehadiran
beberapa guru beragama Kristen (anggota Indische Kerk-Gereja Protestan
Indonesia) pada sekolah Landschap yang dibuka oleh pemerintah Hindia Belanda
pada tahun 1908 di Toraja dapat dianggap sebagai awal masuknya berita Injil ke
daerah Toraja. Para guru ini berasal dari Ambon, Minahasa, Sangir, Kupang, dan
Jawa.
Atas
pimpinan dan kuasa Roh Kudus, terjadilah pembaptisan yang pertama pada tanggal
16 Maret 1913 kepada 20 orang murid sekolah Landschap di Makale oleh
Hulpprediker F. Kelling dari Bontain. Pemberitaan Injil dilakukan secara
“sengaja” dan intensif oleh Gereformeerde Zendingsbond (GZB) dari
Negeri Belanda dengan datangnya Penginjil A.A. Van Der
Loosdrecht ke Toraja pada tanggal 10 November 1913. Dia mati dibunuh (oleh
kelompok yang tidak setuju karena pemerintah kolonial Belanda mengurangi
masa/waktu berlangsungnya perjudian) pada tanggal 26 Juli 1917 di Bori dan
menjadi syahid pertama Injil di Toraja. Darahnya telah menjadi benih gereja:
Gereja Toraja. GZB adalah sebuah badan zending yang didirikan oleh
anggota-anggota Nederlandse Hervormde Kerk (NHK) yang menganut paham
gereformeerd, berlatar belakang pietis, dalam arti sangat mementingkan
kesalehan dan kesucian hidup orang Kristen. Injil yang ditaburkan oleh GZB di
Tana Toraja tumbuh dan dibina oleh GZB selama kurang lebih 34 tahun
lamanya. Paham teologi GZB ini masih banyak memengaruhi paham teologi warga Gereja
Toraja sampai saat ini.
Para
pembawa Injil datang melanjutkan pengutusan Yesus.“Sama seperti Bapa mengutus
Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus engkau” (Yoh 22:21),
dan melakukan seperti yang dilakukan oleh Yesus sendiri yakni
memberitakan Injil Kerajaan Allah (preaching), mengajar (teaching)
serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan (healing) (Mat.
9:35). Mereka datang memberitakan penyelamatan Allah di dalam diri Yesus
Kristus, mereka mendidik masyarakat untuk keluar dari kebodohan dan
keterbelakangan dengan membuka sekolah-sekolah, dan menyembuhkan masyarakat
dengan mendirikan pelayanan kesehatan. Mereka mengharapkan orang Toraja menjadi
manusia yang beriman, terdidik, dan sehat. Sebuah
pemahaman dan pelaksanaan
misi yang menyeluruh (holistic).
Dengan hal itu orang Toraja telah
diberkati oleh Tuhan sehingga mencapai sebuah kemajuan yang luar biasa hanya
dalam waktu kurang lebih 50 tahun, yang menurut beberapa catatan sejarah hanya
bizsa dicapai suku-suku lain dalam waktu 100 tahun ke atas. Artinya, kedatangan
kekristenan yang dibawa oleh para Zending
yang kemudian dilanjutkan oleh Gereja Toraja yang mandiri telah melahirkan
sebuah perubahan yang sangat mendasar dalam sejarah orang Toraja dan masyarakat
Toraja. Sejarahwan
malah mencatat bahwa modernisasi di Toraja dimulai dengan kehadiran pendidikan
yang di bawa oleh Gereja. Gereja Toraja telah menjadi salah satu agen
modernisasi dan perubahan sosial yang sangat menentukan di Toraja lewat koinonia
(persekutuan), diakonia (pelayanan), marturia (kesaksian), liturgy (ibadah yang
hidup), didache (pengajaran), pastoral (penggembalaan), oikonomia
(penatalayanan) (oikonomia mencakup sarana dan prasarana, manajemen
organisasi, keuangan) yang dibangunnya. Gereja Toraja telah menjadi kekuatan
pemicu yang sangat mendasar dalam diri orang Toraja, masyarakat Toraja, yang
pada gilirannya pengaruh perubahan pada skala regional dan nasional. Satu hal
yang tidak bisa disangkali adalah bahwa kekristenan yang datang di Toraja yang
kemudian dilanjutkan oleh Gereja Toraja telah memberikan identitas baru bagi
orang Toraja sebagai “pembeda” dengan masyarakat sekitarnya. Toraja menjadi
identik dengan Kristen. Dengan demikian, sadar atau tidak, orang Toraja akan
menjadi saksi Kristus, entah saksi baik maupun buruk.
Apa yang telah dilakukan oleh
para pengijil itu telah melahirkan Gereja Toraja. Salah satu Gereja Tuhan yang
menjadi perwujudan Gereja Tuhan yang esa ini kemudian semakin matang dan mulai
bisa mengurus dirinya. Batu tapal berdirinya Gereja Toraja terjadi pada tanggal
25-28 Maret 1947.
Pada saat itu diadakan persidangan Sinode I di Rantepao yang dihadiri
oleh 35 utusan dari 18 Klasis. Sidang Sinode I ini memutuskan bahwa orang-orang
Toraja yang menganut agama Kristen bersekutu dan berdiri sendiri dalam satu
institusi gereja yang diberi nama GEREJA TORAJA. Waktu berjalan terus, dan
Tuhan melibatkan Gereja Toraja dengan segala kelebihan dan kekurangannya
dalam karya penyelamatanNya di dunia ini. Dalam upaya
menghadirkan dirinya sebagaimana diinginkan Tuhan daripadanya, lewat pergumulan
yang panjang dan di bawah bimbingan Roh Kudus Gereja Toraja telah mencapai Tri
Kemandirian Gereja yakni kemandirian Teologi, Daya, dan Dana. Dengan ketiga
modal yang telah dianugerahkan Tuhan lewat jerih dan juang ini Gereja Toraja
terus berupaya menjalani panggilannya dalam realisme yang berpengharapan. Kini
Gereja Toraja terdiri dari 85 Klasis, 1006
Jemaat, 270
cabang kebaktian, dan 56
tempat kebaktian yang tersebar di seluruh Indonesia, bahkan di luar negeri
(Malaysia dan Singapura).
e-mail: msgke@indonet.id;
msgke@yahoo.co.id
Selasa,
15 Maret 2011
SEJARAH GKE
Sejarah Gereja Kalimantan
Evangelis (GKE) dimulai pada abad ke-19 ketika di Eropa terjadi kebangkitan
kesadaran untuk mengabarkan Injil ke seluruh dunia. Abad ini dikenal sebagai “The
Great Century” (Abad Agung) untuk Pekabaran Injil (PI).
Pada tahun 1830-an tersiar
kabar mengenai pulau Kalimantan di tanah Jerman. Dalam cerita-cerita itu
digambarkan mengenai ratusan ribu orang Dayak masih tertinggal dalam peradaban:
sering terjadi perang antar suku, praktek pengayauan, masyarakatnya tidak
mengenal pendidikan dan pelayanan kesehatan. Orang-orang Dayak tersebut tinggal
dalam “kegelapan”, karena belum menerima Injil. Karena itu muncul
kerinduan, kesadaran dan semangat yang menggebu-begu di kalangan umat Kristen
di Jerman untuk memberitakan Injil ke Kalimantan.
1. Periode I, 1835 - 1920 (Periode
Perintisan Oleh Misionaris)
Kerinduan, kesadaran dan semangat itu
selanjutnya diwujudkan dengan diutusnya dua orang misionaris dari Rheinische
Missionsgezelschaft zu Barmen (RMG) untuk berangkat ke Kalimantan,
yakni Barnstein dan Heyer. Mereka berdua pertama-tama datang ke
Batavia (Jakarta). Namun, Heyer walaupun dengan penyesalan kemudian harus
kembali ke Jerman karena sakit. Dan sesudah melalui perundingan sekitar enam
bulan dengan pemerintah Hindia Belanda, dengan menumpang kapal selama 44
hari, maka pada tanggal 26 Juni 1835, Barnstein untuk pertama
kalinya menginjakkan kakinya di Banjarmasin. Selanjutnya, enam bulan kemudian
datang lagi menyusul tiga Missionaris dari Jerman, yakni Becker, Hupperts
dan Krusmann. Dalam beberapa tahun kemudian berdatangan lagi sejumlah
missionaris lainnya dari Jerman untuk memberitakan Injil di Kalimantan.
Pada tahap awal kedatangan Barnstein
di Kalimantan, maka sesuai dengan pemberitaan di jerman mengenai Kalimantan,
yang pertama-tama dicarinya adalah orang-orang Dayak. Karena itu selama
beberapa bulan pertama ia mengadakan sejumlah perjalanan ke pedalaman
Kalimantan untuk menjajaki kemungkinan bagi pelaksanaan pemberitaan Injil.
Dalam perjalanan tersebut, di Gohong (Kahayan Hilir KalimantanTengah),
Barnstein mengadakan upacara “angkat saudara dengan pertukaran darah”
(Hangkat hampahari hatunding daha) dengan Temanggung Ambo Nikodemus,
Kepala Suku setempat. Sejak itu Barnstein dianggap saudara oleh orang Dayak
karena telah bertukar darah dengan kepala suku Dayak.
Sesudah melalui sejumlah perjalanan
awal itu, selanjutnya Barnstein bersama dengan beberapa missionaris membuka
stasi-stasi pangkalan PI) di beberapa wilayah Kalimantan Tengah.
Dengan adanya stasi-stasi ini,
mulailah diadakan usaha-usaha di bidang pendidikan seperti pendirian
sekolah-sekolah, pelayanan kesehatan, pemberitaan, perkunjungan dan percakapan
langsung dengan orang-orang Dayak. Dengan demikian, beberapa metode yang
dipakai oleh para missionaries untuk mencapai orang Dayak dengan Injil adalah :
(1) memenangkan ikatan persahabatan dan persaudaraan, (2) Pendekatan kepada
golongan atasan/kepala suku, (3) Perbaikan taraf hidup sosial ekonomi rakyat,
(4) Pendidikan dan (5) Pelayanan Kesehatan.
Dengan lambat sekali Injil mulai
menyelusup dan merintis jalannya sendiri ke celah-celah hati suku Dayak. Periode
ini menuntut kesabaran dan keuletan.
Periode pertama PI di Kalimantan
mengalami cobaan berat ketika terjadi pemberontakan Hidayat dari Kesultanan
Banjarmasin 01 Mei 1859, pemberontakan ini didukung oleh banyak tokoh
masyarakat Dayak yang berhasil dihasut. Tujuan pemberontakan adalah mengusir
pemerintah Belanda dan semua orang kulit putih dari bumi Kalimantan.
Pemberontakan ini memakan korban baik dari pihak pemerintah Belanda maupun para
misionaris Jerman. Empat orang missionaris, tiga orang isteri dan dua orang
anak mereka mati dibunuh oleh orang Dayak sendiri. Missionaris Roth,
Wiegand dan isteri, Misionaris Kind dan isteri beserta dua orang
anak mereka mati dibunuh di Tanggohan. Missionaris Hofmeister dan isteri
di bunuh di Penda Alai. Sedangkan Missionaris Klammer yang
berada di Tamiang layang, yang dalam keputusasaan dan ketakutan berhasil
diselamatkan oleh para pemimpin Dayak Maanyan.
Sejak pemberontakan yang memakan
korban orang-orang kulit putih tersebut, Pemerintah Hindia Belanda melarang
semua orang kulit putih termasuk para missionaris untuk masuk ke pedalaman
Kalimantan. Hasil Pekabaran Injil yang sudah berlangsung 25 tahun itu musnah
dihapus oleh kegagalan, kekecewaan, air mata dan darah.
Baru beberapa tahun
kemudian, sesudah pemberontakan Hidayat dapat ditumpas (1866), Pemerintah
Hindia Belanda mengijinkan para Missionaris memulai kembali pekerjaan mereka di
sekitar “benteng Belanda”. PI dimulai kembali di berbagai kawasan
termasuk pembukaan daerah baru. Tahun 1911, tercatat 3.000 orang Dayak sudah
dibabtis menjadi Kristen.
Pertobatan di kalangan suku
Dayak memang sangat sukar dan lambat. Ini berkaitan dengan kuatnya ikatan
orang Dayak terhadap adat dan agama sukunya, termasuk karena keharusan
bagi Orang Dayak yang hendak menjadi Kristen untuk meninggalkan kebudayaan
Dayaknya oleh para missionaris.
Awal abad XX ditandai oleh tragedi
dunia dengan pecahnya Perang Dunia I di Eropa. Salah satu akibat nyata yang
dialami oleh Badan Zending RMG akibat Perang Dunia I tersebut adalah kesulitan
keuangan yang parah. Badan ini tidak mampu lagi membiayai pelaksanaan PI baik
di Kalimantan maupun Sumatera. Setelah melalui berbagai pertimbangan dan
kerinduan sebuah Badan Zending di Basel, Swiss yang bernama Basler
Misssionsgezellschaft, (BM) maka pada tahun 1920 disepakati bahwa BM
mengambil alih pelaksanaan PI di Kalimantan. Sedangkan gambaran hasil PI di
Kalimantan pada waktu itu adalah : jumlah orang Kristen 5.000 orang, 14
Pemberita, 39 Penatua, 14 missionaris dan isteri mereka, 11 stasi (pangkalan
induk). Langkah-langkah BM adalah menempatkan empat missionaris mereka di
pangkalan induk, yakni missionaris Henking di Banjarmasin, Weiler di Tamiang
Layang, Kuhnle di Mengkatip, dan Huber di Puruk Cahu.
2. Periode II, 1920 - 1935 (Periode
Peralihan Zending)
Mengawali tugasnya di
Kalimantan, BM melakukan tugas PI dengan mengandalkan missionaris-missionaris
yang datang dari Jerman dan kemudian Swiss. Belum banyak orang Dayak yang
dilibatkan dalam berbagai kegiatan PI. Namun, BM memang berminat untuk
mendirikan gereja suku. Oleh sebab itu usaha pertama yang dilakukan adalah
meneruskan apa yang sudah dirintis oleh RMG, yakni melakukan pelayanan
kesehatan, pendidikan, menghidupkan jemaat dan mempersatukannya menjadi satu
gereja yang akan berdiri sendiri. Dalan rangka itu dilihat pentingnya
melibatkan orang-orang Dayak dalam pelaksanaan PI dan pembinaan jemaat di
Kalimantan. Konsolidasi stasi-stasi mulai dilakukan dan dikembangkan menjadi
satu lembaga persekutuan orang-orang Kristen yang kemudian akan menjadi jemaat.
Peraturan Gereja untuk
orang-orang Kristen di Kalimantan mulai disusun, sejumlah persidangan gerejawi
pun dilaksanakan, seperti : diterimanya Peraturan Sidang Jemaat Kristen yang
disahkan oleh RMG pada tahun 1912 menjadi dasar hidup berjemaat, pertemuan para
missionaris dan sejumlah utusan jemaat/stasi, yang dilaksanakan di Banjarmasin,
03 – 04 Maret 1925, Konferensi Pekerja Zending tahun 1926, 1928 dan 1930.
Selanjutnya Sinode Mandomai tahun 1930 memutuskan menerima secara resmi
Peraturan Sidang Jemaat Kristen di Borneo Selatan yang sudah diperbarui
sebelumnya (1925) dan dipilihnya anggota Majelis Sinode (Synodale
Commissie) pertama dengan keanggotaan :
- Ketua
: Pdt. K. Epple (Zending BM)
- Wakil
Ketua : August Narang
- Anggota
: Pdt.C. Weiler (Zending), M. Lampe, E.Tahanan, A Kiting dan
A. blantan.
- Anggota
Kehormatan : F. Dingang
Sejak tahun 1930, dilakukan
persiapan untuk membentuk jemaat-jemaat yang tersebar di Kalimantan hasil PI
RMG dan BM ke dalam satu wadah lembaga Gereja. Dalam rangka persiapan itu pada
tahun 1932 didirikan Sekolah Teologia di Banjarmasin. Usaha memperkuat peran
orang Dayak pun dilakukan dengan serius oleh pihak Zending BM dan pada tahun
1935 adalah tahun yang paling bersejarah dengan berdirinya Gereja Dayak
Evangelis (GDE) secara mandiri.
3. Periode III, 1935 - 1945 (Periode
Lahirnya Gereja Dayak)
Proklamasi berdirinya
Gereja Dayak Evangelis dilaksanakan pada persidangan Sinode Umum di Kuala
kapuas yang berlangsung sejak tanggal 2-6 April 1935. Persidangan tersebut
dihadiri oleh 30 orang Kristen Dayak dan 8 orang Penginjil Zending. Dalam
persidangan tersebut, pada tanggal 4 April 1935 pukul 12 siang disahkan
secara resmi Peraturan Gereja I Gereja Dayak Evangelis. Inilah tanggal yang
dinyatakan sebagai berdirinya Gereja Dayak Evangelis disingkat GDE
sebagai Gereja yang berdiri sendiri. Kemudian pada tanggal 5 April 1935,
bersamaan dengan perayaan genap 100 tahun (SEABAD) pekabaran Injil di
Kalimantan, maka kelima pemuda lulusan Sekolah Theologia Banjarmasin yang
dianggap memiliki potensi besar telah ditahbiskan di gedung Gereja Hampatung
(Kuala Kapuas), sebagai Pendeta-pendeta pertama dari Gereja Dayak Evangelis
(GDE). Pengutusan, Berkat dan Pentahbisan Suci 5 (lima) “Pendeta Dayak” pertama
yang dilakukan Zending Basel oleh Inspektur Sir H. Witschi. Pada tanggal 5
April 1935, sebagai berikut :
1. Pdt. RUDOLF KITING,
ditempatkan di Rungan dengan kedudukan di Tumbang Bunut.
2. Pdt. EDUARD DOHONG,
ditempatkan di Miri dengan kedudukan di Tumbang Sian.
3. Pdt. GERSON AKAR,
ditempatkan di Hulu Kapuas dengan kedudukan di Sungai Hanyu.
4.Pdt. HERNALD DINGANG
PATIANOM,
ditempatkan di Sungai Tiwei dengan kedudukan di Benangin.
5. Pdt. MARDONIUS
BLANTAN, ditempatkan di Dusun Timur dengan kedudukan di Tewah Puluh.
Daerah-daerah tempat ke – 5
pendeta pertama itu ditempatkan adalah merupakan daerah-daerah front pekabaran
injil. Dari sini sudah tampak karakter Gereja Dayak dengan segala pekerjaannya,
selaku gereja yang mengabarkan Injil sesuai dengan nama Gereja tersebut yaitu
“Evangelis”.
Patut pula dicatat dalam
sejarah gereja ini, bahwa kelima Pendeta pertama ini adalah tokoh-tokoh Pionir
dan pesuruh-pesuruh Injil yang penuh daya gerak diantara orang sebangsanya dan
mereka inilah yang merupakan orang-orang pertama PEKERJA NASIONAL GEREJA dan
bukan pekerja suatu lembaga atau badan Zending dari luar negeri.
Penguatan Peran Orang Dayak
Kristen dalam
mengelola GDE semakin dimatangkan. Pada tahun 1937 diadakan Konferensi Pengerja
Zending yang menegaskan: “Badan Zending patutlah semakin berkurang, dan gereja
Dayak makin bertambah. Hendaklah kita semakin mengundurkan diri sampai pada
pelayanan persaudaraan dan nasihat”.
Pada tahun 1939, keadaan
GDE yang dapat dicatat adalah sebagai berikut : Jumlah anggota 15.000, tenaga
pengerja Dayak (pribumi) 235, terdiri dari 16 pendeta – 33 pemberita Injil -
158 guru – 26 pembantu perawat – 1 kolportir – 1 dokter diperbantukan. Pengerja
Zending 40 tenaga, terdiri dari 14 missioner, 3 dokter, 4 suster, 2 guru, 1
administratur (dengan keluarga masing-masing).
Gereja yang masih sangat
muda ini kembali mendapat ujian berat seiring dengan terjadinya Perang
Dunia II pada tahun 1940-an. Kengerian yang pernah terjadi pada masa PD
I kembali terulang dengan intensitas yang lebih besar. Para Missionaris dan
keluarga yang berasal dari Jerman dan Swiss ada yang ditawan dan diangkut ke
Jawa untuk selanjutnya dipulangkan. Dalam penawanan dan pembuangan sejumlah
missionaris dan keluarga tersebut, ketika diangkut untuk dibuang ke kamp Interniran
di India, kapal yang mereka tumpangi karam dan menewaskan semua
penumpang termasuk para missionaris dan keluarga mereka.
GDE dengan beberapa pendeta
Swiss dan Belanda yang masih ada di Kalimantan ditambah beberapa pendeta Dayak
sendiri harus berjuang mempertahankan hidupnya dengan berbagai kekurangan dan
kesulitan akibat penguasaan tentara Jepang.
Awal bulan Pebruari 1942, merupakan
awal habisnya para pengerja yang berasal dari Badan Zending di Eropa dan
hancurnya sejumlah sarana yang didirikan Zending oleh tentara Jepang. Hubungan
dengan Zending di Eropa putus sama sekali. Pada masa pendudukan Jepang inilah
GDE yang masih muda harus benar-benar mampu berdiri berdasarkan kekuatan
sendiri. Pada masa ini pula datang sejumlah Pendeta dari Jepang, seperti: Pdt.
Shirato, Pdt. S. Honda, Pdt. K. Kaneda, dan Pdt. Suzuki. Dengan bantuan
beberapa pendeta Jepang ini GDE terus berbenah diri. Melalui sejumlah
konferensi, GDE semakin memantapkan organisasi dan kehadiran-nya sebagai Gereja
Tuhan di Kalimantan. Dan ini terus berlangsung sampai Proklamasi kemerdekaan RI
tahun 1945. Pada akhir tahun 1944 terdapat jumlah anggota GDE sebanyak 16.671
orang.
4. Periode IV, 1945 – 1960 (Periode
Perubahan Nama GDE)
Sejak tahun 1945, GDE mulai
membangun wajah baru dengan kehadirannya yang semakin kokoh di bumi Kalimantan.
Pada saat yang sama, seiring dengan tumbuhnya kesadaran dan semangat keesaan
gereja, GDE semakin terlibat di dalam kegiatan oikumenis Gereja-Gereja di
Indonesia. Hal ini selanjutnya ditunjukkan dengan kesadaran bahwa orang-orang
yang bisa menjadi anggota gereja ini bukan hanya orang Dayak, melainkan semua
orang dari berbagai suku bangsa yang ada di Kalimantan.
Atas dasar kesadaran
oikumenis itulah, maka pada Sinode Umum GDE ke-5 Di Banjarmasin pada tahun
1950, seiring dengan masuknya GDE menjadi anggota Dewan gereja-Gereja Di
Indonesia (DGI), nama Gereja Dayak Evangelis (GDE) diganti menjadi “GEREJA
KALIMANTAN EVANGELIS” (GKE). Gereja ini tidak lagi membatasi diri sebagai gereja
suku tetapi gereja yang terbuka untuk semua orang yang ada di
Kalimantan.
Mulai pada Tahun 1960 GKE
memperluas wilayah pelayanannya ke Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.
Dengan demikian sejak itu kawasan pelayanan GKE meliputi seluruh wilayah
Kalimantan.
Tantangan yang harus
dihadapi GKE adalah perkembangan masyarakat dan dunia yang terus berlangsung
secara cepat dan berubah-ubah. GKE perlu benar-benar hadir sebagai alat
kesaksian di bumi Kalimantan bersama-sama dengan semua umat beragama lainnya
dari semua suku bangsa yang ada. GKE-pun terus dipanggil dan ditantang untuk
semakin eksis dalam membawa syalom Allah di bumi Kalimantan sampai Ia
mengenapkan rencana-Nya secara sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.