23
August 2007
FOTO: Para bocah Katolik Bali sedang
misa di Gereja Tuka. Mereka merupakan orang Katolik generasi keempat sampai
kelima.
Kedatangan agama Katolik di Bali
mula-mula banyak mendapat cobaan dan kesulitan. Semua tidak berjalan seperti
yang diharapkan. Tapi pelan, namun dengan penyertaan Tuhan, semua itu bisa
dilalui.
Bali, yang kini terkenal di seluruh
dunia karena kebudayaan dan agama Hindu dengan segala keunikannya, sejak dahulu
sudah menunjukkan adanya kesediaan untuk menerima masuknya agama Katolik. Satu
dokumen yang mendukung hal ini adalah sepucuk surat di atas daun lontar yang
ditunjukkan kepada orang-orang Portugis di Malaka pada tahun 1635. Dalam surat itu raja Klungkung mewakili raja-raja Bali menulis:
“Saya
senang sekali jika mulai sekarang kita bersahabat dan orang datang ke pelabuhan
ini untuk berdagang. Saya pun akan senang sekali jika imam-imam datang ke sini
agar siapa saja yang menghendaki dapat memeluk agama Kristen."
Undangan Raja Klungkung itu mendapat sambutan dari Gereja Katolik Portugis dengan diutusnya dua misionaris Yesuit ke Klungkung Bali. Kedua pastor tersebut adalah Pater Mamul Carvalho SJ dan Pater Azemado SJ dari Malaka.
Undangan Raja Klungkung itu mendapat sambutan dari Gereja Katolik Portugis dengan diutusnya dua misionaris Yesuit ke Klungkung Bali. Kedua pastor tersebut adalah Pater Mamul Carvalho SJ dan Pater Azemado SJ dari Malaka.
Namun, tidak adanya bukti-bukti yang
menyatakan adanya hasil dari kedua pastor tersebut. Apalagi dengan adanya
kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda untuk mempertahankan Bali agar bebas
dari pengaruh agama Kristen melalui Pasal 177
yang terkenal itu. Maka, makin sulit bagi agama Katolik masuk ke Pulau Bali.
Kemudian, atas permohonan Vilkaris Apostolik Betawi, Gubernur Jendral Hindia-Belanda memberi izin dalam tahun 1891 bagi dua misionaris masuk di Buleleng. Surat gubernur jenderal itu yang antara lain berbunyi:
Kemudian, atas permohonan Vilkaris Apostolik Betawi, Gubernur Jendral Hindia-Belanda memberi izin dalam tahun 1891 bagi dua misionaris masuk di Buleleng. Surat gubernur jenderal itu yang antara lain berbunyi:
“Dari pihak saya tidak ada keberatan
bila satu atau dua misionaris mulai menetap di Buleleng…… dengan maksud
mempelajari bahasa Bali, dan sesudah itu menetap di Buleleng untuk mulai karya
misi di antara penduduk setempat.''
Selanjutnya, pada 1912 Kepulauan Sunda
Kecil diserahkan oleh Yesuit ke tangan imam-imam Societas Verbi Divini (SVD).
Tahun 1913 wilayah Sunda kecil ditingkatkan statusnya menjadi Prefektur
Apostolik yang meliputi Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, dan Timor.
Pada bulan Desember 1914 Mgr. Noyen
yang menjabat Prefek Apostolik Sunda Kecil mengadakan kunjungan keagamaan ke
Bali, setelah dengan susah payah mendapat izin dari pemerintah Belanda. Di
samping izin untuk mengadakan kunjungan keagamaan, bahkan dalam tahun 1920
pemerintah mengabulkan permohonan Mgr. Noyen SVD untuk mendirikan sebuah
sekolah Katolik di Bali. Namun, sayang sekali, kesempatan emas ini tidak dapat
dimanfaatkan karena kekurangan tenaga.
Ternyata kesempatan tersebut tidak
mudah diperoleh lagi, walaupun pengganti Mgr. Noyen yang meninggal tahun 1922,
yakni Mgr. Verstralen, mengajukan permohonan untuk mendirikan HIS di Bali tidak
mendapatkan persetujuan dalam Volkstraad.
Harapan muali muncul kembali sewaktu Mgr. Leven menjabat Vikarius Apostolik mengantikan Mgr. Verstralen yang meninggal karena kecelakaan tahun 1932.
Dan harapan itu pun menjadi kenyataan dalam tahun 1935, ketika Pater Van Der Heijden menjadi pastor di Mataram, Lombok.
Harapan muali muncul kembali sewaktu Mgr. Leven menjabat Vikarius Apostolik mengantikan Mgr. Verstralen yang meninggal karena kecelakaan tahun 1932.
Dan harapan itu pun menjadi kenyataan dalam tahun 1935, ketika Pater Van Der Heijden menjadi pastor di Mataram, Lombok.
Pater Van Der Heijden mendapatkan pula
tugas khusus untuk mengadakan kunjungan rohani ke Bali dan Sumbawa. Dan sejak
itu mulailah titik awal masuknya Gereja Katolik ke Bali. Tanggal 14 Mei 1935
Van Der Heijden menetap di Mataram, dan 9 Juni 1935 Gereja Katolik pertama
didirikan dan diresmikan di kota Mataram. Tanggal ini dipandang sebagai hari
masuknya karya Gereja Katolik di Pulau Lombok.
Empat bulan kemudian, persisnya 11 September 1935, Pater Van Der Heijden mengantar Pater J. Kersten SVD ke Denpasar dan mulai menetap di Denpasar. Dan hari tersebut dipandang sebagai tonggak perkembangan agama Katolik di Bali.
Tempat yang menjadi ladang pertama adalah Banjar Tuka, Dalung. Pada November 1935, dua pemuda Bali dari Banjar Tuka, yakni I Made Bronong (Pan Regig) dan I Wayan Diblug (Pan Rosa), datang ke Denpasar dan bertemu Pater Kersten SVD.
Dan Roh Kudus mulai berkarya dalm diri kedua pemuda tersebut ketika keduanya dipermandikan secara Katolik pada Hari Pentakosta, 6 Juni 1936. Saat yang penting itu disusul pula dengan peetakan batu pertama Gereja Katolik Tuka, tepatnya pada 12 Juli 1936 oleh Pastor J. Kersten SVD.
Empat bulan kemudian, persisnya 11 September 1935, Pater Van Der Heijden mengantar Pater J. Kersten SVD ke Denpasar dan mulai menetap di Denpasar. Dan hari tersebut dipandang sebagai tonggak perkembangan agama Katolik di Bali.
Tempat yang menjadi ladang pertama adalah Banjar Tuka, Dalung. Pada November 1935, dua pemuda Bali dari Banjar Tuka, yakni I Made Bronong (Pan Regig) dan I Wayan Diblug (Pan Rosa), datang ke Denpasar dan bertemu Pater Kersten SVD.
Dan Roh Kudus mulai berkarya dalm diri kedua pemuda tersebut ketika keduanya dipermandikan secara Katolik pada Hari Pentakosta, 6 Juni 1936. Saat yang penting itu disusul pula dengan peetakan batu pertama Gereja Katolik Tuka, tepatnya pada 12 Juli 1936 oleh Pastor J. Kersten SVD.
Acara ini dihadiri oleh Pater Van Der
Heijden dan Pater Conrad SVD. Dan ternyata benih iman yang baru tumbuh ini
dengan cepat berkembang menyusul pula dua tokoh lain di samping I Made Bronong
dan I Wayan Diblug, yakni Pan Maria dan I Made Tangkeng (Pan Paulus).
Melalui semangat iman pertama ini, Roh
Kudus berkarya dengan hasil yang besar. Dengan datangnya seorang pastor
terkenal dalam tahun 1936, Pater Simon Buis SVD, Injil lebih disebarkan lagi,
khususnya di pedalaman Pulau Bali. Dengan semangat berkorban dan cinta kasih,
Pater Simon Buis mencari orang-orang Bali dan membawa mereka ke kandang Tuka.
Tahun 1938, sebanyak 128 orang
dipermandikan di Tuka, Padangtwang, dan Gumbrih. Bulan Februari 1938, Pastor
Ade Boer memperkuat barisan imam untuk
Melayani-umat-yang-semakin-banyak.
Pastor Simon Buis pada
tanggal 15 September 1940 berhasil mengadakan eksodus dari Tuka dan
sekitarnya ke ujung Barat pulau Bali dan membuka desa ditengah-tengah hutan
yang kini terkenal sebagai desa Palasari. Dalam eksodus tersebut pastor yang
keras kemauannya, dengan penuh semangat membawa 18 keluarga dari Tuka dan 6
keluarga dari Gumbrih untuk mulai tempat pemukiman yang baru itu.
Tantangan pertama mulai menghadang,
yakni terasa kurangnya gembala, lebih-lebih pada masa pendudukan Jepang. Para
misionaris Katolik ditahan oleh Jepang. Dalam masa yang sulit ini, para tokoh
telah membuktikan diri sebagai tenaga-tenaga katekis yang penuh semangat
memberikan kesaksian tentang kabar gembira yang telah meraka terima. Mereka
benar-benar menjadi tokoh yang tangguh dalam mengisi kekosongan tenaga iman
dalam masa pendudukan Jepang.
Di Tuka dan sekitarnya, tokoh awam yang dikenal adalah Pan Regig, Pan Rosa, Pan Paulus, Pan Maria, dan Anak Agung Nyoman Geledig dari Tangeb. Dan Palasari maju dengan pesat berkat bantuan seorang rasul awam wanita, Ibu Ayu, yang berkarya di bidang medis.
Di Tuka dan sekitarnya, tokoh awam yang dikenal adalah Pan Regig, Pan Rosa, Pan Paulus, Pan Maria, dan Anak Agung Nyoman Geledig dari Tangeb. Dan Palasari maju dengan pesat berkat bantuan seorang rasul awam wanita, Ibu Ayu, yang berkarya di bidang medis.
Kabar gembira yang dibawa oleh para
misionaris perintis dan misionaris sesudahnya diwujudkan melalui karya sosial
terhadap orang miskin, karya pengobatan terhadap orang sakit, karya pendidikan,
dan karya sosial lain seperti asrama dan panti asuhan baik untuk putra maupun
putri.
Melalui karya-karya tersebut, secara
nyata kabar gembira disampaikan kepada masyarakat Bali, khususnya yang hidup di
pedesaan. Maka, pada 1939 Gereja Gumbrih diresmikan, disusul Gereja
Padangtawang, September 1940. Kemudian Gereja Tangeb pada 8 Desember 1940, dan
Gereja Palasari pada 19 Juni 1941.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, misi Katolik di Bali yang kocar-kacir karena kehilangan gembalanya mulai dibenahi lagi. Puji Tuhan, perkembangan memperlihatkan garis yang menanjak. Tanggal 14 Juli 1950 daerah Bali dan Lombok dipisahkan dari Sunda Kecil, dan menjadi Prefektur Apostolik di bawah pimpinan Mgr. Hubertus Hermens SVD.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, misi Katolik di Bali yang kocar-kacir karena kehilangan gembalanya mulai dibenahi lagi. Puji Tuhan, perkembangan memperlihatkan garis yang menanjak. Tanggal 14 Juli 1950 daerah Bali dan Lombok dipisahkan dari Sunda Kecil, dan menjadi Prefektur Apostolik di bawah pimpinan Mgr. Hubertus Hermens SVD.
Dalam masa jabatan beliau, karya-karya
karikatif dan edukatif berkembang pesat. Hal ini membawa perkembangan baru
dalam penambahan lapangan kerja dan kebutuhan akan tenaga kerja yang banyak.
Babak baru bagi karya para suster pun
mulai, dan datanglah para Suster Fransiskanes dari Semarang tahun 1956 ke Desa
Palasari dan Suster-Suster Abdi Roh Kudus (SSpS) di Ampenan tahun 1952. Kelak
di kemudian hari disusul pula oleh suster-suster kongregasi lain seperti CB,
RVM, CIJ, dan ALMA.
Di balik itu semua, suatu hal yang
dapat dikatakan istimewa bagi gereja yang baru berkembang ini adalah
didirikannya sebuah SMP Seminari dalam tahun 1953 di Tangeb di bawah pimpinan
Pater Norbert Shadeg SVD. Atas dasar beberapa pertimbangan, Seminari Rendah ini
pada 1956 dipindahkan ke Tuka.
Melalui banyak perjuangan, seminari
ini tetap hidup dan berkembang dan ternyata membuahkan hasil mulai tahun 1969.
Tiga belas tahun kemudian, pastor asli Bali yang pertama berhasil ditahbiskan.
Yakni, Patrr Servatius Nyoman Subhaga SVD pada 9 Juli 1969 di Gereja Paroki Roh
Kudus Babakan.
Benih panggilan imam, suster, bruder,
ternyata tumbuh sangat subur di Pulau Bali. Dalam jangka waktu relatif singkat
sejak seminari didirikan, yakni selama 29 tahun, telah ditahbiskan 19 imam dari
pemuda asal Bali.
Kemudian, 65 gadis asli Pulau Dewata
ini menghayati hidup sebagai suster dan 13 pemuda sebagai bruder. Dibandingkan
dengan jumlah umat di Keuskupan Denpasar yang berjumlah sekitar 13.000 orang,
maka persentase panggilan imam, suster, dan bruder di Bali cukup tinggi.
Satu langkah
maju lagi dalam perkembangan Gereja Katolik Bali adalah dengan ditingkatkannya
Prefektur Apostolik Bali menjadi Keuskupan Denpasar tanggal 3 Januari 1961.
Bapa Uskup pertama Mgr. Dr. Paulus Sani Kleden SVD ditahbiskan menjadi uskup di
Gereja Palasari pada 3 Oktober 1961.
Pada masa ini karya Gereja Katolik
Bali sudah meliputi bidang pendidikan dari tingkat Taman Kanak-Kanak, Sekolah
Dasar, dan Sekolah menengah. Dalam bidang medis melaui Poliklinik, BKIA, dan
rumah sakit yang tersebar di Tuka, Tangeb, Gumbrih, Palasari, Denpasar, dan
Singaraja. Di Lombok terdapat Rumah Sakit Santo Antonius di Ampenan.
Asrama atau panti asuhan dan pemberian
bea siswa bagi anak-anak yang disekolahkan di luar Bali secara khusus
digalakkan oleh Mgr. Hubertus Hermens SVD. Ternyata, karya-karya kreatif ini
telah banyak membawa orang menjadi pengikut-Kristus.
Setelah masa-masa indah yang mengembirakan, masa panen yang banyak, maka datanglah saat-saat sulit bagi perkembangan Gereja Katolik di Bali. Masalah kuburan yang ada kaitannya dengan hukum adat di Bali ternyata sempat membuat terbendungnya perkembangan umat di beberapa pedesaan, khususnya di diaspora-diaspora pedesaan di mana iman baru mulai
Setelah masa-masa indah yang mengembirakan, masa panen yang banyak, maka datanglah saat-saat sulit bagi perkembangan Gereja Katolik di Bali. Masalah kuburan yang ada kaitannya dengan hukum adat di Bali ternyata sempat membuat terbendungnya perkembangan umat di beberapa pedesaan, khususnya di diaspora-diaspora pedesaan di mana iman baru mulai
ditaburkan.
Dengan adanya kenyataan bahwa kuburan adalah milik Pura Dalem serta banyak penyungsung (umat Hindu) yang berhak dikuburkan di kuburan umum tersebut, maka umat yang bukan Hindu tidak boleh dikuburkan di situ. Hal ini cukup membawa pengaruh negatif bagi umat Katolik di pedesaan dan membuat para katekumen (calon baptisan)dan banyak simpatisan Katolik mundur. Mereka takut tidak mendapat kuburan ketika meninggal dunia.
Dengan adanya kenyataan bahwa kuburan adalah milik Pura Dalem serta banyak penyungsung (umat Hindu) yang berhak dikuburkan di kuburan umum tersebut, maka umat yang bukan Hindu tidak boleh dikuburkan di situ. Hal ini cukup membawa pengaruh negatif bagi umat Katolik di pedesaan dan membuat para katekumen (calon baptisan)dan banyak simpatisan Katolik mundur. Mereka takut tidak mendapat kuburan ketika meninggal dunia.
Maklum, masalah kuburan bagi orang
Bali, merupakan hal ang luar biasa pentingnya. Karena itu, perkara tersebut
telah mempengaruhi, bahkan menghambat perkembangan umat Katolik, khususnya di
pedesaan di mana hukum adat sangat kuat. Jenazah orang Katolik akhirnya
dikuburkan di halaman rumah orang Katolik. Hal mana menurut pandangan umat
Hindu saat itu sebagai "najis".
Maka, akhirnya ditemukan jalan keluar berupa pemisahan kuburan bagi umat beragama Kristen.
Maka, akhirnya ditemukan jalan keluar berupa pemisahan kuburan bagi umat beragama Kristen.
Hal lain yang boleh dikata sebagai
mengurangi penganut Katolik di Pulau Bali adalah program transmigrasi
besar-besaran umat Katolik ke Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatra. Ini sejalan
dengan kebijakan rezim Orde Baru untuk mengurangi kepadatan penduduk dan pemerataan
penduduk di Indonesia.
Ternyata, banyak umat Katolik dan
Protestan di beberapa kawasan Bali berbondong-bondong bertransmigrasi ke luar
pulau. Diperkirakan, jumlah transmigran Katolik yang keluar Bali pada saat itu
5.000 jiwa. Mereka terpencar di daerah transmigran dan sangat memerlukan
perawatan rohani mengingat iman Katolik mereka belum mantap.
Akhirnya,
dikirimlah seorang pastor ke daerah transmigrasi tersebut dan secara khusus
memperhatikan kebutuhan rohani para transmigran Katolik di Sulawesi.
Namun, di tengah-tengah kesulitan dan rintangan, Gereja Katolik sampai sekarang tetap tegak di Pulau Bali. Kita percaya Roh Kudus secara nyata tetap berkarya sehingga stasi-stasi baru tetap dapat dirintis. Paroki juga semakin berkembang walaupun tidak lagi sepesat seperti masa kejayaan dulu.
Namun, di tengah-tengah kesulitan dan rintangan, Gereja Katolik sampai sekarang tetap tegak di Pulau Bali. Kita percaya Roh Kudus secara nyata tetap berkarya sehingga stasi-stasi baru tetap dapat dirintis. Paroki juga semakin berkembang walaupun tidak lagi sepesat seperti masa kejayaan dulu.
Keuskupan Denpasar punya 14 paroki induk
dan stasi yang tersebar di berbagai wilayah di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara
Barat (NTB):
1. Denpasar
2. Tuka
3. Gumbrih/Slabih
4. Tangeb, Abianbase, Cemagi dan Sading
5. Singaraja
6. Palasari dan (candikuning) Gilimanuk
7. Tabanan dan Piling
8. Babakan dan Kelibul
9. Negara
10. Tuban
11. Amlapura
12. Mataram
13. Ampenan
14. Gianyar
Perkembangan jumlah umat Katolik di Bali sejak 1836 sampai 1983:
1936 – 1937: 145 orang
1937 – 1938: 246 orang
1938 – 1939: 323 orang
1939 – 1940: 389 orang
1940 – 1941: 470 orang
1946 – 1947: 1.266 orang
1947 – 1948: 1.237 orang
1948 – 1949: 1.304 orang
1979 : 10.415 orang
1980 : 10.851 orang
1981 : 11.337 orang
1982 : 12.066 orang
1984 : 12.140 orang
1985 : 13.016 orang
1986 : 13.565 orang
BAHAN: dari berbagai sumber, terutama dikumpulkan oleh PATER SHADEG SVD.
1. Denpasar
2. Tuka
3. Gumbrih/Slabih
4. Tangeb, Abianbase, Cemagi dan Sading
5. Singaraja
6. Palasari dan (candikuning) Gilimanuk
7. Tabanan dan Piling
8. Babakan dan Kelibul
9. Negara
10. Tuban
11. Amlapura
12. Mataram
13. Ampenan
14. Gianyar
Perkembangan jumlah umat Katolik di Bali sejak 1836 sampai 1983:
1936 – 1937: 145 orang
1937 – 1938: 246 orang
1938 – 1939: 323 orang
1939 – 1940: 389 orang
1940 – 1941: 470 orang
1946 – 1947: 1.266 orang
1947 – 1948: 1.237 orang
1948 – 1949: 1.304 orang
1979 : 10.415 orang
1980 : 10.851 orang
1981 : 11.337 orang
1982 : 12.066 orang
1984 : 12.140 orang
1985 : 13.016 orang
1986 : 13.565 orang
BAHAN: dari berbagai sumber, terutama dikumpulkan oleh PATER SHADEG SVD.
Labels: gereja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.