Kekristenan di Bali
KONON di perpustakaan
Vatikan, Roma, tersimpan sepucuk surat dari Raja Klungkung, penguasa Bali pada awal abad ke-17. Surat yang
ditulis di daun lontar itu merupakan undangan dari Raja Klungkung kepada para
pastor Portugis di Pusat Katolik Malaka agar datang ke Bali. Saya senang sekali jika mulai sekarang kita
bersahabat .... Saya pun akan senang bila imam-imam (pastor) datang ke sini,
agar siapa saja yang menghendaki, boleh masuk Kristen, kata Raja
Klungkung. Surat itu persisnya bertahun 1635.
Undangan raja Bali itu sudah tentu mendapat sambutan baik dari pemuka-pemuka
agama Katolik di Malaka, yang ketika itu dikuasai Portugis. Buktinya, tak lama
setelah itu, persisnya 11 Maret 1635,
datanglah dua pastor dari Malaka. Mereka itu adalah Pastor Manuel Carualho S.J. dan Azeuado S.J. Inilah awal persentuhan masyarakat Bali dengan
misionaris Katolik. Setidaknya undangan Raja Klungkung itu merupakan peristiwa
pertama yang terekam oleh sejarah. Sayangnya, tidak ada catatan tentang hasil
kunjungan kedua misionaris Katolik itu selama berada di Bali. Atau, tentang
bisa diterima atau tidaknya agama Katolik oleh masyarakat Bali ketika itu.
Sejarah persentuhan antara
misionaris Katolik dan masyarakat Bali yang beragama Hindu itu terputus hingga
di sini. Tak ada penjelasan untuk itu, selain dugaan-dugaan. Misalnya,
terputusnya sejarah itu karena pemerintah Hindia Belanda pernah menjadikan
Pulau Bali tertutup bagi agama Kristen.
Itu berawal dari peristiwa terbunuhnya seorang pendeta Kristen (bukan Katolik)
pada tahun 1881 di Bali. Larangan
ini diulang pada tahun 1930-an.
Berapa lama larangan ini berlaku, memang tidak jelas. Pada tahun 1890, yakni sekitar sepuluh tahun sejak
larangan itu diberlakukan, sudah ada seorang pastor Katolik yang datang di
Bali. Siapa dan apa kegiatannya, tidak diketahui. Dengan kata lain, sejarah
perkembangan Katolik di Pulau Dewata Bali masih gelap sampai tahun 1890-an itu. Cerita mulai terang ketika
Gubernur Jenderal Hindia Belanda Pijnacher
Hordijk memberi izin pada umat Katolik untuk menempatkan dua imamnya di Buleleng. Ini terjadi pada tanggal 25 Mei 1891. Agaknya, sejak itu Bali
mulai terbuka bagi kedatangan pastor Katolik. Yang datang di antaranya Fr. Simon Buis, pengurus sekolah Sunda
Kecil di Ende, yang mendapat izin mendirikan sekolah di Bali pada tahun 1920.
Lalu, pada tahun 1932-1935, Pastor Yan van der Heyden S.V.D.,
berkunjung ke Bali. Tapi dua pastor itu belum tercatat, apakah mereka berhasil
mendapatkan umat atau tidak. Adalah Pastor
Yan Kersten S.V.D., seorang misionaris asal Belanda, yang dianggap pertama
kali berhasil menyebarkan agama Katolik di Bali. Pastor Kersten masuk Bali tahun 1935, dan dalam melakukan misinya ia berpegang pada nasihat Mgr. Petrus Noyen S.V.D., seorang
pastor di Timor yang pernah
berkunjung ke Bali pada 1915. Kata Petrus Noyen, Hanya imam yang sungguh- sungguh rendah hati, sabar, kudus, dan
terpelajar yang akan berhasil di tengah-tengah umat Bali. Benar atau
tidak nasihat itu dilaksanakan, yang pasti ada catatan bahwa pada tahun itu
juga, 1935, Kersten berhasil
membaptis dua orang Bali di Desa Tuka,
sekitar 30 kilometer dari Denpasar. Mereka itu adalah I Made Bronong Barnabas dan I
Wayan Diblug Timotius. Perpindahan agama itu, seperti diakui I Wayan Diblug, kini 90 tahun, karena agama Katolik
menawarkan kesimpelan, hingga
ia merasa tak terbebani. Tak
lama kemudian, langkah I Made dan I Wayan itu diikuti oleh 16 orang Bali lainnya. Tak jelas benar
keterangan I Wayan Diblug, yang nama
baptisnya Timotius itu, mengapa ia
masuk Katolik. Kata kesimpelan dan tak terbebani tak bisa ia terangkan
maksudnya. Sejauh yang bisa ditafsirkan, mungkin I Wayan Diblug -- ketika itu berusia sekitar 30 tahun -- bersahabat dengan Pastor
Kersten, dan karena persahabatan ini ia mau masuk Katolik, sebab ia menarik
kesimpulan antara Katolik dan bukan Katolik itu sama saja. Yang pasti, masuk
Katoliknya sejumlah orang Bali menarik perhatian raja Badung. Soalnya, kata Diblug, pembaptisan itu dianggap
sebagai pelanggaran besar. Itu sebabnya, ketika itu, muncul reaksi keras dari
masyarakat Hindu di Bali, yang menyebabkan raja Badung memanggil para pemeluk
baru Katolik itu. Tapi, apa tindakan raja terhadap mereka, tidak jelas. Dan
sebenarnya, masuknya orang Bali ke agama Katolik tidaklah se-simpel dugaan I Wayan Diblug. Pada tahun 1937,
pernah terjadi persengketaan soal kuburan.
Ketika itu, cerita Diblug, dua orang
umat Kristen meninggal. Umat Hindu keberatan jika Men Sampreg, salah seorang yang meninggal itu, dimakamkan di
kuburan milik umat Hindu. Untunglah ketika itu pemerintah kolonial Belanda
segera turun tangan, menguburkan dua Katolik dari Tuka itu di Denpasar.
Bagaimana Belanda bisa
menyuruh orang Bali menguburkan orang Katolik? Mudah saja, yang diperintahkan
melakukan penguburan itu orang-orang tahanan. Anehnya, meski ada hambatan
seperti itu, jumlah pengikut Pastor
Kersten terus bertambah. Bersamaan dengan peresmian gereja pertama di Bali,
di Desa Tuka, tahun 1937, Kersten mempermandikan 51
orang Bali. Gereja pertama itu diberi nama Satu Allah Tri Murti (kini
bernama Gereja Tri Tunggal Maha Kudus), dan segera menjadi titik sentral
penyebaran agama Katolik di Bali. Sejak gereja itu berdiri, jumlah umat Katolik
di Desa Tuka terus berkembang. Tercatat pada tahun 1938, umat Katolik di desa itu sudah lebih dari 250 orang. Sedangkan di desa Gumbrih, sekitar 60 kilometer dari Denpasar, 30
orang disebutkan sebagai katekumen, orang-orang yang dicalonkan akan dibaptis. Pastor Kersten tampaknya memang menghayati
hidup di Bali. Ia sempat menyusun kamus bahasa dan tata bahasa Bali. Tapi
mungkin misionaris satu ini belum siap benar-benar bersatu dengan Bali. Maka,
ketika ia mulai capek karena usia, ia mengajukan permohonan pulang ke Belanda.
Itu dikabulkan. Sebagai penggantinya ditunjuklah Pastor Simon Buis, juga seorang misionaris dari Belanda. Pastor Simon Buis inilah yang mengawali
memadukan budaya Bali dalam tata cara agama Katolik. Ini tercermin pada
keinginan Pastor Simon Buis untuk
membangun sebuah perkampungan yang bersuana tradisional Bali. Untuk itu, Pastor Simon Buis mengajukan permohonan
pada Residen Bali di Singaraja agar diberi tanah hutan di bagian barat Bali.
Permintaan itu tak dikabulkan, meskipun Pastor
Simon Buis telah berkali-kali mengajukannya. Bisa dimaklumi, sebab
mayoritas warga Belanda adalah pemeluk
Protestan.
Maka, tanah seluas sekitar 200
hektar itu akhirnya diberikan kepada umat
Protestan. Kawasan ini ini bernama Desa
Blimbingsari, yang mayoritas warganya memang Protestan. Tentu saja, tutur Romo
Shadeg, seorang pastor di Paroki Tuka, Pastor
Simon Buis kecewa. Tapi Pastor Simon
Buis tak putus asa, dengan nekat ia menghadap lagi ke dewan raja-raja Bali
meminta sebidang tanah. Akhirnya, permintaan Pastor Simon itu dikabulkan juga. Ia memperoleh tanah sekitar 200 hektar di kawasan hutan Pangkung Sente, yang disebut Desa Palasari Lama. Syahdan, suatu
hari, bulan September tahun 1940,
berangkatlah Pastor Simon Buis
bersama 18 kepala keluarga dari Dusun Tuka dan enam kepala keluarga
dari Dusun Gumbrih menuju hutan Pangkung Sente. Menurut I Wayan Diblug, orang Bali dari Tuka
yang pertama dibaptis, di antara 18
kepala keluarga itu delapan kepala keluarga orang Katolik dan 10 kepala keluarga orang Hindu. Dua
bulan kemudian, tepat pada ulang tahun ke-48
Pastor Simon Buis, berangkat pula 22
kepala keluarga ke Palasari.
Mereka dari Desa Tuka, Desa Beringkit,
dan Desa Gumbrih. Maka, mulailah
mereka bersama-sama merambah hutan. Pastor
Simon sempat jatuh sakit, tapi ia tetap memimpin umat merambah hutan,
mengajar bercocok tanam, dan memberi bimbingan agama. Untuk menghindari
serangan binatang buas yang masih banyak berkeliaran di hutan Pangkung Sente
itu, mereka membangun pondok kecil di pohon besar. Itu berjalan kurang lebih
selama satu tahun, yakni setelah perambahan hutan selesai.
Namun, setelah didiami
beberapa tahun, terasalah bahwa daerah seluas 200 hektar itu tidak cocok untuk tempat tinggal. Daerahnya
bergunung-gunung dan tidak begitu subur. Pastor
Simon Buis lalu mengajukan permintaan lagi ke dewan raja-raja. Permintaan
itu dikabulkan. Dewan raja-raja memberikan tanah untuk warga Palasari Lama sebuah lokasi seluas 200 ha juga, yang tak jauh dari hutan
Pangkung Sente. Lokasi baru inilah yang sampai sekarang disebut Desa Palasari. Kebetulan, Palasari
(baru) subur. Ini menarik orang pindah ke tanah baru ini. Maka, cita-cita Pastor Simon Buis membangun sebuah
perkampungan umat Katolik yang bersuasana tradisional Bali pun mendapatkan
jalan. Di desa ini, meskipun mereka beragama Katolik Roma, orang-orang Bali itu
tetap memakai adat dan tradisi Bali, baik dalam berpakaian, berbahasa, maupun
dalam mendirikan bangunan. Satu hal saja yang sulit di-Bali-kan. Yakni pakaian
imam yang mempimpin liturgi (ibadah). Menurut Paskalis Edwin, pastor dari paroki Palasari, pernah ada percobaan, imam pemimpin liturgi memakai pakaian Bali. Tapi rupanya
jemaat, juga imamnya sendiri, merasa tidak srek. Maka, kembalilah digunakan
jubah seperti imam Katolik di Eropa. Pun, konon, Vatikan pernah menegur soal
adat Bali di kalangan umat Katolik Bali itu. Tapi pertanggungjawaban para
pastor di Bali bisa diterima, hingga gagasan Pastor Simon Buis itu malah didukung oleh Vatikan.
Orang Bali mungkin memang
sangat khas. Menurut Profesor Doktor I
Gusti Ngurah Bagus, seorang antropolog, orang Bali punya daya tahan
terhadap gempuran berbagai macam budaya dan agama untuk tak kehilangan
kebaliannya. Soalnya, keterikatan mereka terhadap adat-istiadat Bali sangat membumi. Mereka merasa aman dan nyaman hidup dalam
adat Bali, dalam keluarga Bali, dalam kampung Bali, dalam kesenian Bali. Jika
soal-soal ini tak diusik, apakah mereka diminta masuk Hindu atau Islam atau
Kristen, itu, meminjam kata-kata I Wayan
Diblug, warga Tuka yang pertama kali masuk Katolik, itu simpel saja. Julizar Kasiri (Jakarta), Putu
Fajar dan Putu Wirata (Denpasar)
- Sumber:
Majalah Tempo 22 Mei 1993
- Judul
asli: Menjadi katolik itu simpel saja
- Situs:
Majalah
Tempo Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.