SEJARAH PERHUBUNGAN UTUSAN
INJIL NEDERLAND
MULAI DI ROTTERDAM
19 DESEMBER l797
Oleh :Drs.Simon Arnold Julian Jacob
A.
Pendahuluan
Sumber
tulisan ini diambil dari sebuah surat
kabar kuno yang hampir tidak terbaca lagi karena lembaran kertasnya
sudah lapuk dan mudah sobek jika tidak hati-hati membukanya, dan termasuk Surat Kabar tertua di Indonesia, yaitu :
“Tjahaja Sijang, Kertas Chabar Minahasa”, edisi l8
September l870”, terbitan
Menado, Sulawesi Utara, koleksi orang tua saya Pendeta Bernabas Jermias Jacob, asal dari Kerajaan Ringgou, Rote Timur, Pulau Rote (Roti) NTT.
Sejarah perkembangan penyebaran Injil di Indonesia tidak dapat
dilepaskan dengan sejarah terbentuknya “Perhubungan
Utusan Injil di Nederland” yang
mengutus para utusannya ke berbagai wilayah ke Hindia Belanda dulu, baik
sebagai pendeta tetap disuatu tempat,
tetapi juga sebagai utusan keliling bertugas dari satu tempat ke tempat
yang lain seperti diceriterakan berikut
ini.
Data yang kami muat disini terbatas pada apa yang terbaca dalam
surat kabar tersebut dengan memakai ejaan
bahasa Melayu kuno yang
terkadang sukar diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia sekarang, guna melengkapi sumber data yang telah ada.
Isi lain dari Koran kuno ini antara lain tentang sejarah Nabi Muhamad, dan para pengikutnya, Perang Salib, sejarah
perkembangan Agama Islam, Katolik
dan Protestan pada abad pertengahan
dalam ejaan bahasa Melayu lama.
Surat kabar kuno ini pernah diberitakan berdasarkan hasil
wawancara penulis dengan wartawan Harian “Suara Karya” Jakarta,
tertanggal 9 Pebruari l994, dengan
judul “ Koran Tua Dijual Rp.100 Juta,
Siapa Berminat”.
Wawancara dimaksud dilakukan sewaktu kami
bertugas sebagai Karyawan Kantor
Pelayanan Pajak di Jogjakarta l990, (Kepala Seksi Data dan Informasi). Demi
memelihara keutuhan isinya mengingat mudah sobek, maka isi Koran kuno ini telah kami ketik kembali
pada Komputer sesuai aslinya.
Judul Bukunya setelah disalin kembali diberi nama :
B. Tentang Sejarah Perhubungan
Utusan Injil di Nenerland, dan di Indonesia, Menurut Sumber “Koran Tjahaja Sijang, Kertas Chabar
Minahasa”, Berbahasa Melayu Kuno, 18 September
1870 dikutib sbb :
Perhubungan Utusan Injil di
London telah berdiri pada tahun l794.
Untuk membentuk Perhubungan Utusan Injil di Nederland, maka dikirimlah Johannes Theodorus Van Der Kamp ke Rotterdam. Disana
ia diterima dirumahnya Pendeta L.J.Verster
yaitu pada tanggal l9 Desember l797.
Hasil dari pertemuan itu
terbentuklah, “Perhubungan Utusan Injil
Nederland” dan dimulai dari Rotterdam,
pada tanggal l9 Desember l797 itu,
dinyatakan sebagai tanggal “Lahirnya
Perhubungan Utusan Injil Nederland”.
Dengan terbentuknya Perhubungan
Utusan Injil Nederland, maka usaha pekabaran Injil dilakukan hampir
keseluruh dunia.
Para
Pendeta dikirim kemana-mana termasuk ke wilayah jajahan Hindia Belanda (Indonesia). Pekabaran Injil di Indonesia dilakukan
oleh Pendeta-pendeta dari Nenerland-
Belanda yang selalu berpindah-pindah dari tempat yang satu ketempat lainnya
yang akan disebut satu-persatu dibawah ini.
Sejarah Masuknya
Agam Kristen ke Ambon-Maluku
Dari
Surat Kabar Kuno namanya : “TJAHAJA SIJANG KERTAS CHABAR MINAHASA” dalam Ejaan
Bahasa Melayu Kuno, Edisi 18 September1870 Koleksi Penulis dikutip
sbb :
Pada awal
pekabaran Injil tidak begitu berkembang.
Hal ini disebabkan oleh karena, para pendeta yang datang kesana, masa tugasnya
pendek sekali hanya dalam beberapa bulan saja, dan terkadang sifatnya sebagai
pendeta keliling. Ada juga pendeta
menetap tetapi karena sering sakit-sakitan harus kembali ke Negeri Belanda atau meninggal dunia, atau
dipindahkan ketempat lain karena jumlah Utusan Injil tidak sebanding dengan
luas wilayah pelayanan gereja yang
hendak dikembangkan di Hindia Belanda
(Indonesia).
1.
Diceritakan
dalam Koran Kuno tahun 1870
(Koleksi Penulis) tersebut, bahwa terdapat seorang pendeta orang Ambon, tidak diketahui namanya telah meninggal pada
tahun l794.
2.
Setelah tujuh tahun kemudian yaitu
tahun l801 baru ada
penggantinya yaitu Pendeta Van Helpen,
tetapi hanya tinggal beberapa bulan saja.
3.
Baru pada tahun l808 datang
Pendeta Van Den Broek, tetapi baru
kerja dua bulan ia meninggal.
4.
Pada tahun l8l6 datang
Pendeta Jozef Kam.
5.
Kemudian datang Pendeta Van
Der Dussen, juga hanya empat bulan saja.
6.
Bermula Jozef Kam ini
diutus oleh Perhubungan Utusan Injil di
Nenerland bersama, Pendeta Bruckner
dan Super untuk mengabarkan Injil di
tanah Jawa yaitu pada tahun l8l2, tetapi karena di Maluku tidak ada penghentarnya maka ia
di utus kesana. Setelah ia bekerja selama l8
tahun ia meninggal tahun l833 ketika
itu 63 tahun umurnya.
7.
Antara tahun l8l6 dan l836 Utusan di Rotterdam mengutus 20
pendeta kesana.
8.
Diantara mereka adalah pendeta Luijke berangkat dari Nederland
pada tahun l826 dan bekerja di Ambon
selama 58 tahun dan tidak pernah
pulang ke Nenerland walaupun sekali.
9.
Juga pendeta Bar yang
pada tahun l825 datang kepulau Kiser dan ia tinggal disitu sampai
tahun l841. Setelah itu ia pindah ke
Wai,
l0 tahun disana dan meninggal pada tahun l851.
10.
Empat tahun kemudian yaitu tahun l855 anak laki-lakinya yang dikenal sebagai Bar Junior, menggantikannya dan setelah beberapa tahun bertugas
disitu meninggal pula di Wai.
11.
Yang lainnya adalah pendeta Gerieke
yang menggantikan Jozep Kam pada
tahun l833 dan hanya bekerja satu
tahun saja ia meninggal tahun l834. Ia juga yang mengingatkan Perhubungan di Nenerland untuk membuka sekolah guru, maupun sekolah
pendeta di Ambon.
12.
Tahun l836 pendeta Roskott membuka sekolah di Ambon selain
itu juga, dibuka oleh Goubernemen
sehingga disana terdapat banyak sekolah.
Seperti sekolah-sekolah yang didirikan di Ambon, juga didirikan di Tondano, Minahasa. Saat itu karena kekurangan pendeta, maka guru-guru
sekolah diperkenankan juga mengajarkan agama pada hari-hari minggu di
gereja-gereja. Maka pada tahun l850
ada beberapa jemaat yang dari tahun l836,
atau selama l4 tahun baru dikunjungi
dua kali oleh pendeta Belanda.
13.
Pada tahun l854 Goubernemen menentukan lain yaitu
biasanya empat pendeta yang biasanya melayani jemaat kota, sejak l842 kini hanya boleh dua pendeta saja.
Kemudian Perhubungan Utusan Injil Nederland
mengutus 6 utusan ke Ambon. Mulai saat itu para pendeta
dibayar gajinya oleh Goubernemen.
14.
Pada tahun l854 Bossert
dan Tawangko dipindahkan ke Saparua dimana di sana terdapat l3 jemaat. Mereka bekerja di sana
selama 20 tahun yaitu sampai tahun l874. Kemudian pindah lagi ke Haruku
sampai tahun l881 dan kembali ke Nederland karena sakit dan tua.
15.
Pada tahun l855, yaitu
satu tahun kemudian dari kedatangan Bossert, maka pendeta Bar
muda/Junior dan pendeta Teffer yang
bekerja di Allang, Ambon, harus pindah
ke pulau Buru, Manipa dan Boano pada
tahun l863. Pendeta Bar tua, telah meninggal pada tahun l854.
16.
Pendeta Teffer kemudian
pindah ke pulau Sawu di
Residentie Timor.
17.
Satu tahun kemudian datang pendeta Van Ekris yang bekerja di Kamarian
pulau Seram.
18.
Pendeta Verhoeff yang
tinggal di dulu di Haruku, kemudian
di Nusalaut dan pendeta Schot tinggal di Hutumuri dan pindah pada
tahun l861 ke Amaheij Ceram.
19.
Karena wilayah Teffer terlalu
luas, maka pendeta Tobi dipindahkan ke-Buru.
20.
Akhir tahun l863 pendeta
Vries mengganti pendeta Schot yang minta berhenti. Van Ekris meninggal pada tahun l868 dan Verhoeff pada tahun l873.
21.
Ketika l874 Bossert ke Saparua, maka de Vries menggantikannya. Setelah bekerja di Ambon beberapa tahun kemudian, ia menjadi Hulpprediker, dan digaji oleh pemerintah.
22.
Kemudian datang lagi Hulpprediker
lainnya di pulau-pulau Ambon tetapi ia bukan dari Perhubungan Utusan Injil
Nederland maka tidak disebutkan namanya.
23.
Mengenai pendeta Jelle
Eltjes Jellesma di Ceram. Ia
dilahirkan di negeri Hitsum distrik
Friesland Nederland. Setelah menamatkan pendidikan di Rotterdam.
24.
Maka ia diutus pada tahun l843
ke Ambon untuk membantu Roskott dan tahun l847 pindah ke Ceram dan
tinggal di Damei bersama l40 orang Alifuru yang mengasihinya.
25. Kemudian
datang dari Nederland pendeta Van Rijn guna menginspeksi segala
pekerjaan Perhubungan Utusan Injil Nederland di Hindia (Indonesia). Sebab ia
tidak biasa dan juga tidak bisa berbahasa Melayu, maka ia meminta, Jellesma mendampinginya sampai di tanah
Jawa. Akhirnya J.FJellesma bekerja di Jawa. Inilah sedikit data tentang
pekabaran Injil di Maluku. (Sumber
: “Tjahaya Sijang, Kertas Chabar Minahasa, l8
September l870, Koleksi Penulis- sudah ditik ulang dengan komputer dan
mencari sponsor untuk mencetak).
Penulis :Drs,Simon Arnold JulianJacob
|
Gereja di Maluku
pada Zaman VOC (1605 - ±1800)
VOC memulihkan perdamaian di Ambon
Pada tahun 1605, angkatan laut VOC
merebut benteng-benteng Portugis
di Banda dan di Ambon. Orang-orang Kristen di Ambon
dan Lease, yang telah merupakan sekutu orang-orang Portugis, menjadi rakyat Kompeni. Sebaliknya orang-orang Islam di Hitu, musuh kawakan
orang-orang Portugis tadi, menjadi
sekutu VOC. Namun demikian,
kedatangan orang-orang Belanda membawa satu hadiah besar bagi kampung-kampung
Kristen, malahan bagi seluruh Ambon dan
Lease. Sebab mereka itu berhasil
mengikat perjanjian perdamaian antara semua kampung di pulau-pulau itu. Berhentilah peperangan antar-kampung, yang selama masa Portugis menjadi
salah satu halangan besar bagi perkembangan agama Kristen.
Kebijaksanaan ekonomi-politis VOC
VOC adalah badan perdagangan. Tujuannya sama
dengan tujuan orang-orang Portugis
sebelumnya, yaitu memperoleh monopoli, hak tunggal untuk jual-beli
rempah-rempah. Untuk itu, VOC
tidak perlu menjajah seluruh Maluku; cukuplah menguasai daerah itu sehingga
penguasa-penguasa serta penduduk dapat dipaksa mengakui monopoli tersebut.
Orang-orang Portugis telah gagal dalam usaha ini, tetapi VOC jauh lebih kuat
daripada mereka. Dalam serentetan perang, daerah-daerah yang tidak bersedia
mentaati perintah-perintah VOC dibuat tak berdaya (Banda 1621, Hitu 1645, Seram Barat 1655). Orang-orang Kristen di Ambon-Lease memberontak juga, tetapi
mereka pun terpaksa takluk. Produksi rempah-rempah dipusatkan di pulau-pulau
tertentu, yang dijadikan jajahan Belanda: Ambon-Lease dan kepulauan Banda.
Daerah-daerah lain tidak dijajah, tetapi pohon-pohon cengkeh dan pala di situ
dirusakkan (hongi).
Akibatnya bagi perluasan agama Kristen
Kebijaksanaan VOC itu membawa akibat bagi
penyiaran agama Kristen. Bagi VOC, sama seperti bagi negara Portugis, kepentingan agama dan
kepentingan negara bertindih tepat. Berarti, VOC dengan segala tenaga mendukung pemeliharaan orang-orang
Kristen dan pekabaran Injil di daerah-daerah yang secara langsung
dikuasainya, yaitu Ambon-Lease dan Banda. Daerah-daerah ini menjadi
daerah-pusat agama Kristen di Maluku. Kalau pulau-pulau yang terletak di
sekitar pusat itu, seperti Seram Selatan, Kei, Aru, pulau-pulau Barat-daya,
maka ada perhatian juga, tetapi sudah kurang. Daerah-daerah ini menjadi daerah-pinggir
dalam riwayat kekristenan Maluku pada zaman VOC. Akhirnya daerah-daerah yang
jauh atau yang sama sekali tidak mempunyai arti bagi VOC dibiarkan saja,
walaupun dalam beberapa hal Injil sudah dikabarkan di sana sebelumnya oleh
Misi Katolik-Roma. Begitu misalnya Halmahera, juga Irian. Dibandingkan dengan
zaman Portugis, agama Kristen pada zaman VOC berkurang di Maluku Utara,
tetapi memperoleh wilayah yang lebih luas di Maluku Selatan.
Orang-orang Kristen Ambon dijadikan
Protestan
Orang-orang Kristen di Ambon dan Lease
mempunyai agama yang sama seperti orang-orang Portugis, musuh VOC. Hal itu
tak dapat diterima oleh penguasa-penguasa yang baru, "Yang empunya
negara, menentukan agama", jadi orang-orang Kristen yang baru
ditaklukkan itu harus menjadi Protestan. Imam-imam Katolik diusir. Tetapi
untuk sementara waktu mereka tidak diganti. Tidak ada lagi ibadah, sekolah
dihentikan. Sebab VOC belum mempunyai tenaga untuk memelihara orang-orang
Kristen yang sudah ada ataupun mengabarkan Injil kepada orang-orang bukan-Kristen.
Di benteng hanya ada seorang "penghibur orang-orang sakit", yang
bertugas juga mengucapkan doa pagi dan doa malam, dan yang pada hari Minggu
membacakan khotbah yang ditulis oleh seorang pendeta di Belanda. Orang yang
demikian ditempatkan di setiap kapal dan setiap benteng VOC. Mereka tidak
diberi pendidikan khusus, dan mereka belum ditugaskan untuk memperhatikan
orang-orang Indonesia.
Mereka menghendaki Baptisan (1605)
Patut diperhatikan bahwa dalam kekosongan
ini orang-orang Ambon tetap mau menjadi Kristen. Mereka mendatangi
"penghibur orang-orang sakit" yang ditempatkan di benteng itu dan
meminta agar ia membaptis anak-anak mereka. Kebetulan orang itu telah
mendapat izin untuk melayankan sakramen Baptisan, sehingga ia dapat memenuhi
permintaan mereka. Kita boleh menduga bahwa hal ini hanya menyangkut
orang-orang Kristen yang tinggal di kampung-kampung sekitar benteng (§ 9).
Negeri-negeri di pegunungan dan di pulau-pulau lain untuk sementara waktu
masih terlantar sama sekali.
Sekolah dibuka kembali (1607)
Setelah dua tahun, ketika Ambon dikunjungi
lagi oleh suatu armada VOC, orang-orang Kristen Ambon meminta juga agar
sekolah dibuka kembali, dan permintaan itupun dikabulkan. Mantri kesehatan
dari kapal-kapal Belanda turun ke darat dan menjadi guru sekolah di Ambon. Di
sekolah itu anak-anak belajar membaca, menulis dan menghitung -- semuanya
dalam bahasa Belanda -- dan mereka menghafal Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman
Rasuli dan Dasatitah dalam bahasa Belanda maupun Melayu. Orang-orang Ambon, atas
kehendak mereka sendiri, tetap berada dalam lingkungan agama Kristen dan
kebudayaan Kristen, dalam "Corpus
Christianum", yaitu dalam "Corpus
Christianum Belanda" ganti yang Portugis.
Pendeta-pendeta (mulai 1612)
Masa peralihan masih berlangsung selama beberapa
tahun lagi. Selama itu VOC sibuk mencari tenaga pendeta di tanah air; yang
pertama datang ke Ambon pada tahun 1612.
Sejak itu terus-menerus ada pendeta Belanda di sana; mula-mula satu, kemudian
lebih banyak, sampai enam orang. Pernah juga ada usaha mendidik
pendeta-pendeta Ambon, tetapi pendeta Belanda yang memprakarsai pendidikan
itu tiba-tiba dipanggil ke Batavia (Jakarta) dan rencana itu putus, walaupun
sudah ada sepuluh orang murid (th. 1636).
Pendeta-pendeta Belanda tersebut tinggal di pusat (di kota Ambon), tetapi
ketika jumlah tenaga di sana sudah mencukupi maka ditempatkan juga satu orang
di Saparua (mulai tahun 1633) dan satu di Haruku (sejak 1641). Jemaat-jemaat yang tidak di layani secara tetap oleh
seorang pendeta, mendapat kunjungan dari pusat, seharusnya dua atau tiga kali
per tahun.
Guru-guru sekolah/jemaat
Akan tetapi orang-orang Kristen di luar
pusat itu tidak hanya mendapat pemeliharaan rohani pada saat-saat mereka
dikunjungi oleh seorang pendeta. Kehidupan gerejani di jemaat-jemaat itu
dijalankan oleh guru-guru sekolah. Orang-orang Ambon tidak puas dengan
sekolah yang satu yang telah didirikan di pusat itu. Penduduk negeri-negeri
lainnya meminta supaya diberi sekolah juga. Berkat keadaan damai, jumlahnya
dapat bertambah dengan cepat, sampai setiap negeri mempunyai sekolahnya
sendiri. Gurunya merangkap sebagai guru jemaat. Pada hari Minggu mereka
memimpin ibadah. Mereka tidak boleh berkhotbah sendiri, tetapi sama seperti
penghibur-penghibur orang-orang sakit berkebangsaan Belanda mereka membacakan
khotbah yang telah disusun oleh seorang pendeta (dalam bahasa Melayu). Selain
daripada itu, tiga kali seminggu mereka mengucapkan doa malam.
Majelis Gereja (1625)
Setelah keadaan menjadi tertib, dibentuklah
suatu majelis gereja di Ambon (1625).
Majelis ini menyelenggarakan pemeliharaan rohani di kota Ambon maupun di
jemaat-jemaat di luarnya. Di kemudian hari, terdapat juga majelis di Haruku
dan Saparua. Di dalamnya duduk orang-orang Belanda, pegawai-pegawai Kompeni
atau lain-lain, tetapi juga orang-orang Ambon. Pada tahun 1636, misalnya, dua orang Ambon
dipilih menjadi penatua dan dua yang menjadi diaken. Biasanya anggota-anggota
di Ambon ini mempunyai kedudukan sebagai kepala negeri.
Jumlah orang-orang Kristen (± 1700),
gedung-gedung gereja
Dengan adanya pemeliharaan rohani yang
teratur, kekristenan Ambon-Lease berkembang dengan baik. Jumlahnya bertambah
besar. Hal ini hanya untuk sebagian kecil merupakan hasil kegiatan pekabaran
Injil. Orang-orang yang secara resmi masih menganut agama nenek-moyang sudah
tidak banyak lagi ketika orang-orang Belanda datang. Dan
hanya satu-dua kali sejumlah orang-orang Islam masuk Kristen. Tetapi dengan
adanya keadaan damai, penduduk pulau-pulau itu bisa bertambah banyak, dan
dengan demikian jumlah orang-orang Kristen naik dari 16.000 pada akhir masa Portugis menjadi 33.000 satu abad kemudian. Di antara mereka ada 1.600 orang yang telah melakukan sidi
dan yang dengan demikian berhak ikut-serta dalam Perjamuan Kudus. Dari
anak-anak, lebih dari separuh mengunjungi sekolah-sekolah. Setiap negeri
mempunyai gedung gereja sendiri; lama-lama di banyak tempat didirikan
gereja-gereja yang indah dengan tembok batu dan dengan perabot-perabot yang
bagus. Tentu saja jemaat kota Ambon mendapat gereja-gereja yang paling besar.
Kita mendengar bahwa khotbah-khotbah bahasa Melayu yang diadakan oleh salah
seorang pendeta pertama, yakni Danckaerts,
begitu disukai orang sehingga gereja lama warisan Misi menjadi terlalu
kecil/sempit. Di kemudian hari, kota Ambon mempunyai tiga gedung gereja yang
besar dan Indah.
Ibadah (bnd. §15), kunjungan ke rumah
Dengan cara bagaimana orang-orang Kristen
ini digembalakan? Pertama-tama ada ibadah pada hari Minggu. Biasanya ibadah
ini diadakan dalam bahasa Melayu; hanya di kota Ambon ada juga jemaat Belanda
yang mempunyai ibadah tersendiri. Tata-ibadah mengikuti kebiasaan
gereja-gereja di Belanda. Jemaat mulai dengan bernyanyi, kemudian ada doa,
khotbah, doa dan bernyanyi lagi. Hanya apabila kebaktian dipimpin seorang
pendeta, tata-ibadah bisa lebih luas. Sakramen Perjamuan Kudus dilayankan
beberapa kali pertahun; di luar pusat hal itu dilakukan setiap kali ada
seorang pendeta berkunjung ke sana. Sebelumnya, setiap anggota sidi mendapat
kunjungan pendeta dan majelis di rumahnya (di pusat) atau diadakan rapat
jemaat (di jemaat-jemaat lain). Pada kesempatan itu para pendeta berusaha
mendamaikan orang-orang yang ada pertikaian, mereka menegor orang-orang
berdosa dan dengan demikian menjaga supaya Perjamuan tidak dinajiskan. Bukan
hanya doa-doa, tetapi juga nyanyian-nyanyian, formulir dan lain-lain
merupakan terjemahan dari bahasa Belanda.
Khotbah, nyanyian
Sejak permulaan, pendeta-pendeta Belanda
berkhotbah juga dalam bahasa Melayu; bahkan ada yang begitu mahir dalam
bahasa itu sehingga mereka dapat berbicara tanpa memakai naskah yang
tertulis. Khotbah beberapa orang pendeta disalin dan diberikan kepada
guru-guru jemaat di kampung-kampung agar mereka bacakan dalam kebaktian di
situ. Sebab guru-guru itu tidak diperkenankan mengucapkan khotbah yang
disusun sendiri: orang takut bahwa mereka akan membawa ajaran yang tidak
murni, berarti yang tidak sesuai dengan ajaran gereja di Belanda. Yang sangat
laku ialah khotbah-khotbah pendeta Wiltens,
salah seorang pendeta pertama di Ambon. Pada khotbah-khotbah tersebut dilampirkan
sejumlah mazmur untuk dinyanyikan. Baru di kemudian hari khotbah-khotbah ini
dicetak. Tetapi jumlahnya belum besar, hanya sepuluh-duapuluh saja. Itu
berarti bahwa mula-mula guru-guru jemaat terpaksa menggunakan terus
khotbah-khotbah yang sama dan jemaat setiap minggu mengangkat
nyanyian-nyanyian yang sama! Tetapi lama-lama jumlah khotbah dan nyanyian
gerejani yang tersedia bertambah besar (§ 15).
Doa malam katekisasi
Selain daripada ibadah pada hari Minggu,
ada juga doa malam yang diadakan tiga kali per minggu yang diadakan tiga kali
per minggu di setiap jemaat. Di sini hadir anak-anak sekolah serta sebagian
orang-orang dewasa (tetapi tidak selalu orang mau datang). Guru jemaat
membacakan doa yang tetap, dan bersama anak-anak sekolah menghafalkan pokok-pokok
iman Kristen. Dengan demikian, doa malam ini merangkap sebagai semacam
katekisasi bagi orang-orang dewasa.
Kunjungan pendeta
Beberapa kali setahun negeri-negeri di
pegunungan Ambon dan pulau-pulau lain, yang jumlahnya 50 lebih, dikunjungi
oleh pendeta dari pusat. Kunjungan semacam ini berlangsung sebagai berikut.
Sang pendeta tiba sekitar jam 7 atau
8 pagi, setelah berangkat
pagi-pagi dari negeri yang lain. Pertama-tama, anak-anak sekolah dikumpulkan,
dan diuji pengetahuannya tentang Katekismus, Dasatitah, doa-doa serta Pengakuan Iman Rasuli. Ada juga yang
disuruh membacakan ayat-ayat dari Alkitab atau menyanyi. Kecakapan mereka
dalam menulis diperiksa pula. Yang sudah mahir dinyatakan tammat sekolah.
Sekitar jam 11, diperiksa
anggota-anggota sidi yang baru lalu di suruh jemaat berkumpul dan hasil
ujian-ujian diberitahukan. Lalu pendeta mendengarkan pihak-pihak yang
mempunyai pertikaian; perkara-perkara besar dibawa ke hadapan majelis gereja
di Ambon. Setelah pertikaian didamaikan, maka ia melayankan Perjamuan Kudus;
ia membaptis anak-anak yang lahir sejak kunjungan yang terakhir, lalu
berkhotbah. Akhirnya nikah diikat dan diberkati seperlunya. Esoknya,
pagi-pagi buta, perjalanan diteruskan. Sungguh-sungguh suatu pekerjaan berat,
selama empat minggu terus-menerus, dan perjalanan itu berlangsung dua-tiga
kali pertahun!
Terjemahan Alkitab dan karangan-karangan
lain
Bahan-bahan apa yang tersedia untuk membina
anggota-anggota jemaat dan untuk dibaca oleh mereka? Sebagai orang-orang
Protestan, orang-orang Belanda berpendapat bahwa Alkitab harus disediakan
dalam bahasa setempat. Pada masa permulaan VOC, sudah ada pendeta-pendeta
maupun pegawai-pegawai Kompeni yang sibuk menterjemahkan bagian-bagian
Alkitab ke dalam bahasa Melayu (bnd § 15). Yang pertama dicetak ialah Injil
Matius (1629), kemudian menyusul
beberapa kitab lain. PB lengkap diterbitkan pada tahun 1668, Alkitab seluruhnya (dalam terjemahan Leydecker) pada tahun 1731-1733. Di samping Alkitab, ada
juga buku-buku katekisasi atau buku-buku pembinaan jemaat lainnya. Yang
banyak dipakai di Ambon ialah Katekismus Heidelberg ("Pengajaran Iman
Kristen"), terjemahan pendeta Danckaerts.
Ada pula suatu Ikhtisar yang lebih singkat, juga terjemahan dari bahasa
Belanda. Terjemahan doa-doa, formulir-formulir dan khotbah-khotbah sudah
disebut di atas.
Soal bahasa
Bahasa yang dipakai dalam semua tulisan itu
ialah bahasa Melayu (di
daerah-daerah jajahan VOC lainnya dipakai juga bahasa Portugis, bahasa Tamil
dan Singhala, dan beberapa
bahasa-suku di Taiwan). Tetapi
khususnya di Ambon tidak segera tercapai kepastian tentang bahasa yang akan
dipilih menjadi bahasa-pengantar di gereja dan di sekolah. Mula-mula
orang-orang Belanda ingin memasukkan bahasa Belanda. Mereka mengharap supaya
dengan cara itu ikatan antara orang-orang Indonesia dengan VOC bisa
diperkuat. Ada juga alasan agamani: bahasa Melayu oleh sementara orang
dianggap terlalu miskin sehingga tidak cocok untuk dipakai sebagai
bahasa-pengantar bagi kebenaran ilahi (bnd § 27). Selama sepuluh tahun
pertama, pengajaran di sekolah diberikan dalam bahasa Belanda. Sejumlah anak
Ambon dikirim ke Nederland untuk
dididik menjadi pendeta berbahasa Belanda. Tetapi usaha-usaha ini ternyata
gagal. Lalu tinggal pilihan antara bahasa Melayu dan bahasa Ambon-asli. Pada
zaman itu, hanya sedikit orang-orang Ambon yang mengerti bahasa Melayu,
apalagi bahasa Melayu-tinggi. Tetapi bahasa Ambon sulit untuk dipelajari, dan
hanya bisa dipakai di Ambon sendiri, padahal para pendeta sering dipindahkan
ke daerah lain. Sebaliknya bahasa Melayu bisa mereka gunakan di mana-mana.
Lagipula, orang-orang Ambon sendiri menganggap bahasa mereka terlalu miskin,
dan mereka merasa malu terhadap orang-orang Islam yang menggunakan bahasa
Melayu dalam menjelaskan isi Al-Quran. Dengan demikian, yang dipilih ialah
bahasa Melayu. Dan karena bahasa itu adalah bahasa gereja dan sekolah, bahasa
Ambon-asli lama-lama terdesak olehnya dan hilang.
Heurnius
Hanya satu orang yang memihak kepada bahasa
Ambon-asli, yaitu Heurnius (di
Ambon 1633-1638). Ia adalah salah
seorang pendeta yang datang dari Negeri
Belanda, khusus dengan maksud hendak mengabarkan Injil kepada orang-orang
yang bukan-Kristen. Ia mau dikirim ke Seram,
tapi Gubernur menganggap tempat itu terlampau berbahaya dan mengutus dia ke
Saparua. Di sini Heurnius belajar bahasa Lease, karena itu dianggapnya
"bahasa hati", yang
mesti digunakan kalau orang betul-betul mau menarik orang-orang Kristen-nama
yang terdapat di sana. Ia berkhotbah dalam bahasa itu, dan malah mulai
menterjemahkan Kitab Injil ke dalamnya. Ia mempersiapkan juga bahan-bahan
dalam bahasa Lease untuk guru-guru jemaat dan mulai mendidik beberapa pemuda
dari pulau-pulau Lease supaya nanti bisa memberitakan Firman Tuhan kepada
teman-teman sebangsanya. Ternyata orang-orang Saparua tertarik oleh ibadah
dalam bahasa mereka sendiri. Tetapi Heurnius
kena racun, dan terpaksa meninggalkan pulau itu. Di kemudian hari, ketika ia
sudah menjadi pendeta di Nederland,
ia menerbitkan beberapa tulisan untuk dipakai di Ambon, tetapi semuanya dalam bahasa Melayu. Bahasa itulah yang
menjadi bahasa masyarakat Kristen-Ambon. Begitu terikat orang-orang Ambon
kepadanya, sehingga di kemudian hari guru-guru mereka yang bekerja di
daerah-daerah lain enggan memakai bahasa setempat dan mau menggunakan bahasa
Melayu saja di sekolah dan di gereja.
Metode pengajaran agama di Ambon
Soal bahasa itu tidak berdiri sendiri dan
jangan dianggap sebagai soal formil saja. Orang memilih bahasa Melayu karena dalam menghadapi
orang-orang Ambon mereka memakai pendekatan tertentu. Kita telah melihat
bahwa orang-orang Belanda, sama seperti para misionaris sebelumnya, memakai
metode hafalan. Rumusan-rumusan pokok iman Kristen disajikan kepada
orang-orang yang bukan-Kristen atau orang-orang Kristen baru, lalu
rumusan-rumusan itu dihafalkan. Kita melihat pula bahwa cara beriman dan
beribadah diharapkan sama sekali sesuai dengan cara yang dipakai gereja di Eropa. Jadi, yang ditekankan ialah
unsur pengetahuan dan unsur memelihara bentuk-bentuk tertentu. Pemakaian
bahasa Melayu cocok dengan pola
itu, dan kemudian memperkuat lagi pola itu.
Pendekatan terhadap agama/adat asli
Pendekatan tadi menjadi nyata juga dalam
sikap orang terhadap agama dan adat asli. Orang-orang Eropa zaman itu tidak
mau tahu tentang agama-agama yang bukan-Kristen. Agama-agama ini, khususnya
agama-suku, dipandang sebagai penyembahan iblis. Dan kebudayaan/adat
bangsa-bangsa di luar Eropa ditolak juga. Orang-orang Belanda di Ambon pada
umumnya tidak berusaha untuk sungguh-sungguh mempelajari agama dan kebudayaan
suku. Mereka puas sudah kalau tempat-tempat dan peralatan agama itu
dirusakkan. Dalam hal ini seorang Heurnius
tidak berbeda prakteknya dari praktek teman-teman sejabatan. Dalam dua tahun
di Saparua, ia antara lain
merusakkan seratus lebih tempat membawa sesajen. Dan sesuai dengan pandangan
yang umum berlaku pada zaman itu, pemerintah VOC membantu membasmi "kekafiran". Kalau ada orang
didapati masih melakukan penyembahan terhadap roh-roh, maka kepadanya
dikenakan hukuman berat. Dengan demikian, tantangan agama suku tidak bisa
dijawab dengan sungguh-sungguh (bnd § 21, 27).
Kecaman orang-orang Belanda terhadap
kekristenan Ambon
Kekristenan dan orang-orang Kristen jenis
apa yang dihasilkan oleh metode pendeta-pendeta dan pemerintah Belanda itu?
Pendeta-pendeta, dan orang-orang Belanda yang lain, dari semula melancarkan
banyak kecaman terhadap kekristenan orang-orang Ambon. Mereka ini "tidak
tahu apa-apa", mereka "tidak mempunyai minat terhadap agama
Kristen", mereka tetap "orang-orang
kafir" dan seterusnya. Kritik yang paling mendalam ialah bahwa
orang-orang Ambon tidak mengalami "pertobatan hati" dan tidak
sungguh-sungguh menghayati iman Kristen. Pokoknya, kritik yang sama seperti
yang telah diucapkan imam-imam Yesuit. "Kita tidak bisa mengharapkan
agar orang-orang ini sungguh-sungguh menyesali dosanya, merendahkan diri
dihadapan Allah, mengekang hawa nafsu mereka, bertekun dalam menghindari
kejahatan dan melakukan kebajikan...", demikianlah seorang pendeta pada
tahun 1615.
Kecaman orang-orang Ambon terhadap
kekristenan Belanda
Menarik sekali bahwa orang-orang Ambon
tidak menerima begitu saja kritik orang-orang Belanda terhadap dirinya.
Mereka, sekurang-kurangnya dalam tahun-tahun pertama, membalas dengan kritik
terhadap orang-orang Belanda, termasuk pendeta-pendeta. Pada tahun-tahun pertama,
orang-orang Belanda di benteng belum mengadakan kebaktian-kebaktian umum.
Lalu orang Ambon bertanya: apa kalian tidak mempunyai agama? Dan orang-orang
Belanda terpaksa mengadakan kebaktian umum, khusus untuk membuktikan bahwa
mereka adalah orang-orang beragama. Para pendeta dalam surat-surat mereka
terpaksa mengakui juga bahwa kehidupan orang-orang Belanda di kota Ambon,
termasuk wanita-wanita, jauh lebih buruk daripada kehidupan orang-orang
Ambon. Dan orang-orang Ambon jauh lebih setia dalam merayakan Perjamuan
Kudus. Dengan kata lain, para pendeta telah mengukur orang-orang Ambon
menurut cita-cita mereka tentang jemaat Kristen, bukan menurut kenyataan
jemaat Belanda sendiri. Penghibur-penghibur orang-orang sakit serta
pendeta-pendeta juga tidak luput dari kritik orang-orang Ambon. Mereka
dibandingkan dengan para imam Yesuit yang telah mencurahkan seluruh perhatian
pada tugas rohani, sedangkan tenaga-tenaga Belanda yang pertama datang itu
melakukan banyak pekerjaan lain, antara lain untuk pemerintah VOC. Dan kita
boleh menduga bahwa orang-orang Kristen di Ambon membandingkan juga
kebijaksanaan Kompeni (hongi!) dengan tata-cara Kristen yang telah diajarkan
kepada mereka melalui Dasatitah.
Penilaian, akibat-akibat metode yang
dipakai
Kita tidak dapat menyangkal bahwa dalam
kecaman-kecaman para pendeta terdapat unsur-unsur kebenaran. Hanya, kita
perlu memperhatikan dua hal. Pertama-tama, keadaan kekristenan Ambon pada
zaman itu merupakan akibat langsung dari metode yang dipakai. Metode main
larang itu tak bisa tidak menghasilkan orang-orang Kristen yang menghafal
rumusan-rumusan yang diajarkan kepada mereka, yang memelihara bentuk-bentuk
yang diharuskan kepada mereka, tetapi yang tidak belajar memperkembangkan,
"mengamalkan" iman mereka dalam seluruh kehidupan mereka. Metode
itu tidak berusaha untuk memberi jawaban yang sungguh-sungguh terhadap
tantangan agama suku. Akibatnya, iman Kristen tidak mungkin betul-betul
meresap ke dalam dunia-pikiran orang-orang yang baru masuk Kristen itu. Iman
Kristen dan kepercayaan suku tetap merupakan dua lapis yang tidak bercampur,
seperti air dan minyak. Atau, bila keduanya sudah lama hidup berdampingan,
maka iman Kristen itu diresapi oleh cara-berpikir agama suku. Cara orang
memandang sakramen-sakramen merupakan contoh yang jelas. Air baptisan
diminum: roti Perjamuan Kudus dibawa pulang sebagai obat, dan seterusnya. Di
Ambon, orang-orang Eropa menjuluki campuran ini "Agama Ambon". Dan memang telah berdiri suatu "Corpus Christianum Ambon" dengan
ciri-ciri yang khas. Dikemudian hari, pada abad ke-19 dan ke-20, orang-orang
Ambon, bersama para zendeling dari Eropa, akan membawa agama mereka itu ke
banyak daerah di Indonesia Timur, dan mempengaruhi kehidupan gereja-gereja
yang berdiri di sana.
Soal Ambon adalah soal semua bangsa Kristen
Tetapi masalah ini perlu diingat dari sudut
lain lagi. Di Ambon memang terdapat "agama Ambon", "Corpus
Christianum Ambon", yang merupakan campuran antara unsur-unsur
Kristen dengan unsur-unsur agama suku. Tetapi kita harus menyadari bahwa
percampuran semacam itu terjadi di semua tempat di mana agama Kristen cukup
lama menetap. Kita telah melihat contoh "ideologi" orang-orang
Spanyol dan Portugis. Agama Kristen orang-orang Belanda pada abad ke-17 juga
merupakan campuran yang demikian, dan orang-orang Ambon berhak mengkritik
mereka sama seperti orang-orang Belanda mengkritik orang-orang Ambon. Tetapi
sebenarnya perlu supaya kedua belah pihak membiarkan dirinya dikritik oleh
Firman Allah.
Pendekatan lain contoh-contoh
Tidak selalu pendeta-pendeta dan pemerintah
Belanda memakai pendekatan negatif yang digambarkan tadi. Adakalanya mereka
menerima adat yang ada dan berusaha membelokkannya sehingga terpengaruh oleh
iman Kristen. Di sini diberikan dua contoh. Di Ambon-Lease terdapat kebiasaan memberi "toteria" (mas
kawin). Tetapi hal itu kurang diatur, sehingga sering melahirkan pertengkaran
turun-temurun. Dalam hal ini oleh orang-orang Belanda adat yang lama itu
tidak dilarang begitu saja, tetapi diatur: tuntutan-tuntutan berdasarkan
"toteria" itu hanya dapat diajukan sampai 12 tahun sesudah
pernikahan diikat, dan untuk seterusnya jumlah mas kawin itu harus
didaftarkan secara tertulis oleh guru sekolah. Dengan demikian, maka akar
banyak pertikaian dicabut dan kehidupan jemaat ditingkatkan. Contoh lain ialah
kehadiran wanita dalam Perjamuan Kudus.
Menurut adat Ambon, wanita tidak boleh makan bersama laki-laki (atau
laki-laki tertentu?). Bagaimana dengan Perjamuan? Paksaan dalam hal ini tidak
ada gunanya. Akhirnya pendeta-pendeta menemukan kompromi: dalam perayaan
Perjamuan, wanita Ambon boleh memakai "tudung
malu". Dengan demikian, adat lama dihormati, tetapi secara azasi
tuntutannya yang mutlak ditiadakan.
Ringkasan SG Ambon
Setelah orang-orang Portugis dan misionaris-misionaris mereka diusir, gereja di Ambon-Lease selama beberapa
tahun terlantar. Tetapi dalam waktu tigapuluh tahun terdapat perkembangan
yang cepat di beberapa bidang. Perkembangan itu merupakan akibat kehendak
orang-orang Ambon sendiri, dan didorong oleh kegiatan beberapa pendeta
Belanda. Setelah masa pertama ini (1605-1635),
keadaan gereja tetap agak sama selama satu setengah abad. Dengan peralihan
dari Gereja Katolik-Roma menjadi Protestan, Gereja Ambon mengalami
banyak perubahan. Tetapi secara azasi pola pendekatan dari pihak orang-orang
Eropa tetap sama. Pola ini menghasilkan apa yang disebut "agama Ambon".
Banda
Daerah lain yang oleh VOC sungguh-sungguh
diperhatikan ialah kepulauan Banda,
daerah penghasil pala. Penduduk pulau-pulau itu sebagian besar beralih kepada
agama Islam dalam tahun-tahun 1590-an.
Ada di situ suatu benteng Portugis
yang kecil, tetapi pekabaran Injil belum diusahakan di Banda. Mula-mula VOC
menghormati kemerdekaan orang-orang Banda:
diadakanlah perjanjian, dan tentang soal agama malah ditetapkan aturan yang
sama seperti di Ternate (§ 8). Akan tetapi karena berbagai-bagai sebab,
hubungan antara Kompeni dengan orang Banda lekas memburuk. Akhirnya VOC
merebut pulau Banda; penduduk sebagian tewas, sebagian diusir, sebagian
ditaklukkan.
Susunan jemaat
VOC mendatangkan penduduk baru ke
pulau-pulau yang malang itu, yakni orang-orang Mardeka dari bagian-bagian
Indonesia yang lain, dan budak-budak. Mereka sebagian besar adalah
orang-orang Kristen, yang sudah dibaptis pada zaman Portugis. Selain daripada unsur-unsur itu, jemaat Kristen
meliputi juga orang-orang Belanda dan Indo-Belanda yang dikirim ke sana oleh
VOC. Jumlah anggota jemaat ini tidak pernah melebihi 2-3000 orang, tetapi karena Banda merupakan daerah penting bagi
VOC, maka jemaat-jemaat Kristen yang kecil itu dilayani oleh dua sampai empat
orang pendeta. Pendeta pertama datang
pada tahun 1625; sebelumnya
beberapa penghibur orang-orang sakit bekerja di situ.
Usaha-usaha p.I. tidak berhasil
Hubungan dengan Agama Islam di Banda dari
semula menimbulkan kesulitan. Orang-orang Banda giat sekali membujuk
orang-orang Belanda masuk agama mereka, dan usaha mereka membawa hasil juga.
Hal ini adalah bertentangan dengan perjanjian yang telah diikat, dan karena
itu menjadi salah satu sebab pecahnya perang. Setelah pulau-pulau Banda ditaklukkan,
sisa penduduk, yang sebagian masih beragama nenek-moyang, mau dibawa kepada
agama Kristen. Tetapi sudah tidak ada lagi kepercayaan, dan hasilnya tidak
besar. Jemaat Kristen tetap terdiri dari ketiga unsur yang telah dicatat di
atas ini. Sama seperti di Maluku Utara, begitu juga di Banda jemaat-jemaat
Kristen merupakan "jemaat-jemaat benteng", berarti jemaat-jemaat
para pendatang yang tidak mempunyai hubungan yang akrab dengan dunia pribumi.
Hubungan akrab semacam itu hanya terdapat di Ambon-Lease. Akibatnya, jemaat
di Banda tetap agak lemah. Sebab orang-orang Belanda dan Indo-Belanda pada
umumnya bukan anggota-anggota gereja yang giat. Mereka tidak memandang agama
Kristen sebagai perkara mereka sendiri, sebagaimana halnya dengan orang-orang
Ambon.
Kei, Aru, Tanimbar, pulau-pulau
Selatan-daya
Sama seperti Ternate merupakan pangkalan bagi pekerjaan gereja di Sulawesi
Utara (§ 11), begitu juga Banda menjadi pangkalan bagi usaha pekabaran Injil
di pulau-pulau di sebelah Selatan. Sekitar tahun 1635 ada usaha p.I. ke Kei, tetapi gagal. Dari tahun 1670-1675 seorang penghibur
orang-orang sakit ditempatkan di Aru,
dan di situ jemaat Kristen dalam abad ke-18 berjumlah beberapa ratus orang.
Mereka dilayani guru-guru sekolah dan sekali-sekali mendapat kunjungan dari
Banda. Di Tanimbar juga pada tahun
1682 ditempatkan seorang guru
sekolah. Pada zaman yang sama pulau-pulau Selatan-daya (Babar, Wetar, Leti, dan seterusnya) mulai diinjili juga, dengan
memakai tenaga guru. Di situ sekitar tahun 1750 terdapat 1300
lebih orang Kristen. Tetapi "daerah-daerah pinggir" ini tidak
diberi perhatian sungguh-sungguh, sehingga jemaat-jemaat tidak bisa
berkembang seperti di Ambon-Lease.
Kemerosotan sesudah tahun 1780
Setelah tahun 1780, kekuasaan VOC merosot dengan cepat. Dan gereja ikut
menderita, terutama gereja di "daerah-daerah pinggir". Jumlah
pendeta di Indonesia berkurang dengan cepat. Di Ambon tinggal satu orang
saja; antara tahun 1803-1815 tidak
ada seorang pendeta di seluruh Maluku. Itu berarti bahwa selama puluhan tahun
jemaat-jemaat di luar pusat hampir tidak dikunjungi lagi, dan bahwa selama
beberapa tahun di pusat pun tidak ada lagi pelayanan sakramen, tidak ada
khotbah kecuali yang sudah dicetak satu abad yang lalu. Selama waktu itu,
seluruh kehidupan gereja dijalankan oleh para guru sekolah. Baru pada tahun 1815, dengan kedatangan Joseph Kam, mulailah zaman baru bagi
gereja di Maluku (§ 20).
|
||
Wikipedia bahasa Indonesia
|
|
||
Artikel
ini diambil dari :
End, Dr. Th. van den. 2001. Ragi Carita 1. PT BPK Gunung Mulia, Jakarta. Halaman 65 - 79.
End, Dr. Th. van den. 2001. Ragi Carita 1. PT BPK Gunung Mulia, Jakarta. Halaman 65 - 79.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.