VOC dan Misi
Kristenisasi di Nusantara
Ada
sebuah tulisan menarik yang dibuat oleh Dr. Th. Van den End,
tentang sejarah perkembangan kritenisasi di Nusantara yang oleh penulis disebut
sebagai Kegiatan Misi di Indonesia. Berikut Tulisan yang diposting
MASA PERSIAPAN
BABAK PERTAMA: KEGIATAN MISSI DI INDONESIA, 1522-1677
Oleh:
Dr. Th. van den End
Keadaan
di Indonesia Sekitar Tahun 1500
Sekitar
tahun 1500 belum ada kesatuan politis bernama ”Indonesia”. Pada zaman itu,
wilayah negara Indonesia yang sekarang masih merupakan sebagian dunia
pulau-pulau, Kepulauan Nusantara, yang terletak antara daratan Asia dan benua
Australia. Di dunia ini berbagai kerajaan muncul dan tenggelam lagi. Dengan
kekecualian beberapa daerah terpencil saja, kerajaan-kerajaan ini ber hubungan
dengan dunia luas lewat jalur-jalur perdagangan. Barang-barang ekspor yang
terkenal ialah lada dari Aceh, dan cengkih serta pala dari Maluku Utara. Lewat
serangkaian pelabuhan di Asia Tenggara, India, dan Timur Tengah, rempah-rempah
itu diangkut ke Eropa. Lewat jalur itu juga masuklah gagasan-gagasan baru dan
teknologi baru.
Sejak
awal tarikh Masehi, agama Hindu dan Buddha, yang datang dari India, mempunyai
pengaruh besar, khususnya di Sumatera dan Jawa. Tetapi, di daerah lain pola
hidup masih ditentukan oleh agama tradisional suku-suku Melayu-Polinesia. Mulai
tahun 1300, agama Islam, yang dibawa oleh saudagar-saudagar dari India Barat,
memperoleh kedudukan yang semakin kuat. Agama itu masuk lebih dahulu ke Aceh,
dan dari sana meluas ke selatan dan timur. Sekitar tahun 1525 seluruh pantai
utara dan sebagian besar pedalaman Pulau Jawa sudah dikuasai oleh raja-raja
Islam. Agama Islam tertanam juga
di pesisir Sumatera dan sebagian Kalimantan. Tetapi keadaan alam kedua pulau
besar ini menyebabkan baru dalam abad ke-19 agama tersebut dapat masuk di
pedalaman. Dari Jawa, Islam melompat ke Maluku dan ke Mindanao Selatan dengan
melewatkan Pulau Sulawesi (Makasar baru masuk Islam tahun 1605).
Karena
Missi Katolik dan di kemudian hari Gereja Protestan paling berkembang di
Indonesia Timur, keadaan di sana, khususnya di Maluku, hendak digambarkan lebih
terinci.Wilayah Maluku terpecah belah dari sudut etnis,
politis, dan religius. Penduduknya termasuk pelbagai suku, yang masing-masing
mempunyai bahasa sendiri. Di kawasan Maluku Utara terdapat beberapa kerajaan,
antara lain Ternate dan Tidore. Di bagian lain Maluku tiap-tiap kampung berdiri
sendiri, tetapi pengaruh Ternate dan Tidore semakin meluas. Mulai dari paroan
kedua abad ke-15, sebagian orang Maluku menerima agama Islam, khususnya para
raja di utara, yang kemudian menyandang gelar sultan, dan penduduk
jazirah Hitu di Pulau Ambon. Tetapi sebagian lagi berpegang pada agama suku,
antara lain sebagian besar penduduk Halmahera dan kampung-kampung di jazirah
Leitimor. Akhirnya perlu disebut bahwa penduduk Maluku terbagi menurut pola dualistis,
yang memper ten tangkan golonganPatasiwa dan Patalima. Ternate termasuk
kaum Patalima, Tidore kaum Patasiwa. Keadaan ini melahirkan peperangan
terus-menerus. Di tengah dunia yang bergejolak ini, orang Portugis yang masuk
pada awal abad ke-16 hanya merupakan satu kekuatan di tengah begitu banyak
kekuatan lain; mereka tidak dapat menentukan sendiri haluan yang hendak mereka
tempuh, tetapi lebih banyak harus bereaksi terhadap aksi pihak lain.
Masuknya
Agama Kristen
Permulaan
sejarah agama Kristen di Indonesia tidak sama dengan permulaan sejarah Gereja
Protestan. Pada tahun 1605 agama Kristen sudah tidak lagi merupakan barang
asing di Kepulauan Nusantara. Mung kin sekali pedagang-pedagang Kristen dari
Khalifat Arab atau dari India Selatan menginjakkan kaki di Indonesia mulai dari
abad ke-7 atau ke-8 M. Pada tahun 1323-1324 seorang anggota Ordo Fransiskan,
Oderico de Pordenone, mengunjungi Kalimantan, istana Majapahit, dan Sumatera.
Dua puluh tahun kemudian seorang utusan Sri Paus bertemu dengan sejumlah orang
Kristen di Sumatera [SGA I, 34v]. Akan tetapi, pada zaman ini agama Kristen
belum berakar di bumi Indonesia. Jemaat-jemaat yang mungkin ada tidak
meninggalkan bekas, dan bagaimanapun hanya terdiri atas pendatang.
Sebaliknya,
perluasan agama Kristen yang berlangsung dalam abad ke-16 meletakkan dasar
gereja yang berdiri hingga sekarang. Sekitar tahun 1500 missi Katolik Roma
masuk berbarengan dengan prajurit dan pedagang Portugis dan Spanyol. Pada zaman
itu orang Spanyol dan Portugal baru saja berhasil mengusir penguasa Arab dari
Eropa, tetapi kerajaan-kerajaan Islam di Afrika Utara tetap merupakan ancaman
bagi keamanan Eropa Selatan. Pada waktu itu juga orang Turki melancarkan
serangan yang hebat atas nama Islam di Eropa Tenggara. Mereka menaklukkan negara-negara
Kristen di semenanjung Balkan dan pada tahun 1529 malah menyerbu negeri Jerman.
Orang Eropa merasa terkepung, dan berupaya melakukan serangan balasan dengan
cara bergerak melingkar. Dengan cara itu mereka berharap juga mendapat akses
langsung ke daerah-daerah asal barang-barang mewah yang selama itu mencapai
Eropa lewat pengantara di Hindia dan Mesir atau Turki. Maka mereka menjelajahi
lautan mencari jalan ke ”Hindia”, yang terletak di belakang kubu Turki. Bagi
mereka, Hindia itu negeri dongeng, sumber kekayaan yang tidak terbayangkan.
Sambil berlayar ke arah barat, orang Spanyol menemukan Amerika, yang mula-mula
mereka sangka adalah ”Hindia” (sehingga penduduk asli disebut ”Indian”).
Beberapa tahun kemudian, orang Portugis berhasil mencapai ”Hindia” yang
sebenarnya, yaitu kawasan Lautan Hindia, dan segera memulai perang militer dan
ekonomis melawan orang Islam di sana, yang mereka pandang sebagi sekutu orang
Turki. Mereka tidak cukup kuat untuk menjajah wilayah yang luas, tetapi hanya
merebut atau mendirikan serangkaian benteng di sepanjang jalur perdagangan yang
terbentang dari India hingga Indonesia Timur dan Tiongkok. Benteng-benteng
utama ialah Goa (di pantai barat India), Malaka (di wilayah Malaysia sekarang),
Ternate dan Solor (lepas pantai Flores), serta Macao (lepas pantai Cina). Dari
pangkalan mereka di Amerika, orang Spanyol menjajah dan mengkristenkan wilayah
Filipina Utara dan Tengah. Di kemudian hari, pengaruh mereka meluas ke
pulau-pulau Sangihe dan Maluku Utara.
Jelas
bahwa dalam kegiatan orang Eropa di Indonesia, khususnya orang Portugis, motif
agama, motif militer, dan motif perdagangan terjalin. Maka benteng-benteng
mereka mempunyai fungsi rangkap. Di dalamnya terdapat tangsi militer, gudang
untuk barang dagangan, dan sebuah gedung gereja. Para imam melayani para
prajurit dan saudagar di dalam benteng. Adakalanya mereka juga keluar untuk membawa agama
Kristen kepada orang pribumi yang tinggal sekitar benteng itu. Tetapi pada
umumnya penyebaran Injil tidak menjadi tujuan utama mereka. Kata salah seorang
pejabat tinggi Portugis dari zaman itu: ”Mereka datang dengan salib di satu
tangan dan dengan pedang di tangan lain. Tetapi ketika mereka menemukan
kekayaan, mereka segera mengesampingkan salib dan mengisi kantong mereka”.
Kelompok yang paling aktif menjalankan karya missi ialah kaum rohaniwan anggota
ordo, khususnya anggota Serikat Yesus (SJ) yang bekerja di Asia sejak tahun
1540-an. Di samping mereka, Ordo Fransiskan dan Ordo Dominikan juga perlu
disebut.
Peletakan
Dasar Gereja Kristen
Di sini
kita hanya memberi garis besar sejarah missi Katolik dalam abad ke-16 dan
ke-17. Yang ingin mengetahui seluk-beluknya dapat mencarinya dalam karya Sejarah
Gereja Katolik di Indonesia, jilid I, dan dalam Ragi
Carita I. Kita akan
berturut-turut membahas perkembangan di bagian barat Nusantara dan di Indonesia
Timur.
Pada
masa orang Portugis tiba di Nusantara, penduduk daerah pesisir Sumatera dan
Jawa sudah masuk Islam. Lagi pula, dari sudut politik mereka relatif kompak;
mereka telah membentuk kerajaan-kerajaan yang kuat dengan wilayah yang relatif
besar, seperti Aceh, Johor, Banten, dan Demak. Oleh karena itu, Missi tidak
berhasil mendapat tempat berpijak di sana. Hanya di kota Malaka, yang pada
kurun masa 1511-1641 merupakan benteng utama Portugis di sebelah timur Goa,
terdapat jemaat Kristen yang agak besar, yang dikepalai seorang uskup. Tetapi
jemaat ini terdiri atas pendatang dari Eropa dan keturunan mereka. Di tempat
lain di bagian barat Kepulauan Nusantara tidak pernah ada jemaat yang mantap. Dalam
tahun 1580-an ada missi di bagian Jawa Timur yang masih beragama Hindu; satu
abad kemudian seorang pater dari Italia bernama Ventimiglia berhasil menembus
ke pedalaman Kalimantan Selatan. Tetapi kedua usaha itu gagal.
Perkembangan
di Indonesia Timur lain. Sebagaimana telah dijelaskan di
depan, di sana orang Portugis tidak dapat menentukan sendiri haluan yang hendak
mereka tempuh, tetapi lebih banyak harus bereaksi terhadap aksi pihak lain.
Demikian juga halnya dengan missi mereka. Agama Kristen memang berhasil
ditanamkan di Indonesia Timur. Hanya, cara perluasannya tidak seperti padi atau
tanaman pangan lain, yang ditanam secara berencana, tetapi lebih banyak seperti
rumput-rumputan yang tumbuh di mana saja benihnya dibawa oleh angin atau
burung. Serikat Yesus mencoba menyebarkan Injil dengan lebih teratur. Tetapi di
tengah badai peperangan, mereka pun tidak berhasil menanamkan jemaat-jemaat di
daerah-daerah baru. Di kemudian hari, di Tiongkok, Jepang, dan India, orang
Yesuit dan anggota ordo lainnya menunjukkan bahwa mereka sanggup membangun
gereja yang mantap, asal saja mereka dapat bekerja dalam suasana damai.
Pada
tahun 1522, tidak sampai setengah abad sesudah Islam masuk di Ternate, orang
Portugis mendirikan benteng di pulau itu. Dengan demikian, untuk sementara
waktu mereka menjadi sekutu orang Ternate (yang beragama Islam). Dalam
tahun-tahun berikutnya beberapa pembesar Ternate berhasil dibaptis, tetapi
dinasti kerajaan dan massa rakyat tetap berpegang pada agama Islam, yang mereka
anut sejak tahun 1473. Jemaat Kristen di Ternate tetap ”jemaat benteng”. Tetapi
di beberapa daerah lain lahir jemaat-jemaat Kristen pribumi. Baiklah kita
menyadari bahwa jemaat-jemaat ini merupakan hasil prakarsa orang Maluku
sendiri. Di Halmahera, penduduk
sejumlah kampung di pantai timur pulau itu meminta agar orang Portugis di
Ternate melindungi mereka dari musuh dan menerima agama para pelindung mereka
(1534). Mereka diberi pengajaran agama ala kadarnya, kemudian dibaptis dan
diberi nama baru, yaitu nama Portugis. Dengan demikian, pola konversi ke agama
Kristen mirip konversi ke agama Islam.
Pada
jangka panjang, jemaat-jemaat Kristen di Halmahera tidak dapat bertahan, karena
mulai tahun 1570 berkobar perang antara Ternate dan orang Portugis, yang telah
membunuh Sultan Ternate, Hairun. Pembunuhan itu menyebabkan persekutuan yang
lama berbalik menjadi permusuhan, dan alasan politis yang digambarkan di atas
sudah tidak berlaku lagi. Jemaat benteng di Ternate disapu bersih bersama
bentengnya, dan di Halmahera pun agama Kristen tidak dapat bertahan. Akan
tetapi, sementara itu benih Kristen berhasil ditanamkan di Ambon.
Sekitar tahun 1510 Islam dibawa ke Hitu dari Jawa. Pada tahun 1538, Sultan
Ternate (Islam) dengan bantuan sekutunya orang Portugis (Kristen), menyerang
orang Hitu (yang Islam), yang dibantu oleh armada dari Jawa. Orang Hitu
dikalahkan. Lalu sejumlah kampung di sekitar Teluk Ambon, yang belum masuk
Islam, meminta bantuan orang Portugis. Mereka juga dengan sendirinya menerima
agama sahabat mereka. Di kemudian hari agama Kristen meluas ke kampung-kampung
lain di Ambon dan Lease. Sama seperti orang Kristen di Halmahera, yang di Ambon
tidak dapat hidup damai. Mereka terus-menerus harus menahan serangan dari pihak
Ternate dan Hitu, dan mereka harus membantu Tidore dalam peperangannya melawan
Ternate. Tetapi, berbeda dengan Halmahera, di Ambon agama Kristen dapat
bertahan dan di kemudian hari juga meluas.
Agama
Kristen menyebar juga ke Sulawesi Utara dan Kepulauan Sangihe. Pada tahun 1563 Raja
Manado dan sejumlah rakyatnya dibaptis. Raja Siau kebetulan sedang berkunjung
ke sana dan ikut dibaptis; penduduk Pulau Siau sendiri menyusul beberapa tahun
kemudian. Tetapi karena orang Portugis semakin terdesak oleh Ternate, benih ini
tidak dapat dipelihara. Baru dalam abad ke-17, ketika orang Spanyol dari
Filipina memperluas pengaruh mereka ke kawasan ini, berhasil dibentuk
jemaat-jemaat yang agak mantap.
Agama
Kristen juga tersebar di satu wilayah yang terletak di luar lingkungan pengaruh
Sultan Ternate, yaitu di Nusa Tenggara Timur.
Daerah ini penting bagi para pedagang Portugis karena menghasilkan kayu
cendana, yang sangat laku di India dan Tiongkok. Pada tahun 1556 lima ribu
orang dibaptis di Pulau Timor. Lahirlah jemaat-jemaat Kristen di Flores dan di
beberapa pulau lain. Di sini Ordo Dominikan yang aktif. Mereka mendirikan
semacam negara religius, dengan pusat di Pulau Solor. Benteng di Solor pun
merekalah yang membangunnya. Di daerah ini juga kelompok Kristen terlibat dalam
peperangan dan sering diserang oleh kekuatan dari luar. Tetapi mereka bertahan
dan bertumbuh menjadi semacam daerah kantong Portugis di Asia Tenggara.
Dengan
demikian, penyebaran agama Kristen dalam abad ke-16 merupakan awal sejarah
agama itu di Indonesia. Kita menyebut beberapa cirinya. (1) Agama Kristen tidak
dipaksakan kepada orang Indonesia, tetapi diterima oleh mereka berdasarkan
berbagai pertimbangan politis, ekonomis, etnologis, militer. (2) Maka
penyebaran agama Kristen tidak merupakan fenomena religius semata, tetapi
terjalin dengan berbagai faktor lain. (3) Titik berat jemaah Kristen terdapat
di Indonesia Timur. (4) Bagi penganutnya, agama Kristen bukan unsur asing,
melainkan milik sendiri. Agama dan budaya asli serta agama yang baru berpadu
menjadi identitas baru. (5) Orang Kristen bersedia memper tahan kan dan membela
identitas mereka yang baru itu terhadap segala musuhnya. Zaman itu pun meng
hasil kan saksi iman yang bersedia mati karena imannya.
BABAK YANG KEDUA: GEREJA PROTESTAN PADA ZAMAN VOC
Sifat
Kehadiran Belanda di Indonesia
Pada
akhir abad ke-16, hidup agama Kristen di Indonesia terancam. Orang Kristen
mungkin ber jumlah sekitar lima puluh ribu jiwa, sekitar lima perseribu seluruh
penduduk Indonesia. Mereka kekurangan pembimbing rohani, sebab belum ada imam
pribumi, sedangkan rohaniwan dari luar sedikit saja dan banyak yang meninggal
dalam peperangan atau karena penyakit. Prasarana lain pun belum tersedia. Belum
ada terjemahan Alkitab atau kitab rohani yang lain dalam salah satu bahasa
Nusantara. Kekuatan Portugis semakin merosot dan Ternate semakin kuat. Tetapi
sekonyong-konyong muncullah pendatang baru dari Eropa, yaitu orang Belanda.
Mereka mengambil alih dan meneruskan peranan orang Portugis di bidang ekonomis
dan religius. Tetapi karena kekuatan mereka jauh melebihi kekuatan orang Portugis,
mereka dapat memaksakan perdamaian kepada semua pihak yang bersengketa di
Maluku. Dari sebab itu, agama Kristen dapat bertahan dan malah meluas.
Negara
Belanda masih muda. Orang Belanda telah memberontak terhadap tuan mereka, yaitu
Felipe II, Raja Spanyol, karena raja itu tidak menghormati kebebasan mereka,
termasuk kebebasan di bidang agama. Sejak tahun 1581 mereka merupakan negara
merdeka. Dalam negara ini, orang Protestan memegang pimpinan. Namun, elite
politik Belanda bersikap toleran, sehingga orang Katolik menikmati kebebasan
yang relatif besar menurut ukuran yang pada zaman itu berlaku di Eropa. Orang
Belanda belum pernah terancam oleh salah satu negara Islam, jadi mereka tidak
berprasangka buruk terhadap agama itu. Musuh bebuyutan mereka bukan kerajaan
Arab di Afrika Utara atau negara Turki, melainkan negeri Spanyol, yang pada
kurun masa 1580-1640 bergabung dengan Portugal di bawah satu orang raja.
Kenyataan ini turut menentukan kebijakan mereka di Asia Tenggara.
Selama
abad ke-17 dan ke-18, jajahan Belanda di seberang laut, termasuk di Indonesia,
tidak langsung diperintah oleh negara Belanda. Pada tahun 1602 semua pedagang
yang mengirim kapal ke Asia
membentuk sebuah kongsi besar, Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Kepada badan inilah pemerintah
Belanda menyerahkan kedaulatan atas seluruh jajahan Belanda antara ujung
selatan Afrika dan ujung selatan Amerika Selatan. Jadi, Pengurus VOC yang
merupakan kekuasaan tertinggi di wilayah yang terbentang dari India Selatan
sampai ke Taiwan. Wakil tertinggi mereka di tempat ialah Gubernur Jenderal,
yang sejak tahun 1619 berkedudukan di Batavia (Jakarta). Pentinglah untuk
diperhatikan bahwa penjajahan gaya VOC jauh beda dengan yang berlaku pada akhir
zaman kolonial, pada masa Hindia Belanda. Sebagai maskapai dagang, VOC tidak berikhtiar menjajah daerah yang
luas. Hanya di Maluku mereka perlu
menguasai beberapa pulau secara efektif,
untuk mempertahankan monopoli dalam perdagangan rempah-rempah. Lama-kelamaan
wilayah VOC Baru dalam abad ke-19 jajahan Belanda di Asia mulai berubah sifat
menjadi negara teritorial. meluas, khususnya di Pulau Jawa, tetapi badan itu
tetap lebih banyak merupakan perusahaan daripada negara.
VOC
ini adalah ”negara” yang dengannya gereja di wilayahnya harus berurusan.
Hubungan antara gereja dan
”negara” itu ditentukan oleh dua faktor. Pertama, sama seperti di negeri
Belanda sendiri, begitu pula di wilayah VOC para penguasa merasa berhak, bahkan
berkewajiban mengatur gereja. Di seberang lautan pengaruh mereka dalam gereja
malah lebih besar lagi daripada di negeri Belanda sendiri, sebab tidak ada
orang Kristen Eropa yang bukan pegawai VOC. Dengan demikian hampir tidak
mungkin, umpamanya, seorang anggota majelis gereja menentang kehendak
tokoh-tokoh pemerintah, sebab dalam kehidupan sehari-hari mereka ini merupakan
atasannya. Faktor kedua ialah,
”negara” ini berpedoman pada kepentingan
perdagangan. Tentu, pengurus VOC terdiri atas orang Kristen Protestan, yang
merasa berkewajiban membangun dan mengasuh gereja di wilayah kekuasaan mereka.
Tetapi mereka bukan pelayan gereja. Sudut pandang mereka ialah sudut pandang
pedagang. VOC membiayai kegiatan gereja dan mengupayakan pekabaran Injil hanya
karena dan sejauh semua itu bertindih dengan kemajuan usaha dagangnya.
Perluasan
Gereja di Maluku dan di Daerah Lain pada Masa VOC
Pada
tahun 1600 orang Belanda untuk pertama kali datang ke Ambon,
yang penting bagi mereka karena menghasilkan cengkih. Di sana kapal-kapal
mereka mendukung serangan orang Hitu, yang bersama bala bantuan dari Jawa
mencoba mengusir garnisun Portugis dan menaklukkan kampung-kampung Kristen yang
merupakan sekutunya. Jadi, sama seperti orang Portugis dalam abad sebelumnya,
mula-mula orang Belanda pun terlibat dalam permainan politik lokal. Dua tahun
kemudian, armada Spanyol dari Filipina datang melepaskan orang Kristen
Leitimor. Tetapi pada tahun 1605 Laksamana Belanda Van der Haghen kembali.
Bersama orang Hitu dia mengusir garnisun Portugis dari Ambon. Orang Hitu
mendapat status sekutu; kampung-kampung Kristen di Pulau Ambon dinyatakan
takluk pada Belanda. Pada hari Selasa tanggal 27 Februari 1605 untuk pertama
kalinya awak kapal Belanda mengadakan ibadah di darat, di benteng Portugis yang
baru saja diserahkan kepada
mereka dan yang mereka beri nama baru: Benteng Victoria. Dalam laporan Van der
Haghen tertulis, ”Pada tanggal 27 bulan ini untuk
pertama kalinya Laksamana turun ke darat dan pergi ke benteng. Di sana Firman
Allah diberitakan disertai pengucapan syukur karena Allah yang Maha Kuasa
berkenan menganugerahkan kepadanya kemenangan besar bagi Tuan-tuannya di negeri
Belanda.” Ibadah itu ibadah Protestan yang pertama yang diadakan di Maluku,
bahkan di seluruh Asia, sehingga dapat dipandang sebagai permulaan sejarah
Protestantisme di kawasan ini. Dengan demikian, permulaan sejarah gereja-gereja
Protestan di Asia mendahului penanaman Protestantisme di Amerika Utara (1607).
Sesuai
dengan asas toleransi yang berlaku di negeri Belanda, Laksamana Van der Haghen
membiarkan orang Kristen di Ambon tetap menjalankan ibadah Katolik. Pastor yang
melayani mereka pun diizinkan tinggal. Tetapi setelah Van der Haghen berangkat
ke Banda, gubernur yang diangkatnya khawatir kalau-kalau jemaat Katolik di
bawah pimpinan seorang Yesuit dapat menjadi kolone kelima begitu orang Spanyol
mengirim lagi armada dari Manila. Maka semua orang Katolik Eropa yang masih
tertinggal diusir. Untuk sementara waktu, imam Yesuit belum dapat diganti
seorang pendeta Protestan. Van der Haghen meninggalkan seorang guru agama, yang
mengadakan ibadah yang sederhana. Ia berwenang melayankan sakramen baptisan,
dan atas permintaan orang Kristen Ambon ia pun membaptis anak-anak mereka. Atas permintaan orang Ambon juga, dua tahun kemudian mantri kesehatan
sebuah kapal Belanda yang singgah di Ambon diangkat menjadi guru sekolah. Ia
membuka sekolah di Ambon, yang untuk sementara waktu memakai bahasa Belanda.
Anak-anak diajar membaca, menulis, dan berhitung, serta disuruh menghafal Doa
Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli, dan Dasa Titah, yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Melayu oleh seorang pegawai tinggi VOC yang sempat mempelajari
bahasa Melayu sewaktu ia ditahan di Aceh. Tiga tahun kemudian tibalah pendeta
yang pertama. Sejak tahun 1614 Ambon dan pulau-pulau sekitarnya terus-menerus
dilayani tenaga pendeta; mula-mula satu, kemudian lebih banyak, sampai enam
orang. Selain di kota Ambon, mereka ditempatkan juga di Haruku dan Saparua.
Pada masa permulaan VOC menjajaki kemungkinan mengirim anak Ambon ke Belanda
agar menikmati pendidikan tinggi di sana, tetapi upaya itu gagal. Sesudah itu,
beberapa anak ditempatkan di rumah seorang pendeta Belanda di Ambon sendiri,
agar mereka diberi pendidikan teologis. Tetapi percobaan itu pun gagal,
disebabkan pendeta yang bersangkutan dipindahkan.
Dalam
abad ke-17 dan ke-18 agama Kristen meluas juga ke wilayah di luar Ambon-Lease,
yaitu ke Seram Selatan, Aru, Tanimbar, dan Kepulauan Barat Daya (Babar, Wetar,
Leti dan lain-lain.). Tidak pernah
seorang pendeta menetap di daerah ini; jemaat-jemaat dilayani guru
sekolah/jemaat yang dikirim dari Ambon. Tetapi agaknya jemaat-jemaat ini cukup
mantap. Sekitar tahun 1825 Joseph Kam mengunjungi semua pulau tersebut. Di
beberapa tempat ditemukannya gereja tembok yang besar, yang dapat menampung
sampai seribu orang. Hanya, atapnya hilang, dan ibadah gereja sudah tidak
diadakan lagi. Di sini kita menyaksikan perbedaan antara apa yang dapat disebut
”daerah pinggir” dengan ”daerah pusat”. Di Maluku Tengah, yang merupakan salah
satu pusat kegiatan VOC, jemaat cukup besar. Pada akhir abad ke-17, jumlah
orang Kristen sudah naik menjadi 33.000, dibandingkan 16.000 pada saat
berlangsung serah terima dengan Missi Katolik. Yang lebih penting lagi, 1.600
di antara mereka telah diterima menjadi anggota sidi. Agama Kristen
sungguh-sungguh menjadi agama rakyat. Lagi pula, kehidupan gereja diatur dengan
ketat. Maka gereja di Ambon-Lease sungguh mantap. Selama masa VOC, guru-guru
asal Maluku Tengah melayani juga di daerah lain, sampai di Talaud dan di Timor.
Jemaat seperti itu dapat bertahan meski untuk sementara waktu tidak ada hubungan
dengan dunia luar. Dalam abad ke-19 dan ke-20 Gereja Ambon-Lease menghasilkan
tenaga yang diperlukan untuk membawa Injil ke seluruh Indonesia Timur, termasuk
Papua. Sebaliknya, Aru, Tanimbar, dan seterusnya terletak di pinggir wilayah
VOC. Jemaat di sana jarang dikunjungi dan agama Kristen tidak sampai
berurat-berakar. Maka ketika kekuasaan VOC merosot dan hubungan dengan dunia
luar putus selama setengah abad lebih, penduduk lama-kelamaan melupakan iman
Kristen dan berbalik ke agama tradisional. Baru pada akhir abad ke-19 gereja
berhasil didirikan lagi. Dalam usaha ini pun, guru-guru dari Ambon-Lease
kembali memainkan peranan penting.
VOC
menancapkan kekuasaannya juga di beberapa daerah di luar Maluku, antara lain diNusa Tenggara Timur. Solor
dan ujung timur Pulau Flores mereka rebut pada tahun 1613. Di sini mereka
menemu kan ribuan orang Kristen yang digembalakan oleh beberapa pastor dari
Ordo Dominikan. Belanda segera mengirim dua orang pendeta, tetapi di sini upaya
Protestantisasi gagal, karena dua imam Dominikan diizinkan tetap tinggal di
tengah kawanan mereka. Akibatnya jemaat itu tetap Katolik, sehingga di kemudian
hari orang Portugis dapat kembali berkuasa di sana. Sekali lagi ternyata bahwa
orang Kristen Indonesia tidak bersifat pasif semata. Agama Katolik berurat
berakar di Flores dan di Timor Timur; di sini sejak abad ke-17 gereja malah
dipimpin oleh imam-imam pribumi. Di kemudian hari wilayah ini kembali dikuasai
oleh orang Portugis. Orang Belanda dapat bertahan hanya di Kupang (Timor). Di
sana pun mereka terus-menerus mengalami serangan dari orang Portugis. Serangan
ini baru berhenti ketika orang Portugis dikalahkan dalam pertempuran di daerah
Penfui, yang kini menjadi tempat lapangan terbang kota Kupang.
Cerita
mengenai pertempuran ini, yang dicatat setengah abad kemudian, sungguh menarik. Ketika diketahui bahwa tentara
Portugis sudah dekat, penduduk Kupang takut sekali. Wakil pemerintahan VOC di
sana malah melarikan diri. Tetapi pendeta setempat, seorang Belanda asli yang
sebenarnya berstatus guru Injil, mengumpulkan semua warga, orang Belanda,
Mardika, Timor, Rote Sawu, yang hadir di Kupang, dan berkotbah kepada mereka
mengenai nas Hakim-hakim 7:9. Ia menegaskan bahwa Tuhan akan memusnahkan
pasukan besar orang Portugis sebagaimana Dia pernah memusnahkan tentara Midian
melalui tangan Gideon. Demikianlah yang terjadi: orang Belanda dan sekutu
mereka dari Timor, yang kecil saja jumlahnya, menyerang bala tentara musuh di
tengah malam; dalam sekejap mata tentara itu menjadi kacau balau, sehingga mereka
saling membunuh. Yang tersisa melarikan diri dan untuk seterusnya ”amanlah
negeri itu” dari serangan orang Portugis.
Pertempuran
Penfui ini penting, karena memungkinkan agama Protestan tetap bertahan di Pulau
Timor. Tetapi peristiwa ini menarik juga karena memperlihatkan pola Kekristenan
yang berlaku pada zaman itu.
Ternyata orang Kristen Belanda zaman itu berorientasi pada Perjanjian Lama.
Allah mereka adalah Allah nasional, yang berada di pihak mereka sebagaimana
pernah Dia berpihak pada bangsa Israel. Perang melawan musuh bangsa sendiri
adalah perang suci. Pola berpikir ini tidak jauh dari pola berpikir suku-suku
Indonesia, sehingga orang Indonesia yang menjadi sekutu orang Belanda pun dapat memahaminya dan
dapat digairahkan oleh kotbah sang guru Injil. Para utusan Injil abad ke-19
akan membawa jenis Kekristenan yang lain, yang lebih individual sifatnya dan
yang berorientasi terutama pada Perjanjian Baru.
Akibat
kemenangan orang Belanda di Penfui, prestise mereka dan agama mereka meningkat.
Orang Timor tetap berpegang pada agama leluhur. Soalnya, orang Belanda tidak
berupaya secara sistematis untuk memperkenalkan agama Kristen kepada mereka.
Mereka tidak juga perlu memeluk agama Kristen karena alasan politik. Tanah
mereka luas dan kekuatan Belanda tidak seberapa. Sesudah 1760 kekuatan itu
malah merosot lagi, akibat kemunduran VOC, Sebaliknya,
beberapa raja di Pulau Rote
memutuskan untuk menjalin ikatan dengan para penguasa di Kupang dan karena itu
menyatakan bersedia menerima agama penguasa itu, yaitu agama Protestan.
Sejumlah guru berkebangsaan Indonesia dikirim ke Rote. Mereka inilah yang
selama dua abad memelihara jemaat Kristen di pulau itu. Perlu diperhatikan
bahwa di Rote yang menerima agama Kristen ialah lapisan atas masyarakat,
sekitar 20% penduduk. Yang lain-lain malah dicegah masuk. Kita tidak dapat
tidak menarik kesimpulan bahwa para raja masuk Kristen karena alasan politis
dan karena alasan politis juga membuat agama Kristen menjadi milik eksklusif
mereka sendiri. Ketika pada awal abad ke-19 utusan-utusan Injil yang baru
datang dari negeri Belanda berupaya menyebarluaskan agama Kristen di kalangan
rakyat, mereka malah ditentang. Baru sesudah 1950 seluruh penduduk Pulau Rote
masuk Kristen.
Lain lagi
sejarah kisah agama Kristen di Maluku Utara, Sulawesi Utara dan
Kepulauan Sangihe-Talaud. Di sini juga Gereja Gereformeerd menjadi
ahli waris Missi Katolik. Pada tahun 1607 Kompeni mendirikan benteng di
Ternate, 1654 di Manado, dan sesudah tahun 1662 pemerintah Spanyol di Manila
menarik tentara dari Sangihe-Talaud, karena Manila terancam oleh angkatan laut
Cina. Mereka meninggalkan kelompok-kelompok kecil orang Kristen di Ternate,
Manado, dan Talaud, serta kelompok lebih besar di Kepulauan Sangihe
(Tahulandang, Siau, Sangihe). Selama setengah abad lebih (1670-1730), karena
alasan politis dan ekonomis, Kompeni menaruh perhatian agak besar pada daerah
ini. Karena itu, jemaat-jemaat Kristen berhasil bertahan. Agama Kristen malah
meluas. Sejumlah raja di daerah pesisir Sulawesi Utara, termasuk Gorontalo dan Bolaang
Itam, meminta Kompeni agar melindungi mereka dari bajak laut dari Mindanao dan
tempat-tempat lain, dan sebagai tanda persahabatan menerima agama Kompeni,
yaitu agama Kristen Protestan. Pada tahun 1690-1691 seorang pendeta dari
Ternate mengunjungi semua jemaat di kawasan terebut, dari Buol di barat hingga
Pulau Kaburuang (Talaud) di utara. Menurut laporannya, jumlah warga Kristen
hampir 20.000 jiwa. Tetapi agama Kristen belum benar-benar berakar. Tercatat
bahwa jumlah anggota sidi di seluruh daerah itu cuma 75 orang, termasuk 26 guru
jemaat/sekolah yang ditempatkan di daerah tersebut. Orang dewasa dan anak yang
dibaptis selama perjalanan kunjungan ini 1.200, tetapi pasangan yang menikah di
gereja hanya 29. Maka tidak mengherankan kalau di banyak tempat agama Kristen
merosot lagi setelah kuasa VOC menciut. Kekosongan ini diisi oleh
penguasa-penguasa Islam, dan sejumlah raja Kristen beralih ke agama itu.
Sebaliknya, di Manado dan di Tahulandang serta Sangihe agama Kristen dapat
mempertahankan diri. Di sana jumlah orang Kristen lebih besar, sehingga di
bawah pimpinan raja dan guru setempat jemaat dapat bertahan meski untuk
sementara waktu hubungan dengan dunia luar putus. Sangir malah tidak dikunjungi
seorang pendeta atau utusan Injil selama 75 tahun. Namun, utusan Injil yang
berkunjung ke sana dalam tahun 1855 menemui jemaat Kristen yang mantap. Sekolah
pun tetap berjalan, meski anak-anak terpaksa memakai papan dari kayu putih
sebagai ganti kertas. Dalam abad ke-19, jemaat-jemaat di Sulawesi Utara dan
Kepulauan Sangihe ini menjadi titik tolak dalam pembangunan gereja regional
yang besar dan mantap.
Akhirnya
kita memperhatikan perkembangan Gereja Protestan di bagian
barat Indonesia. Di kawasan ini, Missi Katolik abad ke-16 tidak
berhasil mendirikan jemaat selain di kota Malaka. Pada masa VOC keadaannya
lain. VOC menjadikan kota Jayakarta (yang dinamakan Batavia karena Bataven merupakan nama suku German yang pernah
mendiami daerah Belanda Tengah) sebagai pusat wilayah kekuasaannya di Asia
Tenggara. Perdagangan dengan Jawa dan Sumatera semakin berkembang (beras,
timah, lada), sehingga didirikan pos perdagangan di sejumlah kota di pantai
utara Pulau Jawa dan di Palembang serta Padang. Di semua pos itu berdiri jemaat
Kristen; di Semarang dan Surabaya malah ditempatkan seorang pendeta. Tetapi
tidak pernah terpikir oleh siapa pun untuk menjadikan jemaat ini pangkalan
pekabaran Injil di tengah penduduk. Umpamanya, pada akhir abad ke-17 orang
Belanda menjalin hubungan dengan orang Batak dan malah mengikat perjanjian dengan
mereka. Tetapi hal ini tidak mendorong mereka untuk mengutus pekabar Injil ke
suku yang belum diislamkan itu. Tidak pernah juga Injil dibawa kepada orang
Jawa, kendati hubungan orang Belanda dengan mereka makin lama makin erat.
Pekabaran Injil dalam lingkungan orang Jawa baru dimulai sekitar tahun 1840,
itu pun bukan oleh Gereja Protestan, melainkan oleh orang swasta (Coolen,
Emde), kemudian oleh lembaga Pekabaran Injil (PI) di negeri Belanda.
Hanya
di Batavia keadaan berbeda sedikit. Kota ini berkembang menjadi kota besar,
dengan unsur Eropa yang relatif kuat. Maka jemaat pun berkembang, dan akhirnya
berjumlah 15.000 jiwa, sehingga Batavia merupakan jemaat Protestan yang paling
besar di seluruh Asia. Di sini juga untuk pertama kali di Asia dibentuk majelis
gereja (1619), yang notulanya selama masa VOC tersimpan sampai sekarang. Di
sini untuk pertama kali di Asia dirayakan Perjamuan Kudus menurut aturan
Protestan (3 Januari 1621). Jemaat terbagi atas tiga golongan, yang
masing-masing mempunyai wakil dalam majelis jemaat: orang Belanda dan
keturunannya, yang berbahasa Belanda, orang Mardika (bekas budak dari seluruh
Asia Tenggara dan keturunannya; mereka berbahasa Portugis), dan orang
Indonesia, yang pada umumnya bahasa Melayu. Tiap-tiap golongan dilayani dalam
bahasa sendiri dan memiliki gereja sendiri. Misalnya, gereja Sion di daerah
Jakarta Kota (dibangun 1696) adalah gereja jemaat berbahasa Portugis. Di
Batavia diadakan pula usaha membawa agama Kristen kepada warga kota
non-Kristen, yaitu orang Islam dan Tionghoa, yang menikmati sepenuhnya
kebebasan beragama. Dengan maksud itu, sekitar tahun 1630 Pendeta Heurnius
menyusun kamus Belanda-Tionghoa. Sekali-sekali ada orang Islam atau Tionghoa
yang masuk Kristen.
Batavia
merupakan pusat VOC. Kendati demikian, di kota itu, sama seperti di
daerah-daerah ”pinggir” di Indonesia Timur, kemunduran VOC membawa kemerosotan
agama Kristen. Pada akhir abad ke-18 kedudukan ekonomi golongan Mardika
merosot. Mereka semakin bercampur dengan penduduk ”Betawi” yang beragama Islam.
Ciri-ciri khas orang Mardika dalam hal pakaian, bahasa, dan agama menghilang.
Maka sekitar tahun 1810 ibadah dalam bahasa Portugis dihentikan dan sisa-sisa
golongan Mardika digabungkan dengan jemaat berbahasa Melayu, yang juga sudah
banyak berkurang. Bahkan jemaat Belanda pun merosot. Pernah jemaat Batavia
dilayani 11 orang pendeta; sekitar tahun 1810 tinggal satu orang pendeta saja.
Dengan demikian, jemaat di Batavia mengalami nasib yang selama sejarah Gereja
Kristen dialami oleh semua jemaat yang terdiri atas orang pendatang. Jemaat
tersebut dapat hidup terus hanya karena dalam abad ke-19 Belanda kembali
menancapkan kekuasaannya di Indonesia.
Meninjau
perkembangan yang digambarkan di atas, dapat saja timbul pertanyaan: apa
sebabnya kemajuan agama Kristen begitu kecil? Mengapa sesudah dua abad VOC
jumlah Kristen Protestan tidak melebihi seratus ribu jiwa? Mengapa sesudah dua
abad itu belum berdiri Gereja Protestan yang mantap? Dalam abad ke-19 dan ke-20
agama Kristen ditanamkan dan berkembang di wilayah luas di Indonesia Timur dan
di beberapa daerah lain, sehingga diletakkan dasar gereja-gereja regional yang
kuat. Mengapa proses serupa belum berlangsung dalam dua abad VOC berkuasa?
Padahal, dibandingkan dengan kurun masa 1800-1942, pada masa VOC ikatan gereja
dengan pemerintah jauh lebih erat.
Menjawab
pertanyaan ini, kita dapat mencatat beberapa faktor. Pertama, VOC merupakan
semacam negara. Tugas pokok sebuah negara ialah mengatur urusan dalam negeri.
Begitu pula, VOC sungguh-sungguh memperhatikan urusan gereja dan pekabaran
Injil, tetapi hanya dalam lingkungan pengaruh sendiri. Kompeni bukan lembaga
pekabaran Injil gaya abad ke-19, yang ingin menjadikan semua bangsa murid Yesus Kristus. Kalaupun
ada pendeta yang merasa terdorong untuk bekerja di dunia luas, dia tidak
memiliki sarana untuk, umpamanya, pergi ke Papua atau Halmahera, dan menetap di
sana. Gereja-gereja Protestan pun (berbeda dengan Gereja Katolik) berorganisasi
nasional (atau regional). Lagi pula, pada kurun masa ini gereja-gereja tersebut
belum memiliki lembaga-lembaga internasional seperti ordo-ordo Katolik, yang
pandangannya lebih luas daripada sekadar kepentingan nasional. Baru dalam abad
ke-19 akan muncul lembaga-lembaga PI Protestan, seperti NZG atau RMG, yang
memahami pesan Yesus dalam Matius 28:19 dan yang ingin melaksanakannya.
Tetapi
ada pula faktor lain yang mengganggu kemajuan Injil, khususnya di Indonesia
Timur. Pada zaman itu, orang Eropa belum menemukan cara untuk menghindari atau
menyembuhkan penyakit tropis. Akibatnya, banyak pendeta tidak tahan lama di
tempat tugas mereka. Misalnya, dalam kurun masa 1609-1800 dari 438 pendeta
Belanda yang datang ke Asia Tenggara, 219 atau 50 prosen meninggal sebelum
lewat lima tahun; 136 atau hampir sepertiga malah sebelum akhir tahun kedua sesudah
kedatangan mereka. Di Maluku Tengah dan Utara, jumlahnya 48 dan 26 dari 86
orang; di Banda malah 38 dan 25 dari 52 orang. Dalam keadaan ini memang sulit
untuk membangun gereja setempat. Separo lebih para pendeta yang datang ke
Indonesia Timur meninggal ketika baru saja mulai mahir bahasa Melayu dan
mengenal medan kerja mereka. Di Batavia keadaan lebih menguntungkan: dari 112
pendeta yang melayani jemaat di sana 69 bertahan enam tahun lebih, 26 malah dua
puluh tahun lebih. Tetapi jemaat Batavia bukan ”pribumi”; jemaat itu terdiri
atas pendatang semata, dari Eropa dan dari segala penjuru Asia Tenggara. Tidak
mungkinlah membangun jemaat seperti itu menjadi gereja nasional yang mantap.
Pertimbangan
tadi membawa kita ke faktor ketiga yang mengganggu pembangunan sebuah gereja
Indonesia asli di Indonesia Timur. Telah kita lihat bahwa penduduk Ambon,
Sulawesi Utara, Rote dan lain-lain tempat pada umumnya menerima agama Kristen
dengan sukarela, berdasarkan pertimbangan rasional dan tidak karena dipaksa.
Setelah berlangsung waktu cukup lama, agama itu juga merupakan sebagian
identitas mereka. Mereka tetap berpegang padanya dalam sela waktu antara
mundurnya VOC dan masuknya pemerintah Hindia Belanda (atau zending), yang dalam
hal Kepulauan Sangihe malah berlangsung hampir satu abad. Meskipun demikian,
harus diakui bahwa agama Kristen telah dibawa oleh orang asing. Yang lebih
parah, orang asing itu bukan rohaniwan atau utusan Injil, yang membawa Injil
lalu pergi lagi, melainkan penjajah yang menetap di Indonesia berabad-abad
lamanya. Pada umumnya penjajah, kapan pun dan di mana pun, tidak senang melihat
bangsa yang dijajah mandiri, di bidang agama pun tidak. Dalam pasal berikutnya
kita akan melihat bahwa orang Indonesia dapat memegang jabatan gereja dan
fungsi pimpinan, tetapi hanya di tingkat bawah. Pimpinan tertinggi selalu di
tangan pendeta Belanda – yang pada gilirannya diawasi dengan ketat oleh
pemerintah.
Kiranya
masalah ini bertambah jelas kalau kita membandingkan masuknya dan perkembangan
agama Kristen di Indonesia pada umumnya dan di Indonesia Timur pada khususnya
dengan sejarah agama Islam di wilayah ini. Sama seperti agama Kristen, agama
Islam datang dari luar dan mula-mula merupakan unsur asing dalam lingkungan
budaya Indonesia. Sama seperti agama Kristen, agama Islam sering diterima
secara sukarela, dan kadang-kadang karena dipaksa. Tetapi ada satu perbedaan
yang penting. Agama Islam diterima, apakah secara sukarela atau dengan
terpaksa, oleh raja dan penduduk yang merdeka. Setelah mereka menerimanya,
agama itu sungguh-sungguh milik mereka sendiri, yang mereka kembangkan sesuai
dengan kebutuhan mereka. Sebaliknya, selama masa kolonial, agama Kristen di
Indonesia, betapapun penduduk setempat menerimanya dengan senang hati dan
menganggapnya sebagai milik sendiri, unsur identitas sendiri, tetap diurus oleh
orang luar, yakni oleh para pendeta Belanda yang memimpin Gereja Protestan pada
masa VOC dan pada zaman Hindia Belanda. Maka agama Kristen tetap dapat dijuluki
”agama Belanda”. Zending abad ke-19 berhasil mengatasi faktor tersebut pertama
dan kedua. Sebaliknya, faktor ketiga ini tetap berlaku sampai akhir zaman
kolonial. Baru setelah Indonesia merdeka, gereja Indonesia dapat menjadi gereja
yang benar-benar mandiri, dan agama Kristen dapat menjadi salah satu agama nasional
Indonesia, di samping agama-agama Indonesia lainnya.
Organisasi
Gereja
Sama
seperti di semua gereja Protestan lainnya, kehidupan Gereja Protestan atau
Gereformeerd di wilayah VOC diatur oleh Tata Gereja. Tata Gereja
yang pertama diberlakukan pada tahun 1624. Tetapi segera muncul berbagai
persoalan, seperti hubungan gereja dengan pemerintah, dan boleh tidaknya semua
orang dewasa yang dibaptis segera turut merayakan Perjamuan Kudus. Karena itu,
pada tahun 1643 dikeluarkan Tata Gereja baru. Tetapi, Tata Gereja ini terutama
memperhatikan keadaan di Batavia, sehingga peraturan-peraturannya tidak sesuai
dengan keadaan di Maluku. Karena itu, pada tahun 1673 untuk daerah ini disusun
Tata Gereja Ambon, yang antara lain mengatur visitasi ke jemaat-jemaat luar dan
tugas guru-guru jemaat/sekolah.
Oleh
karena Gereja Protestan pada masa VOC bercorak Calvinis (nama resminya ”Gereja
Gereformeerd”), organisasinya memakai pola presbiterial. Maka yang merupakan
badan utama dalam organisasi gereja ialah majelis gereja, yang sama
seperti dewasa ini terdiri atas pendeta, penatua dan diaken. Anggota majelis
tidak dipilih oleh jemaat, tetapi diangkat oleh majelis sendiri dari antara
warga jemaat yang sudah disidi. Di Indonesia Timur, mayoritas besar jemaat
terdiri atas orang Indonesia asli, maka di sana orang Indonesia menjadi anggota
majelis di samping orang Eropa. Anggota pribumi ini biasanya diambil dari
golongan guru dan raja atau orangkaya (sesepuh desa). Umpamanya, guru besar
Thomas Rodrigos menjabat penatua di Ambon selama kurun masa 1658-1674.
Sebaliknya, di Batavia hanya orang Eropa dan keturunan mereka yang diangkat
menjadi majelis. Agaknya pimpinan jemaat mengambil kebijakan ini sebab
demikianlah kehendak pemerintah VOC. Berbeda dengan keadaan yang berlaku sekarang,
hanya jemaat-jemaat pusat yang mempunyai majelis. Yaitu, di Maluku: Banda
(mulai 1622), Ambon (1625), dan Ternate (1626). Di Indonesia Barat Batavia
(1619), di kemudian hari juga Semarang (sek. tahun 1700). Selain itu, ada juga
jemaat dengan majelis gereja di luar wilayah Indonesia yang sekarang, seperti
di Malaka dan di Srilanka. Majelis bertugas memperhatikan perilaku warga jemaat
dan jika perlu mengenakan disiplin gereja kepada mereka yang melanggar tata
susila Kristen. Para diaken mengurus bantuan kepada orang miskin, yang di
kota-kota, seperti Batavia, cukup luas, tetapi dalam masyarakat desa, seperti
di Maluku, tidak mempunyai arti besar.
Tugas-tugas
rutin tersebut dilaksanakan oleh semua majelis jemaat. Akan tetapi, majelis
Batavia mempunyai kedudukan istimewa. Karena berbagai sebab (antara lain karena
tidak dikehendaki oleh Kompeni) Gereja Gereformeerd di Asia tidak mengenal
rapat klasis atau sinode. Namun, diperlukan badan yang memegang urusan-urusan
yang tidak dapat diselesaikan oleh jemaat tersendiri. Maka urusan-urusan ini
dipercayakan kepada majelis gereja di Batavia, yang dengan demikian mengemban
tugas yang dewasa ini diemban oleh Badan Pekerja Sinode. Dari seluruh wilayah
VOC, yang terbentang dari India Selatan sampai ke Jepang, jemaat-jemaat
mengirim laporan tahunan dan surat-surat ke Batavia. Kemudian majelis Batavia
mengirim ringkasan laporan dan surat tersebut ke negeri Belanda. Karena itu,
arsip majelis Batavia, yang tersimpan sekarang, sangat kaya akan data mengenai
sejarah gereja di Indonesia, bahkan di seluruh wilayah VOC, dalam abad ke-17
dan ke-18. Surat-surat dari, misalnya, Ambon ke gereja di negeri Belanda pun
harus dikirim dengan perantaraan Batavia. Majelis Batavia juga mengatur,
bersama dengan pemerintah VOC, penempatan para pendeta. Tidak mungkin
menyerahkan urusan ini kepada majelis setempat, sebab jika para pendeta bebas
memilih sendiri tempat tugasnya, daerah yang terpencil, atau yang terkenal
tidak sehat, seperti Banda, pasti tidak mungkin memperoleh seorang pelayan
Firman.
Dalam
kurun masa 1605-1800, gereja di wilayah VOC dilayani oleh lima ratus lebihpendeta. Hampir tanpa
kecuali mereka adalah orang Belanda totok. Dalam lingkungan Gereja Protestan,
baru dalam abad ke-20 orang Indonesia dapat mengikuti pendidikan teologi dan
diangkat menjadi pendeta berwenang penuh. Tugas utama para pendeta Eropa itu
ialah memberitakan Firman dalam ibadah gereja dan melayankan sakramen Baptisan
dan Perjamuan Kudus. Di samping itu, bersama para penatua mereka mempertahankan
disiplin gereja dan melakukan kunjungan ke rumah warga jemaat, khususnya bila
orang sedang sakit atau perlu ditegur. Pengajaran katekisasi juga termasuk
tugas mereka, tetapi sering diserahkan kepada seorang guru jemaat. Dengan
demikian, tugas seorang pendeta pada zaman itu tidak jauh beda dari tugas
seorang pendeta Gereja Protestan dewasa ini.
Akan
tetapi, pada zaman itu, bahkan sampai abad ke-20, pendeta-pendeta Protestan di
Indonesia mengemban tugas khusus, yaitu
melakukan kunjungan ke jemaat-jemaat yang tidak mempunyai pendeta atau majelis
sendiri. Umpamanya, secara teratur salah seorang pendeta Batavia harus pergi
melakukan visitasi (demikian istilahnya) di pos-pos perdagangan Kompeni di
pantai Sumatera, Padang, Palembang, dan lain-lain. Pendeta Ternate wajib
mengunjungi semua jemaat di Sulawesi Utara dan kepulauan Sangihe-Talaud.
Pendeta di kota Ambon harus dua kali setahun melakukan visitasi semua jemaat di
Pulau Ambon dan di pantai selatan Seram. Pada masa tidak ada pendeta di Haruku
dan Saparua, wilayah pelayanan pendeta Ambon juga mencakup jemaat-jemaat di
pulau-pulau Lease. Pendeta Banda harus menaruh perhatian pada jemaat-jemaat di
Maluku Selatan. Sampai puluhan kampung yang harus dikunjungi dalam satu kali
visitasi, yang dengan demikian dapat memakan waktu berminggu-minggu, bahkan
berbulan-bulan. Di tiap-tiap kampung pendeta tinggal satu dua hari. Dalam waktu
singkat itu dia memeriksa keadaan sekolah, mendengar laporan guru mengenai
perilaku penduduk, termasuk raja dan orangkaya, mencoba meleraikan perselisihan
yang mungkin ada, menguji calon
sidi, melayankan baptisan kepada anak-anak yang lahir sejak kunjungan terdahulu
dan kepada orang dewasa yang ingin masuk Kristen, mengawinkan pasangan yang
hendak menikah, dan merayakan Perjamuan Kudus, yang didahului oleh ibadah ”perhadliran”
(persiapan) serta disusul oleh kebaktian pengucapan syukur. Pola yang
digambarkan di sini berlaku terus hingga paroan pertama abad ke-20. Baru ketika
setiap kampung yang cukup besar dilayani seorang pendeta yang bewenang penuh,
perjalanan kunjungan seperti ini tidak diperlukan lagi. Di daerah yang
berbukit-bukit sang pendeta dipikul dari kampung yang satu kepada yang lain
dalam sebuah tandu. Meskipun demikian, tugas visitasi ini berat dari sudut
jasmani dan rohani. Dalam abad ke-18, ketika jumlah pendeta berkurang dan
kekuasaan VOC merosot, visitasi diabaikan, sehingga ada jemaat yang tidak
dikunjungi selama sepuluh tahun lebih. Sesudah tahun 1760, daerah pinggir malah
sama sekali terlantar. Hanya jemaat-jemaat di daerah pusat tetap dikunjungi secara
teratur.
Masih
perlu ditambahkan bahwa ada pendeta yang juga menyediakan sarana katekisasi dan
ibadah, seperti buku katekisasi, kitab mazmur, kumpulan kotbah tercetak, dan
tentu juga terjemahan Alkitab dan bahasa Melayu dan Portugis, sekali-sekali juga
dalam bahasa daerah (Saparua, Sangihe). Pendeta diharapkan menguasai bahasa
setempat (di Srilanka, bahasa Sinhala dan Tamil, di Indonesia, bahasa Melayu
dan Portugis). Kalau di bidang ini mereka rajin, pemerintah VOC memberi mereka
hadiah khusus. Hasil karya mereka
ini akan dibicarakan di bawah.
Telah
kita lihat bahwa sebagian besar jemaat Kristen, khususnya di Indonesia Timur,
tidak mempunyai majelis gereja dan jarang dikunjungi seorang pendeta – paling
banter dua kali setahun. Namun, di jemaat itu pun terdapat kehidupan gereja
yang teratur, berkat kehadiran guru, yang ditempatkan di
tiap-tiap kampung yang menerima agama Kristen. Di Maluku Tengah, mereka diambil
dari orang pribumi, apakah golongan mardika (burger)
atau orang Ambon asli. Maluku Tengah juga merupakan pesemaian bagi
daerah-daerah lain. Jemaat di Sulawesi Utara, Maluku Selatan, dan NTT sebagian
besar dilayani guru dari Maluku Tengah. Selama masa VOC tidak ada sekolah
pendidikan guru. Biasanya calon guru selama beberapa tahun ditampung dalam rumah
seorang pendeta. Pendeta mengajarkan asas-asas ilmu teologi kepadanya dan
sering murid itu belajar juga membaca bahasa Belanda, sehingga mereka dapat
mempelajari buku-buku Belanda. Di
samping itu mereka dilatih dalam bahasa Melayu, yang nanti harus mereka pakai
sebagai bahasa pengantar dalam gereja dan sekolah. Bila pengetahuan mereka
dianggap sudah memadai, mereka diberi tempat kerja sebagai ganti guru yang
telah meninggal atau yang dipindahkan ke tempat lain. Biasanya mereka mula-mula
menjadi ondermeester, guru muda.
Jika pekerjaan mereka memuaskan, mereka dapat diangkat menjadi guru. Yang
paling cakap dapat memperoleh kedudukan oppermeester atau ”guru besar” (di Ambon dan di
Saparua masing-masing satu orang). Mereka ini mengawasi sekolah-sekolah di resor
mereka; sering menyertai pendeta dalam perjalanan visitasi, dan memimpin ibadah
di gereja pusat bila tidak ada seorang pendeta. Mereka juga menjadi ”kantor”,
artinya mereka memimpin nyanyian jemaat.
Tugas
guru biasa cukup luas. Pertama, mereka memimpin sekolah, enam hari dalam
seminggu (hanya Rabu sore dan Sabtu sore sekolah tutup). Mata pelajaran ialah
membaca, menulis, berhitung, dan bernyanyi serta agama. Sifat sekolahnya tidak
seperti dewasa ini. Tujuan utamanya bukan membuat anak-anak pandai, melainkan
mempersiapkan mereka menjadi warga jemaat. Dalam mata pelajaran membaca, yang
menjadi buku bacaan setelah bahan kitab eja dikuasai ialah Alkitab dan kitab
katekisasi. Dalam bernyanyi, anak-anak diajar menyanyikan mazmur-mazmur yang
dipakai dalam ibadah gereja. Dalam pelajaran agama, mereka tidak diperkenalkan
dengan dunia agama-agama, tetapi disuruh menghafal rumus-rumus pokok agama
Kristen dan soal-jawab katekismus. Maka seluruh pengajaran bersifat religius.
Jadi, wajar saja kalau guru merangkap penghantar jemaat. Tugas utamanya sebagai
guru jemaat ialah memimpin ibadah gereja pada hari Minggu pagi, dan doa malam
yang diadakan pada hari Rabu, Sabtu (”kunci usbu”, kata orang Maluku) dan
Minggu. Dalam ibadah pada hari Minggu, guru berkotbah, tetapi berlaku larangan
membawakan kotbah sendiri. Para pendeta menyediakan kotbah dalam bentuk
tertulis atau tercetak; kotbah itulah yang harus dibacakan. Di samping memimpin
ibadah, guru memberi pelajaran agama kepada anak yang sudah menamatkan sekolah,
sampai mereka siap untuk disidi oleh pendeta bila ia ini mengunjungi kampung
dalam perjalanan visitasi. Dalam semua kegiatan ini guru memakai bahasa Melayu,
yang bagi anak-anak sekolah di luar kota Ambon merupakan bahasa asing. Ibadah
pun diadakan dalam bahasa Melayu.
Di
jemaat Batavia yang besar, yang dilayani sejumlah besar pendeta, tugas para
guru tidak seluas di Indonesia Timur. Ada yang mengajar di sekolah, ada pula
yang memberi pengajaran agama (katekisasi). Peranan guru jenis terakhir ini
penting sekali. Murid mereka tidak berkumpul pada jam-jam tertentu di ruang
katekisasi, seperti halnya di jemaat kampung di Maluku, tetapi dikunjungi di
rumah. Karena itu, guru-guru ini mendapat gelar mester
keliling. Pada tahun 1706 di kota Batavia terdapat 34 guru, yang
melayani 4.800 orang, di antaranya 4.400 yang berbahasa Portugis dan 300 lebih
yang berbahasa Melayu. Salah seorang guru katekisasi ialah Cornelis Senen, yang
namanya (lebih tepat: gelarnya) hingga sekarang dipanggil oleh kenek bis yang
menuju Jatinegara (sampai tahun 1945: Meester Cornelis).
Masih
perlu dicatat bahwa di samping para guru pribumi ada pula tenaga Eropa yang
melayani jemaat, namun tidak menjadi pendeta berwenang penuh. Mereka disebutziekentrooster, ”penghibur
orang sakit”. Mereka terutama menyediakan pelayanan rohani di kapal-kapal
Kompeni, tetapi sekali-sekali mereka ditempatkan di jemaat sebagai tenaga
bantu, yang melakukan penggembalaan dan memberi katekisasi. Mereka juga boleh
memimpin ibadah bila tidak ada seorang pendeta, tetapi sama seperti para guru
mereka dilarang membawakan kotbah sendiri.
Kita
menarik kesimpulan. Secara formal, Gereja Protestan pada masa VOC mempunyai
Tata Gereja Calvinis: ada majelis, ada jabatan pendeta, penatua, dan diaken. Di
jemaat pusat, seperti Batavia atau kota Ambon, pola presbiterial ini memang
sedikit banyak berlaku. Tetapi di kawasan Indonesia Timur pola organisasi
gereja lebih mirip yang berlaku dalam Gereja Katolik dan Ortodoks Timur.
Pendeta di jemaat pusat bagaikan uskup, yang membawahkan sejumlah besar jemaat
dan yang memiliki wewenang yang tidak dimiliki pemimpin jemaat setempat.
Pemimpin jemaat lokal (guru), yang notabene merupakan tulang punggung gereja, merupakan bawahan pendeta dan harus
menaati perintahnya. Hanya pendetalah yang boleh melayankan sakramen, hanya
dialah yang dapat menerima anggota sidi. Praktik ini melanggar asas Tata Gereja
presbiterial, yaitu bahwa jabatan yang satu dan jemaat yang satu tidak boleh
berkuasa atas jabatan dan jemaat lain. Keadaan bertambah parah karena garis
pemisah antara jabatan yang ”tinggi” dan yang ”rendah” bertindih tepat dengan
garis pemisah antar ras. Selain itu, perlu dicatat bahwa dalam kehidupan
bergereja warga jemaat, khususnya warga yang berkebangsaan Indonesia, menjadi
obyek semata. Mereka tinggal mendengarkan kotbah pendeta, dari mulutnya sendiri
atau lewat mulut guru jemaat; mereka harus takluk pada disiplin yang dijalankan
oleh pendeta; mereka tidak berpengaruh pada kebijakan yang ditempuh dalam
jemaat dan dalam gereja sebab mereka tidak dapat memilih anggota majelis. Maka
timbul pertanyaan, bagaimana kehidupan rohani jemaat dan warga jemaat?
Kehidupan
Jemaat
Selama
dua abad, tenaga gereja tersebut di atas dan pemerintah VOC bersama-sama
berupaya membangun gereja di Asia Tenggara pada umumnya dan di Kepulauan
Nusantara pada khususnya. Pembangunan ini pertama-tama menyangkut prasarana
fisik. Pada masa Portugis, gereja dan sekolah hanya terdapat dalam
lingkungan benteng (Ternate, Ambon, Solor). Keadaan perang membuat tidak
mungkin membangun gedung gereja di luarnya; lagi pula para rohaniwan yang
berwenang memimpin ibadah (Misa) pada umumnya tinggal di benteng itu. Sesudah
jemaat menjadi Protestan, pemerintah dan pimpinan gereja mendorong penduduk
kampung Kristen agar membangun gereja, sekolah, dan rumah guru. Mula-mula
gereja-gereja itu dari kayu, tetapi lama-lama berdirilah gereja dengan tembok
yang tebal, seperti di Paperu (Saparua). Di kota-kota berdiri gedung yang
mewah, misalnya Gereja Portugis (Sion) di Batavia, yang dibangun tahun 1695 dan
yang tetap berdiri hingga sekarang, Gereja Besar di Ambon, atau Gereja
Wolvendaal di Colombo (Srilanka), yang juga tetap berdiri. Sekolah juga
dipentingkan, bukan untuk mendidik elite kecil saja, melainkan sebagai sarana
pendidikan rakyat. Menurut keyakinan Protestan seharusnya tiap-tiap warga
jemaat melek huruf, sehingga ia dapat dapat membaca Alkitab. Dalam hal ini VOC,
sebagai pemerintahan Kristen, bekerja sama dengan gereja. Biasanya gubernur
menyuruh penduduk sebuah kampung agar mereka membangun gedung sekolah, dan guru
yang ditempatkan di kampung itu digaji oleh negara. Akibat kebijakan ini,
jumlah sekolah naik dengan pesat. Di Ambon-Lease, misalnya, jumlah sekolah naik
dari 18 pada tahun 1643 menjadi 26 (1644), 33 (1645) dan 35 (1648). Sekitar
tahun 1800 tiap-tiap negeri (kampung) Kristen di Ambon-Lease dan Seram Selatan
mempunyai gereja yang kokoh dan gedung sekolah. Di daerah luar, seperti
misalnya Sulawesi Utara atau Sangihe-Talaud, juga ada gereja dan sekolah,
tetapi gedungnya jauh lebih sederhana.
Untuk
membangun gereja Kristen, di samping menyediakan gedung-gedung, perlu memper
kenalkan orang dengan Firman Tuhan dan dengan ajaran gereja yang berdasarkan
Firman itu. Untuk itu warga dikumpulkan dalam ibadah. Dikatakan
”dikumpulkan”, bukan ”berkumpul”, karena ternyata tidak mudah untuk membiasakan
orang menghadiri ibadah gereja secara teratur. Dalam hal ini pun pemerintah
memainkan peranan. Menurut Tata Gereja Ambon (1673) orang yang datang terlambat
didenda satu schelling (30 sen), sedangkan yang sama sekali
tidak muncul mendapat denda setengah ringgit (yang pada zaman itu merupakan
jumlah yang cukup besar).
Hanya
di tempat tinggal seorang pendeta ibadah itu dipimpin oleh pendeta. Jika ia ini
menghadapi jemaat berbahasa Belanda, ia dapat memakai bahasa Belanda. Tetapi di
wilayah VOC orang Belanda merupakan minoritas kecil saja. Jadi, agar pendeta
dapat dipahami oleh pendengarnya, ia harus memakai bahasa penduduk setempat.
Akan tetapi, di beberapa daerah jumlah bahasa begitu besar, sehingga tidak
mungkin mempelajarinya semua. Maka dipakai bahasa pergaulan, biasanya bahasa
Melayu, yang dipakai di seluruh Nusantara sebagai bahasa dagang dan yang di
Indonesia Timur menjadi juga salah satu wahana agama Islam. Karena di Indonesia
Timur Gereja Protestan juga menerima bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar,
gereja itu tanpa menyadarinya ikut mendorong perkembangan bahasa Melayu menjadi
bahasa nasional Indonesia. Jika tidak hadir seorang pendeta – jadi, di
mayoritas besar jemaat-jemaat – ibadah dipimpin oleh seorang guru. Meski pada
umumnya dia menguasai bahasa daerah, dia juga harus memakai bahasa Melayu.
Tata
ibadah mengikuti dengan ketat kebiasaan gereja Calvinis di negeri Belanda.
Ibadah utama, pada hari Minggu pagi, mulai dengan pembacaan satu bab dari Alkitab.
Mula-mula dipakai terjemahan darurat, yang dibuat oleh pendeta setempat. Tetapi
pada tahun 1629 seorang pegawai VOC menerbitkan terjemahan Injil menurut
Matius, dan sejak tahun 1663 tersedia seluruh Perjanjian Baru dalam terjemahan
Melayu yang dikerjakan oleh Pdt. Daniel Brouwerius. Terjemahan ini banyak memakai
istilah-istilah Portugis yang merupakan warisan para misionaris Katolik.
Pengaruh bahasa Portugis ini tampak dalam istilah seperti ”Deos” (Allah),
”Spirito” (Roh), ”Apostolo” (rasul), ”crus” (salib). Maka belum tentu hadirin
memahami sepenuhnya bagian Alkitab yang dibacakan kepada mereka. Bagi sebagian
besar mereka bahasa Melayu bagaimanapun merupakan bahasa asing; apalagi bahasa
Melayu yang diselingi kata-kata Portugis in. Pada abad ke-18 terbit terjemahan
Perjanjian Lama dan Baru karangan Pendeta Leijdecker. Dibandingkan dengan
terjemahan Brouwerius, terjemahan ini lebih sulit untuk dipahami, karena banyak
memakai istilah bahasa Arab dan Persia. Meskipun demikian, di kalangan orang
Kristen Maluku Alkitab Leijdecker dipandang sebagai penjelmaan Kitab Suci.
Ketika dalam abad ke-19 terbit terjemahan Klinkert, yang lebih mudah untuk
dipahami (1879), orang mereka tidak mau menerimanya. Arti terjemahan Leijdecker
bagi perkembangan kosakata Kristen di Indonesia besar sekali. Untuk jemaat
berbahasa Portugis di Batavia tersedia Alkitab bahasa Portugis, yang
diterjemahkan oleh Pendeta Ferreira, seorang Portugis asli yang masuk Protestan
dan menjadi pendeta di Batavia. Hingga abad ke-20, terjemahan ini dipakai oleh
orang Protestan di Portugal dan Brasilia.
Sesudah
pembacaan Alkitab menyusullah Kesepuluh Perintah dan Keduabelas Pasal Pengakuan
Iman Rasuli. Jemaat menyanyikan mazmur, lalu pemimpin kebaktian berdoa dan
membawakan kotbah. Sama seperti
sekarang, pendeta diharapkan mengucapkan kotbah sendiri. Sebaliknya, guru tidak
dipercayakan menyusun kotbah sendiri. Maka kepadanya diberikan kotbah tertulis
yang disusun oleh pendeta yang menjadi atasannya; kotbah itu yang harus ia
bacakan. Lama-lama terbit buku-buku berisi kotbah tercetak, yang kemudian
dibagikan kepada para guru. Yang paling terkenal ialah kitab kotbah karangan
Pendeta F. Caron (terbit 1678), yang di Maluku dipakai sampai dalam paroan
kedua abad ke-19. Tentu jumlah kotbah tercetak terbatas saja, sehingga warga jemaat
terpaksa mendengarkan kotbah yang sama sekian kali. Agaknya di kemudian hari
aturan ini tidak lagi dipertahankan dengan ketat, sehingga guru-guru yang
berbakat dibiarkan membawakan kotbah buatan mereka sendiri. Demikianlah kesan
yang diperoleh dari berita para utusan Injil yang datang ke Ambon pada awal
abad ke-19.
Untuk
memberi kesan mengenai isi kotbah dalam abad ke-17, di sini disajikan petikan
sebuah kotbah Pendeta Sebastiaan Danckaerts (1593-1634), yang diucapkan sekitar
tahun 1619. Danckaerts melayani di Maluku 1616-1622 dan di Batavia 1622-1634.
Ejaan disesuaikan dengan ejaan Bahasa Indonesia modern.
Marilah sekarang ini beta ajar pada
tuan-orang, bagaimana kita orang minta doa betul, lagi seperti sudah harus. Itu
ada guna besar sekali-kali pada tuan-orang Ambon, yang sudah lama sudah banyak
tahun sudah dengar Tuhan Deos yang kebesaran punya perkataan, lagi pura-pura
dengan bibir mulut juga sudah ngaku agama Kristen, atau pakai nama Nasrani;
hanya, hampir satu pun tidak, sudah ajar bagaimana dia berdoa betul seperti
sudah harus. Malu beta kata-kata ini, hanya malu lebih pada tuan-orang siapa
pada beta akan buat itu. Begitulah kami minta tuan-orang beri telinga dengan
hata pada perkataan kami baik-baik, karena ada mengapa sungguh-sungguh.
Maka
agar tuan orang mengerti terus, perkara apa, atau cara apa, lagi pada yang
siapa mesti kita-orang berdoa atau minta doa, beta tuturkan dahulu yang
siapa-siapa sudah salah pada perkara ini, agar tuan orang sampai sekarang ini
lagi sudah berdoa salah, tinggalkan sungguh dan benar sekali-kali perkara itu
yang salah.
Mula-mula
yang gentio [kafir] lagi kafir semua minta doa salah lagi saja juga. Karena dia
orang menyembah lagi minta doa pada barang berhala; dia orang menyembah lagi
minta doa pada mas, perak, kayu atau batu, yang ada mata, hanya tidak tahu
lihat, yang ada telinga, hanja tidak tahu mendengar. […]
Perkara
ini, engkau orang Ambon, sudah salah besar dan banyak perkara, tatkala bukan
kenal pada Tuhan Deos yang besar, atau bukan dengar dia punya perkataan lagi.
[…] Karena itu, ingat-ingatlah. Jikalau orang itu, yang menyembah pada berhala,
pada mas, perak, kayu, lagi barang warna begitu, ada minta-doa saja, lagi salah
lebih pada orang itu, yang menyembah pada binatang, pada hewan, kuda sapi etc.,
pada burung, ikan, sayur, api, etc., kepada nitu satu, kepada saitan, lagi
berdoa atau minta-doa akannya kira-kiralah itu dalam hatimu baik sekali-kali, o
orang Ambon, maka ajar sekali baik-baik pada yang siapa sudah harus berdoa. […]
Bagi kita
sekarang sulit untuk menilai sampai seberapa jauh bahasa kotbah ini sesuai
dengan bahasa Melayu yang dipakai di Maluku pada awal abad ke-17, atau seberapa
jauh para pendengar dapat memahami maksud Pdt. Danckaerts. Menurut berita dari
zaman itu, kotbahnya digemari oleh orang Ambon asli. Bagaimanapun, jelas bahwa
para pendeta mula-mula masih memakai istilah-istilah Portugis yang telah
diperkenalkan oleh misionaris Katolik. Baru dengan adanya terjemahan Leijdecker
istilah-istilah itu diganti oleh kosakata Ibrani/Arab yang lazim dipakai sampai
sekarang. Jelas juga bahwa pendeta zaman itu bukan tidak mengenal pandangan
dunia orang Ambon (pemakaian kata nitu). Ternyata ia
bersikap negatif terhadap pandangan dunia itu. Itulah memang benang merah dalam
pemberitaan Firman oleh pelayan-pelayan Gereja Protestan zaman itu dan dalam
kebijakan pemerintah VOC: agama tradisional adalah penyembahan berhala, bahkan
penyembahan iblis, maka agama tradisional itu harus diberantas dan dimusnahkan.
Kotbah
disusul Nyanyian Mazmur dan diakhiri dengan doa dan berkat.
Dalam abad ke-17 sejumlah mazmur diterjemahkan dan dipakai dalam ibadah.
Tetapi, sama seperti Alkitab Perjanjian Lama, begitu pula kitab Mazmur lengkap
baru tersedia sesudah satu abad lebih. Pada tahun 1735 Pendeta Werndly, yang
berasal dari negeri Swis, menerbitkan Kitab Mazmur yang lengkap disertai
sejumlah nyanyian rohani (yaitu yang diperbolehkan dalam Gereja Calvinis zaman
itu), dengan judul Sji’r, segala mazmur-mazmur Daud dan
pudjian-pudjian jang lajin. Terkarang atas titah segala Toewan Pemarentah
Kompanija. Judul ini pun memperlihatkan peranan besar pemerintah
VOC dalam kehidupan gereja. Pdt. Werndly mengerjakan karyanya ini atas perintah
(mungkin lebih tepat: dengan seizin) pemerintah, dan pemerintah juga yang
membiayai pencetakannya. Selama masa VOC tidak terbit buku nyanyian lain. Baru
para utusan Injil abad ke-19, yang dijiwai pola kesalehan yang berbeda dari
kesalehan Calvinis lama, akan menghasilkan pula nyanyian gereja yang baru.
Di
jemaat kota, sakramen dirayakan secara teratur. Pada masa
itu Gereja Gereformeerd biasa membaptis anak-anak pada hari Minggu yang pertama
sesudah tanggal kelahiran mereka. Jadi, hampir setiap minggu ibadah mencakup
upacara pembaptisan. Perjamuan Kudus dirayakan tiga bulan sekali, sesuai dengan
kebiasaan di negeri Belanda. Lain halnya di jemaat kampung. Penghantar jemaat,
sang guru, tidak berwenang melayankan sakramen. Maka baptisan dan Perjamuan
Kudus dapat dilayankan hanya pada waktu seorang pendeta datang berkunjung. Di
jemaat-jemaat yang dekat kota, tokoh ini datang dua kali setahun. Di jemaat
yang letaknya lebih jauh, paling banter setahun sekali. Di jemaat-jemaat pinggir dapat saja selama
bertahun-tahun tidak muncul seorang pendeta, disebabkan perhubungan yang sulit,
kurangnya tenaga pendeta yang tersedia, dan kematian dini banyak pendeta yang
baru mulai berpengalaman. Keadaan bertambah parah ketika VOC dan gerejanya
merosot (sesudah tahun 1750). Ketika Joseph Kam tiba di Ambon (1815) di kota
Ambon saja ada tiga ribu anak yang belum dibaptis. Maklumlah selama 22 tahun
sebelumnya hanya beberapa bulan lamanya hadir seorang pendeta, sedangkan utusan
Injil berkebangsaan Inggris yang melayani jemaat selama masa pemerintahan
Inggris (1811-1815) adalah seorang Baptis, yang menolak pembaptisan anak-anak.
Maka dalam sepuluh bulan pertama pelayanannya di Ambon, Kam membaptis 7.553
anak dan orang dewasa.
Pelayanan
sakramen terikat pada syarat-syarat tertentu. Orang dewasa yang hendak dibaptis
harus lebih dahulu menempuh ujian mengenai pengetahuan mereka tentang ajaran
Kristen (lihat di bawah). Tentu perilaku mereka juga diawasi. Dalam hal
anak-anak, orang membedakan antara yang lahir dari pernikahan yang sah dan yang
tidak sah. Kategori terakhir juga dibaptis, tetapi dalam kebaktian tersendiri.
Dalam kunjungannya ke jemaat-jemaat kampung, Pdt. Joseph Kam pada awal abad
ke-19 biasa membaptis anak-anak sah dalam ”ibadah perhadliran” pada malam hari
yang pertama, sedangkan anak-anak tidak sah dibaptis dalam kebaktian yang
terakhir, bersamaan dengan pengucapan syukur yang menutup perayaan perjamuan.
Dalam hal Perjamuan Kudus juga timbul masalah. Menurut aturan yang berlaku
dalam gereja induk di negeri Belanda, semua anggota sidi boleh turut
merayakannya, termasuk mereka yang dibaptis pada umur dewasa, tentu dengan
syarat mereka tidak kena disiplin gereja. Tetapi dalam praktek ternyata bahwa,
karena berbagai sebab, gereja membaptis juga orang dewasa yang pengetahuannya
minim sekali dan yang belum berperilaku Kristen. Misalnya (di Batavia), wanita
pribumi yang kumpul kebo dengan tuan-tuan Belanda. Atau, di daerah terpencil,
penduduk salah satu kampung yang beralih ke agama Kristen, namun tidak sempat
dipersiapkan dengan matang karena tidak tersedia tenaga. Bukankah kekudusan
sakramen akan dilanggar jika mereka diberbolehkan ikut? Maka dalam Tata Gereja
tahun 1643 ditetapkan bahwa orang yang masuk Kristen baru boleh turut
merayakannya bila mereka sendiri menyatakan niatnya dan mengikuti pelajaran
agama lebih lanjut – yang tentu tidak selalu sempat diberikan atau mau
diterima. Gereja di negeri Belanda protes. Maka dalam Tata Gereja Ambon (1673)
perkara ini tidak disinggung. Namun demikian, Gereja Protestan di Indonesia
tetap berpegang pada kebiasaan pemisahan sakramen ini, yang malah berlaku hingga abad
ke-20.
Di
samping ibadah gereja, ada sarana pengkristenan lain lagi, yaitu sekolah.
Gereja-gereja yang berasal dari Reformasi Protestan mementingkan imamat am
semua orang percaya. Tiap-tiap orang Kristen diharapkan mempunyai hubungan
langsung dengan Tuhan. Firman Tuhan itu, yang memperkenalkan diri-Nya dan
kehendak-Nya, tercantum dalam sebuah buku, yaitu
dalam Kitab Suci. Agar warga sanggup membaca Kitab
itu, gereja dan negara bersama-sama giat mendirikan sekolah, di Asia seperti di
Eropa. Karena tujuan tersebut tadi, membaca merupakan mata pelajaran pokok. Di
samping itu, anak-anak belajar menyanyi, agar dalam ibadah mereka dapat turut
menyanyikan mazmur. Dinamika sosial ekonomi negara-negara Protestan seperti
negeri Belanda dan Inggris membuat warga masyarakat perlu juga pandai menulis
dan berhitung. Maka kepandaian itu pun diajarkan di sekolah, meski dapat
ditanyakan sampai seberapa jauh para tamatan sempat mempraktikkannya. Di kota
Batavia pasti berguna jika orang pandai menulis dan berhitung. Tetapi di
Indonesia Timur buku-buku merupakan barang langka, sedangkan ekonomi desa masih
pada tingkat sangat sederhana. Untuk menangkap ikan atau bercocok tanam, rakyat
tidak perlu membaca, berhitung pun tidak. Lagi pula, kebijakan VOC, yang
memonopoli seluruh perdagangan, tidak mendorong (malah boleh dikatakan
menghalangi)perkembangan kelas menengah pribumi (kelas menengah Eropa pun
tidak) yang berjiwa wiraswasta. Maka dapat diduga bahwa sebagian besar
anak-anak melupakan pelajaran yang telah mereka peroleh begitu mereka tamat sekolah.
Bagaimanapun,
jelas bahwa sifat sekolah pada zaman itu berbeda dari sifat sekolah (termasuk
sekolah Kristen) pada zaman kita ini, juga dari sekolah Kristen. Tujuan
utamanya bukan membuat anak-anak pandai, melainkan mempersiapkan mereka menjadi
warga jemaat. Tujuan ini nyata juga dalam bahan bacaan yang dipakai dalam mata
pelajaran membaca, yang terdiri atas tulisan-tulisan religius semata. Dalam
tingkat pertama, anak membaca doa-doa Kristen sambil menghafalkannya. Di
tingkat kedua dipakai buku soal-jawab mengenai ajaran Kristen (katekismus) yang
singkat, dan dalam tingkat yang ketiga Katekismus Heidelberg. Di samping itu,
Alkitab dan kotbah-kotbah tercetak juga menjadi bahan bacaan. Pada tahun 1682
terbit sebuah buku pelajaran yang berjudul Sourat ABC, jang bergouna banja capada
anac bouda-bouda (untuk
anak muda). Isinya huruf roman dan kursif, sejumlah suku kata (yang agaknya
dipakai untuk pelajaran pertama), kemudian Kesepuluh Perintah, Keduabelas Pasal
Pengakuan Iman Rasuli, Doa Bapa Kami, kata-kata penetapan Perjamuan Kudus, doa
pagi dan malam, doa sebelum dan sesudah makan, Mazmur 100 (bersajak), dan
bilangan-bilangan. Sesuai pedagogik zaman itu, semua itu perlu dihafal. Dapat
disimpulkan bahwa yang disajikan di sekolah bukan ”pengetahuan umum”yang
bersifat ”netral”. Sebagaimana seluruh kehidupan diresapi agama, begitu pula
halnya dengan sekolah. Seluruh pelajaran adalah pelajaran agama.
Pimpinan
gereja dan negara zaman itu bukan tidak sadar bahwa sebagian besar anak-anak
yang tamat sekolah akan segera melupakan apa yang telah mereka peroleh di sana.
Maka setelah anak-anak tamat sekolah, pelajaran agama berjalan terus. Katekisasi merupakan sarana pengkristenan yang
ketiga, di samping ibadah dan sekolah. Melaluinya orang remaja dipersiapkan
untuk ”inisiasi” mereka ke dalam persekutuan gereja, yaitu untuk upacara sidi,
yang merupakan pintu masuk ke perayaan Perjamuan Kudus. Di kota pun katekisasi
biasanya tidak diberikan oleh pendeta, melainkan oleh tenaga khusus, yaitu olehmester keliling. Di kampung-kampung di Indonesia
Timur, memberi katekisasi termasuk tugas banyak yang dibebankan pada guru
sekolah. Dia mengumpulkan muda-mudi dan bersama mereka mengulang terus
bahan-bahan yang sebelumnya telah mereka hafal di sekolah. Jika ada orang
dewasa yang hendak dibaptis, mereka dapat bergabung dengan kelompok katekisasi
ini. Yang paling cakap akhirnya dapat menghafalkan seluruh Katekismus
Heidelberg dengan 129 soal-jawab yang membahas Keduabelas Pasal Pengakuan Iman
Rasuli, Kesepuluh Perintah, dan Doa Bapa Kami. Katekismus ini, yang sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu pada tahun 1620-an, dipakai terus dalam
gereja Protestan hingga abad ke-20, dan di beberapa gereja lain malah sampai
sekarang. Tetapi bagi sebagian besar murid-murid katekismus ini terlalu sulit.
Maka dipakai juga beberapa buku katekisasi yang lebih sederhana, antara lain
”Ikhtisar agama Kristen”, yang memakai pola yang sedikit berbeda (naskahnya terdapat dalam Enam belas dokumen Dasar Calvinisme). Ternyata dalam praktik buku kecil yang
sebesar 14 halaman dan berisi 74 soal ini pun terlalu berat bagi sebagian
orang. Maka sesuai dengan umur atau tingkat pendidikan (atau kecerdasan)
mereka, calon sidi harus menghafal 14, 19, 40 atau 74 soal. Akan tetapi, semua
calon wajib menghafal Doa Bapa Kami, Kesepuluh Perintah, dan Keduabelas Pasal
Pengakuan Iman Rasuli.
Bila
orang muda atau calon baptisan dianggap sudah cukup berpengetahuan, namanya
dicatat pada daftar calon sidi. Saat pendeta datang berkunjung, daftar itu
diserahkan kepadanya, kemudian pendeta menguji mereka. Artinya, dia mengajukan
pertanyaan dari kitab katekismus yang dipakai, lalu calon harus melafalkan
jawaban yang tercantum dalam kitab itu juga. Ada yang ditolak, karena
pengetahuan mereka kurang, atau karena mereka dianggap belum berumur. Misalnya,
pada tahun 1660 di kota Batavia 40 muda-mudi Ambon mengajukan diri untuk
disidi. Ternyata semua sungguh-sungguh pandai menghafalkan pokok-pokok ajaran
Kristen. Tetapi, mereka masih sangat muda, ada yang baru berumur 11 tahun. Maka
majelis menyatakan mereka belum dapat dianggap matang, sehingga belum mungkin
menerima mereka menjadi anggota sidi. Di Indonesia Timur pada umumnya
penyaringan calon tidak begitu ketat. Tetapi di sana dipakai cara lain untuk
mencegah orang yang dianggap tidak layak turut merayakan Perjamuan, yaitu
pemisahan sakramen, yang telah digambarkan di atas. Mereka harus mengikuti
pendidikan lanjutan sambil membuktikan bahwa mereka berperilaku Kristen, baru
mereka diterima. Pendidikan itu diberikan pada saat doa malam, yang diadakan
pada hari Rabu, Sabtu, dan Minggu. Dalam pertemuan itu anak-anak sekolah
disuruh menghafalkan bahan-bahan katekismus, dan dengan demikian doa malam itu
merangkap katekisasi untuk orang dewasa.
Sistem
pendidikan agama ini membawa hasil yang paling baik di kota-kota. Di Batavia
sepertiga warga jemaat disidi dan turut merayakan Perjamuan Kudus. Di kota
Ambon juga jumlah warga yang menjadi anggota penuh cukup berarti. Tetapi makin
jemaat terletak di pinggir, makin kecil jumlah anggota sidi. Di atas telah
diberitahukan bahwa dari 20.000 orang Kristen di Sulawesi Utara dan
Sangihe-Talaud, hanya 75 yang telah diterima menjadi anggota sidi.
Dapat
ditambahkan bahwa untuk menunjang semua kegiatan tersebut sejak paroan kedua
abad ke-17 di setiap kampung Kristen tersedia sejumlah kecil buku-buku. Dalam karya besar Pendeta F.
Valentijn, Oud- en Nieuw Oost-Indiën (Hindia Timur dan Barat dahulu dan
sekarang) tercantum hasil perjalanan keliling 23 jemaat di Pulau Ambon yang
diadakan Valentijn pada tahun 1708. Laporannya menyebut juga buku-buku yang
terdapat di tiap-tiap kampung. Sebagai contoh kami menyebut isi perpustakaan
sekolah dan gereja di Naku. Di sana terdapat 3 buah kitab kotbah Caron, 1 Perjanjian Baru dan 2 Kitab Genesis (Kejadian) dalam terjemahan
Brouwerius, 5 buku Katekismus Heidelberg, 9 eks. buku Djalan
Ka Surga(sebuah buku kerohanian karangan Pendeta Caron), 3
Katekismus Singkat, 6 Sourat ABC, 2 papan ABC, 6
Kitab Mazmur (bersajak?), dan 9 Ikhtisar Agama Kristen. Tidak satu pun dari
buku ini ditulis oleh seorang Indonesia. Lagi pula, jumlahnya sedikit sekali,
dan dapat diduga bahwa segelintir orang saja yang dapat membacanya. Namun,
dapat dicatat bahwa bagaimanapun orang Kristen Ambon (sama seperti teman
sebangsa mereka yang beragama Islam, meski lewat jalur lain) diperkenalkan
dengan budaya membaca. Cukup menarik membaca dalam laporan Valentijn ini bahwa
di kampung tertentu puluhan anak pandai membaca huruf Latin dan Arab. Dengan
demikian tercipta tradisi yang dapat dikembangkan terus dalam abad ke-19 dan
ke-20.
Pola
kehidupan rohani orang Kristen Indonesia abad ke-17 dan ke-18
Perlu
diakui bahwa pada zaman itu pola berpikir orang Eropa, bahkan juga agama
Kristen ala Eropa, lebih dekat dengan alam pikiran orang Indonesia daripada
sekarang. Kita memperhatikan beberapa ciri agama Kristen Eropa pada zaman itu.
a. Pola
berpikir orang Kristen Eropa belum diubah oleh Pencerahan. Agama Kristen Eropa
pun masih terjalin dengan pola berpikir pra-Pencerahan, yang berlaku juga di
Indonesia. Dengan perkataan lain, pada zaman itu tidak terdapat perbedaan asasi
antara pandangan dunia orang Eropa dan pandangan dunia orang Indonesia, yang
Kristen dan yang non-Kristen. Adanya Allah, sifat ilahi Kitab Suci, kebenaran
Kitab Suci sebagai kitab sejarah, realitas mukjizat-mukjizat yang dikisahkan
dalam Alkitab, tidak disangsikan, pun oleh mereka yang dalam kehidupan
sehari-hari tidak menghiraukannya. Tetapi dalam hal ini orang tidak membedakan
dengan tajam dunia ilahi dan rohani sebagaimana digambarkan dalam Alkitab dan
dunia gaib atau supernatural yang merupakan warisan zaman pra-Kristen di Eropa
(apa yang di kemudian hari disebut ”takhayul”). Perbedaan iman Kristen dengan
pandangan dunia pra-Kristen ini kurang disadari. Sebagai contoh: dalam abad
ke-17 di Eropa (termasuk dalam beberapa negara Protestan) ratusan bahkan ribuan
orang dihukum dan dibunuh dengan kejam karena mereka dianggap sebagai suangi
(Ing.: witch, Bel.:heks). Dalam hal ini, iman
Kristen tidak meragii atau menggarami pandangan dunia yang lama, bahkan iman
itu sendiri dipengaruhi dan dirusak olehnya.
b. Ikatan
negara dengan agama masih erat sekali. Negara wajib mendukung dan
mempertahankan agama yang dianutnya. Wajar saja jika pemerintah mengenakan
denda pada orang yang melalaikan ibadah gereja atau menghukum orang yang
”menyembah berhala”. Dalam masyarakat luas pun agama masih berperan besar.
Gereja adalah gereja nasional. Toleransi, kalau ada, masih terbatas sekali,
termasuk dalam negara-negara Protestan. ”Corpus Christianum”, yang terbentuk
dalam abad ke-4, pada zaman para kaisar Konstantinus dan Theodosius, masih
berlaku sepenuhnya.
c. Pada
zaman itu, di Eropa sebagaimana juga di Indonesia, masyarakat masih bersifat
kolektif. Individualisme modern baru berkembang dalam abad ke-18. Agama pun
merupakan urusan kolektif; gereja adalah gereja rakyat. Tidak terbayangkan
seseorang bukan anggota gereja, ”tidak beragama”. Akibatnya, yang diutamakan
dalam kehidupan Kristen ialah segi obyektif: partisipasi dalam kegiatan
bersama, seperti ibadah gereja, perayaan sakramen dan sebagainya. Penghayatan
iman, penerimaannya dalam hati, tentu tidak diabaikan, bahkan dipentingkan
(bnd. Pertanyaan 1 Katekismus Heidelberg: ”Apakah satu-satunya penghiburan
Saudara, baik pada masa hidup maupun pada waktu mati?”). Dalam Gereja Belanda,
sebagaimana juga di negara-negara Eropa lainnya, terdapat aliran cukup kuat
yang berikhtiar agar ajaran yang dihafal menjadi keyakinan hati (menurut ajaran
”Reformasi lebih lanjut”). Namun, penghayatan dan penerimaan itu berlangsung
dalam kerangka kolektivitas.
Agama
Kristen jenis inilah yang oleh pada misionaris Katolik dan oleh para pendeta
VOC dibawa ke Indonesia. Agama
Kristen orang Indonesia yang hidup dalam lingkungan pengaruh Portugis dan VOC
lahir dari perjumpaan jenis agama Kristen ini dengan alam rohani orang Indonesia.
Maka apa sifat agama Kristen orang Indonesia ini?
Kalau di
Eropa saja agama Kristen tidak cukup berhasil menerangi dan mendesak pandangan
dunia yang lama, tidak mengherankan bila di Indonesia pun pola berpikir yang
lama hidup terus di samping iman Kristen. Dapat saja orang rajin mengikuti
ibadah gereja dan menghafal pokok-pokok ajaran Kristen, sekaligus dalam
kehidupan sehari-hari hidup menurut adat nenek moyang dan menghadiri
upacara-upacara agama yang lama. Banyaknya keluhan para pendeta berkaitan dengan
gejala ini, dan kerasnya sikap pemerintah sipil dalam mengancamkan hukuman atas
apa yang disebut ”penyembahan berhala” menunjukkan betapa uletnya adat dan
agama yang lama. Dalam kenyataannya, karena pelbagai sebab, di Indonesia
keadaan malah lebih parah dibanding dengan Eropa. Agama Kristen dibawa dari
luar dan tidak tumbuh di tengah alam (agama, kebudayaan) sendiri. Agama itu
dibawakan dalam bahasa Melayu, yang bagi mayoritas besar orang Kristen
Indonesia merupakan bahasa asing. (Bayangkan sekarang seluruh ibadah dan
katekisasi diadakan dalam bahasa Inggris!) Agama Kristen dialihkan kepada orang
Indonesia dengan membuat mereka menghafal rumus-rumus yang mengandung ajaran
Kristen, khususnya kitab katekismus. Para pendeta dalam kotbah mereka berupaya
menjelaskan konsekuensi ajaran itu terhadap kehidupan sehari-hari para
pendengar mereka (bnd. kotbah Danckaerts di atas ini). Begitu pula tentu para
guru. Karena mereka ini berasal dari masyarakat setempat, mereka malah lebih
berpotensi untuk mengaitkan agama Kristen dengan kepercayaan dan kebiasaan
setempat. Akan tetapi, pendidikan mereka sangat terbatas, sehingga mereka tidak
sanggup mengembangkan ”teologi pribumi”. Mereka dapat meneruskan apa yang
mereka terima dari sang pendeta, tetapi dapat diduga bahwa pada umumnya mereka
tidak sanggup menerapkannya dalam lingkungan mereka sendiri. Semua faktor ini
mencegah iman Kristen meresap ke dalam jiwa orang dan mempengaruhi pola
berpikir mereka.
Pertanyaan
apa isi iman
orang Kristen Indonesia sulit untuk dijawab, sebab tidak tersimpan kesaksian
orang Indonesia sendiri dari zaman itu, dari guru pun tidak. Namun, kita dapat
menduganya. Bagi orang Kristen Indonesia zaman itu, Allah adalah Yang
Mahakuasa. Dia memegang seluruh dunia dalam tangan-Nya, Dia wajib disembah.
Tetapi di samping atau di bawah Dia ada roh-roh, yang sudah orang kenal dari
dulu, dari zaman pra-Kristen, dan yang tetap merupakan kenyataan yang dahsyat.
Roh-roh itu hidup dalam lingkungan yang sama seperti manusia, di kampung, di
hutan, di gunung, di air terjun. Maka mereka lebih dekat dengan manusia
daripada Tuhan yang jauh di atas. Tuhan tidak berurusan dengan kehidupan
sehari-hari, yang penuh dengan risiko, penuh bahaya. Maka untuk urusan
sehari-hari orang sebaiknya memperhatikan roh-roh, dan cara-cara mendamaikan
mereka yang diwarisi dari nenek moyang. Tuhan juga perlu disembah, tetapi bukan
dalam kehidupan sehari-hari dan dalam masyarakat kampung, melainkan di tempat
khusus, yaitu gereja, dan pada saat-saat khusus, yaitu dalam ibadah gereja.
Dengan
demikian, pola berpikir tradisional dan agama Kristen hidup berdampingan. Iman
Kristen tidak berhasil meragii, menggarami, mendesak kepercayaan tradisional.
Bahkan yang sebaliknya yang terjadi: pola tradisional mempengaruhi cara orang
menghayati agama Kristen. Karena agama tradisional merupakan sistem
perintah-perintah dan larangan-larangan, maka agama Kristen pun cenderung
dihayati sebagai ”agama hukum”. Orang Kristen yang baik adalah dia yang
mengikuti aturan Kristen: yang menghadiri ibadah gereja dan doa malam dengan
setia, yang mengikat pernikahan yang sah, dan yang semua hal mengikuti petunjuk
guru, pendeta, dan pemerintah. Lagi pula, sebagaimana dalam agama tradisional
yang penting bukan keyakinan pribadi, melainkan kesediaan ikut serta dalam
upacara bersama, begitu pula dalam penghayatan agama Kristen bukan keyakinan
hati yang diutamakan, melainkan partisipasi dalam upacara-upacara agama yang
baru, yaitu agama Kristen. Maka dalam arti tertentu agama Kristen memang
merupakan agama suku yang baru. Karena itu, orang Kristen Indonesia menganggap
wajar saja kalau pemerintah (Belanda) mempertahankan agama Kristen dengan
kekerasan hukum dan jika dianggap perlu menyebarkannya dengan kekuatan senjata.
Hendaklah kita memperhatikan bahwa dalam semua hal ini iman Kristen orang
Indonesia mencerminkan iman Kristen sebagaimana disampaikan kepada mereka oleh
para pendeta Eropa.
Sesungguhnya,
gambaran ini agak berat sebelah. Dalam gereja VOC pun ada wakil-wakil aliran
”Reformasi lebih lanjut” tersebut di atas, misalnya Justus Heurnius (di
Indonesia 1624-1638). Dapat diduga bahwa sebagian guru pun mendorong para
pendengar mereka agar kepercayaan yang mereka akui dengan mulut juga mereka
terima dalam hati. Tetapi laporan-laporan para pendeta memberi kesan bahwa
sebagian besar para guru (dan sebagian besar pendeta-pendeta itu sendiri!)
mengutamakan kesetiaan formal, ketaatan pada hukum Kristen. Dan bagaimanapun,
di Indonesia seperti di Eropa, pada zaman itu tokoh-tokoh yang mementingkan
kesalehan hati tidak menolak kenyataan Corpus Christianum,
”masyarakat Kristen”, yang menganut imannya secara kolektif.
Kesimpulan
Kita
menarik kesimpulan sambil memandang ke depan. Missi Katolik abad ke-16 dan
ke-17 meletakkan dasar Gereja Kristen di beberapa daerah di Indonesia. Gereja
Gereformeerd pada zaman VOC menerima warisan Missi dan mengonsolidasikannya.
Kehidupan rohani warga gereja merupakan hasil perjumpaan dunia tradisional
Indonesia dengan alam pikiran Eropa pada zaman pra-Pencerahan. Agama dan budaya
asli serta agama Kristen Eropa ini berpadu menjadi identitas baru. Dengan
demikian, agama Kristen menjadi bagian jatidiri penduduk daerah yang
bersangkutan. Maka pada akhir abad ke-18 agama Kristen sungguh berurat berakar,
paling tidak di daerah ”pusat”, seperti Maluku Tengah. Gereja memiliki
prasarana berupa gedung-gedung gereja yang kokoh dan kepustakaan Kristen,
antara lain terjemahan Alkitab dalam bahasa Melayu. Mulai dari abad ke-17,
warga gereja berkebangsaan Indonesia turut aktif mengabarkan Injil, baik di
daerah mereka sendiri maupun di daerah lain. Dalam abad ke-19 dan ke-20, orang
Maluku, Sangihe, dan Timor-Rote memainkan peranan besar dalam upaya membawa
agama Kristen ke Sulawesi dan Indonesia Timur. Akan tetapi, iman Kristen belum
menjadi ragi dan garam, belum merupakan unsur kritis dalam kehidupan masyarakat
dan individual. Pada abad ke-19 Eropa telah mengalami perubahan besar
dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya. Maka dari karya pekabaran Injil abad
ke-19 dan ke-20 lahirlah gereja-gereja yang agak berbeda sifatnya. Akan tetapi,
gereja-gereja yang termasuk rumpun Gereja Protestan di Indonesia tetap memiliki
ciri-ciri khas warisan zaman VOC, yakni pengutamaan penghayatan iman Kristen
secara kolektif, kehadiran unsur hierarkis dalam pemerintahan gereja, dan
identifikasi gereja dengan masyarakat Kristen, bahkan masyarakat suku, mungkin
juga kecenderungan memandang pemerintah nasional sebagai pelindung gereja.
Ciri-ciri ini yang membedakan gereja-gereja itu dari gereja-gereja Calvinis
lainnya di Indonesia.
KEPUSTAKAAN
Sejarah Gereja Katolik Indonesia: I, Umat
Katolik Perintis ± 645 – ± 1500. Awal mula: abad ke-14 – abad ke-18,
Ende-Flores 1974.
Gordon Dicker, Pengabaran Injil di Pulau
Timor, stensilan tidak terbit, 1960 (khususnya hlm. 6-17).
Th. van den End, Ragi Carita I, BPK.
Th. van den End, Sejarah Gereja Asia, PPIP
Dutawacana 1988.
Th. van den End (ed.), Enam belas Dokumen
Dasar Calvinisme, BPK 2000.
I.H. Enklaar, Pembaptisan Massal &
Pemisahan Sakramen, edisi baru BPK 2003.
I.H. Enklaar, Joseph Kam, ‘Rasul Maluku’, BPK 1980.
James Fox, Harvest of the Palm. Ecological
Change in Eastern Indonesia, Harvard Un. Press 1977.
Gereja Pulau-pulau: toma arus, sibak ombak,
tegar, Ambon 1995, khususnya hlm. 8-31.
Christiaan de Jonge, Apa itu Calvinisme?, BPK
1998.
G.P.H. Locher, Tata Gereja Gereja Protestan di
Indonesia. Sauatu sumbangan pikiran mengenai sejarah dan asas-asasnya, BPK
1995.
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern,
Gadjah Mada Un. Press.
Anne Ruck, Sejarah Gereja Asia, BPK 1997.
Sejarah Nasional Indonesia, 6 jilid, 1976,
khususnya jilid II dan III.
Muhammad Yamin, Atlas Sedjarah, Penerbit
Djambatan (1956).
geovisit();
Penguji ..... jayachandra fadhlan
BalasHapusNegara ...... Bahasa Indonesia
W / S ......... + 62821-3272-6591
Facebook ..... jayachandra fadhlan
email ...... (jayachandrafadhlan@gmail.com)
Nama saya jayachandra fadhlan,
dari Indonesia Saya seorang perancang busana dan saya ingin menggunakan media ini untuk memberitahu semua orang agar berhati-hati mendapatkan pinjaman di internet, ada banyak pemberi pinjaman di sini untuk mempercayai orang. Terima kasih atas hasil kerja keras Anda, saya meminta pinjaman untuk sekitar Rp900.000.000 wanita di Malaysia dan saya kehilangan sekitar 29 juta tanpa mengambil pinjaman, saya membayar hampir 29 juta masih saya tidak dapat pinjaman dan bisnis saya tentang menjadi buruk karena hutang. Ketika saya mencari perusahaan peminjaman yang dapat diandalkan, saya melihat iklan online lainnya dan nama perusahaannya adalah PERUSAHAAN PINJAMAN EKSPLISIT. Saya kehilangan 15 juta dengan mereka dan sampai hari ini, saya tidak pernah menerima pinjaman yang saya ajukan. Teman baik saya yang disetujui oleh pinjaman juga menerima pinjaman, memperkenalkan saya ke perusahaan yang dapat dipercaya di mana MRS. KARINA bekerja sebagai manajer cabang, dan saya meminta pinjaman Rp900.000.000 dan mereka meminta kredensial saya, dan setelah itu mereka selesai meminta persetujuan saya, pinjaman yang disetujui untuk saya dan saya pikir itu hanya diperbolehkan, dan diizinkan ini membuat saya kehilangan uang, tapi saya tertegun. Saat saya mendapatkan pinjaman dalam waktu kurang dari 24 jam dengan bunga 2% tanpa agunan. Saya sangat senang karena ALLAH menggunakan teman saya yang menghubungi mereka dan memperkenalkan saya kepada mereka dan karena saya selamat membuat bisnis saya melambung tinggi dan dilikuidasi dan sekarang bisnis saya terbang tinggi di Indonesia dan tidak ada yang akan mengatakannya. membahas tentang mode perusahaan. Jadi saya membutuhkan setiap orang yang tinggal di Indonesia dan negara lain membutuhkan pinjaman untuk satu tujuan atau lainnya untuk membeli MRS. KARINA melalui email: (karinarolandloancompany@gmail.com) atau hanya whatsapp +1(585)708-3478 .... Anda masih dapat menghubungi saya jika Anda meminta informasi lebih lanjut melalui email: (jayachandrafadhlan@gmail.com) atau whatsapp + 62 821-3272-6591, Sekali lagi terima kasih telah membaca kesaksian saya, dan semoga ALLAH terus memberkati kami dan memberi kami umur panjang dan kemakmuran.
Perusahaan ..... Karina Elena Roland perusahaan pinjaman
W / S .......... + 1 (585) -708-3478
Facebook .... Elena karina Roland
email ......... (karinarolandloancompany@gmail.com)