SEJARAH –SASANDO—ROTE
Oleh:Drs.Simon-Arnold-Julian-Jacob
1. Perhatian Terhadap
Seni Musik Tradisional
Kesibukan masyarakat Indonesia pada
umumnya dan khususnya masyarakat Kabupaten Rote-Ndao, NTT, dalam mencari
kesejahteraan social-ekonominya sangat menyita waktu, hingga waktu senggangnya
sangat terbatas untuk diam dirumah, lebih-lebih untuk berapresiasi terhadap seni
budaya tradisional yang mereka miliki.
Hal ini memberi dampak negatif terhadap kelangsungan seni
tersebut. Demikian pula kesibukan para remaja, baik yang sedang menuntut ilmu, maupun mereka yang
putus sekolah, sangat kurang perhatiannya terhadap seni budaya tertsebut.
Para penggarap seni
budaya tradisional,
selain pendidikan mereka rendah bila dibanding dengan mesyarakat
umumnya, juga faktor usianya yang
telah lanjut, mereka kurang bisa memenuhi
keinginan atau selera masyarakat
sekarang, dimana kaum remaja
menjadi penentu kehidupan sosial dimasa datang. Keadaan seperti itu, memberi
gambaran kepada kita bahwa, seni budaya
tradisional akan mengalami kepunahan
di masa yang akan datang. Upaya
pewarisan seni budaya tradisional sangat terbatas atau sangat rendah.
Hal ini disebabkan
pandangan kedepan suram, terutama karena :
Ø Jaminan social anak cucu seniman-seniwati,
sulit memperoleh gambaran hidup yang cerah di masa datang, bila hanya mengandalkan hasil garapan,
seperti orang tuanya dibidang seni.
Ø Selain sekolah-sekolah umum yang
kurang memberikan apresiasi seni budaya tradisional.
Ø Juga kurangnya dorongan dari
grup-grup / kelompok seni tradisional yang ada, guna memberi motifasi kepada
generasi muda, untuk mencintai seni tradisionalnya.
Ø Bentuk-bentuk seni budaya asing, yang merupakan idola para remaja kota
tersebut terus mengalir, berkembang, baik melalui pementasan-pementasan hidup (Live) maupun melalui film-film asing
yang beredar. Kegiatan seni budaya asing pun akan terus menjamur dan menggeser
kedudukan seni budaya tradisional
Indonesia.
Ø Di samping itu para tenaga pembina, pemelihara, pengembang, pencetus dan
pencipta seni budaya tradisional, pakar/ilmuan di bidang seni tradisional sangat terbatas, sedangkan tantangan yang
mesti dihadapi juga semakin kompleks, sehingga merupakan masalah dan kendala
yang harus dipikirkan cara penanggulangannya
Ø Berdasarkan
keprihatinan tersebut diatas, kami mencoba mengumpulkan berbagai data dan
informasi, dari berbagai sumber kepustakaan yang ada, guna menginventarisasi,
mendokumentasikan, menginformasikan, guna dimanfaatkan lebih lanjut, demi
perkembangan dan pelestarian alat musik tradisional “Sasando Rote” ini, baik dikalangan sendiri, nasional, maupun
internasional, mengingat “Sasando Rote”
ini memiliki prospek kedepan yang cerah dan potensial yang dapat diharapkan
sebagai salah satu alat musik kelas
dunia, (GO INTERNASIONAL) disamping alat musik modern lainnya, bila
dikembangkan dan disesuaikan dengan tingkat teknologi masa kini.
Untuk mencapai tujuan itu, perlu dipahami berbagai ilmu dan teori
tentang teknik bermainnya sesuai ilmu musik pada umumnya, yang dapat
dipelajari di tingkat Akadimis-ilmuan
sekalipun. Disini sedikit teori
disajikan sebagai gambaran sepintas, sebagai bekal awal bermain “Sasando Rote”.
Tentu untuk menjadi seorang pemain profesional di bidang “Sasando Rote” ini, maupun penelitian
lebih lanujut, kami anjurkan datang
langsung ke nara sumbernya di Kupang,
Nusa Tenggara Timur. Karena kami yakin sekelumit teori yang disajikan
disini, pasti belum memuaskan. Ini baru pada tingkat memperkenalkan saja,
sehingga pembaca harap maklum. Diharapkan penulisan tentang teori bermain “Sasando Rote” ini lebih dikembangkan
lagi dimasa depan, guna menemukan teori
yang lebih memudahkan lagi bagi peminat/pemerhati seni musik “Sasando Rote” ini.
Kepopuleran “Sasando Rote”ini tidak diragukan lagi, dan sudah dikenal hingga ke negara-negara
Barat, Asia dan sangat dikagumi. Penulisan tentang “Sasando Rote” ini sudah sering kita ikuti lewat media masa dalam
negeri, juga oleh orang Barat seperti nanti terbaca pada kutipan-kutipan yang
dapat terbaca nanti.
2.Kurangnya perhatian
masyarakat Terhadap Alat Musik Tradisionalnya.
Umumnya Alat Musik Tradisional suatu bangsa, tidak pernah dibukukan atau di dokumentasikan secara tertulis oleh pemilik (suku) alat kesenian tersebut, tentang
berbagai hal, menyangkut sejarah alat
musik itu, seperti siapa penemunya, kapan diciptakan, apa yang
mengilhaminya, bahan apa yang dipakai,
untuk keperluan apa penggunaan alat tersebut, termasuk teori bermainnya dan sebagainya.
Akibatnya, jika penciptanya telah tiada, maka musnah pula alat musik
tersebut. Untuk pelestariannya, maka
ini menjadi tanggung jawab para etnomusikolog
dan pencinta musik pada umumnya.
Mengapa alat-alat musik tradisional pada umumunya kurang berkembang?
Alasan-alasannya :
Ø Suku bangsa tersebut saat memiliki alat-alat musik tersebut masih primitif.
Ø Belum ada sistem pendidikan formal, sehingga tidak di dokumentasikannya
secara tertulis.
Ø Alat-alat musik tersebut, khusus untuk wilayah mereka saja, dan bukan untuk
dikembangkan ke daerah lainnya.
Ø Cara menularkan kegenerasi berikutnya, cukup dengan mengajarkan secara lisan sambil memberi contoh langsung, bagaimana membuatnya,
bahan apa yang dipakai dan bagaimana memainkannya.
Ø Alat musik ini ditujukan untuk pelaksanaan suatu upacara adat tertentu,
atau untuk hiburan semata dan
alasan-alasan lainnya.
Setelah terjadi perkembangan dalam dunia musik saat ini,
mulai timbul hasrat dari berbagai kalangan, ingin mengenal keanekaragaman alat musik berbagai
etnik/suku bangsa di seluruh dunia.
Inilah awal
gagasan bagi pemerhati musik, untuk menginventarisasi dan mendokumentasikannya serta memanfaatkannya. Untuk tujuan ini tentu
memerlukan metode penelitian dibidang seni
musik, baik tradisional maupun modern, sehingga akhirnya lahirlah berbagai buku tentang seni musik
seperti sekarang ini.
3.Indonesia
Miskin Etnomusikolog
Di Indonesia sangat banyak seni atau kesenian tradisional yang terintergrasi dalam
masyarakatnya dan sangat banyak sasana/sarana produk bunyi yang menyertai
kesenian tradisional Indonesia. Selama ini kebanyakan orang melihat musik dari musik itu
sendiri. Kalau bicara soal musik, hanya
merupakan produk, tetapi siapa sebenarnya yang memproduksinya, tidak
banyak dimengerti sehingga kebanyakan orang terkurung dalam satu sistem
yang dibentuk oleh pikirannya sendiri.
Hal ini menyebabkan orang bisa terjebak dalam kungkungan etno
sentrisme, yang kurang relevan dimasa globalisasi.
Oleh karena itu perlu sekali adanya pengetahuan etnomusikologi yang pada
akhirnya melahirkan etnomusikolog yang mampu melakukan penelitian secara rinci melalui pendekatan scintifie.
Sayangnya,
di Indonesia baru Universitas Sumatera Utara yang membuka jurusan etnomusikologi yang lahir dari kesadaran bahwa perkembangan
budaya dalam masyarakat Indonesia tidak bisa di hindari sebagaimana pengaruh budaya asing juga tak bisa dihindari
karena globalisasi.
Dari penelitian secara etnomusikologis, akan bisa dimengerti sejauh mana estetika orang lain kita hargai sebagai salah satu produk manusia yang dalam
hal ini khusus hal-hal yang berkaitan
dengan musik etnis, karena etnomusikologi
memang mempelajari bidang ilmu musik terutama musik etnis. Untuk meneliti atau
mepelajari musik etnis perlu teori atau metodologi tersendiri karena
musik etnis memiliki kekhasan. Teori
atau metodologi sebagai pedoman
penelitian yang walaupun pedoman itu tidak seluruhnya bisa digunakan,
karena para peneliti harus menyadari bahwa setiap musik yang dimiliki suku
bangsa dengan yang lain, berlandaskan konsep yang berbeda, tetapi basic
pedoman tetap diperlukan. Contoh
mengenai hal ini nampak pada konsep
musik di Barat dengan konsep musik di Indonesia.
Di
Barat, unsur individualismenya sangat menonjol.
Di Indonesia unsur gotong
royongnya menonjol sehingga dalam memproduksi musik atau bunyi
pun orang-orang Indonesia melakukannya secara gotong royong. Pada gamelan misalnya semua jenis instrumen berkesan seluruhnya melodis harus diciptakan secara gotong
royong sehingga bisa dicapai keselarasan
Hal
ini pantas diperhatikan dalam penelitian, disamping itu para peneliti harus semaksimal mungkin bisa memainkan alat musik yang ditelitinya.
Dengan semakin semaraknya siaran TV swasta yang kebanyakan
acaranya hiburan produk dari manca
negara, bisa menimbulkan erosi
budaya yang pada akhirnya perubahan tak bisa dihindarkan, maka orang
Indonesia perlu tetap menjaga identitasnya. Tanpa identitas, Indonesia sulit tampil sebagai bagian kebudayaan dunia. Oleh karena itu para etnomusikolog perlu memiliki idielisme
yang tinggi, semangat untuk melakukan penelitian kurang bisa dijamin.
Hal ini karena mengingat Indonesia terdiri dari lebih
dari l7 ribu pulau lebih dimana sekitar l.800
diantaranya dihuni orang dan memiliki lebih dari 250 bahasa daerah dengan kebudayaan yang berbeda. Oleh karena Indonesia
sangat membutuhkan tenaga peneliti yang tidak sedikit dengan dedikasi penuh dari para peneliti.
Bahkan
para peneliti harus siap dengan cara penghidupan seorang petualang karena para peneliti bisa terpaksa masuk hutan keluar hutan untuk bergaul dengan masyarakat yang hidup
di hutan yang diperkirakan memiliki alat
musik sebagai bagian dari hidup berkesenianya. Seperti diketahui, suku-suku terasing di hutan-hutan sering memiliki peralatan
musik untuk upacara sakral tetapi juga untuk perayaan, misalnya
untuk menyambut panen dan lain-lainnya. Antara suku yang satu dengan suku lain
mungkin memiliki alat musik yang dibuat
dari bahan yang sama, tetapi jenis peralatan maupun produk bunyinya berbeda dan penggunaan maupun karakternyapun berbeda.
Peter
Gabriel, pendiri grup clasic “Genesis
“, yang telah menyerahkan ‘Genesis’
kepada Phil Collin, belum
lama ini, mengumpulkan pelbagai peralatan musik etnis dari Afrika, Timur
Tengah, Asia Selatan, Bahama, dan lain-lain untuk membuat solo albumnya yang sudah
beredar luas di Eropa, Jepang, Amerika Serikat, bahkan mungkin sudah seluruh dunia.
Prakarsa Peter Gabriel itu dibantu
referensi yang dibuat oleh para etnomusikolog dan ketika ia meramu pelbagai musik etnis, para pemusik etnis dari pelbagai
negara di undang dan disuruh
memainkannya secara langsung distudio rekaman. Dari kasus yang dirintis Peter Gabriel itu jelas bahwa
masing-masing jenis alat musik etnis secara otomatis menunjukkan identitas bangsa yang memiliki
peralatan musik etnis itu.
Dengan demikian musik etnis memiliki peran penting dalam percaturan
globalisasi negara-negara berkembang yang
selama ini terus terdesak oleh budaya barat.
Dari contoh ini, pernah seorang wanita setengah baya
Korea Selatan yang penuh semangat menelusuri daerah pertanian di seluruh Korea
Selatan
untuk merekam musik petani dari satu daerah ke daerah lainnya dan kemudian rekaman itu ditata sedemikian rupa sehingga sangat penting untuk penelitian
etnomusikologi.
Di Indonesia memang sudah ada
beberapa jenis musik etnis yang diteliti
orang Indonesia sendiri maupun orang
luar negeri, tetapi mengingat jumlah
kesenian etnis yang mencapai ribuan dan
hadir selama puluhan bahkan ratusan tahun, hingga kini belum banyak terungkap.
Hal ini karena di Indonesia masih miskin
tenaga etnomusikolog. Padahal kemungkinan kerjasama dengan pemerintah daerah bisa dilakukan dalam
penelitian musik-musik
etnis yang selama ini luput dari perhatian.
Globalisasi
yang selalu dikuatirkan akan menimbulkan erosi
budaya, segyogianya
tidak hanya diratapi
begitu saja, tetapi perlu inisiatif
untuk menghadapinya. Jika orang Barat seperti Pieter Gabriel
dan musisi Barat lain
mengambil unsur-unsur etnis
dari timur, kenapa orang timur sendiri tidak berusaha
memelihara dan mengembangkannya? Apakah anda
juga ingin mengikuti
jejak Pieter Gabriel, lalu kapan
memulainya ? “Semoga.” (AP Sudjito)-b, (Minggu 26-9-l993)
4.Perlukah Semua Alat-Alat Kesenian Tradisional Indonesia-
Di Patenkan?
Guna pelestariannya,
maka berbagai alat musik etnik ini perlu di inventarisasi, di
domentasikan sehingga dapat dipelajari dan dimainkan oleh siapa saja dan
kapan saja.
Berdasarkan
keprihatinan tersebut, maka “Sansado Rote” salah satu alat musik tradisional
berasal dari Pulau Rote/Roti-Nusa Tenggara Timur, Indonesia yang
sudah hampir ditinggalkan oleh masyarakatnya, maka kami terdorong untuk mencoba
mendokumentasikannya secara tertulis, agar dipelajari dan
dimainkan oleh para musikus baik dalam negeri maupun mancanegara, sebagai suatu
alat musik masa depan, dan tidak menutup kemungkinan dapat dijadikan musik
dunia, bila ditingkatkan bahan-bahan yang dipakai,, maupun produk bunyi
yang dihasilkannya.
Bahwa “Sasando
Rote” ini sudah diperkenalkan hingga
ke Negara-negara Barat dan Asia, selalu mendapat sambutan hangat oleh para
penontonnya, oleh karena dari sebuah alat
musik tradisional, yang sangat sederhana ini, dapat memainkan berbagai
jenis lagu seperti, lagu Pop, lagu seriosa, lagu gereja, lagu-lagu
tradisinal, maupun lagu Dang Dut sekalipun, oleh karena memiliki notasi
yang lengkap. Banyak sanjungan yang diberikan kepada jenis alat musik ini oleh
banyak kalangan para musikus dunia.
Saat ini,
orang lebih mengenal alat musik petik tradisional asal pulau Rote dengan
sebutan “Sasando” saja, namun sebutan yang paling lengkap adalah
“SASANDO ROTE”, sebagai Logonya.
Seperti kita
ketahui, bahwa di Indonesia banyak etnik juga memiliki berbagai jenis
alat musik, antara lain misalnya, alat kesenian tradisional GONG/GAMELAN,
namun masing-masing, memiliki nama khas tersendiri, yang dikaitkan dengan
daerah asalnya, seperti Gamelan Bali, yang terdapat di Pulau Bali,
Gamelan Jawa, yang terdapat di Pulau Jawa dan sebutan lainya
untuk jenis alat musik lainnya.
Penyebutan
semacam ini sangat penting, guna
mengenal identitas, daerah asal alat musik tersebut secara pasti. Oleh
karena itu, dalam buku ini, Alat Kesenian Petik yang berasal dari Pulau
Rote – Nusa Tenggara Timur, tetap menyebutnya “Sasando Rote”
sebagai identitasnya (Logonya) dan bukan sebutan “Sasando” saja.
Dengan
majunya teknologi, misalnya, orang Barat dapat membuat seperangkat alat
musik yang serupa dengan “Gamelan
Bali” maupun “Gamelan Jawa”, baik bentuknya, bahan yang dipakai,
mupun kesamaan bunyi yang dihasilkan,
tetap alat musik tersebut, harus di
sebut “Gong/Gamelan Bali” atau “Gong/Gamelan Jawa”. Hal ini
menyangkut identitas dan awal sejarah asal-usul
musik tersebut.
Bahwa
alat-alat kesenian tradisional Indonesia, walaupun hingga saat ini, tidak
pernah di “PATENKAN”, namun Apakah Status Hukumnya, dapat
dianggap “SERRUPA DENGAN SUDAH DIPATENKAN”?. Oleh karena itu,
semua pihak yang terkait dengan bidang Kesenian dan Kebudayaan
Tradisional, perlu memikirkan nasib
Alat Kesenian Tradision Indonesia dimasa
depan, apakah ada kewajiban masing-masing daerah pemilik alat kesenian
tradisionalnya perlu di PATENKAN atau tidak. Karena mengingat dewasa
ini, Negara-ngara Barat begitu mudahnya mempatenkan budaya milik Negara lainnya, menjadi milik
pribadi/negaranya dan menjadikan sebagai obyek bisnis.
Contoh : Bahwa
obat-obatan Herbal tradisonal yang biasa dipakai oleh masyarakat umum di
Asia seperti di India, Indonesia, dan di negara lainnya, kini ada
Intelektual Amerika mempatenkannya, dan melarang pihak manapun untuk
memproduksinya.
Contoh lainnya lagi,
seperti Malaysia mempatenkan Batik, Seni Tari Pendek asal Bali, Reog
Ponorogo, Lagu Rasa Sayang asal Ambon, dll.
Semua ini
karena kelalain kita sendiri, yang kurang peduli terhadap apa yang kita miliki
dan mempertahannya sebagai jatidiri bangsa. Pada hal, dilain pihak
Negara lainnya mengambil keuntungan dari kelengahan kita sendiri.
Maka pertanyaannya,
apakah ada keharusan kepada daerah-daerah pemilik alat kesenian tradisionalnya,
untuk di Patenkan atau tidak? Jika jawabannya “Tidak Wajib”,
namun pada pihak lain, ada Negara lain yang lebih dahulu mempatenkan alat
kesenian tersebut, dan apa sanksi hukumnya.
Yang penulis khawatirkan disini, khusus, alat
musik, asal Pulau Rote yaitu “SASANDO ROTE”, sebuah alat musik yang
bentuknya sangat sederhana, bahan yang di pakaipun sederhana, namun produk
bunyi yang dihasilkan, menyamai bunyi alat musik modern saat ini. Dengan
demikian, pada suatu saat nanti kedepan, kemungkinan ada keinginan dari misalnya
Negara lain, untuk mengembangkannya dengan berbagai teknik modern, sehingga
akhirnya menjadi suatu alat musik yang sangat laku di pasar dunia dengan
produksi massal, sebagai obyek bisnis yang sangat menguntungkan, lalu
dipatenkan oleh mereka. Jika terjadi demikian, tentu menjadi masalah
besar, dan terjadi tuntutan dari masyarakat pemilik alat musik tersebut.
Menurut Undang-Undang
yang ada, siapa, yang lebih dahulu mempatenkan sesuatu produk/karya,
maka dialah yang berhak atas produk/hasil kaya
tersebut.
Karena
begitu pentingnya kekuatan hukum, dalam melindungi hak-hak daerah
pemilik alat-alat kesenian tradisional tersebut, perlu ada Undang-Undang
yang memperkuat status hak pemilikannya
secara jelas. Isi dari Undang-Undang tersebut
perlu menyebutkan dengan tegas, bahwa secra otomatis, semua alat-alat
musik tradisional yang ada di seluruh Indonesia, diakui sebagai hak milik kebudayaan daerah
tersebut, sebagai pengganti Hak Patennya.
Dengan
demikian, tidak lagi ada kewajiban masyarakat untuk mendaftarkan secara khusus,
ke Dinas yang mengurus Hak Paten lagi.
Demikian
sekelumit sumbang - saran, untuk ditanggapi secara serios, bagi
berbagai pihak yang manaruh peduli terhadap kebudayaan dan jatidiri bangsa
Indonesia. (Penting atau Tidak Penting?)
“Sasando Rote”
ini semakin dikenal masyarakat Indonesia, ketika, di ikutsertakan dalam Lomba
“Indonesia Mencari Bakat” (Mei-Juni-Juli-Agustus 2010) yang
diselenggarakan oleh TransTV Jakarta, dimana setiap penampilan Berto Pah,
anak dari Maestro Jermias Pah, di Kupang-Timor NTT, peserta yang
memainkan “Sasando Rote” mewakili Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT),
selalu mendapat pujian/sanjungan dan sambutan hangat, baik dari penonton maupun
oleh Juri lomba, oleh karena, dari alat musik sederhana dan tradisonal ini, mampu tampil dan menunjukkan kemampuan
produk bunyi yang dihasilkan, tidak kalah dengan alat musik modern saat ini. Demikian pula
dalam acara TV Indosiar Jakarta dalam acara Indonesia’s Got TALENT
peserta Djitron Pah anak Maestro Jermias Pah, juga membawakan “SASANDO
TOTE” dengan gemilang dan sangat
mempersona baik oleh para juri,
penonton maupun kepada para pemirsa di rumah. Yaa… unik dan spesifik bentuk dan bahan yang dipakai, namun
bisa bersaing dengan alat musik modern lainnya sekalipun.. Ternyata SASANDO ROTE
ini dapat mengiringi lagu-lagu Pop
maupun seriosa sekalipun. OK BANGET..!!!.
SEJARAH AWAL “SASANDO ROTE” DALAM CERITA RAKYAT ROTE
Banyak
Versi tentang
: Sejarah/hikayat/cerita rakyat tentang
“Sasando Rote” yang semula
diceritakan dari mulut ke mulut, dari satu generasi ke generasi berikutnya,
sehingga lama kelamaan menjadi kabur. Walaupun demikian semua bentuk cerita tentang
Sasando Rote yang berasal dari
berbagai nara sumber itu, perlu
ditampilkan disini merupakan kekayaan
budaya lisan yang dipelihara oleh masyarakatnya dan tidak perlu
diperdebatkan dalam bentuk apapun tentang keabsahannya dan patut diterima apa
adanya sebagai suatu sumbangan berharga dalam
kita mengenal kisah-kisah
tentang Awal Sejarah adanya “Sasando Rote” ini.
Dari berbagai versi yang terbaca dibawah
ini, inti obyeknya hanya satu,
yaitu terciptanya sebuah alat musik tradisional “Sasando Rote,” tetapi dalam
bentuk berbagai cerita-cerita
yang bervariasi, sebagai pemanisnya.
Orang
Rote perlu berbangga bahwa “Sasando
Rote’ memiliki sejarahnya, jika dibandingkan dengan sejarah alat musik
tradisional dari suku-suku lain di
Indonesia bahkan di Negara lain
sekalipun.
Versi 1
Makluk Dalam Tiga
Wujud, Hidup Di Tiga Alam,
Pencipta “Sasando
Rote”
Kisah-kisahnya sebagai berikut :
Kehidupan Seorang Kakek dan
Nenek
Pada zaman dahulu hiduplah seorang
kakek dan seorang nenek di salah suatu
desa kecil dekat pantai, dipulau Rote (Roti) Nusa Tenggara Timur, yang
letaknya paling terselatan dari kepulauan Indonesia, atau paling dekat ke kota Darwin di Australia.
Kedua orang tua ini termasuk sangat
miskin, dan hidupnya bergantung pada
sebidang ladang, dan serumpun pohon lontar yang menghasilkan “air nira” yang manis. Untuk menambah lauk
pauk, maka setiap air
laut surut pada waktu malam, mereka pergi mencari ikan ( Rote = makameting)
di sela-sela batu karang dan sayur laut, yang nantinya sebagai lauk pauk.
Kedua orang tua ini tidak memiki
anak, sehingga segala pekerjaan terpaksa dikerjakan bersama-sama oleh kedua
orang tua ini. Sebagai pekerjaan rutin, setiap bangun pagi, si kakek memanjat pohon lontarnya guna
menyadap buah lontar / mayang lontar guna mengambil air
niranya sebagai makanan pokoknya.
Sedang si nenek pergi mencari
kayu api untuk dipakai memasak makanannya dan memasak gula dari air nira yang
dibawa si kakek. Setelah kakek tiba
dirumah membawa air nira, sebentarnya lagi si nenek juga sudah pulang membawa
kayu api.
Si nenek selain memasak makanan, juga memasak air nira lontar yang dibawa
sikakek untuk dimasak mejadi gula
cair/gula air (istilah Rote = Tua Nasu = Sirup Rote), dan juga membuat gula
batu atau gula lempeng yang
wadahnya terbuat dari anyaman daun lontar.
Apabila sudah banyak terkumpul hasil gulanya, mereka menukarkan dengan
kebutuhan lain sehari-harinya seperti dengan beras, jagung, pakaian, sirih
pinang dan kebutuhan lannya.
Selain air nira dimasak jadi gula, ada yang disisihkan untuk diminum, dan
ada yang diberikan kepada babi peliharaannya.
Juga air nira lontar difermentasi untuk
membuat ‘Laru’ sejenis minuman
alkohol tradisional berkadar ringan. Air nira lontar ini dimasukkan kedalam sebuah bongko yaitu sejenis buah tanaman
melata kurang lebh sebesar buah labu, yang telah dikeluarkan isi dalamnya,
kemudian direndam dengan berbagai
akar-akaran, kulit kayu, dan ramuan-ramuan lainnya atau hanya dengan sepotong kulit kayu bakau/mengrove yang biasa
tumbuh di tepi pantai.
Biasanya setelah air nira dimasukan kedalam ‘bongko’ yang berisi
macam-macam ramuan tersebut, akan langsung bereaksi, layaknya seperti nasi yang
sedang mendidih dan mengeluarkan buih-buih putih.
Pada soreh hari, biasanya sudah dianggap matang, dan diminum oleh si-kekek
sebagai penghangat badan, dan sebagai obat menghilangkan pegal-linu, sehingga
besok ketika bangun pagi, badannya sudah
terasa segar untuk melaksakanan pekerjaan rutinnya.
Setelah selesai memasak makanan dan
gula, kedua orang tua ini lalu makan
pagi, dan mempersiapkan diri untuk pergi
keladang, mengurus tanaman-tanamannya. Mereka baru pulang kerumah setelah
menjelang malam.
Pada zaman kakek dan nenek, saat itu belum
ada minyak tanah pengisi lampu
sebagai alat penerangan dimalam hari.
Maka sebagai bahan lampu, mereka mengumpulkan biji-biji dari buah pohon kusambi, yang telah dikeringkan,
setelah dikupas kulitnya ditumbuk bersama kapuk atau kapas, hingga halus dan
menyatu, kemudian dililitkan dari bawah sampai keatas pada sebatang pohon kulmeok (perdu kecil yang garing batangnya memiliki rongga
ditengahnya dan mudah patah sepanjang sebuh
lidi sapu).
Dimalam hari dibakar sebagai lampu mereka. Lampu tradisional ini dalam
semalam sebelum tidur bisa menghabiskan 4
(empat) batang.
Sedang untuk obor mencari ikan,
mereka mepergunakan daun kelapa satu
tangkai, yang sudah kering diikat dengan tali, sehingga membuat daun-daun
kelapa menyatu, dan itulah yang dibakar sebagai obor/pelita dimalam hari
mencari ikan dilaut (makameting).
Pada suatu malam, si kakek pamit pada si nenek untuk pergi kelaut mencari
ikan, karena pada malam itu kebetulan air laut surut. Rupanya si kakek malam
itu lagi sial.
Dengan obor daun kelapa keringnya sudah kesana kemari dengan membongkar
batu karang semalam suntuk, hanya mendapat 7
(tujuh) ekor ikan kecil-kecil sebesar jari kelingking.
Menjelang pagi hendak kembali kerumahnya, dia berkata dalam hatinya, “kalau
ke tujuh ekor ikan kecil ini saya
bawa pulang kerumah dan dimakan oleh dua orang, rasanya juga tidak cukup.
Apakah saya harus melepaskannya kembali ke dalam laut atau dibawa pulang
kerumah”.
Tetapi akhirnya dia mengambil keputusan, biarlah saya membawa pulang ke-tujuh ekor ikan kecil-kecil ini, walaupun dimakan dua orang tidak cukup,
tetapi sebagai bukti bahwa memang benar
sepanjang malam saya mencari ikan di laut.
Setiba dirumah dia menyatakan kekesalannya kepada istrinya si nenek, bahwa
dia tidak beruntung karena hanya mendapat 7
(tujuh) ekor ikan kecil-kecil saja.
Tetapi si nenek menyambut dengan kata-kata menghibur, dan berkata “sudalah… walaupun kecil tidak apa, mungkin
besok-besok kita bisa mendapat yang lebih besar”.
Setiba dirumah, berkatalah si kakek pada si nenek, “rebuslah ikan-ikan
ini untuk makanan pagi kita”.
Setelah selesai kakek berbicara demikian, tiba-tiba terdengar suara dari dalam keranjang ikan yang dibawa
kakek dari laut tersebut. Maka heranlah
si kakek dan si nenek karena ternyata suara itu adalah suara ikan yang ada didalam keranjang ikan, dengan nada suara jeritan dan sedih yang seolah-olah memohon
ampun dan belas kasihan kepada kedua orang tua itu katanya :
”Kasihanilah kami, kami masih sangat
kecil, dan kalau kami dimakanpun, tidak akan membuat kakek dan
nenek mejadi kenyang”. “Biarlah kami
dipelihara dulu sampai kami besar baru kami diambil untuk dimakan”.
Kakek dan nenek sangat heran, karena mendengar ikan-ikan kecil ini bisa
berbicara memakai bahasa manusia.
Karena berkali-kali mendengar jeritan hati ikan-ikan ini, akhirnya
ikan-ikan itu tidak jadi dimasak. Lalu diambilnya ikan-ikan itu dipeliharanya dengan memasukkan kedalam sebuah
tempayan yang penuh berisi air.
Maka legalah hati ikan-ikan itu, karena masih dikasihani dan diberi hidup
oleh kakek dan nenek yang sangat baik hati itu. Pada keesokan harinya, kakek
dan nenek ini melaksanakan pekerjaan-pekerjaannya seperti biasanya. Setelah
selesai mengurus rumah, mereka pergi ke ladang mengurus tanaman-tanamannya.
Ikan-ikan berubah menjadi manusia (tujuh remaja
tampan)
Setelah diketahuinya bahwa kakek dan
nenek sudah tidak ada dirumah, maka ke-tujuh
anak ikan ini melepaskan kulit-kulitnya dari badannya dan keluar dari
tempayan air dan berubah menjadi 7 (tujuh)
remaja tampan. Sebagai balas budi
kebaikan kakek dan nenek yang membiarkan mereka tetap hidup dan dipelihara
dengan baik itu, maka ke-tujuh ekor ikan
yang telah menjelma menjadi manusia
itu, mulai membagi-bagi tugas pekerjaan diantara mereka masing-masing.
Ada yang membersihkan halaman rumah,
ada yang mencari kayu api, ada yang memasak didapur, mecari air minum, mencuci
pakaian kakek dan nenek dan pekerjaan lainnya.
Setelah semua pekerjaan masing-masing
telah selesai dengan baik, demikian pula makanan yang dimasak telah tersaji di
atas meja dengan rapinya, lalu ke-tujuh
ekor ikan itu mengenakan kembali kulitnya lalu mereka masuk ke dalam tempayan air, lalu berubah
kembali menjadi ikan. Sewaktu
kakek dan nenek kembali ke rumahnya di soreh harinya, sangatlah heran melihat berbagai perubahan yang terjadi.
Rumahnya sudah dalam keadaan bersih
dan rapi, halaman rumah tersapu bersih, disamping rumah terdapat setumpuk kayu
api, tempayan air yang tadinya kosong sekarang penuh terisi air,
pakaian-pakaian kotornya juga sudah tercuci bersih dan tergantung ditali
jemuran diluar halamannya.
Yang sangat mengherankan sekali
ialah, bahwa dilihatnya dimeja makannya,
telah penuh dengan berbagai sajian
makanan yang enak-enak siap untuk dimakan. Kedua orang tua ini tidak habis
berpikir, siapa gerangan yang datang kerumah ini, dan melakukan semua pekerjaan
ini. Setahu mereka dikampung mereka tinggal, tidak ada seorang sanak
saudarapun. Tetapi siapa sebenarnya mereka itu. Ini suatu keajaiban, kata kakek
kepada si nenek keheranan.
Keesokan harinya, setelah makan pagi, kakek mengambil bekal dan keduanya
pergi keladang seperti biasanya.
Begitu diketahuinya bahwa kakek dan
nenek sudah keladang, maka ketujuh ekor
ikan itu keluar lagi dari tempayan
air, dan setelah melepaskan kulit-kulitnya, berubahlah mereka menjadi tujuh remaja tampan.
Seperti kemarin, semua pekerjaan
dikerjakannya lagi oleh mereka masing-masing dengan baik. Setelah pekerjaannya
sudah selesai semuanya, maka dikenakan
kembali kulit-kulitnya, lalu
masuk ketempayan air dan berubahlah kembali menjadi ikan.
Menjelang soreh hari nenek dan kakek
pulang kerumahnya dan ternyata menjumpai
lagi kejadian seperti kemarin. Kedua orang tua ini sangat penasaran ingin tahu
siapa gerangan yang datang kerumah mereka dan mengerjakan semua ini.
Maka disusunlah siasat, untuk menangkap basah siapa-siapa mereka itu. Keesokan harinya, pagi-pagi
sekali, mereka sudah keluar dari rumahnya, tetapi tidak keladangnya seperti
biasanya. Kakek dan nenek bersembunyi dibalik semak-belukar, tidak jauh dari rumah mereka.
Begitu kakek dan nenek tidak ada
lagi dirumah, keluarlah ketujuh ekor
ikan dari tempayan air dan setelah melepaskan kulit-kulitnya, berubahlah
menjadi tujuh remaja tampan dan siap
melaksanakan tugas pekerjaan seperti biasa
mereka kerjakan.
Sebelum semua pekerjaan mereka selesai dikerjakan, keluarlah kakek dan nenek dari tempat
persembunyiannya dan cepat-cepat pulang
kerumahnya.
Sesampai dirumah, dijumpainya ketujuh remaja tampan itu sedang
sibuk-sibuknya melakukan pekerjaannya masing-masing. Ketujuh
remaja itu sangat terkejut, dan ketakutan,
dengan kedatangan kakek dan nenek yang tidak diduga-duga sebelumnya pada
hari itu, yang pulang lebih awal dari biasanya, sehingga tidak ada kesempatan lagi bagi mereka untuk masuk ketempayan
air.
Akhirnya diketahui, bahwa ketujuh remaja itu berasal dari 7 ekor
ikan-ikan
peliharaannya yang berada didalam
tempayan air itu. Untuk tidak memberi
kesempatan kepada ketujuh remaja itu mengenakan kulitnya agar menjelma kembali
menjadi ikan, maka air ditempayan tempat
tinggal mereka, lalu ditumpahkan oleh si
kakek. Maka mulai saat itu
keberadaan mereka tetap menjadi manusia biasa dan hidup didarat.
Menjadi Anak Angkat
Ketujuh anak remaja itu kemudian diangkat menjadi anak oleh kakek dan nenek, karena kebetulan
mereka tidak dikarunia anak. Alkisah, si kakek dan si nenek hidup rukun dan damai saling
sayang menyayangi. Ketujuh remaja
ini sangat rajin dan sangat patuh pada kakek dan nenek. Pada setiap malam
sebelum tidur, kakek dan nenek mengumpulkan mereka lalu bercerita banyak hal, tentang perikehidupan manusia dan cerita-cerita dongeng lainnya. Mereka
sangat tertarik dengan cerita-cerita kakek. Jika ceritanya sedih mereka sangat
terharu dan terkadang meneteskan air mata, sedang bila ceritanya lucu, mereka
tertawa terbahak-bahak kegirangan.
Mereka juga diajarkan bagaimana bertani
dan bagaimana cara mengambil air nira dari pohon lontar, serta diajarkan
pula ilmu bela diri, karena kakek kebetulan guru pencak silat di kampungnya. Setiap pagi kakek
membawa mereka keladang dan diajarkan bagaimana memelihara tanaman dengan baik.
Setelah mereka memahami semua tugas pekerjaan itu dengan baik, maka tugas-tugas kakek dan nenek, diambil alih
oleh ketujuh remaja tampan ini. Kakek dan nenek sekarang diam saja dirumah.
Mereka sekarang tumbuh menjadi dewasa dan sudah
terbiasa dengan kehidupan manusia di darat.
Remaja Sasando mengabdi di rumah Raja
Namun karena kakek orang miskin, selain tidak memerlukan banyak tenaga kerja untuk mengerjakan
ladang dan membantu menyadap nira lontar, maka pada suatu ketika,
berkatalah kakek kepada ketujuh remaja katanya :“Anak-anakku yang tercinta,
kakek hanya membutuhkan 6 (enam) orang saja untuk membantu kakek. Jadi ada kelebihan
satu orang”. Kelebihan
satu orang ini, nanti kakek akan membawanya ke istana
raja, dan akan
memohon agar bisa diterima menjadi pelayan raja Walau pun dengan berat hati
keputusan ini diambil, mengingat keadaan
kakek dan nenek tidak mengijinkan karena kemiskinan mereka.
Ketujuh remaja itu
kemudian setuju, lalu satu diatara mereka dibawa
menghadap raja. Dihadapan raja,
sikakek memohon, “kalau Bapak Raja tidak
berkeberatan, mohon mau menerima anak remaja ini untuk membantu di istana”.
Karena wajah remaja ini tampan dan menarik, maka permintaan kakek ini
dikabulkan sang raja. Lalu kakek mohon diri dan kembali kerumahnya.Sesampai
dirumah, kakek menceritakan kepada keenam saudaranya, bahwa mereka diterima
dengan baik oleh Bapak Raja, dan berjanji akan diperlakukan saudaramu itu
dengan baik. Anak
remaja tampan ini, yang tinggal dengan Raja, diberi tugas menjaga hewan domba. Setiap pagi
setelah domba-domba dikeluarkan dari kandangnya, dibawanya ke padang
rumput. Sebelum domba-domba dibawa ke
padang rumput, ia memeras susu domba untuk Bapak
Raja.
Menciptakan “Sasando Rote” dengan berguru teori musik pada “Laba-Laba”
Begitulah pekerjaan sehari-hari
dijalaninya dengan suka cita. Pada suatu hari, ketika sedang menggembala domba
dipadang rumput, turunlah hujan deras disertai guntur dan kilat
sambar-menyambar. Maka berlarilah ia mencari tempat perlindungan dan masuklah
ia kedalam sebuah goa yang kebetulan
tak jauh dari tempat penggembalaannya itu. Sambil menunggu redanya hujan, ia berbaring dilantai goa untuk melepaskan
lelahnya. Tetapi tiba-tiba terdengar olehnya suara seperti suara orang sedang memainkan musik. “Siapa gerangan
yang memainkan musik yang sangat merdu itu”, kata hatinya.
Ternyata, tidak seorang pun ada di
dalam goa itu, selain dirinya
sendiri. Maka diamatilah segenap sudut dari goa tersebut secara cermat.
Ternyata, yang dilihatnya hanyalah seekor “Laba-laba raksasa” yang sedang asik-asiknya naik-turun membuat / memintal jaring-jaring sarangnya
dengan kaki-kakinya yang panjang itu. Pada saat laba-laba
memintal jaring-jaring sarangnya itulah, yang mengeluarkan/ menghasilkan getaran bunyi suara, seperti bunyi musik yang didengarnya tadi..
Setiap helai jaring laba-laba yang dirakitnya itu, selalu mengeluarkan nada suara yang berbeda,
karena panjang masing-masing helai
jaring sarangnya itu tidak sama panjang. “Mengapa bisa terdengar
getaran suara dan apa yang menyebabkan,
kata hatinya lagi”. Setelah diamatinya pula, ternyata ruang goa itulah sebagai resonator
yang memantulkan gema atau getaran suara, saat laba-laba membuat/memintal sarangnya.
Rupanya peristiwa yang diamatinya
itu sangat terkesan dan menarik perhatiannya, sekaligus memberikan inspirasi kepadanya untuk mencoba meniru dan menciptakan sebuah alat musik ala Laba-laba itu. Karena hujan sudah reda, ia keluar dari goa dan kembali menggembalakan dombanya. Hari
berganti hari dan ternyata pengalaman di dalam goa itu masih saja terbayang-bayang dalam ingatannya.
Pada suatu ketika, ia mendapat suatu
kesimpulan, bahwa musik
Laba-laba yang di dengarnya saat berlindung di-goa tersebut, adalah terdiri dari beberapa unsur terkait yang menyebabkan
adanya getaran suara nada tersebut yaitu:
1
Unsur tali / dawai menirukan jaring
laba-laba;
2
Unsur gema suara (resonator) yang menirukan ruang goa sebagai pemantul suara/gema;
3 Unsur
jari yang
memainkan tali-tali / dawai yang menirukan jari-jari
/ kaki-kaki dari laba-laba.
Itulah
ilmu musik yang diperolehnya dengan berguru pada
Laba-laba yang berada di goa itu atau pada alam lingkungannya.
Dalam
kehidupan manusia, banyak hal yang dapat
kita lakukan, adalah dengan meniru
dan mengambil contoh-contoh dari alam dan merekayasanya dengan berbagai ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Salah
satu contohnya, ialah mengapa burung dapat terbang di angkasa. Lalu
para ahli mulai mempelajarinya dengan seksama, maka kemudian lahirlah pesawat terbang. Begitu pula awal
terciptanya “Sasando Rote” ini, juga
menirukan alam, yaitu gerakan laba-laba, goa, yang menhasilkan bunyi.
Dengan berpedoman
pada ketiga unsur pokok dari “gurunya Laba-laba” itu, ia mencoba
merancang bahan-bahan apa yang harus dipakainya untuk membuat suatu alat
musik.
Akhirnya didapat juga akal.
Diambilnya sepucuk daun pohon lontar, setelah dijemur
dipanas matahari dan agak layu, kemudian ditekuk/dilipat berbentuk
setengah lingkaran menyerupai seperti ember yang
terbuka dalam istilah Rote
disebut “Haik”
dijadikan sebagai wadah gema suara (resonator) menirukan bentuk goa, sedangkan; hela -
helai seperti benang
yang terdapat di sela-sela daun lontar
itu,(Rote = fifik) dijadikan sebagai
“dawai / tali senar”, menirukan jaring/sarang Laba-laba, dan “jari-jari
tangan” yang memainkan dawai dengan menirukan “kaki-kaki laba-laba”.
Dawai-dawai dari serat daun
lontar itu kemudian direntangkan disekeliling seruas bambu, diberi alat penyetel untuk mengencangkan dawainya. Namun
karena serat-serat daun lontar gampang putus, maka kemudian digantinya dengan
cungkilan kulit bambu. Setelah
semuanya terpasang, maka jadilah sebuah
alat musik sederhana, siap untuk dimainkan. Saat selesai pembuatan, alat musik baru ini belum diberi nama olehnya.
Kemudian
ia mencoba memainkan alat musik baru ciptaannya, dan diluar dugaan sangat merdu bunyinya. Jumlah dawainya ada tujuh hingga sembilan utas itu dengan menirukan nada bunyi “Gong Rote” yang tujuh hingga
sembilan buah.
Setelah
berselang beberapa hari kemudian, remaja
ini menghadap raja, dan melaporkan
bahwa, ia telah menciptakan sebuah alat musik yang sangat merdu suaranya jika
dimainkan. Maka mulailah ia memainkan di depan raja.
Sang
raja sangat tertarik dan senang mendengar bunyi suara musik baru ini.
Berselang
beberapa hari kemudian kalangan istana raja menyelenggarakan pesta
perkawinan putra raja, maka alat musik baru ini akan dimainkan sebagai
salah satu musik yang meramaikan pesta tersebut. Saat pesta perkawinan putra raja berlangsung,
alat musik ini dimainkan. Semua undangan yang hadir selain merasa kagum
terhadap keunikan musik baru ini, juga memohon kepada sang raja untuk
mengijinkan mereka meniru alat musik ini. Maka mulai saat itu alat musik baru
ini dikembangkan dan dijadikan alat
musik tradisional Orang Rote hingga saat ini.
Pemberian
nama kepada alat musik baru ini, adalah “Saesandu”
oleh raja, sesuai dengan nama penggembala domba yang menciptannya ialah Remaja “Saesandu” Tetapi dengan berjalannya waktu dari generasi ke generasi maka sebutan nama alat musik ini juga mengalami
perubahan terus-menerus, yang semula
berasal dari nama Saesandu, berubah menjadi Sasandu, kemudian berubah lagi menjadi Sasando.
Berhubung
alat musik ini berasal dari Pulau Rote,
maka disebut “Sasando Rote” sebagai Logonya,
jadi bukan Sasando saja.
Sebagai
contoh, banyak nama gamelan di Indonesia tetapi ada gamelan yang diciptakan oleh orang Jawa maka disebut “Gamelan
Jawa”, demikian pula Gamelan
yang diciptakan oleh orang Bali,
maka disebut “Gamelan Bali” ada Gong yang diciptakan oleh orang Rote, maka disebut “Gong Rote”.
Mengapa
penyebutan Gong perlu ditambahkan
dengan nama etniknya, oleh karena
dimana-mana ada gong, tetapi cara memainkannya berbeda, produk bunyinya juga berbeda, dan
jumlahnya juga berbeda dan itu merupakan ciri khas dari masing-masing alat musik tradisional etnik yang ada yang disebut Gong.
Oleh
karena itu sebutan untuk Sasando
yang benar adalah “Sasando Rote”,
yang artinya alat musik itu berasal dari
Pulau Rote atau diciptakan oleh Orang Rote.
Jika
sebutannya tidak seperti itu, maka sama dengan memberi peluang kepada pihak
lain seperti orang Barat misalnya
untuk boleh membuat alat musik seperti Sasando
juga dan akan diakui sebagai alat musik mereka.
Sebutan
Sasando ini beraneka ragam seperti “Sasandu”, “Sasando”
saja dan ada “Sasando Rote”, dan
sebutan yang terakhir inilah yang benar.
Kami
harapkan agar mulai saat ini harus meyebutkan
nama yang paling lengkap adalah “Sasando Rote” dan bukan
“Sasando” saja.
Kematian tragis menimpa remaja Saesandu
Bagaimana
nasip selanjutnya dari pemuda Saesandu pencipta alat musik “Sasando Rote” ini.
Kisahnya
sebagai berikut :
Pada suatu hari, ketika sedang menjaga
domba-domba dipadang, dilihatnya dua ekor domba jantan bertanduk panjang
dan berujung runcing sedang mengamuk
dan saling menyerang satu dengan lainnya.
Karena khuatir domba-domba tersebut
akan terluka oleh tanduk-tanduknya yang tajam itu, maka remaja Saesandu
ini berlari mendekat ke-domba-domba itu
dengan maksud untuk menghalaunya pergi.
Tetapi apa akibatnya yang terjadi.
Diluar dugaannya, kedua domba yang sedang
mengamuk itu, bukannya
berlari menjauh, tetapi berlari menuju kearah remaja Saesandu itu dan menanduknya dengan ganasnya
berulang-ulang kali keperutnya,
sehingga terluka parah dan banyak mengeluarkan darah dan beberapa saat kemudian
matilah remaja Saesandu itu.
Inilah hari naas bagi si pencipta alat musik “Sasando Rote” yang
mengakhiri riwayat hidupnya secara tragis dan tak seorangpun tahu
keberadaannya.
Setelah berselang beberapa hari
kemudian, karena remaja ini tidak pulang ke istana dengan domba-dombanya, maka
raja memerintahkan pelayan-pelayannya pergi untuk mencarinya. Sudah
berhari-hari dicari ke mana-mana, ternyata tidak juga ditemukannya, maka
diperkirakan kemungkinan besar telah dimangsa oleh binatang buas dihutan,
sehingga pencarian terhadap si gembala domba ini akhirnya dihentikan.
Keenam saudaranya pergi ke
Istana Raja menjenguk saudaranya
Rupanya kematian remaja Saesandu ini secara batiniah dirasakan pula oleh keenam saudaranya yang tinggal bersama kakek dan nenek. Perasaan mereka
akhir-akhir ini sangat gelisah, sepertinya ada terjadi sesuatu yang sedang
menimpa saudaranya yang tinggal di
istana raja.
Karena itu mereka memohon kepada kakek
dan nenek, kalau bisa mereka di
izinkan untuk pergi menengok saudaranya di istana raja, karena sudah lama
mereka berpisah dan ingin mengetahui keberadaannya sekarang.
Setelah
mendapat izin, berangkatlah ke enam
remaja itu ke istana raja. Sesampai disana mereka menanyakan saudaranya
kepada para pelayan raja, karena ingin
bertemu dengannya.
Tetapi jawaban
yang mereka terima, ternyata tidak menyenangkan, karena diceritakan bahwa sudah
beberapa hari lamanya dia tidak pulang kerumah, dan kami juga sudah mencarinya
kemana-mana, tetapi tidak pernah menemukanya dan kemungkin sudah mati dan dimakan oleh binatang buas.
Mendengar
berita yang tidak menyenangkan dan menyedihkan itu, ke enam remaja lalu
menangis tersedu-sedu sejadinya, mengenang nasib saudara mereka yang malang
itu.
Seperti apa
yang mereka gelisahkan terhadap saudaranya ini sebelumnya, ternyata menjadi
kenyataan.
Lalu mereka pamit dari istana raja, dan
pergi kehutan-hutan dan padang rumput mencari saudaranya yang tidak menentu
nasipnya itu. Berhari-hari masuk hutan, keluar hutan tanpa rasa lelah, mencari saudaranya yang hilang itu.
Memohon doa kepada Dewa Pencipta
Pada akhirnya mereka memohon pertolongan
kepada Dewa Pencipta untuk
menunjukkan, dimana saudara mereka berada.
Rupanya atas doa mereka yang
tidak putus-putusnya itu, sang Dewa
Pencipta akhirnya menunjukkan dimana saudara mereka berada.
Akhirnya saudara mereka yang hilang
itu ditemukan juga, namun sudah dalam keadaan
mayat terbaring berlumuran darah
diseluruh tubuhnya, diantara semak-belukar dan
tubuhnya hanya tertutup dengan daun-daun kering yang kebetulan
diterbankan angin kesitu.
Tubuh
mayatnya penuh dengan luka-luka dan penuh darah. Ke-enam
saudaranya sangat sedih, dan bingung apa yang hendah mereka perbuat sekarang, dalam mengadapi mayat saudaranya ini.
Dalam suasana keputusasaan dan tak
berdaya, mereka memohon doa lagi kepada Dewa
Pencipta sekali lagi untuk mau menolong menghidupkan kembali saudara mereka.
Karena dengan
doa yang
sungguh-sungguh, dikabulkan juga
oleh Dewa Pencipta sehingga
saudaranya yang sudah mati, dihidupan kembali.
Kemudian ke-tujuh
remaja itu lalu mengucapkan terima kasih kepada Dewa Pencipta yang sudah menolong menghidupkan kembali
saudara mereka.
Membenci manusia darat, dan ingin kembali ke
Laut
Lalu bersumpahlah mereka demi Dewa Pencipta dan berkata :
“Bahwa mulai hari ini, kami tidak
mau hidup bersama-sama lagi dengan “manusia
darat”, karena manusia darat sangat kejam, karena mayat saudara kami tidak diurus dengan baik dan dibiarkan
membusuk dihutan. Sekiranya tidak cepat kami temukan, besar kemungkinan akan
dimakan oleh binatang liar yang ada dihutan itu.
Setelah saudara mereka hidup kembali, ia menceritakan
segala kejadian yang dialaminya dan sebab-sebab kematiannya Lalu mereka bersama
merundingkan nasip masa depan mereka. Karena kehidupan didarat tidak menjamin
keselamatan mereka, maka mereka bersepakat untuk kembali saja kelaut tempat hunian mereka semula.
Kata mereka : “Karena kami berasal
dari laut, maka kami akan kembali ke
laut lagi, di alam kami semula.
Disana kami bebas berenang kemana saja
dan bisa bertemu dengan saudara-saudara kami. Tentu mereka akan
mengadakan pesta penyambutan, karena sudah sekian lama berpisah setelah menjadi manusia di darat.
Maka pergilah ke tujuh
remaja itu menuju ke laut.
Perjalanan menuju
ke-laut lama sekali, karena sebentar-sebentar mereka
harus berhenti dan beristirahat, karena saudara mereka yang baru saja hidup
kembali ini, keadaan badannya sangat
lemah dan cepat merasa lelah dan
kurang bertenaga, sehingga dia harus digotong
dan dipapah bergantian oleh saudara-saudaranya yang lain. Walau pun dengan
bersusah payah selama diperjalanan,
akhirnya mereka tiba juga di tepi
pantai yang dituju.
Dewa Laut menolak permohonan ke-tujuh remaja
sebagai warganya lagi
Setelah lama beristirahat setiba di pantai,
mereka memohon doa lagi
kepada Dewa Laut dan
berkata, “Ooo… Dewa Laut… kami dahulunya berasal dari laut, maka sekarang tolong menerima kami, untuk kembali ke laut sebagai
wargamu lagi”.
Lalu berkatalah Dewa Laut
kepada mereka, “hai… anak-anak, memang saya mengakui, bahwa benar kamu dahulunya berasal dari laut, dan jumlah kamu waktu itu 7 ekor semuanya, tetapi sekarang jumlah kamu tidak genap 7 lagi, karena saya hitung hanya berjumlah 6,5
saja, karena satu diantara kamu yang sudah
pernah mati itu, saya hitung cuma
½ (setengah) saja, jadi tidak genap lagi seperti keadaan kamu semula yaitu 7 ekor ikan.
Selain itu, jika saya menerima kamu, maka yang sudah pernah mati itu, akan
membuat seluruh isi laut “berbau busuk.”
Tetapi jawab mereka kepada Dewa
Laut, “bahwa manusia darat sangat kejam kepada
kami; saudara kami yang satu ini tidak dipelihara dengan baik, sehingga mati
ditanduk domba dan mayatnya dibiarkan tergeletak begitu saja, dengan hanya
ditutupi dengan daun-daun kering yang diterbankan angin ditengah hutan. Karena
itu mulai saat ini kami benar-benar sangat membenci manusia darat, sehingga
kami tidak mau hidup didarat bersama mereka lagi”.
Lalu jawab Dewa Laut kepada mereka , “Kalau laut maupun darat tidak mau menerima
kamu, yaaa…cobalah memohon kepada Dewa Langit, mungkin
dia mau menerima kamu sebagai warga barunya”.
Dewa Langit Menerima mereka, sebagai warganya dan
Berubahlah mereka
menjadi
“Kelompok
Bintang Tujuh” di angkasa raya
Karena berputus asa dan tidak ada
jalan lain, akhirnya ketujuh remaja
itu ramai-ramai memohon doa kepada Dewa Langit supaya mau menerima mereka. Pada akhirnya Dewa Langit yang maha bijaksana dan maha penolong tergeraklah
hatinya, merasa kasihan dan sedih akan nasib malang dari ke tujuh remaja ini, sebab jika langit pun tidak menerima mereka, kemana
lagi mereka akan pergi, karena Dewa Laut juga tidak mau menerima
mereka lagi, walaupun semula mereka berasal
dari laut.
Selain itu mereka juga tidak mau hidup bersama manusia darat, oleh
karena mereka kejam. Dewa Langit
sangat mencintai ke tujuh anak-anak
remaja yang sedang berputus asa tersebut.
Pada saat itu juga, Dewa
Langit mengabulkan permohonan doa mereka, dan bersedia
menerimanya sebagai warga barunya di
langit.
Seketika itu juga, ketujuh
remaja itu langsung berubah wujud
mereka, dan terbang keangkasa-raya
menjadi 7(tujuh) bintang) dilangit
dalam satu kelompok atau gugusan bintang
yang sampai saat ini disebut sebagai Kelompok
“Bintang Tujuh’.
Walaupun ketujuh-tujuhnya sama-sama bintang,
tetapi pancaran cahayanya berbeda.
Enam bintang lainnya bercahaya sangat terang, namun yang satunya, cahayanya sangat suram tidak
begitu terang, itulah remaja Saesandu pencipta “Sasando Rote”, yang sudah
pernah mati karena ditanduk domba.
Namun demikian, mereka tetap hidup
dengan tenang, rukun saling berdampingan
satu dengan lainnnya dalam kelompok “Bintang
Tujuh” mulai dari saat itu, hingga akhir zaman dan setiap malam pasti mereka muncul dan
menampakan wajahnya diangkasa raya.
Mereka adalah satu-satunya makluk yang pernah hidup dalam tiga alam
sekaligus dan dalam bentuk tiga
(wujud) yaitu :
1.Berwujud Ikan yang hidup dilaut
2. Menjelma menjadi “manusia” yang hidup didarat
3.Terakhir menjelma menjadi “bintang, hidup
dilangit” diangkasa raya yang maha luas itu.
Itulah kisah dan hikayat asal-usul terciptanya Alat Musik Tradisional “Sasando
Rote” dari Pulau Rote (Roti) di Nusa Tenggara Timur- Indonesia, yang
diceritakan dari generasi ke generasi. (Giyanto-Plus l957).
Dari cerita rakyat Rote ini, terkesan bahwa, sebelum manusia
modern memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologinya untuk terbang
ke-bulan (angkasa raya)
dan bintang-bintang di angkasa luar, ternyata orang-orang Rote zaman dahulu, telah lebih dahulu meramalkan kemungkinan tersebut,
seperti tergambar dalam cerita rakyat mereka tersebut diatas, bahwa manusia bukan saja dapat hidup di
darat dan di laut tetapi suatu kelak, dapat juga hidup di angkasa luar. (Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob).
Versi lainnya tentang hikayat terciptanya “Sasando Rote” ini banyak sekali
berdasarkan penuturan lisan (oral)
dari generasi ke generasi. Ada juga yang terdapat dua buah cerita yang
dikisahkan oleh Drs. Djony L.K.Theedens, dalam bukunya
berjudul “Pedoman Permainan Sasando”
(l993).
Buku
tersebut diperuntukkan sebagai bahan pelajaran “Seni” untuk kelas 4, 5, 6, SD
dan kelas l SLTP di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Sayangnya buku itu belum
dicetak untuk dijual secara umum, dan terbatas hanya untuk murid-murid sekolah.
Dalam bukunya Bab.I berjudul “Sasando
Rote”, di kisahkan dan dikutip
untuk rujukan buku kami sebagai berikut
:
Versi ke-2, CERITA
“Sejarah Sasando Rote”
Menurut para ahli
musikolog
bahwa nenek moyang instrumen petik
adalah apa yang dipertunjukkan di Paleolithick
Cave Paninting de Tropis Fre’res Prancis Selatan, yaitu dukun yang sedang berburu pada zaman
batu itu memiliki alat musik gesek
yang terikat di mulut topengnya yang dipegang dengan tangan kiri dan dipetik
dengan tangan kanan.
Sejarah tentang
berbagai instrumen musik suatu prolema yangh cukup pelik. Seperti halnya gitar yang begitu populer dimana-mana,
namun ketika ditanya sejarah perjalanannya hingga berbentuk seperti sekarang,
cukup menyita waktu bagi siapa saja yang menelusurinya.
Ketidak kepastian ini sang Maestro gitar
Andre Segovia menyebutkan sejarah
gitar merupakan suatu data yang gersang sehingga menurutnya cerita legenda lebih indah dan puitis.
Awal Mula
“Sasando-Rote”
Cerita
rakyat tentang awal mula “Sasando Rote”
(sebutan untuk orang Kupang, dan “Sasandu
Rote” (sebutan untuk orang Rote) bervariasi. Pada Buku ini akan diturunkan dua macam cerita lain yaitu :
Pada
zaman dahuku ada seorang pemuda bernama Sangguana
yang bertempat tinggal di suatu kampung bernama O’Etefu – Tie, Kecamatan Rote Barat Daya sekarang. Pada suatu
ketika dalam perjalanan mencari ikan
dengan perahu, ia terdampar di Pulau Ndana.
Beberapa hari kemudian Sangguana dibawa dihadapan raja setempat yaitu raja Takalaa yang berdiam di istana
raja yang bernama Nusaklain.
Kebiasaan
pada istana tersebut pada malam hari
sering diadakan kebak (Kebalai) yaitu semaca tarian masal muda-mudi dengan cara bergandengan tangan
dengan membentuk lingkaran. Pada
tarian ini salah seorang bertindak
sebagai manehelo (pemimpin syair)
dan manehelo biasanya berada ditengah lingkaran.
Syair-syair itu biasanya
menceritakan tentang silsilah keturunan mereka. Dalam permainan ini, Sangguana
yang mempunyai bakat seni selalu menjadi tumpuan perhatian di antara sesama mereka.
Tanpa
disadari putri raja jatuh hati kepada
Sangguana, sehingga pada suatu ketika
putri raja meminta kepada Sangguana untuk menciptakan suatu bentuk kesenian yang belum pernah ada, dan
apabila permintaan ini dapat dikabulkan, maka Sangguana berhak menikahinya.
Suatu malam, Sangguana
bermimpi sedang memainkan satu alat musik yang indah bentuknya dan juga
suaranya.
Berdasarkan mimpi tersebut mengilhami Sangguana untuk menciptakan alat musik,
yang kemudian alat musik ini diberi nama Sandu (yang
berarti bergetar), dan ketika putri raja menemui Sangguana yang
sedang memainkan Sandu dikediamannya,
putri raja menanyakan apa nama lagu
yang sedang dimainkan pada alat itu, maka jawab Sangguana “Sari Sandu.”
Dengan senang hati putri raja menerima sandu dari tangan Sangguana, dan seraya mengatakan, karena alat itu sudah menjadi
milik saya, maka alat ini diberi nama sesuai dengan bahasa saya, yaitu Hitu (tujuh), karena alat tersebut terdapat tujuh dawai, dan lagu
yang dimainkan melalui alat itu dinamai Depo Hitu yang artinya sekali
dimainkan ketujuh dawai bergetar. Awal mula “Sasando Rote” buatan Sangguana
yang kita kenal sekarang ini adalah, berdawai
tujuh yang terbuat dari akar pohon
beringin, yang kemudian diganti dengan usus
hewan yang telah dikeringkan. Selanjutnya dengan masuknya alat musik gitar, biola dan lain-lain, maka senar “Sasando Rote” diganti dengan senar
kawat.
Menurut cerita, sistem penalaan pada awalnya tidak sama
seperti sekarang ini, namun dengan adanya musik
gong, maka penelaannya pun mengalami perubahan, yaitu disesuaikan dengan nada-nada yang ada pada gong. Sekaligus
jumlah dawai yang tadinya berjumlah tujuh
buah, bertambah menjadi sepuluh buah.(Drs.Djony.L.K.Teedens,
Pedoman Bermain Sasando, l993).
.
Versi
ke-3, CERITA “Sasando Rote”
Ceritera
yang lain menyebutkan penemu “Sasando
Rote”
berawal dari dua orang sahabat,
yaitu Lunggi Lain dan Balok Ama Sina.
Gembala domba dan menyadap
tuak/lontar merupakan pekerjaan mereka sehari-hari.
Inspirasi
membuat alat ini berawal ketika mereka sedang mengrajin haik, wadah penampung air tuak/lontar yang terbuat
dari daun lontar.
Diantara
jari-jari dari lembaran daun lontar terdapat semacam benang (dalam bahasa Rote fifik). Tanpa disengaja fifik atau benang itu
dikencangkan yang kemudian dipetik
menimbulkan bunyi yang berbeda-beda, namun benang
fifik ini mudah
putus.
Awal
kejadian ini mendorong Lunggi Lain
dan Balok Ama Sina untuk mengembangkannya.
Cita-cita dari kedua anak manusia ini adalah menginginkan adanya alat musik petik yang dapat menirukan nada-nada yang ada pada gong.
Berkat
semangat yang tidak pernah padam, akhirnya pada waktu yang tidak terlalu lama
mereka berhasil menciptakan bunyi-bunyi atau nada-nada yang ada pada gong, yaitu dengan cara mencungkil tulang-tulang dari daun lontar (lidi daun
lontar) yang kemudian di
senda (Rote) /diganjal
dengan batangan kayu (sebagai semat).
Namun,
karena nada-nada yang dihasilkan selalu berubah-ubah dan disamping itu suara
yang kecil, maka bahan lidi daun lontar diganti
dengan bambu, yaitu
dengan jalan mencungkil kulit bambu (sebagai senar) sebanyak nada-nada yang ada pada gong yang kemudian disenda /diganjal
(semat) dengan batangan kayu berbentuk piramid.
Waktu demi waktu berjalan terus, bersamaan dengan itu Lunggi Lain dan Balok Ama
Sina selalu meluangkan waktu untuk mengembangkan alat musik ini. Suatu
waktu, timbul gagasan untuk mengganti dawai-dawainya dari serat pelepah lontar
dan ruang resonansinya dari haik.
Hasil ini ternyata cukup memuaskan, dan dalam perkembangan selanjutnya
dawai-dawai “Sasando Rote” diganti
dengan senar kawat.
(Drs.Djony.L.L.Theedens).
Versi ke-4, Sejarah
Sasando Rote
(Kompas,2/1/96)***
Versi – 5, Sejarah Sasando
Karena alat musik yang telah dipasang dalam haik (wadah seperti sebuah mangkok yang terbuat dari daun lontar) itu beresonasi, maka disebut sandu atau sanu yang mempunyai arti bergetar atau getaran. Alat ini kemudian disebut sebagai sasandu yang berasal dari kata berulang sandu-sandu atau bergetar berulang-ulang.
Sasando sendiri sudah kita
ketahui, adalah sejenis alat musik petik
(Rote = Kuti) dengan ruang resonator dari haik (anyaman dari daun
lontar) yang sudah terkenal di kalangan masyarakat NTT. Memang alat musik ini boleh dikatakan unik,
karena merupakan salah satu instrument musik petik dengan keunikan ada pada
bentuk, cara memainkannya dan juga bahan pembuatannya. Alat musik ini cukup
terkenal belakangan ini di tengah-tengah masyarakat, apalagi setelah Berto Pah menampilkannya di IMB ( Indonesia Mencari Bakat),namun pertanyaannya, apakah
semua masyarakat NTT mengenal Sasando,
ataukah semua masyarakat bisa memainkannya. Ataukah jangan sampai suatu saat
alat musik ini punah dan masyarakat NTT harus ‘berguru’ lagi ke daerah lain
untuk memainkan sasando yang sebenarnya?.
Sejarah
atau asal-usul Sasando ini, kita
semua hanya peroleh dari ceritra-ceritra secara turun-temurun yang sudah
diwariskan secara lisan maupun tulisan, namun yang pasti alat musik ini terdiri
dari dua jenis, yaitu sasando gong dan sasando biola. Perkembangan alat musik
ini berjalan terus seiring dengan perkembangan zaman, terjadi pula modifikasi
bentuk serta kualitas bunyi dengan pergantian dawai. Fifik (semacam benang yang terdapat pada sela daun lontar) diganti dengan tulangan daun lontar, kulit bambu berganti senar kawat, senar tunggal diganti dawai rangkap, akustik berkembang pula ke elektronik, sasando gong berkembang ke Sasando biola.
Menjadi
kebanggan tentu bagi orang Rote dan juga NTT umumnya akan bentuk dan keindahan,
bunyi dari Sasando yang telah
mengalami modifikasi, namun dipihak
lain pemain sasando semakin hari semakin berkurang.
Tentu
menjadi sebuah pertanyaan yang muncul, mengapa pelestarian sasando menjadi menurun atau mengalami hambatan? bahkan
sekarang ini pemain Sasando biola
pun tinggal sedkit saja. Bahkan secara umum jumlah pemain sasando tidak lebih
dari 20 orang. Menyadari akan hal itu, masyarakat NTT umumnya perlu
memasyarakatkan dan melestarikan alat musik ini sehingga kekayaan seni budaya
dapat dikembangkan serta dipertahankan. keterlibatan semua elemen masyarakat
sangat diperlukan dalam melestarikan dan mengembangkan alat musik ini.(yel) Sansando atau Sasandu SALAH satu faktor yang mempengaruhi lahirnya kebudayaan
suatu daerah adalah struktur dan kondisi alam dari daerah itu. Hal ini juga
tampak yang terjadi pada kebudayaan orang Rote tempat asal alat musik sasando.
Keberadaan
tanaman lontar di Pulau Rote cukup
memberi arti bagi NTT karena dari pohon itu, ide membuat sasando muncul, karena
itu pohon lontar sendiri sebagai peletak dasar kebudayaan masyarakat.
Masyarakat
Rote sendiri tidak memanfaatkan tanaman ini sebagai sumber kehidupan, yaitu
sebagai penghasil tuak, sopi
(minuman tradisional), gula lempeng, gula air, gula semut, tikar, haik, sandal, topi atap rumah maupun
bahan bangunan, tetapi lebih dari itu, masyarakat sudah menganggap tanaman ini
memiliki nilai lebih karena sudah menginspirasi lahirnya alat musik sasando.
Sampai sekarang daun pohon lontar ini masih tetap dipertahankan sebagai
resonator alat musik ini.
Yusak Meok, salah satu pemateri
pada seminar Musik Sasando di Hotel
Kristal, Kamis (17/12/2009) lalu, mengatakan, Sasando yang seharusnya bernama sasandu (bunyi yang dihasilkan dari getar),
lahir dari inspirasi penemunya dari hasil interaksi dengan alam. Menurut Meok,
ada berbagai fersi mengenai sejarah tentang alat musik ini, diantaranya, alat
musik ini konon ada seorang pemuda bernama Sangguana
pada tahun 1650-an terdampar di Pulau Ndana, Sangguana memiliki bakat seni, sehingga penduduk membawanya ke
istana, kemudian putri istana terpikat dan meminta Sangguana menciptakan alat musik. Sangguana pun bermimpi pada suatu
malam sedang memainkan alat musik yang ciptakannya, kemudian diberi nama sandu
(bergetar).
“Ada
jua cerita lain, alat musik ini ditemukan oleh dua penggembala yang bernama Lumbilang
dan Balialang, ada juga cerita lain,
sasandu ini ditemukan oleh dua
sahabat yakni Lunggi Lain dan Balok Ama Sina,” papar Meok.
Dengan
perkembangan yang terjadi, maka sasandu
ini lebih dilafalkan menjadi sasando,
sehingga terbawa sampai saat ini, namun ucapan ini tidak merubah bentuk dan
suara dari alat musik ini. Sementara itu Petrus
Riki Tukan, pemateri lainnya mengatakan, alat musik sasando merupakan sebuah fenomena budaya pada umumnya dan kesenian
(musik) khususnya yang cukup menggoda naluri seniman.
(sumber : pos kupang)--Pos-Kupang--Sabtu--15-Januari-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.