alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Sabtu, 10 Januari 2015

SEJARAH--SASANDO--ROTE--ALAT--MUSIK--TRADISIONAL--ASAL--PULAU--ROTE--NTT

SEJARAH –SASANDO—ROTE
Oleh:Drs.Simon-Arnold-Julian-Jacob

1. Perhatian Terhadap
Seni Musik Tradisional

Kesibukan masyarakat Indonesia pada umumnya dan khususnya masyarakat Kabupaten Rote-Ndao, NTT, dalam mencari kesejahteraan social-ekonominya sangat menyita waktu, hingga waktu senggangnya sangat terbatas untuk diam dirumah, lebih-lebih untuk berapresiasi terhadap seni budaya  tradisional  yang mereka miliki.
Hal ini memberi dampak negatif terhadap kelangsungan  seni tersebut. Demikian  pula kesibukan para remaja, baik yang  sedang menuntut ilmu, maupun mereka yang putus sekolah, sangat kurang perhatiannya terhadap seni budaya tertsebut.
Para penggarap seni budaya tradisional, selain pendidikan mereka rendah bila dibanding dengan mesyarakat umumnya, juga faktor usianya yang telah lanjut, mereka kurang bisa memenuhi  keinginan atau selera masyarakat  sekarang, dimana kaum remaja menjadi penentu kehidupan sosial dimasa datang. Keadaan seperti itu, memberi gambaran kepada kita bahwa, seni budaya tradisional akan mengalami kepunahan di masa yang akan datang. Upaya pewarisan seni budaya tradisional sangat terbatas atau sangat rendah.
Hal ini disebabkan  pandangan kedepan suram, terutama karena :
Ø  Jaminan social anak cucu seniman-seniwati, sulit memperoleh gambaran hidup yang cerah di masa datang,  bila hanya mengandalkan hasil garapan, seperti orang tuanya  dibidang seni.
Ø   Selain sekolah-sekolah umum yang kurang memberikan apresiasi seni budaya tradisional.
Ø  Juga kurangnya dorongan  dari grup-grup / kelompok seni tradisional yang ada, guna memberi motifasi kepada generasi muda, untuk mencintai seni tradisionalnya.
Ø  Bentuk-bentuk seni budaya asing, yang merupakan idola para remaja kota tersebut terus mengalir, berkembang, baik melalui pementasan-pementasan hidup (Live) maupun melalui film-film asing yang beredar. Kegiatan seni budaya asing pun akan terus menjamur dan menggeser kedudukan  seni budaya tradisional Indonesia.
Ø  Di samping itu para tenaga pembina, pemelihara, pengembang, pencetus dan pencipta seni budaya tradisional, pakar/ilmuan di bidang seni tradisional  sangat terbatas, sedangkan tantangan yang mesti dihadapi juga semakin kompleks, sehingga merupakan masalah dan kendala yang harus dipikirkan cara penanggulangannya
Ø  Berdasarkan keprihatinan tersebut diatas, kami mencoba mengumpulkan berbagai data dan informasi, dari berbagai sumber kepustakaan yang ada, guna menginventarisasi, mendokumentasikan, menginformasikan, guna dimanfaatkan lebih lanjut, demi perkembangan dan pelestarian alat musik tradisional “Sasando Rote” ini, baik dikalangan sendiri, nasional, maupun internasional, mengingat “Sasando Rote” ini memiliki prospek kedepan yang cerah dan potensial yang dapat diharapkan sebagai salah satu alat musik kelas dunia, (GO INTERNASIONAL) disamping alat musik modern lainnya, bila dikembangkan dan disesuaikan dengan tingkat teknologi masa kini.
Untuk mencapai tujuan itu, perlu dipahami berbagai ilmu dan teori tentang teknik bermainnya sesuai ilmu musik pada umumnya, yang dapat dipelajari di tingkat Akadimis-ilmuan sekalipun. Disini  sedikit teori disajikan sebagai gambaran sepintas, sebagai bekal awal bermain “Sasando Rote”.
Tentu untuk menjadi seorang pemain profesional di bidang “Sasando Rote” ini, maupun penelitian lebih lanujut,  kami anjurkan datang langsung ke nara sumbernya di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Karena kami yakin sekelumit teori yang disajikan disini, pasti belum memuaskan. Ini baru pada tingkat memperkenalkan saja, sehingga pembaca harap maklum. Diharapkan penulisan tentang teori bermain “Sasando Rote” ini lebih dikembangkan lagi dimasa depan, guna menemukan teori yang lebih memudahkan lagi bagi peminat/pemerhati seni musik “Sasando Rote”  ini.
Kepopuleran “Sasando Rote”ini tidak diragukan lagi, dan sudah dikenal hingga ke negara-negara Barat, Asia dan sangat dikagumi. Penulisan tentang “Sasando Rote” ini sudah sering kita ikuti lewat media masa dalam negeri, juga oleh orang Barat seperti nanti terbaca pada kutipan-kutipan yang dapat terbaca nanti.

2.Kurangnya perhatian masyarakat Terhadap Alat Musik Tradisionalnya.

Umumnya Alat Musik Tradisional suatu bangsa, tidak pernah dibukukan atau di dokumentasikan secara tertulis oleh pemilik (suku) alat kesenian tersebut, tentang berbagai hal, menyangkut sejarah alat musik itu, seperti siapa penemunya, kapan diciptakan, apa yang mengilhaminya, bahan apa yang dipakai,  untuk keperluan apa penggunaan alat tersebut, termasuk teori bermainnya dan sebagainya.
Akibatnya, jika penciptanya telah tiada, maka musnah pula alat musik tersebut. Untuk pelestariannya, maka ini menjadi tanggung jawab para etnomusikolog dan pencinta musik pada umumnya.
Mengapa alat-alat musik tradisional pada umumunya kurang berkembang?
Alasan-alasannya :
Ø  Suku bangsa tersebut saat memiliki alat-alat musik tersebut masih primitif.
Ø  Belum ada sistem pendidikan formal, sehingga tidak di dokumentasikannya secara tertulis.
Ø  Alat-alat musik tersebut, khusus untuk wilayah mereka saja, dan bukan untuk dikembangkan ke daerah lainnya.
Ø  Cara menularkan kegenerasi berikutnya, cukup dengan mengajarkan secara lisan sambil memberi contoh langsung, bagaimana membuatnya, bahan apa yang dipakai dan bagaimana memainkannya.
Ø  Alat musik ini ditujukan untuk pelaksanaan suatu upacara adat tertentu, atau untuk hiburan semata   dan alasan-alasan lainnya.
Setelah terjadi perkembangan dalam dunia musik saat ini, mulai timbul hasrat dari berbagai kalangan, ingin mengenal keanekaragaman alat musik berbagai etnik/suku bangsa di seluruh dunia.
Inilah awal gagasan bagi pemerhati musik, untuk menginventarisasi dan mendokumentasikannya serta memanfaatkannya. Untuk tujuan ini tentu memerlukan metode penelitian dibidang seni musik, baik tradisional maupun modern, sehingga akhirnya lahirlah berbagai buku tentang seni musik seperti sekarang ini.

3.Indonesia Miskin Etnomusikolog


Di Indonesia sangat banyak seni atau kesenian tradisional yang terintergrasi dalam masyarakatnya dan sangat banyak sasana/sarana produk bunyi yang menyertai kesenian tradisional Indonesia. Selama ini kebanyakan  orang melihat musik dari musik itu sendiri.  Kalau bicara soal musik, hanya merupakan produk, tetapi siapa sebenarnya yang memproduksinya, tidak banyak  dimengerti sehingga  kebanyakan orang terkurung dalam satu sistem yang dibentuk oleh pikirannya sendiri.
Hal ini menyebabkan orang bisa  terjebak dalam kungkungan etno sentrisme,  yang kurang relevan  dimasa globalisasi.
Oleh karena itu perlu sekali adanya  pengetahuan etnomusikologi yang pada akhirnya melahirkan etnomusikolog yang mampu melakukan penelitian secara rinci melalui pendekatan scintifie.
Sayangnya, di Indonesia baru Universitas Sumatera Utara yang membuka jurusan etnomusikologi yang lahir dari kesadaran bahwa perkembangan budaya dalam masyarakat Indonesia tidak bisa di hindari sebagaimana pengaruh budaya asing juga tak bisa dihindari karena globalisasi.

Dari penelitian secara etnomusikologis, akan bisa dimengerti sejauh mana estetika orang lain kita hargai  sebagai salah satu produk manusia yang dalam hal ini khusus  hal-hal yang berkaitan dengan musik etnis,  karena etnomusikologi  memang mempelajari bidang ilmu musik terutama musik etnis. Untuk meneliti atau mepelajari musik etnis perlu teori atau metodologi  tersendiri karena musik etnis memiliki kekhasan. Teori atau metodologi sebagai pedoman  penelitian yang walaupun pedoman itu tidak seluruhnya bisa digunakan, karena para peneliti harus menyadari bahwa setiap musik yang dimiliki suku bangsa  dengan yang lain, berlandaskan konsep yang berbeda,  tetapi basic pedoman tetap diperlukan. Contoh mengenai hal ini nampak pada konsep musik di Barat dengan konsep musik di Indonesia.

Di Barat, unsur individualismenya sangat menonjol.
Di Indonesia unsur gotong royongnya menonjol sehingga dalam memproduksi musik atau bunyi pun  orang-orang  Indonesia melakukannya secara gotong royong.  Pada gamelan misalnya semua jenis instrumen  berkesan seluruhnya melodis harus diciptakan  secara gotong royong  sehingga bisa  dicapai keselarasan
Hal ini pantas diperhatikan  dalam penelitian, disamping itu para peneliti  harus semaksimal mungkin bisa memainkan alat musik yang ditelitinya.  Dengan semakin semaraknya  siaran TV swasta yang kebanyakan acaranya hiburan produk dari manca negara, bisa menimbulkan erosi budaya yang pada akhirnya perubahan tak bisa dihindarkan, maka orang Indonesia  perlu tetap menjaga identitasnya. Tanpa identitas, Indonesia sulit tampil sebagai bagian kebudayaan dunia. Oleh karena itu para etnomusikolog perlu memiliki idielisme  yang tinggi, semangat untuk melakukan  penelitian kurang bisa dijamin.

Hal ini karena mengingat Indonesia terdiri dari lebih dari l7 ribu pulau lebih dimana  sekitar l.800 diantaranya dihuni orang dan memiliki lebih dari 250 bahasa daerah dengan kebudayaan yang berbeda. Oleh karena  Indonesia  sangat membutuhkan  tenaga peneliti  yang tidak sedikit dengan dedikasi penuh  dari para peneliti. 
Bahkan para peneliti harus siap dengan cara penghidupan seorang petualang  karena para peneliti bisa terpaksa masuk hutan keluar hutan  untuk bergaul dengan masyarakat  yang hidup di hutan yang diperkirakan memiliki alat musik sebagai bagian dari hidup berkesenianya.  Seperti diketahui, suku-suku terasing di hutan-hutan sering memiliki peralatan musik untuk upacara sakral  tetapi juga untuk perayaan, misalnya untuk menyambut panen dan lain-lainnya. Antara suku yang satu dengan suku lain mungkin memiliki alat musik yang  dibuat dari bahan yang sama, tetapi jenis peralatan maupun produk bunyinya berbeda dan penggunaan maupun karakternyapun berbeda.

Peter Gabriel, pendiri grup clasic “Genesis “, yang telah menyerahkan ‘Genesis’ kepada Phil Collin, belum lama ini, mengumpulkan pelbagai peralatan musik etnis dari Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan, Bahama, dan lain-lain untuk membuat solo albumnya  yang sudah beredar luas di Eropa, Jepang, Amerika Serikat,  bahkan mungkin sudah seluruh dunia. Prakarsa  Peter Gabriel itu  dibantu referensi  yang dibuat oleh para etnomusikolog dan ketika ia  meramu pelbagai  musik etnis, para pemusik etnis dari pelbagai negara di undang  dan disuruh memainkannya secara langsung distudio rekaman. Dari kasus yang dirintis Peter Gabriel itu jelas bahwa masing-masing jenis alat musik etnis secara otomatis  menunjukkan identitas bangsa yang memiliki peralatan musik etnis itu.
Dengan demikian musik etnis memiliki peran penting dalam percaturan globalisasi  negara-negara berkembang yang selama ini terus terdesak oleh budaya barat.
Dari contoh ini, pernah seorang wanita  setengah baya  Korea Selatan yang penuh semangat menelusuri  daerah pertanian di seluruh Korea Selatan untuk merekam musik petani dari satu daerah ke daerah lainnya  dan kemudian rekaman itu  ditata sedemikian rupa  sehingga sangat penting untuk penelitian etnomusikologi.
Di Indonesia  memang sudah ada beberapa jenis musik  etnis yang diteliti orang Indonesia  sendiri maupun orang luar negeri,  tetapi mengingat jumlah kesenian etnis yang mencapai ribuan  dan hadir selama puluhan bahkan ratusan tahun, hingga kini belum banyak terungkap.
Hal ini karena di Indonesia masih miskin  tenaga etnomusikolog. Padahal  kemungkinan kerjasama  dengan pemerintah daerah bisa dilakukan dalam penelitian musik-musik etnis yang selama ini luput dari perhatian.
Globalisasi yang selalu dikuatirkan akan menimbulkan erosi budaya, segyogianya  tidak hanya diratapi begitu saja, tetapi perlu inisiatif  untuk menghadapinya. Jika orang Barat seperti Pieter Gabriel  dan musisi Barat lain mengambil unsur-unsur etnis dari timur, kenapa orang timur sendiri tidak berusaha memelihara dan mengembangkannya? Apakah anda  juga  ingin  mengikuti  jejak Pieter Gabriel, lalu kapan memulainya ?  “Semoga.”  (AP Sudjito)-b, (Minggu 26-9-l993) 

4.Perlukah Semua Alat-Alat Kesenian Tradisional Indonesia-
Di Patenkan?

Guna pelestariannya, maka berbagai alat musik etnik ini perlu di inventarisasi, di domentasikan sehingga dapat dipelajari dan dimainkan oleh siapa saja dan kapan saja.
Berdasarkan keprihatinan tersebut, maka “Sansado Rote” salah satu alat musik tradisional berasal dari Pulau Rote/Roti-Nusa Tenggara Timur, Indonesia yang sudah hampir ditinggalkan oleh masyarakatnya, maka kami terdorong untuk mencoba mendokumentasikannya secara tertulis, agar dipelajari dan dimainkan oleh para musikus baik dalam negeri maupun mancanegara, sebagai suatu alat musik masa depan, dan tidak menutup kemungkinan dapat dijadikan musik dunia, bila ditingkatkan bahan-bahan yang dipakai,, maupun produk bunyi yang dihasilkannya.   

Bahwa “Sasando Rote” ini  sudah diperkenalkan hingga ke Negara-negara Barat dan Asia, selalu  mendapat sambutan hangat oleh para penontonnya,  oleh karena dari sebuah alat musik tradisional, yang sangat sederhana ini, dapat memainkan berbagai jenis lagu seperti, lagu Pop, lagu seriosa, lagu gereja, lagu-lagu tradisinal, maupun lagu Dang Dut sekalipun, oleh karena memiliki notasi yang lengkap. Banyak sanjungan yang diberikan kepada jenis alat musik ini oleh banyak kalangan para musikus dunia.
Saat ini, orang lebih mengenal alat musik petik tradisional asal pulau Rote dengan sebutan “Sasando” saja, namun sebutan yang paling lengkap adalah “SASANDO ROTE”, sebagai Logonya.
Seperti kita ketahui, bahwa di Indonesia banyak etnik juga memiliki berbagai jenis alat musik, antara lain misalnya, alat kesenian tradisional GONG/GAMELAN, namun masing-masing, memiliki nama khas tersendiri, yang dikaitkan dengan daerah asalnya, seperti Gamelan Bali, yang terdapat di Pulau Bali, Gamelan Jawa, yang terdapat di Pulau Jawa dan sebutan lainya untuk jenis alat musik lainnya.
Penyebutan semacam ini sangat penting,  guna mengenal identitas, daerah asal alat musik tersebut secara pasti. Oleh karena itu, dalam buku ini, Alat Kesenian Petik yang berasal dari Pulau Rote – Nusa Tenggara Timur, tetap menyebutnya “Sasando Rote” sebagai identitasnya (Logonya) dan bukan sebutan “Sasando” saja.
Dengan majunya teknologi, misalnya, orang Barat dapat membuat seperangkat alat musik yang serupa dengan  “Gamelan Bali” maupun “Gamelan Jawa”, baik bentuknya, bahan yang dipakai, mupun kesamaan bunyi  yang dihasilkan, tetap alat musik tersebut, harus  di sebut “Gong/Gamelan Bali” atau “Gong/Gamelan Jawa”. Hal ini menyangkut identitas dan awal sejarah asal-usul  musik tersebut.

Bahwa alat-alat kesenian tradisional Indonesia, walaupun hingga saat ini, tidak pernah di “PATENKAN”, namun Apakah Status Hukumnya, dapat dianggap “SERRUPA DENGAN SUDAH DIPATENKAN”?. Oleh karena itu, semua pihak yang terkait dengan bidang Kesenian dan Kebudayaan Tradisional, perlu memikirkan  nasib Alat Kesenian Tradision Indonesia  dimasa depan, apakah ada kewajiban masing-masing daerah pemilik alat kesenian tradisionalnya perlu di PATENKAN atau tidak. Karena mengingat dewasa ini, Negara-ngara Barat begitu mudahnya mempatenkan budaya milik  Negara lainnya, menjadi milik pribadi/negaranya dan menjadikan sebagai obyek bisnis.

Contoh : Bahwa obat-obatan Herbal tradisonal yang biasa dipakai oleh masyarakat umum di Asia seperti di India, Indonesia, dan di negara lainnya, kini ada Intelektual Amerika mempatenkannya, dan melarang pihak manapun untuk memproduksinya.
Contoh lainnya lagi, seperti Malaysia mempatenkan Batik, Seni Tari Pendek asal Bali, Reog Ponorogo, Lagu Rasa Sayang asal Ambon, dll.
Semua ini karena kelalain kita sendiri, yang kurang peduli terhadap apa yang kita miliki dan mempertahannya sebagai jatidiri bangsa. Pada hal, dilain pihak Negara lainnya mengambil keuntungan dari kelengahan kita sendiri.
Maka pertanyaannya, apakah ada keharusan kepada daerah-daerah pemilik alat kesenian tradisionalnya, untuk di Patenkan atau tidak? Jika jawabannya “Tidak Wajib”, namun pada pihak lain, ada Negara lain yang lebih dahulu mempatenkan alat kesenian tersebut, dan apa sanksi hukumnya.

Yang  penulis khawatirkan disini, khusus, alat musik, asal Pulau Rote yaitu “SASANDO ROTE”, sebuah alat musik yang bentuknya sangat sederhana, bahan yang di pakaipun sederhana, namun produk bunyi yang dihasilkan, menyamai bunyi alat musik modern saat ini. Dengan demikian, pada suatu saat nanti kedepan, kemungkinan ada keinginan dari misalnya Negara lain, untuk mengembangkannya dengan berbagai teknik modern, sehingga akhirnya menjadi suatu alat musik yang sangat laku di pasar dunia dengan produksi massal, sebagai obyek bisnis yang sangat menguntungkan, lalu dipatenkan oleh mereka. Jika terjadi demikian, tentu menjadi masalah besar, dan terjadi tuntutan dari masyarakat pemilik alat musik tersebut.

Menurut Undang-Undang yang ada, siapa, yang lebih dahulu mempatenkan sesuatu produk/karya, maka dialah yang berhak atas produk/hasil kaya  tersebut.
Karena begitu pentingnya kekuatan hukum, dalam melindungi hak-hak daerah pemilik alat-alat kesenian tradisional tersebut, perlu ada Undang-Undang yang memperkuat status  hak pemilikannya secara jelas. Isi dari Undang-Undang tersebut  perlu menyebutkan dengan tegas, bahwa secra otomatis, semua alat-alat musik tradisional yang ada di seluruh Indonesia,  diakui sebagai hak milik kebudayaan daerah tersebut, sebagai pengganti Hak Patennya.
Dengan demikian, tidak lagi ada kewajiban masyarakat untuk mendaftarkan secara khusus, ke Dinas yang mengurus Hak Paten lagi.
Demikian sekelumit sumbang - saran, untuk ditanggapi secara serios, bagi berbagai pihak yang manaruh peduli terhadap kebudayaan dan jatidiri bangsa Indonesia. (Penting atau Tidak Penting?)

“Sasando Rote” ini semakin dikenal masyarakat Indonesia, ketika, di ikutsertakan dalam Lomba “Indonesia Mencari Bakat” (Mei-Juni-Juli-Agustus 2010) yang diselenggarakan oleh TransTV Jakarta, dimana setiap penampilan Berto Pah, anak dari Maestro Jermias Pah, di Kupang-Timor NTT, peserta yang memainkan “Sasando Rote” mewakili Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), selalu mendapat pujian/sanjungan dan sambutan hangat, baik dari penonton maupun oleh Juri lomba, oleh karena, dari alat musik sederhana dan tradisonal  ini, mampu tampil dan menunjukkan kemampuan produk bunyi yang dihasilkan, tidak kalah dengan  alat musik modern saat ini. Demikian pula dalam acara TV Indosiar Jakarta dalam acara Indonesia’s Got TALENT peserta Djitron Pah anak Maestro Jermias Pah, juga membawakan “SASANDO TOTE” dengan gemilang dan sangat  mempersona  baik oleh para juri, penonton maupun kepada para pemirsa di rumah. Yaa… unik dan spesifik bentuk dan bahan yang dipakai, namun bisa bersaing dengan alat musik modern lainnya sekalipun.. Ternyata SASANDO ROTE ini dapat mengiringi   lagu-lagu Pop maupun seriosa sekalipun. OK BANGET..!!!.


SEJARAH AWAL “SASANDO ROTE” DALAM CERITA  RAKYAT ROTE
Banyak Versi tentang :  Sejarah/hikayat/cerita rakyat tentang “Sasando Rote” yang semula diceritakan dari mulut ke mulut, dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga lama kelamaan menjadi kabur.  Walaupun demikian semua bentuk cerita tentang Sasando Rote yang berasal dari berbagai nara sumber itu,  perlu ditampilkan disini merupakan kekayaan budaya lisan yang dipelihara oleh masyarakatnya dan tidak perlu diperdebatkan dalam bentuk apapun tentang keabsahannya dan patut diterima apa adanya sebagai suatu sumbangan berharga dalam  kita mengenal kisah-kisah tentang Awal Sejarah adanya “Sasando Rote” ini.   
Dari berbagai versi yang terbaca dibawah ini,  inti obyeknya  hanya satu,  yaitu terciptanya sebuah alat musik tradisional “Sasando Rote,”  tetapi  dalam  bentuk berbagai  cerita-cerita yang bervariasi, sebagai pemanisnya.
Orang Rote perlu berbangga  bahwa “Sasando Rote’ memiliki sejarahnya, jika dibandingkan dengan sejarah alat musik tradisional dari suku-suku  lain di Indonesia bahkan  di Negara lain sekalipun.
                                    
Versi 1
Makluk Dalam Tiga Wujud,   Hidup  Di Tiga Alam,
Pencipta “Sasando Rote”

Kisah-kisahnya sebagai berikut :

Kehidupan Seorang Kakek dan Nenek

Pada zaman dahulu  hiduplah seorang kakek dan  seorang nenek di salah suatu desa kecil dekat pantai,  dipulau Rote (Roti) Nusa Tenggara Timur, yang letaknya paling terselatan dari kepulauan Indonesia, atau paling dekat ke kota Darwin di Australia.
Kedua orang tua ini termasuk sangat miskin, dan hidupnya  bergantung pada sebidang ladang, dan serumpun pohon lontar yang menghasilkan “air nira” yang manis.  Untuk menambah lauk pauk,  maka  setiap air laut surut pada waktu malam, mereka pergi mencari ikan ( Rote = makameting) di sela-sela batu karang dan sayur laut, yang nantinya sebagai lauk pauk.

Kedua orang tua ini tidak memiki anak, sehingga segala pekerjaan terpaksa dikerjakan bersama-sama oleh kedua orang tua ini. Sebagai pekerjaan rutin, setiap bangun pagi, si kakek memanjat pohon lontarnya guna menyadap buah lontar / mayang lontar guna mengambil  air niranya sebagai makanan pokoknya.
Sedang si nenek pergi mencari kayu api untuk dipakai memasak makanannya dan memasak gula dari air nira yang dibawa si kakek.  Setelah kakek tiba dirumah membawa air nira, sebentarnya lagi si nenek juga sudah pulang membawa kayu api.
Si nenek selain memasak makanan, juga memasak air nira lontar yang dibawa sikakek untuk dimasak mejadi gula cair/gula air (istilah  Rote = Tua Nasu = Sirup Rote), dan juga membuat gula batu atau gula lempeng yang wadahnya terbuat dari anyaman daun lontar.
Apabila sudah banyak terkumpul hasil gulanya, mereka menukarkan dengan kebutuhan lain sehari-harinya seperti dengan beras, jagung, pakaian, sirih pinang dan kebutuhan lannya.
Selain air nira dimasak jadi gula, ada yang disisihkan untuk diminum, dan ada yang diberikan kepada babi peliharaannya.
Juga air nira lontar difermentasi untuk membuat ‘Laru’ sejenis minuman alkohol tradisional berkadar ringan. Air nira lontar ini    dimasukkan kedalam sebuah bongko yaitu sejenis buah tanaman melata kurang lebh sebesar buah labu, yang telah dikeluarkan isi dalamnya, kemudian  direndam dengan berbagai akar-akaran, kulit kayu, dan ramuan-ramuan lainnya atau hanya dengan sepotong kulit kayu bakau/mengrove yang biasa tumbuh di tepi pantai. 

Biasanya setelah air nira dimasukan kedalam ‘bongko’ yang berisi macam-macam ramuan tersebut, akan langsung bereaksi, layaknya seperti nasi yang sedang mendidih dan mengeluarkan buih-buih putih. 
Pada soreh hari, biasanya sudah dianggap matang, dan diminum oleh si-kekek sebagai penghangat badan, dan sebagai obat menghilangkan pegal-linu, sehingga besok ketika bangun pagi,  badannya sudah terasa segar untuk melaksakanan pekerjaan rutinnya.
Setelah selesai  memasak makanan dan gula, kedua orang tua ini  lalu makan pagi, dan  mempersiapkan diri untuk pergi keladang, mengurus tanaman-tanamannya. Mereka baru pulang kerumah setelah menjelang malam.

Pada zaman kakek dan nenek, saat itu belum ada minyak tanah  pengisi lampu sebagai alat penerangan dimalam hari.
Maka sebagai bahan lampu, mereka mengumpulkan biji-biji  dari buah pohon kusambi, yang telah dikeringkan, setelah dikupas kulitnya ditumbuk bersama kapuk atau kapas, hingga halus dan menyatu, kemudian dililitkan dari bawah sampai keatas pada sebatang pohon kulmeok (perdu kecil  yang garing batangnya memiliki rongga ditengahnya dan mudah patah sepanjang sebuh lidi sapu).
Dimalam hari dibakar sebagai lampu mereka. Lampu tradisional ini dalam semalam sebelum tidur bisa menghabiskan 4 (empat) batang.

Sedang untuk obor mencari ikan, mereka mepergunakan daun kelapa satu tangkai, yang sudah kering diikat dengan tali, sehingga membuat daun-daun kelapa menyatu, dan itulah yang dibakar sebagai obor/pelita dimalam hari mencari ikan dilaut (makameting).
Pada suatu malam, si kakek pamit pada si nenek untuk pergi kelaut mencari ikan, karena pada malam itu kebetulan air laut surut. Rupanya si kakek malam itu lagi sial.
Dengan obor daun kelapa keringnya sudah kesana kemari dengan membongkar batu karang semalam suntuk, hanya mendapat 7 (tujuh) ekor ikan kecil-kecil sebesar jari kelingking.
Menjelang pagi hendak kembali kerumahnya, dia berkata dalam hatinya, “kalau ke tujuh ekor ikan kecil ini saya bawa pulang kerumah dan dimakan oleh dua orang, rasanya juga tidak cukup. Apakah saya harus melepaskannya kembali ke dalam laut atau dibawa pulang kerumah”.
Tetapi akhirnya dia mengambil keputusan, biarlah saya membawa pulang ke-tujuh ekor ikan kecil-kecil  ini, walaupun dimakan dua orang tidak cukup, tetapi  sebagai bukti bahwa memang benar sepanjang malam saya mencari ikan di laut.
Setiba dirumah dia menyatakan kekesalannya kepada istrinya si nenek, bahwa dia tidak beruntung karena hanya mendapat 7 (tujuh) ekor ikan kecil-kecil saja. Tetapi si nenek menyambut dengan kata-kata menghibur, dan berkata  “sudalah… walaupun kecil tidak apa, mungkin besok-besok kita bisa mendapat yang lebih besar”.

Setiba dirumah, berkatalah si kakek pada si nenek, “rebuslah ikan-ikan ini  untuk makanan pagi kita”.
Setelah selesai kakek berbicara demikian, tiba-tiba terdengar suara dari dalam keranjang ikan yang dibawa kakek dari laut tersebut.  Maka heranlah si kakek dan si nenek karena ternyata suara itu adalah suara ikan yang ada didalam keranjang ikan, dengan nada suara  jeritan dan sedih yang seolah-olah memohon ampun dan belas kasihan kepada kedua orang tua itu   katanya :
”Kasihanilah kami, kami masih sangat kecil, dan kalau kami dimakanpun, tidak akan membuat kakek dan nenek mejadi kenyang”. “Biarlah kami dipelihara dulu sampai kami besar baru kami diambil untuk dimakan”. 
Kakek dan nenek sangat heran, karena mendengar ikan-ikan kecil ini bisa berbicara memakai bahasa manusia.
Karena berkali-kali mendengar jeritan hati ikan-ikan ini, akhirnya ikan-ikan itu tidak jadi dimasak. Lalu diambilnya ikan-ikan itu dipeliharanya dengan memasukkan kedalam sebuah tempayan yang penuh berisi air.
Maka legalah hati ikan-ikan itu, karena masih dikasihani dan diberi hidup oleh kakek dan nenek yang sangat baik hati itu. Pada keesokan harinya, kakek dan nenek ini melaksanakan pekerjaan-pekerjaannya seperti biasanya. Setelah selesai mengurus rumah, mereka pergi ke ladang mengurus tanaman-tanamannya.

Ikan-ikan berubah menjadi manusia (tujuh remaja tampan)

Setelah diketahuinya bahwa kakek dan nenek sudah tidak ada dirumah, maka ke-tujuh anak ikan ini melepaskan kulit-kulitnya dari badannya dan keluar dari tempayan air dan berubah menjadi 7 (tujuh) remaja tampan.  Sebagai balas budi kebaikan kakek dan nenek yang membiarkan mereka tetap hidup dan dipelihara dengan baik itu, maka ke-tujuh ekor ikan yang telah menjelma menjadi manusia itu, mulai membagi-bagi tugas pekerjaan diantara mereka masing-masing.
Ada yang membersihkan halaman rumah, ada yang mencari kayu api, ada yang memasak didapur, mecari air minum, mencuci pakaian kakek dan nenek dan pekerjaan lainnya.
Setelah semua pekerjaan masing-masing telah selesai dengan baik, demikian pula makanan yang dimasak telah tersaji di atas meja dengan rapinya, lalu ke-tujuh ekor ikan itu mengenakan kembali kulitnya lalu mereka masuk  ke dalam tempayan air, lalu  berubah  kembali menjadi ikan. Sewaktu kakek dan nenek kembali ke rumahnya di soreh harinya, sangatlah heran  melihat berbagai perubahan yang terjadi.
Rumahnya sudah dalam keadaan bersih dan rapi, halaman rumah tersapu bersih, disamping rumah terdapat setumpuk kayu api, tempayan air yang tadinya kosong sekarang penuh terisi air, pakaian-pakaian kotornya juga sudah tercuci bersih dan tergantung ditali jemuran diluar halamannya.

Yang sangat mengherankan sekali ialah, bahwa dilihatnya dimeja makannya, telah penuh dengan berbagai sajian makanan yang enak-enak siap untuk dimakan. Kedua orang tua ini tidak habis berpikir, siapa gerangan yang datang kerumah ini, dan melakukan semua pekerjaan ini. Setahu mereka dikampung mereka tinggal, tidak ada seorang sanak saudarapun. Tetapi siapa sebenarnya mereka itu. Ini suatu keajaiban, kata kakek kepada si nenek keheranan.
Keesokan harinya, setelah makan pagi, kakek mengambil bekal dan keduanya pergi keladang seperti biasanya.
Begitu diketahuinya bahwa kakek dan nenek sudah keladang, maka ketujuh ekor ikan itu keluar lagi dari tempayan air, dan setelah melepaskan kulit-kulitnya, berubahlah mereka menjadi tujuh remaja tampan. 

Seperti kemarin, semua pekerjaan dikerjakannya lagi oleh mereka masing-masing dengan baik. Setelah  pekerjaannya  sudah selesai semuanya, maka dikenakan kembali kulit-kulitnya, lalu masuk  ketempayan air dan berubahlah kembali menjadi ikan.
Menjelang soreh hari nenek dan kakek pulang kerumahnya dan  ternyata menjumpai lagi kejadian seperti kemarin. Kedua orang tua ini sangat penasaran ingin tahu siapa gerangan yang datang kerumah mereka dan mengerjakan semua ini.

Maka disusunlah siasat, untuk menangkap basah siapa-siapa  mereka itu. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, mereka sudah keluar dari rumahnya, tetapi tidak keladangnya seperti biasanya. Kakek dan nenek  bersembunyi  dibalik semak-belukar,  tidak jauh dari rumah mereka.
Begitu kakek dan nenek tidak ada lagi dirumah, keluarlah ketujuh ekor  ikan dari tempayan air dan setelah melepaskan kulit-kulitnya, berubahlah menjadi tujuh remaja tampan dan siap melaksanakan tugas pekerjaan seperti biasa  mereka kerjakan.
Sebelum semua  pekerjaan mereka selesai dikerjakan, keluarlah kakek dan nenek dari tempat persembunyiannya dan cepat-cepat  pulang kerumahnya.

Sesampai dirumah, dijumpainya ketujuh remaja tampan itu sedang sibuk-sibuknya melakukan pekerjaannya masing-masing.  Ketujuh remaja itu sangat terkejut, dan ketakutan,  dengan kedatangan kakek dan nenek yang tidak diduga-duga sebelumnya pada hari itu, yang pulang lebih awal dari biasanya, sehingga tidak ada kesempatan lagi bagi mereka untuk masuk ketempayan air.
Akhirnya diketahui, bahwa ketujuh remaja itu berasal dari 7 ekor ikan-ikan peliharaannya yang  berada didalam tempayan air itu.  Untuk tidak memberi kesempatan kepada ketujuh remaja itu mengenakan kulitnya agar menjelma kembali menjadi ikan, maka  air ditempayan tempat tinggal mereka, lalu ditumpahkan oleh si kakek. Maka mulai saat itu keberadaan mereka tetap menjadi manusia biasa dan hidup didarat.

Menjadi Anak Angkat

Ketujuh anak remaja itu kemudian diangkat menjadi anak oleh kakek dan nenek, karena kebetulan mereka tidak dikarunia anak. Alkisah, si kakek dan si nenek hidup rukun dan damai saling sayang menyayangi. Ketujuh remaja ini sangat rajin dan sangat patuh pada kakek dan nenek. Pada setiap malam sebelum tidur, kakek dan nenek mengumpulkan mereka lalu bercerita  banyak hal, tentang perikehidupan manusia dan cerita-cerita dongeng lainnya. Mereka sangat tertarik dengan cerita-cerita kakek. Jika ceritanya sedih mereka sangat terharu dan terkadang meneteskan air mata, sedang bila ceritanya lucu, mereka tertawa terbahak-bahak kegirangan.

Mereka juga diajarkan bagaimana bertani dan bagaimana cara mengambil air nira dari pohon lontar, serta diajarkan pula  ilmu bela diri, karena kakek kebetulan guru pencak  silat di kampungnya. Setiap pagi kakek membawa mereka keladang dan diajarkan bagaimana memelihara tanaman dengan baik. Setelah mereka memahami semua tugas pekerjaan itu dengan baik, maka  tugas-tugas kakek dan nenek, diambil alih oleh ketujuh remaja tampan ini. Kakek dan nenek sekarang diam saja dirumah. Mereka sekarang tumbuh menjadi dewasa dan sudah terbiasa dengan kehidupan manusia di darat.

Remaja Sasando mengabdi di rumah Raja

Namun karena kakek orang miskin, selain tidak  memerlukan banyak tenaga kerja untuk  mengerjakan  ladang dan membantu menyadap nira lontar, maka pada suatu ketika, berkatalah kakek kepada ketujuh remaja katanya :“Anak-anakku yang tercinta, kakek hanya membutuhkan 6 (enam) orang saja untuk membantu kakek. Jadi ada kelebihan satu orang”. Kelebihan satu orang ini, nanti kakek akan membawanya ke istana raja, dan akan memohon agar bisa diterima menjadi pelayan raja Walau pun dengan berat hati keputusan ini diambil,  mengingat keadaan kakek dan nenek tidak mengijinkan karena kemiskinan mereka.
Ketujuh remaja itu kemudian setuju, lalu satu diatara mereka dibawa menghadap raja. Dihadapan raja, sikakek memohon, “kalau  Bapak Raja tidak berkeberatan, mohon mau menerima anak remaja ini untuk membantu  di istana”.  Karena wajah remaja ini tampan dan menarik, maka permintaan kakek ini dikabulkan sang raja. Lalu kakek mohon diri dan kembali kerumahnya.Sesampai dirumah, kakek menceritakan kepada keenam saudaranya, bahwa mereka diterima dengan baik oleh Bapak Raja, dan berjanji akan diperlakukan saudaramu itu dengan baik. Anak remaja tampan ini, yang tinggal dengan Raja, diberi tugas menjaga hewan domba. Setiap pagi setelah domba-domba dikeluarkan dari kandangnya, dibawanya ke padang rumput.  Sebelum domba-domba dibawa ke padang rumput, ia memeras susu domba untuk Bapak Raja.

  Menciptakan “Sasando Rote” dengan berguru  teori musik pada “Laba-Laba”




Begitulah pekerjaan sehari-hari dijalaninya dengan suka cita. Pada suatu hari, ketika sedang menggembala domba dipadang rumput, turunlah hujan deras disertai guntur dan kilat sambar-menyambar. Maka berlarilah ia mencari tempat perlindungan dan masuklah ia kedalam sebuah goa yang kebetulan tak jauh dari tempat penggembalaannya itu. Sambil menunggu redanya hujan, ia berbaring dilantai goa untuk melepaskan lelahnya. Tetapi tiba-tiba terdengar olehnya suara seperti suara orang sedang memainkan musik. “Siapa  gerangan yang memainkan musik yang sangat merdu itu”, kata hatinya.
Ternyata, tidak seorang pun ada di dalam goa itu, selain dirinya sendiri. Maka diamatilah segenap sudut dari goa tersebut secara cermat. Ternyata, yang dilihatnya hanyalah   seekor “Laba-laba raksasa” yang sedang asik-asiknya naik-turun membuat / memintal jaring-jaring sarangnya dengan kaki-kakinya yang panjang itu. Pada saat laba-laba memintal jaring-jaring sarangnya itulah, yang mengeluarkan/ menghasilkan getaran bunyi suara, seperti bunyi musik yang didengarnya tadi..

Setiap helai jaring laba-laba yang dirakitnya itu, selalu mengeluarkan nada suara yang berbeda, karena panjang masing-masing helai jaring sarangnya itu tidak sama panjang. “Mengapa bisa terdengar getaran  suara dan apa yang menyebabkan, kata hatinya lagi”. Setelah diamatinya pula, ternyata ruang goa itulah sebagai resonator yang memantulkan gema atau getaran suara, saat laba-laba membuat/memintal sarangnya.
Rupanya peristiwa yang diamatinya itu sangat terkesan dan menarik perhatiannya, sekaligus memberikan inspirasi kepadanya untuk mencoba meniru dan menciptakan sebuah alat musik ala Laba-laba itu. Karena hujan sudah reda, ia keluar dari goa dan kembali menggembalakan dombanya. Hari berganti hari dan ternyata pengalaman di dalam goa itu masih saja terbayang-bayang dalam ingatannya.

Pada suatu ketika, ia mendapat  suatu kesimpulan, bahwa musik Laba-laba yang di dengarnya saat berlindung di-goa tersebut, adalah terdiri dari beberapa unsur terkait yang menyebabkan  adanya getaran suara nada tersebut yaitu:
1     Unsur tali / dawai menirukan jaring laba-laba;
2     Unsur gema suara (resonator) yang menirukan ruang goa sebagai pemantul suara/gema;
3     Unsur jari yang memainkan tali-tali / dawai yang menirukan jari-jari / kaki-kaki dari laba-laba.
Itulah ilmu musik yang diperolehnya dengan berguru pada Laba-laba  yang berada di goa  itu atau pada alam lingkungannya.  

Dalam kehidupan manusia, banyak hal yang dapat  kita lakukan, adalah dengan meniru dan mengambil contoh-contoh dari alam dan merekayasanya dengan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Salah satu contohnya, ialah mengapa burung dapat terbang di angkasa. Lalu para ahli mulai mempelajarinya dengan seksama, maka kemudian lahirlah pesawat terbang. Begitu pula awal terciptanya “Sasando Rote” ini, juga menirukan alam, yaitu gerakan laba-laba, goa, yang menhasilkan bunyi. 
Dengan berpedoman pada ketiga unsur pokok dari “gurunya Laba-laba” itu, ia mencoba   merancang bahan-bahan apa yang harus dipakainya untuk membuat suatu alat musik.

Akhirnya didapat juga akal.

Diambilnya  sepucuk daun pohon lontar, setelah dijemur dipanas matahari dan agak layu, kemudian ditekuk/dilipat  berbentuk  setengah lingkaran menyerupai seperti ember  yang  terbuka dalam istilah Rote disebut “Haik” dijadikan  sebagai wadah gema  suara (resonator) menirukan bentuk goa, sedangkan;  hela - helai  seperti  benang yang terdapat di sela-sela daun lontar itu,(Rote = fifik) dijadikan sebagai “dawai / tali senar”, menirukan jaring/sarang  Laba-laba, dan  “jari-jari tangan” yang memainkan dawai dengan menirukan  “kaki-kaki  laba-laba”.
Dawai-dawai dari serat daun lontar itu kemudian direntangkan disekeliling seruas bambu, diberi alat penyetel untuk mengencangkan dawainya. Namun karena serat-serat daun lontar gampang putus, maka kemudian digantinya dengan cungkilan kulit bambu. Setelah semuanya terpasang, maka jadilah sebuah alat musik sederhana, siap untuk dimainkan.  Saat selesai pembuatan, alat musik baru ini belum diberi nama olehnya. 
Kemudian ia mencoba memainkan alat musik baru ciptaannya, dan diluar dugaan sangat merdu bunyinya. Jumlah dawainya ada tujuh hingga  sembilan utas itu dengan  menirukan nada bunyi “Gong Rote” yang tujuh hingga sembilan buah.
Setelah berselang beberapa hari kemudian,  remaja ini menghadap raja, dan melaporkan bahwa, ia telah menciptakan sebuah alat musik yang sangat merdu suaranya jika dimainkan. Maka mulailah ia memainkan di depan raja.
Sang raja sangat tertarik dan senang mendengar bunyi suara musik baru ini.

Berselang beberapa hari kemudian kalangan istana raja menyelenggarakan  pesta perkawinan putra raja, maka alat musik baru ini akan dimainkan sebagai salah satu musik yang meramaikan pesta tersebut.  Saat pesta perkawinan putra raja berlangsung, alat musik ini dimainkan. Semua undangan yang hadir selain merasa kagum terhadap keunikan musik baru ini, juga memohon kepada sang raja untuk mengijinkan mereka meniru alat musik ini. Maka mulai saat itu alat musik baru ini dikembangkan dan dijadikan  alat musik tradisional Orang Rote hingga saat ini.

Pemberian nama kepada alat musik baru ini, adalah “Saesandu” oleh raja, sesuai dengan nama penggembala domba yang menciptannya ialah Remaja “Saesandu”   Tetapi dengan berjalannya waktu  dari generasi ke generasi maka sebutan nama alat musik ini  juga mengalami perubahan  terus-menerus, yang semula berasal dari nama Saesandu, berubah menjadi Sasandu, kemudian berubah lagi menjadi Sasando.
Berhubung alat musik ini berasal dari Pulau Rote, maka disebut  “Sasando Rote” sebagai Logonya, jadi bukan Sasando saja.
Sebagai contoh, banyak nama gamelan di Indonesia tetapi ada gamelan yang diciptakan oleh orang Jawa maka disebut “Gamelan Jawa”, demikian pula Gamelan yang diciptakan oleh orang Bali, maka disebut “Gamelan Bali” ada Gong yang diciptakan oleh orang Rote, maka disebut “Gong Rote”.
Mengapa penyebutan Gong perlu ditambahkan dengan nama etniknya, oleh karena dimana-mana ada gong, tetapi  cara memainkannya  berbeda, produk bunyinya juga berbeda, dan jumlahnya juga berbeda dan itu merupakan ciri khas  dari masing-masing   alat musik tradisional etnik yang ada yang disebut Gong. 
Oleh karena itu sebutan untuk Sasando yang benar adalah “Sasando Rote”, yang artinya alat musik itu  berasal dari Pulau Rote atau diciptakan oleh Orang Rote.
Jika sebutannya tidak seperti itu, maka sama dengan memberi peluang kepada pihak lain seperti orang Barat misalnya untuk  boleh membuat alat musik seperti Sasando juga dan akan diakui sebagai alat musik mereka.
Sebutan Sasando ini beraneka ragam seperti “Sasandu”,  “Sasando” saja dan ada “Sasando Rote”, dan sebutan yang terakhir inilah yang benar.
Kami harapkan agar mulai saat ini  harus meyebutkan  nama yang paling lengkap adalah “Sasando Rote” dan bukan “Sasando” saja. 

Kematian tragis menimpa remaja Saesandu

Bagaimana nasip selanjutnya dari pemuda Saesandu pencipta alat musik “Sasando Rote” ini.
Kisahnya sebagai berikut :
Pada suatu hari, ketika sedang menjaga domba-domba dipadang, dilihatnya  dua ekor domba jantan bertanduk panjang dan berujung runcing sedang mengamuk dan saling menyerang satu dengan  lainnya.
Karena khuatir domba-domba tersebut akan terluka oleh tanduk-tanduknya yang tajam itu, maka   remaja Saesandu ini berlari  mendekat ke-domba-domba itu dengan maksud untuk  menghalaunya pergi.

Tetapi apa akibatnya yang terjadi. Diluar dugaannya, kedua domba yang sedang  mengamuk itu, bukannya berlari menjauh, tetapi   berlari menuju kearah remaja Saesandu itu dan menanduknya dengan ganasnya  berulang-ulang kali keperutnya, sehingga terluka parah dan banyak mengeluarkan darah dan beberapa saat kemudian matilah remaja Saesandu itu. Inilah hari naas bagi si pencipta alat musik “Sasando Rote” yang  mengakhiri riwayat hidupnya secara tragis dan tak seorangpun tahu keberadaannya.
Setelah berselang beberapa hari kemudian, karena remaja ini tidak pulang ke istana dengan domba-dombanya, maka raja memerintahkan pelayan-pelayannya pergi untuk mencarinya. Sudah berhari-hari dicari ke mana-mana, ternyata tidak juga ditemukannya, maka diperkirakan kemungkinan besar telah dimangsa oleh binatang buas dihutan, sehingga pencarian terhadap si gembala domba ini akhirnya dihentikan.
  
Keenam saudaranya pergi ke Istana Raja menjenguk saudaranya

Rupanya kematian remaja Saesandu ini  secara batiniah dirasakan pula oleh keenam saudaranya yang tinggal bersama kakek dan nenek. Perasaan mereka akhir-akhir ini sangat gelisah, sepertinya ada terjadi sesuatu yang sedang menimpa saudaranya yang tinggal di istana raja. 
Karena itu mereka memohon  kepada kakek dan nenek, kalau bisa mereka di izinkan untuk pergi menengok saudaranya di istana raja, karena sudah lama mereka berpisah dan ingin mengetahui keberadaannya sekarang.
Setelah mendapat izin, berangkatlah ke enam remaja itu ke istana raja. Sesampai disana mereka menanyakan saudaranya kepada  para pelayan raja, karena ingin bertemu dengannya.

Tetapi jawaban yang mereka terima, ternyata tidak menyenangkan, karena diceritakan bahwa sudah beberapa hari lamanya dia tidak pulang kerumah, dan kami juga sudah mencarinya kemana-mana, tetapi tidak pernah menemukanya dan kemungkin sudah mati dan dimakan oleh binatang buas.
Mendengar berita yang tidak menyenangkan dan menyedihkan itu, ke enam remaja lalu menangis tersedu-sedu sejadinya, mengenang nasib saudara mereka yang malang itu.
Seperti apa yang mereka gelisahkan terhadap saudaranya ini sebelumnya, ternyata menjadi kenyataan.
Lalu mereka pamit dari istana raja, dan pergi kehutan-hutan dan padang rumput mencari saudaranya yang tidak menentu nasipnya itu. Berhari-hari masuk hutan, keluar hutan tanpa rasa lelah, mencari saudaranya yang hilang itu.

 Memohon doa kepada Dewa Pencipta

Pada akhirnya mereka memohon pertolongan kepada Dewa Pencipta untuk menunjukkan, dimana saudara mereka berada.  Rupanya atas doa mereka yang tidak putus-putusnya itu, sang Dewa Pencipta akhirnya menunjukkan dimana saudara mereka berada.
Akhirnya saudara mereka yang hilang itu ditemukan juga, namun sudah dalam keadaan mayat terbaring berlumuran darah diseluruh tubuhnya, diantara semak-belukar dan  tubuhnya hanya tertutup dengan daun-daun kering yang kebetulan diterbankan angin kesitu.
Tubuh mayatnya penuh dengan luka-luka dan penuh darah. Ke-enam saudaranya sangat sedih, dan bingung apa yang hendah mereka perbuat  sekarang, dalam mengadapi mayat saudaranya ini.
Dalam suasana keputusasaan dan tak berdaya,  mereka memohon doa lagi kepada Dewa Pencipta sekali lagi untuk mau menolong menghidupkan kembali saudara mereka.
Karena dengan doa yang sungguh-sungguh, dikabulkan juga oleh Dewa Pencipta sehingga saudaranya yang sudah mati,  dihidupan kembali.
Kemudian  ke-tujuh remaja itu lalu mengucapkan terima kasih kepada Dewa Pencipta yang sudah menolong menghidupkan kembali saudara mereka.

Membenci manusia darat, dan ingin kembali ke Laut

Lalu bersumpahlah mereka demi Dewa Pencipta dan berkata : 
“Bahwa mulai hari ini, kami tidak mau  hidup bersama-sama lagi dengan   “manusia darat”, karena manusia darat sangat kejam, karena mayat saudara kami  tidak diurus dengan baik dan dibiarkan membusuk dihutan. Sekiranya tidak cepat kami temukan, besar kemungkinan akan dimakan oleh binatang liar yang ada dihutan itu.
Setelah saudara mereka hidup kembali, ia menceritakan segala kejadian yang dialaminya dan sebab-sebab kematiannya Lalu mereka bersama merundingkan  nasip masa depan mereka. Karena kehidupan didarat tidak menjamin keselamatan mereka, maka mereka bersepakat untuk kembali saja kelaut  tempat hunian mereka semula.

Kata mereka : “Karena kami berasal dari laut, maka kami akan kembali ke laut lagi, di alam kami semula. Disana kami bebas berenang kemana saja  dan bisa bertemu dengan saudara-saudara kami. Tentu mereka akan mengadakan pesta penyambutan, karena sudah sekian lama berpisah setelah menjadi manusia di darat.
Maka pergilah ke tujuh remaja itu menuju ke laut.  
Perjalanan menuju ke-laut lama sekali, karena sebentar-sebentar mereka harus berhenti dan beristirahat, karena saudara mereka yang baru saja hidup kembali ini, keadaan badannya sangat lemah dan cepat merasa lelah dan kurang bertenaga, sehingga dia harus digotong dan dipapah bergantian oleh saudara-saudaranya yang lain. Walau pun dengan bersusah payah selama diperjalanan,  akhirnya mereka tiba juga di tepi pantai yang dituju.

Dewa Laut menolak permohonan ke-tujuh remaja
sebagai warganya lagi

Setelah lama beristirahat setiba di pantai,  mereka memohon doa lagi kepada Dewa Laut dan berkata, “Ooo… Dewa Laut… kami dahulunya berasal dari laut, maka sekarang tolong  menerima kami, untuk kembali ke laut sebagai wargamu lagi”.
Lalu berkatalah Dewa Laut kepada mereka, “hai… anak-anak, memang saya mengakui, bahwa  benar kamu dahulunya berasal dari laut, dan jumlah kamu waktu itu 7 ekor semuanya, tetapi sekarang jumlah kamu tidak genap 7 lagi, karena saya hitung hanya berjumlah 6,5 saja, karena  satu diantara kamu  yang sudah pernah mati itu, saya hitung cuma ½ (setengah)  saja, jadi tidak genap lagi seperti keadaan kamu semula yaitu 7 ekor ikan.

Selain itu, jika saya menerima  kamu, maka yang sudah pernah mati itu,  akan membuat seluruh isi laut  “berbau busuk.”
Tetapi jawab mereka kepada Dewa Laut, “bahwa manusia darat sangat kejam kepada kami;  saudara kami yang satu ini  tidak dipelihara dengan baik, sehingga mati ditanduk domba dan mayatnya dibiarkan tergeletak begitu saja, dengan hanya ditutupi dengan daun-daun kering yang diterbankan angin ditengah hutan. Karena itu mulai saat ini kami benar-benar sangat membenci manusia darat, sehingga kami tidak mau  hidup didarat bersama mereka lagi”. 
Lalu jawab Dewa Laut kepada mereka , “Kalau laut maupun darat tidak mau menerima kamu, yaaa…cobalah memohon  kepada Dewa Langit, mungkin dia mau menerima kamu sebagai warga barunya”.

Dewa Langit Menerima mereka,  sebagai warganya dan
Berubahlah mereka  menjadi
 “Kelompok Bintang Tujuh” di angkasa raya

Karena berputus asa dan tidak ada jalan lain, akhirnya ketujuh remaja itu ramai-ramai memohon doa kepada Dewa Langit supaya mau menerima mereka. Pada akhirnya Dewa Langit yang maha bijaksana dan maha penolong tergeraklah hatinya, merasa kasihan dan sedih akan nasib malang dari ke tujuh remaja ini, sebab jika langit pun tidak menerima mereka, kemana lagi  mereka akan pergi, karena Dewa Laut juga tidak mau menerima mereka lagi, walaupun semula mereka berasal dari laut. 

Selain itu mereka juga tidak mau hidup bersama manusia darat, oleh karena  mereka kejam. Dewa Langit sangat mencintai ke tujuh anak-anak remaja yang sedang berputus asa tersebut.  Pada saat itu juga, Dewa Langit  mengabulkan permohonan doa mereka, dan bersedia menerimanya sebagai warga barunya di langit.
Seketika itu juga,  ketujuh remaja itu langsung berubah wujud mereka, dan terbang  keangkasa-raya menjadi 7(tujuh) bintang) dilangit dalam satu kelompok atau gugusan bintang yang sampai saat ini disebut sebagai Kelompok “Bintang Tujuh’.

Walaupun ketujuh-tujuhnya sama-sama bintang, tetapi pancaran  cahayanya berbeda.
Enam bintang  lainnya bercahaya sangat terang, namun yang satunya, cahayanya sangat  suram tidak begitu terang, itulah remaja Saesandu pencipta “Sasando Rote”, yang sudah pernah mati karena ditanduk domba.
Namun demikian, mereka tetap hidup dengan tenang, rukun saling  berdampingan satu dengan lainnnya dalam kelompok “Bintang Tujuh” mulai dari saat itu, hingga akhir zaman dan setiap malam pasti mereka muncul dan menampakan wajahnya diangkasa raya.

Mereka adalah satu-satunya makluk yang pernah hidup dalam tiga alam sekaligus dan  dalam bentuk tiga (wujud) yaitu :
1.Berwujud Ikan yang hidup dilaut
2. Menjelma menjadi “manusia” yang hidup didarat
3.Terakhir menjelma menjadi “bintang, hidup dilangit”  diangkasa raya yang maha luas itu.

Itulah kisah dan hikayat asal-usul terciptanya Alat Musik Tradisional “Sasando Rote” dari Pulau Rote (Roti) di Nusa Tenggara Timur- Indonesia, yang diceritakan dari generasi ke generasi.  (Giyanto-Plus l957).
Dari cerita rakyat Rote ini, terkesan bahwa,  sebelum manusia modern  memanfaatkan  ilmu pengetahuan dan teknologinya untuk terbang  ke-bulan (angkasa raya) dan bintang-bintang di angkasa luar, ternyata orang-orang Rote zaman dahulu, telah lebih dahulu meramalkan kemungkinan tersebut, seperti tergambar  dalam cerita  rakyat mereka tersebut diatas, bahwa manusia bukan saja dapat hidup di darat dan di laut tetapi suatu kelak, dapat juga  hidup di angkasa luar. (Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob).

Versi lainnya tentang hikayat terciptanya “Sasando Rote” ini banyak sekali berdasarkan penuturan lisan (oral) dari generasi ke generasi. Ada juga yang terdapat dua buah cerita yang  dikisahkan oleh  Drs. Djony L.K.Theedens, dalam bukunya berjudul “Pedoman Permainan Sasando” (l993).
Buku tersebut diperuntukkan sebagai bahan pelajaran “Seni” untuk kelas 4, 5, 6, SD dan kelas l SLTP di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Sayangnya buku itu belum dicetak untuk dijual secara umum, dan terbatas hanya untuk murid-murid sekolah. Dalam bukunya Bab.I berjudul “Sasando Rote”, di kisahkan dan dikutip untuk  rujukan buku kami sebagai berikut :

Versi ke-2,  CERITA  “Sejarah Sasando Rote”

Menurut para ahli musikolog bahwa nenek moyang instrumen petik adalah apa yang dipertunjukkan di Paleolithick Cave Paninting de Tropis Fre’res Prancis Selatan, yaitu dukun yang sedang berburu pada zaman batu itu memiliki alat musik gesek yang terikat di mulut topengnya yang dipegang dengan tangan kiri dan dipetik dengan tangan kanan.
Sejarah tentang berbagai instrumen musik suatu prolema yangh cukup pelik. Seperti halnya gitar yang begitu populer dimana-mana, namun ketika ditanya sejarah perjalanannya hingga berbentuk seperti sekarang, cukup menyita waktu bagi siapa saja yang menelusurinya. Ketidak kepastian ini sang Maestro gitar Andre Segovia menyebutkan sejarah gitar merupakan suatu data yang gersang sehingga menurutnya cerita legenda lebih indah dan puitis.

Awal Mula “Sasando-Rote

Cerita rakyat tentang awal mula “Sasando Rote” (sebutan untuk orang Kupang, dan “Sasandu Rote” (sebutan untuk orang Rote) bervariasi. Pada Buku ini akan diturunkan dua macam cerita lain yaitu :
Pada zaman dahuku ada seorang pemuda bernama Sangguana yang bertempat tinggal di suatu kampung bernama O’Etefu – Tie, Kecamatan Rote Barat Daya sekarang. Pada suatu ketika dalam perjalanan mencari ikan dengan perahu, ia terdampar di Pulau Ndana. Beberapa hari kemudian Sangguana  dibawa dihadapan raja setempat yaitu raja Takalaa yang berdiam di istana raja yang bernama Nusaklain.
Kebiasaan pada istana  tersebut pada malam hari sering diadakan kebak  (Kebalai) yaitu semaca tarian masal  muda-mudi dengan cara bergandengan tangan dengan membentuk lingkaran. Pada tarian ini salah seorang bertindak  sebagai manehelo (pemimpin syair) dan manehelo biasanya berada ditengah lingkaran.

Syair-syair itu biasanya menceritakan  tentang silsilah keturunan mereka. Dalam permainan ini, Sangguana yang mempunyai bakat seni  selalu menjadi tumpuan  perhatian di antara sesama mereka.
Tanpa disadari putri raja jatuh hati kepada Sangguana, sehingga pada suatu ketika  putri raja meminta  kepada Sangguana untuk menciptakan suatu  bentuk kesenian yang belum pernah ada, dan apabila permintaan ini dapat dikabulkan, maka Sangguana berhak menikahinya.
Suatu malam, Sangguana bermimpi sedang memainkan satu alat musik yang indah bentuknya dan juga suaranya.

Berdasarkan mimpi tersebut mengilhami Sangguana untuk menciptakan alat musik, yang kemudian alat musik ini diberi nama Sandu (yang berarti bergetar), dan ketika putri raja menemui Sangguana yang sedang memainkan Sandu dikediamannya, putri raja menanyakan apa nama lagu yang sedang dimainkan pada alat itu, maka jawab Sangguana “Sari Sandu.”
Dengan senang hati putri raja menerima sandu dari tangan Sangguana, dan seraya mengatakan, karena alat itu sudah menjadi milik saya, maka alat ini diberi nama sesuai dengan bahasa saya, yaitu Hitu (tujuh), karena alat tersebut terdapat tujuh dawai, dan lagu yang dimainkan melalui alat itu dinamai Depo Hitu yang artinya sekali dimainkan ketujuh dawai bergetar. Awal mula “Sasando Rote” buatan Sangguana yang kita kenal sekarang ini adalah, berdawai tujuh yang terbuat dari akar pohon beringin, yang kemudian diganti dengan usus hewan yang telah dikeringkan. Selanjutnya dengan masuknya alat musik gitar, biola dan lain-lain, maka senar “Sasando Rote” diganti dengan senar kawat.
Menurut cerita, sistem penalaan pada awalnya tidak sama seperti sekarang ini, namun dengan adanya musik gong, maka penelaannya pun mengalami perubahan, yaitu disesuaikan dengan nada-nada yang ada pada gong. Sekaligus jumlah dawai yang tadinya berjumlah tujuh buah, bertambah menjadi sepuluh buah.(Drs.Djony.L.K.Teedens, Pedoman Bermain Sasando, l993).
.
Versi ke-3, CERITA “Sasando Rote”

Ceritera yang lain menyebutkan penemu “Sasando Rote” berawal dari dua orang sahabat, yaitu Lunggi Lain dan Balok Ama Sina.
Gembala domba dan menyadap tuak/lontar merupakan pekerjaan mereka sehari-hari.
Inspirasi membuat alat ini berawal ketika mereka sedang mengrajin haik, wadah penampung air tuak/lontar yang terbuat dari daun lontar.
Diantara jari-jari dari lembaran daun lontar terdapat semacam benang (dalam bahasa Rote fifik). Tanpa disengaja fifik atau benang itu dikencangkan yang kemudian dipetik menimbulkan bunyi yang berbeda-beda, namun benang fifik ini mudah putus.
Awal kejadian ini mendorong Lunggi Lain dan Balok Ama Sina untuk mengembangkannya. Cita-cita dari kedua anak manusia ini adalah menginginkan adanya alat musik petik yang dapat menirukan nada-nada yang ada pada gong.

Berkat semangat yang tidak pernah padam, akhirnya pada waktu yang tidak terlalu lama mereka berhasil menciptakan bunyi-bunyi atau nada-nada yang ada pada gong, yaitu dengan cara mencungkil tulang-tulang dari daun lontar (lidi daun lontar)  yang kemudian di senda (Rote) /diganjal dengan batangan kayu (sebagai semat).
Namun, karena nada-nada yang dihasilkan selalu berubah-ubah dan disamping itu suara yang kecil, maka bahan lidi daun lontar diganti dengan bambu, yaitu dengan jalan mencungkil kulit bambu (sebagai senar) sebanyak nada-nada yang ada pada gong yang kemudian disenda /diganjal (semat) dengan batangan kayu berbentuk piramid. Waktu demi waktu berjalan terus, bersamaan dengan itu Lunggi Lain dan Balok Ama Sina selalu meluangkan waktu untuk mengembangkan alat musik ini. Suatu waktu, timbul gagasan untuk mengganti dawai-dawainya dari serat pelepah lontar dan ruang resonansinya dari haik. Hasil ini ternyata cukup memuaskan, dan dalam perkembangan selanjutnya dawai-dawai “Sasando Rote” diganti dengan senar kawat.
(Drs.Djony.L.L.Theedens).

Versi ke-4, Sejarah Sasando Rote

Topic: Sejarah Sasando Rote

 
Sunday, April 18, 2010 at 12:00am
SEJARAH SASANDO ROTE !Bermula dari Penderita Kusta ROTE menyimpan kisah haru. Jauh di waktu lampau, kusta mengganas hampir merata di pulau seluas 1.214,3 km2 persegi itu. Seperti di belahan dunia lainnya, leluhur Rote ketika itu juga beranggapan, kusta adalah penyakit kutukan Tuhan. Gampang dan cepat menular serta sulit disembuhkan. Anggota keluarga yang terserang kusta seolah sudah di pintu liang lahat. Serangan penyakit kusta diyakini sebagai aib yang pernah diperbuat keluarga sebelumnya. Anggota keluarga penderita kusta dianggap mendatangkan rasa malu mendalam bagi anggota keluarga lainnya.
Untuk itu, penderita harus dikucilkan ke tempat jauh, sunyi dan terpencil hingga ajal datang. Kesulitan bahan tertulis menjadi penyebab hingga belum bisa memastikan kapan persisnya wabah perenggut banyak korban jiwa itu melanda Rote-pulau yang kini masuk wilayah Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Jeremias Pah (60) dan sejumlah turunan Rote lainnya menyebutkan musibah ganas itu terjadi sekitar abad ke-17. Ada yang mengatakan abad ke-13, tetapi ada juga yang bilang jauh sebelum itu. Yang pasti, anggapan bahwa kusta adalah penyakit kutukan dan penderitanya harus dikucilkan, tidak hanya terjadi di Rote. Di NTT hingga tahun 1980-an, kusta masih tetap dianggap sebagai penyakit kutukan. Ini bisa dibuktikan dari temuan Suster Virgula SSpS, pendiri sekaligus pengelola rumah rehabilitasi kusta (RRK) Cancar, 15 km barat Ruteng, kota Kabupaten Manggarai di Pulau Flores.
(Kompas,2/1/96)***


WABAH kusta Rote selain kisah haru, ternyata menyimpan kisah menarik, bahkan monumental. Meski hanya mengandalkan bahan penuturan para tetua akibat kesulitan bahan tertulis, kisah menarik itu terkait dengan keberadaan sasando-alat musik tradisional yang dikabarkan sebagai karya dua penderita kusta Rote waktu itu.
Ny Susana Dorothea M Pah, Jeremias A Pah dan sejumlah tetua turunan Rote lainnya mengisahkan, konon dari sekian banyak penderita kusta yang dikucilkan, ada dua di antaranya yang selalu bersama di tempat pembuangan.

Keduanya adalah Lunggi Lain dan Balo Aman.Kabarnya, suatu ketika Lunggi Lain akhirnya menyerah kalah. Ia terkapar di bawah naungan rumpun lontar akibat luka kustanya yang makin ganas menggerogoti dirinya.
Untung sahabatnya, Balo Aman, masih mampu bergerak menyadap nira hingga kebutuhan makan masih tersedia. Balo Aman sejak pagi pergi mencari makan. Ia meninggalkan Lunggi Lain yang semakin tidak berdaya di bawah naungan rumpun lontar.
Terik matahari timur sangat menyengat. Ia akhirnya tertidur di bawah naungan lontar.Sahabatnya, Balo Aman belum juga pulang. Sesaat kemudian, Lunggi Lain terbangun dari tidurnya. Kepulasan tidurnya terusik oleh suara dentingan. Suara itu terdengar halus dan merdu.Dentingan itu seolah membawa energi aneh. Sang penderita merasa langsung bebas dari gerogotan kusta. Seolah ada semangat segar baru yang disuntikkan ke dalam dirinya.
Merasa dirinya telah segar kembali, Lunggi Lain langsung mencari asal sumber dentingan pendatang energi aneh itu. Ia menjadi penasaran karena dentingan sejuk tetap terdengar, namun sumbernya belum juga diketahui hingga beberapa saat kemudian.
Ia kemudian menengadah ke atas.
 
Di puncak pohon lontar terlihat seekor laba-laba sedang sibuk merajut jaring sarangnya. Lunggi terus menyaksikannya. Tampak gerakan jari-jari binatang menggetarkan jaring sarangnya, diikuti dentingan bunyi halus dan merdu. Setelah lama menyaksikan, Lunggi Lain memastikan dentingan yang ia dengar bersumber dari getaran jaring binatang tersebut.
Menjelang senja beberapa hari kemudian, Balo Aman baru tiba kembali. Ia terkejut karena temannya sudah terbebas dari kusta. Lunggi Lain menyambut kedatangan sahabatnya dengan akrab dan mulai menceriterakan kesaksian menakjubkan itu. Balo mengarahkan pandangan ke puncak pohon lontar dan ia pun yakin ada dentingan merdu yang bersumber dari jaring laba-laba.
Dan, konon seketika itu juga Balo terbebas dari gerogotan kusta. Lunggi dan Balo pun sepakat untuk menciptakan sebuah alat musik petikan berinspirasi dari jaring laba-laba itu. Keduanya mengambil daun lontar muda. Lembaran daun dilengkungkan hingga berbentuk setengah lingkaran.
 
Serat halus daun direntangkan dan ketika digetarkan memang menghasilkan bunyi. Namun, seratnya gampang putus.Serat halus kemudian diganti dengan potongan bambu yang bagian kulitnya telah dicungkil hingga berbentuk tali. Tali-tali bambu diganjal dengan potongan kayu untuk mencari nada. Dan, Lunggi Lain bersama Balo Aman menjadi sangat terkejut dan bersorak gembira ketika getaran rentangan tali bambu menghasilkan bunyi merdu.
***KEBENARAN legendanya mungkin akan menjadi perdebatan. Namun yang pasti, NTT kini memiliki kekhasan berupa sasando. Alat musik tradisional itu ternyata tidak hanya dikenal di NTT atau Indonesia. Sasando sudah mendunia.Mengapa alat musik ciptaan dua penderita kusta itu diberi nama sasando? Lalu mengapa pula harus menggunakan daun lontar sebagai pengatur resonansinya? Ny Susana menjawab, diduga pilihan itu terkait dengan budaya lontar yang menjadi bagian hidup orang Rote. Lontar di mata orang Rote bernilai multiguna. Sejak turun-temurun, niranya merupakan bahan makanan pokok. Salah satu produknya yang dikenal hingga sekarang adalah lempengan ''gula rote''. Cairan gula yang agak kental bahkan dikenal sebagai pengawet bahan makanan terutama ikan. Secara kultural, lontar tidak terpisahkan dari orang Rote. (frans sarong)


Versi – 5, Sejarah Sasando

Karena alat musik yang telah dipasang dalam haik (wadah seperti sebuah mangkok yang terbuat dari daun lontar) itu beresonasi, maka disebut sandu atau sanu yang mempunyai arti bergetar atau getaran. Alat ini kemudian disebut sebagai sasandu yang berasal dari kata berulang sandu-sandu atau bergetar berulang-ulang.




Sasando sendiri sudah kita ketahui, adalah sejenis alat musik petik (Rote = Kuti) dengan ruang resonator dari haik (anyaman dari daun lontar) yang sudah terkenal di kalangan masyarakat NTT.  Memang alat musik ini boleh dikatakan unik, karena merupakan salah satu instrument musik petik dengan keunikan ada pada bentuk, cara memainkannya dan juga bahan pembuatannya. Alat musik ini cukup terkenal belakangan ini di tengah-tengah masyarakat, apalagi setelah Berto Pah menampilkannya di IMB ( Indonesia Mencari Bakat),namun pertanyaannya, apakah semua masyarakat NTT mengenal Sasando, ataukah semua masyarakat bisa memainkannya. Ataukah jangan sampai suatu saat alat musik ini punah dan masyarakat NTT harus ‘berguru’ lagi ke daerah lain untuk memainkan sasando yang sebenarnya?.

Sejarah atau asal-usul Sasando ini, kita semua hanya peroleh dari ceritra-ceritra secara turun-temurun yang sudah diwariskan secara lisan maupun tulisan, namun yang pasti alat musik ini terdiri dari dua jenis, yaitu sasando gong dan sasando biola. Perkembangan alat musik ini berjalan terus seiring dengan perkembangan zaman, terjadi pula modifikasi bentuk serta kualitas bunyi dengan pergantian dawai. Fifik (semacam benang yang terdapat pada sela daun lontar)  diganti dengan tulangan daun lontar, kulit bambu berganti senar kawat, senar tunggal diganti dawai rangkap, akustik berkembang pula ke elektronik, sasando gong berkembang ke Sasando biola.
Menjadi kebanggan tentu bagi orang Rote dan juga NTT umumnya akan bentuk dan keindahan, bunyi dari Sasando yang telah mengalami modifikasi, namun dipihak lain pemain sasando semakin hari semakin berkurang.
Tentu menjadi sebuah pertanyaan yang muncul, mengapa pelestarian sasando menjadi menurun atau mengalami hambatan? bahkan sekarang ini pemain Sasando biola pun tinggal sedkit saja. Bahkan secara umum jumlah pemain sasando tidak lebih dari 20 orang. Menyadari akan hal itu, masyarakat NTT umumnya perlu memasyarakatkan dan melestarikan alat musik ini sehingga kekayaan seni budaya dapat dikembangkan serta dipertahankan. keterlibatan semua elemen masyarakat sangat diperlukan dalam melestarikan dan mengembangkan alat musik ini.(yel) Sansando atau Sasandu SALAH satu faktor yang mempengaruhi lahirnya kebudayaan suatu daerah adalah struktur dan kondisi alam dari daerah itu. Hal ini juga tampak yang terjadi pada kebudayaan orang Rote tempat asal alat musik sasando.

Keberadaan tanaman lontar di Pulau Rote cukup memberi arti bagi NTT karena dari pohon itu, ide membuat sasando muncul, karena itu pohon lontar sendiri sebagai peletak dasar kebudayaan masyarakat.
Masyarakat Rote sendiri tidak memanfaatkan tanaman ini sebagai sumber kehidupan, yaitu sebagai penghasil tuak, sopi (minuman tradisional), gula lempeng, gula air, gula semut, tikar, haik, sandal, topi atap rumah maupun bahan bangunan, tetapi lebih dari itu, masyarakat sudah menganggap tanaman ini memiliki nilai lebih karena sudah menginspirasi lahirnya alat musik sasando. Sampai sekarang daun pohon lontar ini masih tetap dipertahankan sebagai resonator alat musik ini.

Yusak Meok, salah satu pemateri pada seminar Musik Sasando di Hotel Kristal, Kamis (17/12/2009) lalu, mengatakan, Sasando yang seharusnya bernama sasandu (bunyi yang dihasilkan dari getar), lahir dari inspirasi penemunya dari hasil interaksi dengan alam. Menurut Meok, ada berbagai fersi mengenai sejarah tentang alat musik ini, diantaranya, alat musik ini konon ada seorang pemuda bernama Sangguana pada tahun 1650-an terdampar di Pulau Ndana, Sangguana memiliki bakat seni, sehingga penduduk membawanya ke istana, kemudian putri istana terpikat dan meminta Sangguana menciptakan alat musik. Sangguana pun bermimpi pada suatu malam sedang memainkan alat musik yang ciptakannya, kemudian diberi nama sandu (bergetar).
“Ada jua cerita lain, alat musik ini ditemukan oleh dua penggembala yang bernama Lumbilang dan Balialang, ada juga cerita lain, sasandu ini ditemukan oleh dua sahabat yakni Lunggi Lain dan Balok Ama Sina,” papar Meok.
Dengan perkembangan yang terjadi, maka sasandu ini lebih dilafalkan menjadi sasando, sehingga terbawa sampai saat ini, namun ucapan ini tidak merubah bentuk dan suara dari alat musik ini. Sementara itu Petrus Riki Tukan, pemateri lainnya mengatakan, alat musik sasando merupakan sebuah fenomena budaya pada umumnya dan kesenian (musik) khususnya yang cukup menggoda naluri seniman.
(sumber : pos kupang)--Pos-Kupang--Sabtu--15-Januari-2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.