Tingkat Kemiskinan Di
Indonesia Tahun 2007
TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA TAHUN 2007
Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada
dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2007 sebesar 37,17 juta
(16,58 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2006 yang
berjumlah 39,30 juta (17,75 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,13 juta.
Perubahan
Garis Kemiskinan Maret 2006-Maret 2007
Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat
dipengaruhi oleh Garis
Kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki
rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan.
Selama Maret 2006-Maret 2007, Garis
Kemiskinan naik sebesar 9,67 persen, yaitu dari Rp.151.997,- per kapita per bulan pada
Maret 2006 menjadi
Rp.166.697,- per kapita per bulan pada Maret 2007. Dengan
memerhatikan komponen Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan
Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM), terlihat bahwa peranan
komoditi makanan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan
(perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada bulan Maret 2006,
sumbangan GKM terhadap GK sebesar 75,08 persen, tetapi pada bulan Maret 2007,
peranannya hanya turun sedikit menjadi 74,38 persen.
Penjelasan
Teknis dan Sumber Data
Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan
konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan
dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan
dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran, Dengan
pendekatan ini, dapat dihitung Headcount
Index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk. Metode
yang digunakan adalah menghitung Garis
Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan
(GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM). Penghitungan
Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan
perdesaan.
Penduduk
miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan
dibawah Garis Kemiskinan.Garis
Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan
yang disetarakan dengan 2100 kalori per kapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi
(padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran,
kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll).
Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM)
adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.
Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di
perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan. Sumber
data utama yang dipakai untuk menghitung tingkat kemiskinan tahun 2007 adalah
data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) Panel Modul Konsumsi bulan Maret 2007.Jumlah
sampel diperbesar dari 10.000 RT menjadi 68.000 RT (Rumah Tangga) supaya data kemiskinan dapat disajikan sampai
tingkat provinsi. Sebagai informasi tambahan, juga digunakan hasil survei SPKKD
(Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar), yang dipakai untuk memperkirakan proporsi
dari pengeluaran masing-masing komoditi pokok bukan makanan (Internet)--Berita
resmi BPS 17 Juli 2008
KAMUS BISNIS: Garis Kemiskinan, Apa Maksudnya?
Garis Kemiskinan Sajogyo
Pria yang sempat identik dengan jenggot putih ini
melahirkan apa yang disebut dengan “Garis Kemiskinan Sajogyo.” Menurutnya,
kelompok miskin adalah rumah tangga yang mengkonsumsi pangan kurang dari nilai
tukar 240 kg beras setahun per kepala di pedesaan atau 369 kg di perkotaan.
Dari sini diperoleh angka kecukupan pangan yakni 2.172 kalori per orang
per hari. Angka yang berada di bawah itu termasuk kategori miskin. Belakangan,
dengan memasukkan harga beras setempat, dapat dihitung jumlah rupiah
pengeluaran sebagai indikator batas kemiskinan itu atau dikenal dengan garis
kemiskinan.
Anda tentu
sering mendengar istilah di bawah angka Garis Kemiskinan. Apa sih maksudnya? Berikut pengertian resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai istilah tersebut. Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan
memenuhi kebutuhan dasar atau basic needs approach. Dengan pendekatan ini, kemiskinan
dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan
dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK),
yang terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan- Makanan
(GKBM).
Pertama, Garis Kemiskinan Makanan adalah nilai
pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100
kkalori per kapita per hari.
Senin, 02 Januari 2012 | 17:53 WIB
Ukuran Kemiskinan Dan Perhitungannya
Sebuah
contoh Dari Provinsi Nusa Tenggara Timur
BPS pertama kali mempublikasikan :
Hasil perhitungan penduduk miskin secara resmi pada tahun l984.
Data kemiskinan yang dicakup dalam publikasi tersebut adalah untuk
periode l976 – l981. Sejak itu secara periodik BPS menghitung penduduk miskin
setiap 3 tahun, sesuai dengan pelaksanaan Susensus modul konsumsi. Kemudian
sejak tahun 2000, karena muncul kebutuhan data kemiskinan tahunan sebagai dasar
dalam perhitungan Dana Alokasi Umum
(DAU) maka BPS dengan berbagai
upaya dan pendekatan telah menghitung data kemiskinan secara tahunan.
Metode yang digunakan BPS untuk menghitung penduduk miskin selama ini
adalah metode head count index, yaitu suatu metode yang mendefinisikan penduduk miskin sebagai penduduk yang berada
di bawah suatu batas tertentu.
Batas yang dimaksud dalam hal ini adalah yang kemudian dikenal sebagai
batas miskin atau garis kemiskinan.
A.Mengukur Ketidakmerataan Kemiskinan &
Formulanya, Nilai Rasio
Gini—Garis Kemiskinan & Rumusnya
Tingkat indicator kemiskinan yang digunakan oleh BPS adalah :
1. Kemiskinan absolute (termasuk timbulnya kemiskinan);
2. Indeks jurang kemiskinan, dan
3. Indeks kesulitan kemiskinan.
Penjelasannya sebagai berikut :
1
Kemiskinan
absolute, mengukur jumlah-jumlah dari penduduk miskin, sedangkan timbulnya
kemiskinan atau rasio menghitung kepala,
ditunjukkan sebagai persentase kemiskinan pada total penduduk.
2
Jurang kemiskinan,
dipihak yang lain, mengukur rata-rata jurang pemisah antara pendapatan kaum
miskin dengan garis kemiskinan, sedangkan,
3
Indeks kesulitan,
adalah indeks jurang kemiskinan yang sensetif didistribusikan.
Kemiskinan Absolut, adalah kondisi di bawah pendapatan yang menjamin
kebutuhan dasar pangan, pakaian, dan perlindungan. Jadi yang menentukan tingkat
kemiskinan semata-mata persoalan penilaian, sehingga sulit membuat perbandingan
antar Negara. Tambahan pula, apa yang dianggap kemiskinan berbeda menurut
standar kehidupan, waktu dan wilayah.
Distribusi pendapatan, adalah pengukuran untuk mengukur kemiskinan
ralatif.
Distribusi pendapatan biasanya diperoleh dengan menggabungkan seluruh
individu dengan menggunakan skala pendapatan perorangan kemudian dibagi dengan
jumlah penduduk ke dalam kelompok-kelompok berbeda yang berdasarkan pengukuran
atau jumlah pendapatan yang mereka terima.
Metode umum, yang digunakan adalah dengan membagi seluruh penduduk ke
dalam 5 kelompok/kuartil atau 10 kelompok/desil menurut tingkat pendapatan mereka, kemudian ditentukan
proporsi yang sedang diterima menurut setiap kelompok pendapatan dari total
pendapatan nasional.
Tingkat ketidakseimbangan pendapatan menjadi sebagai berikut
1. Ketidakmerataan tinggi, jika 40% dari penduduk
yang tingkat pendapatannya rendah memperoleh
kurang dari 12% dari total pendapatan nasional.
2. Ketidakmerataan moderat, jika tingkat perolehan itu terdapat antara 12 dan
17%; dan
3. Ketidakmerataan rendah, jika angka tersebut 17% atau lebih dari total
pendapatan nasional.
Disamping metode di atas, cara lain untuk menguraikan “distribusi
pendapatan” adalah dengan mengukur apa yang dikenal sebagai, “Kurva Lorenz”,
yang berhasil menggunakan sebuah diagram yang memperlihatkan hubungan antara
kelompok-kelompok penduduk dan porsi pendapatan yang mereka terima.
Pengukuran distribusi pendapatan yang diperoleh dengan menggunakan Kueva
Lorenz, kemudian dijumlahkan dengan memberikan densitas relative dari
ketikmerataan distribusi pendapatan atau yang dikenal sebagai “rasio Gini”.
Karena data pendapatan sering kali menjadi sasaran yang tidak
dilaporkan, indikator-indikator distribusi pendapatan di sini diukur dengan
menggunakan informasi dari pengeluaran yang terdapat pada SUSENAS sebagai
proksi pendapatan.
Ada dua pengukuran yang digunakan untuk merefleksikan ketidakmerataan
pendapatan :
1. Criteria Bank Dunia dan,
2. Rasio Gini.
Rasio Gini, adalah salah satu dari pengukuran yang sering dipergunakan
untuk menilai tingkat ketidakmerataan pendapatan keseluruhan. Untuk menghitung
pengukuran ini data pengeluaran digunakan.
B. Formulanya adalah sbb :
n
GR = 1 – å fPi * (Fci+
Fci-1)
i=1
Dimana GR adalah Garis Rasio :
·
fPi = Frekuensi penduduk dalam kelas yang ke-i
·
Fc = Frekuensi kumulatif dari total pengeluaran
di dalam pengeluaran pada kelas pengeluaran yang ke-i.
·
Fci-1
= Frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dari dalam kelas pengeluaran yang
ke (i-1);
·
Nilai
Rasio Gini terletak antara 0, menunjukkan kemerataan sempurna, dan 1 berarti
ketidak sempurnaan pada distribusi pendapatan.
·
Rasio
Gini dihitung dengan menggunakan trend
pengeluaran untuk mengestimasi lebih rendah rasio Gini yang dihitung
dengan
·
menggunakan
data pendapatan.
Sedangkan pengeluaran dapat merupakan perwakilan yang baik dari
pendapatan bagi kelompok pendapatan menengah dan rendah, jika tidak dapat
mewakili dengan baik dari pendapatan bagi kelompok pendapatan tinggi, rasio
Gini buat Indonesia diukur dengan menggunakan data pendapatan tahun l976 yang
berkisar 0,30 sampai 0,36. (Sumber :
Prof.Dr.Hj.Sutyastie Soemitro Remi, 2002 :42).
C. Garis Kemiskinan
Garis kemiskinan itu sendiri sebenarnya sejumlah nilai rupiah tetentu
yang harus dikeluarkan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan minimumnya.
Kebutuhan minimum dalam hal ini mencakup :
1. Kebutuhan untuk makan (seperti beras, umbi-umbian, sayur, lauk pauk dan sebagainya)
dan,
2. Kebutuhan untuk non makan (seperti perumahan, kesehatan, pendidikan,
transportasi dan sebagainya).
Sesuai dengan hasil ‘Widyakarya Pangan dan Gizi l978’,
Seorang dikatagorikan dapat hidup sehat jika telah mampu memenuhi
kebutuhan enerji minimal per hari sebesar 2.100 kalori. Berdasarkan hal ini maka batas miskin untuk
makanan dihitung berdasarkan nilai rupiah sebulan yang diperlukan oleh seorang
agar mampu mengkonsumsi berbagai jenis makanan sehingga kebutuhan enerji
minimal per hari sebesar 2100 kalori dapat terpenuhi.
Penduduk yang dijadikan sebagai referensi tersebut (atau populer juga
disebut sebagai penduduk marjinal), adalah kelompok penduduk yang taraf
hidupnya diperkirakan berada sedikit di atas garis kemiskinan. Selain kebutuhan
makan, seseorang juga memerlukan kebutuhan lain (non makanan) untuk dapat hidup
layak. Oleh karena itu untuk menghitung batas miskin perlu juga diperkirakan
nilai kebutuhan minimum untuk berbagai pengeluaran non makanan yang secara
dasariah diperlukan untuk dapat hidup secara layak.
Kebutuhan dasar non makanan tersebut antara lain mencakup kebutuhan,
1. perumahan,
2. pendidikan,
3. kesehatan dan,
4. aneka barang/jasa lainnya.
Selanjutnya, garis kemiskinan diperoleh dengan cara, menjumlahkan batas
miskin makanan dan, batas miskin non makanan.
D. Rumus perhitungan Penduduk Miskin & Pendapatan Per Kapita
Pendapatan Per Kapita : merupakan
salah satu indicator pembangunan ekonomi terpenting dalam perbandingan
antarnegara, meskipun kekuatan argumentasinya terbatas dibandingkan anggapan
yang ada. Pendapatan per kapita terbentuk dari distribusi PDB atau PNB
(pendapatan nasional Bruto) terhadap jumlah penduduk sebuah negara dan dipakai
sebagai indicator pokok tingkat perkembangan seluruh negara dalam usaha mengelompokan negara berkembang
misalnya pengelompokan negara berkembang tingkat pembangunan (ranking) menurut Bank Dunia.
Pertumbuhan ekonomi ditetapkan terutama dari pertumbuhan tahunan pendapatan per
kapita. Meskipun pendapatan per kapita tidak lagi sebagai satu-satunya
indicator pembangunan seperti dalam kasus teori dan strategi pertumbuhan
ekonomi, tetap ada kritik pada indicator pendapatan per kapita.
Pendapatan nasional hanya mengukur barang dan jasa secara ekonomi
pasar.
Jadi untuk Negara berkembang sangatlah tidak lengkap, karena ada bagian
produksi dan pemenuhan kebutuhan (pangan, tempat tinggal) yang berlangsung
tidak melalui pasar, artinya melalui kegiatan ekonomi subsistensi.
Dari ketidak lengkapan ini timbul salah penilaian terhadap proses
pembangunan yang berusaha diperlihatkan melalui pendapatan. Jika
terjadi peningkatan pengadaan dan perbaikan situasi hidup sebagian besar
penduduk, hal ini tetap tidak terliput dalam perhitungan pendapatan
nasional. Sebaliknya, jika terjadi
peningkatan produktivitas di dalam sector dan perusahaan yang berproduksi untuk
pasar, terutama untuk pasar dunia, hal ini terlihat dalam bentuk pertumbuhan
pendapatan nasional, tanpa sebenarnya membawa perubahan pada situasi penduduk. Jika diperhatikan struktur distribusi
pendapatan di Negara berkembang, pendapatan nasional terutama sekali mengukur
pendapatan dan kenaikan pendapatan kelompok 40% atas struktur pendapatan
penduduk; mereka memiliki 75—80% PNB.(Dieter Nohlen (ed), 1994 :563).
E. Rumus Perhitungan Garis Kemiskinan menurut BPS
Jumlah penduduk miskin dapat dihitung, yaitu semua penduduk yang pengeluaran
konsumsinya masih berada dibawah garis kemiskinan. Mengingat ukuran sample
dalam Susensus untuk masing-masing kabupaten/kota, maka perhitungan penduduk
miskin seperti misalnya di Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT) tahun 2000 dan 2001
dilakukan dalam beberapa tahap :
1. Tahap pertama, adalah menghitung jumlah penduduk
miskin pada tabel propinsi berdasarkan garis kemiskinan propinsi (GKP) yang
sebelumnya telah dihitung (sudah tersedia angka-angka datanya).
2. Hitung ratio pengeluaran non makan terhadap
total pengeluaran pada penduduk referensi (20% penduduk yang pengeluaran per
kapitanya di atas GKP), masing-masing untuk tingkat propinsi (PNFp) dan
kabupaten/kota (PNFk);
3. Hitung faktor pengali garis kemiskinan,
Fp = (PNFk + 3 PNFp) / (4 PNFp).
4. Hitung garis kemiskinan kabupaten/kota : GKK = GKp X Fp
5. Hitung jumlah penduduk miskin setiap
kabupaten/kota, yaitu penduduk yang berada di bawah GKK (Garis Kemiskinan
Kota/Kabupaten) setiap kabupaten/kota.
6.
Lakukan
pro-rate hasil tersebut terhadap jumlah penduduk miskin pada level provinsi.
Hasil inilah yang kemudian digunakan sebagai istimasi terhadap jumlah penduduk
miskin kabupaten/kota. (Sumber: BPS NTT, Katalog BPS :4717.53, 2002 :66-67).
Sebuah Contoh Garis Kemiskinan
Pedesaan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
Sesuai dengan kenyataan bahwa rata-rata pengeluaran per kapita di
daerah pedesaan memiliki perbedaan yang ralatif mencolok dibandingkan dengan
daerah perkotaan, maka perhitungan garis kemiskinan untuk masing-masing daerah
tempat tinggal penduduk tersebut perlu dilakukan secara terpisah.
Hal ini untuk bisa hasil perhitungan penduduk miskin yang diakibatkan
oleh standar garis kemiskinan yang dipergunakan.
Dari hasil pengolahan data Susensus 2000 dan 2001 serta data pendukung
lainnya maka diperoleh garis kemiskinan NTT untuk :
1. Daerah pedesaan pada tahun 2000 sebesar 71.310 rupiah per kapita
sebulan, sedangkan untuk daerah perkotaan adalah sebesar 90.745 rupiah per
kapita sebulan.
2. Pada tahun 2001, garis kemiskinan telah meningkat menjadi 77.616 rupiah
per kapita sebulan untuk pedesaan dan 98.770 rupiah per kapita sebulan untuk
perkotaan.
Perlu dicatat bahwa peningkatan garis kemiskinan tersebut sebenarnya
semata-mata, merupakan dampak dari kenaikan harga-harga barang konsumsi, dan
sama sekali bukan karena meningkatnya jumlah barang dan jasa kebutuhan dasar
yang dikonsumsi oleh penduduk. Penegasan ini perlu dikemukakan untuk
menghindarkan terjadinya kesalahan persepsi tentang peningkatan garis
kemiskinan. Pada kenyataannya harga-harga barang kebutuhan konsumen memang
telah mengalami kenaikan selama tahun 2000 – 2001. Hal ini ditujukan oleh laju
inflasi positif untuk kedua tahun tersebut. Laju inflasi di Indonesia pada tahun 2000 dan 2001
masing-masing adalah sebesar 9,35 persen dan 12,55 persen, yang menunjukkan
bahwa harga barang/jasa konsumen secara rata-rata telah mengalami kenaikan
sebesar 9,35 persen dan 12,55 persen dibandingkan dengan harga-harga pada tahun
sebelumnya. Sedangkan laju inflasi di Kota Kupang NTT, (sebagai representasi
NTT) masing-masing adalah 10,63 persen untuk tahun 2000 dan 12,34 persen untuk
tahun 2001
Konsep Kemiskinan
I. Penduduk Miskin
Konsep:
Untuk mengukur kemiskinan, BPS
menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach).
Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur
dari sisi pengeluaran. Jadi Penduduk Miskin adalah penduduk yang memiliki
rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan.Sumber Data
:Sumber data utama yang dipakai adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) Panel Modul Konsumsi dan Kor.
II. Garis
Kemiskinan (GK)
Konsep:
Garis
Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis
Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran
perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk
miskin.
Garis
Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan
yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi
kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian,
umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan,
buah-buahan, minyak dan lemak, dll)
Garis
Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan,
sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan
diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.
Sumber Data : Sumber data utama
yang dipakai adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel Modul
Konsumsi dan Kor.
Rumus
Penghitungan :
GK = GKM +
GKNM
GK= Garis
Kemiskinan
GKM= Garis
Kemiskinan Makanan
GKNM= Garis
Kemiskinan Non Makan
Teknik
penghitungan GKM
o Tahap pertama adalah menentukan kelompok referensi (reference populaion) yaitu
20 persen penduduk yang berada diatas Garis Kemiskinan Sementara (GKS).
Kelompok referensi ini didefinisikan sebagai penduduk kelas marginal. GKS
dihitung berdasar GK periode sebelumnya yang di-inflate dengan
inflasi umum (IHK). Dari penduduk referensi ini kemudian dihitung Garis
Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM).
o Garis
Kemiskinan Makanan (GKM) adalah jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar
makanan yang riil dikonsumsi penduduk referensi yang kemudian disetarakan
dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya
Pangan dan Gizi 1978. Penyetaraan nilai pengeluaran
kebutuhan
minimum makanan dilakukan dengan menghitung harga rata-rata
kalori dari
ke-52 komoditi tersebut. Formula dasar dalam menghitung Garis
Kemiskinan
Makanan (GKM) adalah :

Dimana :
GKMj = Gris Kemiskinan Makanan daerah j
(sebelum disetarakan
menjadi 2100 kilokalori).
Pjk = Harga komoditi k di daerah j.
Qjk = Rata-rata kuantitas komoditi k yang
dikonsumsi di daerah j.
Vjk = Nilai pengeluaran untuk konsumsi
komoditi k di daerah j.
j = Daerah
(perkotaan atau pedesaan)
Selanjutnya GKMj tersebut disetarakan dengan 2100
kilokalori dengan mengalikan 2100 terhadap harga implisit rata-rata kalori
menurut daerah j dari penduduk referensi, sehingga :

Dimana
:
Kjk = Kalori dari komoditi k di daerah j


Dimana :
Fj = Kebutuhan minimum makanan di
daerah j, yaitu yang menghasilkan energi setara dengan 2100
kilokalori/kapita/hari.
o Garis Kemiskinan Non Makanan
(GKNM) merupakan penjumlahan nilai kebutuhan minimum dari komoditi-komoditi
non-makanan terpilih yang meliputi perumahan, sandang, pendidikan dsan
kesehatan. Pemilihan jenis barang dan jasa non makanan mengalami perkembangan
dan penyempurnaan dari tahun ke tahun disesuaikan dengan perubahan pola konsumsi
penduduk. Pada periode sebelum tahun 1993 terdiri dari 14 komoditi di perkotaan
dan 12 komoditi di pedesaan. Sejak tahun 1998 terdiri dari 27 sub kelompok (51
jenis komoditi) di perkotaan dan 25 sub kelompok (47 jenis komoditi) di pedesaan.
Nilai kebutuhan minimum
perkomoditi /sub-kelompok non-makanan dihitung dengan menggunakan suatu rasio
pengeluaran komoditi/sub-kelompok tersebut
terhadap total pengeluaran
komoditi/sub-kelompok yang tercatat dalam data Susenas modul konsumsi. Rasio
tersebut dihitung dari hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar 2004 (SPKKP
2004), yang dilakukan untuk mengumpulkan data pengeluaran konsumsi rumah tangga
per komoditi non-makanan yang lebih rinci dibanding data Susenas Modul
Konsumsi. Nilai kebutuhan minimum non makanan secara matematis
dapat diformulasikan sebagai berikut :

Dimana:
NFp = Pengeluaran minimun non-makanan atau
garis kemiskinan non makanan daerah p (GKNMp).
Vi = Nilai pengeluaran per
komoditi/sub-kelompok non-makanan daerah p (dari Susenas modul konsumsi).
ri = Rasio pengeluaran
komoditi/sub-kelompok non-makanan menurut daerah (hasil SPPKD 2004).
i = Jenis komoditi non-makanan
terpilih di daerah p.
p = Daerah
(perkotaan atau pedesaan).
III.
Persentase Penduduk Miskin
Kosep :
Head Count Index (HCI-P0), adalah
persentase penduduk yang berada dibawah Garis
Kemiskinan (GK).
Suber Data :
Sumber data utama yang dipakai
adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel Modul Konsumsi dan
Kor.
Rumus Penghitungan :

Dimana
:
α = 0
z = garis kemiskinan.
yi = Rata-rata pengeluaran per kapita
sebulan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (i=1, 2, 3, …., q), yi < z
q = Banyaknya penduduk yang
berada di bawah garis kemiskinan.
n = jumlah
penduduk.
IV. Indeks
Kedalaman Kemiskinan
Kosep :
Indeks
Kedalaman Kemiskinan (Poverty
Gap Index-P1), merupakan ukuran rata-rata kesenjangan
pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks,
semakin jauh rata-rata pengeluaran pesuduk dari garis kemiskinan.
Suber Data :
Sumber data utama yang dipakai
adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel Modul Konsumsi dan
Kor.
Rumus Penghitungan :

Dimana :
α = 1
z = garis kemiskinan.
yi = Rata-rata pengeluaran per kapita
sebulan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (i=1, 2, 3, …., q), yi < z
q = Banyaknya penduduk yang
berada di bawah garis kemiskinan.
n = jumlah penduduk.
V. Indeks Keparahan Kemiskinan
Kosep :
Indeks Keparahan Kemiskinan (Proverty Severity Index-P2) memberikan
gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin
tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk
miskin.
Suber Data :
Sumber data utama yang dipakai
adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel Modul Konsumsi dan
Kor.
Rumus Penghitungan :

D
Dimana :
α = 2
z = garis kemiskinan.
yi = Rata-rata pengeluaran per kapita
sebulan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (i=1, 2, 3, …., q), yi < z
q = Banyaknya penduduk yang
berada di bawah garis kemiskinan.
n = jumlah penduduk.
Dikutip dari situs BPS RI, ikuti
tautan untuk ke halaman asli. (Internet)
Standar Garis Kemiskinan Masih Terlalu
Rendah
BANDUNG,
(PRLM).- Standar garis kemiskinan yang digunakan Badan Pusat Statistik untuk
menghitung angka kemiskinan di Indonesia, termasuk Jawa Barat (Jabar) dinilai
terlalu rendah. Jumlah penduduk yang masuk dalam kategori miskin seharusnya
lebih besar dari data yang dirilis BPS awal pekan ini.
Demikian diungkapkan Pengamat Ekonomi dari Universitas
Pasundan (Unpas), Acuviarta Kartabi, di Bandung, Selasa (3/1). Garis kemiskinan Indonesia,
khususnya Jabar, jauh di bawah standar Bank Dunia, 2 dolar AS per hari atau
jika dirupiahkan sekitar Rp 18.200 per hari. “Kriteria BPS sangat jauh dari
kata layak,” katanya.
Berdasarkan
kriteria BPS, garis kemiskinan Jabar per September 2011 sebesar Rp 226.097 per
kapita per bulan atau sekitar Rp 7.500 per hari. Untuk perkotaan, Rp 234.622
per kapita per bulan (Rp 7.800 per hari), sedangkan pedesaan Rp 209.777 per
kapita per bulan (Rp 7.000 per hari).
Garis
kemiskinan tersebut naik 2,73% dibandingkan Maret 2011 yang Rp 220.098 per
kapita per bulan (Rp 7.300 per hari). Untuk wilayah perkotaan, garis kemiskinan
Maret 2011 sebesar Rp 228.401 (Rp 7.600 per hari), sedangkan pedesaan 204.199
per kapita per bulan (Rp 6.800 per hari).
Sejumlah negara tetangga di Asia
Tenggara, seperti Vietnam, bahkan saat ini sudah mengikuti standar garis
kemiskinan dunia. Jika mengadopsi garis kemiskinan dunia, tingkat kemiskinan
Indonesia, termasuk Jabar, diprediksi akan meledak hingga mendekati separuh
penduduk, atau sekitar 42%.
“Harusnya, minimal standar garis
kemiskinan Indonesia ditetapkan 1 dolar AS per hari atau sekitar Rp 9.100. Akan lebih
baik lagi jika mengikuti standar Bank Dunia,” tutur Acuviarta.
Menurut dia, rendahnya standar garis kemiskinan
Indonesia, termasuk Jabar, membuat angka kemiskinan makro tidak mencerminkan keadaan
yang sebenarnya. Berdasarkan data BPS, pada September 2011 jumlah penduduk
miskin Jabar mencapai 4.650.810 orang, naik 0,05% (2.180 orang) dibandingkan
Maret 2011 (4.648.630 orang).
Pada kesempatan yang sama, ia juga
mengingatkan pemerintah untuk memberikan perhatian lebih terhadap data penduduk
hampir miskin (near poor). Pasalnya,
mereka sangat rentan terhadap tegradasi masuk ke kategori miskin. Apalagi
dengan adanya rencana kenaikan sejumlah komoditas energi tahun ini, termasuk
kemungkinan lonjakan harga pangan.
Seperti halnya penduduk miskin, struktur
pengeluaran rumah tangga penduduk hampir miskin masih terkonsentrasi pada
konsumsi pangan. Mereka dipastikan akan langsung merasakan dampak dan terpukul
daya belinya jika harga pangan melambung tinggi. Penduduk near poor adalah mereka yang memiliki pendapatan sedikit di atas
garis kemiskinan, dengan toleransi sekitar 5%.
Sementara itu, terkait penambahan jumlah penduduk miskin sebesar 2.180
orang, Acuviarta menilai, hal itu terjadi karena masalah kebijakan perekonomian
Jabar. Ia menilai, sejauh ini belum ada program Gubernur Jabar
yang efektif mengangkat kemiskinan. “Saya melihat, belum ada kebijakan Gubernur
yang efektif mengangkat kemiskinan. Bansos tidak efektif,” katanya.
Ia menilai, pertumbuhan angka kemiskinan
tidak bisa ditimpakan pada tingginya angka migrasi. Sebagai daerah dengan
posisi yang sangat strategis, sebagai magnet ibu kota, dengan pertumbuhan
ekonomi yang cukup besar, sudah menjadi konsekuensi Jabar menjadi magnet bagi
pendatang.
Untuk menekan
angka kemiskinan, menurut Acuviarta, Gubernur harus mengambangkan infrastruktur
pedesaan, guna menekan laju urbanisasi. “Sejumlah proyek infrastruktur seperti
pembangunan jalan tol dan pembangunan Jabar selatan juga harus segera
direalisasikan untuk membuka bottleneck
perekonomian,” katanya. (A-150/das)Rabu, 04/01/2012 - 07:39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.