Banyak Pemimpin Kita Intelektual Tetapi Berbudaya
Tradisional --- Contoh Pengaruh Budaya Tradisional
Yang Merugikan
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Dibawah ini dikemukakan beberapa contoh “budaya tradisional” kita yang memiliki
kesan sebagai pihak yang selalu” kalah, rendah diri, minder, takut”, tanpa nyali, tidak berani menantang pihak lawan. Tingkah laku dalam “budaya” yang telah berakar selama ini, hampir belum terbebas dari sebagian besar “intelektual” kita maupun para “pemimpin bangsa”, hingga sekarang. Inilah kelemahan yang diwariskan oleh sejarah masa lalu. Ini akibat troma berkepanjangan dari
“Sejarah masa lalu” (masa penjajahan) yang menyebabkan “Nyali” kita menjadi sangat kerdil, walaupun badan kita besar, dalam menghadapi pihak luar selalu tidak tegas dan terkesan “lembek” Memang politik luar negeri kita “Bebas Aktif” dan Cinta “Damai”, tetapi dalam berbagai hal khusus istilahnya, “perang dulu, baru damai”, kata pepatah kuno. Jika semua tindakan, selalu kita menerapkan prinsip “damai dan Santun” pada semua persoalan politik luar negeri, maka pasti kita selalu dipihak yang “kalah, didikte, ditekan”, karena tidak berjuang habis-habisan terlebih dahulu dalam mempertahan hak kita dengan gigih
Kalau “damai terus, kapan menangnya”. (harus bisa meniru olah raga “Smack Down”, atau Thay BOX dimana masing-masing petarung hingga babakbelur dalam
perebutan Sabuk Kemenangannya. Jadi intinya dari kiasan ini adalah bahwa dalam segala lapangan kehidupan ini baik sebagai perorangan apalagi ditingkat kenegaraan, memerlukan perjuangan dalam bentuk apapun dengan jiwa kesatria dalam memperjuangkannya.
Dengan demikian suatu perjuangan politik adalah sama dengan perjuangan meraih kemenangan dalam sistem olah raga, baik itu olah raga lunak atau olah raga keras.“Olah raga keras” tersebut maupun olah raga lainnya, sebenarnya melatih mental keberanian dan jiwa menantang, terutama bagi generasi muda untuk bangkitkan semangat juangnya dan bukan mendidik mereka sebagai “anak mama” yang serba lemah lembut tanpa nyali dan penakut. Setiap olah raga apapun bentuknya adalah bersifat mendidik percaya diri, berjiwa kesatria, ketangkasan, berani menghadapi tantangan, meningkatkan daya tahan tubuh, maupun mendidik disiplin diri dll . Generasi sekarang bukan lagi, tergolong seperti pada para “abdi dalam “ dalam zaman Feodal–Karajaan masa lalu, yang “lemah-lembut adatnya”.
Berikut ini diberi berbagai contoh Budaya tradisional
yang merugikan:
1). Budaya Injak Kaki dan Menghormati Tamu yang berlebihan
Jika “terinjak kakinya”, bukannya marah, lalu melayangkan tinjunya ke wajah si
penginjak kaki, tetapi malah berkata, “maaf pak,...!!! bapak sedang menginjak kaki” saya, sambil berekspresi sejum tipis pada wajahnya, supaya tidak membuat tersinggung si penginjak kaki tadi. “(Aneh Tapi Nyata)”. “Budaya injak kaki” ini masih terbawa juga ke- “bidang politik” kita dewasa ini termasuk kasus-kasus “perbatasan”. Ada lagi terdapat “budaya menghormati tamu” yang berlebihan. Salah satu sifat budaya kita adalah menghormati tamu, siapapun dia, dengan memberikan berbagai servis untuk menyenangkan hati tamu dan berupaya untuk tidak menyinggung perasaan si tamu, dan jika perlu sesuatu harta benda berharga miliknya pun diberikan sebagai hadiah untuk si tamu, walaupun benda itu milik pusaka peninggalan leluhurnya. Itulah sebuah sifat khas rata-rata orang Indonesia.
2). Budaya Baik Hati
“Budaya Baik Hati” inipun terbawa dalam “dunia politik” kita juga.
Jadi “Budaya Injak Kaki” dan “Budaya Baik Hati” inilah, identik dengan sifat “Kekalahan”. Ini akibat dari “sosialisasi budaya” yang begitu berakar selama berabat-abat
lamanya, sehingga jika seseorang yang walaupun ia terpelajar atau berstatus sebagai “seorang pemimpin” sekalipun, ia masih terbawa oleh “alam pikiran tradisionalnya”, dicampuradukan dengan “pola-pola berfikir modern-rasional”, sehingga segala keputusannya selalu “tidak” mencerminkan “ketegasan” atau “keberanian menantang” yang bersifat obyektif. Keputusannya selalu berwarna ‘abu-abu’, bukan warna ‘terang cemerlang’ yang “menantang”.
3). Budaya Berbicara
Terdapat pula “Budaya Berbicara” misalnya sedang berkata-kata dengan pihak lawan bicara, yang lebih tinggi status sosialnya, juga nampak jelas. Ia akan selalu
menjawab dengan kata-kata “Nggeh/Iya/baik”, baik yang menyenangkannya maupun tidak, dan “tidak akan membantah” apapun yang dikatakan lawan bicaranya, karena menurut “adat”, menganggap itu “kurang sopan”.Kalau mereka berbicara dalam posisi “berdiri” misalnya, posisi badannya selalu sedikit membungkuk kedepan, alias sedikit menunduk, sedang kedua tangannya disilangkan kedepan, dengan seolah-olah (maaf), seperti sedang “menutup bagian kemaluannya”.
Memang ini sebuah sikap menghormati lawan bicara kita, tetapi sikap seperti itu pun terbawa ke gelanggang “politik” kita juga dalam menghadapi “orang luar”. Jadi berbagai “sikap-sikap tradisional” tersebut di atas selalu memberi kesan bahwa seolah-olah kita masih berada “dibawah status orang lain” siapapun dia ” (budaya budak”).
Secara sadar atau tidak sadar, “watak rendah diri” seperti itu, masih terkesan pada
“budaya hambasahaya” di era “penjajah” dan zaman “feodal doeloe”, yang tetap terbawa hampir dalam semua lapangan kehidupan bermasyarakat masa kini, dimana dalam banyak hal selalu “merugikan” kita sendiri. Petiklah pelajaran bersikap yang wajar-wajar saja, seperti cara-cara orang Barat, walaupun tidak semuanya.
Orang Barat selalu “tegas”, dan “menantang”, bila perlu, “baku tembak”, atau “pegang krak leher”, lalu layangkan tinju ke wajah lawan hingga babak-belur baru dilepas, (kurang lebih yang penulis maksudkan demikian secara kasarnya). Kalau seandainya seseorang tidak “sopan”, atau “kurang ajar”, “malas”, misalnya, jangan segang-segan “menempeleng pipinya”. (ini “budaya Jepang”), sehingga menyebabkan setiap orang menjadi “disiplin”. Mulai sekarang harus dilepaskan “Budaya Budak” atau”budaya feodal”, yang sudah kuno, usang, dan ketinggalan zaman yang memasuki zaman modern dan rasional, tegas, menantang serta obyektif.
4). Budaya Minder
Selain itu ada lagi yang disebut “Budaya Minder”. Terutama ketika kita berhadapan
dengan “orang luar” (orang Barat) misalnya, secara psikologi “ kita masih merasa diri lebih rendah” atau sepertinya kita dibawah derajatnya, sehingga dalam hal-hal tertentu “kita tidak terlalu ngotot” walaupun kita “dirugikan” sekalipun. Kita kurang memiliki keberanian untuk menantang atau melawan habis-habisan apapun resikonya.
Oleh karena sifat demikian akhirnya kita mudah “didekte”, “ditekan”, bahkan “dibentak-bentak” atau diberi bermacam-macam “ancaman” dengan seenaknya, sehingga membuat “nyali” kita mengkrut, “ketakutan” dan akhirnya “terpaksa kita mengikuti kemauan lawan apapun katanya”
.Sudah dalam keadaan demikian, malah masih memperlihatkan “ekspresi senyum
manis” diwajah kita, untuk memberi kesan seolah-olah kita tetap “bersahabat” dan guna menghindari terjadinya “pertikaian” dan “keributan/bentrokan/konflik”, baik dalam bentuk “psikologis maupun fisik”.
Memang sifat begini, adalah “peninggalan sejarah”, karena pada masa-masa lalu
selalu “dibawah tekanan penjajah”, dan hidup dilingkungan “kerajaan” yang berstatus “abdi raja” atau rakyat jelata yang tugasnya melayani sang raja dengan “budaya menyembah sehormat-hormatnya”, ketika berhadapan dengan “sang raja”, misalnya dengan “sikap jalan berjongkok”, maupun “membungkukan badan serendah mungkin”, sambil “bersoya”, dan sebelum berbicara dengan sang raja, terlebih dahulu mengucapkan kata-kata “mohon ampun tuanku” dan kata-kata hormat lainnya. Walaupun masa-masa tersebut telah lewat, namun karena telah “membudaya” dan membentuk prilaku kita sebagai suatu “standar baku”, akhirnya walaupun seseorang “terpelajar”, atau menjadi “pimpinan” sekalipun, “budaya rendah diri” ini masih “ditampilkan”, termasuk diforum-forum resmi ditingkat nasional maupun di tingkat internasional.
(Pertanyaan : Menurut anda, Siapa-siapa saja, dari Pemimpin-pemimpin Negara
zaman sekarang, yang anda melihat masih memiliki sifat-sifat tradisonal yang disebutkan di atas)? Jawablah senidri.
Hal ini dapat dicontohkan dalam “politik luar negeri kita”, dimana selalu mengalami “kekalahan” terutama dalam hal “konflik perbatasan”. Karena “kurang menatang”, dan “kurang tegas”, “kurang agresif” kepada pihak lawan. “Bertele-tele lewat sistem
perundingan panjang” yang belum jelas hasil akhirnya.
Harus berani “menggertak lawan” dalam bentuk apapun resikonya. Harus berani
memberi “ultimatum tegas tanpa tedeng aling-aling”. Tidak perlu banyak bicara, “tindakan tegas” yang penting. Karena jika banyak bicara, bisa tejadi banyak salahnya.
Dalam “berpolitik”, maka jangan campur adukan dengan “budaya sopan-santun,
ramah tamah, berbaik hati apalagi sifat damai” yang lebih ditonjolkan. Memang pola-pola dan sifat-sifat “berbudaya tradisional” yang kita warisi yang berdampak “sangat merugikan kepentingan nasional” tersebut, jarang dibahas dan dipersoalkan secara mendalam oleh berbagai kalangan intelektual di forum-forum bergengsi. “Pola-pola penghormatan” demikian itu, sebenarnya telah “menghilangkan martabat, harga diri seseorang bahkan sebuah negara” sekalipun, dan bertentangan dengan hak-hak asasi manusia yang normal.
Namun penulis perlu mengemukakan disini, bahwa justru begitu penting suatu
penelitian tentang “berbagai dampak budaya tradisional” terhadap “sikap dan prilaku seseorang pemimpin” dalam pengambilan keputusan penting baik kepentingan dalam negeri maupun luar negeri yang dapat membawa “kerugian atau keuntungan, maupun kekalahan atau kemenangan”.
Contoh konkrit lainnya lagi ialah, bahwa kapal-kapal perang Malaysia sudah jelas-
jelas memansuki perairan perbatasan di wilayah Blok Ambalat hingga ratusan kali, namun nampaknya baik pihak TNI maupun pihak pemerintah seperti merasa aman-aman saja dan persoalannya dibiarkan berlalu begitu saja dan “tanpa emosi yang bergejolak” dalam menghadapi Malaysia yang sudah berkali-kali melakukan hal yang sama. Jika TNI dan Pemerintah tidak menanggapi dengan suatu ultimatum tertentu, maka Indonesia akan dijadikan bulan-bulanan oleh Malaysia dimasa depan.
Memang pimpinan negara-negara tetangga kita “sudah tahu persis sifat orang
Indonesia termasuk pimpinan nasionalnya”, begitu rapuh, menghadapi konflik apapun bentuknya. Oleh karena itu walaupun Indonesia suatu negara besar dan didukung dengan penduduk yang banyak, namun “mereka telah menghapal karakter” seperti yang disebutkan diatas, sehingga mereka tidak segan-segan menyerang baik secara “fisik maupun secara psikologi”. Apa yang kita alami selama ini terutama soal perbatasan adalah bukti konkrik betapa Indonesia dijadikan bulan-bulan oleh mereka (negara tetangga)..
Selalu kalah terus, karena kita tidak memiliki lagi semangat perjuangan revolusi 1945, seperti yang selalu ditayangkan di TV masa-masa perjuangan doeloe dan maunya
damai melulu dan hanya mengandalkan perundingan atau hanya menyuruh Minta Maaf saja. Kalau Pulau Ambalat milik Indonesia dan sudah memiliki dasar hukum yang tertuang di berbagai Peraturan Pemerintah (PP), kenapa harus berunding. Serang saja pihak luar yang memasuki teritorial secara tidak syah, dan itu jalan yang paling benar, bukan dibawa persoalannya ke meja perundingan yang tidak jelas, kalah-menangnya. Jika demikian halnya maka tidak ada bedanya seperti kita mau berkompromi dengan si Maling, supaya lain kali tidak datang maling lagi.
Kesan yang ada ialah seolah-olah para pemimpin kita belum punya nyali untuk siap
naik ke Ring pertandingan bergengsi untuk bertinju politik?.
Sebuah contoh Sengketa Batas Tanah tradisional :
Contoh 1.
Ada dua orang, Si A dan Si B bertetangga. Pada suatu hari Si A membongkar pagar Si B untuk memperluas pekarangannya secaratidak syah. Tindakan si A tersebut
dianggap “penyerobotan batas” tanpa hak, sehingga merugikan Si B. Setelah ketahuan tidakan Si A terebut, Si B marah dan mencari Si A di rumahnya dengan membawa parang mengancam Si A dan memerintahkan agar segera mengembalikan batas semula atau kupenggal lehermu. Jika Si A tetap berkeras, maka terjadilah perang tanding dan jawa jadi taruhannya dalam mempertahankan hak miliknya. Ini masalah batas pekarangan. Nah bagaimana jika masalah perbatasan antar dua negara bertetangga?
Contoh 2.
Dua orang bertetangga seperti pada contoh 1, yaitu Si A bertetangga dengan Si B.
Kedua pekarangan itu dibatasi oleh sebuah jalan umum yang melintas disitu. Ditepi jalan tersebut tumbuh sebuah pohon mangga yang tumbuh sendiri secara alamia dan lebat buahnya. Si A dan Si B sama-sama mengklaim pohon mangga itu sebagai miliknya, walaupun tidak satupun dari keduanya yang menanam pohon tersebut secara disengaja. Kasus saling klaim ini kita digolongakan sebagai “SENGKETA”. Maka jalan yang ditempuh adalah lewat “perundingan” dan tentu masing-masing mengajukan argumentasinya.
Si A menyatakan alasannya, bahwa pohon mangga itu terletak dipinggir jalan,
persis disisi pekarangannya. Sehingga lebih banyak daun-daun tua yang berguguran mengotori pekarangannya, yang setiap hari harus terus dibersihkan. Sedang pohon mangga ini lebih jauh dari pekarangan Si B yang dibatasi dengan jalan, sehingga daun-daun pohon mangga tersebut tidak pernah mengotori pekarangannya. Oleh karena itu Si A dan Si B berunding, dalam hal pembagian hasil buah mangga tidak sama banyak, melainkan 60 untuk Si A dan 40 untuk Si B adalah masuk akal sehat dan diterima baik oleh kedua belah pihak secara damai. Dari kedua contah kasus tersebut terdapat perberbeda dasar, yaitu
Contoh 1, adalah “kasus penyerobotan”, yang penyelesaiannya lewat “perang
tanding ala tradisional”. Sedang kasus pada contoh 2, adalah bahwa barang/obyek yang disengketakan bukan milik Si A atau Si B, digolongkan sebagai kasus SENGKETA, dan dapat dilakukan penyelesaian dengan jalan “perundingan”.Maka pada kasus Pulau Ambalat, apakah termasuk contoh 1 (Penyerobotan) , atau contoh 2 (Sengketa)?
Jika termasuk contoh 1, maka tergolong “PENYEROBOTAN” oleh Malaysia, maka
jalan penyelaian terakhirnya jika tidak terdapat kata sepakat adalah “PERANG” adalah upaya terakhir.
Jika seandainya terjadi Perang Indonesia dengan Malaysia, bukan dalam pengertian saling merebutkan Blok Amalat sebagai wilayah tak bertuan, melainkan Indonesia
berperang dalam mempertahankan kedaulatannya terhadap Blok Ambalat.. Timbulnya perang bukan karena kasus sengketa, tetapi oleh karena adanya adanya provokasi Malaysia yang mau merebut atau merampas wilayah kedaulatan Indonesia.
Jadi Jelas kasus Blok Ambalat ini bukan Kasus Sengketa.
Dan jika kasusnya bukan Sengketa maka mengapa Indonesia mau berunding dengan Malaysia. ApakaH Indonesia mau berunding dengan Si Maling, SUPAYA LAIN KALI TIDAK DATANG MALING LAGI? Inilah suatu kekeliruan dari Presiden SBY dan Menlu RI, yang selalu menyatakan kasus Ambalat adalah kasus Sengketa, suatu pernyataan yang konyol dan tidak masuk logika hukum. Oleh karena Presiden SBY telah terlanjur menyebutnya wilayah Sengketa, maka persoalan Ambalat hingga kini tidak pernah tuntas karena perundingannya selalu ditunda-tunda oleh Malaysia.
Sebagai konsekwensi logis dimana Bolok Ambalat sebenarnya buykan wil;ayah
Sengketa seperti dijelaskan di atas, maka jalan yang terbaik adalah Indonesia segera menarik diri dari Meja Perundingan dengan Malaysia apapun resikonya.
Disini masalah Blok Ambalat sekarang menjadi tanggung jawab Presiden Joko
Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk bertindak tegas terhadap Malaysia untuk memberi ultimatum tidak memasuiki wilayah Blok Ambalat dalam bentuk apapun dengan meberika resiko terberat adalah Perang selauku tindakan terakhir.
Seperti kata Presiden SBY dengan tegas mengatakan Blok Ambalat adalah
kedaulatan Indonesia. Demikian pula Menlu RI Hassan Wirajuda juga tegas mengatakan bahwa Indonesia saat ini tidak memlilki satupun Pulau Sengketa. Tetapi mengapa harus buang-buang waktu untuk perundingan kasus Ambalat yang tidak pernah tuntas itu?
Indonesia lebih banyak menonjolkan politik santau dan damai, tetap[i dilain pihak
Malaysia lebih agresif ingin merampas wilayah Indonesia dan apakah kita biarkan tidakan Malaysia ini terus berlanjut.
Dalam kasus ini nanti kita menilai serjauh mana politik Presiden Joko Widodo,
apakah masih berkeinginan terus melanjutkan perundingan atau menarik diri dari Perundingan ini Kita tunggu saja..
Logikanya adalah wajarkah/patutkah kita harus “berunding” dengan pihak “penyerobot (Malaysia)”?
Alangkah bodohnya kita harus “berunding” dengan Si Maling, Si Perampok agar lain kali tidak datang untuk merampok lagi?. Diplomasi Luar Negeri Yang Aneh soal Ambalat oleh karena setuju untuk penyelesaian dengan cara “berunding” seperti sekarang ini,. Ibarat, itu pekarangan kita yang mau diserobot Malaysia, kok harus berunding dan bukannya mengangkat parang dan mengejar si “Perampok”? Oleh karena itu Indonesia harus menarik diri dari perundingan yang sekarang sedang berlansung, karena Ambalat adalah milik Indonesia, tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Kemudian Malaysia diberi ultimatum untuk tidak memasuki Blok Ambalat lagi. Itulah peringatan terakhir. Jika Malaysia tetap memasuki Blok Ambalat maka itu harus diartikan, bahwa saat itu Malaysia telah menyatakan perang secara fisik dilapangan, dan pada saat yang sama seluruh kekuatan bersenjata kita dikerahkan secara maksimal menghajar Malaysia dan menyatakan PERANG melawan Malaysia. Dalam kasus ini, Malaysia yang harus bertanggungjawab karena dialah yang mendahului. Jadi sifatnya, bukan profokasi lagi, tetapi diartikan sebagai Malaysia menyatakan perang fisik lebih dahulu dilapangan.
Sebuah contoh lagi
Pulau-pulau terluar terjadi banyak sengketa wilayah laut yang terjadi di beberapa
negara di dunia yang memerlukan waktu berpuluh-puluh tahun untuk menyelesaikannya, bahkan sampai menimbulkan perang, seperti antara Inggris dan Argentina beberapa waktu lalu yang memperebutkan Kepulauan Malvinas/Vocland. Thailand dan Kamboja soal perbatasan juga. Bahwa masalah perbatasan adalah masalah kedua negara yang bersangkutan saja, dan ternyata tidak ada campur tangan dari negara-negara lainnya. Jadi jika terjadi perang RI – Malaysia bukanlah barang baru soal perbatasan, dan wajar untuk mempertahan kedaulatan Indonesia.
Mengapa selalu terdapat tawuran antar kelompok atau adanya pemberontakan di
daerah-daerah, dimana-mana hampir diseluruh Indonesia? Inipun adalah karena warisan sejarah, (Perang antarsuku atau perang antarkerjaan tempo doeloe). Bahwa jiwa perang (baca tawuran) dalam keadaan damai seperti sekarang ini, karena tidak ada lawan dari pihak luar, maka semangat perang itu seperti terkungkung dan saatnya meledak dan terpaksa walaupun saudaranya, atau tetangganya sendiri harus menerima luapan emosi tersebut.
Dalam sejarah, kita banyak mengenal perang batas antar kerajaan yang saling berbatasan, atau perang untuk memperluas wilayah, atau perang merebutkan sumber air untuk pertanian dll. Dengan demikian semangat perang tradisional tersebut hingga saat ini tidak pernah hilang dari masyarakat Indonesia. Di zaman modern, kita perang melawan penjajah, perang melawan separatis, , yang ingin mendirikan negara sendiri dan memisahkan diri dari NKRI, perang lawan terorisme, dll.
Semangat perang diwarisi oleh hampir setiap orang Indonesia, dan dalam keadaan damai, karena tidak ada pihak lawan dari luar yang kita hadapi, maka semangat
perang tradisional itu muncul jika terdapat suatu keadaan yang sensetif, maka akan saling tawauran tidak dapat dibendung lagi. Demikian pula terdapat kesan dikalangan orang Barat, bahwa bangasa-bangsa Asia adalah bangsa yang suka berperang khususnya Indonesia, contohnya Indonesia mengganyang Malaysia, pada tahun 1962-1965 masa Presiden Soekarno.
Semangat bela negara oleh massa rakyat yang mendemo di depan Kedutaan
Malaysia, muncul saat kasus Ambalat. Oleh karena itu, semangat perang dari rakyat Indonesia selain TNI dan Kepolisian, telah siap sewaktu-waktu, untuk melawan secara fisik terhadap negara tetangga manapun yang mau mengganggu kedaulatan NKRI. Persoalannya adalah terletak dari ketegasan Pemerintah dalam hal ini Presiden RI dalam mengeluarkan perintah “SERBU”, maka segenap- rakyat Indonesia akan melaksanakaannya. Oleh karena itu sudah saatnya untuk bangkitkan kembali semangat itu, untuk melawan pihak luar yang mencoba mengganggu kedaulatan NKRI. Dalam keadaan tersebut akan tibul kembali semangat persatuan bangsa dan beramai-ramai menghadapi musuh luar yang mengganggu kedaulatan NKRI.
Pimpinan Nasional kita adalah Ex TNI, seharusnya semua konflik perbatasan harus
ditanbggapi sebagai seorang prajurit siap menembak sasaran musuh, dan bukan tertele-tele lewat meja perundingan. Kalau Pulau Ambalat milik kita, kenapa harus berunding, kan Aneh dan bodoh. Masing-masing kita perlu menginstropeksi diri sejauh mana menempatkan harga diri kita dipertaruhkan dalam mengahadapi pihak luar, dalam berbagai perjuangan dan tantangan baik intern maupun ekstern/pihak luar dengan sikap-sikap dan prinsip-prinsip/tindakan yang “tegas, tepat, cepat dan rasional” dalam semua ‘konflik’ yang timbul.
Sisitem politik sekarang ini sepertinya, menunjukkan sikap kebanci-bacian yang lembek dalam berhadapan dengan berbagai tantangan (luar negeri) yang seharusnya memiliki sifat kelaki-lakian yang tegas dan berani serta menatang siapapun dia. Pola-pola dan penampilan sekaang ini, sama seperti, seolah-olah bersolek dulu diruang rias, baru masuk ke ruang perundingan., dengan bermuka manis penuh senyum, dengan bahasa santun walaupun seharusnya telah menyingsikan lengan baju dan menyiapkan diri untuk siap bertinju di gelanggang. Kurang lebih begitulah misalnya dalam bahasa kasarnya.
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob --Alamat : Jln.Jambon I/414J –Kricak – Jogjakarta (55242). Telp..0274.588160 – HP.082135680644.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.