DPD-RI Masih Persoalkan Status Pulau Pasir
Kupang, 1 Desember 2005 14:00
Panitia Ad Hoc I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) menyoal status Pulau Pasir (Ashmore Reef) yang diklaim Australia sebagai bagian dari teritorinya.
"Kami masih mengumpulkan bukti-bukti tentang sejarah Pulau Pasir, sehingga klaim Australia atas pulau itu kami belum terima sepenuhnya," kata ketua tim PAH I DPD-RI, Harun Al Rasyid di Kupang, Kamis.
Ia menegaskan, pihak-pihak yang menandatangani dokumen tentang kepemilikan Pulau Pasir itu bukan pejabat negara yang memiliki otoritas untuk itu, tetapi pegawai rendahan di Departemen Luar Negeri Indonesia dan Australia.
Mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) itu menegaskan, Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani oleh pegawai rendahan kedua negara pada 1974 itu, belum cukup kuat dijadikan sebagai bukti hukum atas kepemilikan Pulau Pasir oleh Australia.
"Saya tetap yakin bahwa Pulau Pasir adalah bagian dari wilayah Nusantara, karena para nelayan kita lebih dahulu melakukan aktivitas di pulau itu, jauh sebelum penandatanganan MoU pada 1974," tegasnya.
Dalam hubungan dengan itu, pihaknya akan meminta pertanggungjawaban Jakarta dan Canberra untuk meratifikasi kembali MoU 1974 yang secara implisit menyerahkan Pulau Pasir ke dalam teritori Australia.
"Kami menghendaki adanya peninjauan kembali atas MoU tersebut, karena hal itu tidak bisa dijadikan landasan hukum untuk menyerahkan Pulau Pasir ke tangan Australia. Australia punya kepentingan atas pulau itu karena kawasan di sekitarnya banyak terdapat sumur minyak," katanya.
"Perjuangan untuk mendapatkan kembali Pulau Pasir belum berakhir. Jangan biarkan Australia dengan mudah memiliki Pulau Pasir yang lebih dahulu diduduki rakyat Indonesia melalui aktivitas para nelayan tradisional," tambahnya.
Tak sependapat
Harun Al Rasyid menegaskan, DPD-RI tidak sependapat dengan pandangan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), Laksamana Slamet Subijanto yang menyatakan bahwa Pulau Pasir sudah menjadi milik Australia.
KSAL merujuk pada pengakuan Departemen Luar Negeri (Deplu) RI yang menyatakan bahwa Pulau Pasir itu merupakan milik Australia dimana secara historis ditemukan oleh Kapten Samuel Ashmore pada tahun 1811.
Kemudian pada tahun 1968 Pemerintah Australia telah menetapkan batas garis perikanan (Australia Fishing Zone) selebar 12 mil dari garis dasar.
Meskipun secara geografis jarak Pulau Pasir dengan Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT) hanya 80 mil sedangkan ke wilayah Australia Utara (North Queensland) 400 mil.
Hal itu mempengaruhi kegiatan nelayan tradisional Indonesia sehingga pada tahun 1974 disepakati nota kesepaham atau Memorandum of Understanding (MoU) yang intinya mengizinkan nelayan Indonesia untuk menangkap ikan dengan alat/perahu tradisional.
Selanjutnya pada tahun 1983, Australia mengumumkan "Ashmore Reff" sebagai cagar alam nasional dan sejalan dengan itu telah dibuatkan pengaturan untuk membatasi kegiatan nelayan Indonesia di wilayah perairan sekitar Pulau Pasir.
Pada tahun 1986, Australia kembali mengusulkan sebuah rancangan kesepakatan yang baru untuk menggantikan MoU tahun 1974, namun usul tersebut ditolak Pemerintah Indonesia.
Sebaliknya Indonesia mengusulkan agar dilakukan perundingan untuk menentukan cara-cara terbaik dalam melaksanakan MoU 1974 (Practical Guidelines for Implementing 1974 MoU).
Australia merespons usulan Indonesia sehingga pada tahun 1989 terjadi kesepakatan antara Indonesia dan Australia menyangkut MoU 1974 yang dituangkan dalam "Agreed Minutes" yakni tetap mengizinkan nelayan tradisional Indonesia menangkap dan mengambil hasil laut di wilayah tersebut. [TMA, Ant]
Kupang, 1 Desember 2005 14:00
Panitia Ad Hoc I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) menyoal status Pulau Pasir (Ashmore Reef) yang diklaim Australia sebagai bagian dari teritorinya.
"Kami masih mengumpulkan bukti-bukti tentang sejarah Pulau Pasir, sehingga klaim Australia atas pulau itu kami belum terima sepenuhnya," kata ketua tim PAH I DPD-RI, Harun Al Rasyid di Kupang, Kamis.
Ia menegaskan, pihak-pihak yang menandatangani dokumen tentang kepemilikan Pulau Pasir itu bukan pejabat negara yang memiliki otoritas untuk itu, tetapi pegawai rendahan di Departemen Luar Negeri Indonesia dan Australia.
Mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) itu menegaskan, Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani oleh pegawai rendahan kedua negara pada 1974 itu, belum cukup kuat dijadikan sebagai bukti hukum atas kepemilikan Pulau Pasir oleh Australia.
"Saya tetap yakin bahwa Pulau Pasir adalah bagian dari wilayah Nusantara, karena para nelayan kita lebih dahulu melakukan aktivitas di pulau itu, jauh sebelum penandatanganan MoU pada 1974," tegasnya.
Dalam hubungan dengan itu, pihaknya akan meminta pertanggungjawaban Jakarta dan Canberra untuk meratifikasi kembali MoU 1974 yang secara implisit menyerahkan Pulau Pasir ke dalam teritori Australia.
"Kami menghendaki adanya peninjauan kembali atas MoU tersebut, karena hal itu tidak bisa dijadikan landasan hukum untuk menyerahkan Pulau Pasir ke tangan Australia. Australia punya kepentingan atas pulau itu karena kawasan di sekitarnya banyak terdapat sumur minyak," katanya.
"Perjuangan untuk mendapatkan kembali Pulau Pasir belum berakhir. Jangan biarkan Australia dengan mudah memiliki Pulau Pasir yang lebih dahulu diduduki rakyat Indonesia melalui aktivitas para nelayan tradisional," tambahnya.
Tak sependapat
Harun Al Rasyid menegaskan, DPD-RI tidak sependapat dengan pandangan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), Laksamana Slamet Subijanto yang menyatakan bahwa Pulau Pasir sudah menjadi milik Australia.
KSAL merujuk pada pengakuan Departemen Luar Negeri (Deplu) RI yang menyatakan bahwa Pulau Pasir itu merupakan milik Australia dimana secara historis ditemukan oleh Kapten Samuel Ashmore pada tahun 1811.
Kemudian pada tahun 1968 Pemerintah Australia telah menetapkan batas garis perikanan (Australia Fishing Zone) selebar 12 mil dari garis dasar.
Meskipun secara geografis jarak Pulau Pasir dengan Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT) hanya 80 mil sedangkan ke wilayah Australia Utara (North Queensland) 400 mil.
Hal itu mempengaruhi kegiatan nelayan tradisional Indonesia sehingga pada tahun 1974 disepakati nota kesepaham atau Memorandum of Understanding (MoU) yang intinya mengizinkan nelayan Indonesia untuk menangkap ikan dengan alat/perahu tradisional.
Selanjutnya pada tahun 1983, Australia mengumumkan "Ashmore Reff" sebagai cagar alam nasional dan sejalan dengan itu telah dibuatkan pengaturan untuk membatasi kegiatan nelayan Indonesia di wilayah perairan sekitar Pulau Pasir.
Pada tahun 1986, Australia kembali mengusulkan sebuah rancangan kesepakatan yang baru untuk menggantikan MoU tahun 1974, namun usul tersebut ditolak Pemerintah Indonesia.
Sebaliknya Indonesia mengusulkan agar dilakukan perundingan untuk menentukan cara-cara terbaik dalam melaksanakan MoU 1974 (Practical Guidelines for Implementing 1974 MoU).
Australia merespons usulan Indonesia sehingga pada tahun 1989 terjadi kesepakatan antara Indonesia dan Australia menyangkut MoU 1974 yang dituangkan dalam "Agreed Minutes" yakni tetap mengizinkan nelayan tradisional Indonesia menangkap dan mengambil hasil laut di wilayah tersebut. [TMA, Ant]
Sumber
; Arsip Politik Nasional 01-12-2005
PENULIS : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.