Global CSO Forum: Pemerintah Masih
Gagap Atasi Kemiskinan
Oleh Ni Komang Erviani
(Kontributor Bali), March 26, 2013 8:19 am
Suasana pertemuan lanjutan antara CSOs
dan Panel Tingkat Tinggi (High Level Panel – HLP) di Townhall Meeting, Senin
(25 Maret 2013) di Hotel Westin, Nusa Dua, Bali. Koalisi CSO Indonesia dan Koalisi
CSO Internasional telah menyerahkan Komunike Bersama CSO kepada para anggota
tetap HLP. (Foto: Helena Rea)
Upaya pencapaian tujuan pembangunan millennium atau
millenium development goals (MDGs) yang dilakukan Pemerintah Indonesia selama
ini, justru dinilai telah mengabaikan prinsip keadilan oleh sejumlah
kalangan masyarakat sipil. MDGs selama ini justru
memperlihatkan pemerintah Indonesia “gagap” dalam mengentaskan kemiskinan,
karena hanya memberikan perspektif kemiskinan pada level instrumen saja yang
diberi nama pembangunan, namun tanpa berkeadilan
“Hanya
simbol-simbol saja yang terlihat. Contohnya program bedah rumah kawasan kumuh,
masyarakat disabilitas menjadi objek. Tidak jelas arah dan korelasinya dengan
mengentaskan kemiskinan,” jelas Alvon K Parma, Ketua YLBHI Indonesia, dalam
pertemuan bertema “Akses untuk Hukum dan Keadilan serta Tujuan Pembangunan
Pasca 2015”, Senin (25/3) di Hotel Goodway, Nusa Dua, Bali. Narasumber lain
sebagai saksi ketidakadilan adalah Suciwati – istri aktivis kemanusiaan Munir.
Kegiatan akhir koalisi masyarakat Indonesia ini dilakukan di tengah
berlangsungnya Panel Tingkat Tinggi Pasca MDGs 2015 atau High Level Panel (HLP)
of Post-2015 Development Goals) di Nusa Dua.
Salah satu potret kemiskinan di sudut
perkotaan di Yogyakarta. Foto: Aji Wihardandi Alvon mengatakan selama MDGs berlangsung
justru pemerintah Indonesia malah meningkatkan angka kemiskinan. Pembangunan di
sektor perkebunan menjadi contoh dimana banyak masyarakat adat di Sumatera dan
Papua justru terpinggirkan akibat kebijakan dan regulasi yang tidak
pro-keadilan. “Tanah
masyarakat adat dirampas atas nama pembangunan. Dahulu mereka mempunyai 10 Ha
tanah, kini hanya sedikit bahkan ada yang tidak punya tanah lagi. Kemudian
mereka menjadi buruh murah,” ujar Alvon.
“Solusi
terbaik untuk mengentaskan kemiskinan ada baiknya pemerintah Indonesia
mengintervensi dengan kerangka dan konsep pengurangan kemiskinan yang jelas,”
ia menambahkan.
Dalam
kesempatan tersebut, pemerintah Indonesia diminta untuk memasukkan Akses Hukum
dan Keadilan bagi masyarakat dalam Agenda Pembangunan MDGs Pasca 2015. Selama
ini “Akses Hukum dan Keadilan” terabaikan bahkan tidak pernah memberi ruang dan
akses bagi masyarakat kecil yang mengalami kriminalisasi dan terampas haknya
dalam memperoleh keadilan.
Akses
hukum dan keadilan menjadi penting ketika masyarakat juga ingin memproses
masalah hukumnya. Suciwati, misalnya menjelaskan bagaimana secara nyata
pemerintah Indonesia tidak mampu mengadili orang-orang yang selama ini
menghilangkan sejumlah rakyatnya sendiri termasuk suaminya.
Ironisnya,
banyak masyarakat memperlakukan para pelaku korupsi dan pembunuh kemanusiaan
dengan hormat bahkan dimintai sumbangan. Bahkan perlakuan hukum untuk
mendapatkan keadilan juga masih diskriminatif, kasus anak Hatta Rajasa dapat
menjadi contoh. Sementara banyak masyarakat kecil dihukum berat dan
didiskriminasikan akibat tidak mendapatkan akses hukum dan keadilan.
Ketidakadilan lingkungan dalam kasus
protes warga atas kehadiran pertambangan pasir besi di pesisir Jepara, Jawa
Tengah. Foto: LBH Semarang
Komunike
Bersama
Sementara itu, pada pertemuan lanjutan antara
Organisasi-Organisasi Masyarakat Sipil Sedunia (Global CSOs Forum) dan
Panel Tingkat Tinggi (High Level Panel – HLP) di Hotel Westin, Nusa Dua, pada
hari yang sama, Koalisi CSO Indonesia dan Koalisi CSO Internasional telah
menyerahkan Komunike Bersama CSO kepada para anggota tetap HLP.
Ada tiga point utama yang menjadi kata kunci dan
ditekankan oleh CSOs sebagai komitmen bersama, yakni kepemimpinan, ketimpangan,
dan keberlanjutan lingkungan berdasarkan prinsip yang universal. Sementara tata
cara pelaksanaannya didasarkan pada kekhasan setiap negara.
Global CSOs Forum on Post-2015 Development Agenda
(Pertemuan Global Organisasi-Organisasi Masyarakat Sipil Sedunia) sendiri
memang diselenggarakan untuk menyusun masukan-masukan bagi pembangunan
masyarakat dunia dalam forum HLP yang dipimpin Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
Akan tetapi, Forum CSOs melihat indikasi bahwa panel
tidak cukup representatif dalam melakukan komitmen bersama. Ketidakhadiran
Perdana Menteri Inggris, David Cameron menjadi sinyal minimnya komitmen dari
negara-negara maju terhadap agenda MDGs pasca 2015.
David
Cameron adalah salah satu dari tiga pemimpin pertemuan HLP bersama Presiden
Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf.
Hasil pertemuan HLP pada 26-27 Maret 2013 menjadi rekomendasi yang akan
diserahkan kepada Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-Moon.
Komitmen Negara Maju
Dipertanyakan
Kekhawatiran
mendasar yang menjadi perhatian utama dari Koalisi CSO Indonesia dan Koalisi
CSO Internasional adalah tidak adanya komitmen dari negara-negara maju terhadap
upaya pasca 2015. Sejauh ini yang menjadi ukuran pendekatan agenda pasca 2015
adalah pendekatan pembangunan berbasis pasar, yang berarti perluasan pasar dan
meminimalkan tanggung jawab negara. “Seharusnya pembangunan yang didanai dan
didorong oleh negara harus melalui regulasi pendanaan,” kata Direktur INFID dan
Panitia Pengarah Global CSOs Forum on Post-2015, Sugeng Bahagijo.
Hal
ini menjadi kekhawatiran kelompok masyarakat sipil karena yang menjadi
kecenderungan adalah tindakan voluntary (secara sukarela) dari setiap negara
dalam tata cara implmentasinya, “Sayangnya tindakan voluntary ini tidak
mengikat dan itu tentu saja akan merugikan rakyat. Jadi perlu ada tanggung
jawab negara dalam bentuk regulasi ,” ujar Sugeng menegaskan.
Paul
Polman, CEO Unilever, mengatakan bahwa ketimpangan yang terjadi di dunia akibat
adanya ketidak percayaan baik itu di kalangan CSO, swasta maupun pemerintah.
“Akuntabilitas dan transparansi adalah cara yang tepat untuk membangun saling
kepercayaan itu,” kata Polman dalam Forum Private Sector Leaders Roundtable.
Pernyataan
Polman tersebut juga didukung oleh George Soros yang juga berbicara di forum
yang sama, menyatakan, “Perlu dibuat aturan main dan hukum yang jelas”.
Soros juga menyatakan bahwa untuk pasca 2015 perlu dimasukan jaminan atas
“akses hukum dan keadilan” bagi semua pihak, terutama bagi masyarakat marginal
dan terpinggirkan”
Pemerintah masih belum mampu mengatasi
ketidakadilan sumber air bersih bagi semua warga. Ini adalah salah satu bentuk
penolakan warga atas kehadiran hotel di kota Batu Malang yang dinilai merusak
sumber air bersih bagi warga. Foto: Tommy Apriando
Sepanjang
10 tahun terakhir, ketimpangan pendapatan di Indonesia meningkat. Pada 2011 dalam
Indeks GINI (GINI Ratio – standar ukuran ketimpang pendapatan) ketimpangan
meningkat menjadi 0,41. Sementara ketimpangan di bidang non pendapatan,
seperti akses terhadap pelayan publik juga sangat timpang, banyak
daerah miskin tidak ada guru dan tidak ada bidan. Ini berakibat pada tingginya
ketimpangan terhadap angka kematian ibu di 10 provinsi (antara lain Banten,
Papua, NTT).
Hal
ini seharusnya menjadi agenda utama dan harus diangkat dan diputuskan sebagai
target agenda pembangunan pasca 2015. “Argumen dan penjelasan teknis
empiris sudah ada, yang belum ada yang adalah kepimpinan politik dari co-chairs
oleh Pak SBY,” kata Sugeng Bahagijo.
Targetnya setiap negara menurunkan Indeks GINI dari 0,4
menjadi 0,3. Di sisi lain pendapatan untuk suara kaum perempuan, harus ada
realisasi kuota kepemimpinan perempuan tidak hanya jabatan publik tetapi juga
jabatan swasta. Perhatian lainnya adalah pembangunan yang ideal bersifat
inklusif (mengikutsertkan masyarakat) yang berarti ada kesempatan sosial dan
pelayanan publik untuk semua khususnya yang bersahabat terhadap kaum
disabilitas, lansia, dan anak-anak.
Sejauh ini, ketegasan SBY dalam kepemimpinannya di HLP
dibutuhkan untuk merangkul negara-negara menengah dan negara-negara miskin
dalam memperkuat komitmen terhadap pembangunan yangberkelanjutan.“Ketegasan SBY
penting agar kerangka pembangunan yang diusulkan paska MDGs 2015 bisa
menguntungkan seluruh warga dunia, terutama mereka yang berada di negara miskin
dan berkembang, khususnya terhadap negosiasi-negosiasi yang selama ini tidak
menguntungkan negara miskin dan berkembang,” ujar Mickael B. Hoelman, Manager
Program Yayasan Tifa dan Panitia Pengarah Global CSOs Forum on Post-2015
Penulis
: Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.