HAK EKONOMI NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA
DI WILAYAH PERBATASAN
Abstract
Indonesian Fisherman Society
faced to the complexity of problem, especially Indonesian Fisherman Society in
frontier area. Traditional fisherman got inhuman treatment from Australian
Government people, like vessel burning and being shot. Based on that thing,
this research purposes to analyze basic law, fisherman problem in frontier
area, and act which should take by both country to solving this problem.
This
research is a descriptive analytic research which using normative juridical approach
completed by comparative approach. Based on analysis result, known that
traditional fisheries right got law legitimating at UNCLOS 1982, MOU 1974, MOU
1981, and Agreed Minute 1989. While fisherman problem in frontier area caused
by conflicting claim and international market of fisheries resources. Some of
things must done by both country, which includes:
(1) meaning of traditional
fisherman;
(2) definition from assistive medium of navigation;
(3) definition
from traditional fisherman origin;
(4) restructuring conservation area;
(5)
handling by law;
(6) empowermen of alternative livelihood; and
(7) cooperate
research. Advice from result of research is the needed of together discussion
to make action plan in handling Indonesian traditional fisherman in MOU BOX
1974 area. Key Words : traditional fisherman, MOU BOX 1974
Pendahuluan
Masyarakat nelayan di Indonesia dihadapkan pada kompleksitas permasalahan
kemiskinan. Terkait dengan kemiskinan nelayan tersebut, Mubyarto, et.al (1984)
menyebutkan bahwa masyarakat nelayan Indonesia adalah masyarakat termiskin dari
kelompok masyarakat miskin lainnnya (the poorest of the poor). Hal ini
diperkuat oleh fakta yang dipaparkan BPS dan SMERU pada tahun 2002, bahwa desa
pesisir yang berjumlah 8.090 desa memiliki Poverty Headcount Index (PHI)
sebesar 0,3214 atau 32,14%.
Dengan demikian, masyarakat pesisir Indonesia
termasuk di dalamnya adalah masyarakat nelayan yang berjumlah 4.015.320 jiwa
masih hidup di bawah garis kemiskinan (DKP, 2008). Sebagaimana yang diungkapkan
di atas, masyarakat nelayan Indonesia senantiasa dihadapkan pada kompleksitas
permasalahan, seperti kemiskinan, konflik sosial hingga penembakan baik oleh
kapal ikan asing maupun oleh aparat pemerintah negara tetangga.
Kasus
penembakan terhadap nelayan Indonesia di wilayah perbatasan oleh aparat negara
tetangga semakin mencuat pada tahun 2005, yaitu pada tragedi “Clean Water
Operation” yang dilakukan oleh aparat Pemerintah Australia yang berlangsung
tanggal 12-21 April 2005. Pada operasi tersebut telah mengakibatkan
meninggalnya nelayan Indonesia yaitu kapten kapal KM Gunung Mas Baru yang
bernama Muhammad Heri dalam masa penahanan di Darwin, Australia pada tanggal 28
April 2005.
Dengan tidak mengabaikan kedaulatan wilayah Australia, penanganan
aparat Pemerintah Australia di wilayah perbatasan Nusa Tenggara Timur dan
Australia harus hak perikanan tradisional (traditional fishing rights). Hak
perikanan tradisional di zona perikanan Australia ini merupakan satu-satunya
hak perikanan tradisional yang diakui secara resmi, karena selama beberapa
dekade nelayan Indonesia melakukan penangkapan di wilayah tersebut tanpa ada
gangguan atau larangan dari pemerintah Australia (Tribawono, 2002).
Selain itu,
Bintoro (2005) menyebutkan bahwa nelayan dari daerah Papela - Sulawesi Tenggara
mengambil ikan di daerah pantai utara Australia, khususnya Pulau Ashmore dan
Cartier sejak abad 16. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tanoni (2008), bahwa
gugusan Pulau Ashmore yang dinamakan masyarakat Pulau Rote sebagai Pulau Pasir
dijadikan “rumah kedua” oleh masyarakat Pulau Rote jauh sebelum Komandan Kapal
Hibernia Kapten Samuel Ashmore yang berkebangsaan Inggris singgah pada tanggal
11 Juni 1811.
Berdasarkan paparan tersebut di atas, tujuan penelitian ini
adalah memaparkan dasar hukum hak perikanan tradisional, permasalahan nelayan
di wilayah perbatasan, dan hal-hal yang harus dilakukan kedua negara dalam
menjaga hak ekonomi nelayan tradisional di wilayah perbatasan. Dasar Hukum Hak
Perikanan Tradisional Hak perikanan tradisional mendapatkan pengakuan hukum
melalui Pasal 51 ayat (1) UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa “tanpa mengurangi
arti dari Pasal 49, negara kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada
dengan negara lain dan harus mengakui hak perikanan tradisional dan kegiatan
yang lain yang sah dengan negara tetangga yang langsung berdampingan dalam
daerah tertentu tang berda dalam perairan kepulauan.
Syarat dan ketentuan bagi
pelaksanaan hak dan kegiatan demikian, termasuk sifatnya, ruang lingkup dan
daerah dimana hak dan kegiatan itu berlaku, atas permintaan salah satu negara
yang bersangkutan harus diatur dalam perjanjian bilateral hukum antara mereka.
Hal demikian tidak boleh dialihkan atau dibagi dengan negara ketiga atau warga
negaranya “. Berdasarkan Pasal di atas, sebagai negara kepulauan yang
berbatasan dengan negara lain, setiap negara harus mengkui hak perikanan
tradisional (traditional fishing rights) suatu negara yang sudah berlangsung
lama tanpa mengurangi arti Pasal 49 tentang status hukum perairan kepulauan.
Syarat untuk melaksanakan hak perikanan tradisional adalah perundingan dengan
negara-negara tetangga yang bersangkutan. Oleh sebab itu, maka dalam hal ini
untuk lebih mengakui hak perikanan tradisional bisa dilakukan perjanjian
bilateral yang sifatnya sudah diakui oleh dunia internasional. Pada pengaturan
hak perikanan tradisional antara Indonesia dengan Australia telah melakukan
pertemuan dan menghasilkan tiga buah perjanjian internasional, yaitu :
Memorandum of Understanding (MOU) 1974, MOU 1981 dan Agreed Minutes 1989.
Secara
kronologis, hasil perundingan mengenai hak perikanan tradisional antara
Indonesia dan Australia, yaitu: MOU Tahun 1974 Pemerintah Indonesia dan
Australia telah melakukan penandatanganan perjanjian mengenai hak perikanan
tradisional bagi nelayan tradisional Indonesia dalam melakukan penangkapan ikan
di wilayah perairan tertentu pada zona perikanan eksklusif dan landas kontinen
Australia.
Perjanjian kedua negara yang ditandatangani pada tanggal 7 November
1974 menghasilkan “Memorandum of Understanding between the Government of
Australia and the Government of the Republic of Indonesia Regarding the
Operations of Indonesian Traditional Fishermen in Areas of the Australia
Exclusive Fishing Zone and Continental Shelf”. Perjanjian ini lebih dikenal
dengan istilah MOU BOX 1974, dikarenakan wilayah yang diperjanjikan berbentuk
kotak Gambar 1.Perjanjian pertama yang dikenal dengan istilah MOU BOX 1974 ini
berisi aturan, diantaranya adalah:
Pertama, hal-hal yang diperbolehkan, yaitu :
(a) yang diperbolehkan melakukan kegiatan penangkapan ikan di dalam wilayah
perikanan Australia adalah nelayan-nelayan tradisional Indonesia yang
menggunakan perahu tradisional;
(b) kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
sumberdaya ikan di wilayah perikanan Australia dilakukan pada daerah-daerah
yang berdekatan dengan Ashmore Reef, Cartier Islet, Scott Reef, Seringapatam
Reef, dan Browse Islet;
(c) para nelayan tradisional diperbolehkan untuk
mengambil air minum pada East Islet dan Midle Islet; dan
(d) para nelayan
tradisional diperbolehkan mengambil: trochus (lola), beche de mer (teripang),
abalone (simping), greensnail (siput hijau), spogens dan molusca (binatang
lunak) lainnya, di dasar laut yang berdekatan dengan Ashmore Reef, Cartier
Islet, Browse Islet, Scott Reef dan Seringapatam Reef. Gambar 1. Peta MOU BOX
1974 (Sumber: Fox and Sen, 2002)
Kedua, hal-hal yang dilarang, yaitu :
(a) para
nelayan tradisional dilarang mendarat untuk mengambil air minum (air tawar) di
luar dari daerah yang sudah ditetapkan;
(b) para nelayan tradisional dilarang
untuk turun ke darat pada waktu berlindung diantara pulau-pulau sebagaimana
disebutkan di dalam perjanjian ini;
(c) para nelayan tradisional dilarang untuk
menangkap dan mengambil penyu di wilayah perikanan Australia dan trochus
(lola), beche de mer (teripang), abalone (simping), greensnail (siput hijau),
spogens dan molusca (binatang lunak), pada daerah dasar laut dalam yang
berbatasan dengan garis air tertinggi sampai ketinggian kontinen; dan
(d) para
nelayan tradisional dilarang melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya
alam hayati di landas kontinen, di luar dari pada yang ditetapkan dalam
perjanjian ini.
MOU Tahun 1981 Perjanjian kedua yang dilakukan pada tahun 1981
ini disebabkan Pemerintah Australia mengumumkan wilayah perikanan pada 1 November
1979 dari 12 mil menjadi 200 mil. Hal yang sama dilakukan juga oleh Pemerintah
Indonesia pada 21 Maret 1980 yang kemudian dikukuhkan dengan UU No. 5 Tahun
1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Perjanjian kedua yang
berlangsung 27-29 Oktober 1981 ini menghasilkan “Memorandum of Understanding
between the Republic of Indonesia and the Government of Australia Concerning
the
Implementation of Provisional Fisheries Surveillance and Enforcement
Arrangement”.
Perjanjian yang kedua ini lebih menitikberatkan pada batas
wilayah laut antara Indonesia dan Australia. Hal ini disebabkan, oleh
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional
Indonesia. Oleh karenanya, untuk membatasi kegiatan para nelayan tradisional
Indonesia, maka pada tahun 1983 Pemerintah Australia mengubah status peruntukan
Ashmore Reef dari daerah yang diperbolehkan untuk penangkapan ikan menjadi
kawasan taman nasional laut yang harus dilindungi, sehingga dilarang
penangkapan jenis-jenis biota yang selama ini diperbolehkan ditangkap.
Selain
itu, nelayan hanya diperbolehkan mendarat untuk mengambil air tawar. Larangan
Pemerintah Australia terhadap penangkapan ikan di Ashmore Reef termaktub pada
“National Parks and Wildlife Conservation Act”, dimana Australia mendeklarasikan
“Ashmore Reef National Nature Reserve” pada 16 Agustus 1983. Agreed Minute
Tahun 1989 Dalam rangka menyusun penunjuk praktis pelaksanaan MOU Box 1974
serta perubahan yang dilakukan pada perjanjian tahun 1981, maka kedua negara
membicarakan hal-hal yang diatur dalam memorandum sebelumnya.
Kesepakatan yang
ketiga ini dituangkan dalam perjanjian pada 29 April 1989 yang dikenal dengan
“Agreed Minutes of Meeting Between officials of Indonesian and Australia on
Fisheries”. Hal-hal yang ditegaskan di dalam Agreed Minute 1989 ini adalah:
Pertama, perubahan status Ashmore Reef dan Cartier Islet yang tadinya merupakan
bagian dari tempat para nelayan tradisional Indonesia beroperasi menjadi
kawasan pelestarian alam.
Kedua, terjadi penyusutan stok ikan di sekitar
Ashmore Reef akibat aktivitas para nelayan tradisional Indonesia, oleh
karenanya pihak Australia dikenakan kewajiban-kewajiban internasional tertentu
untuk menjaga kelestarian alam pada wilayah Ashmore Reef dan Cartier Islet.
Ketiga, penegasan kembali keberadaan Indonesia dan Australia yang sama-sama
menjadi anggota CITES.
Keempat, atas tawaran pihak Australia, disepakati bahwa
para nelayan tradisional Indonesia diperbolehkan melakukan penangkapan ikan
tidak hanya di daerah-daerah yang berdekatan dengan Ashmore Reef, Cartier
Islet, Scott Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Islet sebagaimana ditetapkan
dalam MOU BOX 1974, tetapi juga di daerah box yang lebih luas pada wilayah
perikanan dan landas kontinen Australia, di samping melanjutkan terus
pelaksanaan MOU BOX 1974 bagi nelayan tradisional yang beroperasi dengan
menggunakan metode dan perahu-perahu tradisional.
Kelima, pihak Australia akan
mengambil tindakan tegas terhadap para nelayan yang beroperasi di luar wilayah
sebagaimana yang sudah ditetapkan dalam MOU BOX 1974. Kedua belah pihak sepakat
untuk melakukan kerjasama dalam bidang perikanan untuk mengadakan mata
pencaharian pengganti (alternative livelihood) bagi nelayan tradisional
indonesia yang melakukan kegiatan penangkapan ikan berdasarkan MOU BOX 1974 di
wilayah Indonesia bagian Timur.
Keenam, kedua belah pihak juga sepakat untuk
mempertimbangkan jenis-jenis satwa yang dilindungi melalui tukar menukar
informasi agar menguntungkan kedua belah pihak.
Ketujuh, akhirnya kedua belah
pihak sepakat untuk berkonsultasi kapan saja diperlukan untuk menjamin
efektivitas pelaksanaan MOU dan Agreed Minute yang ada. Permasalahan Nelayan
Tradisional di Perbatasan Meski Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia
telah melakukan perjanjian bilateral untuk mengatasi masalah pelanggaran
kedaulatan yang dilakukan nelayannelayan tradisional Indonesia, namun di lapang
ternyata masih saja terjadi pelanggaran.
Hal ini tercermin dari data
tertangkapnya nelayan-nelayan Indonesia, baik tradisional maupun modern oleh
aparat Pemerintah Australia. Pada Tabel 1 terlihat bahwa sejak tahun 1975
dengan pengecualian beberapa tahun, terdapat kecenderungan semakin meningkatnya
jumlah perahu yang tertangkap. Selain itu, pada Tabel 2 terlihat nelayan
Indonesia yang dideportasi dari Australia.Tabel 1.
Jumlah Perahu Pelintas Batas
yang tertangkap di Perairan Australia Tahun Jumlah Perahu Jumlah Nelayan 1975 3
Tidak ada data 1980 2 Tidak ada data 1985 5 Tidak ada data 1987 1 Tidak ada
data 1988 46 Tidak ada data 1989 29 Tidak ada data 1990 43 Tidak ada data 1991
38 Tidak ada data 1992 15 Tidak ada data 1993 23 Tidak ada data 1994 111 Tidak
ada data 1995 76 Tidak ada data 1996 97 Tidak ada data 1997 122 Tidak ada data
Sumber: Stacy (1999) diacu dalam Adhuri (2005) Tabel 2.
Jumlah Nelayan Indonesia
yang Dideportasi dari Australia No. Asal Nelayan (Provinsi) Tahun 2004 2005
2006 2007 20081 1. Jawa Timur 24 182 59 - - 2. Nusa Tenggara Timur 83 158 262
70 20 3. Sulawesi 92 422 473 241 66 4. Maluku 23 77 625 124 8 5. Papua 65 116
495 199 14 6. Sumatera dan NTB 9 57 151 - - Jumlah 296 1.012 2.065 653 108 Ket
: 1 Data hingga 31 Maret 2008 Sumber : Alfiana (2008)
Menurut Adhuri (2005),
ada beberapa isu utama yang harus diketahui dalam memahami pelanggaran
kedaulatan yang dilakukan oleh nelayan tradisional Indonesia, yaitu:
Pertama,
Conflicting Claims. Hingga saat ini, masyarakat nelayan tradisional Indonesia,
khususnya masyarakat nelayan dari Pulau Rote Nusa Tenggara Timur (NTT)
menganggap bahwa fishing ground tertentu, khususnya Pulau Pasir (Ashmore Reef)
adalah wilayah mereka. Klaim masyarakat NTT tersebut setidaknya didasarkan pada
dua hal, yaitu :
secara geografis, gugusan Pulau Ashmore letaknya jauh lebih
dekat ke Pulau Rote di NTT sekitar 170 km, dari pada ke wilayah barat Darwin
Australia yang jaraknya mencapai 840 km dan wilayah utara Broome Australia yang
mencapai 610 km (Tanoni, 2008).
Secara historis, klaim masyarakat NTT terhadap
Pulau Pasir didasarkan pada sejarah panjang aktivitas nelayan-nelayan di pulau
ini. Menurut sejarah, jauh sebelum Kapten Samuel Ashmore menemukan Pulau Pasir
dan Inggris mengklaimnya pada tahun 1878, sejak tahun 1602 masyarakat nelayan
Indonesia secara de facto menguasai Pulau Pasir, karena pulau ini tempat
mencari nafkah sekaligus tempat perisitirahatan.
Selain itu, kepemilikan
Indonesia atas Pulau Pasir diperkuat juga oleh hasil kajian Yayasan Peduli
Timor Barat yang menemukan studi McKnight (1976) serta studi Purwati (2005),
bahwa menurut arsip Belanda diberitakan sesorang saudagar Tionghoa diberi izin
pada tahun 1751 untuk mencari kulit penyu dari gugusan Pulau Pasir yang ada di
selatan Pulau Timor.
Dengan demikian, kegiatan perekonomian masyarakat
Indonesia jauh lebih dulu dibandingkan dengan kedatangan Kapten Samuel Ashmore.
Kedua, pasar internasional sumberdaya ikan. Faktor keberadaan pasar
internasional ikut andil dalam mendorong aktivitas nelayan-nelayan tradisional
Indonesia untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah perikanan Australia. Hal
ini dikarenakan, sumberdaya yang ditangkap seperti teripang, trochus, dan sirip
hiu bukan lah komoditas yang dikonsumsi secara langsung oleh mereka, melainkan
untuk dijual ke luar negeri, yaitu pasar Cina.
Memperjuangkan Hak Ekonomi
Nelayan Tradisional Tingginya minat nelayan tradisional Indonesia disebabkan
oleh kebutuhan ekonomi, dimana hasil tangkapan pada bulan tertentu di wilayah
MOU BOX 1974 sangat menguntungkan. Hal ini sesuai perhitungan Fox dan Sen
(2002), bahwa keuntungan yang diperoleh nelayan tradisional Indonesia dalam
memanfaatkan teripang di wilayah MOU BOX 1974 untuk satu kali trip yang lamanya
empat bulan, yaitu mendapatkan penghasilan maksimal AU$ 30.000 dan minimal AU$
14.000 dengan nilai tukar yang berlaku pada saat itu 1 AU$ sebesar Rp 5.000.
Dengan kata lain, pendapatan satu trip kapal nelayan adalah maksimal Rp
150.000.000 dan minimal Rp 70.000.000 (Tabel 3).
Berdasarkan Tabel 3, faktor
ekonomi akan menjadi salah satu faktor utama dalam kegiatan penangkapan ikan di
wilayah MOU BOX 1974. Oleh karena itu, tindakan hukum yang dilakukan secara
represif terhadap nelayan tradisional Indonesia tidak akan mampu mengatasi
permasalahan. Bahkan, tindakan hukum tersebut hanya akan merenggangkan hubungan
kedua negara karena tidak adanya keadilan.
Tabel 3. Perkiraan Pendapatan
Nelayan Tradisional Indonesia dalam Satu Kali Trip di Wilayah MOU BOX 1974
Keterangan Maksimal Minimal Jumlah Anak Buah Kapal (ABK) = 12 Hasil Tangkapan
Teripang (kg) 1.500 1.000 Harga Jual Teripang per Ekor 24 20 Pendapatan Kotor
36.000 20.000 Total Biaya per Trip 6.000 6.000 Keuntungan Bersih (AU$ / Trip)
30.000 14.000 Pendapatan Pemilik Kapal (Trip) 2.500 1.167 Pendapatan Pemilik
Mesin (Trip) 2.500 1.167 Pendapatan Semua Nelayan ABK 25.000 11.667 Pendapatan
Setiap Nelayan 2.083 972 Pendapatan Nelayan per Bulan 521 243 Sumber : Fox and
Sen (2002)
Untuk mengatasi permasalahan yang saling menguntungkan kedua belah
pihak (win-win solution), maka harus dituntaskan secara komprehensif dan
mengenai akar permasalahan. Tentu saja, untuk mewujudkan win-win solution
tersebut harus didasari oleh political will pihak-pihak yang melakukan
diplomasi, sehingga hak ekonomi nelayan tradisional Indonesia bisa terjaga
dalam rangka mencari penghidapan yang layak.
Adapun beberapa hal yang harus
dilakukan oleh kedua negara dalam menyelesaikan permasalahan nelayan tradisional
di wilayah MOU BOX 1974, diantara yaitu meliputi:
Pengertian Nelayan
Tradisional Pada MOU BOX 1974,
“Nelayan Tradisional” didefinisikan adalah
mereka yang secara tradisional telah menangkap ikan dan jenis-jenis organisme
sedenter di perairan Australia dengan menggunakan cara yang secara tradisional
dipakai berabad-abad lamanya.
Pengertian tersebut menjadi empat syarat yang
harus diperhatikan yaitu meliputi :
(1) nelayan-nelayan yang bersangkutan
secara tradisional telah menangkap ikan di suatu perairan tertentu;
(2)
nelayan-nelayan tersebut telah mempergunakan secara tradisional alat-alat
tertentu;
(3) hasil tangkapan nelayan secara tradisional adalah jenis-jenis
ikan tertentu; dan
(4) nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan tersebut
haruslah nelayan-nelayan yang secara tradisional telah melakukan penangkapan
ikan daerah tersebut (Djalal, 1988).
Batasan pengertian tersebut di atas tidak
sesuai dengan peraturan
perundangundangan Indonesia. Pada UU No. 31 Tahun 2004
tentang Perikanan, hanya memuat pengertian “nelayan kecil”, yaitu orang yang
mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Pengertian “nelayan kecil” dan “nelayan tradisional” semestinya
disamakan dengan batasan sebagai berikut, yaitu:
(a) mereka yang menggunakan
alat penangkap ikan yang menetap;
(b) mereka yang menggunakan alat penangkap
ikan yang tidak menetap yang tidak dimodifikasi;
(c) mereka yang menggunakan
kapal perikanan tanpa motor dengan ukuran panjang keseluruhan tidak lebih dari
10 meter; dan
(d) mereka yang menggunakan kapal perikanan bemotor tempel dan
bermotor dalam dengan ukuran panjang keseluruhan maksimal 12 meter atau
berukuran 5 GT.
Batasan Sarana Bantu Navigasi Penggunaan alat bantu navigasi
seperti kompas dan GPS (Geographic Positioning System) adalah barang yang
terlarang bagi nelayan tradisional Indonesia di wilayah MOU BOX.
Hal ini tentu
saja disebabkan oleh batasan pengertian “nelayan tradisional” yang tertuang
pada MOU BOX 1974. Larangan penggunaan alat bantu navigasi diperparah dengan
ketiadaan tanda-tanda atau batas-batas wilayah MOU BOX yang
diperjanjikan.
Akibatnya adalah, beberapa nelayan tradisional Indonesia menjadi korban
penangkapan aparat hukum Pemerintah Australia karena melanggar wilayah
kedaulatan Australia. Oleh karena itu, untuk mengurangi pelanggaran yang tidak
disengaja oleh nelayan tradisional Indonesia, Pemerintah Australia harus
memperjelas rambu-rambu pelayaran atau memperbolehkan penggunaan kompas dan
GPS.
Batasan Asal Daerah Nelayan Tradisional Dalam MOU BOX tidak disebutkan
asal daerah nelayan yang diperbolehkan untuk melakukan penangkapan ikan di
wilayah perikanan Australia. Menurut Indrawasih et.al (2008), terdapat lima
populasi pelayaran dan penangkapan ikan di Indonesia Timur, termasuk ke wilayah
perikanan Australia, yaitu Madura, Makasar, Bugis, Bajau, dan Buton.
Sementara
itu, Tanoni (2008) dan Balint (2005) menyebutkan beberapa asal daerah nelayan
tradisional Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di gugusan Pulau Ashmore
yaitu Pulau Rote, Flores, Alor, Buton, Sabu, Madura, Timor, Sulawesi dan
Maluku. Oleh karena itu, untuk memudahkan penanganan kegiatan nelayan
tradisional Indonesia di wilayah MOU BOX, maka kedua negara harus melakukan
identifikasi asal daerah nelayan tradisional Indonesia.
Pengaturan Kembali
Kawasan Konservasi Deklarasi kawasan konservasi oleh Pemerintah Australia yang
menetapkan taman nasional laut untuk Ashmore Reef pada 6 Agustus 1983 dan Pulau
Cartier tanggal 7 Juni 2000 merupakan salah cara untuk membatasi ruang gerak
aktivitas nelayan tradisional Indonesia sebagaimana yang diperjanjikan pada MOU
BOX 1974. Apabila tindakan Pemerintah Australia tersebut dibiarkan, maka dengan
alasan konservasi, lambat laun wilayah MOU BOX lainnya seperti Scott Reef,
Seringapatam Reef dan Browse Islet dimungkinkan akan dijadikan kawasan tertutup
bagi nelayan-nelayan tradisional Indonesia.
Oleh karena itu, penetapan kawasan
konservasi untuk Ashmore Reef dan Cartier harus dibicarakan kembali dengan
mengikuti kaidah hukum perjanjian internasional yang mengedepankan itikad baik
(good will). Hal ini dikarenakan, para ahli hukum dan Konvensi Wina tahun 1969
mengisyaratkan harus ada kesekapatan para pihak dalam melakukan perubahan
terhadap isi perjanjian yang telah disepakati.
Penanganan Hukum Penyelesaian
hukum yang dilakukan Australia seringkali menimbulkan rasa ketidakadilaan yang
menyebabkan ketersinggungan dan menyulut emosi kebangsaan, maka Pemerintah
Indonesia dan Australia harus duduk bersama guna mendapatkan penyelesaian yang
sifatnya win-win solution. Penyelesaian kasus nelayan tradisional Indonesia
selama ini diselesaikan dengan proses peradilan telah menyebabkan pasangsurut
hubungan Indonesia-Australia.
Oleh karena itu, untuk kasus pelanggaran
perikanan nelayan Indonesia, Thontowi (2002) menyarankan alternatif
penyelesaiannya melalui non-peradilan yang dalam hal ini adalah komisi
arbitrase yang diharapkan mampu mengambil tanggung jawab bersama, sehingga baik
secara moral maupun secara hukum internasional, kedua negara harus berusaha untuk
menegakkan ketertiban dunia. Selain itu, dipilihnya komisi arbitrase dalam
penyelesaian pelanggaran diyakini dapat menciptakan rasa keadilan dan
menjauhkan ketersinggungan, mengingat kedua negara diwakili oleh masing-masing
wasit.
Pemberdayaan Alternatif Mata Pencaharian Mengenai kebijakan pemberdayaan
alternatif mata pencaharian yang ditawarkan Australia perlu disikapi secara
bijaksana. Hal ini dikarenakan, pengalihan mata pencaharian nelayan tradisional
Indonesia dari status sebagai nelayan menjadi pembudidaya ikan dapat melemahkan
eksistensi hak perikanan tradisional. Padahal, status hak-hak perikanan
tradisional sudah diakui dalam hukum internasional.
Oleh karenanya, yang harus
dilakukan oleh Pemerintah Australia dalam hal menjalin kerjasama, bukanlah bertujuan
mengalihkan secara total kegiatan para nelayan, melainkan membina pengembangan
diversifikasi usaha selain nelayan. Dalam rangka pemberdayaan alternatif mata
pencaharian nelayan tradisional Indonesia perlu diperhatikan beberapa hal,
yaitu:
Pertama, pendekatan program.
Belajar dari kegagalan program pemberdayaan
di masa lalu, dimana program pemberdayaan selalu memasukan institusi baru dan
menafikan institusi lokal. Akibatnya adalah :
(1) institusi baru yang dibangun
tidak dikerangkai oleh institusiinstitusi yang sudah ada lebih dahulu;
(2)
institusi yang ada tidak menjadi basis pijakan untuk membangun institusi baru;
(3) institusi baru dilahirkan bertujuan untuk diperhadapkan dengan institusi
yang sudah ada, dan
(4) institusi baru yang dibentuk lebih memberatkan
kehidupan nelayan daripada institusi yang sudah ada (Kusnadi, 2003).
Kedua,
diversifikasi usaha.
Tingginya ketergantungan nelayan terhadap kegiatan
penangkapan ikan harus segera menjadi perhatian. Di samping akan mempercepat
laju overfishing, ketergantungan pada usaha penangkapan ikan menyebabkan
perekonomian keluarga nelayan semakin sulit ketika musim paceklik. Adapun
beberapa bidang usaha yang dapat dikembangkan sebagai bentuk diversifikasi
usaha nelayan adalah pembudidayaan ikan dan pengolahan ikan.
Namun demikian,
keberhasilan program diversifikasi usaha nelayan menuntut keseriusan pemerintah
dalam memberdayakan nelayan, yang dicerminkan dengan keberlanjutan program.
Ketiga, pengenalan atau diseminasi teknologi tepat
guna.
Rendahnya penguasaan
nelayan khususnya dan masyarakat pesisir umunya terhadap teknologi menyebabkan
mereka tidak mampu memanfaatkan sumberdaya secara optimal. Sumberdaya ikan yang
bersifat cepat rusak (perishable) menuntut penanganan yang cepat dan tepat,
sehinga teknologi sangat diperlukan dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Penelitian Bersama Penanganan nelayan tradisional Indonesia di wilayah MOU BOX
1974 memerlukan kebijakan yang berkelanjutan.
Oleh karena itu, kedua negara
harus melakukan penelitian bersama yang hasil penelitiannya dapat digunakan
sebagai dokumen penyusunan kebijakan, seperti penelitian terhadap potensi
kelimpahan sumberdaya ikan. Dengan keberadaan data potensi tersebut, maka
Pemerintah Australia tidak bisa secara sepihak menutup wilayah MOU BOX 1974 sebagai
kawasan konservasi. Dengan demikian, data potensi yang dihasilkan dari
penelitian bersama dapat digunakan sebagai pedoman dalam setiap kebijakan yang
akan ditetapkan.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan yang dihasilkan berdasarkan
analisis yaitu : Pertama, hak perikanan tradisional mendapatkan legitimasi
hukum pada UNCLOS 1982, MOU 1974, MOU 1981, dan Agreed Minute 1989. Kedua,
permasalahan nelayan di perbatasan disebabkan oleh conflicting claim dan pasar
internasional sumberdaya ikan. Ketiga, beberapa hal yang harus dilakukan oleh
kedua negara dalam menyelesaikan permasalahan nelayan tradisional di wilayah
MOU BOX 1974, diantara yaitu meliputi pembahasan :
(1) pengertian nelayan
tradisional;
(2) batasan sarana bantu navigasi;
(3) batasan asal daerah nelayan
tradisional;
(4) pengaturan kembali kawasan konservasi;
(5) penanganan secara
hukum;
(6) pemberdayaan alternatif mata pencaharian; dan
(7) penelitian
bersama.
Adapun saran dari hasil penelitian ini adalah diperlukannya pembahasan
bersama untuk menyusun rencana aksi dalam penanganan nelayan tradisional
Indonesia di wilayah MOU BOX 1974. Selain itu, diperlukan penelitian bersama
yang menghasilkan data ilmiah terbaik (the best scientific evidence) untuk
dijadikan rujukan dalam penyusunan rencana aksi. (Akhmad Solihin).
Penulis : Drs.simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.