alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Senin, 23 Februari 2015

TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM MELINDUNGI HAK NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA DI PERAIRAN AUSTRALIA



Tanggung Jawab Negara dalam Melindungi Hak Nelayan Tradisional Indonesia di Perairan Australia


Abstract

The 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea provides the rights of states on marine exploitation. The law imposed every state to accomodate other country’s rights and interests, including the right of traditional fishing. However, in reality, some problems occured, such as problems among Indonesian fishermen of North Nusa Tenggara sailed in Australia territorial waters. To overcome the problem, both Australia and Indonesia administration must reach agreement based on common interpretation over the law implementation. 

This writing suggests each party to use forum to discuss the matter based on law or diplomatic channel or law, before submit it to International Supreme Court. Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan hak negara-negara pantai di laut, sekaligus membebankan kewajiban untuk mengakomodasikan kepentingan dan hak-hak negara lain yang sah, di antaranya hak penangkapan ikan tradisional. Namun, dalam pelaksanaannya, sering ditemukan berbagai masalah. Nelayan Indonesia di Perairan Wilayah Selatan Nusa Tenggara Timur menghadapi permasalahan semacam ini di Perairan Australia. Tulisan ini mengkaji penerapan prinsip tanggungjawab negara terhadap perlindungan hak penangkapan ikan tradisional menurut Konvensi Hukum Laut 1982, melalui pendekatan yuridis normatif.

Kata Kunci: Hak penangkapan ikan tradisional, prinsip 
tanggung jawab negara. 

I. PENDAHULUAN

Berdasarkan Pasal 56 Konvensi Hukum Laut 1982 (selanjutnya disebut KHL 1982) bahwa negara pantai memiliki hak berdaulat atas sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati, dalam yurisdiksinya. Selanjutnya, berdasarkan Prinsip 21 Deklarasi Stockholm dan Prinsip 2 Rio De Jainero 1992, negara memiliki hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya sesuai dengan kebijakan lingkungannya. Ketentuan tersebut menetapkan kewajiban bagi negara pantai untuk melaksanakan konservasi atas sumber daya hayati serta menjaga lingkungannya. 

Pelaksanaan hak dan kewajiban negara pantai untuk menjaga dan melestarikan sumber daya alam dan lingkungannya tidak mudah, karena masih banyak ditemukan penangkapan ikan ilegal. Di samping negara berkewajiban menjaga sumber daya alam dan lingkungannya, konvensi juga menegaskan bahwa negara pantai berkewajiban mengakomodasikan hak-hak negara lain yang sah menurut hukum internasional, di antaranya adalah hak penangkapan ikan tradisional. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 dan Pasal 62 Ayat 3 KHL 1982. 

Terkait dengan masalah illegal fishing dan pelaksanaan hak penangkapan ikan traadisional, nelayan Indonesia yang berasal dari Nusa Tenggara Timur yang telah biasa menangkap ikan di perbatasan perairan antara Selatan Nusa Tenggara Timur dengan perairan Australia ditangkap, bahkan kapal nelayan Indonesia dibakar oleh polisi air Australia, karena dituduh telah melakukan illegal fishing. Penangkapan nelayan tradisional Indonesia sebenarnya telah terjadi sejak 1974 dan diperkirakan sudah ribuan nelayan yang ditahan, 

1 Artikel ini merupakan hasil penelitian 2 Fakultas Hukum Unisba, Jl. Ranggagading No.8 Bandung: email: ira.wati66@yahoo.com. 3 Fakultas Hukum Unisba, Jl. Ranggagading No.8 Bandung: email: owahjoe@gmail.com.12 IRAWATI, OENTOENG W. 
Tanggung jawab Negara dalam Melaksanakan Hak Penangkapan Ikan Tradisional ... disekap, dan dipenjara, lalu dideportasi. Namun, beberapa tahun terkahir ini penangkapan terhadap nelayan tradisional Indonesia semakin sering. Hal ini dapat dikemukakan beberapa kejadian penangkapan seperti pada 16 Mei 2005, penangkapan 49 orang nelayan Indonesia yang berasal dari desa Deka, Kabupaten Ndao, Flores, oleh otoritas Australia. Selanjutnya, pada 25 Agustus 2007, tiga perahu nelayan Indonesia dengan 29 orang ABK kembali ditangkap kapal patroli Australia di perairan kepulauan karang Ashmore. Penangkapan nelayan Indonesia juga terjadi pada November 2007, yaitu sebanyak 201 nelayan Indonesia telah ditahan aparat Australia di pusat penahanan (detention center) Darwin, Northern Territory (NT). Dasar penangkapan tersebut dilakukan karena nelayan Indonesia dituduh menangkap ikan secara ilegal di perairan utara Australia. 

Pada 15 Januari 2008, sedikitnya 9 nelayan Indonesia tertangkap di perairan laut Australia. Kasus yang sama juga pernah menimpa empat kapal ikan Indonesia lainnya beberapa tahun lalu, yakni Kapal Nelayan “Nurius”, “Sari Jaya”, “Tidak Baik”, dan “Teguh Kaya Abadi”. Kapal Nelayan “Nurius” dengan nakhoda, George Elis, ditangkap di posisi 9.47-371 S dan 129.16-102 E. Kapal Nelayan “Sari Jaya” yang dinakhodai, Lukman, ditangkap di posisi 9.47-371 S dan 129.16-102 E, kapal “Tidak Baik” yang dinakhodai Benoni ditangkap di posisi 10.01-800 S dan 128.56-300 E. Penangkapan kapal nelayan Indonesia oleh pihak otoritas Australia juga dilakukan terhadap kapal nelayan “Teguh Kaya Abadi” dengan kapten, Antonius Tan, ditangkap ketika berada di perairan Indonesia dengan posisi 10.28-500 S dan 128.11- 060 E, sesuai dengan data perangkat `Global Positioning System` (GPS) yang dimiliki kapal-kapal itu ( h t t p : / / w w w . s u a r a k a r y a - o n l i n e . c o m / news.html.id=180845). 

Melihat gambaran kejadian tersebut di atas, maka pelaksanaan hak penangkapan ikan tradisional nelayan Indonesia mengalami hambatan, dikarenakan tindakan pihak otoritas negara tetangga (Australia) yang melakukan penangkapan terhadap nelayan-nelayan Indonesia, karena disangka melakukan penangkapan ikan ilegal di wilayah perikanannya, di ZEE Australia. Berdasarkan sejarah penangkapan ikan di wilayah Indonesia Timur yang sudah berlangsung lama, apakah tindakan nelayan Indonesia tersebut melanggar ketentuan hukum laut internasional? Sebagaimana diketahui, nelayan-nelayan Indonesia yang berasal dari Nusa Tenggara Timur sudah berpuluh tahun, bahkan beratus tahun, telah terbiasa menangkap ikan di perairan tersebut. 

Di samping itu pula berdasarkan sejarah, nelayan Indonesia juga memiliki hak untuk melakukan penangkapan ikan di bagian tertentu dari perairan Australia, sebagaimana ditentukan dalam Memorandum of Understanding between the Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia Regarding of operation of Indonesian Traditional Fisherment in area of the Australian Exclusive Fishing zone and Continental Shelf (MOU Box tahun 1974). 

Setelah adanya perkembangan kegiatan penangkapan di bagian tertentu dari perairan Australia tersebut, Indonesia dan Australia pada 2 Maret 1989, sepakat melakukan perjanjian terkait dengan pelaksanaan Agreed Minutes of Meeting Between Official of Indonesia and Australia on Fisheries 1989. Perjanjian ini berhasil membentuk suatu panduan dari MOU Box 1974 yang tercantum dalam Annex. Penangkapan terhadap nelayan-nelayan tradisional Indonesia oleh polisi Australia sampai saat ini belum dapat diselesaikan dengan baik. Untuk hal tersebut dalam tulisan ini, penulis mengkaji permasalahan dari sisi hukum laut internasional dan penerapan prinsip tanggung jawab negara terhadap kasus tersebut. Berdasarkan kajian tersebut diharapkan dapat menjadi solusi bagi Pemerintah Indonesia.

II. PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Lahirnya Hak Penangkapan Ikan 
Tradisional (Tradisional Fishing Right) 

Berdasarkan hukum kebiasaan internasional, semua negara memiliki hak tradisional (traditional right to fish) untuk melakukan penangkapan ikan di laut lepas (Djalal, 1995: 161). Konsep hak tradisional untuk melaksanakan penangkapan ikan di laut lepas didasarkan kepada kebebasan menangkap ikan di laut lepas. Sejalan dengan perkembangan hukum laut internasional, dewasa ini hak tradisional atas penangkapan ikan pun tetap diakui dengan pembatasan-pembatasan tertentu. Artinya, hak ini dapat dilaksanakan dengan tetap memerhatikan kelestarian sumber daya ikan pada laut lepas. 

Setelah PD II, perkembangan hukum laut begitu pesat, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu perubahan peta bumi politik yang ditandai dengan lahirnya negara-negara merdeka, kemajuan teknologi, bertambahnya ketergantungan masyarakat internasional terhadap sumber daya alam di laut, baik sumber daya hayati maupun sumber daya nonhayati (Kusumaatmadja, 1986: 81). 

Untuk mengakomodasikan kepentingan negara-negara tersebut hukum laut internasional semakin berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat internasional, sehingga dewasa ini dalam KHL 1982 terdapat rezim hukum baru seperti ZEE dan rezim hukum negara kepulauan. Pasal 47 Ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982 menegaskan bahwa suatu negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang MIMBAR, Vol. XXVII, No. 1 (Juni 2011): 11-20 13 menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau dan karang kering terluar dari negara kepulauan tersebut. 

Dengan demikian, negara-negara yang memenuhi kriteria sebagai negara kepulauan memiliki hak untuk menetapkan zona-zona maritimnya, baik laut teritorial, ZEE, Landas kontinen, berdasarkan penetapan sebagai negara kepulauan. Penetapan zona maritim tersebut, dilakukan dengan menetapkan garis pangkal lurus kepulauan. Dengan adanya penetapan garis pangkal lurus kepulauan mengakibatkan perubahan status dari laut, yaitu dari laut lepas menjadi perairan kepulauan. 

Demikian pula dengan lahirnya rezim hukum ZEE dalam Pasal 57 Konvensi Hukum Laut 1982, yang memberikan hak kepada negaranegara pantai untuk menetapkan ZEE-nya sejauh 200 mil, menyebabkan perubahan status laut, yaitu dari laut lepas menjadi laut yang berada di bawah hak berdaulat negara pantai. Hak penangkapan ikan tradisional memeroleh pengakuan sebagai hak yang dilindungi oleh hukum internasional tidak terlepas dari tarik menarik kepentingan negara-negara, yaitu negara pantai dan negara maritim. 

Konsep Hak perikanan tradisional didasarkan kepada konsep kebebasan menangkap ikan di laut lepas yang berasal dari hukum kebiasaan internasional. Dengan diakuinya rezim hukum negara kepulauan dan ZEE, maka negara-negara yang warga negaranya telah terbiasa melakukan penangkapan ikan di area tertentu di laut lepas, yang kini berubah statusnya menjadi di bawah yurisdiksi negara pantai, tetap diakomodasikan kepentingannya.

B.Pengertian Hak Penangkapan Ikan Tradisional
 (Traditional Fishing Right)

Sampai saat ini, masih terdapat kesimpangsiuran mengenai pengertian Hak Penangkapan Ikan Tradisional atau Traditional Fishing Right. Ada yang menginterpretasikan Tradisional Fishing Right sebagai hak penangkapan ikan tradisional dan ada pula yang menginterpretasikannya dengan hak tradisional atas perikanan. Hal ini pun dikemukakan oleh Hasyim Djalal yang mengatakan bahwa concept of tradisional fishing rigt should be clearly distinguised from the concept of traditional rigt to fish. 

Tradisional right to fish atau hak tradisional atas perikanan dilaksanakan di laut lepas berdasarkan kebebasan di laut lepas sebagaimana di atur dalam rezim hukum laut lepas. Sedangkan tradisional fishing right dilaksanakan pada bagian laut yang berada di bawah yurisdiksi negara pantai, yaitu pada perairan kepulauan dan pada ZEE. 

David Joseph Attard mengemukakan istilah historical fishing right di samping tradisional fishing right untuk menjelaskan hak penangkapan ikan tradisional di ZEE (David Joseph Attard, 1987: 170), yaitu sebagai hak penangkapan ikan yang didasarkan kepada hak sejarah, yang berlaku bagi nelayan-nelayan negara tetangga yang berdekatan. Untuk memberikan pemahaman tentang hak penangkapan ikan tradisional (traditional fishing right), Hasjim Djalal mengemukakan kualifikasi dari hak penangkapan ikan tradisional, yaitu: a. The actual existence of sufficiently long fishing activities must be established . b. The area visited by the fishermen , that is , the fishing ground visited should be relatively constant. c. Fishermen themselves, in the sense that the right shall be granted only to the same fishermen who have visited the area tradisionally. d. To equipment and vessel used as well as the amount of catch, in the sense that to qualify under the maening of “tradisional fishing right the vessel use should be relatively traditional.”

 Konsep “tradisional fishing right” hanya dapat diakui sepanjang memenuhi kualifiakasi tersebut di atas. Kualifikasi pertama, yaitu adanya keharusan praktik yang berlangsung lama, bahwa nelayan nelayan suatu negara telah terbiasa melakukan penangkapan ikan pada suatu area perairan tertentu sebelum hak ini diakui. Artinya, nelayan suatu negara telah sejak lama melakukan penangkapan pada area tertentu dari perairan kepulauan, yang sebelumnya merupakan laut lepas. Kriteria pertama ini merupakan syarat yang fundamental dari diakuinya hak penangkapan ikan tradisional. 

Namun, kualifikasi kedua sampai keempat mutlak juga harus dipenuhi. Meskipun hak penangkapan ikan tradisional telah diakui sebagai hak yang dilindungi oleh hukum internasional, pelaksanaan hak penangkapan ikan tradisional tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional negara pantai. Artinya, hak ini perlu diatur sesuai arah kebijakan negara pantai di bidang perikanan, antara lain, tidak bertentangan dengan pengembangan industri perikanan negara pantai,dan juga harus tidak menimbulkan kerugian terhadap posisi nelayan negara pantai. Dengan demikian dapat dipahami bahwa apabila nelayan yang melaksanakan hak penangngkapan ikan tradisional menggunakan peralatan dan kapal yang modern tentu akan menimbulkan gangguan terhadap posisi nelayan negara pantai. 

C. Pengaturan Hak Penangkapan Ikan Tradisional dalam Rezim Hukum Negara Kepulauan 

Ketentuan Pasal 46 Konvensi Hukum Laut 1982, menetapkan definisi negara kepulauan dan Kepulauan, sebagai berikut: a. Archipelagic State means a State constituted wholly by one or more archipalagos and may include other islands14 IRAWATI, OENTOENG W. Tanggung jawab Negara dalam Melaksanakan Hak Penangkapan Ikan Tradisional ... b. Archipelago means a group of islands, including parts of Islands, interconnecting waters and other natural features which are so closely interrelated that such islands, waters and other natural features from an intrinsic geogrphical, economic and political entity, or which historically have been regarded as such. Dari uraian di atas tampak bahwa negara kepulauan berarti suatu negara yang seluruhnya terdiri atas satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lainnya. 

Pengertian kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan di antaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya, sehingga pulau-pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya itu merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi, dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian. Dalam kaitan ini, Indonesia secara geografis dan secara historis dapat dikategorikan sebagai negara kepulauan. Hal ini dikatakan oleh G. Colombos bahwa dapat tidaknya suatu gugusan pulau membentuk kepulauan, selain ditentukan oleh keadaan geografisnya dan juga tergantung kepada faktor sejarah dan faktor-faktor lainnya (Misbach, 1993: 17). 

Kedaulatan suatu negara kepulauan meliputi perairan yang ditutup oleh atau terletak di sebelah dalam dari suatu garis pangkal lurus kepulauan, yang disebut sebagai perairan kepulauan. Dengan demikian, ditetapkannya garis pangkal lurus kepulauan menimbulkan adanya perubahan status hukum perairan, yaitu dari laut lepas yang berada di luar kedaulatan atau yurisdiksi negara pantai menjadi perairan kepulauan yang tunduk kepada kedaulatan atau yurisdiksi negara pantai. Hal ini pun terjadi pada Indonesia bahwa sebelum ditetapkannya negara kepulauan melalui konsepsi Nusantara, perairan di antara pulau-pulau Indonesia merupakan kantung-kantung laut lepas. 

Rezim hukum negara kepulauan pada dasarnya telah diakui dalam rezim hukum laut internasional, diikuti dengan berbagai kompromi kompromi yang mengakomodasikan kepentingan masyarakat internasional, yaitu hak lintas bagi kapal asing dan hak penangkapan ikan tradisional. Hak penangkapan ikan tradisional telah diakomodasikan di perairan kepulauan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 51 KHL 1982, yaitu: State must recognise tradisional fishing rights and other legitimate activities of the immediately adjacent neighbouring States in certain areas falling within archipelagic waters. The term and conditions for the exercise of such right and activities, including the nature, the extent and the areas to which they apply, shall, at the request of any of the States concerned, be regulated by bilateral agreements between them ... 

Negara kepulauan berkewajiban menghormati hak-hak penangkapan ikan tradisional dan juga kegiatan-kegiatan lain yang sah dari negara tetangga yang langsung berdekatan di bagianbagian tertentu dari perairan kepulauan. Terkait dengan kewajiban negara kepulauan untuk menghormati hak penangkapan ikan tradisional negara tetangga yang langsung berdekatan, tidak dapat secara otomatis dilaksanakan. Artinya, negara yang nelayan tradisionalnya telah terbiasa melakukan penangkapan ikan di area perairan kepulauan harus mengajukan hak tersebut (Djalal, 1996: 163) 

Hal ini terkait dengan persyaratan, bentuk, area penangkapan ikan harus ditentukan melalui perjanjian bilateral antara negara-negara yang berkepentingan. Di samping itu pula hak ini tidak dapat dialihkan atau dibagikan kepada pihak ketiga, baik melalui joint venture dengan negara lain atau melalui persetujuan-persetujuan (arrangement). Hal yang perlu diperhatikan dari hak penangkapan ikan tradisional ini adalah dibatasi pada nelayan-nelayan negara tetangga yang berdekatan langsung dengan perairan negara kepulauan. 

D. Pengaturan Hak Penangkapan Ikan Tradisional dalam Rezim Hukum ZEE Zona ekonomi eksklusif (ZEE), 

Menurut Konvensi Hukum Laut 1982, Pasal 55: The exclusive economic zone is an area beyond and adjacent to the territorial sea, subject to the specific legal regime estalished in this part, under which the rights and jurisdiction of the coastal state and the right and freedom of other States are governed by the relevant provisions of this convention Zona ekonomi eksklusif adalah jalur laut yang terletak berdampingan dengan laut teritorial yang tunduk kepada rezim hukum khusus yang ditetapkan Konvensi (Kwiatkowska, 1989: 100). 

Berdasarkan Pasal 57 KHL 1982, negara pantai memiliki hak untuk menetapkan ZEE tidak melebihi jarak 200 mil diukur dari garis pangkal. Dalam ZEE, negara pantai sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 56 KHL 1982, memiliki hak berdaulat untuk mengaksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam baik hayati maupun nonhayati. Dengan ditetapkannya ZEE maka terjadi perubahan status hukum dari laut; yang tadinya merupakan laut lepas yang mana masyarakat internasional memiliki kebebasan laut lepas, di antaranya kebebasan untuk menangkap ikan, berubah menjadi laut yang berada dalam yurisdiksi negara pantai. 

Dengan adanya perubahan status hukum dari laut lepas menjadi ZEE yang tunduk kepada yurisdiksi terbatas negara pantai, maka hak kebebasan di laut lepas telah tergradasi. Untuk mengakomodasikan kepentingan masyarakat internasional dalam hal pemanfaatan MIMBAR, Vol. XXVII, No. 1 (Juni 2011): 11-20 15 sumber daya hayati, negara pantai memiliki kewajiban di ZEE, yaitu apabila ada surplus perikanan, harus memberikan hak akses kepada negara lain untuk dapat memanfaatkan surplus tersebut. 

Hak akses ini terutama harus diberikan kepada negara tak berpantai dan negara yang secara geografis tidak beruntung yang berada pada region yang sama. Hal ini disebutkan dalam Pasal 62, ayat (2): The coastal State shall determine its capacity to harvest the living resources of the EEZ. Where the coastal State does not have the capacity to harvest the entire alloswable catch, it shall, through agreement or other arrangements and pursuant to the terms, conditions, laws ang regulations referred to in paragraph 4, give other States access, to the surplus of the allowable catch, having particular to the provisions of articles 69 and 70, especially in relations to the develoving States mentioened therein.” 

Kewajiban negara pantai di ZEE ini pada prinsipnya adalah untuk melaksanakan konservasi dan memanfaatkan sumber daya hayati secara optimal. Dalam rangka melaksanakan konservasi dan pemanfaatan secara optimal terhadap sumber daya hayati, negara pantai berkewajiban menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC) dan menetapkan kemampuan untuk menangkap ikan di ZEE-nya (capacity to harvest the living resources). Berdasarkan KHL 1982 dalam rangka pemberian hak akses atas surplus perikanan kepada negara lain, negara pantai berkewajiban memerhatikan kebutuhan untuk mengurangi dislokasi ekonomi di negara yang warga negaranya sudah biasa menangkap ikan di zona tersebut. 

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 62 ayat (3) Konvensi Hukum laut 1982, yaitu: In giving access to other States to its EEZ under this article, the coastal State shall take into account all relevant factors, including, inter alia, the signivicance of the living resources of the area to the economy of the coastal State corcerned and its other national interests, the provisions of the article 69 and 70, the requerements of developing States in the subregion ar region in harvesting part of the surplus and the need ti minimize economic dislocation in States whose nationals have habitually fished in the zone or which have made substansial efforts in research and identification of stocks Ketentuan tersebut menegaskan bahwa konvensi memberikan perlindungan terhadap nelayan-nelayan dari suatu negara yang telah terbiasa menangkap ikan. 

Ditegaskan secara jelas bahwa dalam rangka pemberian akses kepada negara lain untuk memanfaatkan sumber daya hayatinya, negara pantai harus menghormati hak nelayan–nelayan yang telah terbiasa melakukan penangkapan ikan. David Josef Attard memberikan istilah historic fishing rights terhadap nelayan-nelayan yang telah terbiasa melakukan penangkapan ikan di ZEE ini. Historic fishing rights secara khusus diakui dalam rezim hukum ZEE sebagai hak penangkapan ikan tradisional (tradisional fishing right) (Attard, 1987: 170). Dalam beberapa perjanjian perikanan telah diakui secara tegas keberadaan hak nelayan-nelayan asing yang telah terbiasa melakukan penangkapan ikan di ZEE. Namun, hak ini tidak secara otomatis dapat dinikmati oleh nelayan-nelayan asing tersebut. Hak tersebut dapat diberikan melalui perjanjian antarnegara yang bersangkutan. Hal yang berkenaan dengan persyaratan dan pengaturan tentang penangkapan ikan, diatur oleh negara pantai. 

E. Prinsip-Prinsip Hukum Internasional tentang 
Tanggung Jawab Negara sebagai Dasar Pengaturan 
Hubungan Internasional 

Menurut Malcolm N. Shaw (2003: 406), ada dua faktor yang dapat menimbulkan tanggung jawab negara (state responsibility). Dua faktor mendasar yang dapat 
dijadikan tolok ukur bahwa suatu perbuatan dapat menimbulkan 
pertanggungjawaban negara. 

Pertama, adanya kewajiban internasional yang berlaku di antara para pihak (pihak yang bertanggung jawab dan pihak menuntut tanggung jawab, penulis). 

Kedua, adanya suatu tindakan atau ketidakbertindakan atau berdiam diri (omission) yang melanggar kewajiban. Sedangkan menurut Brownlie, perbuatan yang dapat menimbulkan tanggung jawab adalah tindakan melawan hukum (illegal acts) (Brownlie, 2008: 432). 

Brownlie juga menegaskan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum (illegal acts) adalah perbuatan yang melanggar perjanjian (internasional) dan melanggar kewajiban hukum (Campbell, 1991: 512). Starke dalam mengkategorikan timbulnya tanggung jawab negara tersebut mengatakan bahwa tanggung jawab negara mencakup perbuatan yang lebih luas lagi, yaitu karena melanggar suatu perjanjian dan tidak melaksanakan kewajiban yang ditentukan oleh perjanjian serta tindakan-tindakan yang menimbulkan kerugian terhadap negara atau warga negara lain (Starke, 1989: 318). Lebih lanjut, Starke mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut di atas timbul karena suatu tindakan (acts) atau berdiam diri (omission / tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan). 

Hubungan internasional tidak hanya dapat dilakukan antar negara-negara, namun dapat pula dilakukan oleh orang-perorangan dari warga negara suatu negara dengan warga negara suatu negara lainnya, atau hubungan yang dilakukan antarwarga negara suatu negara dengan suatu pemerintah16 IRAWATI, OENTOENG W. Tanggung jawab Negara dalam Melaksanakan Hak Penangkapan Ikan Tradisional ... suatu negara lainnya (Ardiwisastra, 1992: 9). Masalah pelaksanaan hak penangkapan ikan tradisional oleh nelayan Indonesia di perairan negara asing pada dasarnya merupakan salah satu bagian dari hubungan internasional tersebut. 

Hubungan masyarakat internasional dalam kerangka hukum internasional tersebut peranan utamanya masih berada pada negara. Hal itu disebabkan karena individu sebagai salah satu subjek hukum internasional dalam kegiatan hubungan internasional tidak selalu diatur oleh hukum internasional, (ifso jure) sebagai subyek hukum internasional. 

Sedangkan pada kenyataannya banyak hubungan internasional yang dilakukan individu sebagai pribadi maupun sebagai kelompok dalam melaksanakan hubungan atau perbuatan hukum tertentu yang melintasi batasbatas wilayah negara. Untuk menjamin kelancaran dan ketertiban hubungan internasional baik yang dilakukan antara individu maupun antara individu dengan negara dan antara negara dengan negara yang berdaulat diperlukan ketentuan hukum yang mengaturnya. 

Dalam hal ini tentunya hukum internasional. Untuk hal itu Ian Brownlie mengatakan: International relation as in other social relations, the invation of the legal intererst of one subject of the law by another legal person creates responsibility in various from determined by particular legal system (Brownlie, 2008:431). Selanjutnya, ia juga mengatakan, International responsibility is commonly considered in relation to states as the normal subjects of the law. 

Dengan demikian pengaturan hubungan internasional melalui kaidah hukum internasional akan memberikan kepastian hukum terhadap pertanggungjawaban negara terhadap apa-apa yang harus dipertanggungjawabkannya berkenaan dengan hubungan internasional tersebut. Selanjutnya, dengan kepastian hukum itu diharapkan adanya ketertiban dan ketenteraman. Tanggung jawab negara sendiri telah diatur oleh hukum internasional melalui prinsip-prinsip hukum internasional yang timbul atau terlahir dari praktik peradilan internasional atau nasional dari para hakim ternama dalam memutuskan perkara. 

Seperti apa yang dikemukakan oleh Hakim Huber, bahwa responsibility is the necessary corollary of right. All right of an international character involve international responsibility (Shaw, 2003: 406). Sedangkan yang lebih tegas lagi adalah putusan Mahkamah Internasional Permanen dalam Chorzow Facttory Case, yaitu bahwa: it is principle of international law an even general conception of law, that any breach of an engagement involve an obligation to make reparation (Brownlie, 2008: 431). 

Sehubungan dengan masalah tanggung jawab negara, selain membahas macam perbuatan apa saja yang dapat dipertanggungjawabkan, juga membahas perbuatan siapa saja yang dapat dipertanggungjawabkan oleh negara. Untuk itu, ada suatu prinsip hukum yang telah menjadi prinsip hukum internasional publik, yakni bahwa suatu negara berkewajiban untuk selalu melindungi negara-negara lain terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, yang dilakukan oleh pribadi-pribadi yang berada dalam yurisdiksinya (Komar, 1978: 14). 

Pelaksanaan hak penangkapan ikan tradisional yang dilaksanakan oleh nelayan-nelayan Indonesia di perairan Australia, yang merupakan hak yang telah mendapat pengakuan dalam KHL 1982, merupakan salah satu wujud dari hubungan internasional harus mendapatkan perlindungan dari negara, baik Indonesia maupun Australia. 

Indonesia maupun Australia bertanggung jawab atas terlaksananya hak nelayan Indonesia. Indonesia bertanggung jawab melindungi warga negaranya untuk dapat melaksanakan haknya, yaitu dengan memperjuangkan agar warga negaranya dapat melaksanakan haknya. Untuk itu, sebaiknya Indonesia melakukan pendekatan secara diplomatik maupun secara hukum dengan Australia agar nelayan Indonesia dapat melaksanakan haknya. Sedangkan Australia bertanggung jawab sebagai negara pihak pada KHL 1982

Bedasarkan ketentuan KHL 1982, negara harus melaksanakan kewajibannya, yaitu dengan mengakomodasikan hak nelayan Indonesia melaksanakan hak penangkapan ikan tradisional di ZEE-nya. Di samping itu, berdasarkan prinsip tanggung jawab negara, Australia berkewajiban untuk memperlakukan warga negara negara lain (asing) yang sedang melaksanakan haknya, sesuai dengan standar hukum internasional. 

F. Prinsip Tanggung Jawab Negara sebagai Dasar 
Pengaturan Perlindungan terhadap Pelaksanaan Hak 
Penangkapan ikan Tradisional 

1. Tanggung Jawab Negara bagi Perlakuan Orang Asing Masalah perlindungan terhadap orang asing dalam pembahasan ini tentunya karena masalah pelaksanaan hak penangkapan ikan tradisional adalah suatu bagian dari hak-hak orang asing, yaitu suatu hak untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dari orang asing tersebut, ketika pelaksanaan hak tersebut dilakukan di luar laut teritorial negaranya atau bahkan pelaksanaan hak tradisional itu berada di zona ekonomi eksklusif, bahkan pada perairan kepulauan negara lain. 

Perlindungan terhadap orang asing ini juga tentunya dimaksudkan untuk melindungi, baik terhadap diri orang tersebut maupun semua hakhak, baik hak yang paling esensial (hak asasi MIMBAR, Vol. XXVII, No. 1 (Juni 2011): 11-20 17 manusia) maupun hak-hak yang lain yang dapat dimiliki oleh seseorang sebagai manusia maupun kedudukannya sebagai subyek hukum. Seperti telah dijelaskan juga di muka bahwa hukum internasional telah meletakkan dasar-dasaar pokok bagi hak dan kewajiban negara sebagai landasan utama dari tanggung jawab pokok negara, maka terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban orang asing sebagaimana yang diterima oleh warga negaranya. 

Kewajiban negara dalam hal melindungi warga negara asing yang berada atau tinggal di wilayah negaranya, yaitu dengan cara memperlakukan hak-hak yang sama dengan warga negaranya, walaupun ada beberapa hak-hak yang tidak diperoleh misalnya hak politik yaitu untuk turut serta dalam pemerintahan di negara di mana mereka bertempat tinggal tetap (Brownlie, 2008: 523). Berkaitan dengan hal tersebut, maka dikenal dengan istilah standar minimum internasional, yaitu suatu keharusan untuk memerlakukan orang asing oleh negara sebagaimana memperlakukan warga negaranya (Akehurt, 1983: 87). 

Apabila perlakuan terhadap orang asing tersebut tidak sesuai dengan standar minimum internasional, maka negara tersebut dianggap melakukan tindakan yang mengakibatkan timbulnya tanggung jawab negara. Sebenarnya, masalah pengaturan mengenai perlindungan hak-hak orang asing diatur oleh hukum internasional, yaitu diatur oleh beberapa perjanjian internasional, walaupun perjanjian itu tidak secara langsung menciptakan hak-hak bagi individu, melainkan dengan cara menetapkan kewajiban tertentu kepada negara dalam hubungannya dengan perlakuan terhadap penduduk baik itu warga negaranya maupun orang asing. 

Berkaitan dengan hal tersebut suatu putusan Mahkamah Internasional Permanen dalam perkara Danzig Railway officialls pada 1928 mengatakan, apabila suatu perjanjian internasional telah memberikan hak-hak tertentu (dalam hal ini, hak tradisional penangkapan ikan) kepada orang perorang, maka hak itu harus diakui dan mempunyai daya ikat dalam hukum internasional (Harris, 2004: 15). Selain pengaturan secara internasional, masalah orang asing atau perlakuan negara terhadap orang asing, juga diatur oleh hukum nasional dari suatu negara di mana mereka berada, sesuai dengan pengaturan negara untuk melindungi orang asing sebagaimana ditetapkan oleh hukum internasional. 

Berkaitan dengan masalah hak dan kewajiban orang asing secara internasional juga telah dimuat dalam Draft Articles on States responsibility (Draft Articles). Pasal 33 Draft Articles tersebut menetapkan bahwa orang asing berhak untuk mendapatkan perlindungan dari suatu akibat dari tindakan negara setempat, sekalipun tindakan itu bukan merupakan pelanggaran kewajiban internasional. Namun, di pihak lain, pasal tersebut mengatur tentang adanya kewajiban negara terhadap orang asing harus megupayakan terlebih dahulu secara efektif penerapan ketentuan hukum negara bersangkutan, dalam hal adanya pelanggaran kewajiban perlindungan oleh negara terhadap orang asing dimana mereka tinggal (Bhakti, 1992: 9). 

Dalam menghadapi perlakuan negara terhadap orang asing hingga menimbulkan kerugian, maka upaya hukum untuk menuntut kerugian tersebut pertama-tama tentunya digunakan penyelesaian melalui hukum setempat. Meskipun hak penangkapan ikan tradisional telah mendapat perlindungan berdasarkan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982, namun negara pantai masih tetap mempunyai wewenang untuk mengatur pelaksanaan hak penangkapan ikan tradisional di wilayah negaranya maupun di ZEE. Hal ini, sebagaimana ketentuan tentang hak ekonomi negara-negara, dikemukakan dalam Charter of Economic Right and Duties of States. 

Dalam melakukan kewenangannya tersebut negara juga harus berdasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana tercantum dalam Bab I Resolusi PBB tanggal 12 Desember 1974. Lebih khusus lagi dalam hal pengaturan pelaksanaan hak penangkapan ikan tradisional sudah diamanatkan dalam Pasal 51 UNCLOS 1982. 2. Proses dan Bentuk Pertanggungjawaban Negara. Proses tuntutan tanggung jawab negara dalam ilmu hukum internasional, pada dasarnya membicarakan mekanisme penyelesaian sengketa internasional. 

Hubungan antara prinsip tanggung jawab negara (the principles of state responsibility) dan penyelesaian sengketa internasional (the settlement of international disputes) ini, menurut D.W. Greig, merupakan dua aspek utama (two principal aspects) dari tuntutan international (international clims) atau pertanggungjawaban internasional yang dilakukan oleh suatu negara (dan/atau badan hukum internasional) terhadap negara lainnya (Greg, 1976: 521). Dalam membahas suatu cara dalam menyelesaikan persengketaan internasional (international disputes), yang dimaksud adalah metode penyelesaian sengketa internasional (the method settling of international disputes). 

Metode tersebut diatur dalam Piagam PBB yang meliputi penyelesaian sengketa secara damai (peaceful means of settlement disputes) dalam Bab VI dan bentuk penyelesaian yang digolongkan dengan menggunakan kekerasan (forcible or curcife means of settlement disputes) dalam Bab VII Piagam PBB. Penyelesaian sengketa secara damai (peaceful means of settlement disputes) sebagai bentuk proses tuntutan pertanggungjawaban negara,18 IRAWATI, OENTOENG W. Tanggung jawab Negara dalam Melaksanakan Hak Penangkapan Ikan Tradisional ... meliputi perundingan (negotiation), mediasi (mediation), jasa baik (good officies), konsiliasi (conciliation), penyelidikan(inquiry). 

Apabila proses pertanggungjawaban negara tidak dapat dilakukan dengan cara damai, maka tuntutan tersebut dapat dilakukan dengan kekerasan. Bentuk penyelesaian yang digolongkan dengan menggunakan kekerasan (forcible or curcife means of settlement disputes) dalam Bab VII Piagam PBB yang terdiri restorsion, reprisals, pacific blocade, intervention dan war and non war armed action. Seandainya proses pertanggungjawaban dilakukan melalui forum penyelesaian sengketa secara damai, maka bentuk pertanggungjawabannya mulai dari berupa satisfaction, seperti permohonan maaf oleh kepala negara atau kepala pemerintahan maupun oleh perwakilan diplomatiknya yaitu duta besar berkuasa penuh dari negara bersangkutan untuk negara tertentu. Bentuk pertanggujawaban melalui proses pertanggungjawaban secara damai lainnya, yaitu restitusi (restitution), reparasi (reparation), dan kompensasi (compensation). 

G. Implementasi Hak Penangkapan Ikan Tradisional 

Terkait dengan hak penangkapan ikan tradisional, pemerintah Indonesia telah mengakomodasikannya, yaitu melalui perjanjian dengan Malaysia yang ditandatangani di Jakarta pada 25 Pebruari 1982. Perjanjian antara Indonesia dan Malaysia ini selanjutnya disahkan melalui UndangUndang No 1 Tahun 1983. Melalui perjanjian ini hak penangkapan ikan tradisional nelayan Malaysia yang telah terbiasa melakukan penangkapan ikan di wilayah laut teritorial dan perairan yang terletak di antara Malaysia Timur dan Malaysia Barat terakomodasikan. 

Berdasarkan penelaahan penulis, perjanjian tersebut tidak mengatur berakhirnya perjanjian dan dapat dikatakan perjanjian antara Indonesia dan Malysia merupakan perjanjian payung, sehingga untuk dapat dilaksanakan perlu pengaturan secara teknis. Secara historis, perjanjian antara Indonesia dan Malaysia ini sebenarnya sangat kental dengan masalah politik, hal ini karena terkait dengan kepentingan Indonesia untuk memeroleh pengakuan sebagai negara kepulauan. Namun, hak penangkapan ikan tradisional Malaysia masih dilaksanakan, sekalipun Pemerintah Indonesia belum mengaturnya secara teknis antara lain mengenai jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan jenis ikan yang boleh ditangkap. 

Meskipun Indonesia telah mengakomodasikan hak penangkapan ikan melalui perjanjian internaional, namun Indonesia tidak mengimplementasikannya dalam peraturan perundangan Indonesia. Jika kita telaah undangundang perikanan Indonesia, tidak satu pasal pun yang mengatur hal ini. Pengaturan mengenai Pengelolaan Perikanan No 31 tahun 2004 atau dalam Undang-undang No 45 Tahun 2009, tidak dapat diterapkan kepada nelayan-nelayan yang melaksanakan hak penangkapan ikan tradisional. 

Demikian pula kalau kita menelaah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No Per 05/Men/ 2008, tentang Usaha Perikanan Tangkap, tidak ada ketentuan yang mengatur hak penangkapan ikan tradisional. Bahkan, tidak memuat ketentuan tentang partisipasi orang atau badan hukum asing untuk melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI berdasarkan perjanjian internasional. Nelayan asing memiliki hak penangkapan ikan tradisional di perairan kepulauan Indonesia. Sebaliknya, nelayan Indonesia pun memiliki hak penangkapan ikan tradisional di perairan negara lain. 

Secara historis, sebelum terbentuknya MOU 1974, nelayan-nelayan dari Indonesia Timur seperti nelayan dari Pulau Rote, Flores, Alor, Buton, Sabu, Madura, Timor, Sulawesi, dan Maluku telah melaut dan melakukan penangkapan ikan di perairan antara RI-Australia, terutama dilakukan di perairan sekitar gugusan Pulau Pasir atau dikenal di Australia dengan sebutan “Ashmore Reef”. Untuk mengakomodasikan nelayan-nelayan Indonesia pemerintah Indonesia dan Australia mengadakan perjanjian pada tahun 1989. 

Selain untuk mengakomodasikan kepentingan nelayannelayan Indonesia, perjanjian ini dibentuk karena adanya perkembangan baru dalam lapangan hukum laut internasional, yang mana masing-masing pihak merupakan negara anggota dari Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982). Di samping itu, adanya perkembangan baru yang terjadi di Australia, yaitu perubahan status Ashmore Reff dan Cartier menjadi wilayah cadangan alam nasional. Jika mencermati perjanjian antara Indonesia dan Australia tentang implementasi hak penangkapan ikan tradisional (traditional fishing right) dan membandingkannya dengan pengaturan hak penangkapan ikan tradisional sebagaimana yang dimaksud oleh ketentuan hukum laut internasional itu berbeda. 

Hak penangkapan ikan tradisional yang dimaksud dalam ketentuan hukum laut internasional, yang mengatur tidak hanya jenis kapalnya yang tradisional, tetapi juga yang paling prinsip adalah hak sejarah dari penangkapan ikan oleh nelayan tersebut. Yang dimaksud hak sejarah dalam konteks hak penangkapan ikan tradisional yaitu berkaitan dengan kebiasaan menangkap ikan yang sejak lama dilakukan secara terus menerus oleh nelayan di laut lepas, yang kemudian dengan adanya perkembangan dalam hukum laut internasional status hukum laut lepas tersebut berubah menjadi laut yang berada di bawah yurisdiksi negara pantai. 

Hal inipun sebagaimana dikemukakan oleh Hasyim Djalal, yang dimaksud hak penangkapan ikan tradisional harus memenuhi kriteria sebagai berikut. Kualifikasi pertama, yaitu adanyaMIMBAR, Vol. XXVII, No. 1 (Juni 2011): 11-20 19 keharusan praktek yang berlangsung lama (hak sejarah). Kriteria pertama ini merupakan syarat yang fundamental dan bersifat mutlak dari diakuinya hak penangkapan ikan tradisional. Kualifikasi kedua, yaitu nelayan-nelayan tersebut melakukan penangkapan ikan wilayah tertentu secara terus menerus. 

Kriteria ke tiga nelayan-nelayan tersebut secara turun temurun melakukan penangkapan ikan di wilayah tersebut secara kontinyu. Kriteria yang terakhir kapal dan alat penangkap ikan yang dugunakan haruslah yang masih tradisional. Berdasarkan penelitian dan pengamatan penulis, pengertian hak penangkapan ikan tradisional yang dimaksud oleh pihak Australia, hanya melihat kepada jenis kapalnya saja, sehingga tidak terkait dengan hak sejarah. Oleh karena itu, dalam beberapa tahun terakhir ini banyak nerlayan Indonesia yang ditangkap, karena berdasarkan keyakinannya, nelayan Indonesia tidak berhak melakukan penangkapan ikan di perairannya, sehingga dianggap melakukan penangkapan ikan secara ilegal. 

H. Tanggung Jawab Australia terhadap Perlindungan 
Nelayan Indonesia 

Pelaksanaan hak penangkapan ikan tradisional oleh nelayan Indonesia mengalami banyak hambatan, terutama dari negara Australia. Timbulnya hambatan ini, utamanya, adalah perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Australia tentang pengertian “hak penangkapan ikan tradisional“ yang sudah dijamin oleh hukum internasional. Perbedaan penafsiran ini, di lapangan menjadi persoalan bagi nelayan Indonesia, karena akibat dari perbedaan penafsiran tersebut menyebabkan persoalan traditional fishing right dan ilegal fishing, bagaikan “pepatah” yang mengatakan madu di tangan kanannya dan racun ditangan kirinya. 

Artinya, nelayan indonesia yang sudah ratusan tahun (sebelum adanya negara Australia sekarang ini) dan sudah turun menurun, telah melakukan kegiatan penangkapan ikan sebagai mata pencarian, menjadi tidak terjamin hak-haknya, karena tidak ada kepastian hukum. Perbedaan penafsiran ini tentunya harus segera diselesaikan oleh kedua belah pihak (Indonesia dan Australia) di meja perundingan, atau kalau upaya ini selalu menemui jalan buntu, dapat dimungkinkan untuk diselesaikan melalui forum Mahkamah Pengadilan Internasional (International Court of Justice) di Den Haag, Belanda. 

Persolan hukum lain dalam kaitan dengan masalah hak penangkapan ikan tradisional oleh nelayan Indonesia, yaitu adanya penerapan rezim hukum lingkungan oleh Australia terhadap wilayah perikanan Australia yang merupakan lima daerah operasi perikanan tradisional, meliputi Ashmore Reef, Cartier Islet, Scott Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Islet. Penerapan rezim hukum lingkungan ini tentunya mengurangi hak nelayan tradisional Indonesia dalam menjalankan mata pencahariannya, yang sudah dijamin oleh ketentuan Pasal 51 UNCLOS 1982 dan Memorandum of Understanding (MoU) pada 7 November 1974 yang merupakan landasan hukum traditional fishing rights antara RI-Australia yang menetapkan lima daerah operasi perikanan tradisional tersebut di atas, serta MOU 1981, yang isinya untuk membatasi kewenangan pengaturan perikanan antara Australia dan Indonesia di daerah perbatasan yang saling tumpang tindih. 

Persoalan lain yang dapat ditemukan dalam kasus penangkapan nelayan tradisional Indonesia oleh Australia, adalah tindakan kekerasan di tengah laut dalam upaya penegakan hukum oleh aparat penegak hukum Australia. Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi, karena kalau pembakaran perahu tersebut merupakan bentuk sanksi hukum, seharusnya melalui proses peradilan yang bersifat due process of law. Artinya, tindakan pembakaran perahu dan peralatan penangkapan ikan tersebut harus merupakan vonis pengadilan di Australia. 

Tindakan kekerasan di luar prosedur hukum tersebut selain bertentangan dengan prinsip hukum internasional, juga dapat menimbulkan persoalan hukum internasional lainnya, yaitu masalah tanggung jawab negara untuk memerlakukan warga negara asing di wilayah negaranya, sebagaimana warga negaranya, yaitu prinsip standar nasional dan internasional. Persoalan perlindungan warga negara Indonesia, dalam hal ini nelayan tradisional Indonesia yang berada di wilayah Australia, belum ada perhatian yang memadai, baik dari negara host state (Australia) maupun Indonesia sendiri. 

Tanggung jawab negara terhadap perlindungan warga negara asing di negaranya, tidak hanya perlindungan terhadap keselamatan jiwa saja, tetapi juga perlindungan terhadap harta bendanya. Perlindungan harta benda dalam konteks pembahasan ini adalah hak untuk menangkap ikan itu sendiri dan peralatan penangkapan ikan. Tuntutan pertanggungjawaban negara dalam kasus ini berdasarkan data yang diperoleh penulis belum pernah terjadi. Artinya, pemerintah Indonesia belum secara resmi mengajukan pertanggungjawaban Australia, baik terhadap upaya penghalangan pelaksanaan hak tradisional nelayan Indonesia oleh Australia maupun perlakuan berupa tindakan fisik (hingga kematian manusia), baik terhadap diri manusia maupun harta bendanya. 

Upaya tuntutan pertanggung jawaban Indonesia terhadap Australia dapat dilakukan melalui lembaga penyelesaian sengketa internasional, baik secara damai maupu kekerasan. Upaya tuntutan pertanggungjawaban Australia oleh Indonesia dapat dilakukan melalui forum penyelesaian sengketa secara damai, dapat berupa20 IRAWATI, OENTOENG W. Tanggung jawab Negara dalam Melaksanakan Hak Penangkapan Ikan Tradisional ... jalur diplomatik maupun jalur hukum. Sekalipun tindakan penangkapan nelayan Indonesia oleh aparat penegak hukum AustrAlia ada yang berimplikasi terhadap pelanggaran hukum internasional. 

Namun ada beberapa penegakan hukum di Australia terhadap nelayan Indonesia sesuai dengan proses hukum yang benar (due process of law). Proses penegakan hukum di Australia terhadap nelayan Indonesia yang dituduh melanggar hukum Australia, sebagaimana sistem penegakan hukum pidana yang belaku di dunia, ditandai dengan adanya fakta dalam proses penangkapan nelayan Indonesia melalui proses pemberitahuan (notification) dari aparat penegak hukum Australia kepada pihak KBRI atau kantor perwakilan diplomatik lainnya. Proses hukum terhadap nelayan Indonesia yang benar juga harus dibuktikan dengan adanya pemberian hak pendampingan dari staf kantor perwakilan diplomatik Indonesia di Australia, bagi nelayan Indonesia tersebut. 

III. PENUTUP 

Suatu kegiatan penangkapan ikan dikategorikan sebagai hak penangkapan ikan tradisional, apabila memenuhi kualifikasi yaitu: praktik yang berlangsung lama, dilaksanakan secara terus menerus, nelayan-nelayan tersebut secara turun temurun melakukan penangkapan ikan di wilayah tertentu, serta kapal dan alat penangkap ikan yang digunakan haruslah yang masih tradisional. Hak ini sebagaimana diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982, berlaku pada perairan kepulauan dan di ZEE negara lain, dapat dilaksanakan berdasarkan perjanjian bilateral antar negara. 

Berdasarkan ketentuan hukum internasional, baik Australia maupun Indonesia bertanggung jawab terhadap pelaksanaan hak penangkapan ikan tradisional nelayan Indonesia. Upaya tuntutan pertanggungjawaban Australia oleh Indonesia dapat dilakukan melalui forum penyelesaian sengketa secara damai, dapat berupa jalur diplomatik maupun jalur hukum. Sedangkan tanggung jawab bagi Indonesia untuk melindungi nelayan Indonesia dalam pelaksanaan hak penangkapan ikan tradisional, agar secepatnya dilakukan perundingan dengan pemerintah Australia untuk menyamakan persepsi tentang hak tersebut. Apabila menemui kebuntuan tentang penafsiran terhadap hak penangkapan ikan tradisional, maka pihak-pihak juga dapat mengajukan masalah ini kepada Mahkamah Internasional. 

1 IRAWATI 2 ,OENTOENG WAHJOE3
Fakultas Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung
MIMBAR, Vol. XXVII, No. 1 (Juni 2011): 11-20 11

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku Akehurst M. (1989). A Modern Introduction to International Law, 2nd., George Allen and Unwind, London . Ardiwisastra Yudha Bhakti. (1992). “Tanggung Jawab Negara Bagi Perlakuan Orang Asing”, Paper dalam Penataran Prinsip-prinsip Hukum Internasional, Bandung. Attard David Joseph. (1987), The Exclusive Economic Zone in International Law, Oxford, Clarendon Press. Brownly, Ian., (2008), Principles of Public International Law, Clarendon Press, Oxford. Campbell Henry, (1991), Black, Black’s Law Dictionary, Centenial Edition (1891 - 1991), St. Paul Minn, West Publishing Co. Djalal, Hasjim. (1995), Indonesia and the Law of the Sea, Penerbit CSIS (Center for Strategic and International Studies), Jakarta. Greig, D.W., (1976) International Law, Second Edition, Butterworth, London. Harris D. J., (2004), International Cases and Materials, Thomson Sweety and Maxwell, London. Henkin Louis et al, (1930), International Law Cases and Materials, St. Paul Minn, West Publishing Co. Komar, Meike. (1978), Tanggung jawab Dalam Pencemaran Udara, Litera, Bandung. Kusumaatmadja, Moctar. (1986), Pengantar Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung. Kwiatkowska, Barbara.(1989), The 200 Mile Exclusive Economic Zone in the New Law of the Sea, Kluwer Academic Publisher, Kanada. Muhjidin, Atje Misbach. (1993), Status Hukum Perairan Kepulauan Indonesia dan Hak Lintas Kapal Asing, Alumni, Bandung. Opeskin, Brian and Martin Tsamenyi. (2006), “The Law of the Sea, in Sam Blay,” Ryszard and Martin Tsamenyi (Eds), Public International Law: An Australian Perspective (Second Edition), Oxford University Press. Schachter, Oscar. (1991), “Sovereign Right and International Bussines,” International Law in Theory and Practice, Martinus Nijhoff Publisher, Dordrecht. Shaw, Malcom N. (2003), International Law, 2nd., Grotius Pubcation Ltd., Llyndysul, Dyfed. Starke, J. G. (1989), Introduction to International Law, 8th., Butterworths, London. B. Dokumen Konvensi Hukum Laut 1982 Piagam PBB Undang-Undang No 45 Tahun 2009 Tentang perubahan Terhadap Undang-Undang perikanan No 31 tahun 2004 Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan No.Per 05 Tahun 2008 Tentang Usaha Perikanan Tangkap


Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.