Ironi Pulau-pulau Perbatasan yang Minim Perhatian
Mercusuar di Karang Unarang, perairan Ambalat
Pengantar
Putusan atas Sipadan-Ligatan agar diserahkan ke Malaysia sangat mengagetkan
Indonesia. Hikmah dari pengalaman tersebut adalah bagaimana mengaktifkan pembangunan dan meningkatkan perhatian bagi masyarakat di perbatasan. Keberadaan pulau-pulau perbatasan tersebut sangat strategis, tetapi minim perhatian. Berikut laporan wartawan SP Jeis Montesori S yang mengikuti perjalanan KRI Makassar akhir bulan lalu.
Mercusuar di Karang Unarang, perairan Ambalat.
SP/Jeis Montesori S Secara fisik, Malaysia tidak menguasai Ambalat. Tapi saat ini
secara teknologi dan informasi, Malaysia sudah hadir menguasai Blok Ambalat di Karang Unarang, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. Kehadiran negeri jiran itu terasa saat kita memasuki wilayah perairan kaya tambang minyak di pulau terdepan bagian utara Indonesia itu. Pesawat telepon genggam (hand phone/HP) yang tadinya masih menggunakan operator seluler dalam negeri, serta merta dan tanpa konfirmasi, coverage (jangkauan area) langsung beralih menjadi My Maxis milik Malaysia.
Begitu berubah menjadi My Maxis, maka HP pun langsung menerima beragam
informasi melalui layanan pesan singkat (short massage service/SMS). Isi SMS antara lain berbunyi "Welcome to Malaysia" atau tawaran-tawaran discount menggiurkan lain tanpa bisa ditolak. Dan yang lebih tidak mengenakan, jika kita hendak menelepon, kita pun terkena roaming internasional, padahal jelas-jelas kita masih berada dalam wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Itulah sebagian kecil gambaran situasi yang terjadi di pulau-pulau terdepan Indonesia saat ini.
Masih ada setumpuk masalah lain yang belum pernah
tuntas yakni :
Ø Mulai dari lemahnya sistem pertahanan keamanan,
Ø Klaim batas yuridiksi wilayah laut,
Ø Rendahnya kualitas hidup masyarakat,
Ø Hingga menurunnya nasionalisme menjadi masalah-masalah krusial untuk
mempertahankan keutuhan pulau-pulau terdepan dalam NKRI.
Di Pulau Sebatik, pulau yang sebagian wilayahnya masuk Indonesia dan
sebagian lagi milik Malaysia,
Ø sekitar 30.255 jiwa masyarakat Indonesia yang tinggal di situ,
Ø kehidupan sosial ekonominya sangat bergantung pada Malaysia.
Ø Kebutuhan sehari-hari seperti gula pasir, minyak goreng, tepung terigu, susu
dan sebagainya,
Ø semuanya dipasok dari Malaysia.
Ø Bahkan ikan laut yang ditangkap dari perairan Ambalat (dekat dengan Sebatik) juga harus dibeli warga Sebatik di Tawao, Malaysia, kendati dengan harga yang dipermainkan pedagang tengkulak Tawao.
Tidak Peduli
Sungguh memilukan dan siapa sebenarnya yang salah?
Pertanyaan inilah yang mengemuka dalam lokakarya nasional II/2007 tentang
Ketahanan Nasional Masyarakat di Pulau-pulau Terluar Melalui Peningkatan
Kewaspadaan Nasional yang dilaksanakan kerja sama Depdagri dan Mabes TNI
Angkatan Laut di KRI Makassar tanggal 11-21 Agustus lalu. Para peserta lokakarya dari berbagai wilayah di Tanah Air itu sepakat bahwa perhatian pemerintah selama ini sangat rendah. Kasus Pulau Nipah yang nyaris tenggelam dan lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke Malaysia, menjadi bukti betapa pemerintah tidak serius menjaga pulau-pulau terdepan sebagai benteng depan pertahanan negara.
Jika Pulau Nipah tenggelam berarti titik terluar batas wilayah Indonesia hilang
sehingga akan mengubah batas wilayah dan tentunya sangat menguntungkan Singapura. Jangankan berbicara sistem pertahanan keamanan negara, tetapi pulau-pulau terdepan yang menjadi titik dasar dan garis pangkal benteng pertahanan justru rapuh. "Kalau situasi ini terus dibiarkan, tidak mustahil akan lebih banyak lagi pulau-pulau terdepan Indonesia bakal jatuh ke tangan asing," kata Misran, Sekjen Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Balikpapan, peserta dalam lokakarya itu.
Berdasarkan data Departemen Dalam Negeri, terdapat 12 dari 92 pulau kecil terdepan Indonesia yang diidentifikasi rawan benturan dengan pihak asing. Ke-12 pulau itu secara geografis memiliki batas maritim dengan 10 negara, yaitu Pulau Rondo di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) berbatasan dengan India. Pulau Sebatik, Kalimantan Timur dan Pulau Berhala, Sumatera Utara berbatasan dengan Malaysia, Pulau Nipah, Riau dengan Singapura dan Thailand. Pulau Sekatung di Kepulauan Riau dengan Vietnam.
Pulau Marore dan Miangas, Sulawesi Utara dengan Filipina serta Pulau Fani, Fanildo dan Bras di Papua berbatasan dengan Republik Palau. Timor Leste berbatasan
dengan Pulau Asutubun di Maluku serta Batek di Nusa Tenggara Timur. (Tambahan Penulis : Pulau Pasir—Ashmoro Reef di Kabupaten Rote Ndao, NTT yang berbatasan langsung dengan Australia). Meski sebagian tak berpenghuni, tapi perairannya memiliki nilai sangat strategis, baik dari segi geoekonomi maupun geopolitik, sehingga pulau-pulau terdepan tersebut sangat berpotensi dicaplok pihak luar dan ini sangat mengancam martabat dan kedaulatan RI.
Seperti diungkapkan Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat
(Pangkoarmabar), Laksda TNI Agus Suhartono. Pulau Berhala meski tak ada penghuninya, tapi menjadi incaran bangsa asing karena strategis secara geoekonomi dan geopolitik. Persoalannya, penentuan batas wilayah laut RI-Malaysia di pulau ini masih tumpang tindih sehingga rentan konflik kepentingan. Pulau ini juga sangat rawan aksi perompakan dan penyelundupan senjata.
Sementara di Pulau Rondo, penentuan titik koordinat landas kontinen sudah
disahkan sebelum berlakunya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 sehingga sangat berpotensi terjadi konflik di perairan ujung utara NAD itu, katanya. Perairan di sekitar pulau tersebut juga rawan illegal fishing oleh nelayan-nelayan asing, padahal kawasan itu secara tradisional merupakan daerah penangkapan ikan para nelayan Aceh.
"Pulau-pulau lain seperti Pulau Sekatung, Fanildo, Bras, Batek dan Pulau Ndana di
Kabupaten Rote Ndao, NTT (Penulis, : Pulau Pasir atau Ashmore Reef), semuanya rata-rata masih bermasalah dalam penentuan batas serta fasilitas pengamanan batas wilayah yang sangat minim," ungkapnya. Demikian juga kontroversi Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) yang masih dipertanyakan mengapa dicaplok Australia, padahal milik Indonesia. Selain masyarakat di daerah NTT, sebuah LSM yang dikenal dengan Ocean Watch juga sangat tegas menolak klaim Australia atas gugusan pulau tersebut. Sayangnya, Departemen Luar Negeri RI merasa pulau itu sudah milik Australia. Di sisi lain Australia sering berbenturan kepentingan politik pertahanan keamanan dengan Indonesia yang berbatasan maritim dengan wilayah selatan Pulau Jawa.
Potensi Persoalan rendahnya kualitas hidup baik aspek ekonomi, pendidikan hingga
keterisolasian dari sarana dan prasarana fisik perkotaan juga menjadi tirani tersendiri yang membuat luka hati masyarakat pulau-pulau terdepan. Warga pulau terdepan
selalu merasa dianaktirikan dalam pelayanan pemerintah. Seperti diutarakan Mansyur, warga Nunukan. Sudah puluhan tahun daerahnya kekurangan energi listrik, tapi tidak ada perhatian pemerintah untuk membangun.
"Listrik mati hidup di daerah kami. Jangankan mau buka usaha, listrik rumah tangga saja sangat sulit. Kami tidak bisa mengembangkan usaha perikanan karena tak ada
fasilitas pendingin atau tempat pelelangan ikan. Hasil tangkapan kami banyak mubazir atau dijual ke tengkulak Malaysia dengan harga yang dipermainkan," kata Ketua Lembaga Hak Asasi & Ekonomi Rakyat Indonesia (Leherindo) Kabupaten Nunukan ini.
Warga Pulau Sebatik mengaku jarang sekali dikunjungi pejabat pemerintah. Situasi
ini membuat mereka nyaris tak kenal siapa gubernur, bupati atau juga presidennya. Tidak heran jika masyarakat di kawasan yang sangat strategis itu cenderung lebih akrab dengan negara tetangga Malaysia ketimbang dengan negerinya sendiri, Indonesia.
"Kalau ini tak segera diperhatikan, masyarakat di pulau-pulau terdepan akan merasa dikhianati sehingga timbul perasaan ingin berinteraksi dengan negara lain. Pemerintah pusat mesti secepatnya menuntaskan masalah ini," kata Rizal Moh Fikri, dari Ditjen Pemerintahan Umum (PUM) Depdagri yang turut berbicara dalam lok Perhatian yang kurang bagi masyarakat tersebut juga disebabkan kebijakan pembangunan kelautan menyimpang dari kultur bangsa sehingga lebih diprioritaskan ke darat.
Dari 7,7 juta km persegi luas Indonesia, sejumlah dua pertiga atau 5,8 juta km
persegi adalah lautan. Potensinya pun terdiri dari perikanan tangkap, budi daya hasil laut, pertambangan energi, pariwisata, transportasi laut hingga harta karun.
Sebagai gambaran,
Ø Tiongkok adalah negara daratan, tapi pendapatan regional brutonya sektor kelautan mencapai 49 persen,
Ø Korea Selatan sebanyak 37 persen, dan
Ø Jepang mencapai 54 persen.
Ø Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia hanya 18,8 persen.
Komandan Korps Marinir (Dankormar), Mayjen TNI (Mar) Nono Sampono
menyebutkan, terdapat 487 titik kapal asing yang pernah karam di laut Indonesia sejak ratusan tahun lalu dan kapal-kapal itu membawa harta karun yang tak ternilai. Seperti emas-emas batangan, keramik semua masih ada di dasar laut. "Semua itu kalau dikelola secara optimal pasti memberikan kemakmuran bagi bangsa ini," katanya.
Tapi ironisnya, jumlah orang miskin di Indonesia justru terbanyak masyarakat nelayan (pelaut) yang mencapai sekitar 27 juta jiwa (60 persen) dari 42 juta penduduk miskin di Indonesia saat ini. Anggota TNI AL sebagai satu kekuatan menjaga pertahanan keamanan di laut, tapi juga tak mendapat perhatian optimal selama ini.
Sarana dan prasarananya tidak dilengkapi dengan baik, pos-pos pengamanan TNI AL di wilayah-wilayah perbatasan sangat memprihatinkan. Petugasnya tidak dilengkapi sarana memadai, tapi dituntut agar menangkap musuh dengan kemampuan lebih tangguh.Staf Ahli Kasal, Kolonel Laut (P) Joharman Main Saleh mengatakan, TNI AL saat ini hanya memiliki sekitar 60 kapal dari kebutuhan ideal 1.000 kapal patroli, KRI dan jenis-jenis kapal pengamanan laut lain.
Saatnya pemerintah mengalihkan perhatian untuk membangun kelautan secara
serius agar bangsa ini tidak semakin hancur. Memang disadari konsekwensi dari semua itu adalah memberikan porsi anggaran yang cukup agar seluruh program bisa terlaksana dengan baik. "Pembangunan kelautan memang mahal, tapi hasil yang diperoleh juga jauh sangat besar.
Kita tidak boleh lagi bersikap setengah hati tapi putar haluan 360 derajat, karena justru di laut kita jaya," katanya. Bangsa kita terlalu banyak berbuat kesalahan. Kita baru membuka mata dan sadar kelemahan kita ketika Sipadan Ligitan sudah dicaplok menyusul lagi Blok Ambalat yang masih dalam status sengketa dengan Malaysia. Sekarang belum terlambat untuk kita memperbaiki diri.
Belajar dari banyak kesalahan, justru kita menjadi lebih dewasa dan paham apa yang mesti dilakukan saat ini. Secuil apapun kita harus pertaruhkan hingga nyawa sekalipun harus dilakukan demi mempertahankan keutuhan NKRI. *Sumber : SUARA PEMBARUAN-Internet.
Penulis : Drs.Simon Arnold julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.