Mengakui Hak
Nelayan Tradisional Penangkapan Ikan
KASUS nelayan,
kapten KM Gunung Mas yang meninggal saat disekap di Australia mengingatkan kita
pada, konsep hak penangkapan ikan tradisional.
Sudah ada
kesepakatan antara Australia-Indonesia berkaitan dengan ini melalui Nota
Kesepakatan l974 nelayan tradisional masih diperbolehkan menangkap berbagai
jenis moluska di lima pulau Australia yaitu, Pulau Ashmore, Pulau Cartier,
Pulau Scott, Pulau Seringapatam, dan Pulau Bowse yang jarak terdekatnya dengan,
Nusa Tenggara Timur sekitar l20 Km.
Persoalannya,
sasaran tangkap berubah dari Moluska ke ikan yang bermigrasi sehingga muncul
pelarangan.
Artinya,
Australia pernah mengakui hak penangkapan ikan tradisional nelayan kita. Namun,
hak ini tentu tidak sembarang dimiliki nelayan tradisional karena umumnya ia
merujuk pada pengertian hak yang diwariskan secara turun-temurun.
Tulisan ini tidak
secara khusus mengupas soal hak penangkapan ikan tradisional, melainkan mencoba mengingatkan kembali soal
pentingnya pengakuan hak ini oleh negara.
Mengingat saat
ini pemerintah sedang menyiapkan Rancangan Peratruran Pemerintah Pemberdayaan
Nelayan, perlu dikaji lebih jauh lagi sejauh mana, hukum dan konvensi
internasional mengakui hak penangkapan ikan tradisional. Bagaimana pengalaman
negara lain dalam mengakui hal itu dan bagaimana posisi kita?
Perspektif Internasional
Hak penangkapan
ikan tradisional di wilayah negara lain dan internasional dimungkinkan
mengingat dalam, UNCLOS l982 pada pasal 51, yang isinya tentang penghormatan
terhadap eksistensi hak penangkapan ikan tradisional.
Hal ini memberi
kekuatan hukum terhadap perlindungan hak tersebut. Namun, mekanisme
perlindungan terhadap nelayan yang memiliki hak itu tetap saja, mesti diatur
secara bilateral dengan negara lain.
Begitu pula
Agenda 21 Pasal 17 tentang perlindungan global
laut juga merujuk pada perlunya, berkonsultasi dengan nelayan lokal dan,
melindungi akses mereka terhadap sumber daya. Sementara itu Konvensi tentang
Keragaman Hayati meminta pemerintah agar,
Melindungi dan
meningkatkan praktek-praktek budaya tradisional dalam pemanfaatan sumber daya
hayati. Juga, Konvensi tentang Konservasi Spesis Berpindah Tempat Binatang Liar
mengijinkan nelayan lokal menangkap spesies-spesies yang berpindah untuk
memenuhi kebutuhan subsistensinya.
Meski secara
internasional diakui, praktek diberbagai negara sering kali berlebihan.
Di Australia
misalnya, pengelolaan sumber daya perikanannya menggunakan prinsip pasar dalam
bentuk sistem kuota. Kuota Tangkapan yang dapat dialihkan Individu. Dengan
mekanisme ini, hampir dipastikan tidak ada nelayan tradisional yang bisa
bertahan.
Alasannya,
nelayan tradisional tentu tidak bisa memenuhi batas minimum kuota sebesat 5 ton
pertahun. Menculah aturan bahwa nelayan, yang tidak menghasilkan 5 ton ikan
pertahun mesti keluar dari usaha perikanan. Pola pengolahan berbasis pasar ini
memang kurang kondusif bagi perikanan Aborigin.
Saat ini dalam
produk hukum mereka, hak-hak tradisional ini kurang mendapat tempat.
Undang-undang Pengolahan, Penangkapan Ikan l991, misalnya, hanya mengakui hak
menangkap ikan berdasarkan UU, izin menangkap ikan, izin untuk kegiatan ilmia,
dan lizensi penangkapan ikan dengan perahu asing. Tidak muncul istilah
tradisional, hak penangkap ikan Aborigin, dan semacamnya.
Memang 4 negara
bagian mereka memiliki peraturan berbeda. Namun, secara umum seperti dianalisis
Tsamenyi dan kawan-kawan (2000), kerangka hukum mereka kurang memihak terhadap
Aborigen. Lihat saja UU Pengolahan Penangkapan Ikan l994 di New South Wales,
yang sama sekali tidak mengecualikan warga Aborigen. Ini semua menunjukan bahwa
Australia dengan prinsip liberalnya ternyata tega terhadap nelayan
tradisionalnya sendiri sehingga sudah dapat diduga bagaimana, Australia
bersikap terhadap nelayan tradisional asing, termasuk Indonesia.
Sementara itu, di
Selandia Baru terdapat suku Maori yang merupakan penduduk asli. Dalam dunia
perikanan yang pola pengelolaannya mirip Australia itu, suku Maori yang dalam,
posisi terjepit karena dianggap tidak memenuhi syarat mendapatkan kuota dan, dalam
UU Perikanannya tidak disebutkan adanya hak penangkapan ikan tradisional untuk
Maori.
Namun, atas
perjuangan nelayan Maori berdasar pada Perjanjian Waitangi l841, akhirnya ada,
kesepakatan baru melalui UU Penagkapan Ikan Maori l989, yang isinya antara
lain, memberikan kuota sebanyak l0 % kepada nelayan Maori dari penangkapan
total yang dibolehkan.
Bahkan, terakhir
muncul lagi UU Atas Penyelesaian Perjanjian Waitangi l992 yang menegaskan
perlindungan hak penangkapan ikan tradisional.
Di Kanada hak-hak
penangkapan ikan Aborigen nelayan First Nation,
sebutan untuk warga asli Kanada, diakui oleh, Konstitusi Kanada, namun,
tetap saja posisi mereka marginal.
Kini sudah makin
membaik sesudah nelayan First Nation mendapat tempat setelah Komite Penangkapan
Ikan Aborigen British Colombia dibentuk.
Terakhir adalah Jepang.
Hak penangkapan
ikan tradisional diakui dan, diberikan kepada nelayan lokal sejak era EDO.
Pengkuan tersebut
berlanjut hingga sekarang karena masuk dalam UU Perikanannya.
Nah, di Jepang tidak
ada istilah, tradisional, yang ada hanyalah hak penangkapan ikan (gyogyo kyoodo
ken) yang diberikan kepada nelayan yang
beroperasi di wilayah pesisir, dengan batas teritori yang jelas, baik untuk
budi daya maupun, penagkapan.
Operasi perikanan bertugas
mengurus, pemberian dan, pencabutan hak penagkapan ini.
Bagaimana
dengan Indonesia?
Perspektif
Indonesia
Kasus Australia, Selandia
Baru dan Kanada yang mengenal adanya warga Aborigen memang agak berbeda dengan
kita.Konflik negara dan nelayan melibatkan sentimen Ras, sementara di kita
tidak. Jepang barangkali yang lebih mendekati kita.
Namun, esensinya adalah
bahwa, pengakuan terhadap hak penangkapan ikan tradisional adalah, upaya membangun keadilan ekologis. Artinya
bahwa nelayan yang miskin juga berhak atas sumber daya perikanan, yang makin
lama, makin diperebutkan oleh para pelaku dengan kekuatan penguasaan kapital
yang timpang. Tanpa hak itu niscaya nelayan tradisional makin terpinggir.
Di Indonesia sebenarnya
pada zaman Belanda, hak penangkapan ikan tradisional diakui. Lihat, misalnya di
Staablad l9l6 No.l57 tentang siput mutiara, teripang, dan terumbu karang pada
Pasal 2 diakui eksistensi hak penangkapan ikan tradisional nelayan lokal.
Begitu pula pada StaatBlat l927 No.145 yang didalamnya dimuat larangan
menangkap ikan paus dalam perairan 3 mil garis pantai, kecuali bagi nelayan
yang telah melakukannya secara turun-temurun. (contohnya penangkapan ikan paus
oleh nelayan tradisional di Flores Timur).
Nah, pasca kemerdekaan,
juga ada UU Pokok Agraria l960, Pasal l6 Ayat 2 yang menyebutkan adanya hal
pemeliharaan dan penangkapan ikan. Namun, sayangnya Pasal ini tidak dielaborasi
secara memadai,.meski pada pasal sebelumnya ditegaskan adanya pengakuan
terhadap hak ulayat, termasuk dilaut.
Memasuki Orde Baru,
persoalan menjadi lain karena, sentralisasi pengelolaan sumber daya perikanan
benar-benar terjadi.Praktis hak ulayat melemah seiring dengan lahirnya UU
Pemerintahan Desa l979 yang menyeragamkan struktur desa. Pada hal, sebelum itu
desa-desa di Indonesia sangatlah beragam sterukturnya dan mengakomodasi
kepentingan adat.
Juga UU
Perikanan l985 tidak menyebutkan soal
eksistensi hak penangkapan ikan tradisional itu. Namun, pada era ini ada Kepmentan No,607 Tahun l976 tentang
Jalur-jalur penangkapan ikan dimana ada perlindungan terhadap nelayan dengan
kapal dibawah 5 GT dan l0 PK. Tujuan
mulia ini kurang berhasil karena memang berada dalam desain pengelolaan yang
sentralistik.
Nah, di Era
Revormasi ini muncul, UU No.22 Tahun l999 yang lalu disempurnakan menjadi UU
No,32 Tahun 2004, serta UU Perikanan No.31 Tahun 2004. Didalamnya tidak
disebutkan adanya perlindungan terhadap hak penangkapan ikan tradisional, tapi
hanya dinyatakan bahwa nelayan kecil bebas menangkap ikan diseluruh wilayah.
Persoalannya nelayan kecil seperti apa yang dimaksud.
Memang masih
butuh penjelasan meski secara tersirat nelayan kecil itu adalah, mereka yang
tidak terkena kewajiban memilikim izin usaha perikanan dan pungutan. Yakni,
yang armadanya kurang dari 5 GT atau dibawah l5 PK. Itu sebabnya, saya melihat
Pasal ini punya niat yang mulia untuk melindungi nelayan kecil. Namun belum
memperhatikan fakta sosiologis bahwa nelayan kecil dimanapun mempunya hak milik
de facto (exclusion right) sehinggapun nelayan kecil “ dibebaskan” melaut
keseluruh wilayah, tetap karena memang
berada dalam desain pengelolaan yang sentralistik. Seperti, nelayan andon biasanya diizinkan
memiliki hak masuk dan hak mengambil sumber daya dengan berbagai persyaratan,
baik tertulis maupun tidak tertulis.
Karena itu,
perlindungan terhadap nelayan kecil tidaklah bersifat independen, melainkan
terkait dengan rencangan kelembagaan pengelolaan sumber daya secara
komprehensif.
Jadi ada beberapa agenda penting.
Dalam Rancangan
Peraturan Pemerintah pemberdayaan nelayan perlu ditegaskan kembali pengakuan
terhadap hak penangkapan ikan tradisional dengan penjelasan beberapa indikator
pokoknya sehingga memudahkan pemerintah daerah dalam menerjemahkannya kedalam
peraturan daerah. Hak ini dimaksudkan untuk kelangsungan tradisi secara
turun-temurun dan dalam rangka memenuhi kepentingan ekonomi nelayan lokal.
Pengakuan hak ini bisa dirancang dengan model Hak Menggunakan Kawasan dalam
Penangkapan Ikan yang sebenarnya saat ini secara de facto ada, seperti halnya
sasi laut di Maluku, namun belum diakui secara de yure sebagaimana di Jepang.
Pengakuan
eksistensi hak penangkapan ikan tradisonal juga mesti diikuti, dengan devolusi
kewenangan pengelolaan sumber daya secara lebih luas sehingga tidak saja hak
masuk dan hak mengambil sumber daya yang diberikan, tetapi juga hak pengelolaan
dan hak eksklusi.
Apa artinya diberi hak
penangkapan ikan tradisional tetapi tak ada hak untuk mengatur. Dengan hak
kepemilikan sumber daya yang lengkap seperti itu, posisi nelayan lokal menjadi
kuat.
Bagaimanapun adanya
devolusi kewenangan ke nelayan lokal mensyaratkan organisasi nelayan yang
tangguh termasuk di dalamnya, dalam membangun kesepakatan antar komunitas/antar
oraganisasi nelayan dalam rangka pengelolaan sumber daya bersama maupun resolusi
konflik. Bagi nelayan hak penagkapan ikan tradisional merupakan hak dasar dan
mestinya dalam pembangunan perikanan bisa dimasukkan sebagai syarat perlu.
Jangan sampai dunia internasional sudah begitu mengakui hak
penangkapan ikan tradisional, sementara kita yang merupakan sumbernya nelayan
tradisional justru ragu untuk memberikan itu. (Arif Satria,Dosen IPB, Mahasiswa Program Doktor di Universitas Kagoshima,
Jepang, Kompas, 28-05-2006)
Penulis :
Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.