alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Senin, 23 Februari 2015

MENGAKUI HAK NELAYAN TRADISIONAL PENANGKAPAN IKAN

Mengakui Hak Nelayan Tradisional Penangkapan Ikan

KASUS nelayan, kapten KM Gunung Mas yang meninggal saat disekap di Australia mengingatkan kita pada, konsep hak penangkapan ikan tradisional.
Sudah ada kesepakatan antara Australia-Indonesia berkaitan dengan ini melalui Nota Kesepakatan l974 nelayan tradisional masih diperbolehkan menangkap berbagai jenis moluska di lima pulau Australia yaitu, Pulau Ashmore, Pulau Cartier, Pulau Scott, Pulau Seringapatam, dan Pulau Bowse yang jarak terdekatnya dengan, Nusa Tenggara Timur sekitar l20 Km.

Persoalannya, sasaran tangkap berubah dari Moluska ke ikan yang bermigrasi sehingga muncul pelarangan.
Artinya, Australia pernah mengakui hak penangkapan ikan tradisional nelayan kita. Namun, hak ini tentu tidak sembarang dimiliki nelayan tradisional karena umumnya ia merujuk pada pengertian hak yang diwariskan secara turun-temurun.

Tulisan ini tidak secara khusus mengupas soal hak penangkapan ikan tradisional,  melainkan mencoba mengingatkan kembali soal pentingnya pengakuan hak ini oleh negara.
Mengingat saat ini pemerintah sedang menyiapkan Rancangan Peratruran Pemerintah Pemberdayaan Nelayan, perlu dikaji lebih jauh lagi sejauh mana, hukum dan konvensi internasional mengakui hak penangkapan ikan tradisional. Bagaimana pengalaman negara lain dalam mengakui hal itu dan bagaimana posisi kita?

Perspektif Internasional

Hak penangkapan ikan tradisional di wilayah negara lain dan internasional dimungkinkan mengingat dalam, UNCLOS l982 pada pasal 51, yang isinya tentang penghormatan terhadap eksistensi hak penangkapan ikan tradisional.
Hal ini memberi kekuatan hukum terhadap perlindungan hak tersebut. Namun, mekanisme perlindungan terhadap nelayan yang memiliki hak itu tetap saja, mesti diatur secara bilateral dengan negara lain.
Begitu pula Agenda 21 Pasal 17 tentang perlindungan global  laut juga merujuk pada perlunya, berkonsultasi dengan nelayan lokal dan, melindungi akses mereka terhadap sumber daya. Sementara itu Konvensi tentang Keragaman Hayati meminta pemerintah agar,
Melindungi dan meningkatkan praktek-praktek budaya tradisional dalam pemanfaatan sumber daya hayati. Juga, Konvensi tentang Konservasi Spesis Berpindah Tempat Binatang Liar mengijinkan nelayan lokal menangkap spesies-spesies yang berpindah untuk memenuhi kebutuhan subsistensinya.
Meski secara internasional diakui, praktek diberbagai negara sering kali berlebihan.

Di Australia misalnya, pengelolaan sumber daya perikanannya menggunakan prinsip pasar dalam bentuk sistem kuota. Kuota Tangkapan yang dapat dialihkan Individu. Dengan mekanisme ini, hampir dipastikan tidak ada nelayan tradisional yang bisa bertahan.
Alasannya, nelayan tradisional tentu tidak bisa memenuhi batas minimum kuota sebesat 5 ton pertahun. Menculah aturan bahwa nelayan, yang tidak menghasilkan 5 ton ikan pertahun mesti keluar dari usaha perikanan. Pola pengolahan berbasis pasar ini memang kurang kondusif bagi perikanan Aborigin.

Saat ini dalam produk hukum mereka, hak-hak tradisional ini kurang mendapat tempat. Undang-undang Pengolahan, Penangkapan Ikan l991, misalnya, hanya mengakui hak menangkap ikan berdasarkan UU, izin menangkap ikan, izin untuk kegiatan ilmia, dan lizensi penangkapan ikan dengan perahu asing. Tidak muncul istilah tradisional, hak penangkap ikan Aborigin, dan semacamnya.

Memang 4 negara bagian mereka memiliki peraturan berbeda. Namun, secara umum seperti dianalisis Tsamenyi dan kawan-kawan  (2000),  kerangka hukum mereka kurang memihak terhadap Aborigen. Lihat saja UU Pengolahan Penangkapan Ikan l994 di New South Wales, yang sama sekali tidak mengecualikan warga Aborigen. Ini semua menunjukan bahwa Australia dengan prinsip liberalnya ternyata tega terhadap nelayan tradisionalnya sendiri sehingga sudah dapat diduga bagaimana, Australia bersikap terhadap nelayan tradisional asing, termasuk Indonesia.

Sementara itu, di Selandia Baru terdapat suku Maori yang merupakan penduduk asli. Dalam dunia perikanan yang pola pengelolaannya mirip Australia itu, suku Maori yang dalam, posisi terjepit karena dianggap tidak memenuhi syarat mendapatkan kuota dan, dalam UU Perikanannya tidak disebutkan adanya hak penangkapan ikan tradisional untuk Maori.
Namun, atas perjuangan nelayan Maori berdasar pada Perjanjian Waitangi l841, akhirnya ada, kesepakatan baru melalui UU Penagkapan Ikan Maori l989, yang isinya antara lain, memberikan kuota sebanyak l0 % kepada nelayan Maori dari penangkapan total yang dibolehkan.

Bahkan, terakhir muncul lagi UU Atas Penyelesaian Perjanjian Waitangi l992 yang menegaskan perlindungan hak penangkapan ikan tradisional.
Di Kanada hak-hak penangkapan ikan Aborigen nelayan First Nation,  sebutan untuk warga asli Kanada, diakui oleh, Konstitusi Kanada, namun, tetap saja posisi mereka marginal.
Kini sudah makin membaik sesudah nelayan First Nation mendapat tempat setelah Komite Penangkapan Ikan Aborigen British Colombia dibentuk.

Terakhir adalah Jepang.

Hak penangkapan ikan tradisional diakui dan, diberikan kepada nelayan lokal sejak era EDO.
Pengkuan tersebut berlanjut hingga sekarang karena masuk dalam UU Perikanannya.
Nah, di Jepang tidak ada istilah, tradisional, yang ada hanyalah hak penangkapan ikan (gyogyo kyoodo ken)  yang diberikan kepada nelayan yang beroperasi di wilayah pesisir, dengan batas teritori yang jelas, baik untuk budi daya maupun, penagkapan.
Operasi perikanan bertugas mengurus, pemberian dan, pencabutan hak penagkapan ini. 

Bagaimana dengan Indonesia?
Perspektif Indonesia

Kasus Australia, Selandia Baru dan Kanada yang mengenal adanya warga Aborigen memang agak berbeda dengan kita.Konflik negara dan nelayan melibatkan sentimen Ras, sementara di kita tidak. Jepang barangkali yang lebih mendekati kita.
Namun, esensinya adalah bahwa, pengakuan terhadap hak penangkapan ikan tradisional adalah,  upaya membangun keadilan ekologis. Artinya bahwa nelayan yang miskin juga berhak atas sumber daya perikanan, yang makin lama, makin diperebutkan oleh para pelaku dengan kekuatan penguasaan kapital yang timpang. Tanpa hak itu niscaya nelayan tradisional makin terpinggir.

Di Indonesia sebenarnya pada zaman Belanda, hak penangkapan ikan tradisional diakui. Lihat, misalnya di Staablad l9l6 No.l57 tentang siput mutiara, teripang, dan terumbu karang pada Pasal 2 diakui eksistensi hak penangkapan ikan tradisional nelayan lokal. Begitu pula pada StaatBlat l927 No.145 yang didalamnya dimuat larangan menangkap ikan paus dalam perairan 3 mil garis pantai, kecuali bagi nelayan yang telah melakukannya secara turun-temurun. (contohnya penangkapan ikan paus oleh nelayan tradisional di Flores Timur).

Nah, pasca kemerdekaan, juga ada UU Pokok Agraria l960, Pasal l6 Ayat 2 yang menyebutkan adanya hal pemeliharaan dan penangkapan ikan. Namun, sayangnya Pasal ini tidak dielaborasi secara memadai,.meski pada pasal sebelumnya ditegaskan adanya pengakuan terhadap hak ulayat, termasuk dilaut.

Memasuki Orde Baru, persoalan menjadi lain karena, sentralisasi pengelolaan sumber daya perikanan benar-benar terjadi.Praktis hak ulayat melemah seiring dengan lahirnya UU Pemerintahan Desa l979 yang menyeragamkan struktur desa. Pada hal, sebelum itu desa-desa di Indonesia sangatlah beragam sterukturnya dan mengakomodasi kepentingan adat.

Juga UU Perikanan l985 tidak menyebutkan soal eksistensi hak penangkapan ikan tradisional itu. Namun, pada era ini ada  Kepmentan No,607 Tahun l976 tentang Jalur-jalur penangkapan ikan dimana ada perlindungan terhadap nelayan dengan kapal dibawah 5 GT dan l0 PK. Tujuan mulia ini kurang berhasil karena memang berada dalam desain pengelolaan yang sentralistik.

Nah, di Era Revormasi ini muncul, UU No.22 Tahun l999 yang lalu disempurnakan menjadi UU No,32 Tahun 2004, serta UU Perikanan No.31 Tahun 2004. Didalamnya tidak disebutkan adanya perlindungan terhadap hak penangkapan ikan tradisional, tapi hanya dinyatakan bahwa nelayan kecil bebas menangkap ikan diseluruh wilayah. Persoalannya nelayan kecil seperti apa yang dimaksud.

Memang masih butuh penjelasan meski secara tersirat nelayan kecil itu adalah, mereka yang tidak terkena kewajiban memilikim izin usaha perikanan dan pungutan. Yakni, yang armadanya kurang dari 5 GT atau dibawah l5 PK. Itu sebabnya, saya melihat Pasal ini punya niat yang mulia untuk melindungi nelayan kecil. Namun belum memperhatikan fakta sosiologis bahwa nelayan kecil dimanapun mempunya hak milik de facto (exclusion right) sehinggapun nelayan kecil “ dibebaskan” melaut keseluruh wilayah, tetap  karena memang berada dalam desain pengelolaan yang sentralistik.  Seperti, nelayan andon biasanya diizinkan memiliki hak masuk dan hak mengambil sumber daya dengan berbagai persyaratan, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Karena itu, perlindungan terhadap nelayan kecil tidaklah bersifat independen, melainkan terkait dengan rencangan kelembagaan pengelolaan sumber daya secara komprehensif.

Jadi ada beberapa agenda penting.

Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah pemberdayaan nelayan perlu ditegaskan kembali pengakuan terhadap hak penangkapan ikan tradisional dengan penjelasan beberapa indikator pokoknya sehingga memudahkan pemerintah daerah dalam menerjemahkannya kedalam peraturan daerah. Hak ini dimaksudkan untuk kelangsungan tradisi secara turun-temurun dan dalam rangka memenuhi kepentingan ekonomi nelayan lokal. Pengakuan hak ini bisa dirancang dengan model Hak Menggunakan Kawasan dalam Penangkapan Ikan yang sebenarnya saat ini secara de facto ada, seperti halnya sasi laut di Maluku, namun belum diakui secara de yure sebagaimana di Jepang.

Pengakuan eksistensi hak penangkapan ikan tradisonal juga mesti diikuti, dengan devolusi kewenangan pengelolaan sumber daya secara lebih luas sehingga tidak saja hak masuk dan hak mengambil sumber daya yang diberikan, tetapi juga hak pengelolaan dan hak eksklusi.
Apa artinya diberi hak penangkapan ikan tradisional tetapi tak ada hak untuk mengatur. Dengan hak kepemilikan sumber daya yang lengkap seperti itu, posisi nelayan lokal menjadi kuat.

Bagaimanapun adanya devolusi kewenangan ke nelayan lokal mensyaratkan organisasi nelayan yang tangguh termasuk di dalamnya, dalam membangun kesepakatan antar komunitas/antar oraganisasi nelayan dalam rangka pengelolaan sumber daya bersama maupun resolusi konflik. Bagi nelayan hak penagkapan ikan tradisional merupakan hak dasar dan mestinya dalam pembangunan perikanan bisa dimasukkan sebagai syarat perlu.
Jangan sampai dunia  internasional sudah begitu mengakui hak penangkapan ikan tradisional, sementara kita yang merupakan sumbernya nelayan tradisional justru ragu untuk memberikan itu. (Arif Satria,Dosen IPB, Mahasiswa Program Doktor di Universitas Kagoshima, Jepang, Kompas, 28-05-2006)


Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.