alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Senin, 23 Februari 2015

PERLAKUAN KEAMANAN AUSTRALIA TERHADAP NELAYAN INDONESIA

PERLAKUAN KEAMANAN  AUSTRALIA TERHADAP NELAYAN INDONESIA

 Klaim  Australia terhadap Pulau Pasir (Ashmore Reef-Catier Reef, Scot Reef)
Seperti diutarakan diatas bahwa kepemilikan Pulau Pasir oleh masyarakat Suku Rote jauh sebelum :
Pelaut Portugis Antonio Pigafetta menemukan Pulau Rote 1522 maupun sebelum orang Inggris menemukan Benua Australia atau Pulau Marege (menurut penamaan orang Rote)
Australia baru menyatakan kepemilikannya atas pulau-pulau  tersebut setelah tahun 1878 yang diwarisinya dari Inggris yang menetapkan wilayah itu sebagai koloninya. Inggris memasukan pulau itu kedalam Commonwelth of Australia melalui Ashmoro and Cartier Act l933. 
Sedang pada tahun-tahun tersebut diatas, Inggris belum menemukan Benua Australia. Jadi Inggris memasukkan kedalam Ashmoro and Cartier Act  baru pada tahun l933, adalah sangat jauh terlambat mengklaim pulau Pasir ke dalam wilayah Australia dibanding dengan tahun-tahun yang disebutkan diatas sehingga klaim tersebut tidak syah.
Pada tahun l942 wilayah tersebut berada dibawah Administrasi Negara Bagian Australia Barat yang kemudian menjadi Northem Territory hingga l978.
Setelah l978 wilayah tersebut dinyatakan sebagai bagian dari yuridiksi langsung Negara Federal. Secara hukum, pengakuan Australia terhadap kepemilikan atas Pulau Pasir (Ashmore Reef-Cartier Reef) baru ditetapkan pada tahun l933 dan tahun l942, maupun melalui MOU l974 dan seterusnya, tidak berdasar sama sekali dan lebih bersifat pengakuan sefihak oleh Australia. Indonesia patut menolak semua argument Australia soal Pulau Pasir.

Sedang dilain pihak kepemilikan tersebut oleh Indonesia (Masyarakat Suku Rote jauh sebelum l522 dan kemudian tahun l662 (Kontrak Dagang dengan Belanda) dan dilanjutkan dengan  tahun 1690,  1690, l700,  dan 1756 telah di beri nama pulau Dato I, Dato II, Dato III yang lebih dikenal dengan nama Gugusan Pulau Pasir).
Dengan demikian Claim Australia atas pulau-pulau tersebut  jauh sesudah tahun 1522 tidak berdasar sama sekali.
Tentang kewenangan Australia menanda tangani Perjanjian Celah Timor (Timor Gap) tahun l989 telah digugat pula oleh warga Timor Timur yang saat itu mengasingkan diri ke Australia, menyusul keputusan pengadilan tinggi Australia yang mengizinkan kasus ini diajukan ke pengadilan.

Juru bicara pengadilan mengemukakan, tanggal menghimpun keterangan soal kasus ini telah ditetapkan bulan Agustus l994. Kasus ini terutama menggugat kewenangan Australia menyepakati dan menandatangani Perjanjian Celah Timor dengan Indonesia. Perjanjian Timor Gap yang ditanda tangani Menlu Ali Alatas dan Menlu Australia Garreth Evans pada dasarnya mengeksploitasi secara bersama kandungan minyak bumi di dasar laut yang terletak di Laut Timor, yang membelah  Pulau-pulau Timor dan Australia (dimaksud garis batas tengah---penulis).

Ali Alatas kepada pers beberapa saat seusai penandatanganan Perjanjian Celah Timor mengatakan, “Indonesia puas dengan tercapainya kesepakatan tentang Zona Celah Timor, yang merupakan “Pengakuan De Yure” terhadap “Integrasi Timor-Timur ke Indonesia”. (Kompas, 28-10-l989). Inilah masalah intinya. Dapat kita namakan sebagai “Konpensasi Politik” yang konyol, atau bisa juga kita namakan sebagai “Tragedi Politik” di era Orde Baru. Mungkin Ali Alatas berpikir, lebih untung  karena Timor-Timur masih lebih besar dari Pulau Pasir yang hanya terdiri dari sejumlah gugusan pulau-pulau karang  kecil yang tidak ekonomis.

Apakah ini berarti menghadiahkan Gugusan Kepulauan Pulau Pasir milik Indonesia kepada Australia agar mendapatkan “Pengakuan De Yure” dari Australia terhadap Integrasi Tim-Tim- ke- Indonesia? Ini suatu kesalahan besar politik  dari Ali Alatas yang perlu ditinjau kembali.
Namun pengakuan De Yure Australia ini justru yang membuat kasus ini menghangat. “Tindakan Australia dan Indonesia menyetujui suatu perjanjian eksploitasi mineral di Celah Timor adalah Ilegal, karena berdasar hukum internasional tidak ada satu negara pun berdaulat atas kawasan itu,” ujar jubir warga Timor-Timur di Australia.

Perjanjian Celah Timor menyebabkan Indonesia kehilangan beberapa pulau-pulau diwilayah perairan kita (gugusan kepulauan pulau Pasir), merupakan kesalahan besar yang  dibuat oleh Menlu Ali Alatas, yang kurang memiliki pengetahuan tentang “sejarah dan peta” (geografi)  atas pulau-pulau perbatasan perairan Indonesia di belahan selatan, yang berbatasan dengan Australia, seperti apa yang dikatakan oleh Nelayan tradisional asal Pulau Rote kepada Kupang Pos di Kupang bahwa,mereka tidak tahu sejarah dan buta peta” ada kebenarannya.

Dengan lepasnya Pulau Pasir dan dikuasai Australia menyebabkan para nelayan tradisional Pulau Rote menangis, meneteskan air mata kesedihannya karena telah kehilangan ladang perikanannya, dan harus mengahadapi kekejaman Keamanan Australia, dengan menangkap, mengadili, memenjarakan, membakar perahunya atau menenggelamkan perahunya, satu-satunya harapan hidup mereka tanpa perlindungan hukum/Negara (dalam hal ini Sektor Keamanan dari TNI AL dan Departemen Kelautan dan Perikanan RI).
Pada hal mereka adalah masyarakat yang paling miskin dikawasan Nusantara ini. Demi anak-istri dengan beresiko tinggi, mereka tetap hingga kini sepanjang tahun  mencari ikan ke Pulau Pasir, Tanah Adat Hak Ulayat nenek moyangnya.

Dengan terlepasnya Timor-Timur dari Indonesia dan menjadi negara merdeka sendiri, maka saat ini perlu ditinjau kembali semua perjanjian bilateral yang telah ditandatangani Indonesia-Australia dimasa-masa yang lalu dan memperjuangkan pengembalian Gugusan Kepulauan Pasir (Ashmore Reef-Caerier Reef, Scot Reef) ke dalam wilayah perairan Indonesia. Bahwa pengakuan De yure dari Australia yang dikatakan Ali Alatas tersebut diatas,  terpaksa harus mentah kembali dan tidak berlaku lagi.

Jika kita mengamati dari tahun-tahun kepemilikan yang tertera diatas, maka jelaslah gugusan pulau Pasir tersebut adalah milik Masyarakat NTT khususnya masyarakat Suku Rote (Indonesia) yang telah lebih dahulu menemukannya dan dimanfaatkannya selama berabat-abat lamanya.
Diperkuat pula dengan fakta bahwa Pulau Pasir ini masuk dalam wilayah Jajahan Hindia Belanda, dimana setiap nelayan-nelayan tradisional Rote hendak mencari ikan, teripang dan siput lola ke Pulau Pasir, terlebih dahulu harus meminta izin mendapatkan surat Pas (istilah lokal orang Rote) dari Pemerintah Belanda di Kupang, Nusa Tenggara Timur hingga tahun l950-an.

Surat izin yang diberikan dimaksudkan, apabila warga  nelayan tradisional wilayah jajahan Hindia Belanda, dalam pelayaran mencari ikan melewati Pulau Pasir dan memasuki perairan laut Australia disebabkan karena terbawa arus atau pun karena angin topan, dan bukan karena memasuki teritori Australia secara ilegal dengan sengaja, tetapi karena memiliki izin berlayar resmi, maka pihak keamanan laut Australia, diharapkan dapat membantu seperlunya. Itulah inti dari tujuan pemberian surat Pas (izin tersebut).
Pemberian surat izin berlayar adalah sebagai dokumen pengaman dari pemerintah Hindia Belanda kepada warganya, untuk menghindari sanksi hukum dari pemerintah Australia, jika karena sesuatu sebab, nelayan-nelayan tradisional itu memasuki perairan Australia dengan tidak disengaja.

Ketidaktahuan data sejarah maupun peta Pulau Pasir oleh Pemerintah Pusat cq. Departemen Luar Negeri RI, yang  tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan pemerintah Prov NTT dan terutama dengan tokoh-tokoh masyarakat adat Suku Rote dan para nelayan tradisionalnya  yang hidup disekitar gugusan kepulauan Pulau Pasir tersebut, tentang status Pulau Pasir,  menyebabkan kekeliruan dalam pembuatan MOU l974 tentang Perjanjian Garis Batas Perairan (hanya dilakukan  dari belakang meja) antara RI-Australia, perlu diluruskan kembali. Terkait Pulau Pasir/batas laut, antara RI-Australia telah dibuat tiga Kesepakatan (MOU) yang kemudian di langgar Australia yakni :

(l). MOU tentang Operasi Nelayan Tradisional Indonesia di wilayah Perikanan dan Landas Kontinen Australia pada 7 Nopember l974 yakni intinya memberikan hak kepada nelayan tradisional Indonesia untuk menangkap ikan di lima wilayah maritime, termasuk di Pulau Pasir.
Tetapi kenyataan dilapangan membuktikan lain. Australia memperlakukan Nelayan Indonesia dengan cara-cara yang kurang manusiawi dan tragis, jika memasuki wilayah perairan pulau Pasir (Ashmore Reef, Cartir Reef, Scot Reef) untuk mencari ikan, teripang dan biota laut lainnya disana, yang berarti telah mengingkari MOU l974 antara Indonesia-Australia.

Perahu Nelayan dibakar dan dimusnakan tanpa ampun oleh pihak Australia dan tidak pernah digubris oleh Departemen Luar Negeri Indonesia. Kemudian para nelayan diadili dan dimasukkan ke penjara dan banyak yang mati selama dalam tahanan karena tidak dijamin baik fisiknya maupun konsumsinya dengan perlakuan diluar perikemanusiaan. (Lihat gambar pembakaran perahu nelayan tradisional asal Pulau Rote  pada Sub Bab MOU BOX) diatas).

Bertalian dengan perlakuan Australia yang kurang manusiawi, maka pemerintah Indonesia perlu menegur pemerintah Australia atas tinadakan-tindakannya dan menuntut ganti rugi atas kerugian materi para nelayan tradisional, atas pembakaran dan pemusnahan perahu-perahu dan peralatan penangkapan ikan para nelayan tradisional asal Indonesia khususnya nelayan tradisional asal Pulau Rote. selama ini.
(2). Berikutnya MOU tentang Provisional Fisheries, Surveillance and Enforcement Line pada Oktober l98l, yang antara lain berisi ketentuan tentang tidak terpengaruhnya hak tradisional nelayan Indonesia di pulau karang tersebut

Masyarakat suku Rote  bertanya ke pihak Australia,  mengapa Nelayan tradisional  asal Rote telah melaut mencari ikan di sekitar ”Pulau Pasir (Ashjmore Reef, Cartir Reef, Scot Reef) selama 40 tahun sesudah RI Merdeka,  atau  452 tahun terhitung dari tahun l522, saat pertama kali Portugis menemukan Pulau Rote,  Australia tidak pernah mempermasalahkan  Pulau Pasir dan nelayan tradisionalnya. 
Itu berarti selama ini Australia mengakui  dan memaklumi kadaulatan Suku Rote (Indonesia) atas  gugusan Pulau Pasir (Ashmoro Reef, Cartir Reef, Scot Reef).

Jika Australia saat ini  (sejak l974) baru mempersoalkan dan mengklaim Pulau Pasir  sebagai miliknya adalah suatu tindakan “kesiangan” dan “serakah”  yang bertujuan melakukan “Ekspansi Terirorial” ke Laut Timor (wilayah perairan Indonesia), yang sebenarnya karena dua alasan pokok yakni : ekonomi dan pertahanan.
Pertama : Alasan Ekonomi : Karena pada tahun-tahun terakhir ini diketahui oleh Australia, bahwa perairan Laut Timor/Celah Timor memiliki cadangan minyak dan gas bumi yang potensial sehingga  ingin dikuasainya sendiri.

Kedua : Alasan Strategis pertahanan dan keamanan: Penguasaan atas Pulau Pasir oleh Australia hanya berkedok “dijadikan wilayah kenservasi lingkungan hidup, padahal, dibalik itu sebenarnya bertujuan politik pertahanan-keamanannya,  dengan perhitungan menciptakan wilayah pertahanan baru yang  lebih dekat  menjangkau Indonesia dari Pulau Pasir, jika terjadi sesuatu kondisi konflik politik pertahanan yang tak terelakan lagi misalnya, yang memungkinkan untuk menyerang atau sebaliknya dijadikan sebagai gerbang depan untuk menghadang kemungkinan  serangan dari pihak utara (versi Australia). Untuk itu dapat kita simak dari rencana Australia dalam memodernisai jenis persenjataannya beberapa tahun kedepan.

Australia telah melakukan tindakan Exkspansi Teritorial memasuki wilayah   Indonesia khususnya, karena dua alasan pokok tersebut diatas, tentu mudah ditebak.
Dengan demikian semua bentuk perjanjian yang telah disepakati Indonesia-Australia, dianggap batal  dengan sendirinya dan ditinjau kembali. sehingga Pulau Pasir segera direbut kembali menjadi  milik Indonesia. Jika tidak  terdapat kata sepakat,  maka Pulau Pasir dijadikan sebagai wilayah sengketa agar diajukan ke Mahkamah Internasional di  Belanda. Sayangnya belakangan ini pemerintah pusat nampaknya kurang peduli dan kurang keberaniannya menghadapi Australia  atas isu perbatasan RI-Australia untuk dibicarakan lagi, walaupun berbagai argumen dan dorongan dari berbagai pakar perlunya dibuka kembali pembicaraan tersebut. 

Kalau sekarang persoalan suaka 42 warga Papua, bukan saja diperjuangkan oleh Pemerintah Pusat, juga oleh DPR, dimana DPR telah mengirim wakilnya ke Australia untuk turut memperjuangkannya, mengapa masalah Pulau Pasir tidak ikut diperjuangkannya segigih itu?  Padahal persoalan Pulau Pasir  yang begitu penting, karena menyangkut territorial. Persetujuan tentang Petunjuk Teknis bagi Implementasi MOU l974 diatas pada Mei l989. Pulau Pasir menjadi milik Australia setelah Pemerintah Indonesia-Australia penandatanganan perjanjian. Umumnya semua MOU dan Perjanjian Bilateral lainnya hanya dilakukan oleh Pemerintah (Mentri Luar Negeri) saja tanpa melibatkan DPR maupun instansi teknis lainnya,  menyebabkan pengambilan keputusan yang kurang tepat sehingga merugikan Indonesia.

Menentukan Kedaulatan masing-masing dengan menarik garis latar antara Laut Timor dan Australia l972, menggunakan Argumen Landas Kontinen yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut PBB l982 adalah tidak relefan. 
Timbul pertanyaan, apakah Hukum Laut PBB l982, itu hanya dibuat khusus untuk menentuan garis batas Indonesia-Australia saja?
Dan mengapa tidak diterapkan juga di negara-negara Eropa, atau dibelahan dunia lainnya secara serentak? Namun perlu dipertanyakan keakuratannya, karena Landas Kontinental itu harus dibuktikan dengan adanya Foto Satelit, atau hasil survei suatu Team Teknis Terpadu Kelautan kedua belah pihak RI-Australia dalam menentukan titik-titik yang tepat letak Landasan Kontinental itu.

Walaupun  hal itu akan dijalankankan juga, tetapi bukan menjadi dasar untuk merubah garis batas berdasar sejarah yang dianut selama ini.
Apabila kita hanya menerima informasi atau pengakuan dan peta yang di buat sepihak oleh Pemerintah Australia  saja, kemungkinan besar itu hanya rekayasa Australia untuk melebarkan luas wilayah perairan lautnya jauh masuk ke Laut Timor (Indonesia) secara sepihak.
Tanpa data yang dikemukakan diatas, Landasan Kontinental belum bisa diakui keabsahannya oleh pihak Indonesia.
Oleh karena itu maka batas RI-Australia  ditetapkan berdasarkan “Titik Tengah” diantara kedua negara.  
Akibat penetapan Garis latar yang keliru atau atas tekanan Australia, Indonesia terpaksa harus kehilangan 85% Laut Timor, kata Ferdi Tanoni, Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB).
Sesuai dengan saran diatas, Hukum Laut PBB tahun l982 tidak dapat diterapkan seutuhnya, sesuai alasan-alasan yang telah dikemukakan diatas.
Batas-batas RI-Australia sebelum l982 yang ditandai dengan batas berwarna merah pada peta Nusa Tenggara Timur dangan Australia (lihat peta tersebut,) harus menjadi pegangan Indonesia, bukan peta rekayasa Australia keluaran terbaru sekarang ini, dimana garis batasnya dibuat setengah lingkaran ke utara  kepulauan Pulau Pasir sehingga masuk wilahnya, perlu dipertanyakan. (Lihat Peta yang dibuat Australia).
Pada bagian lain kami kemukakan data dari peta dunia (AS), dimana dalam daftar pulau-pulau karang di Utara Australia tidak tercantum nama pulau Pasir (lihat keterangan peta Australia Utara selanjutnya).

Peta
Peta Kabupaten Kupang dan Kabupaten Rote Ndao & Pulau Pasir (Ashmoro Reef & Cartier Reef).Posisi garis batas (garis merah) dimana Pulau Ashmore dan Pulau Cartier  termasuk wilayah Indonesia (Kabupaten Rote Ndao termasuk Pulau Pasir) terletak diatas garis  batas merah Indonesia – Australia. Gugusan Pulau Pasir dahulu masuk Wilatah Hindia Belanda (Lihat Peta Hindia Belanda pada Bagian lainnya, dimana Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef ) terletak di atas Garis Batas berwana Merah sebagai Batas Perairan Hindia Belanda dan Australia. Selain Peta tersebut dapat dilihat pada sumber dibawah ini. 

Perlu diketahui,bahwa hingga Pembuatan MOU 1974, Australia tidak pernah mengklaim atau berkeberatan terhadap Peta Hindia Belanda tersebut, oleh karena Australia mengakui bahwa Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef adalah wilayah Hindia Belanda yaitu wilayah Pulau Rote paling Selatan yang berbatasan langsung dengan Australia. Jadi pengakuan Australia yang menyatakan Gugusan Pulau Pasir (Ashmore reef) diserahkan oleh Inggris kepada Australia adala merupakan suatu rekayasa sejarah yang tidak benar. Oleh karena Peta Hindia Belanda pada sumber di atas adalah autentik dan merupakan kebenaran sejarah yang tidak bisa dibantah oleh Australia sekalipun.
(Sumber : Insklopedi Indonesia, Edisi Khusus, No.4, hal.2402).

Faktor Peninnggalan Sejarah (Arkeologi).

Berdasarkan hasil penelitian oleh seorang peneliti bangsa Australia di kepulauan Pulau Pasir ini diketemukan berbagai benda-benda buatan manusia antara lain seperti : pecahan gerabah, keramik, belanga berlapis kaca, alat masak dari tanah liat, serta lempengan karang yang diatur seperti halnya tungku untuk pengolah teripang, dan lain-lain yang oleh sang peneliti diyakini sebagai peninggalan nelayan Indonesia. Ini membuktikan  bahwa Pulau Pasir adalah milik Indonesia. 

Sayangnya, saat Menlu RI Ali Alatas membuat MOU 1974 dengan pihak Austalia tidak memiliki Peta Hindia Belanda tersebut sehingga hanya mengikuti kemauan  dan tekanan Australia secara sepihak dan selain itu   Deplu Ali Alatas tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan Gubernur NTT maupun dengan Masyarakat Adat Suku Rote yang memiliki Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) tersebut. Inilah kesalahan besar dari Menlu Ali Alatas, saat sebelum pembuatan MOU 1974 yang hanya dibuat dari belakang meja saja adalah fatal, sehingga dengan begitu mudahnya Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef)  berpindah menjadi milik Auistralia secara tidak syah dan melawan hukum.

Di Kepulauan Pulau Pasir juga terdapat, makam / kuburan nenek moyang Suku Rote sekitar lebih dari 600 buah kuburan yang keadaannya sudah  hampir rata dengan tanah, sehingga belakangan ini oleh keluarganya berniat untuk menabur bunga dan membawa semen untuk memperbaikinya. Kuburan-kuburan ini adalah bukti sejarah yang tidak dapat dibantah, bahwa Pulau Pasir adalah milik masyarakat suku Rote (ladang perikanan mereka) dan bukan tempat hunian. Namun diharuskan oleh Duta Besar Australia di Jakarta untuk meminta surat izin terlebih dahulu. Walaupun demikian setiap nelayan tradisional  asal Pulau Rote yang selain mencari ikan ke Pulau Pasir juga  selalu menyempatkan diri mengadakan siarah ke makam-makam  tersebut dan menabur bunga dikuburan keluarga mereka. 

Hak Adat atas Hak  Harak

Di pulau Pasir terdapat juga, pohon yang ditanam serta terdapat :

Harak yaitu semacam ladang dilaut dalam menangkap ikan, yang dalam Hukum Adat  memperoleh pengakuan dan memiliki status hukum pasti. Selain itu terdapat juga,
3 buah sumur yang dibuat oleh para nelayan tradisional Rote sebagai sumber air minum mereka,
(Bukti melakukan kegiatan secara terus menerus tidak terputus-putus diatas pulau Pasir tersebut dari dahulu hingga sekarang).Inipun merupakan bukti kepemilikan Suku Rote atas Pulau Pasir.

Tanah Hak Ulayat Suku Rote
Pulau pasir ini menurut Hukum Adat merupakan Tanah Hak Ulayat Suku Rote, sudah sejak nenek moyang mereka, bukan sebagai daerah pemukiman melainkan sebagai ladang perikanannya sepanjang tahun.
Kegiatan diatas kepulauan pulau Pasir ini, oleh Masyarakat Adat Suku Rote sudah berlangsung berabat-abat lamanya sampai sekarang, walaupun pulau itu diklaim oleh Australia sebagai wilayah perairannya belakangan ini.

Kepemilikan  berdasarkan UU, Konvensi Internasional

Sesuai  dasar-dasar hukum tersebut pada uraian-uraian  diatas seperti UUD l945, UUPA no.5 tahun l960, UU Pertambangan, UU Perairan Indonesia  maupun Konvensi Internasional dan Perjanjian Internasional lainnya  adalah juga merupakan dasar hukum, selain dasar-dasar hukum lainnya yang berlaku, memperkuat kepemilikan Pulau Pasir oleh Indonesia secara hukum maupun konvensi (tertera diatas).

Faktor Jarak

Berdasarkan data-data yang ada memperlihatkan, bahwa jarak Pulau Pasir dengan Indonesia dan Australia dapat diketahui sebagai berikut :
Jarak Pulau Pasir dengan wilayah pulau Rote adalah 60 mil laut jauhnya.
Jarak Pulau Pasir dengan Darwin di wilayah Australia utara adalah 840 mil laut.
Jarak antara Pulau Pasir dengan Pantai Utara Australia Barat sesuai data di Deplu RI adalah 600 Km, sedang,
 Jarak Pulau Pasir dengan Pulau Rote adalah 170 Km. 
Dengan melihat jarak-jarak tersebut diatas saja, maka jelaslah Pulau Pasir lebih dekat ke Pulau Rote (Indonesia) daripada dengan Australia (tidak dapat dibantah lagi).

 INCLUDEPICTURE "http://www.indonesiaseoul.org/pictures/sea_safari_1.JPG" \* MERGEFORMATINET
Perahu Layar

 INCLUDEPICTURE "http://www.indonesiaseoul.org/pictures/komodo%20dragon.jpg" \* MERGEFORMATINET
Komodo


Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.