PERLAKUAN KEAMANAN
AUSTRALIA TERHADAP NELAYAN INDONESIA
Klaim
Australia terhadap Pulau Pasir (Ashmore Reef-Catier Reef, Scot Reef)
Seperti diutarakan diatas
bahwa kepemilikan Pulau Pasir oleh masyarakat Suku Rote jauh sebelum :
Pelaut Portugis Antonio Pigafetta
menemukan Pulau Rote 1522
maupun sebelum orang Inggris menemukan Benua Australia atau Pulau Marege
(menurut penamaan orang Rote)
Australia baru menyatakan
kepemilikannya atas pulau-pulau tersebut
setelah tahun 1878 yang
diwarisinya dari Inggris yang menetapkan wilayah itu sebagai koloninya. Inggris
memasukan pulau itu kedalam Commonwelth of Australia melalui Ashmoro and
Cartier Act l933.
Sedang pada tahun-tahun
tersebut diatas, Inggris belum menemukan Benua Australia. Jadi Inggris
memasukkan kedalam Ashmoro and Cartier Act
baru pada tahun l933,
adalah sangat jauh terlambat mengklaim pulau Pasir ke dalam wilayah Australia
dibanding dengan tahun-tahun yang disebutkan diatas sehingga klaim tersebut
tidak syah.
Pada tahun l942 wilayah
tersebut berada dibawah Administrasi Negara Bagian Australia Barat yang
kemudian menjadi Northem Territory hingga l978.
Setelah l978 wilayah
tersebut dinyatakan sebagai bagian dari yuridiksi langsung Negara Federal.
Secara hukum, pengakuan Australia terhadap kepemilikan atas Pulau Pasir
(Ashmore Reef-Cartier Reef) baru ditetapkan pada tahun l933 dan tahun l942,
maupun melalui MOU l974 dan seterusnya, tidak berdasar sama sekali dan lebih
bersifat pengakuan sefihak oleh Australia. Indonesia patut menolak semua
argument Australia soal Pulau Pasir.
Sedang dilain pihak
kepemilikan tersebut oleh Indonesia (Masyarakat Suku Rote jauh sebelum l522 dan
kemudian tahun l662 (Kontrak Dagang dengan Belanda) dan dilanjutkan dengan tahun 1690,
1690, l700, dan 1756 telah di
beri nama pulau Dato I, Dato II, Dato III yang lebih dikenal dengan nama
Gugusan Pulau Pasir).
Dengan demikian Claim
Australia atas pulau-pulau tersebut jauh
sesudah tahun 1522 tidak berdasar sama sekali.
Tentang kewenangan
Australia menanda tangani Perjanjian Celah Timor (Timor Gap) tahun l989 telah
digugat pula oleh warga Timor Timur yang saat itu mengasingkan diri ke
Australia, menyusul keputusan pengadilan tinggi Australia yang mengizinkan
kasus ini diajukan ke pengadilan.
Juru bicara
pengadilan mengemukakan, tanggal menghimpun keterangan soal kasus ini telah
ditetapkan bulan Agustus l994. Kasus ini terutama menggugat kewenangan
Australia menyepakati dan menandatangani Perjanjian Celah Timor dengan
Indonesia. Perjanjian Timor Gap yang ditanda tangani Menlu Ali Alatas dan Menlu
Australia Garreth Evans pada dasarnya mengeksploitasi secara bersama kandungan
minyak bumi di dasar laut yang terletak di Laut Timor, yang membelah Pulau-pulau Timor dan Australia (dimaksud
garis batas tengah---penulis).
Ali Alatas kepada
pers beberapa saat seusai penandatanganan Perjanjian Celah Timor mengatakan,
“Indonesia puas dengan tercapainya kesepakatan tentang Zona Celah Timor, yang
merupakan “Pengakuan De Yure” terhadap “Integrasi Timor-Timur ke Indonesia”.
(Kompas, 28-10-l989). Inilah masalah intinya. Dapat kita namakan sebagai
“Konpensasi Politik” yang konyol, atau bisa juga kita namakan sebagai “Tragedi
Politik” di era Orde Baru. Mungkin Ali Alatas berpikir, lebih untung karena Timor-Timur masih lebih besar dari
Pulau Pasir yang hanya terdiri dari sejumlah gugusan pulau-pulau karang kecil yang tidak ekonomis.
Apakah ini
berarti menghadiahkan Gugusan Kepulauan Pulau Pasir milik Indonesia kepada
Australia agar mendapatkan “Pengakuan De Yure” dari Australia terhadap
Integrasi Tim-Tim- ke- Indonesia? Ini suatu kesalahan besar politik dari Ali Alatas yang perlu ditinjau kembali.
Namun pengakuan
De Yure Australia ini justru yang membuat kasus ini menghangat. “Tindakan
Australia dan Indonesia menyetujui suatu perjanjian eksploitasi mineral di
Celah Timor adalah Ilegal, karena berdasar hukum internasional tidak ada satu
negara pun berdaulat atas kawasan itu,” ujar jubir warga Timor-Timur di
Australia.
Perjanjian Celah
Timor menyebabkan Indonesia kehilangan beberapa pulau-pulau diwilayah perairan
kita (gugusan kepulauan pulau Pasir), merupakan kesalahan besar yang dibuat oleh Menlu Ali Alatas, yang kurang
memiliki pengetahuan tentang “sejarah dan peta” (geografi) atas pulau-pulau perbatasan perairan
Indonesia di belahan selatan, yang berbatasan dengan Australia, seperti apa
yang dikatakan oleh Nelayan tradisional asal Pulau Rote kepada Kupang Pos di
Kupang bahwa, “mereka tidak tahu sejarah dan buta peta” ada kebenarannya.
Dengan lepasnya
Pulau Pasir dan dikuasai Australia menyebabkan para nelayan tradisional Pulau
Rote menangis, meneteskan air mata kesedihannya karena telah kehilangan ladang
perikanannya, dan harus mengahadapi kekejaman Keamanan Australia, dengan
menangkap, mengadili, memenjarakan, membakar perahunya atau menenggelamkan
perahunya, satu-satunya harapan hidup mereka tanpa perlindungan hukum/Negara
(dalam hal ini Sektor Keamanan dari TNI AL dan Departemen Kelautan dan
Perikanan RI).
Pada hal mereka
adalah masyarakat yang paling miskin dikawasan Nusantara ini. Demi anak-istri
dengan beresiko tinggi, mereka tetap hingga kini sepanjang tahun mencari ikan ke Pulau Pasir, Tanah Adat Hak
Ulayat nenek moyangnya.
Dengan
terlepasnya Timor-Timur dari Indonesia dan menjadi negara merdeka sendiri, maka
saat ini perlu ditinjau kembali semua perjanjian bilateral yang telah
ditandatangani Indonesia-Australia dimasa-masa yang lalu dan memperjuangkan
pengembalian Gugusan Kepulauan Pasir (Ashmore Reef-Caerier Reef, Scot Reef) ke
dalam wilayah perairan Indonesia. Bahwa pengakuan De yure dari Australia yang
dikatakan Ali Alatas tersebut diatas,
terpaksa harus mentah kembali dan tidak berlaku lagi.
Jika kita
mengamati dari tahun-tahun kepemilikan yang tertera diatas, maka jelaslah
gugusan pulau Pasir tersebut adalah milik Masyarakat NTT khususnya masyarakat
Suku Rote (Indonesia) yang telah lebih dahulu menemukannya dan dimanfaatkannya
selama berabat-abat lamanya.
Diperkuat pula
dengan fakta bahwa Pulau Pasir ini masuk dalam wilayah Jajahan Hindia Belanda,
dimana setiap nelayan-nelayan tradisional Rote hendak mencari ikan, teripang
dan siput lola ke Pulau Pasir, terlebih dahulu harus meminta izin mendapatkan
surat Pas (istilah lokal orang Rote) dari Pemerintah Belanda di Kupang, Nusa
Tenggara Timur hingga tahun l950-an.
Surat izin yang
diberikan dimaksudkan, apabila warga
nelayan tradisional wilayah jajahan Hindia Belanda, dalam pelayaran
mencari ikan melewati Pulau Pasir dan memasuki perairan laut Australia
disebabkan karena terbawa arus atau pun karena angin topan, dan bukan karena
memasuki teritori Australia secara ilegal dengan sengaja, tetapi karena
memiliki izin berlayar resmi, maka pihak keamanan laut Australia, diharapkan
dapat membantu seperlunya. Itulah inti dari tujuan pemberian surat Pas (izin
tersebut).
Pemberian surat
izin berlayar adalah sebagai dokumen pengaman dari pemerintah Hindia Belanda
kepada warganya, untuk menghindari sanksi hukum dari pemerintah Australia, jika
karena sesuatu sebab, nelayan-nelayan tradisional itu memasuki perairan
Australia dengan tidak disengaja.
Ketidaktahuan data sejarah
maupun peta Pulau Pasir oleh Pemerintah Pusat cq. Departemen Luar Negeri RI,
yang tidak berkonsultasi terlebih dahulu
dengan pemerintah Prov NTT dan terutama dengan tokoh-tokoh masyarakat adat Suku
Rote dan para nelayan tradisionalnya
yang hidup disekitar gugusan kepulauan Pulau Pasir tersebut, tentang
status Pulau Pasir, menyebabkan
kekeliruan dalam pembuatan MOU l974 tentang Perjanjian Garis Batas Perairan
(hanya dilakukan dari belakang meja)
antara RI-Australia, perlu diluruskan kembali. Terkait Pulau Pasir/batas laut,
antara RI-Australia telah dibuat tiga Kesepakatan (MOU) yang kemudian di
langgar Australia yakni :
(l). MOU tentang Operasi
Nelayan Tradisional Indonesia di wilayah Perikanan dan Landas Kontinen
Australia pada 7 Nopember l974 yakni intinya memberikan hak kepada nelayan
tradisional Indonesia untuk menangkap ikan di lima wilayah maritime, termasuk
di Pulau Pasir.
Tetapi kenyataan
dilapangan membuktikan lain. Australia memperlakukan Nelayan Indonesia dengan
cara-cara yang kurang manusiawi dan tragis, jika memasuki wilayah perairan
pulau Pasir (Ashmore Reef, Cartir Reef, Scot Reef) untuk mencari ikan, teripang
dan biota laut lainnya disana, yang berarti telah mengingkari MOU l974 antara
Indonesia-Australia.
Perahu Nelayan
dibakar dan dimusnakan tanpa ampun oleh pihak Australia dan tidak pernah
digubris oleh Departemen Luar Negeri Indonesia. Kemudian para nelayan diadili
dan dimasukkan ke penjara dan banyak yang mati selama dalam tahanan karena
tidak dijamin baik fisiknya maupun konsumsinya dengan perlakuan diluar
perikemanusiaan. (Lihat gambar pembakaran
perahu nelayan tradisional asal Pulau Rote
pada Sub Bab MOU BOX) diatas).
Bertalian dengan perlakuan
Australia yang kurang manusiawi, maka pemerintah Indonesia perlu menegur
pemerintah Australia atas tinadakan-tindakannya dan menuntut ganti rugi atas
kerugian materi para nelayan tradisional, atas pembakaran dan pemusnahan
perahu-perahu dan peralatan penangkapan ikan para nelayan tradisional asal
Indonesia khususnya nelayan tradisional asal Pulau Rote. selama ini.
(2). Berikutnya MOU tentang
Provisional Fisheries, Surveillance and Enforcement Line pada Oktober l98l,
yang antara lain berisi ketentuan tentang tidak terpengaruhnya hak tradisional
nelayan Indonesia di pulau karang tersebut
Masyarakat suku Rote bertanya ke pihak Australia, mengapa Nelayan tradisional asal Rote telah melaut mencari ikan di
sekitar ”Pulau Pasir (Ashjmore Reef, Cartir Reef, Scot Reef) selama 40 tahun
sesudah RI Merdeka, atau 452 tahun terhitung dari tahun l522, saat
pertama kali Portugis menemukan Pulau Rote,
Australia tidak pernah mempermasalahkan
Pulau Pasir dan nelayan tradisionalnya.
Itu berarti selama ini
Australia mengakui dan memaklumi
kadaulatan Suku Rote (Indonesia) atas
gugusan Pulau Pasir (Ashmoro Reef, Cartir Reef, Scot Reef).
Jika Australia saat
ini (sejak l974) baru mempersoalkan dan
mengklaim Pulau Pasir sebagai miliknya
adalah suatu tindakan “kesiangan” dan “serakah”
yang bertujuan melakukan “Ekspansi Terirorial” ke Laut Timor (wilayah
perairan Indonesia), yang sebenarnya karena dua alasan pokok yakni : ekonomi
dan pertahanan.
Pertama : Alasan Ekonomi :
Karena pada tahun-tahun terakhir ini diketahui oleh Australia, bahwa perairan
Laut Timor/Celah Timor memiliki cadangan minyak dan gas bumi yang potensial
sehingga ingin dikuasainya sendiri.
Kedua : Alasan Strategis
pertahanan dan keamanan: Penguasaan atas Pulau Pasir oleh Australia hanya
berkedok “dijadikan wilayah kenservasi lingkungan hidup, padahal, dibalik itu
sebenarnya bertujuan politik pertahanan-keamanannya, dengan perhitungan menciptakan wilayah pertahanan
baru yang lebih dekat menjangkau Indonesia dari Pulau Pasir, jika
terjadi sesuatu kondisi konflik politik pertahanan yang tak terelakan lagi
misalnya, yang memungkinkan untuk menyerang atau sebaliknya dijadikan sebagai
gerbang depan untuk menghadang kemungkinan
serangan dari pihak utara (versi Australia). Untuk itu dapat kita simak
dari rencana Australia dalam memodernisai jenis persenjataannya beberapa tahun
kedepan.
Australia telah melakukan
tindakan Exkspansi Teritorial memasuki wilayah
Indonesia khususnya, karena dua alasan pokok tersebut diatas, tentu
mudah ditebak.
Dengan demikian semua
bentuk perjanjian yang telah disepakati Indonesia-Australia, dianggap
batal dengan sendirinya dan ditinjau
kembali. sehingga Pulau Pasir segera direbut kembali menjadi milik Indonesia. Jika tidak terdapat kata sepakat, maka Pulau Pasir dijadikan sebagai wilayah
sengketa agar diajukan ke Mahkamah Internasional di Belanda. Sayangnya belakangan ini pemerintah
pusat nampaknya kurang peduli dan kurang keberaniannya menghadapi
Australia atas isu perbatasan
RI-Australia untuk dibicarakan lagi, walaupun berbagai argumen dan dorongan
dari berbagai pakar perlunya dibuka kembali pembicaraan tersebut.
Kalau
sekarang persoalan suaka 42 warga Papua, bukan saja diperjuangkan oleh
Pemerintah Pusat, juga oleh DPR, dimana DPR telah mengirim wakilnya ke
Australia untuk turut memperjuangkannya, mengapa masalah Pulau Pasir tidak ikut
diperjuangkannya segigih itu? Padahal
persoalan Pulau Pasir yang begitu
penting, karena menyangkut territorial. Persetujuan tentang Petunjuk Teknis
bagi Implementasi MOU l974 diatas pada Mei l989. Pulau Pasir menjadi milik
Australia setelah Pemerintah Indonesia-Australia penandatanganan perjanjian.
Umumnya semua MOU dan Perjanjian Bilateral lainnya hanya dilakukan oleh
Pemerintah (Mentri Luar Negeri) saja tanpa melibatkan DPR maupun instansi
teknis lainnya, menyebabkan pengambilan
keputusan yang kurang tepat sehingga merugikan Indonesia.
Menentukan
Kedaulatan masing-masing dengan menarik garis latar antara Laut Timor dan
Australia l972, menggunakan Argumen Landas Kontinen yang diatur dalam Konvensi
Hukum Laut PBB l982 adalah tidak relefan.
Timbul pertanyaan, apakah
Hukum Laut PBB l982, itu hanya dibuat khusus untuk menentuan garis batas
Indonesia-Australia saja?
Dan mengapa tidak
diterapkan juga di negara-negara Eropa, atau dibelahan dunia lainnya secara
serentak? Namun perlu dipertanyakan keakuratannya, karena Landas Kontinental
itu harus dibuktikan dengan adanya Foto Satelit, atau hasil survei suatu Team
Teknis Terpadu Kelautan kedua belah pihak RI-Australia dalam menentukan
titik-titik yang tepat letak Landasan Kontinental itu.
Walaupun hal itu akan dijalankankan juga, tetapi bukan
menjadi dasar untuk merubah garis batas berdasar sejarah yang dianut selama
ini.
Apabila kita hanya
menerima informasi atau pengakuan dan peta yang di buat sepihak oleh Pemerintah
Australia saja, kemungkinan besar itu
hanya rekayasa Australia untuk melebarkan luas wilayah perairan lautnya jauh
masuk ke Laut Timor (Indonesia) secara sepihak.
Tanpa data yang
dikemukakan diatas, Landasan Kontinental belum bisa diakui keabsahannya oleh
pihak Indonesia.
Oleh karena itu
maka batas RI-Australia ditetapkan
berdasarkan “Titik Tengah” diantara kedua negara.
Akibat penetapan
Garis latar yang keliru atau atas tekanan Australia, Indonesia terpaksa harus
kehilangan 85% Laut Timor, kata Ferdi Tanoni, Ketua Yayasan Peduli Timor Barat
(YPTB).
Sesuai dengan
saran diatas, Hukum Laut PBB tahun l982 tidak dapat diterapkan seutuhnya,
sesuai alasan-alasan yang telah dikemukakan diatas.
Batas-batas
RI-Australia sebelum l982 yang ditandai dengan batas berwarna merah pada peta
Nusa Tenggara Timur dangan Australia (lihat peta tersebut,) harus menjadi
pegangan Indonesia, bukan peta rekayasa Australia keluaran terbaru sekarang
ini, dimana garis batasnya dibuat setengah lingkaran ke utara kepulauan Pulau Pasir sehingga masuk
wilahnya, perlu dipertanyakan. (Lihat Peta yang dibuat Australia).
Pada bagian lain
kami kemukakan data dari peta dunia (AS), dimana dalam daftar pulau-pulau
karang di Utara Australia tidak tercantum nama pulau Pasir (lihat keterangan
peta Australia Utara selanjutnya).
Peta
Peta Kabupaten
Kupang dan Kabupaten Rote Ndao & Pulau Pasir (Ashmoro Reef & Cartier
Reef).Posisi garis batas (garis merah) dimana Pulau Ashmore dan Pulau
Cartier termasuk wilayah Indonesia
(Kabupaten Rote Ndao termasuk Pulau Pasir) terletak diatas garis batas merah Indonesia – Australia. Gugusan Pulau Pasir dahulu masuk Wilatah Hindia Belanda (Lihat Peta Hindia Belanda pada Bagian lainnya, dimana Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef ) terletak di atas Garis Batas berwana Merah sebagai Batas Perairan Hindia Belanda dan Australia. Selain Peta tersebut dapat dilihat pada sumber dibawah ini.
Perlu diketahui,bahwa hingga Pembuatan MOU 1974, Australia tidak pernah mengklaim atau berkeberatan terhadap Peta Hindia Belanda tersebut, oleh karena Australia mengakui bahwa Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef adalah wilayah Hindia Belanda yaitu wilayah Pulau Rote paling Selatan yang berbatasan langsung dengan Australia. Jadi pengakuan Australia yang menyatakan Gugusan Pulau Pasir (Ashmore reef) diserahkan oleh Inggris kepada Australia adala merupakan suatu rekayasa sejarah yang tidak benar. Oleh karena Peta Hindia Belanda pada sumber di atas adalah autentik dan merupakan kebenaran sejarah yang tidak bisa dibantah oleh Australia sekalipun.
(Sumber : Insklopedi Indonesia, Edisi Khusus, No.4,
hal.2402).
Faktor
Peninnggalan Sejarah (Arkeologi).
Berdasarkan
hasil penelitian oleh seorang peneliti bangsa Australia di kepulauan Pulau
Pasir ini diketemukan berbagai benda-benda buatan manusia antara lain seperti :
pecahan gerabah, keramik, belanga berlapis kaca, alat masak dari tanah liat, serta
lempengan karang yang diatur seperti halnya tungku untuk pengolah teripang, dan
lain-lain yang oleh sang peneliti diyakini sebagai peninggalan nelayan
Indonesia. Ini membuktikan bahwa Pulau
Pasir adalah milik Indonesia.
Sayangnya, saat Menlu RI Ali Alatas membuat MOU 1974 dengan pihak Austalia tidak memiliki Peta Hindia Belanda tersebut sehingga hanya mengikuti kemauan dan tekanan Australia secara sepihak dan selain itu Deplu Ali Alatas tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan Gubernur NTT maupun dengan Masyarakat Adat Suku Rote yang memiliki Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) tersebut. Inilah kesalahan besar dari Menlu Ali Alatas, saat sebelum pembuatan MOU 1974 yang hanya dibuat dari belakang meja saja adalah fatal, sehingga dengan begitu mudahnya Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) berpindah menjadi milik Auistralia secara tidak syah dan melawan hukum.
Di Kepulauan
Pulau Pasir juga terdapat, makam / kuburan nenek moyang Suku Rote sekitar lebih
dari 600 buah kuburan yang keadaannya sudah
hampir rata dengan tanah, sehingga belakangan ini oleh keluarganya
berniat untuk menabur bunga dan membawa semen untuk memperbaikinya.
Kuburan-kuburan ini adalah bukti sejarah yang tidak dapat dibantah, bahwa Pulau
Pasir adalah milik masyarakat suku Rote (ladang perikanan mereka) dan bukan
tempat hunian. Namun diharuskan oleh Duta Besar Australia di Jakarta untuk
meminta surat izin terlebih dahulu. Walaupun demikian setiap nelayan
tradisional asal Pulau Rote yang selain
mencari ikan ke Pulau Pasir juga selalu
menyempatkan diri mengadakan siarah ke makam-makam tersebut dan menabur bunga dikuburan keluarga
mereka.
Hak Adat atas
Hak Harak
Di
pulau Pasir terdapat juga, pohon yang ditanam serta terdapat :
Harak yaitu semacam ladang
dilaut dalam menangkap ikan, yang dalam Hukum Adat memperoleh pengakuan dan memiliki status
hukum pasti. Selain itu terdapat juga,
3 buah sumur yang dibuat
oleh para nelayan tradisional Rote sebagai sumber air minum mereka,
(Bukti melakukan kegiatan
secara terus menerus tidak terputus-putus diatas pulau Pasir tersebut dari
dahulu hingga sekarang).Inipun merupakan bukti kepemilikan Suku Rote atas Pulau
Pasir.
Tanah Hak Ulayat Suku Rote
Pulau pasir ini menurut
Hukum Adat merupakan Tanah Hak Ulayat Suku Rote, sudah sejak nenek moyang
mereka, bukan sebagai daerah pemukiman melainkan sebagai ladang perikanannya
sepanjang tahun.
Kegiatan diatas kepulauan
pulau Pasir ini, oleh Masyarakat Adat Suku Rote sudah berlangsung berabat-abat
lamanya sampai sekarang, walaupun pulau itu diklaim oleh Australia sebagai
wilayah perairannya belakangan ini.
Kepemilikan berdasarkan UU, Konvensi Internasional
Sesuai dasar-dasar hukum tersebut pada
uraian-uraian diatas seperti UUD l945,
UUPA no.5 tahun l960, UU Pertambangan, UU Perairan Indonesia maupun Konvensi Internasional dan Perjanjian
Internasional lainnya adalah juga
merupakan dasar hukum, selain dasar-dasar hukum lainnya yang berlaku,
memperkuat kepemilikan Pulau Pasir oleh Indonesia secara hukum maupun konvensi
(tertera diatas).
Faktor Jarak
Berdasarkan data-data yang
ada memperlihatkan, bahwa jarak Pulau Pasir dengan Indonesia dan Australia
dapat diketahui sebagai berikut :
Jarak Pulau Pasir dengan
wilayah pulau Rote adalah 60 mil laut jauhnya.
Jarak Pulau Pasir dengan
Darwin di wilayah Australia utara adalah 840 mil laut.
Jarak antara Pulau Pasir
dengan Pantai Utara Australia Barat sesuai data di Deplu RI adalah 600 Km,
sedang,
Jarak Pulau Pasir dengan Pulau Rote adalah 170
Km.
Dengan melihat jarak-jarak
tersebut diatas saja, maka jelaslah Pulau Pasir lebih dekat ke Pulau Rote
(Indonesia) daripada dengan Australia (tidak dapat dibantah lagi).
INCLUDEPICTURE
"http://www.indonesiaseoul.org/pictures/sea_safari_1.JPG" \*
MERGEFORMATINET
Perahu Layar
INCLUDEPICTURE "http://www.indonesiaseoul.org/pictures/komodo%20dragon.jpg" \*
MERGEFORMATINET
Komodo
Penulis :
Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.