Jakarta, 6 Maret 2008
Nelayan Laut Timor, Riak Hubungan
RI-Australia
"SAYA menjadi nelayan
di Laut Timor sejak Agustus 1969, tidak lama
setelah tamat sekolah menengah pertama di Papela. Saya dan rekan-rekan nelayan
lain sudah biasa mencari ikan hingga ke Pulau Barselan dan sekitarnya. Nelayan
seangkatan ayah saya tentu saja sudah lebih awal lagi. Anehnya, saya dan juga banyak rekan nelayan belakangan
ini terus ditangkap oleh petugas perikanan dan Angkatan Laut Australia. Saya
malah dua kali ditangkap dan ditahan di Broome, Australia Barat. Pengalaman itu
cukup menyedihkan lagi karena perahu kami pun dimusnahkan."
Begitu tutur
Sadli H Ardani (51), juragan nelayan Papela, Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur,
sebelum dia meninggalkan Kupang menuju Jakarta, Selasa (17/5) pagi. Dia akan
memberi kesaksian pada pemutaran film dokumenter tentang penangkapan nelayan
Laut Timor oleh Australia, Selasa sore di Jakarta.
Ia menuturkan
kembali pengalamannya ini menyusul perlakuan tidak adil otoritas Australia yang
menimpa sejumlah nelayan Indonesia belakangan ini. Ingat kasus yang menewaskan
Mansur La Ibu dan Muhammad Heri, serta penangkapan Hok Soen Heng dan
kawan-kawannya?
Ditangkap dan
ditahan, selalu berarti disekap di dalam perahu dan dilarang keluar dari perahu
sambil menanti putusan pengadilan dan deportasi. "Dari pengalaman saya,
umumnya nelayan kita disekap di perahu sebelum dideportasi. Hanya sedikit
nelayan yang dihukum penjara," katanya.
SADLI yang
mencari ikan di perairan sekitar Pulau Pasir sejak tahun 1969 menuturkan, dia
pernah membantu pembangunan helipad di pulau itu. "Helipad
itu dibangun oleh perusahaan minyak Western Geophisical Australia dan Own Oil
untuk mengelola minyak di Celah Timor," ujarnya.
Akan tetapi, anehnya, pada
Juli 1998 dia bersama tujuh nelayan lainnya ditangkap oleh petugas Australia.
Kasus serupa terjadi lagi pada September 2000.
Dia bersama enam nelayan lain digiring ke Broome.
Maka ia pun gemas ketika mengetahui kejadian penangkapan nelayan mencuat lagi
sejak April 2005.
Pada 28 April lalu Muhammad
Heri, nelayan asal Probolinggo, Jawa Timur, yang berada dalam penahanan otoritas
Australia Utara ditemukan tewas dalam perahunya di Darwin.
Setahun sebelumnya, Mansur
La Ibu, nelayan Palu’e, Flores, juga tewas di perahunya di Australia. Mansur
diduga tewas karena disekap.
Terakhir nasib malang juga
dialami kapten kapal nelayan Sundi Jaya asal Probolinggo, Hok Soen Heng, yang
menderita luka bakar saat berada di pelabuhan Darwin, 13 Mei. Meskipun kasus
itu sedang diusut, Heng dan rekan-rekannya dilaporkan tertangkap otoritas
penjaga perairan Australia 7 Mei 2005.
Penangkapan terhadap
nelayan tradisional Indonesia yang tengah mencari ikan di Laut Timur sebenarnya
terjadi setiap hari sejak tahun 1974, dan
korbannya telah mencapai ribuan. Itu sebabnya, pada era 1980-an hingga akhir 1990-angelombang
nelayan yang ditangkap itu dijuluki human tidal waves.
Alasan yang selalu
dikemukakan Australia saat menangkap nelayan biasanya karena mereka telah
memasuki perairan Australia secara ilegal. Tetapi sebenarnya, sangat sulit
dibuktikan kebenarannya karena menurut pengakuan para nelayan, mereka lebih
sering digiring masuk ke Australia.
Sadli, nelayan yang pernah
mengikuti Penas XI di Manado, Juni 2004, itu
menuturkan, hampir seluruh nelayan tradisional di Laut Timor tidak dilengkapi
dengan alat navigasi, kecuali naluri sebagai nelayan sejak nenek moyang. Sejak
dahulu mereka berlayar dari Rote hingga gugus Pulau Pasir dan Barselan.
Contoh kasusnya dialami
Sadli dan rekan-rekannya, yakni selama dua kali tertangkap petugas Australia
(tahun 1998 dan 2000). Pada tahun 1998, Sadli dan awak perahu yang digunakannya,
Pancasila III, dituduh telah memasuki perairan Australia sejauh 18 mil dari perbatasan.
"Waktu itu,
berdasarkan naluri sebagai nelayan, kami belum memasuki perairan Australia,
tetapi karena berdebat dengan petugas bersenjata, akhirnya kami digiring ke Broome dan ditahan selama 17
hari. Perahu Pancasila III dimusnahkan dengan cara dibakar. Kami
menangis," kata Sadli.
Kasus paling menyedihkan
kembali dialami Sadli bersama enam rekannya yang berlayar dengan perahu
Tenggang Rasa, dua hari menjelang Olimpiade Sydney, September 2000. Mereka dituduh telah memasuki perairan Australia
sejauh 20 mil saat mencari ikan di antara Pulau
Dato dan Berselan.
Perahu layar yang digunakan
Sadli dan rekan-rekannya, Tenggang Rasa, ditembaki dan ditenggelamkan ratusan
mil sebelum tiba di Broome oleh awak kapal perang bernomor lambung 214.
"Kami menangis. Ingat
anak-istri, keluarga yang menunggu hasil tangkapan kami," kata Sadli, ayah
empat anak. Belum lagi utang yang dipinjam untuk membeli perahu dan alat tangkap
seperti jaring. "Perahu Tenggang Rasa itu misalnya, senilai Rp 15 juta, dibeli dari pinjaman yang cicilannya belum
lunas. Di Broome kami ditahan beberapa bulan,
lalu akhirnya dipulangkan dengan pesawat ke Kupang," kata Sadli.
Menurut dia, belakangan ini
penangkapan nelayan, pemusnahan kapal-entah ditenggelamkan atau dibakar-di Laut
Timor terjadi setiap hari, tetapi hanya sebagian kecil terungkap ke permukaan.
Saat ini, setiap kali dia mencari ikan di Laut Timor, selalu dibayangi
ketakutan akan ditangkap petugas Australia.
Sebenarnya, Australia sudah
mulai mengenyahkan nelayan tradisional dari perairan negeri Kanguru ini sejak
sekitar tahun 1974.
Sikap sepihak itulah yang
di kalangan nelayan dipandang sebagai bentuk "kolonisasi" baru di
perairan sekitar gugus Pulau Pasir dan Pulau Barselan.
Akan tetapi, sejak tahun 1974 kapal-kapal penjaga pantai Australia mulai
menyeret keluar perahu-perahu nelayan Papela dari batas koordinat perairan
Australia. Lebih gawat lagi, sejak tahun 1982
perahu-perahu yang tertangkap itu malah dimusnahkan dengan dibakar, atau
ditenggelamkan ke dasar laut.
BEBERAPA hal selalu muncul
sebagai fakta dan juga pertanyaan dalam benak nelayan itu setelah mereka
ditangkap petugas Australia. Misalnya, tidak ada rambu-rambu yang menandakan daerah
perbatasan RI-Australia, mereka juga sengaja digiring ke perairan Australia,
lalu dipaksa mengaku bersalah.
Tidak hanya itu, para
nelayan yang beroperasi di Laut Timor, seperti dialami Sadli, merasa tidak
pernah mendapat perlindungan dari Pemerintah Indonesia. Hal yang dilakukan
pemerintah selama ini hanyalah menerima kenyataan bahwa nelayan "selalu
salah" seperti diopinikan Australia.
Persoalan itu juga disorot
West Timor Care Foundation (WTCF) di Kupang. Direktur
WTCF Ferdi Tanoni mengatakan, hasil investigasi WTCF di Australia
menyebutkan, penangkapan nelayan oleh otoritas Australia terjadi hampir setiap
hari. Buktinya, sejak akhir April 2005 tercatat 27 perahu ditahan dan dimusnahkan.
Kata Ferdi, nelayan
tradisional sebenarnya dibolehkan mencari ikan, lola, teripang, dan sirip ikan
hiu sesuai kesepakatan (MoU) antara Australia-Indonesia sejak tahun 1974 (MoU Box). Dalam perjanjian itu, nelayan
tradisional juga tidak boleh ditangkap, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. (PASCAL SB SAJU) Internet.
Penulis :
Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.