Nelayan Timor Dan Laut
Sumber: Kompas
DITANGKAP, disekap di
perahu, dan perahunya dimusnakan di Laut Timor, kini merupakan berita
sehari-hari nelayan Nusa Tenggara Timur, khususnya Kabupaten Rote-Ndao. Mereka
diburu Australia, diperas bangsa sendiri.Kisah pahit seperti itu dialami,
misalnya Sadli H Ardani (51) juragang nelayan Papela, Rote Timur. Sadli dan
kawan-kawan yang mencari ikan, teripang, dan lola di perairan sekitar Pulau
Pasir sejak tahun l969 sudah dua kali ditangkap petugas Australia. Yang pertama
pada bulan Juli l998, yang kedua pada bulan September 2000 ini.
Mereka digiring
ke Broom, Australia Barat. Pada hal pada tahun l996 dia pernah membantu membangun
helipat milik perusahaan Australia di Pulau Pasir.
“Helipak itu dibangun oleh
perusahaan minyak Westeren Geophysical Australia dan Owen Oil untuk mengelola
minyak di Jawa Timur”, kata Sadli. “Kami sudah terbiasa mencari ikan diperairan
itu, bahkan sejak nenek moyang kami seperti yang dikisahkn oleh orang tua
kami”, Dahlan Karabi (41), juga warga Papela, Rote Timur dua kali ditangkap “ Angkatan Laut Australia.
Pertama pada tahun 2000 bersama lima awak perahu dan yang kedua pada
tahun 2003 bersama empat awak. Dalam kedua
penangkapan itu, lola, teripang, sirip hiu, dan ikan disita petugas
Australia. Awak dan perahu digiring ke
Broom, Australia Barat.
Di Broom kami dipenjarakan
selama tiga bulan tidak disekap diperahu”, kata
Karabi, menjelaskan tentang kejadian pada tahun tahun 2003 itu. “ hanya sedih
dan tangis yang menghiasi hidup kami selama di penjara. Tidak ada yang
menjenguk kami, tidak ada orang Indonesia. Lain lagi pengalaman Awad Bajideh
(63), juragang nelayan Papela, Rote Timur
yang sejak tahun l969 mencari ikan di laur Timor, terutama digugus :
Ø
Pulau Pasir,
Ø
Borselan,
Ø
Dato,
Ø
Matsohor,
Ø
Hari Menjerit,
Ø
Bawa Angin,
Ø
Pulau Tengah.
Nama-nama itu
dikenal baik oleh nelayan Rote umumnya, termasuk nelayan asal Papela.
Selama tujuh tahun mencari
ikan, teripang, dan lola disana Awad tidak pernah mendapat gangguan sampai,
akhirnya ditangkap kali pertama pada tahun l974.
“Waktu itu saya pakai perahu layar ke Pulau Pasir, Dato, dan Borselan,”
katanya. Awad sudah empat kali ditangkap. Penangkapan terakhir pada tanggal 8 April 2005.
Perlakuan atau sangsi
padanya berbeda-beda, bergantung perilaku petugas yang memergoki mereka.
Ketika ditangkap pertama
kali, seluruh lola dibuang kelalut, sedangkan, nelayan perahu diminta kembali
ke Indonesia. Pada penangkapan terakhir, 8 April 2005,
Awad sudah menggunakan kapal motor kecil berbobot 1,5 ton. Mereka ditanyai apakah tahu sudah lima mil melanggar
perbatasan Australia. Selama empat kali ditangkap hanya satu kali Awad digiring
ke Broom.
Sebenarnya waktu
itu (l978) Awad sudah, mengantongi surat izin
dari Konsulat Australia di Jakarta yang membolehkan nelayan tradisional mencari
ikan diperairan sekitar Pulau Pasir, Berselan, dan Dato.
Nemun, surat izin
itu disita oleh petugas. Ketika kami tiba di Broom petugas tidak menggambalikan
surat itu. Kami tidak dihukum, tapi lengsung di deportasi dari Broom ke Kupang,
dengan pesawat khusus, perahu dan perlengkapan lain dimusnakan.
Di
buru, ditangkap, dipenjara, disekap dan perahu dimusnakan oleh petugas
Australia adalah pengalaman kolektif nelayan Laut Timor. Seluruh nelayan Rote
juga nelayan dari daerah lain yang mencari dilaut Timor pasti diperlakukan
seperti itu. Sadli H Ardani,
Ahmat Pelo, Dahlan Karabi dan Awad Bajide, adalah sosok yang mewakili nelayan
tradisional Indonesia. Sejak tahun l974 hingga
sekarang ini, nasip mereka sebagai nelayan Laut Timor selalu dibawah tekanan
petugas perikanan dan Angkatan Laut Australia.
“Penangkapan dan pemusnahan
perahu nelayan berarti penderitaan bagi kami dan keluarga kami sebab, setiap kali
kami berlayar ada yang menggunakan perahu pinjaman dengan sistem bagi hasil,
tetapi ada juga yang menggunakan perahu sendiri”, kata Dahlan Karabi.
Harga badan
perahu berkisar Rp.15 juta–Rp.20 juta bergantung
bobotnya. Ditambah dengan berbagai peralatan tangkap, nilai sarana melaut itu
lebih dari Rp.20 juta. “Dengan perahu motor
sekali jalan kami perlu solar empat atau
lima drum dan makanan.
Biayanya sekitar Rp.3-4 juta”, kata Awad.
Uang sebesar Rp.3 juta- Rp.4 juta itu, kata Awad biasanya dipinjam
dari boos, entah yang ada di Kupang entah di Papela.
Menggunakan
perahu layar, mereka memerlukan bekal 250-300 Kg beras, minyak tanah, daging,
dan air, serta kebutuhan pokok lainnya. Biayanya bisa berkisar Rp.2,5 juta-Rp.3 juta. “ Anda bisa bayangkan bagaimana
jadinya kalau kami ditangkap petugas Australia.
Selain kehilangan
perahu, yang berarti kami akan dililit hutang, juga keluarga tidak akan makan
dan minum, kesulitan mengongkosi anak sekolah. Banyak beban yang harus
ditanggung, ya…itulah nelayan miskin”, kata Dahlan.
ANTARA
Rote dan Australia banyak sekali pulau kecil.
Nama-nama
pulau-pulau yang disebut tadi, seperti
Pulau Pasir,
Berselan,
Dato,
Bawa Angin,
Matsohor,
Mata Hari
Menjerit, dan
Pulau Tengah,
hanya dikenal kalangan nelayan disana.
Yang disebut
Pulau Pasir, tak lain adalah Ashmore Reef, Caerier Reef, Scot Reef, yang terdiri dari tiga pulau karang.
Orang Rote menyebutnya
: Nusa Solo Kaek (Pulau Pasir Panas).
Jadi tidak ada nama Borselan, tetapi disebut demikian karena nelayannya diduga
sulit melafalkan nama Browse island.
Tidak diketahui pasti sejak
kapan nelayan Indonesia, terutama dari
Probolinggo (Jawa Timur),
Bima (Nusa
Tenggara Barat),
Buton (Sulawesi
Tenggara),
Bugis, dan
Makassar (Sulawesi Selatan serta Rote (NTT), mencari makan di Laut Timor.
Namun,
cerita yang berkembang di Rote “ sejak nenek moyang kami”. Menurut para nelayan Rote terutama keturunan Buton, Bugis dan
Makassar di Papela Rote Timur, nenek moyangnya menginjak Pulau Pasir pada tahun
l630.
Disana
mereka, menggali sumur dan menanam kelapa. “Kelapa dan sumur masih ada hingga sekarang”, kata Ahmad Pelo dan Sadli H Ardani secara terpisah
digugus, pulau Pasir seperti Pulau Tengah (Midle Island), terdapat kuburan orang Madura ditepi selatan pulau, berukuran lebar
0.95 meter dan panjang 1,85 meter.
Diperkiran itu
adalah kuburan nelayan dari pulau Tonduk, Madura. Sementara
Kapten Ashmore dari Inggris menemukan pulau ini pada tahun l816, yang kemudian
resmi diakui sepihak oleh Inggris pada tahun l870.
Pulau Pasir dan
sekitarnya terkenal kaya akan teripang, lola, dan berbagai jenis ikan, terutama
hiu, untuk diambil sirip dan ekornya. Oleh karena itu kawasan ini tidak hanya
jadi lahan pencaharian nelayan Rote, tetapi juga dari daerah lain Indonesia,
seperti Jawa Timur dan Sulawesi. Pulau Pasir, berdasarkan pengalaman nelayan
dapat dicapai dalam waktu 8-9 jam dengan menggunakan perahu layar, atau 3-4 jam dengan perahu motor.
Dari tahun l969
hingga 2005 Awad Bajideh tidak pernah berpapasan
dengan kapal patroli Angkatan Laut Indonesia, apalagi Depertemen Kelautan dan
Perikanan (DKP). Pernyataan ini
diperkuat oleh Ahmad Pello, Sadli H Ardani dan Dahlan Karabi.
Juga tidak ada
batas yang memperlihatkan bahwa perairan itu telah dimiliki Australia. Tidak
ada rambu apapun, kata Awad. Kami hanya melihat kilangan minyak dan Gas lepas
pantai yang cukup banyak diperairan itu.
“Sampai kapan
pun, keculi sudah mati, kami akan tetap mencari disana”, lanjutnya. Nelayan
Rote terutama di Papela dan sekitarnya memang hidup dari hasil Laut Timor.
Bahkan pendapatan daerah Rote-Ndao sebagian besar diperoleh dari hasil tangkap nelayan itu.
Setiap kali nelayan pulang
melaut dan membawa pulang hasil tangkapan, mereka dikenakan restribusi”.
Sirip ikan hiu kecil
dikenai retribusi Rp.l0.000/kg, yang besar bisa Rp.25.000/kg.
Harga jual sirip ikan hiu
itu berkisar Rp.250.000-Rp.300.000/kg kata Awad,
sambil menyerahkan resi Retribusi asli yang dicap lunas Rp.30.000,-
Tidak setiap pulang melaud,
nelayan membawa hasil. “Lebih
banyak apesnya dari pada untungnya. Tetapi, ya… itu tadi, berapa pun hasil yang
kami peroleh, selalu dikenai retribusi begitu tiba didaratan di Papela atau di
Rote Timur.
Saya kira semua
nelayan juga sama, baik di Probolinggo, Buton, maupun di Bugis. Kami seperti diperas,” kata
Dahlan.Diperas? “Ya, sebab kami tidak pernah merasakan imbal jasa dari
retribusi itu. Selain
rugi akibat ditangkap Australia sudah ratusan nelayan Papela mati karena badai
Laut Timor. Pada April 2005 saja, ada tujuh perahu, lebih dari 30 nelayan hilang. Anak dan istri mereka terlantar,
pemerintah yang menarik retribusi tidak pernah peduli,” kata Dahlan.
Operasi pengkapan nelayan
tradisional Indonesia di Laut Timor mulai dilakukan Australia pada tahun l974. Hal ini dibenarkan Ferdi Tanoni, Direktur West Timor
Care Fundation, yang selama ini memberi advokasi kepada nelayan.
Operasi itu dimulai sejak
nota kesepahaman antara Indonesia dan Australia ditandatangani 7 Nopember l974. Dalam nota itu, nelayan tradisional
Indonesia tidak boleh mencari di perairan Pulau Pasir, Dato, Barselan, dan
sekitarnya.
Akibatnya,
nelayan tradisional yang biasa mencari di Laut Timor mengikuti jejak nenek
moyang mereka sejak tahun l630 terus disekap, dan dipenjarakan. Perjanjian yang
dibuat setelahnya pun lebih banyak menguntungkan Australia.
Perjanjian perbatasan
RI-Australia yang meliputi batas landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif
terakhir , menurut Ferdi Tanoni, mengacu pada perjanjian yang ditandatangani 14 Maret l997. Namun, sejak
Timor-Timur (Tim-Tim) merdeka, sebenarnya batas wilayah RI-Australia berubah
pula. “Artinya, semua nota kesepakatan sebelum itu seharusnya dibatalkan”.
Masalah perbatasan di Laut
Timor menjadi urusan Trilateral dengan Tim-Tim, namun hingga kini tidak pernah
dibicarakan. Indonesia seharusnya menjemput bola menyelesaikan kasus ini”, kata
Tanoni. Tidak boleh ditoleransi jika Australia
menangkap nelayan Indonesia, hanya dengan alasan telah melanggar perbatasan
sebab belum ada perbatasan yang jelas antara RI-Australia juga Tim-Tim. Itu
berarti penangkapan sepihak oleh Australia ilegal.
Kalim Australia
bahwa nelayan Indonesia telah memasuki perairan mereka adalah sepihak karena
belum ada kesepakatan soal perbatasan setelah Tim-Tim menjadi negara meredeka”,
kata Tanoni.
Tindakan menangkap nelayan yang
sedang mencari ikan itu, melanggar Hak Asasi Manusia. “Indonesia diam saja”? (PASCAL SB SAJU-Kompas,28-5-2005).
Penulis :
Drs.Simon Arnold Jilian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.