alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Senin, 23 Februari 2015

NELAYAN TIMOR DAN LAUT


Nelayan Timor Dan Laut

Sumber: Kompas

DITANGKAP, disekap di perahu, dan perahunya dimusnakan di Laut Timor, kini merupakan berita sehari-hari nelayan Nusa Tenggara Timur, khususnya Kabupaten Rote-Ndao. Mereka diburu Australia, diperas bangsa sendiri.Kisah pahit seperti itu dialami, misalnya Sadli H Ardani (51) juragang nelayan Papela, Rote Timur. Sadli dan kawan-kawan yang mencari ikan, teripang, dan lola di perairan sekitar Pulau Pasir sejak tahun l969 sudah dua kali ditangkap petugas Australia. Yang pertama pada bulan Juli l998, yang kedua pada bulan September 2000 ini. 

Mereka digiring ke Broom, Australia Barat. Pada hal pada tahun l996 dia pernah membantu membangun helipat milik perusahaan Australia di Pulau Pasir. 
“Helipak itu dibangun oleh perusahaan minyak Westeren Geophysical Australia dan Owen Oil untuk mengelola minyak di Jawa Timur”, kata Sadli. “Kami sudah terbiasa mencari ikan diperairan itu, bahkan sejak nenek moyang kami seperti yang dikisahkn oleh orang tua kami”, Dahlan Karabi (41), juga warga Papela, Rote Timur  dua kali ditangkap “ Angkatan Laut Australia.

Pertama pada tahun 2000 bersama lima awak perahu dan yang kedua pada tahun 2003 bersama empat awak. Dalam kedua penangkapan itu, lola, teripang, sirip hiu, dan ikan disita petugas Australia.  Awak dan perahu digiring ke Broom, Australia Barat.
Di Broom kami dipenjarakan selama tiga bulan tidak disekap diperahu”, kata Karabi, menjelaskan tentang kejadian pada tahun tahun 2003 itu. “ hanya sedih dan tangis yang menghiasi hidup kami selama di penjara. Tidak ada yang menjenguk kami, tidak ada orang Indonesia. Lain lagi pengalaman Awad Bajideh (63), juragang nelayan Papela, Rote Timur  yang sejak tahun l969 mencari ikan di laur Timor, terutama digugus :
Ø  Pulau Pasir,
Ø  Borselan,
Ø  Dato,
Ø  Matsohor,
Ø  Hari Menjerit,
Ø  Bawa Angin,
Ø  Pulau Tengah.
Nama-nama itu dikenal baik oleh nelayan Rote umumnya, termasuk nelayan asal Papela.
Selama tujuh tahun mencari ikan, teripang, dan lola disana Awad tidak pernah mendapat gangguan sampai, akhirnya ditangkap kali pertama pada tahun l974. “Waktu itu saya pakai perahu layar ke Pulau Pasir, Dato, dan Borselan,” katanya. Awad sudah empat kali ditangkap. Penangkapan terakhir pada tanggal 8 April 2005.
Perlakuan atau sangsi padanya berbeda-beda, bergantung perilaku petugas yang memergoki mereka.

Ketika ditangkap pertama kali, seluruh lola dibuang kelalut, sedangkan, nelayan perahu diminta kembali ke Indonesia. Pada penangkapan terakhir, 8 April 2005, Awad sudah menggunakan kapal motor kecil berbobot 1,5 ton. Mereka ditanyai apakah tahu sudah lima mil melanggar perbatasan Australia. Selama empat kali ditangkap hanya satu kali Awad digiring ke Broom.

Sebenarnya waktu itu (l978) Awad sudah, mengantongi surat izin dari Konsulat Australia di Jakarta yang membolehkan nelayan tradisional mencari ikan diperairan sekitar Pulau Pasir, Berselan, dan Dato.
Nemun, surat izin itu disita oleh petugas. Ketika kami tiba di Broom petugas tidak menggambalikan surat itu. Kami tidak dihukum, tapi lengsung di deportasi dari Broom ke Kupang, dengan pesawat khusus, perahu dan perlengkapan lain dimusnakan.

Di buru, ditangkap, dipenjara, disekap dan perahu dimusnakan oleh petugas Australia adalah pengalaman kolektif nelayan Laut Timor. Seluruh nelayan Rote juga nelayan dari daerah lain yang mencari dilaut Timor pasti diperlakukan seperti itu. Sadli H Ardani, Ahmat Pelo, Dahlan Karabi dan Awad Bajide, adalah sosok yang mewakili nelayan tradisional Indonesia. Sejak tahun l974 hingga sekarang ini, nasip mereka sebagai nelayan Laut Timor selalu dibawah tekanan petugas perikanan dan Angkatan Laut Australia. 

“Penangkapan dan pemusnahan perahu nelayan berarti penderitaan bagi kami dan keluarga kami sebab, setiap kali kami berlayar ada yang menggunakan perahu pinjaman dengan sistem bagi hasil, tetapi ada juga yang menggunakan perahu sendiri”, kata Dahlan Karabi.
Harga badan perahu berkisar Rp.15 juta–Rp.20 juta bergantung bobotnya. Ditambah dengan berbagai peralatan tangkap, nilai sarana melaut itu lebih dari Rp.20 juta. “Dengan perahu motor sekali jalan kami perlu solar empat atau  lima drum dan makanan.
Biayanya sekitar Rp.3-4 juta”, kata Awad.
Uang sebesar Rp.3 juta- Rp.4 juta itu, kata Awad biasanya dipinjam dari boos, entah yang ada di Kupang entah di Papela.

Menggunakan perahu layar, mereka memerlukan bekal 250-300 Kg beras, minyak tanah, daging, dan air, serta kebutuhan pokok lainnya. Biayanya bisa berkisar Rp.2,5 juta-Rp.3 juta. “ Anda bisa bayangkan bagaimana jadinya kalau kami ditangkap petugas Australia.
Selain kehilangan perahu, yang berarti kami akan dililit hutang, juga keluarga tidak akan makan dan minum, kesulitan mengongkosi anak sekolah. Banyak beban yang harus ditanggung, ya…itulah nelayan miskin”, kata Dahlan.

ANTARA Rote dan Australia banyak sekali pulau kecil.
Nama-nama pulau-pulau yang disebut tadi, seperti
Pulau Pasir,
Berselan,
Dato,
Bawa Angin,
Matsohor,
Mata Hari Menjerit, dan
Pulau Tengah, hanya dikenal kalangan nelayan disana.

Yang disebut Pulau Pasir, tak lain adalah Ashmore Reef, Caerier Reef, Scot Reef,  yang terdiri dari tiga pulau karang.

Orang Rote menyebutnya :  Nusa Solo Kaek (Pulau Pasir Panas). Jadi tidak ada nama Borselan, tetapi disebut demikian karena nelayannya diduga sulit melafalkan nama Browse island.
Tidak diketahui pasti sejak kapan nelayan Indonesia, terutama dari
Probolinggo (Jawa Timur),
Bima (Nusa Tenggara Barat),
Buton (Sulawesi Tenggara),
Bugis, dan Makassar (Sulawesi Selatan serta Rote (NTT), mencari makan di Laut Timor.
Namun, cerita yang berkembang di Rote “ sejak nenek moyang kami”. Menurut para nelayan Rote terutama keturunan Buton, Bugis dan Makassar di Papela Rote Timur, nenek moyangnya menginjak Pulau Pasir pada tahun l630.

Disana mereka, menggali sumur dan menanam kelapa. “Kelapa  dan sumur masih ada hingga sekarang”, kata Ahmad Pelo dan Sadli H Ardani secara terpisah digugus, pulau Pasir seperti Pulau Tengah (Midle Island), terdapat kuburan orang Madura ditepi selatan pulau, berukuran lebar 0.95 meter dan panjang 1,85 meter.
Diperkiran itu adalah kuburan nelayan dari pulau Tonduk, Madura. Sementara Kapten Ashmore dari Inggris menemukan pulau ini pada tahun l816, yang kemudian resmi diakui sepihak oleh Inggris pada tahun l870.
Pulau Pasir dan sekitarnya terkenal kaya akan teripang, lola, dan berbagai jenis ikan, terutama hiu, untuk diambil sirip dan ekornya. Oleh karena itu kawasan ini tidak hanya jadi lahan pencaharian nelayan Rote, tetapi juga dari daerah lain Indonesia, seperti Jawa Timur dan Sulawesi. Pulau Pasir, berdasarkan pengalaman nelayan dapat dicapai dalam waktu 8-9 jam dengan menggunakan perahu layar, atau 3-4 jam dengan perahu motor.

Dari tahun l969 hingga 2005 Awad Bajideh tidak pernah berpapasan dengan kapal patroli Angkatan Laut Indonesia, apalagi Depertemen Kelautan dan Perikanan (DKP).  Pernyataan ini diperkuat oleh Ahmad Pello, Sadli H Ardani dan Dahlan Karabi.
Juga tidak ada batas yang memperlihatkan bahwa perairan itu telah dimiliki Australia. Tidak ada rambu apapun, kata Awad. Kami hanya melihat kilangan minyak dan Gas lepas pantai yang cukup banyak diperairan itu.

“Sampai kapan pun, keculi sudah mati, kami akan tetap mencari disana”, lanjutnya. Nelayan Rote terutama di Papela dan sekitarnya memang hidup dari hasil Laut Timor. Bahkan pendapatan daerah Rote-Ndao sebagian besar  diperoleh dari hasil tangkap nelayan itu.
Setiap kali nelayan pulang melaut dan membawa pulang hasil tangkapan, mereka dikenakan restribusi”.
Sirip ikan hiu kecil dikenai retribusi Rp.l0.000/kg, yang besar bisa Rp.25.000/kg.
Harga jual sirip ikan hiu itu berkisar Rp.250.000-Rp.300.000/kg kata Awad, sambil menyerahkan resi Retribusi asli yang dicap lunas Rp.30.000,-
Tidak setiap pulang melaud, nelayan membawa hasil. “Lebih banyak apesnya dari pada untungnya. Tetapi, ya… itu tadi, berapa pun hasil yang kami peroleh, selalu dikenai retribusi begitu tiba didaratan di Papela atau di Rote Timur.

Saya kira semua nelayan juga sama, baik di Probolinggo, Buton, maupun  di Bugis. Kami seperti diperas,” kata Dahlan.Diperas? “Ya, sebab kami tidak pernah merasakan imbal jasa dari retribusi itu.  Selain rugi akibat ditangkap Australia sudah ratusan nelayan Papela mati karena badai Laut Timor. Pada April 2005 saja, ada tujuh perahu, lebih dari 30 nelayan hilang. Anak dan istri mereka terlantar, pemerintah yang menarik retribusi tidak pernah peduli,” kata Dahlan.
Operasi pengkapan nelayan tradisional Indonesia di Laut Timor mulai dilakukan Australia pada tahun l974. Hal ini dibenarkan Ferdi Tanoni, Direktur West Timor Care Fundation, yang selama ini memberi advokasi kepada nelayan.

Operasi itu dimulai sejak nota kesepahaman antara Indonesia dan Australia ditandatangani 7 Nopember l974. Dalam nota itu, nelayan tradisional Indonesia tidak boleh mencari di perairan Pulau Pasir, Dato, Barselan, dan sekitarnya.
Akibatnya, nelayan tradisional yang biasa mencari di Laut Timor mengikuti jejak nenek moyang mereka sejak tahun l630 terus disekap, dan dipenjarakan. Perjanjian yang dibuat setelahnya pun lebih banyak menguntungkan Australia.
Perjanjian perbatasan RI-Australia yang meliputi batas landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif terakhir , menurut Ferdi Tanoni, mengacu pada perjanjian yang ditandatangani 14 Maret l997. Namun, sejak Timor-Timur (Tim-Tim) merdeka, sebenarnya batas wilayah RI-Australia berubah pula. “Artinya, semua nota kesepakatan sebelum itu seharusnya dibatalkan”.

Masalah perbatasan di Laut Timor menjadi urusan Trilateral dengan Tim-Tim, namun hingga kini tidak pernah dibicarakan. Indonesia seharusnya menjemput bola menyelesaikan kasus ini”, kata Tanoni. Tidak boleh ditoleransi jika Australia menangkap nelayan Indonesia, hanya dengan alasan telah melanggar perbatasan sebab belum ada perbatasan yang jelas antara RI-Australia juga Tim-Tim. Itu berarti penangkapan sepihak oleh Australia ilegal.
Kalim Australia bahwa nelayan Indonesia telah memasuki perairan mereka adalah sepihak karena belum ada kesepakatan soal perbatasan setelah Tim-Tim menjadi negara meredeka”, kata Tanoni.
Tindakan menangkap nelayan yang sedang mencari ikan itu, melanggar Hak Asasi Manusia. “Indonesia diam saja”? (PASCAL SB SAJU-Kompas,28-5-2005).


Penulis : Drs.Simon Arnold Jilian Jacob

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.