PENGEMBANGAN KAWASAN PERBATASAN DI WILAYAH
NTT
Sebagai salah satu propinsi yang berbatasan langsung dengan negara lain,
yaitu di darat berbatasan dengan negara Timor Leste dan di laut berbatasan dengan Australia, posisi NTT sesungguhnya
sangat strategis, baik dari aspek politik maupun ekonomi.
Aspek politik berkaitan dengan menjaga keutuhan dan kedaulatan negara
Indonesia.,
Sedangkan aspek ekonomi berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam di
wilayah perbatasan serta peluang perdagangan barang dan jasa dengan negara
tetangga.
Begitu strategisnya wilayah perbatasan dengan negara lain, maka
pengembangan kawasan tertinggal dan kawasan perbatasan tetap harus mendapatkan
prioritas penting dalam pembangunan daerah.
Skenario pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dan terciptanya keamanan kawasan perbatasan.
Untuk mewujudkan skenario di atas, dibutuhkan dukungan prasarana dan sarana
transportasi, pelayanan pendidikan dan kesehatan, pengembangan ekonomi rakyat dan kemitraan dalam kegiatan
ekonomi dengan memanfaatkan kerja sama serta kesepakatan di bidang ekonomi dan
keamanan dengan negara tetangga.
Selain itu, perlu disusun desain pembangunan ekonomi yang berkelanjutan di
kawasan perbatasan yang sesuai dengan latar belakang sosial budaya masyarakat
setempat.
Namun untuk mengembangkan dan mengelola daerah perbatasan bukan perkara
gampang. Wilayah di sekitar perbatasan dengan negara lain merupakan daerah
terdepan yang secara langsung berintegrasi dengan negara lain, sehingga sedikit
banyak berpengaruh terhadap perkembangan wilayah tersebut.
Kondisi kawasan ini memiliki potensi kerawanan yang dapat mempengaruhi
pelaksanaan pembangunan pada wilayah tersebut, di antaranya :
Belum adanya kepastian garis batas laut dengan negara tetangga.
Kondisi masyarakat di wilayah perbatasan masih terisolir dan termarjinal
secara ekonomi, sehingga dapat dimanfaatkan pihak lain yang berkepentingan.
Maraknya pelanggaran hukum yang terjadi di wilayah perbatasan seperti
penyelundupan, pencurian ikan, trafficing, perampokan dan sebagainya.
Terbatasnya sarana dan prasarana untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan
pengelolaan, khususnya terhadap pulau-pulau kecil yang terpencil, sulit
dijangkau dan tak berpenghuni.
Kondisi pulau-pulau di perbatasan pada umumnya pulau-pulau kecil, sehingga
sangat rentan terhadap kerusakan baik oleh alam maupun manusia.
Belum sinkronnya pengelolalaan perbatasan,, baik yang mencakup kelembagaan,
program, maupun kejelasan kewenangan.
Belum adanya peraturan perundangan yang jelas dan menyeluruh dalam pengelolaan
pulau-pulau terluar.
Kurangnya sosialisasi tentang keberadaan dan pentingnya pulau-pulau terluar
yang bertidik dasar.
Pengembangan
Perbatasan RI – Timor Leste
Walaupun
hubungan luar negeri masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, tetapi secara operasional
Pemerintah Daerah NTT berupaya menciptakan situasi yang kondusif dalam rangka
menyikapi dan melaksanakan berbagai kebijakan nasional terhadap perkembangan
luar negeri, perdagangan bebas dan tantangan global.
Apalagi
dengan diberlakukakannya UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
memberi kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya
sendiri, termasuk mengoptimalkan potensi sumber daya lokasi untuk kesejahteraan rakyat, pengelolaan
wilayah perbatasan sangat pentingnya artinya
bagi Pemerintah NTT.
Dengan
berlakuknya otonomi luas, Pemerintah Daerah harus memfasilitasi percepatan
pembangunan di wilayah perbatasan, sehingga kesenjangan dan ketertinggalan
wilayah tersebut dapat dikurangi.
Untuk
mengoptimalkan pengelolaan dan pengembangan
wilayah perbatasan, perlu dirumuskan strategi dan model pendekatan yang
sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat dengan menitikberatkan
penyeimbangan program pembangunan yang diorientasikan untuk pemberdayaan
wilayah perbatasan.
1.
Strategi Pengembangan Wilayah Perbatasan.
Strategi
pengelolaan dan pengembangan wilayah perbatasan perlu dilakukan secara terpadu
antar sektor dan antar pembangunan. Keterpaduan pembangunan wilayah perbatasan
memerlukan penanganan dalam bentuk kemitraan, sebab beban pembangunan tidak
dapat hanya dilakukan oleh Pemerintah
Daerah sendiri dengan keterbatasan sumber dana, SDM dan isntitusi.
Untuk itu,
seluruh instansi sektoral terkait harus dilibatkan dalam pembangunan dengan
memanfaatkan berbagai sumber dana
pembangunan (lokal), nasional dan internasional), kekuatan ekonomi
daerah serta melibatkan peran sektor perbankan pemerintah dan swasta, termasuk
lembaga keuangan non bank.
Dalam
pengelolaan dan pengembangan wilayah perbatasan, masyarakat lokal harus dilibatkan,
mulai dari tahap perencanaan hingga pelaksanaan pembangunan.
Dengan
demikian program pembangunan yang diterapkan sungguh-sungguh menyentuh
kebutuhan riil masyarakat setempat dan sekaligus dapat menjawab tuntutan era
pasar bebas serta tantangan global.
Strategi
pengembangan wilayah perbatasan perlu pula ditunjang melalui upaya-upaya
politis dan diplomatis oleh Pemerintah Pusat dalam bentuk perjanjian bilateral
dengan negara tetangga untuk pengaturan bersama terhadap berbagai masalah yang
timbul.
Bentuk-bentuk
kerjasama antara lain :
Pertama,
kordinasi dalam mangatasi permasalahan keamanan wilayah perbatasan dengan
membangun pos-pos keamanan dan meningkatkan patroli perbatasan.
Kedua,
koordinasi pengaturan lalu lintas orang dan barang menyangkut keimigrasian dan
cukai khusus bagi penduduk wilayah perbatasan.
Ketiga,
penyelesaian beberapa titik permasalahan perbatasan yang masih ada dengan
semangat bertetangga yang damai.
Keempat,
pengelolaan sumberdaya alam di daerah perbatasan masing-masing negara dengan
mengikutsertakan sektor swasta, LSM, dan masyarakat lokal.
Kelima, pembangunan sentra bisnis sebagai pusat aktivitas perdagangan
lintas batas, misalnya delam bentuk Kawasan Berikat.
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka strategi pengelolaan pengembangan
wilayah perbatasan harus dirancang sedemikian rupa dengan mangacu pada beberapa
aspek utama, seperti :
Geografi : meliputi pembuatan jaringan perhubungan darat, laut dan udara
serta sarana telekomunikasi.
Demografi :
Mencakup pengisian dan pendistribusian penduduk untuk keperluan kekuatan sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta.
Sumber daya
alam : Perlu ada pemetaan secara rinci potensi sumber daya alam di kawasan
perbatasan dan sistem pengamanannya.
Idiologi : Berkaiatan dengan pembinaan dan penghayatan idiologi guna
menangkal idiologi asing.
Politik : Mencakup pemahaman sistem politik nasional dan menjaga
stabilisasi politik yang dinamis bersama aparat pemerintah sebagai mitra
pembinaan teritorial.
Ekonomi Perhubungan : Meliputi pembangunan wilayah ekonomi yang dapat
berfungsi sebagai pendukung logistik wilayah pertahanan-keamanan dan
pemberdayaan masyarakat.
Sosial Budaya : Meliputi peningkatan pendidikan, kesehatan, kesejahteraan
yang memadai dan meningkatkan ketahanan berdaya guna membendung penetrasi
budaya asing.
Pertahanan dan Keamanan : Mencakup pembuatan pos-pos perbatasan,
pembentukan sabuk pengaman dan kekuatan pembinaan teritorial yang memadai dan
pengendalian yang cukup baik oleh aparat keamanan maupun swakarsa masyarakat.
2. Pendekatan Pengelolaan Perbatasan
Sejak dahulu masyarakat Pulau Timor, baik Timor Barat maupun Timor Timur
memiliki hubungan geneologis dan sosiologis yang telah berakar secara mendalam.
Kebijakan politik kolonial Belanda dan Portugis yang memisahkan masyarakat Timor
Barat dan Timor Timur tidak menyurutkan
hubungan kekerabatan kedua bangsa.
Sebab mereka memiliki local genius (etnis, bahasa dan latar belakang sosial
budaya) yang sama. Hubungan kawin mawin dan perdagangan tradisional antar kedua
bangsa ini berjalan lancar sejak dahulu kala. Karena itu, Pemerintah Daerah NTT
menempatkan local genius sebagai basis pendekatan pengelolaan wilayah
perbatasan RI – Timor Leste yang terkristal dalam Tri Bina Pembangunan, yaitu,
Bina Manusia,
Bina Usaha, dan
Bina Lingkungan,
Dengan tujuan untuk mempercepat pengemabangan dan pembangunan daerah
perbatasan
Berdasarkan konsep pendekatan sebagai diuraikan di atas, Pemerintah Daerah
NTT telah melakukan berbagai kegiatan antara lain :
Meningkatkan kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Timor
Leste dalam berbagai kebijakan mengenai pengungsi yang masih berada di wilayah
Timor Barat.
Meningkatkan persiapan dan pelaksanaan pembangunan wilayah perbatasan di
Timor Barat dan Alor dalam rangka menjamin kestabilan perbatasan anatara RI
dengan Timor Leste.
Meningkatkan hubungan bilateral dengan negara sahabat sesuai dengan
prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Perencanaan pengembangan Kawasan Perbatasan Timor Barat dengan hasil :
Adanya pos-pos lintas batas di Montaain, Napan dan Haekesak. Sementara Pos
Wini dan O’epoli sedang dalam proses pengusulan.
Adanya
Rencana Induk Pengembangan Kawasan
Perbatasan Timor Barat;
Adanya proyek
irigasi perbatasan tahun anggaran 2002.
B.
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan
Kondisi
georafis NTT yang sebagian wilayhnya dikelilingi oleh laut, merupakan kawasan
yang meberikan peluang pengelolaan untuk keberhasilan pembangunan. Di lain
pihak, kondisi kawasan ini memiliki potensi kerawanan yang dapat mempengaruhi
pelaksanaan pembangunan wilayah tersebut.
Dengan
demikian pelaksanaan pembangunan pada wilayah perbatasan akan sangat
dipengaruhi oleh kondisi keamanan wilayah dengan posisi letak geografis wilayah
perbatasan dengan perbatasan negara lain.
Pengabaian terhadap gangguan keamanan akan mempengaruhi kondisi keamanan
yang nantinya akan berpengaruh pada strategi Pemerintah Daerah menciptakan
wilayah aman dan kondusif untuk menarik para investor dalam mengerakkan roda
ekonomi kawasan.
Seiring
dengan dicanangkannya program Gerakan Masuk Laut (GEMALA) oleh Pemerintah
Daerah NTT, penanganan pulau-pulau kecil terutama di wilayah perbatasan harus
ditingkatkan. Dengan demikian, program GEMALA dapat terlaksana dengan baik,
karena adanya batas-batas wilayah laut yang jelas dengan negara-negara
tetangga. Karena itu, pengelolaan pulau-pulau kecil perbatasan harus mendapat
perhatian serius dari Pemerintah daerah dalam koordinasi dengan Pemerintah
Pusat.
1.
Strategi Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Perbatasan
Kawasan
pulau-pulau terluar yang berbatasan dengan negara tetangga diperlukan
penanganan secara terpadu, yang melibatkan seluruh sektor sesuai dengan tugas
dan fungsinya masing-masing.
Departemen
Kelautan dan Perikanan sesuai dengan mandat yang diberikan melakukan
pengelolaan pulau-pulau kecil, termasuk pulau-pulau di wilayah perbatasan
dengan melibatkan Pemerintah Daerah setempat.
Sejauh ini,
Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil terluar Indonesia. Rencana aksi Ditjen
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil terhadap pulau-pulau di perbatasan antara lain
menyusun profil pulau-pulau di perbatasan tersebut, sehingga dapat diperoleh
informasi tentang :
peta potensi;
kondisi
ekosistem pulau,
berpenghuni
tidaknya pulau tersebut dan kalaupun berpenghuni bagaimana kondisi/struktur
masyarakatnya, dan
kondisi ekonomi,
kamanan, sosial dan budaya masyarakat pulau tersebut
Di Provinsi
NTT Direktorat Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil (Ditjen P3K), sejak 2003 telah
melaksanakan kegiatan di wilayah perbatasan di Pulau Alor. Kegiatan tersebut
meliputi :
Penyusunan
masterplan pengelolaan pulau-pulau kecil dengan melibatkan masyarakat di pulau
Alor selama lima tahun (2003-2008);
Rehabilitasi
ekosietem pulau-pulau kecil di pulau Alor dan memberikan bantuan sarana/modal
usaha mata pencaharian alternatif di pulau Alor.
Sementara Depatemen
Luar Negeri melakukan lobi-lobi politik dan diplomasi dengan negara tetangga
dalam rangka kepastian garis batas perairan dan pengelolaan pulau-pulau kecil
di wilayah perbatasan, yaitu strategi jangka pendek dan strategi jangka
panjang.
a.Strategi jangka
Pendek meliputi :
Membuat
peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan pulau-pulau terluar yang
mempunyai titik dasar untuk dikelola, baik oleh Pemerintah Puasat maupun
Pemerintah Daerah.
Memanfaatkan pulau-pulau tersebut sebagai pengembangan perikanan terpadu
yang bebasis potensi lokal;
Memberdayakan ekonomi masyarakat pesisir dengan mengarahkan dana
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) ke masyarakat pulau di daerah
perbatasan;
Melakukan identifikasi terhadap keberadaan pulau-pulau perbatasan.
Mensosialisasi pentingnya menjaga pulau-pulau perbatasan.
Strategi jangka Panjang meliputi :
a.
Menarik investasi masuk ke pulau-pulau yang mempunyai potensi jasa
lingkungan yang cocok untuk kepariwisataan bahari;
Mendeklarasikan pulau-pulau yang memiliki produktivitas hayati yang tinggi
sebagai kawasan konservasi;
Melakukan
penataan ruang pada wilayah pulau-pulau kecil, termasuk laut dan pesisirnya;
Meningkatkan koordinasi lintas sektor dalam upaya menjaga keberadaan pulau
terluar.
Kedua strategi tersebut merupakan upaya untuk merangsang aktivitas
pembangunan di pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan, sehingga dapat
menjustifikasikan pulau-pulau tersebut sebagai wilayah dari negara kesatuan RI.
Salah satu kebijakan untuk mengembangkan pulau-pulau terluar di wilayah
perbatasan adalah dengan membuka jalur kerja sama dengan negara tetangga. Kerja
sama yang dikembangkan diharapkan dapat dikoordinasikan kegiatan ekonomi,
politik, pertahanan dan keamanan di kawasan perbatasan.
2.Pendekatan Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Perbatasan
Pendekatan arah kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil di wilayah
perbatasan dikembangkan dan dirumuskan dengan mengkombinasikan tiga pendekatan,
yaitu :
a. Pedekatan
Hak
Ada tiga
tujuan yang ingin dicapai yaitu :
Adanya pengakuan
dan perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat atas tanah dan wilayah perairan
pulau-pulau kecil.
Terjalinnya
kerjasama usaha yang setara antara
Pemerintah RI dengan negara tetangga dan
antara masyarakat dengan pengusaha/investor dalam pemanfaatan ekosistem
pulau-pulau kecil. Dalam hal ini perlu ada kejelasan hak dan kewajiban
masing-masing pihak dalam kontrak kerjasama yang dalam pelaksanaan hak dan
kewajibannya diawasi dan ditegakkan oleh masing-masing pelaku yaitu pemerintah,
pengusaha dan masyarakat.
Kepastian
berusaha bagi pengusaha/investor yang sudah mendapatkan hak pakai atas tanah
dan wilayah perairan pulau-pulau kecil yang dikuasai oleh negara.
b. Pendekatan
ekosistem dalam alokasi ruang wilayah
pulau dan gugus pulau
Wilayah gugus
pulau dan pulau-pulau terluar di wilayah perbatasan sangat rentan secara
ekologis. Selain itu, wilayah ini memliki keterkaitan ekologis, sosial-ekonomi
dan sosial-budaya dengan ekosistem di sekitarnya. Dengan alokasi ruang yang
didasarkan pada daya dukung ekologis, jaringan sosial-budaya antara masyarakat dan integrasi sosial-ekonomi yang
sudah berlangsung selama ini akan memberikan pilihan investasi yang tepat. Tata
ruang dengan pendekatan ekosistem harus menjadi instrumen kebijakan utama untuk
menjaga keamanan dan keselamatan sosial-budaya dan ekologis dalam pengelolaan
pulau-pulau kecil. Alokasi seperti ini memberikan kesempatan bagi penataan
ulang posisi dan peran strategis masyarakat lokal, Pemerintah Daerah dan
Pemerintah Pusat dalam pengelolaan pulau-pulau kecil. Hal ini akan berimplikasi
pada kejelasan hak dan kewajiban serta wewenang pihak-pihak tersebut.
c. Pendekatan
Pengelolaan yang Sesuai Dengan budaya setempat
Jenis
pengemabangan pulau-pulau terluar yang dilakukan di kawasan perbatasan, baik
yang dilakukan oleh masyarakat lokal maupun investor dalam negeri dan asing
harus mengacu pada latar geografisnya dan karakteristik ekosistem, serta
kondisi sosial-budaya masyarakat setempat. Pada tahap perencanaan induk
wilayah, akan dilakukan penilaian sumberdaya alam (resoureces evalution), yang
akan menjadi landasan pengembangan pola pengelolaan serta keselamatan ekologis
dan sosial-budaya.
Mengingat
rentannya ekosistem pulau-pulau terluar dengan gugus pulau terluar di wilayah
perbatasan, pemerintah melakukan pembatasan kegiatan yang sudah terbukti
menimbulkan dampak negatif yang luas, baik secara ekologis maupun sosial.
Pemerintah hanya mengizinkan pengelolaan pulau-pulau terluar untuk konservasi,
budidaya laut (maricultura), ekowisata dan penangkapan ikan serta industri
perikanan lestari.
Dalam
pemanfaatan pulau-pulau kecil ini oleh pengusaha dari luar pulau, pemerintah
menjadi fasilisator keterlibatan masyarakat dalam berbagai bentuk seperti akses
berusaha bagi penduduk lokal, kemitraan usaha dan penyertaan modal.
Pemerintah akan mengembangkan instrumen kebijakan untuk mendukung sistem
keselamatan ekologis, berupa :
Pembentukan Badan Penasihat yang memiliki fungsi untuk,
Memberikan arahan dan masukan dalam kegiatan investasi di pulau-pulau
kecil, khususnya wilayah perbatasan;
Memberikan layanan konsultasi dalam pengembangan pulau-pulau kecil
perbatasan;
Membantu dan menyelesaikan permasalahan yang muncul dalam pengembangan
pulau-pulau kecil perbatasan;
Membantu dan
mengawasi proses pelaksanaan penmgembangan pulau-pulau kecil perbatasan;
Melakukan
monitoring kegiatan pengembangan pulau kecil perbatasan;
2. Penegakan
prosedur analisis mengenai dampak lingkungan dan sosial dari pengembang
pulau-pulau kecil perbatasan.
Untuk
mengoptimalkan pelaksanaannya, penegakan dan penataan (enfoercement and
compliance) hukum laut nasional menjadi keharusan. Hukum laut nasional yang dimaksud harus bisa
mengakomodasi hukum laut yang berlaku di masyarakat adat dan hukum laut
internasional. Sejalan dengan hal tersebut, pengembangan dan pemberlakuan
sistem pemantauan dan pengawasan yang berbasis pada masyarakat juga menjadi
keharusan.
d.
Masalah Celah Timor dan Gugusan Pulau Pasir
Lepasnya
Timor Timur dari pengkuan negara kesatuan RI membawa konsekuensi adanya
perubahan-perubahan yang vital menyangkut batas wilayah laut dengan tetangga,
Timor Leste dan Australia. Terjadi tumpang tindih klaim perbatasan laut antara
Indonesia dan Australia menyangkut Celah Timor (Timor Gab) dan gugusan Pulau
Pasir (Ashmoro Reef). Persoalan Celah Timor yang kaya akan cadangan sumber
minyak bumi dan gas alam serta gugusan Pulau Pasir yang selama berabad-abad
menjadi ladang pencarian ikan nelayan asal Pulau Rote, NTT sebenarnya merupakan
satu paket yang tak terpisahkan dengan persoalan Timor Timur. Persoalan tersebut sangat bernuansa politis yang bukan
saja karena kepentingan yang lebih besar dari Amerika Serikat.
Konon ada
“pembagian kue wilayah” antara Indonesia dengan Australia dimana Indonesia
didorong untuk memasuki Timor Timur dan sebagai imbalannya, Australia
mendapatkan pulau Pasir (Ashmore Reef).
Pembagian kue
wilayah” tersebut dirasakan sangat tidak adil oleh Indonesia dan merugikan
masyarakat NTT, karena kehilangan akses terhadap kedua wilayah potensial
tersebut. Ketidak adilan itu sungguh nyata melibatkan masyarakat setempat
mengesampingkan fakta historis dan fakta hukum adat yang berlaku di masyarakat
hukum adat pulau Timor (Timor Barat) dan khususnya pulau Rote, NTT.
Menyikapi
kibijakan yang sangat tidak adil itu, masyarakat NTT membentuk semacam gugus
tugas yang dikenal dengan “POKJA Celah Timor dan Pulau Pasir,” atau Timor Gab
& Ashmore Reef Task Force”.
Gugus tugas
yang diketuai Ferdi Tanoni tersebut kini giat memperjuangkan hak masyarakat NTT
untuk mengelola Celah Timor dan Gugusan Pulau Pasir berdasarkan hak hukum adat
masyarakat NTT dan hukum laut internasional serta konvensi hukum laut
internasional.
1.
Masalah Celah Timor
Celah Timor
yang terletak di Laut Timor merupakan sebuah kawasan yang kaya akan cadangan
sumber minyak bumi dan gas alam. Kawasan ini kini dieksploitasi oleh Australia
untuk pengeboran minyak lepas pantai dan gas alam. Sementara pihak Indonesia,
khususnya masyarakat NTT tidak memiliki akses apapun di kawasan yang sangat
potensi itu. Sebagaimana digambarkan sebelumnya, wewenang mutlak Australia
mengeksploitasi Celah Timor tidak terlepas dari masalah Timor-Timur. Sebagai
imbalan menganeksasi Timor Timur ke dalam wilayah negara kesatuan RI,
pemerintah Indonesia seolah-olah menutup mata terhadap Celah Timor dan
mengabaikan hak hak ulayat masyarakat NTT atas wilayah tersebut.
Masalah Celah
Timor mulai mencuat sejak 1972 ketika pemerintah Australia secara sepihak
menetapkan batas wilayah perairannya berdasarkan argumen landas kontinental,
yang menyatakan bahwa dasar laut harus mengikuti titik terdalam pada dasar laut
antar negara. Ternyata titik terdalam Australia berada di laut Timor. Akibatnya
Indonesia kehilangan 85% wilayah perairannya. Sedangkan pemerintah Purtugal
menolak argumentasi Australia tersebut. Tahun 1971, yakni setelah Timor Timur
masuk negara kesatuan RI, Australia mulai membuka perundingan dengan Indonesia
menyangkut Celah Timor.
Kedua belah
pihak tidak mencapai kesepakatan mengenai garis batas, namun sepakat untuk
membuat perjanjian tentang pengeksploitasian minyak bersama di wilayah antar
garis tengah ke selatan dan batas perairan dasar laut tahun 1972 ke utara.
Kesepakatan ini ternyata hanya menguntungkan Australia. Selanjutnya pada tahun
1981, Australia dan Indonesia menyepakati batas perairan yang melintang sepanjang
garis tengah.
Pada tahun
1982 PBB mendefenisikan ulang hukum laut internasinal yang menyatakan, bahwa
negara-negara yang jarak antara mereka kurang dari 400 mil laut, maka batas
internasinal harus berada pada titik tengah. Beberapa saat setelah Timor Leste
diproklamirkan sebagai negara merdeka, Ketua Menteri UNTAET Marie Alkatiri dan
PM Australia John Howard menandatangani kesepakatan dengan sebutan MOU Laut
Timor, tanpa melibatkan Indonesia.
MOU Laut Timor tersebut tidak saja mengabaikan
kesepakatan terdahulu dan konvensi hukum laut yang ditetapkan PBB, tetapi juga
mengabaikan hak tradisional/hak ulayat adat Timor Barat yang telah diakomodir
secara proposial dalam Undang-undang Pokok agraria (UUPA) No.5 tahun 1960.
Itulah
sebabya, Pokja Celah Timor dan Pulau Pasir tetap berjuang agar Indonesia
dilibatkan dalam pengelolaan Celah Timor.
Karenanya,
perjanjian antar Australia dan Timor Leste mengenai Celah Timor dianggap
sepihak dan tidak syah. Saat ini Pokja Celah Timor mendesak Deplu agar
membatalkan perjanjian antara Australia dan Timor Leste dan membuka kembali
upaya diplomatik bagi penyelesaian masalah kawasan potensial ini.
2.
Masalah Gugusan Pulau Pasir (Ashmoro
Reef)
Gugusan pulau
Pasir yang kaya sumber daya biota laut seperti ikan, cumi-cumi, mutiara dan
teripang berada di bagian Timur Samudera Hindia (12 derajat dan 13 menit
Lintang Selatan dan 123 derajat 05 menit Bujur Timur). Jarak ke Australia sekitar 840 Km dan jarak ke pulau
Rote, NTT sekitar 60 Km.
Adalah tidak
adil dan tidak masuk akal bahwa gugusan pulau Pasir ini masuk wilayah
Australia.
Karena itu,
wajar jika masyarakat NTT kini getol memperjuangkan gugusan pulau karang ini
sebagai bagian dari negara kesatuan RI.
Klaim
Indonesia, khususnya masyarakat NTT atas gugusan Pulau Pasir (Ashmore reef,
Cartier Reef dan Scott Reef), bukan
tanpa alasan.
Berdasarkan
fakta historis dan fakta hukum adat mesyarakat pulau Rote, gugusan pulau Pasir
seharusnya masuk wilayah NTT.
Ada beberapa alasan yang memperkuat argumentasi ini, di antaranya :
Pertama, Nelayan tradisonal pulau Rote, NTT sudah menganggap gugusan Pulau
Pasir sebagai kampung halaman mereka, jauh sebelum orang kulit putih
menginjakkan kakinya di bedua Australia.
Konon, nelayan pulau Rote dan nelayan-nelayan dari beberapa daerah lain
seperti Bajo, Buton, Madura dan Lembata telah menjadikan gugusan pulau Pasir
sebagai ladang mencari ikan sejak tahun 1721.
Mereka
tinggal secara berkala di gugusan pulau Pasir tersebut. Hal ini dibuktikan dengan adanya,
Tiga sumur
tua dan,
Peninggalan-peninggalan
yang terdapat di gugusan pulau Pasir seperti keramik, belanga berlapis kaca,
dan guci tanah liat. Peninggalan-peninggalan tersebut tidak diragukan lagi
berasal dari nelayan-nelayan Indonesia. Selain itu, sekitar pertengahan pantai
di atas bekas air pasang paling tinggi, terdapat sejumlah lempengan karang yang
diatur seperti halnya orang membuat tungku untuk mengelola tripang. Ada bukti
bahwa terdapat lebih dari satu tungku, juga ditemukan batu-batu eksotik (batu
pemberat). Batu tersebut berasal dari perahu nelayan Indonesia yang rusak dan
bangkainya masih ada sampai sekarang.
Kedua,
Terdapat sekitar 161 buah kuburan nelayan pulau Rote digugusan pulau Pasir.
Di antara
makam yang terdapat di lokasi pekuburan ditandai adanya garis keliling berbentuk
empat persegi dari batu karang (karang pantai akibat proses segmentasi pasir
karang) dan sebuah tugu kayu berbetuk persegi disertai nama dan tanggal. Kubur
diberi ciri yang sama, tetapi sebagai ganti tugu dari kayu, kubur menggunakan
batu karang bulat tipis sebagai batu nisan.
Kubur lain
yang terdapat di lokasi perkuburan ditandai dengan batu karang bulat, kubur
yang lebih besar memiliki dua batu karang sebagai penanda.
Lima kubur
letaknya arah utara-selatan, sedangkan kubur yang paling kecil yang ditandai
batu karang bulat letaknya arah Timur-Barat.
Di Pulau
Tengah, satu-satunya makam terletak di sudut Tenggara pulau. Kubur berbentuk
persegi empat dengan ukuran panjang kira-kira 1,85 m dan lebar 0,96 m.
Permukaannya rata halus, kubur membujur ke arah Utara-Selatan dengan dua tugu
kayu pada kedua ujung. Kubur tersebut merupakan kubur seorang nelayan Madura
asal pulau Tondul (Tunduk) dan dirawat secara teratur.
Sejumlah
kubur tanpa tanda yang usianya lebih tua di Timur terkikis erosi, sehingga
materi rangka manusia muncul ke permukaan. Karena diterpa angin dan ombak pada akhirnya tulang belulang tersebut
disapu air laut.
Ketiga, Hukum adat mengakui akan hak nelayan-nelayan (terutama Rote) karena
adanya pohon yang ditanam yakni pohon kelapa dan pohon asam. Walau dalam jumlah
yang sedikit, tak akan mengurangi arti status dan hak mereka yang diakui
masyarakat secara tradisional.
Keempat, Leluhur mereka membangun harak, semacam perladangan di laut di
perairan sekitar pulau Pasir.
Dalam hukum adat, harak memperoleh pengakuan dan memiliki status hukum yang
pasti.
Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef, Cartier Reef, Scott Reff) baru ditemukan
oleh Kapten Ashmore, seorang berkebangsaan Inggris pada tahun 1811.
Kemudian Inggris mengklaim, bahwa gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) adalah
miliknya dan pada tahun 1878 Inggris menetapkan wilayah ini menjadi koloninya.
Kemudian pada
tahun 1933 Inggris menyerahkan sepenuhnya gugusan pulau ini kepada Australia.
Pada tahun
1942 wilayah tersebut berada di bawah adminstrasi negara bagian Australia
Barat, yang kemudian menjadi Norten Federal Australia.
Berdasarkan
fakta historis dan fakta hukum adat masyarakat pulau Rote sebagaimana
disebutkan di atas, maka :Adalah suatu hal yang mustahil jika para nelayan
Indonesia tidak pernah menginjakkan kakinya di gugusan pulau Pasir, sedangkan
nelayan Indonesia telah berlayar hingga ke Madagaskar bahkan Tanjung Harapan di
Afrika Selatan, dan disana ada perkampungan Bugis Makasar yang pernah
dikungjungi Presiden SBY, ketika berkunjung ke Afrika Selatan (2007) yang lalu.
Adalah suatu
keanehan ketika didasarkan oleh deklarasi Juanda dimana Indonesia berusaha
mengklaim perairan hingga 200 mil dan diakui bahkan oleh Konvensi Hukum Laut
PBB ketika tahun 1982 (sebagai ZEE), namun sangat ironis karena Indonesia tidak
dapat mengklaim perairan gugusan Pulau Pasir yang hanya berjarak 60 Km (dari
pulau Rote).
Karena itu
perjanjian antara pemerintah Indonesia dan Australia sudah selayaknya
dibatalkan dan gugusan pulau Pasir masuk wilayah perairan NTT (Kabupaten Rote
Ndao-yakni Kabupaten Paling Selatan NKRI)
Apalagi Timor
Timur telah merdeka menjadi negara merdeka dan pihak Australia secara nyata
melanggar kesepakatan mengizinkan nelayan tradisional Indonesia untuk menangkap
spesies laut di kawasan pulau Pasir.
Dengan
demikian, tindakan Pemerintah Indonesia yang tidak mengakui hak-hak adat
nelayan pulau Rote atas gugusan pulau Pasir bertentangan dengan pengakuan
terhadap hukum adat yang sudah
diwujudkan oleh pemerintah Indonesia, yakni dengan diberlakukannya Undang-Undang
No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Namun
perjuangan masyarakat NTT agar gugusan Pulau Pasir masuk wilayah NTT bukan
pekerjaan gampang. Kehadiran Pokja Celah Timor dan Pulau Pasir tidak cukup
untuk memperjuangkan perkara besar ini.
Pihak Deplu
harus melakukan lobi-lopbi politik dan diplomasi dengan pihak Australia, agar
meninjau kembali perjanjian bilateral kedua belah pihak berdasarkan hukum laut
internasional dan kedaulatan hukum adat masyarakat Rote.
Tentu juga
pihak DPR RI, perlu turut memperjuangkan hak kedaulatan RI atas pulau Pasir
yang dicaplok secara sipihak oleh Australia, maka perlu melibatkan 250-300 juta
rakyat Indonesia untuk menghadapi Australia yang sangat arogan tersebut.
(Editor : Drs.Pieter Sambut, Merajut Masa Depan NTT, Menuju Masyarakat Yang
Mandiri, Maju Dan Sejahtera,, Provinsi NTT, 2003, hal.122-139)
Penulis
: Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.