Penyelesaian Sengketa Nelayan Pelintas Batas
di Wilayah Perikanan Australia
Penyelesaian
Sengketa Nelayan Pelintas Batas di Wilayah Perikanan Australia
Oleh : Akhmad Solihin
Oleh : Akhmad Solihin
Sebagai
negara yang tambahan jika nelayan Indonesia yang sudah pernah ditangkap kembali
tertangkap karena perbuatan yang sama," ujar Anakaka. (*/lpk)
berbatasan langsung dengan Australia di Laut Timor, hubungan Pemerintah
Indonesia dengan negara kangguru tersebut senantiasa dihadapkan pada
pelanggaran kedaulatan baik oleh warga negaranya maupun oleh institusi yang
mewakili negaranya itu sendiri. Pelanggaran kedaulatan tersebut kerap berujung
pada terciptanya ketegangan hubungan diplomatik kedua negara.
Ada tidaknya
pelanggaran yang dilakukan oleh kedua negara dalam hal realisasi kedaulatan
bukanlah faktor utama penyebab ketegangan, akan tetapi rambu-rambu hubungan
internasional yang pernah berlangsung tidak bisa diabaikan. Salah satu
pelanggaran kedaulatan yang kerap dilakukan oleh warga negara indonesia di
wilayah kedaulatan Australia adalah aktivitas illegal yang dilakukan oleh
nelayan-nelayan tradisional Indonesia, seperti melakukan tindakan penangkapan
satwa-satwa atau binatang yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan
Australia (Thontowi, 2002). Adapun nelayan-nelayan tradisional Indonesia yang
sering berkunjung ke wilayah perairan Australia, khususnya Pulau Pasir (Ashmore
Reef) adalah berasal dari daerah Pulau Rote, Flores, Buton, Sabu, Timor, Alor,
Sulawesi dan Maluku (YPTB, 2005). Dengan demikian, adanya kebiasaan yang
dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia sejak berabad-abad tahun
yang lalu ini merupakan peluang yang besar bagi terjadinya konflik antara
Indonesia dan Australia, sebagai negara-negara yang masing-masing memiliki
kedaulatan.
Selanjutnya
Thontowi menjelaskan bahwa, bagi Pemerintah Australia, pelanggaran kedaulatan
yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional indonesia tersebut menimbulkan
tingginya beban ekonomi bagi Pemerintah Australia. Hal ini dikarenakan, Pemerintah
Australia bertanggung jawab dalam penyediaan tempat tinggal sewaktu ditahan
serta pemulangan nelayan tradisional Indonesia yang tertangkap. Oleh karena
itu, kasus pelanggaran kedaulatan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia
harus menjadi perhatian bersama untuk segera dituntaskan.
Mengingat,
kasus ini bukan hanya merugikan Pemerintah Australia secara finansial, akan
tetapi juga mengganggu kelancaran hubungan baik kedua negara. Contoh kasus
terganggunya hubungan baik kedua negara adalah pada tahun 2005, dimana pada
operasi pemberantasan illegal fishing di perairan Australia yang dinamakan
“Clean Water Operation” yang berlangsung pada tanggal 12-21 April 2005, aparat
keamanan Australia berhasil menangkap sekitar 30 kapal nelayan Indonesia dengan
272 ABK. Masalah semakin mencuat ketika Muhammad Heri (Kapten kapal KM Gunung
Mas Baru) meninggal dunia dalam masa penahanan di Darwin, Australia pada
tanggal 28 April 2005.
Perjanjian
Bilateral
Pentingnya
penuntasan masalah pelanggaran kedaulatan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan
tradisional Indonesia ini mendorong Pemerintah Indonesia dan Pemerintah
Australia untuk duduk bersama dalam mengatur kegiatan nelayan tradisional
Indonesia yang beroperasi di wilayah perairan Australia. Pengaturan tersebut bertujuan
agar dapat menjamin kelangsungan hak-hak perikanan tradisional (traditional
fishing rights) di satu sisi dan dapat melindungi kepentingan-kepentingan
Australia di sisi lain.
Kesepakatan
atau perjanjian bilateral antara Indonesia dan Australia untuk menutaskan
masalah ini telah dilakukan tiga kali, yaitu:
(1) pada
tahun 1974 yang menghasilkan “Memorandum of Understanding between the
Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia
Regarding the Operations of Indonesian Traditional Fishermen in Areas of the
Australia Exclusive Fishing Zone and Continental Shelf” atau yang dikenal
dengan istilah MOU BOX 1974;
(2) pada
tahun 1981 yang menghasilkan “Memorandum of Understanding between the Republic
of Indonesia and the Government of Australia Concerning the Implementation of
Provisional Fisheries Surveillance and Enforcement Arrangement”; dan
(3) pada
tahun 1989 yang menghasilkan “Agreed Minutes of Meeting Between officials of
Indonesian and Australia on Fisheries”.
Salah satu substansi
yang dimuat dalam ketiga perjanjian tersebut di atas, adalah tentang jaminan
bagi adanya hak-hak perikanan tradisional Indonesia.
Dalam konteks
hukum perjanjian internasional, MOU BOX 1974 merupakan perjanjian pertama dan
semata-mata mengatur tentang hak perikanan tradisional. Oleh karena itu, maka
baik MOU 1981 maupun Agreed Minutes 1989 hanyalah merupakan penegasan kembali
disertai petunjuk pelaksana terhadap MOU BOX 1974.
Memorandum of
Understanding (MOU) biasanya dipakai dalam perjanjian internasional untuk
memberi nama kepada catatan mengenai pengertian yang telah disepakati para
pihak, yang kemudian digunakan sebagai dasar persetujuan yang akan dibuat atau
sebagai dasar persetujuan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi dari
perjanjian induk. Sedangkan Agreed Minutes (notulen yang disetujui) digunakan
untuk menyebut hal-hal yang disetrujui dalam konferensi, tetapi baru akan
menjadi perjanjian internasional kalau syarat-syarat yang ditentukan terwujud,
termasuk kemauan para pihak untuk terikat (Tsani 1990).
Ketiga
perjanjian tersebut di atas juga merupakan hal yang diamanatkan oleh Pasal 51
United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982), bahwa sebagai
negara kepulauan yang berbatasan dengan negara lain, setiap negara harus
mengakui hak-hak perikanan tradisional suatu negara yang telah berlangsung
lama. Namun, syarat untuk melaksanakan hak-hak perikanan tradisional tersebut
adalah perundingan dengan negara-negara tetangga yang bersangkutan.
Adapun bunyi
Pasal 51 secara lengkapnya adalah “Tanpa mengurangi arti pasal 49, negara
kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada dengan negara lain dan harus
mengakui hak perikanan tradisional dan kegiatan lain yang sah negara tetangga
yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalam perairan
kepulauan.
Syarat dan
ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan demikian, termasuk sifatnya, ruang
lingkup dan daerah dimana hak dan kegiatan demikian berlaku, atas permintaan
salah satu negara yang bersangkutan harus diatur dengan perjanjian bilateral
antara mereka. Hal demikian tidak boleh dialihkan atau dibagi dengan negara
ketiga atau warga negaranya”.
Pelanggaran
Kedaulatan
Meski
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia telah melakukan perjanjian
bilateral untuk mengatasi masalah pelanggaran kedaulatan yang dilakukan
nelayan-nelayan tradisional Indonesia, namun di lapang ternyata masih saja
terjadi pelanggaran. Hal ini tercermin dari data tertangkapnya nelayan-nelayan
Indonesia, baik tradisional maupun modern oleh aparat Pemerintah Australia.
Menurut Adhuri (2005), paling tidak ada beberapa isu utama yang harus kita
pahami untuk mengerti konflik atau pelanggaran kedaulatan yang dilakukan oleh
nelayan-nelayan tradisional Indonesia, yaitu:
1.Conflicting
Claims
Meskipun
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia telah melakukan
perjanjian-perjanjian, namun masyarakat nelayan, khususnya masyarakat nelayan
dari Nusa Tenggara Timur menganggap bahwa fishing ground tertentu, khususnya
Pulau Pasir (Ashmore Reef) adalah wilayah mereka. Adapun berbagai perjanjian
yang telah dilakukan oleh kedua negara diantaranya yaitu: (1) perjanjian
mengenai batas Landas Kontinen yang ditandatangani pada tanggal 18 Mei 1971 dan
9 Oktober 1972;
(2)
perjanjian mengenai batas Zona Ekonomi Eksklusif yang ditandatangani tanggal 14
Maret 1997; dan
(3)
perjanjian mengenai traditional fishing rights sebagaimana yang telah diuraikan
sebelumnya (tahun 1974, tahun 1981, dan tahun 1989).
Usaha klaim
masyarakat nelayan dari Nusa Tengara Timur tidak hanya ditunjukan dengan
aktivitas penangkapan ikan di Pulau pasir, akan tetapi juga telah dilakukan
secara politis, dimana Dewan Raja-raja di daratan Timor, Rote, Sabu dan Alor
pada bulan April 2003 telah memberikan mandat kepada Kelompok Kerja (Pokja) Celah
Timor dan Pulau Pasir untuk memperjuangkan hak-hak dan kepentingan mereka di
Laut Timor, termasuk Celah Timor dan Pulau Pasir.
Klaim mereka
terhadap Pulau Pasir didasarkan pada sejarah panjang aktivitas nelayan-nelayan
Nusa Tenggara di pulau ini. Menurut sejarah, jauh sebelum Kapten Ashmore
menemukan Pulau Pasir dan Inggris mengklaimnya pada tahun 1878, sejak tahun
1609
masyarakat nelayan Indonesia secara de facto menguasai Pulau Pasir, karena
pulau ini tempat mencari nafkah sekaligus tempat perisitirahatan.
Selain itu,
kepemilikan Indonesia atas Pulau Pasir diperkuat juga oleh hasil kajian YPTB
yang menemukan studi Mcknight (1976), bahwa menurut arsip Belanda diberitakan
sesorang saudagar Tionghoa diberi izin pada tahun 1751 untuk
mencari kulit penyu dari gugusan Pulau Pasir yang ada di selatan Pulau Timor.
Dengan demikian, jelas sudah bahwa kegiatan-kegiatan perekonomian masyarakat
Indonesia jauh lebih dulu dibandingkan dengan kedatangan Kapten Ashmore.
2.
Pasar Internasional Sumberdaya Laut
Tidak dapat
dipungkiri bahwa faktor keberadaan pasar internasional ikut andil dalam
mendorong aktivitas nelayan-nelayan tradisional Indonesia di wilayah perairan
Australia. Mengingat, sumberdaya yang ditangkap seperti teripang, trochus, dan
sirip hiu bukan lah komoditas yang dikonsumsi secara langsung oleh mereka,
melainkan untuk dijual ke luar negeri, yaitu pasar Cina.
Adapun
bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional
Indonesia tersebut diantaranya, yaitu (Songa, 2000):
1. Pelanggaran
terhadap wilayah operasi yang telah ditetapkan dalam MOU BOX 1974 dan Agreed
minutes 1989. Pelanggaran ini merupakan pelanggaran terbanyak yang dilakukan
oleh para nelayan tradisional Indonesia. Hal ini dikarenakan, sebagai akibat
dari berubahnya peta wilayah kegiatan para nelayan tradisional Indonesia yang
semula tunduk pada MOU BOX 1974 Pulau Pasir (Ashmore Reef), Cartier Islet,
Scott Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Islet) berubah sesuai dengan Agreed
Minutes 1989 (Scott Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Islet). Dengan kata
lain, Ashmore Reef dan Cartier Islet dilarang untuk kegiatan pemanfaatan
sumberdaya alam hayati.
2.
Pelanggaran terhadap ketentuan yang berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya
alam hayati sesuai dengan kesepakatan, baik sesuai MOU BOX 1974 maupun Agreed
Minutes 1989. Salah satu jenis pelanggaran yang sering dilakukan oleh para
nelayan tradisional Indonesia adalah pengambilan jenis-jenis biota laut
tertentu sebagai bagian dari sumberdaya alam hayati yang dilarang, seperti pengambilan
penyu dan burung beserta telurnya.
3.
Pelanggaran terhadap penggunaan fasilitas yang digunakan dalam kegiatan
penangkapan ikan, dimana fasilitas tersebut tidak sesuai dengan apa yang telah
ditetapkan melalui MOU BOX 1974 dan Agreed Minutes 1989. Dalam kenyataan
pelanggaran seperti ini terlihat dalam bentuk: melakukan kegiatan penangkapan
dengan menggunakan perahu yang digerakkan oleh mesin (motor), menggunakan
alat-alat penangkapan yang tergolong modern, bahkan menangkap ikan hiu dengan
menggunakan gillnet.
4. Pelanggaran yang dilakukan
berhubungan dengan masalah lingkungan hidup. Hal ini dapat terlihat antara lain
dari tindakan para nelayan yang dapat menimbulkan kebakaran karena lalai
memadamkan api setelah memasak atau membuang puntung rokok tanpa dimatikan
terlebih dahulu apinya, ataupun kegiatan lain yang menyebabkan
terkontaminasinya sumber-sumber air minum pada tempat-tempat dimana para
nelayan diperbolehkan untuk mengambil air minum.
5.
Pelanggaran lain yang juga sering dilakukan adalah pemanfaatan kegiatan
penangkapan ikan ini sebagai sarana untuk mengantar dan memasukan imigran gelap
ke Australia.
Adapun
faktor-faktor terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan-nelayan
tradisional Indonesia, yaitu (Songa, 2000):
1.Pengertian
nelayan terhadap MOU BOX 1974 maupun Agreed Minutes 1989 masih kurang. Hal ini
disebabkan karena tingkat pendidikan mereka yang masih relatif rendah, sehingga
sangat besar kemungkinan mereka tidak dapat membaca peta dan karenanya tidak
dapat mengenali dengan tepat wilayah operasinya.
2. Nama pulau dan daerah yang disebut dalam MOU BOX 1974 maupun Agreed Minutes 1989, mungkin saja berbeda dengan nama yang dikenal sehari-hari oleh nelayan tradisional Indonesia. Seperti Pulau Pasir yang dinamakan Australia sebagai Ashmore Reef, Pulau Baru dinamakan Cartier Islet, dan Pulau datu dinamakan Seringapatam Reef.
3. Para
nelayan tradisional Indonesia kurang mengetahui batas wilayah yang disebut
dalam MOU BOX 1974 maupun Agreed Minutes 1989 secara pasti. Hal ini terjadi karena,
selain para nelayan tradisional tidak dapat mengerti/membaca peta tetapi juga
karena tidak terdapat tanda-tanda yang jelas yang menunjukan batas-batas
sebagaimana yang dimaksudkan oleh MOU 1974 maupun Agreed Minutes 1989.
Sementara para nelayan tradisional pada umumnya tidak dilengkapi dengan
peralatan navigasi yang memadai.
4. Hasil yang
diperoleh dari usaha penangkapan cukup banyak atau cukup memuaskan sehingga
para nelayan tidak ingin untuk melakukan kegiatan di bidang usaha lain.
5. Pengaruh faktor
sosial dan budaya, dimana keluarga-keluarga tertentu dari masyarakat nelayan
tradisional Indonesia asal Papela – Rote, setiap tahunnya mengadakan kunjungan
ke makam leluhurnya yang meninggal dan dikuburkan di Pulau Pasir (Ashmore
Reef). Saat mengunjungi makam ini biasanya dilakukan bersama-sama dengan
mencari hasil-hasil laut sebagaimana dilakukan oleh nenek moyangnya sejak
beratus-ratus tahun yang lalu. Konsekuensinya dari kegiatan ini adalah bahwa
mereka (para nelayan tradisional Indonesia) pasti memasuki wilayah konservasi
alam Ashmore Reef, yang seyogyanya dilarang.
Tugas
Pemerintah
Hingga saat
ini, paling tidak ada dua cara yang dilakukan untuk mengatasi pelanggaran
kedaulatan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia, yaitu
penanganan secara hukum dan pendekatan persuasif (Adhuri, 2005). Penanganan
secara hukum yang dilakukan berdasarkan hukum Australia kurang efektif, karena
masih banyak nelayan-nelayan tradisional Indonesia yang melakukan pelanggaran.
Sedangkan
cara yang kedua adalah alternative livelihood atau pengalihan mata pencaharian
yang dilakukan melalui gerakan dari Australian National University dengan
disponsori beberapa lembaga negara maupun LSM dari Australia. Beberapa usaha
alternatif yang dikembangkan adalah budidaya rumput laut, usaha pembesaran ikan
kerapu, dan budidaya sponges. Tujuan dari program ini adalah menurunnya
aktivitas pelanggaran kedaulatan nelayan-nelayan tradisional Indonesia di
wilayah perairan Australia.
Kritikan bagi cara-cara yang dilakukan selama ini sebagaimana yang disebutkan di atas adalah:
Kritikan bagi cara-cara yang dilakukan selama ini sebagaimana yang disebutkan di atas adalah:
1. Penanganan secara Hukum
Penyelesaian
hukum yang kerap mengusik rasa keadilaan yang menyebabkan ketersinggungan dan
menyulut emosi kebangsaan, maka Pemerintah Indonesia dan Australia harus duduk
bersama guna mendapatkan penyelesaian yang sifatnya win-win solution.
Penyelesaian kasus nelayan tradisional Indonesia selama ini diselesaikan dengan
proses peradilan telah menyebabkan pasang-surut hubungan Indonesia-Australia.
Ada dua fenomena penting yang menarik mengenai penyelesaian persoalan nelayan
Indonesia di perairan Australia, yaitu:
Pertama,
bahwa putusan hakim Australia kurang efektif karena para nelayan Indonesia
tidak jera untuk menghentikan kegiatannya dalam jurisdiksi teritorial
Australia, dan
Kedua,
Pemerintah Australia mengklaim bahwa kedatangan nelayan-nelayan Indonesia telah
merugikan Pemerintah Australia dan orang asli aborigin (Thontowi, 2002).
Oleh karena
itu, untuk menuntaskan sengketa ini perlu mengedepankan penyelesaian secara
damai guna menciptakan perdamaian dan keamanan internasional sesuai dengan yang
diamanatkan Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB, yaitu negosiasi, penyelidikan, dengan
peraturan, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian menurut hukum, melalui
badan-badan atau perjanjian setempat, atau dengan cara damai lain yang
dipilihnya sendiri. Untuk kasus pelanggaran perikanan nelayan Indonesia,
Jawahir Thontowi menyarankan alternatif penyelesaiannya melalui non-peradilan
yang dalam hal ini adalah komisi arbitrase yang diharapkan mampu mengambil
tanggung jawab bersama, sehingga baik secara moral maupun secara hukum
internasional, kedua negara harus berusaha untuk menegakkan ketertiban dunia.
Selain itu, dipilihnya komisi arbitrase dalam penyelesaian pelanggaran diyakini
dapat menciptakan rasa keadilan dan menjauhkan ketersinggungan, mengingat kedua
negara diwakili oleh masing-masing wasit.
Meskipun
bukan satu-satunya solusi alternatif, namun penyelesaian non-peradilan melalui
komisi arbitrase Indonesia – Australia akan lebih akomodatif dan relevan serta
mencerminkan kepentingan dua negara. Hal ini dikarenakan, komisi arbitrase
dapat berperan dalam mengeliminir tumpang tindih ketentuan hukum laut yang
selama ini belum dapat dirumuskan.
Tumpang
tindih ketentuan hukum tersebut, yaitu perjanjian batas Landas Kontinen
Indonesia Australia yang berdasarkan pada Konvensi Jenewa Tahun 1958 sedangkan
perjanjian batas Zona Ekonomi Eksklusif yang berdasarkan pada UNCLOS 1982.
Perbedaan penggunaan dasar aturan inilah yang menimbulkan tumpang tindih zona
sehingga dikhawatirkan menimbulkan konflik dikemudian hari. Memang, dalam
UNCLOS 1982 wilayah ZEE dan Landas Kontinen tunduk pada aturan yang berbeda
sesuai dengan rezim hukumnya masing-masing. Namun, dalam perkembangan yang
baru, penyelesaian batas maritim antara ZEE dan Landas Kontinen cenderung satu
garis.
2. Alternative Livelihood
Mengenai
kebijakan alternative livelihood yang ditawarkan Australia perlu disikapi
secara seksama, mengingat pengalihan mata pencaharian nelayan-nelayan
tradisional dari status sebagai nelayan menjadi pembudidaya ikan dapat
melemahkan eksistensi hak-hak perikanan tradisional. Padahal, status hak-hak
perikanan tradisional sudah diakui dalam hukum internasional.
Oleh
karenanya, yang harus dilakukan oleh Pemerintah Australia dalam hal menjalin
kerjasama, bukanlah bertujuan mengalihkan kegiatan para nelayan, melainkan
memelihara dan melestarikannya sebagai suatu hak yang telah diakui oleh hukum
internasional. Untuk itu, agar tidak terjadi pelanggaran, maka kegiatan yang
seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Australia adalah pengadaan fasilitas
berupa alat navigasi dan fasilitas lain yang dapat membantu kegiatan para
nelayan tradisional.
Apabila ini
tidak dibangun, dan Pemerintah Australia hanya memfokuskan pada pengalihan mata
pencaharian, berarti Pemerintah Australia bermaksud menghilangkan hak-hak
perikanan tradisional nelayan-nelayan Indonesia.
Dengan
demikian, di samping menuntut dibentuknya Komisi Arbitrasi untuk menyelesaikan
kasus hukum pelanggaran kedaulatan, Pemerintah Indonesia harus menuntut
pembangunan fasilitas navigasi agar tidak terjadi pelanggaran nelayan-nelayan
tradisional Indonesia dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah yang
diperjanjikan. Hal lain yang juga diperhatikan Pemerintah Indonesia adalah
pembahasan ulang perjanjian mengenai hak perikanan tradisional. Pada perjanjian
MOU 1981 dan Agreed Minutes 1989,
Pemerintah
Australia secara sepihak merubah sebagian isi perjanjian MOU 1974, yaitu
perubahan status Ashmore Reef sebagai kawasan pelestarian taman nasional sejak
tahun 1983 serta pembatasan tangkapan biota laut. Hal ini dikarenakan, para
ahli hukum dan Konvensi Wina tahun 1969 mengisyaratkan harus ada kesekapatan
para pihak dalam melakukan perubahan terhadap isi perjanjian yang telah disepakati.
Selain itu,
dalam pembahasan ulang perjanjian tersebut harus menuntaskan pengertian nelayan
tradisional, karena ketidakjelasan pengertian ini menyebabkan perbedaan
penafsiran. Bruce dan Wilson dalam Thontowi (2002) menyatakan bahwa rumusan
nelayan
tradisional
itu tidak tepat oleh karena mengandung kelemahan konseptual.
Menurut
pengertian hak perikanan tradisional, ada empat yang harus diperhatikan, yaitu:
nelayan-nelayan
yang bersangkutan secara tradisional telah menangkap
ikan di suatu
perairan tertentu;
(2)
nelayan-nelayan tersebut telah menggunakan alat-alat tertentu secara
tradisional;
(3) hasil
tangkapan mereka secara tradisional adalah jenis ikan tertentu; dan
(4)
nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan tersebut haruslah nelayan yang
secara tradisional telah melakukan penangkapan ikan di daerah tersebut (Djalal,
1988).
Namun,
ternyata kriteria di atas juga menyimpan masalah yang menimbulkan
ketidakjelasan, misalnya perbedaan istilah nelayan tradisional di Indonesiaa
dengan di Australia. Apakah yang dikategorikan nelayan tradisional itu sama
dengan nelayan kecil yang kapal penangkap ikannya harus bermesin dalam
(inboard) berukuran 5 GT ke bawah atau perahu bercadik yang hanya menggunakan
angin untuk pergerakannya. Ironisnya, ketidakjelasan istilah ini pun terjadi
dalam peraturan perundang-undangan kita, misalnya pada Undang-undang No. 31
Tahun 2004 tentang Perikanan.
Disebutkan,
bahwa nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan
ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sungguh pengertian yang sangat
tidak jelas, sehingga sangat wajar muncul gerakan ketidakpuasan yang berujung
penuntutan agar UU No. 31 Tahun 2004 segera diamandemen.
Dengan tidak
jelasnya istilah nelayan tradisional tersebut, maka setiap saat nelayan
tradisional Indonesia selalu ditangkapi oleh aparat keamanan Australia.
Sehingga
istilah “sudah jatuh tertimpa tangga” lebih tepat bagi nelayan tradisional,
karena di satu sisi, mereka tidak terperhatikan oleh Pemerintah Indonesia yang
terlalu berkonsentrasi pada kapal asing yang lebih menggiurkan. Sementara di
sisi lain, nelayan tradisional diposisikan sama dengan pencuri oleh Pemerintah
Australia.
Tinjauan
Pustaka
Adhuri, Dedi
S (Ed). 2005. Fishing In, Fishing Out: Memahami Konflik-konflik Kenelayanan di
Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Timur. Lipi Press. Jakarta.
Djalal,
Hasjim. 1988. Perkembangan Hukum Nasional dalam Hubungannya dengan Hukum Laut
Internasional. Makalah Terbatas Lemhanas.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982
Songa,
Wilhelmus Wetan. 2000. Pelaksanaan Perjanjian Antara Indonesia dan Australia
tentang hak Perikanan Tradisional Dikaitkan dengan Nelayan Asal Nusa Tenggara
Timur (Tidak Dipublikasikan). [Tesis]. Bandung. Program Studi Ilmu Hukum.
Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Tsani,
Muhamad Burhan. 1990. Hukum dan Hubungan Internasional. Liberty.
Yogyakarta.Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Nasional
Penulis
: Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.